• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Stichting Help for Jogja adalah sebuah organisasi non-pemerintah (non-governmental organization/ NGO) di Yogyakarta yang bergerak di bidang pendidikan. Stichting Help For Jogja memberikan kursus bahasa Inggris secara cuma-cuma kepada masyarakat Yogyakarta yang membutuhkan kemampuan berbahasa Inggris tetapi tidak mampu secara ekonomi mengikuti kursus di lembaga pendidikan.

Pendidikan bahasa Inggris yang diberikan ialah bahasa Inggris percakapan atau conversation. Hal ini ditujukan agar siswa-siswinya lebih menguasai bahasa asing ini sehingga mampu memanfaatkannya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka mengingat Yogyakarta adalah kota destinasi wisata baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Oleh sebab itu, Stichting Help For Jogja membuka kelas khusus untuk para pekerja yang ingin mempelajari bahasa Inggris.

Semua siswa-siswi yang belajar di Stichting Help For Jogja dibebaskan dari biaya operasional. Oleh sebab itu, sebelum masuk menjadi siswa, para pendaftar harus menempuh semacam tes untuk menentukan siapakah yang benar-benar membutuhkan kursus berbahasa Inggris secara cuma-cuma. Calon siswa yang dirasa mampu mengikuti kursus berbayar tidak diperkenankan mengikuti kursus bahasa Inggris di Stichting Help For Jogja.

Pengajaran bahasa Inggris di Stichting Help For Jogja menjadi berbeda karena mengaplikasikan pola pengajaran yang menarik. Pengurus organisasi ini mempersilakan orang asing dari berbagai belahan dunia untuk turut mengajar. Hal ini ditujukan agar para siswa melakukan praktek

(2)

2

langsung sehingga kemampuan berbicara bahasa Inggris mereka semakin terasah. Kebanyakan dari para siswa-siswi di worker class juga akan melakukan kontak langsung dengan orang asing sehingga kedatangan pengajar asing juga ditujukan untuk membuat mereka terbiasa berhubungan dengan orang asing. Apa yang mereka pelajari di Stichting Help For Jogja bisa langsung mereka aplikasikan dalam pekerjaan mereka.

Pengajar asing biasanya adalah mahasiswa asing yang sedang menempuh studi di Indonesia. Mereka mengajar sebagai bentuk community service sehingga mereka tidak mendapat gaji sama sekali. Pengelola Stichting Help For Jogja juga bekerja sama dengan beberapa organisasi lain untuk mengundang orang asing untuk turut mengajar. Selain itu, mereka juga mempersilakan wisatawan asing yang sedang berada di Yogyakarta yang tertarik untuk turut mengajar di Stichting Help For Jogja.

Upaya pengelola Stichting Help For Jogja mengikutsertakan warga negara asing dalam proses pembelajaran bahasa Inggris membuat organisasi ini menarik apabila dilihat dari segi komunikasi. Dalam prakteknya, para pengajar asing harus menjalani proses komunikasi dengan para siswa-siswi meskipun mereka memiliki latar belakang budaya berbeda. Komunikasi ini tidak bisa dibilang mudah karena perbedaan budaya mampu membuat proses komunikasi rawan kesalahpahaman dan mutual understanding lebih sukar untuk dicapai. Meski demikian, pengajar asing harus terus menyampaikan pesan dalam rangka membuat para siswa semakin meningkat kemampuan bahasa Inggrisnya. Para siswa juga harus tetap menjalin komunikasi dengan para pengajar asing untuk meningkatkan serta mempraktekkan kemampuan bahasa Inggris mereka.

Studi akomodasi komunikasi pun menjadi menarik dilakukan karena adanya variasi budaya yang dimiliki oleh pengajar tambahan mengingat mereka berasal dari negara yang berbeda-beda. Selama ini, pengajar tambahan yang sudah datang berasal dari Belanda, Jerman, Ceko, Jepang, dan China. Respon siswa-siswi sebagai komunikan tentu sangat terpengaruh

(3)

3

oleh latar belakang komunikator yang dalam kasus ini adalah para pengajar tambahan. Dengan adanya pengajar tambahan dari negara yang berbeda-beda, respon siswa-siswi pun menjadi menarik untuk diteliti karena akan sangat beragam.

Dalam kasus di Stichting Help For Jogja, siswa-siswi mendapatkan kesempatan melakukan akomodasi komunikasi terhadap pengajar tambahan saat mereka sedang melakukan proses pembelajaran bahasa Inggris. Apabila dilihat dari sudut pandang komunikasi antarbudaya, studi akomodasi komunikasi pun menjadi topik yang menarik untuk diteliti dalam kasus di Stichting Help For Jogja. Studi ini menarik dilakukan untuk melihat bagaimana para siswa Stichting Help For Jogja merespon dan menanggapi perbedaan budaya serta perilaku komunikasi yang ada antara mereka dan pengajar asing. Proses akomodasi komunikasi ini pun tidak hanya dipengaruhi latar belakang budaya yang berbeda tetapi juga terpengaruh pada motivasi para siswa untuk belajar bahasa Inggris.

Dari latar belakang tersebut, peneliti menemukan kekhasan dan keunikan pada proses pembelajaran di Stichting Help For Jogja dimana ia melibatkan komunikasi antarbudaya yang dialami kalangan menengah ke bawah secara ekonomi dalam kelas bahasa Inggris. Penelitian ini lantas mencoba untuk menyajikan ilustrasi mengenai proses akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh para siswa dalam proses pembelajaran khususnya pengajaran percakapan bahasa Inggris di Stichting Help for Jogja.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1) Bagaimanakah akomodasi komunikasi siswa-siswi Stichting Help For Jogja dalam proses pembelajaran bahasa Inggris dengan pengajar asing?

(4)

4

2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses akomodasi komunikasi siswa-siswi Stichting Help For Jogja?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Mengetahui akomodasi komunikasi siswa-siswi Stichting Help For Jogja dalam komunikasinya dengan pengajar asing.

2) Mengatahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses akomodasi komunikasi siswa-siswi Stichting Help For Jogja.

1.4.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menjabarkan pentingnya peran komunikasi antarbudaya dalam proses pembelajaran bahasa Inggris di Stichting Help For Jogja. Lebih lanjut, kasus di Stichting Help For Jogja ini diharapkan mampu menjadi bahan refleksi serta evaluasi ke depannya dalam menilik peran komunikasi antarbudaya dalam proses pendidikan pada umumnya.

1.5. Kerangka Pemikiran

1.5.1. Komunikasi Antar Budaya

…Culture in this view is ordered not simply as collection of symbols fitted together by the analyst but as a system of knowledge, shaped and constrained by the way human brain acquires, organizes, and processes information and creates “internal model of reality’ (Keesing dalam Gudykunst, 2003: 15).

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa budaya terbentuk karena otak manusia menerima, mengatur, dan memproses informasi. Definisi tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara budaya dan

(5)

5

komunikasi mengingat komunikasi bisa dijelaskan sebagai proses penyampaian dan interpretasi pesan (informasi). Hal senada disampaikan Edward T. Hall (dalam Gudykunst, 2003: 4) yang menyatakan bahwa ‘budaya adalah komunikasi’ dan ‘komunikasi adalah budaya’. Perkembangan budaya mungkin terjadi karena adanya komunikasi. Komunikasi membuat manusia menjalin interaksi dengan sesamanya sehingga peran, aturan, ritual, hukum, dan pola lainnya pun terbentuk. Pembentukan ini tidak disengaja tetapi merupakan hasil dari interaksi sosial itu sendiri. Dan melalui komunikasi itu pulalah, budaya bisa terus disampaikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Budaya juga memberikan pengaruh pada praktek komunikasi. Orang yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda memiliki pola komunikasi yang berbeda pula berdasarkan budaya yang ia kenal sejak masa kecil. Maka bisa disimpulkan bahwa budaya dibuat, dibentuk, disampaikan, dan dipelajari melalui komunikasi dan praktek komunikasi sendiri dibuat, dibentuk, dan disampaikan melalui budaya.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, budaya dan komunikasi memiliki hubungan yang sangat erat dimana keduanya saling mempengaruhi. Budaya akan mempengaruhi praktek komunikasi seseorang dan komunikasi memungkinkan terbentuknya serta keberlanjutan budaya. Dengan budaya yang berbeda, manusia akan memiliki pola komunikasi yang berbeda pula.

Komunikasi yang terjadi di antara produsen pesan dan penerima pesan yang memiliki budaya berbeda lantas dinyatakan sebagai komunikasi antarbudaya (Samovar dan Porter dalam Liliweri, 2002: 12). Komunikasi antar budaya sendiri mengacu pada banyak aspek, baik itu budaya dalam suku tertentu, budaya dalam negara tertentu, atau bahkan budaya pada keluarga tertentu. Untuk itu, Samovar, Porter, dan Stefani (1998: 48) menjelaskan beberapa istilah yang bisa digunakan untuk memfokuskan diri pada dimensi dan bentuk komunikasi antarbudaya yakni

(6)

6

interracial communication, interethnic communication, dan intracultural communication.

Interracial communication atau komunikasi antarras terjadi apabila sumber pesan dan penerima pesan berasal dari ras yang berbeda. Sebuah ras mengacu pada kelompok orang-orang yang memiliki kemiripan secara biologis (Gudykunst, 2003: 18). Samovar, Porter, dan Stefani (1998: 49) juga menyatakan bahwa istilah ras mengacu pada ciri-ciri fisik. Perbedaan ciri fisik ini tidak dipungkiri juga memberikan pengaruh kepada komunikasi seseorang. Pengaruh ini bisa berupa prasangka yang mengacu pada stereotip dan diskriminasi (Samovar, 1998: 49).

Interethnic communication atau komunikasi antaretnis adalah komunikasi yang terjadi antar orang-orang yang berasal dari etnis yang berbeda. Etnis (Gudykunst, 2003: 18) adalah kelompok orang yang memiliki warisan budaya yang sama dan biasanya berasal dari kebangsaan dan bahasa yang sama pula. Contohnya adalah kelompok orang keturunan India di Sumatera Utara. Suatu etnis bisa terdiri dari beberapa ras dan sebaliknya, suatu ras bisa terdiri dari beberapa etnis (Gudykunst, 2003: 18).

Intracultural communication adalah pertukaran pesan antara anggota dari kultur dominan (Samovar, 1998: 49), misalnya antara orang Jepang dengan orang Jepang atau orang Brazil dengan orang Brazil.

Seiring dengan perkembangan studi komunikasi antarbudaya, riset yang dilakukan tidak lagi hanya menyangkut budaya, ras, atau etnis. Penelitian mengenai komunikasi antarbudaya bisa dilakukan pada subjek-subjek penelitian yang cakupannya lebih luas, mulai dari aspek sosial, politik, maupun ekonomi yang memungkinkan adanya kontak antar individu yang memiliki latar belakang yang berbeda. Fenomena dalam dunia pendidikan pun bisa diteliti dan ditelaah dari sudut pandang komunikasi antarbudaya.

(7)

7

Dalam penelitian kali ini, penulis mencoba untuk mengamati komunikasi antar budaya yang terjadi antara siswa-siswi Indonesia dengan pengajar yang tidak berasal dari Indonesia. Oleh sebab itu, komunikasi antarbudaya yang dimaksudkan dalam penelitian kali ini adalah komunikasi antar ras dan/atau komunikasi antar etnis dimana kedua belah pihak yang berkomunikasi berasal dari lokasi yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.

1.5.2. Akomodasi Komunikasi

Komunikasi yang terjadi di antara produsen pesan dan penerima pesan yang memiliki budaya berbeda dinyatakan sebagai komunikasi antarbudaya (Samovar dan Porter dalam Liliweri, 2002: 12). Komunikasi antarbudaya memiliki ciri khas dimana komunikasi ini melibatkan orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda mulai dari bahasa, makanan, cara berpakaian, tingkah laku, kebiasan-kebiasaan, sampai perilaku sosial.

Perbedaan latar belakang budaya membawa pengaruh tertentu yakni perbedaan pola penyampaian serta penerimaan pesan. Saat berkomunikasi dengan orang lain, seorang individu belum tentu mampu mencapai pemahaman yang sama. Komunikator akan mengubah caranya berbicara atau kata-kata yang digunakan berdasarkan pada lawan bicaranya. Sebagai contoh, seorang guru taman kanak-kanak akan menyesuaikan penggunaan kosakatanya sesuai dengan tingkat pengetahuan anak-anak didiknya. Salah satu cara dalam berkomunikasi untuk mencapai mutual understanding seperti contoh tersebut dinamakan dengan akomodasi komunikasi.

Akomodasi didefinisikan sebagai kemampuan menyesuaikan, memodifikasi atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain (West dan Lynn Turner, 2008: 217). Istilah akomodasi juga mengacu pada cara-cara dimana individu mengamati interkasi atau

(8)

8

mungkin menyesuaikan perilaku mereka selama interaksi (Miller, 2002: 141). Komunikasi antara individu yang berasal dari kelompok berbeda akan menarik perhatian individu untuk memberikan perhatiannya serta memicu munculnya respon untuk memodifikasi atau mengatur perilakunya agar pesan di antara keduanya dapat tersampaikan dengan baik. Proses inilah yang dinamakan dengan akomodasi komunikasi.

Proses akomodasi komunikasi telah dirangkum oleh Howard Giles dalam sebuah teori komunikasi yakni communication accommodation theory (CAT). Communication Accommodation Theory atau bisa disebut CAT adalah teori komunikasi yang mengacu pada proses bagaimana komunikator mengakomodasi atau beradaptasi satu sama lain. Akomodasi komunikasi muncul berdasarkan pada motivasi individual dalam menentukan tindakan apa yang akan mereka lakukan karena akomodasi komunikasi adalah proses yang opsional (West and Turner, 2008: 225).

Giles merumuskan proses akomodasi komunikasi ke dalam empat tahapan yakni sociohistorical context, accommodative orientation, immediate situation, dan evaluation ad future intentions. Tahapan-tahapan menjelaskan bagaimana latar belakang budaya, identitas personal, situasi saat komunikasi terjadi, serta motivasi individu mampu mempengaruhi proses akomodasi apabila seseorang sedang melakukan komunikasi dengan orang yang memiliki latar belakang budaya berbeda.

Kedua belah komunikator akan memodifikasi pola komunikasi mereka berdasarkan keempat tahapan tersebut dalam upaya memudahkan pemahaman satu sama lain atau bisa juga untuk menegaskan perbedaan di antara mereka. Modifikasi sebagai bentuk akomodasi atau adaptasi untuk mencapai komunikasi yang efisien biasanya disebut dengan konvergensi. Sedangkan akomodasi yang cenderung mempertegas perbedaan ini sering disebut dengan divergensi.

Konvergensi adalah strategi dimana individu beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain (Giles, Nikolas Coupland, dan Justine

(9)

9

Coupland dalam West & Turner, 2008: 222). Konvergensi juga mengacu pada kecenderungan individu untuk mengadaptasikan perilaku komunikasi mereka menjadi lebih mirip dengan lawan bicara (Giles & Noels dalam Gudykunst, 2002: 229). Adaptasi komunikasi ini mengacu pada penyelarasan kecepatan bicara, jeda, senyuman, tatapan mata, serta perilaku verbal dan nonverbal lainnya.

Konvergensi ini tidak serta merta dilakukan komunikator namun bergantung pada persepsi komunikator serta didasarkan pada ketertarikan terhadap lawan bicara. Giles dan Smith (dalam West & Turner, 2008: 223) percaya bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi ketertarikan kita terhadap orang lain antara lain adalah kemungkinan akan interaksi berikutnya, kemampuan mereka untuk berkomunikasi, dan perbedaan status antara kedua komunikator.

Berbeda dengan konvergensi, pembicara yang melakukan akomodasi divergensi cenderung menonjolkan perbedaan verbal dan nonverbal di antara mereka sendiri dan orang lain (Giles dalam West & Turner, 2008: 225). Alih-alih menunjukkan bagaimana dua pembicara mirip dalam kecepatan bicara, tindak-tanduk atau postur, divergensi adalah ketika tidak terdapat usaha untuk menunjukkan persamaan antara para pembicara (West & Turner, 2008: 225). Dengan kata lain, dua orang berbicara dengan satu sama lain tanpa adanya kekhawatiran mengenai mengakomodasi satu sama lain (West & Turner, 2008: 226).

Dalam interaksi dengan orang yang berasal dari budaya yang berbeda, akomodasi komunikasi baik yang divergen maupun konvergen bisa dilihat melalui bahasa baik verbal maupun nonverbal. Tiap bentuk akomodasi memunculkan ciri khas yang bisa dijadikan sebagai indikator apakah seseorang melakukan akomodasi konvergen atau divergen. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:

(10)

10

Tabel 1. Diagram Konvergensi dan Divergensi (Diambil dari Gudykunst, 2002: 227)

Akomodasi yang konvergen ataupun divergen dapat dilihat dari tiga elemen yakni perilaku nonverbal, bahasa, dan paralanguage (Gallois, Giles, Jones, Cargile, & Ota, 1995). Ketiga elemen tersebut mengindikasikan kecenderungan strategi akomodasi yang dilakukan oleh seseorang apabila berhadapan dengan orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda.

1. Non Verbal

Pesan yang disampaikan tidak menggunakan bahasa atau kata-kata dinamakan dengan pesan nonverbal. Menurut Burgoon dan

(11)

11

Saine (dalam Samovar dan Porter, 1998: 31), komunikasi nonverbal dapat dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain untuk bertukar makna yang dikirimkan dan diterima secara sadar untuk mendapatkan umpan balik atau mencapai tujuan tertentu. Komunikasi ini meliputi ekspresi wajah, kontak mata, gerak tubuh, serta tindakan lain yang mengandung pesan namun tidak menggunakan kata-kata.

Perilaku nonverbal dapat pengamatan akomodasi komunikasi dapat dilihat dari kecenderungan sikap individu dengan kelompoknya sendiri; apakah ia melakukan penolakan pada kelompoknya demi berkomunikasi dengan lawan bicaranya atau justru ia mempertegas keanggotaannya dalam kelompok. Kecenderungan tersebut diamati dari beberapa hal yakni gerakan tubuh, senyum, dan pandangan mata.

2. Bahasa

Dari segi bahasa, akomodasi komunikasi dapat dilihat dari pemilihan kata dan penggunaan bahasa itu sendiri. Apakah pembicara cenderung menggurui lawan bicaranya atau dia mencoba berbicara menyerupai lawan bicaranya? Pemilihan topik, sarkasme, serta interupsi dalam percakapan bisa menjadi bahan pengamatan dalam melihat strategi akomodasi komunikasi seseorang dari sudut pandang bahasa.

3. Paralanguage

Paralanguage adalah bagian dari komunikasi nonverbal tetapi ia lebih spesifik mengacu pada pesan nonverbal yang mengarah pada elemen variasi vokal. Variasi vokal seseorang berbeda-beda berdasarkan latar belakang budaya masing-masing. Berikut variasi vokal yang dinyatakan oleh Fred Jandt (2010: 118):

(12)

12

 Kualitas vokal. Kualitas vokal meliputi kuat atau lemahnya suatu intensitas suara, tinggi atau rendahnya pitch suara, panjang atau pendeknya suara, serta keras, lembut, serius, dan santainya tekanan suara.

 Ciri vokal. Ciri vokal meliputi bunyi suara seseorang saat ia sedang tertawa, menangis, berteriak, menguap, atau berbisik.

 Pembatasan vokal. Pembatasan vokal adalah ragam suara yang terlihat dalam setiap kata atau frase. Satu kata mungkin dapat diucapkan dengan nada suara yang halus atau kasar.

 Pemisahan vokal. Pemisahan vokal meliputi faktor yang mengandung irama dan mempunyai kontribusi pada tahap pembicaraan, misalnya membuat suara ‘Umm’,’Ah’.

Pengamatan pada paralanguage dalam konteks akomodasi komunikasi mengacu pada aksen, dialek, idiom, jeda, serta hal-hal lain yang dimodifikasi pembicara saat ia sedang berkomunikasi verbal. Fonologi-fonologi tersebut bisa dimodifikasi untuk menunjukkan strategi akomodasi komunikasi baik konvergen maupun divergen. Hal inilah yang akan diamati oleh peneliti dalam penelitian kali ini.

Dalam kasus di dunia pendidikan, siswa-siswi lokal dan pengajar asing memiliki pola komunikasi yang berbeda yang dikarenakan latar belakang budaya yang berbeda. Respon siswa-siswi yang muncul dalam bentuk proses akomodasi komunikasi lantas dapat diamati dari bahasa, nonverbal, serta paralanguage yang digunakan untuk mengetahui apakah mereka melakukan akomodasi konvergen atau divergen.

(13)

13

1.6. Model Penelitian

Tabel 2. Model Penelitian

Akomodasi Komunikasi Komunikasi Antar Budaya

Pengajar berlatar belakang

budaya berbeda

Penggunaan Bahasa Paralanguage

Perilaku Non Verbal

Konvergen Divergen  Ingroup rejection  Smiling, gaze, gesture  Outgroup language nativelike pronounciation  Accent  Topic choice  Outgroup rejection  Physical boundaries  Ingroup language with normal speech rate  Accent  Topic choice

(14)

14

1.7. Kerangka Konsep

Berikut adalah kerangka konsep penelitian mengenai akomodasi komunikasi siswa worker class di Stichting Help for Jogja dalam proses pembelajaran bahasa Inggris dengan pengajar asing di dalam kelas:

1.7.1. Komunikasi Antar Budaya

Dalam penelitian ini, komunikasi antar budaya yang dimaksud adalah komunikasi antara siswa-siswi Stichting Help For Jogja dengan pengajar asing. Pengajar asing ialah orang yang berasal dari kewarganegaraan non Indonesia yang sedang melakukan volunteer di Stichting Help For Jogja sehingga latar belakang budaya mereka dengan latar budaya para siswa yang berasal dari Yogyakarta, Indonesia.

1.7.2. Akomodasi Komunikasi

Akomodasi komunikasi dalam penelitian ini adalah akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh para siswa worker class di Stichting Help For Jogja saat sedang berkomunikasi dengan pengajar asing.

Akomodasi komunikasi tersebut dinilai dari tiga elemen utama yakni penggunaan bahasa, paralanguage, dan perilaku nonverbal.

1.7.2.1. Bahasa

Dalam penelitian ini, bahasa adalah komunikasi verbal yang dilakukan oleh siswa-siswi Stichting Help For Jogja dalam kelas bahasa Inggris bersama dengan pengajar asing. 1.7.2.2. Paralanguage

Paralanguage dilihat dari aksen, dialek, jeda, serta tempo. Karena worker class merupakan kelas pembelajaran bahasa

(15)

15

Inggris, fokus pada elemen paralanguage akan cenderung mengacu pada aksen para siswa serta pengajar asing.

1.7.2.3. Perilaku Nonverbal

Perilaku nonverbal adalah bentuk komunikasi tanpa menggunakan bahasa verbal. Dalam penelitian ini, perilaku nonverbal yang akan diamati berupa postur tubuh, gerakan tangan, arah pandangan mata, serta ekspresi wajah para siswa saat berada di dalam kelas bersama dengan pengajar asing.

1.7.3. Konvergen dan Divergen

Konvergen dan divergen adalah strategi akomodasi komunikasi yang mungkin dilakukan oleh para siswa di dalam kelas. Setelah melakukan penelitian atas ketiga elemen di atas, akan diteliti kecenderungan strategi komunikasi para siswa serta menentukan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.

Sfnkosskf

1.8. Metodologi Penelitian

1.8.1. Metode Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan kali ini keberhasilannya sangat bergantung pada pengamatan mendalam pada sebuah topik. Oleh sebab itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, dimana metode kualitatif mencoba mengungkap dan memahami secara lebih mendalam dan terperinci. Menurut Taylor dan Bogdan (dalam Basrowi, 2008: 1) penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati.

Peneliti akan mempelajari proses akomodasi komunikasi yang dilakukan siswa-siswi saat mereka berinteraksi dengan

(16)

16

pengajar asing dalam rangka mempelajari bahasa Inggris. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, metode penelitian yang akan digunakan pada penelitian kali ini ialah metode etnografi karena dirasa paling tepat dan sesuai dengan jenis penelitian yang mencoba untuk menjelaskan proses akomodasi suatu kelompok yang berhadapan dengan budaya lain.

Etnografi adalah sebuah metode penelitian kualitatif yang mana peneliti mencoba mendeskripsikan dan menginterpretasi sebuah kelompok yang berbagi budaya (Creswell, 2007: 78). Etnografi mengajak peneliti melakukan observasi langsung sehingga membantu peneliti untuk memahami bagaimana subjek penelitian memandang pengalaman mereka. Penelitian dengan metode etnografi memfokuskan pengumpulan data dengan observasi dan wawancara tetapi tidak menutup kemungkinan untuk mengumpulkan data dari sumber-sumber yang lain.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti akan mencoba melakukan penelitian dengan pendekatan etnografi realis. Etnografi realis bertujuan untuk memberikan penjelasan yang obyektif mengenai sebuah kelompok dan biasanya ditulis menggunakan sudut pandang orang ketiga serta laporannya bersifat obyektif berdasarkan pada informasi yang partisipan yang berada di tempat kejadian (Creswell, 2007: 69). Dengan pendekatan tersebut, peneliti diharapkan mampu melihat bagaimana proses akomodasi komunikasi siswa-siswi di Stichting Help For Jogja dalam berinterkasi dengan pengajar asing).

1.8.2. Subjek dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di sebuah lembaga pendidikan Stichting Help For Jogja yang beralamatkan di Timuran MG III/ No.104A Yogyakarta, Indonesia.

(17)

17

Subjek penelitian yang akan diteliti adalah siswa-siswi di Stichting Help For Jogja di worker class. Sedangkan objek yang akan diteliti adalah proses akomodasi siswa-siswi Stichting Help For Jogja Help For Jogja di worker class saat mereka berinterkasi dengan pengajar asing. Worker class dipilih karena siswa-siswinya bukan lagi pelajar di sekolah maupun universitas melainkan sudah bekerja sehingga mereka langsung mengaplikasikan ilmu yang diterima di Stichting Help for Jogja dalam profesi mereka masing-masing. Selain itu, kurikulum di worker class memiliki keunikan dibandingkan kelas lain yang berisikan siswa-siswi yang masih berada di bangku sekolah. Di kelas yang lain, materi pengajaran seringkali mengacu pada kurikulum pendidikan formal.

Siswa-siswi worker class di Stichting Help For Jogja adalah orang asli Yogyakarta sehingga tidak memunculkan diferensiasi latar belakang budaya yang kompleks.

1.8.3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data dan informasi penelitian kali ini ialah pengamatan atau observasi dan wawancara mendalam. Observasi yang dimaksud disini adalah deskripsi secara sistematis tentang kejadian dan tingkah laku dalam setting kejadian yang sudah ditentukan yakni pada saat proses belajar mengajar. Sedangkan wawancara mendalam adalah teknik pengumpulan data yang didasarkan pada percakapan intensif dengan suatu tujuan.

1. Observasi. Pengumpulan data dengan cara observasi dilakukan dengan peneliti datang langsung menuju kantor Stichting Help For Jogja untuk mengamati proses komunikasi pada saat pembelajaran bahasa Inggris dengan pengajar asing.

(18)

18

Hal-hal yang akan menjadi fokus observasi ialah ketiga indikator yakni penggunaan bahasa nonverbal, bahasa, serta paralanguage para siswa-siswi saat sedang melakukan proses belajar mengajar dengan pengajar asing.

2. Wawancara. Pengumpulan data dengan teknik ini dilakukan dengan mewawancarai siswa-siswi worker class di Stichting Help For Jogja serta pengajar asing. Wawancara akan dilakukan secara terbuka, maksudnya si peneliti memiliki konsep yang terarah meskipun tidak memberikan pilihan jawaban kepada informan, sehingga informan tetap menjawab sesuai dengan konteks penelitian meskipun secara informal. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan latar belakang historis kebudayaan, konteks akomodatif, serta orientasi akomodasi komunikasi para siswa-siswi. Wawancara juga akan dilakukan kepada pengurus Stichting Help For Jogja untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan mengenai operasional Stichting Help For Jogja dan informasi-informasi terkait.

Agar lebih komprehensif peneliti juga mengumpulkan dokumen pendukung yang berisi informasi serta melakukan studi pustaka dalam pengumpulan data. Data sekunder berupa dokumen serta studi pustaka terkait berguna memperkuat keabsahan data yang dikumpulkan.

3. Dokumen. Teknik pengumpulan data dengan metode dokumen digunakan untuk mengumpulkan data yang berasal dari dokumen-dokumen seperti data siswa-siswi serta

(19)

19

informasi-informasi penting lainnya terkait organisasi dan siswa-siswi Stichting Help For Jogja.

4. Studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mencari tahu mengenai konsep, definisi, dan teori mengenai aspek-aspek penelitian, yaitu akomodasi komunikasi. Dari hasil studi pustaka tersebut peneliti menganalisis data dan merasionalisasi hasil analisis dengan konsep atau teori yang peneliti dapatkan. Dengan demikian, analisis peneliti bisa lebih komprehensif dan rasional.

1.8.4. Analisis Data

Dalam metode etnografi, analisis data yang akan dilakukan ialah dengan pertama-tama mengorganisir dan mengarsipkan data-data yang diperoleh dari lapangan. Pengorganisasian data-data dilakukan untuk mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Dalam usaha pengklasifikasian dan pengorganisasan data, hal pertama yang akan dilakukan adalah dengan membaca secara teliti seluruh data yang diperoleh dari semua teknik pengumpulan data.

Creswell (2007: 161) merekomendasikan tiga aspek analisa data untuk penelitian etnografi yang disampailan oleh Walcott yakni deskripsi, analisis, dan interpretasi atas kelompok yang berbagi budaya. Walcott percaya bahwa menuliskan sebuah hasil penelitian etnografi bertujuan untuk mendeskripsikan suatu kelompok yang berbagi budaya dan keadaannya.

Description is the foundation upon which qualitative research is build...Here you become storyteller, inviting reader to see through your eyes what you have seen... Start by presenting a straightforward description of the setting and

(20)

20

events. No footnotes, no intrusive analysis–just the facts, carefully presented and interestingly related at an appropriate level of detail (Walcott dalam Creswell, 2007: 162).

Analisis data dalam penelitian kali ini dilakukan untuk mencari pola keteraturan dalam data. Setelah itu, peneliti mencoba untuk mendeskripsikan dan menyajikan gambaran atas keadaan sosial subjek penelitian, aktor-aktornya, kejadian-kejadian yang terjadi secara kronologis. Dalam menganalisis, peneliti akan menginterpretasi temuannya di lapangan mengenai bagaimana budaya ‘bekerja’.

Hasil penelitian nantinya akan disajikan dalam bentuk catatan deskriptif yang menggambarkan dan menjabarkan situasi serta konteks yang berlangsung apa adanya secara mendetail dan tanpa dilebih-lebihkan. Peneliti lalu akan menyajikan hasil analisa data melalui presentasi naratif yang mungkin dilengkapi dengan tabel, angka-angka, dan sketsa.

Gambar

Tabel 1. Diagram Konvergensi dan Divergensi   (Diambil dari Gudykunst, 2002: 227)
Tabel 2. Model Penelitian Akomodasi Komunikasi Komunikasi Antar Budaya

Referensi

Dokumen terkait

Berbagi linkmelalui note dapat dilakukan oleh guru Anda, kawan-kawan Anda, maupun Anda sendiri. Apabila Anda ingin berdiskusi atau menanyakan sesuatu melalui

7.4.1 Laksana pelepasan, rujuk buku Panduan Ternakan Ikan Air Tawar (OPR/TPU/BP/TERNAKAN/Ikan Air Tawar) atau Modul AFS2001 Siri 6 – Penternakan Hidupan Akuatik dan rekodkan

Perbedaan muatan kurikulum di SMA dan MA, masalah-masalah yang dihadapi remaja pada jenjang sekolah menengah serta perbedaan hasil penelitian dari Rosemary (2008) yang menyebutkan

Berikut merupakan salah satu contoh pengujian yang dilakukan pada aplikasi ARMIPA yaitu pengujian ketepatan titik lokasi pada peta dan kamera dengan markerless

Komunikasi dan Informatika, yang mencakup audit kinerja atas pengelolaan keuangan negara dan audit kinerja atas pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Komunikasi dan

dimana analisis mutu dilakukan pengujian dilaboratorium yang meliputi uji kuat tarik untuk material baja ringan benda uji dibuat menjadi spesimen berdasarkan standar ASTM

Pada Ruang Baca Pascasarjan perlu dilakukan pemebersihan debu baik pada koleksi yang sering dipakai pengguna maupun

Menurut teori hukum Perdata Internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai