• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Rantai Nilai dan Nilai Tambah Industri Shuttlecock (Studi Kasus: Industri Kecil Shuttecock Jempol)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Rantai Nilai dan Nilai Tambah Industri Shuttlecock (Studi Kasus: Industri Kecil Shuttecock Jempol)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Rantai Nilai dan Nilai Tambah Industri

Shuttlecock (Studi Kasus: Industri Kecil

Shuttecock Jempol)

Dhila Hapsari(1), Eko Liquiddanu(2), Eko Pujiyanto(3)

(1),(2),(3) Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta, 57126.

(1) dhilahapsari17@gmail.com, (2)liquiddanu@gmail.com, (3)ekopujiyanto@ft.uns.ac.id

ABSTRAK

Daya saing industri kecil (IK) shuttlecock di Surakarta masih kalah bersaing dengan industri sedang dalam segi kualitas produk. Produk yang diproduksi IK tersebut hanya memenuhi beberapa persyaratan yang dicantumkan oleh BWF, sehingga harga jualnya lebih murah dibandingkan produk nasional. Untuk memasuki pasar nasional industri kecil dituntut untuk menyusun kembali strategi bisnisnya. Value chain merupakan suatu strategi untuk mencapai keuntungan dengan cara mengevaluasi dan memanfaatkan setiap aktivitas dalam perusahaan untuk mencapai hasil yang terbaik. Tujuan dari artikel ini adalah untuk meningkatkan kualitas produk agar dapat menembus pasar nasional dengan menganalisa kegiatan value chain dan value added pada industri shuttlecock Jempol. Hasil dari artikel ini adalah terdapat tiga aktor dalam rantai nilai industri shuttlecock Jempol yaitu produksi pemotongan, produksi assembly dan produksi finishing. Didapatkan hasil perhitungan distribusi nilai tambah shuttlecock diperoleh

tempat pemotongan ayam memiliki distribusi nilai tambah sebesar Rp 11,520 atau 52.13%, industri shuttlecock sebesar Rp 5,580 atau 25.62% dan toko olahraga sebesar Rp 5,000 atau 22.62%.

Kata kunci— Nilai Tambah, Rantai Nilai, Shuttlecock

I. PENDAHULUAN

Dalam peningkatan pertumbuhan perekonomian nasional, salah satu sektor yang berperan dalam adalah sektor industri. Pada era globalisasi sektor industri yang didukung oleh sektor pertanian yang tangguh, industri kecil dan kerajinan menjadi perhatian dari segala pihak. Masyarakat desa biasanya mampu dengan prakarsa dan dengan kekuatan sendiri menumbuhkan industri kecil, dimana industri kecil di Indonesia mempunyai peluang yang besar untuk berkembang, sehingga pemerintah tinggal membantu dengan fasilitas-fasilitas dan kemudahan-kemudahan serta perlindungan yang diperlukan. (Dumairy, 1997).

Peraturan Daerah pasal 6 ayat 1c tahun 2012 menyebutkan bahwa memperkuat kota agar dapat berfungsi dan berpotensi sebagai pusat kegiatan industri kreatif dan jasa skala nasional. Salah satu industri kreatif yang berpotensi di Surakarta adalah industri shuttlecock. Daya saing industri kecil shuttlecock masih kalah bersaing dengan industri sedang dalam segi kualitas produk. Produk yang diproduksi oleh pengrajin lokal dipasaran hanya memenuhi beberapa persyaratan yang dicantumkan oleh BWF, sehingga harga jual produk lokal lebih murah dibandingkan produk nasional.

Spesifikasi shuttlecock yang ditetapkan oleh Badminton World Federation (BWF) adalah sebagai berikut:

1. Jumlah bulu pada shuttlecock adalah 16 buah bulu.

2. Semua bulu harus memiliki panjang yang sama yaitu antara 62 mm dan 70 mm.

3. Ujung dari bulu-bulu membentuk lingkaran dengan panjang diameter antara 58 mm dan 68 mm.

4. Semua bulu harus tergabung menjadi satu kesatuan yang kuat.

5. Pangkal shuttlecock yang berbentuk setengah bola harus memiliki panjang diameter antara 25 mm dan 28 mm.

(2)

Menurut Porker (1994), diperlukan strategi bersaing yang baik pula agar perusahaan dapat meningkatkan daya saing. Salah satu strategi yang dapat membantu permasalahan ini adalah dengan menganalisa value chain. Value chain merupakan suatu strategi untuk mencapai keuntungan dengan cara mengevaluasi dan memanfaatkan setiap aktivitas dalam perusahaan untuk mencapai hasil yang terbaik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas produk agar dapat menembus pasar nasional dengan menganalisa kegiatan value chain dan value added pada industri shuttlecock Jempol. Metodologi dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan studi lapangan. Dari studi lapangan lalu dilakukan analisis rantai nilai, kemudian dilakukan perhitungan nilai tambah pada setiap aktivitas perusahaan dan dilakukan benchmarking dengan industri yang telah memasuki pasar nasional.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

Industri shuttlecock lokal yang dijadikan subjek peta rantai nilai adalah industri shuttlecock JEMPOL yang berlokasi di Pringgolayan RT 01 RW 10 Kelurahan Tipes Kecamatan Serengan. Industri ini mulai berdiri pada tahun 1992 dan saat ini dikelola oleh Bapak Galuh. Industri ini memproduksi shuttlecock dengan sistem make to order. Industri shuttlecock ini memproduksi 2 merk utama yaitu Jempol dan Metro, dimana shuttlecock Metro yang akan dijadikan objek penelitian. Analisa rantai nilai yang dikembangkan Porter (1994) merupakan suatu alat yang berguna untuk mengidentifikasi aktivitas-aktivitas potensial yang menciptakan nilai (value-creating potensial). Analisis rantai nilai dilakukan dengan cara menguraikan aktivitas-aktivitas perusahaan dapat dibagi menjadi sembilan kegiatan yang bernilai (value creation) yaitu lima kegiatan inti dan empat kegiatan pendukung.

Kegiatan-kegiatan inti dalam suatu perusahaan terdiri dari kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan input dan output barang dan jasa yang ada dalam perusahaan. Kegiatan inti perusahaan terdiri dari logistik ke dalam (inbound logistic), operasi (operation), logistik ke luar (outbound logistic), pemasaran dan penjualan (marketing & sales), dan pelayanan (service). Aktivitas-aktivitas inti pada industri shuttlecock kemudian dianalisis seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1 Aktivitas Inti Aktivitas

Aktivitas

Perusahaan Keterangan

Logistik ke dalam

Bahan baku Bahan baku yang digunakan berupa: bulu ayam yang dipasok dari Jakarta, Spon yang dipasok dari Surabaya (impor dari negara Taiwan)

Gudang bahan baku

Terdapat gudang bahan baku Pengendalian

Persediaan

Jumlah pemesanan bahan baku disesuaikan dengan jumlah permintaan.

Operasi Proses operasi 1. Menyeleksi bulu berdasarkan kualitas bulu yang terbagi dalam kualitas I dan II

2. Bulu dipotong pada ujung bulunya agar berbentuk setengah melingkar atau melengkung, selanjutnya diseset atau diporem (ujung bulu melengkung)

3. Bulu dicuci menggunakan bahan deterjen dengan dicampur pemutih

4. Menjemur bulu hingga kering

5. Menyeleksi bulu berdasarkan tulang bulu, dipisah antara bulu bagian kanan dan bagian kiri sehingga satu produk terdiri dari jenis bulu yang sama untuk menjaga keseimbangan shuttlecock bagus

(3)

Operasi Proses operasi 6. Melubangi spon / dop sebanyak 16 lubang 7. Meluruskan bulu meluruskan dengan alat lampu teplok

8. Penancapan bulu pada spon/dop lubang-lubang yang telah ada, yaitu sebanyak 16 batang

9. Menali bulu dengan cara mengepres bulu pada alat berbentuk kerucut dan batang bulu ditali untuk

memperkokoh posisi bulu 10. Menyetel Shuttlecock 11. Mengepres dan mengelem

12. Menjemur untuk mengeringkan lem 13. Memasang label

14. Memasukkan bola bulu tangkis ke dalam slop dos 15. Menyegel slop dos dengan menggunakan mika plastik

16. Mengemas slop dos ke dalam packing karton.

Pengujian Produk

Pengujian produk dilakukan pada proses produksi menggunakan alat supit.

Logistik ke luar

Gudang barang jadi

Terdapat gudang barang jadi Pengiriman

barang

Pengiriman barang dilakukan menggunakan kendaraan pribadi dan paket kereta api apabila daerah pengiriman diluar provinsi

Pemasaran dan Penjualan

Daerah pemasaran

Daerah pemasaran yaitu Bandung, Yogyakarta, dan Solo Promosi Promosi produk hanya dilakukan diawal usaha berdiri Kuota penjualan Kuota penjualan hanya dibatasi oleh kemampuan produksi Penetapan harga

jual produk

Penetapan harga jual produk disesuaikan dengan wilayah pengiriman serta kualitas barang yang digunakan

Pelayanan Pelayanan penyesuaian produk

Produk yang diproduksi mengikuti permintaan kualitas bahan baku yang digunakan (bulu ayam)

Sumber: Data primer 2017 (diolah)

Kegiatan-kegiatan pendukung di dalam suatu perusahaan merupakan kegiatan memfasilitasi proses memproduksi suatu produk. Kegiatan pendukung terdiri dari procurement, manajemen sumber daya manusia, pengembangan teknologi dan infrastruktur perusahaan seperti yang dijabarkan pada tabel 2.

Tabel 2 Aktivitas Pendukung

Aktivitas Variabel Keterangan

Procurement Pemasok Terdapat beberapa alternatif pemasok bulu ayam Bahan Baku Pembelian bahan baku dilakukan rata-rata dalam

jangka waktu 1 bulan Manajemen dan

sumber daya manusia

Prosedur perekrutan SDM

Tenaga kerja umumnya berasal dari masyarakat sekitar tempat usaha dengan sistem borongan Pelatihan SDM Tenaga kerja baru akan diberikan pelatihan dan

(4)

Pengembangan teknologi

Pengembangan teknologi (inovasi)

Tidak ada pengembangan teknologi yang dilakukan karena tidak adanya alokasi dana khusus untuk pengembangan teknologi

Infrastruktur Perusahaan

Susunan manajemen

Semua kegiatan usaha ditangani oleh pemilik usaha Sistem keuangan Tidak terdapat pembukuan keuangan

Sumber: data primer 2017 (diolah)

Didalam rantai nilai shuttlecock terdapat 3 aktor yang berperan, yaitu tempat pemotongan ayam dan pedagang bahan baku penolong, industri kecil shuttlecock terdiri 3 tempat aktor, yaitu produksi 1 yang merupakan tempat yang melakukan pemotongan bulu, produksi 2 yang merupakan tempat untuk melakukan perakitan dan produksi 3 yaitu tempat finishing, dimana tempat produksi 3 merupakan rumah pemilik usaha yang digunakan sebagai tempat produksi sedangkan produksi 1 dan produksi 2 merupakan rumah pekerja borongan yang membawa bahan dari produksi 3 untuk dikerjakan di rumah sendiri, dan toko olahraga. Aktor rantai nilai dapat dilihat di Gambar 1 berikut ini:

Gambar 1 Aktor Rantai Nilai Shuttlecock

Perhitungan nilai tambah pada setiap aktor yang terlibat dalam rantai nilai industri shuttlecock dilakukan untuk mengetahui distribusi nilai tambah setiap aktor. Distribusi nilai tambah industri shuttlecock masih lebih kecil dari pemasok bulu ayam seperti yang terlihat pada tabel 3.

Tabel 3 Distribusi Nilai Tambah Industri Shuttlecock

Aktor

Nilai Output (Rp)

Nilai Input (Rp)

Distribusi Nilai Tambah

Rp %

Pemasok Bulu Ayam 11520 0 11520 52.13 Industri Shuttlecock 47000 41420 5580 25.25 Toko Olahraga 52000 47000 5000 22.62

Total 110520 88420 22100 100.00

Sumber: Data primer 2017 (diolah)

Perhitungan nilai tambah pada industri shuttlecock, dimana pekerja produksi 1 dan 2 merupakan pekerja borongan yang mengambil bahan baku serta dibayar oleh produksi 3 sebesar Rp 8000/slop sedangkan biaya produksi 3 mempertimbangkan biaya bahan baku karena pengadaan bahan baku ditanggung oleh produksi 3. Sehingga nilai tambah dihitung dengan harga jual 1 slop – biaya produksi 1 slop (biaya tenaga kerja produksi 1 dan 2 ditambah biaya bahan baku produksi 3). Biaya produksi untuk menghasilkan 1 slop shuttlecock ditunjukkan pada tabel 4.

(5)

Tabel 4 Nilai Tambah Industri Shuttlecock

Jenis Biaya Biaya Biaya Total Nilai Tambah

Tenaga Kerja Rp 16,000 34.04% Bahan baku Rp 25,420 54.09% Bulu ayam Rp 11,520 Spon / Dop Rp 5,200 Tali Rp 550 Lem Rp 1,750 Pita Rp 600 Kemasan Rp 800 Listrik Rp 5,000 Biaya Produksi Rp 41,420 88.13% Nilai Jual Rp 47,000 Profit Rp 5,580 11.87%

Sumber: Data primer 2017 (diolah)

Kualitas shuttlecock yang mampu menembus pasar nasional merupakan shuttlecock yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh BWF, sehingga untuk dapat bersaing dengan produk tersebut industri shuttlecock harus memenuhi persyaratan BWF. Kualitas shuttlecock dipengaruhi oleh semua aktor yang terlibat dalam rantai nilai shuttlecock, sehingga untuk memenuhi hal tersebut dilakukan perbaikan pada setiap aktor.

Tempat pemotongan ayam memasok bulu ayam kering dengan harga Rp 60/ bulu. Bulu diikat dengan tali kemudian dimasukkan ke dalam kardus dan dikirim ke industri shuttlecock. Apabila dalam mengikat bulu terlalu kencang maka dapat merusak tulang bulu yang berakibat menurunkan kualitas bulu.

Pada industri shuttlecock dilakukan benchmarking dengan industri shuttlecock yang telah memasuki pasar nasional, dari hasil benchmarking didapatkan beberapa perbedaan pada beberapa aktivitas perusahaan, yaitu pada aktivitas logistik kedalam dengan indikator pengadaan bahan baku UD. Trisakti melakukan investasi bahan baku berupa bulu angsa untuk dijual kembali dan disimpan untuk mengantisipasi fluktuasi harga bulu dan kelangkaan bulu, sedangkan shuttlecock Jempol melakukan pembelian bulu berdasarkan jumlah pesanan shuttlecock. Pada indikator bahan baku perbedaan yang terjadi yaitu bahan baku yang digunakan pada UD. Trisakti adalah bulu angsa yang terdiri dari kualitas A atau bulu sayap dengan kualitas 1, 2, dan 3 dan kualitas B atau bulu ekor yang terdiri dari kualitas 1, 2, dan 3 sedangkan shuttlecock Jempol menggunakan bahan baku bulu ayam dengan kualitas 1 dan 2. Pada aktivitas operasi, UD. Trisakti menggunakan alat pelubang dop yang mampu melubangi 6 spon/dop, sedangkan shuttlecock Jempol alat pelubang dop hanya mampu melubangi 1 spon/dop. Untuk alat pemotong bulu, UD.Trisakti menggunakan alat dengan pengoperasian alat menggunakan kaki dan mampu memotong bulu untuk shuttlecock bulu runcing (standar International Badminton Federation (IBF) yang menetapkan bentuk ujung bulu shuttlecock adalah runcing), sedangkan shuttlecock Jempol pengoperasian alat menggunakan tangan dan berbentuk bulat. Bentuk ujung bulu dapat mempengaruhi laju shuttlecock, jika ujung bulu bulat akan meluncur lurus sedangkan ujung bulu runcing dapat mengalami 2 macam gerakan yaitu gerak lurus dan berotasi atau berputar. Pada indikator pengujian prosuk, UD.Trisakti memiliki lapangan uji coba untuk shuttlecock yang telah selesai diproses, sebelum dimasukkan kedalam kemasan shuttlecock akan diuji satu per satu untuk mengetahui apakah laju dan stabilitas shuttlecock baik atau tidak, sedangkan shuttlecock Jempol tidak melakukan pengujian diakhir produksi karena tidak memiliki lapangan uji coba sendiri. Pada setiap pengujian produk UD. Trisakti melakukan pencatatan kecacatan produk yang terjadi kemudian dilakukan rework pada produk cacat, sedangkan shuttlecock Jempol tidak ada pencatatan kecacatan produk karena inspeksi hanya dilakukan pada kerapian dan kekencangan benang.

Pada aktivitas logistik ke luar, UD. Trisakti menggunakan agen distributor untuk mendistribusikan produknya ke daerah pemasaran, sedangkan shuttlecock Jempol menggunakan jasa pengiriman untuk daerah Bandung dan kendaraan pribadi untuk daerah di sekitar Kota Surakarta. Pada aktivitas pengembangan teknologi, UD. Trisakti mencoba mengembangkan alat produksi yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi, sedangkan shuttlecock Jempol tidak mengembangkan teknologi karena tidak adanya dana yang dialokasikan untuk pengembangan alat

(6)

produksi. Pada aktivitas infrastruktur perusahaan, UD. Trisakti telah memiliki susunan manajemen sederhana, sedangkan shuttlecock Jempol tidak memiliki susunan manajemen karena pemilik shuttlecock Jempol yang mengawasi dan menangani aktivitas industri. Untuk pembukuan keuangan UD. Trisakti sudah melakukan pembukuan seperti pencatatan pengadaan bahan baku, proses produksi, dan penjualan, sedangkan shuttlecock Jempol tidak ada pembukuan keuangan dimana uang pribadi bercampur dengan uang industri. Dari hasil benchmarking dapat dilakukan beberapa perbaikan seperti pencatatan keuangan sederhana, dan pengujian produk diakhir produksi.

III. PENUTUP

Peningkatan kualitas produk shuttlecock dilakukan dengan pendekatan rantai nilai. Untuk dapat bersaing dengan produk nasional industri shuttlecock harus memenuhi persyaratan BWF, sehingga diperlukan perbaikan berdasarkan hasil benchmarking. Dari hasil benchmarking dapat dilakukan beberapa perbaikan seperti pencatatan keuangan sederhana, pengujian produk diakhir produksi dan pencatatan kualitas hasil produksi untuk upaya perbaikan proses produksi. Hasil perhitungan distribusi nilai tambah shuttlecock diperoleh tempat pemotongan ayam memiliki distribusi nilai tambah sebesar Rp 11,520 atau 52.13%, industri shuttlecock sebesar Rp 5,580 atau 25.62% dan toko olahraga sebesar Rp 5,000 atau 22.62%. Adanya penambahan dan penggantian alat produksi bertujuan untuk mengurangi biaya produksi, mempercepat proses produksi dan meningkatkan kualitas produk (bulu runcing) sehingga nilai tambah pada industri dapat meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

BWF Equipment Certification Programme Shuttlecock,

http://system.bwf.website/documents/folder_1_81/folder_1_140/folder_1_165/1%20Shuttlecocks%20 Overview%20-%20updated.pdf (diakses 31 Oktober 2016)

Dumairy, 1997, Perekonomian Indonesia, Jakarta : Erlangga.

Klasifikasi Shuttlecock Berdasarkan Bentuk Potongan Bulu diakses dari http://shuttlecock.info/klasifikasi-shuttlecock-berdasarkan-bentuk-potongan-bulu/

Kumar, Dilip & Rajeev P .V, 2016, “Value Chain: A Conceptual Framework”

Mangifera, Liana, 2015, “Analisis Rantai Nilai (Value Chain) pada Produk Batik Tulis di Surakarta” Nurhayati, Nunung; Musa Hubels & Sapta Raharja, 2012, Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha

Industri Kecil Tahu di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Peraturan Walikota Surakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta Tahun 2011 - 2031

Porter, M.E, 1985, Competitive Advantage, Creating and Sustaining Superior Performance. New York: The Free Press.

Sultan, Abid & Dr. Saurabh, 2013, “Achieving Sustainable Development Through Value Chain”

Tuyet, Nguyen Thi Bach, 2016, “Recommendations Enhanging The Added Value Chain of The Aquaculture Enterprises in Vietnam”

Gambar

Tabel 1 Aktivitas Inti Aktivitas
Tabel 2 Aktivitas Pendukung
Tabel 3 Distribusi Nilai Tambah Industri Shuttlecock
Tabel 4 Nilai Tambah Industri Shuttlecock

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil perhitungan ARP, diketahui bahwa nilai ARP pada mata rantai petani tertinggi memiliki nilai 272,8; pada mata rantai pengepul tertinggi memiliki

Hasil analisis dari penelitian ini adalah: terdapat 3 aliran yang berjalan dalam rantai pasok susu sapi di Desa Singosari meliputi aliran produk, aliran keuangan,

Penelitian ini bertujuan mengetahui peta rantai nilai komoditi rumput laut, distribusi margin pemasaran dan daya tawar yang diterima oleh aktor-aktor rantai nilai komoditi rumput,

baik, walaupun masih banyak kekurangan dibeberapa titik dari rantai nilai perusahaan. Rantai nilai produk olahan susu segar Cimory secara keseluruhan terdiri dari

Nilai tambah yang terbentuk pada rantai nilai pemasaran ayam kampung terdiri dari pelaku usaha rumah makan dan lesehan ayam taliwang di Kecamatan Cakranegara yang memperoleh nilai

Diketahui UKM Hikmah dalam menjalankan usahanya menjalin mitra dengan pengepul dan beberapa retailer dimana dalam aktivitas jaringan rantai pasok tersebut mengalami beberapa

Hanya bedanya disini ditambah biaya tenaga kerja untuk mengangkut rumput laut kering ke kapal yang dalam rantai 1 ditanggung oleh pedagang pengumpul, karena rantai ini

Penelitian dilakukan dalam kurun waktu Desember 2018 sampai dengan Februari 2019. Pengamatan rantai pasok secara keseluruhan dilakukan di Kabupaten Kampar.