• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KETERSEDIAAN AIR PADA MUSIM TANAM II TERHADAP TANAMAN PADI VARIETAS CIHERANG, INPARI 10, DAN INPARI 13 KHOIRUL IWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KETERSEDIAAN AIR PADA MUSIM TANAM II TERHADAP TANAMAN PADI VARIETAS CIHERANG, INPARI 10, DAN INPARI 13 KHOIRUL IWAN"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KETERSEDIAAN AIR PADA MUSIM TANAM II

TERHADAP TANAMAN PADI VARIETAS

CIHERANG, INPARI 10, DAN INPARI 13

KHOIRUL IWAN

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

KHOIRUL IWAN. Effect of Water Avaibility during Growing Season II on Rice Crop Varieties Ciherang, Inpari 10, and Inpari 13. Supervised by IMPRON.

Water availability is the main requirement for optimal growth and development of lowland rice. However, rice plants grown in the Planting Season II has a high likelihood for exposure to drought due to a shorthened wet season where wet season ended more quickly than in normal conditions. This study aims to analyze the effect of water availability - as a result of differences in planting times on planting season II - on the growth, development, productivity, and radiation use efficiency (RUE) in rice varieties Ciherang, Inpari 10, and Inpari 13. Planting time I was implemented two weeks earlier than normal planting time, planting time II is a normal planting time (synchronously with the farmers planting time), while the planting time III was one month later than the normal planting time so that the rice plants were subjected to drought at the later growing phases. The results showed all three varieties have the best growth, development, productivity, and the value of RUE at the planting time II, and on the contrary at the planting time III. In the drought conditions (planting time III), the varieties that has the best resistance to drought was Inpari 13. The average values of RUE (gMJ-1 PAR) at planting times I, II, and III for Ciherang were 3,16., 3,15., and 2,01., for Inpari 10 were 2,64., 3,14., and 2,11., for Inpari 13 were 2,87., 3,21., and 2,60., respectively.

(3)

ABSTRAK

KHOIRUL IWAN. Pengaruh Ketersediaan Air pada Musim Tanam II Terhadap Tanaman Padi Varietas Ciherang, Inpari 10, dan Inpari 13. Dibimbing oleh IMPRON.

Ketersediaan air yang cukup merupakan syarat utama untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan padi sawah secara optimal. Akan tetapi, tanaman padi yang ditanam pada Musim Tanam II memiliki kemungkinan yang cukup tinggi untuk terkena paparan kekeringan akibat musim hujan yang berakhir lebih cepat dari pada kondisi normal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh ketersediaan air – sebagai akibat perbedaan waktu tanam pada Musim Tanam II – terhadap pertumbuhan, perkembangan, produktivitas, serta nilai efisiensi penggunaan radiasi surya pada tanaman padi varietas Ciherang, Inpari 10, dan Inpari 13. Waktu tanam I dilakukan dua minggu lebih awal dari waktu tanam normal, waktu tanam II merupakan waktu tanam normal (serentak dengan petani), sedangkan waktu tanam III mundur satu bulan dari waktu tanam normal sehingga tanaman padi mengalami kekeringan. Hasil penelitian ini menunjukkan ketiga varietas memiliki pertumbuhan, perkembangan, produktivitas, serta nilai RUE paling baik pada waktu tanam II, sebaliknya pada waktu tanam III menunjukkan hasil yang kurang baik. Pada kondisi kekeringan (waktu tanam III) varietas yang memiliki daya tahan paling baik adalah varietas Inpari 13. Rata-rata nilai RUE (gMJ-1 PAR) varietas Ciherang pada waktu tanam I, tanam II, dan tanam III berturut-turut yaitu 3,16., 3,15., dan 2,01., untuk varietas Inpari 10 yaitu 2,64., 3,14., dan 2,11., untuk varietas Inpari 13 yaitu 2,87., 3,21., dan 2,60.

(4)

PENGARUH KETERSEDIAAN AIR PADA MUSIM TANAM II

TERHADAP TANAMAN PADI VARIETAS

CIHERANG, INPARI 10, DAN INPARI 13

KHOIRUL IWAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Mayor Meteorologi Terapan

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Pengaruh Ketersediaan Air pada Musim Tanam II terhadap Tanaman Padi Varietas Ciherang, Inpari 10, dan Inpari 13

Nama : Khoirul Iwan

NIM : G24070065

Disetujui

Pembimbing

(Dr. Ir. Impron, M.Agr.Sc.) NIP 19630315 199203 1 002

Mengetahui

Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi

(Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.) NIP 19600305 198703 2 002

(6)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini sebagai prasyarat dalam menyelesaikan perkuliahan. Judul yang dipilih oleh penulis adalah “Pengaruh Ketersediaan Air pada Musim Tanam II Terhadap Tanaman Padi Varietas Ciherang, Inpari 10, dan Inpari 13”. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Agustus 2011.

Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan tugas akhir ini terutama Ibunda tercinta dan keluarga di kampung halaman yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan semangat kepada penulis. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Impron, M.Agr.Sc. selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan masukan serta bersedia berbagi ilmu pengetahuan dalam penyelesaian tugas akhir penulis. 2. Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS. selaku ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi, Bapak Ir.

Bregas Budianto, Ass. Dpl dan Bapak Yon Sugiarto, M.Sc. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan kepada penulis. Seluruh dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis.

3. Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah membiayai penulis selama studi di IPB dari awal hingga selesai.

4. I-MHERE B2C IPB yang telah bersedia bekerjasama dalam penelitian.

5. Bapak Taukid dan keluarga, serta Kak Anang GFM 43 yang telah banyak membantu selama penelitian.

6. BPP kecamatan Lelea yang telah memberikan izin penelitian dan membantu penelitian. 7. Bapak Ujang Sutarjo dari BB Padi Sukamandi dan Bapak Kholil dari BB Padi Pusakanegara

yang telah membantu dan memberi masukan selama penelitian.

8. Pak Supono, Pak Udin, Pak Kaerun, Mas Nandang, Mas Azis, Bu Inda, Mba Icha, Mba Wanti, terima kasih atas semua bantuannya selama penulis studi di GFM.

9. Ike, Azim, Anto, Blake, Amin, Syamsu, Anies, Riri, Tika atas bantuannya, serta teman GFM 44 atas kebersamaannya selama masa kuliah.

10. Keluarga CSS MoRA IPB khususnya CSS 44 atas kebersamaan dan kekeluargaannya selama di IPB.

11. Sahabat-sahabat penulis yang ada di kampung halaman atas dukungan dan semangatnya. 12. Semua pihak yang telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa saya

sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki segala kekurangan tersebut. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Februari 2012

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tlogosadang Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur pada tanggal 1 Mei 1988. Penulis merupakan putra tunggal dari pasangan Bapak Turmudzi dan Ibu Siyem. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2001 di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Tahdzibiyah di Desa Sidokelar Kecamatan Paciran. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) Mazra’atul Ulum Paciran dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliyah (MA) Mazra’atul Ulum Paciran dan lulus pada tahun 2007. Setelah lulus MA, penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari Kementrian Agama tahun 2007 dan diterima pada Mayor Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama masa perkuliahan penulis pernah aktif dalam beberapa organisasi seperti, Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO) pada tahun 2008 sebagai staf divisi K3 (Ketatalaksanaan Kegiatan Khusus), Community of Santri Scholars Ministry of Religious Affairs Institut Pertanian Bogor (CSS MoRA IPB) pada tahun 2009 sebagai staf divisi sosial lingkungan, Forum Mahasiswa Lamongan Institut Pertanian Bogor (FORMALA IPB) pada tahun 2009 sebagai ketua divisi sosial kemahasiswaan. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan yang berskala lokal dan nasional. Terakhir, kegiatan penelitian dilakukan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sains pengaruh ketersediaan air pada musim tanam II terhadap tanaman padi varietas Ciherang, Inpari 10, dan Inpari 13, di bawah bimbingan Dr. Ir. Impron, M.Agr.Sc.

(8)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 1

2.1. Kondisi Umum Kabupaten Indramayu ... 1

2.2. Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Padi ... 2

2.3. Pengaruh Iklim pada Tanaman Padi ... 3

2.3.1. Curah Hujan ... 3 2.3.2. Radiasi Surya ... 3 2.3.3. Suhu Udara ... 3 2.3.4. Kelembaban Udara ... 3 2.3.5. Kecepatan Angin ... 3 2.4. Kekeringan ... 4

2.5. Indeks Luas Daun ... 4

2.6. Intersepsi dan Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya ... 4

III. BAHAN DAN METODE ... 5

3.1. Bahan dan Alat ... 5

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 5

3.3. Metode Penelitian ... 5

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 8

4.1. Kondisi Umum Penelitian ... 8

4.2. Kondisi Cuaca ... 8

4.3. Pertumbuhan Tanaman ... 10

4.3.1. Tinggi Tanaman ... 10

4.3.2. Jumlah Anakan ... 12

4.4. Jumlah Anakan Produktif ... 12

4.5. Perkembangan Tanaman ... 12

4.6. Produktivitas dan Komponen Hasil ... 13

4.7. Indeks Luas Daun ... 16

4.8. Berat Kering Tanaman ... 17

4.9. Intersepsi Radiasi Surya ... 19

4.10. Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya ... 20

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 23

5.1. Kesimpulan ... 23

5.2. Saran... 23

DAFTAR PUSTAKA ... 23

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Persentase kerusakan tanaman pada tanam I akibat serangan hama tikus ... 8

2. Perbandingan tinggi tanaman padi antar waktu tanam ... 10

3. Perbandingan tinggi tanaman padi antar varietas ... 10

4. Perbandingan jumlah anakan padi antar waktu tanam ... 12

5. Perbandingan jumlah anakan padi antar varietas ... 12

6. Perbandingan jumlah anakan produktif padi antar waktu tanam ... 12

7. Perbandingan jumlah anakan produktif padi antar varietas ... 12

8. Fase perkembangan tanaman tiga varietas padi pada tiga waktu tanam ... 13

9. Perbandingan produktivitas dan komponen hasil antar waktu tanam ... 14

10. Perbandingan produktivitas dan komponen hasil antar varietas ... 15

11. Rata-rata nilai indeks luas daun tiga varietas padi pada tiga waktu tanam ... 17

12. Rata-rata total berat kering tanaman di atas permukaan tanah (above ground biomass) tiga varietas padi pada tiga waktu tanam ... 19

13. Intersepsi radiasi surya kumulatif tiga varietas padi pada tiga waktu tanam ... 19

14. Perbandingan nilai rata-rata efisiensi penggunaan radiasi surya padi antar waktu tanam .... 21

15. Perbandingan nilai rata-rata efisiensi penggunaan radiasi surya padi antar varietas ... 22

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pembagian petak, waktu semai, waktu tanam, dan penempatan varietas pada petak ... 5

2. Kondisi lahan tanam III saat pemupukan kedua pada umur 25 HST (2a) dan saat tanaman umur 48 HST (2b) ... 8

3. Kondisi tanaman yang terkena hama tikus (3a) dan kondisi tanaman yang terkena hama penggerek batang (3b) ... 8

4. Suhu udara rata-rata harian (biru) dan kelembaban udara rata-rata harian (merah) ... 9

5. Radiasi surya rata-rata harian (biru) dan kecepatan angin rata-rata harian (merah) ... 9

6. Curah hujan harian di Desa Langgengsari, Kecamatan Lelea, Indramayu ... 10

7. Tinggi tanaman pada waktu tanam I, waktu tanam II, waktu tanam III, untuk varietas Ciherang , Inpari 10, Inpari 13 ... 11

8. Indeks luas daun pada waktu tanam I, waktu tanam II, waktu tanam III, untuk varietas Ciherang , Inpari 10, Inpari 13 ... 16

9. Berat kering tanaman pada waktu tanam I, waktu tanam II, waktu tanam III, untuk varietas Ciherang , Inpari 10, Inpari 13 ... 18

10. Intersepsi radiasi surya pada waktu tanam I, waktu tanam II, waktu tanam III, untuk varietas Ciherang , Inpari 10, Inpari 13 ... 20

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data iklim selama penelitian ... 27

2. Data tinggi tanaman padi pada waktu tanam I ... 30

3. Data jumlah anakan padi pada waktu tanam I ... 31

4. Data jumlah anakan produktif pada waktu tanam I ... 31

5. Data tinggi tanaman padi pada waktu tanam II ... 32

6. Data jumlah anakan padi pada waktu tanam II ... 32

7. Data jumlah anakan produktif pada waktu tanam II ... 33

8. Data tinggi tanaman padi pada waktu tanam III ... 33

9. Data jumlah anakan padi pada waktu tanam III ... 34

10. Data jumlah anakan produktif pada waktu tanam III ... 34

11. Lokasi penelitian ... 35

12. Analisis sidik ragam tinggi tanaman antar waktu tanam ... 35

13. Data luas daun tanaman padi pada waktu tanam I ... 38

14. Data berat daun tanaman padi pada waktu tanam I ... 38

15. Data berat batang tanaman padi pada waktu tanam I ... 39

16. Data berat malai padi pada waktu tanam I ... 39

17. Data luas daun tanaman padi pada waktu tanam II ... 40

18. Data berat daun tanaman padi pada waktu tanam II ... 40

19. Data berat batang tanaman padi pada waktu tanam II ... 41

20. Data berat malai padi pada waktu tanam II ... 41

21. Data luas daun tanaman padi pada waktu tanam III ... 42

22. Data berat daun tanaman padi pada waktu tanam III ... 42

23. Data berat batang tanaman padi pada waktu tanam III ... 43

24. Data berat malai padi pada waktu tanam III ... 43

25. Data indeks luas daun ... 44

26. Data berat kering tanaman per m2 ... 45

27. Data Intersepsi photosynthetically active radiation (PAR) kumulatif ... 46

28. Data produktivitas padi pada waktu tanam I ... 48

29. Data komponen hasil tanaman padi pada waktu tanam I ... 49

30. Data produktivitas padi pada waktu tanam II ... 51

31. Data komponen hasil tanaman padi pada waktu tanam II ... 52

32. Data produktivitas padi pada waktu tanam III ... 54

33. Data komponen hasil tanaman padi pada waktu tanam III ... 55

(12)

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Data sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia adalah sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen per tahun. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin banyak tersebut mengakibatkan permintaan terhadap beras sebagai bahan pangan pokok semakin meningkat. Menurut data BPS tahun 2011 konsumsi beras di Indonesia mencapai 139 kg per kapita per tahun.

Berdasarkan data di atas sektor pertanian dituntut agar dapat meningkatkan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan di masa yang akan datang. Akan tetapi, upaya untuk memenuhi ketersediaan bahan pangan sering terkendala oleh variabilitas iklim dan cuaca ekstrim. Iklim dan cuaca merupakan faktor alam yang sangat dinamis sehingga sulit dikendalikan. Oleh karena itu, kegiatan pertanian dituntut untuk dapat menyesuaikan terhadap perilaku iklim dan cuaca.

Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang memiliki lahan sawah irigasi luas. Sebagian besar penduduk Indramayu memanfaatkan lahan irigasi tersebut untuk budidaya tanaman padi. Produksi padi di Indramayu pada musim tanam II (MT II) berpotensi lebih tinggi tinggi dari musim tanam I (MT I) jika teknik budidaya padi dilakukan dengan tepat. Yoshida et al. (1976) menyatakan bila pengelolaan tanaman tepat, hasil padi musim kemarau (MT II) akan lebih baik dari musim hujan (MT I). Intensitas radiasi surya yang lebih tinggi pada musim tanam II serta ketersediaan air cukup dapat meningkatkan produksi padi. Menurut Oldeman et al. (1986) pada kondisi pasokan air yang cukup dan tidak terjadi cekaman biologis, potensi hasil padi ditentukan oleh kondisi peubah atmosfer seperti suhu dan intensitas radiasi surya. Akan tetapi, pada MT II ketersediaan air sering menjadi kendala bagi petani. Pada MT II tanaman padi sering mengalami kekeringan. Hal tersebut dapat menurunkan produksi padi bahkan menyebabkan gagal penen.

Resiko gagal panen akibat kekeringan dapat diminimumkan melalui penerapan teknologi budidaya tanaman padi yang dapat mengurangi dampak dari kekeringan tersebut. Beberapa teknologi budidaya tanaman padi yang dapat diterapkan pada saat terjadi kekeringan antara lain yaitu, penggunaan varietas padi yang tahan kekeringan,

penggunaan varietas padi berumur pendek (genjah), dan teknologi sistem culik (percepatan waktu tanam). Penelitian ini akan mencoba mengamati pertumbuhan, perkembangan, produksi, serta efisiensi penggunaan radiasi surya yang terbaik dari teknologi budidaya tersebut.

Produktivitas tanaman padi dipengaruhi oleh faktor internal tanaman padi dan faktor eksternal (lingkungan). Varietas tanaman dan karakteristiknya termasuk faktor internal tanaman, sedangkan faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan produksi tanaman yaitu tanah, air, dan iklim.

Radiasi surya merupakan salah satu unsur iklim yang memberikan konstribusi besar terhadap proses fotosintesis tanaman. Intensitas radiasi surya yang diterima tanaman sangat menentukan produksi bahan kering (bahan organik), termasuk produksi tanaman. Pengaruh radiasi surya berbeda-beda untuk setiap varietas karena perbedaan faktor peubah terhadap efisiensi fotosintesis. Sehingga ada varietas yang peka terhadap pengurangan intensitas radiasi surya pada taraf tertentu. Dengan menggunakan data biomassa kering tanaman serta jumlah radiasi yang dapat diintersepsi oleh tanaman, dapat diketahui seberapa besar efisiensi penggunaan radiasi surya oleh suatu tanaman. Saat ini di Indonesia belum banyak penelitian tentang efisiensi penggunaan radiasi surya pada tanaman padi sawah, terutama untuk varietas yang baru dilepas oleh balai penelitian tanaman padi. Penelitian ini akan menghitung nilai efisiensi penggunan radiasi surya tiga varietas padi sawah pada musim tanam II.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh ketersediaan air terhadap pertumbuhan, perkembangan, produksi, dan efisiensi penggunaan radiasi surya tiga varietas tanaman padi sawah (Ciherang, inpari 10, Inpari 13) pada musim tanam II.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Kabupaten Indramayu

Secara geografi Kabupaten Indramayu terletak pada posisi 107° 52´ - 108° 36´ BT dan 6° 15´ - 6° 40´ LS. Batas wilayah sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Subang, sebelah utara berbatasan dengan laut jawa, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang,

(13)

Kabupaten Cirebon, sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Cirebon (http://www.indramayukab.go.id).

Pola penggunaan lahan menurut data GIS (Geographic Information System) Bapeda Kabupaten Indramayu memiliki luas wilayah 204011 Ha, terdiri dari sawah irigasi 121355 Ha (60%), sawah tadah hujan 12420 Ha (6%), perkebunan 42130 Ha (16%), pemukiman 17980 ha (9%), empang 12600 Ha (6%), lainnya 7526 Ha (4%). Berdasarkan topografi ketinggian wilayah Indramayu berkisar antara 0 - 18 m di atas permukaan laut dan wilayah dataran rendahnya berkisar antara 0 – 6 m di atas permukaan laut berupa rawa, tambak, sawah, pekarangan. Kabupaten Indramayu sebagian besar permukaan tanahnya berupa dataran dengan kemiringan antara 0% - 2% seluas 201285 Ha (96%) dari total wilayah. Keadaan ini terpengaruh terhadap drainase, bila curah hujan tinggi maka daerah-daerah tertentu akan terjadi genangan air dan bila musim kemarau akan mengakibatkan kekeringan (http://www.indramayukab.go.id).

Menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson Kabupaten Indramayu termasuk kedalam tipe D (iklim sedang). Suhu udara harian berkisar 26-27⁰C dengan suhu tertinggi

30⁰C dan terendah 18⁰C. Kelembaban udara

70-80% dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1428 mm, dengan jumlah hari hujan 75 hari. Secara hidrologi sumber air yang terdapat di Kabupaten Indramayu meliputi air permukaan dan air tanah. Air permukaan berupa sungai dan air genangan yang merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) sedangkan air tanah tertekan yang dieksploitasi melalui sumur - sumur pompa. Kabupaten Indramayu merupakan daerah hilir dari aliran sungai yang sangat potensial sebagai sumber air bagi kebutuhan masyarakat baik untuk pertanian, industri maupun bahan baku air bersih (http://www.indramayukab.go.id).

2.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman padi

Tanaman padi termasuk golongan rumput-rumputan dan termasuk tanaman semusim. Padi berasal dari genus Oryza, famili

Graminae, terdiri dari 25 spesies yang salah

satunya adalah Oryza Sativa L. (Haryadi 2006). Oryza sativa tumbuh dan berkembang secara luas di daerah beriklim tropis dan subtropis. Jenis padi ini dapat ditanam sebagai tanaman padi lahan basah (padi sawah) atau sebagai tanaman padi lahan kering.

Keseluruhan organ tanaman padi terdiri dari dua kelompok, yakni organ vegetatif dan organ generatif (reproduktif). Bagian-bagian vegetatif meliputi akar, batang, dan daun, sedangkan bagian generatif terdiri dari malai, gabah, dan bunga.

Menurut Tanaka (1964) dalam Williams

(1975) pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi terbagi dalam beberapa fase yaitu:

 Fase vegetatif aktif : dari pembibitan sampai jumlah tunas maksimum, lamanya berkisar antara 25-65 hari. Pada fase ini pertumbuhan awal umumnya bersifat eksponensial kemudian pada saat tertentu pertumbuhan menjadi linier.

 Fase vegetatif lambat : dimulai sejak pertumbuhan tunas mencapai jumlah maksimum sampai keluarnya bakal malai (primordia). Selama berlangsungnya fase vegetatif, faktor ketersediaan air akan menjadi faktor pembatas apabila jumlah yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan.  Fase reproduktif : dimulai sejak keluarnya bakal malai sampai malai berbunga penuh, yang lamanya antara 23-35 hari. Malai merupakan perpanjangan dari tunas. Fase ini merupakan fase yang paling sensitif terhadap stres lingkungan.

 Fase pematangan : terjadi pengisian dan pematangan biji dimulai sejak malai bebunga. Selain itu terjadi peningkatan berat jerami, lamanya fase ini berkisar antara 25-35 hari.

Fase reproduktif ditandai dengan berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting (primordia), dan pembungaan (heading). Pembungaan adalah stadia keluarnya malai, apabila 50% bunga telah keluar maka pertanaman tersebut dianggap dalam fase pembungaan (Yoshida 1981).

Faktor – faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi dapat dikategorikan menjadi faktor genetik (faktor internal tanaman padi sendiri) dan faktor lingkungan (faktor eksternal). Faktor genetik yaitu faktor bawaan dari turunan atau asal mulanya tanaman tersebut, sedangkan faktor faktor lingkungan dapat digolongkan menjadi :

a) Faktor lingkungan biotik, yaitu adanya organisme lain di sekitar tanaman padi. b) Faktor abiotik, terdiri dari tanah, air,

cuaca/iklim, serta respon tanaman padi terhadap faktor lain

(14)

2.3 Pengaruh Iklim pada Tanaman Padi Iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi sawah. Faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan padi antara lain adalah curah hujan, radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin. Tanaman padi tumbuh di daerah tropis atau subtropis dengan letak geografis 45ᴼ LU sampai 45ᴼ LS dan memiliki cuaca panas dan musim hujan 4 bulan.

2.3.1 Curah Hujan

Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang berpengaruh dominan terhadap pertumbuhan dan produksi padi. (Bey dan Las 1991) menyatakan curah hujan merupakan unsur iklim yang besar pengaruhnya terhadap suatu sistem usaha tani, terutama pada lahan kering dan tadah hujan

Berkurangnya curah hujan dapat mempengaruhi ketersediaan air sehingga dapat menurunkan produktivitas padi. Curah hujan menyediakan air bagi tanaman padi. Air merupakan penghubung antara lingkungan perakaran padi yaitu tanah dengan lingkungan daun dan batang. Air juga menghubungkan lingkungan atas tanah yaitu cuaca atau iklim dengan tanaman padi.

2.3.2 Radiasi Surya

Tanaman padi memerlukan penyinaran matahari penuh tanpa naungan. Fagi dan De data (1981) mengemukakan bahwa intensitas radiasi surya yang tinggi selama 30 - 45 hari sebelum panen menentukan pengisian malai dan hasil padi. Kebutuhan radiasi surya untuk setiap fase pertumbuhan padi tidak sama, pada awal petumbuhan relatif kecil, kemudian meningkat dan mencapai maksimum pada stadia pembungaan, selanjutnya menurun lagi sampai panen.

Menurut Yoshida dan Parao (1978) apabila intensitas radiasi surya rendah pada fase vegetatif tidak berpengaruh nyata terhadap gabah, tetapi bila intensitas radiasi surya rendah pada fase reproduktif dan fase pematangan akan menurunkan hasil gabah secara nyata. Maka untuk memproleh hasil gabah yang tinggi waktu tanam dapat diatur agar fase reproduktif jatuh pada saat intensitas surya tinggi.

2.3.3 Suhu Udara

Suhu udara di daerah tropis umumnya bukan merupakan faktor pembatas bagi tanaman, karena dari waktu ke waktu tidak banyak berbeda. Sedangkan faktor yang

menentukan fluktuasi suhu di daerah ini adalah pada penyebaran vertikal, dimana semakin tinggi tempat maka suhu semakin rendah. Adapun kisaran suhu optimal untuk varietas padi Indica adalah 25° - 33° C, sedangkan untuk Japonica berkisar antara 18° - 33° C (Chang dan Oka 1976).

Menurut Yoshida (1981) suhu udara rata-rata harian yang kurang dari 20ᴼC menyebabkan perkembangan tanaman terhambat, diskolorasi daun, pembentukan malai tertahan, pembungaan terlambat, dan kehampaan gabah tinggi. Sedangkan suhu udara rata-rata harian harian yang tinggi meningkatkan laju respirasi yang pada akhirnya menurunkan jumlah gabah, karena energi yang dihasilkan melalui proses fotosintesis lebih banyak digunakan untuk respirasi dibandingkan untuk pertumbuhan tanaman.

Suhu udara siang dan malam ternyata berpengaruh pada komponen hasil padi. Limbong et al. (1980) menyatakan peningkatan suhu di siang hari pada musim kemarau dapat meningkatkan jumlah anakan asalkan suhu malam tidak terlalu tinggi. Ini memberikan gambaran bahwa padi tidak selalu menghasilkan banyak malai pada musin kemarau di semua mintakat agroklimat, Karena suhu malam juga menentukan. Di dataran tinggi (lebih dari 900 mdpl) suhu malam yang rendah terjadi pada di musim kemarau, sehinga menghasilkan suhu rataan harian rendah.

2.3.4 Kelembaban Udara

Kelembaban udara nisbi berpengaruh terhadap evapotranspirasi. Pada musin kemarau dengan kelembaban rendah, intensitas radiasi surya dan suhu tinggi mempercepat laju evapotranspirasi. Bila laju evapotranspirasi tidak diimbangi dengan laju translokasi air ke akar, maka tanaman padi akan mengalami kekeringan (cekaman air) terutama bila kebutuhan atmosfer untuk evapotranspirasi tidak diimbangi dengan laju penyerapan air oleh akar.

2.3.5 Kecepatan Angin

Angin mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman melalui pertukaran bahang, uap air dan CO2 antara

tanaman dan lingkungannya. Disamping itu, angin mempunyai dampak bagi tanaman melalui tanaman melalui proses transpirasi dan persarian (Bey dan Las 1991).

Menurut Chang (1986) kecepatan angin yang tinggi dapat mengakibatkan kerusakan

(15)

pertumbuhan tanaman dan secara mekanis dapat merusak daun-daun sehingga terjadi penurunan fotosintesis dan translokasi hasil fotosintesis. Angin juga berpengaruh terhadap laju evapotranspirasi. Disamping itu kecepatan angin yang tinggi dapat mengganggu proses penyerbukan karena menganggu proses endosperm akibat pergeseran (De Datta 1981). Angin berpengaruh pada penyerbukan dan pembuahan tetapi jika terlalu kencang akan merobohkan tanaman.

2.4 Kekeringan

Kebutuhan air tanaman padi berbeda-beda pada setiap fase pertumbuhannya. Kebutuhan air tersebut bergantung pada perubahan karakter pertumbuhannya seperti tinggi tanaman, jumlah anakan, luas permukaan daun dan perubahan cuaca atau iklim seperti radiasi surya, temperatur udara, kelembaban udara (RH) dan kecepatan angin. Boer (2002) menyatakan tanaman padi akan mengalami ganguan pertumbuhan yang serius apabila terjadi kekurangan air pada fase pertumbuhan anakan aktif dan fase pembungaan. Akan tetapi apabila kekurangan air terjadi pada saat anakan maksimum atau saat panen, tidak akan menganggu pertumbuhan dan hasil.

Kekeringan merupakan keadaan tanpa hujan berkepanjangan atau masa kering dibawah normal yang cukup lama. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekeringan adalah curah hujan sebagai sumber air tersedia, karakteristik tanah sebagai media penyimpan air, dan jenis tanaman sebagai subjek yang menggunakan air.

Menurut Soenarno dan Syarif (1995) kekeringan air ada 2 kategori, yaitu kategori terkena kekeringan dan terancam kekeringan. Kategori terkena kekeringan yaitu kondisi ketika kekeringan menyebabkan sawah kering, retak-retak dan tanaman padi rusak atau mati. Sedangkan kategori terancam kekeringan yaitu kondisi ketika sawah masih basah, suplai air ada tapi jumlahnya jauh di bawah kebutuhan.

2.5 Indeks Luas Daun

Indeks luas daun (ILD) didefinisikan sebagai nisbah antara luas daun dengan luas lahan tegakan yang diproyeksikan tegak lurus terhadap penutupan tajuk. Indeks luas daun merupakan perbandingann antara luas daun dengan luas permukaan lahan yang menjadi tempat tumbuh suatu tanaman. Indeks luas daun menggambarkan jumlah radiasi matahari yang mampu diserap tanaman. Semakin tinggi

ILD persatuan luas lahan akan meningkatkan penyerapan radiasi oleh tanaman, sehingga proses fotosintesis akan maksimal yang menyebabkan produksi potensial meningkat. Konsep ILD telah lama dikembangkan sebagai salah satu penentu hasil maksimal suatu tanaman. Nilai ILD bervariasi dari hari ke hari sebagai akibat dari variasi pola radiasi surya harian dan bervariasi dari musim ke musim sebagai akibat perubahan kanopi, area tumbuh, dan guguran daun (Hadipoentyanti et

al. 1994).

Dalam kaitan dengan penyerapan radiasi oleh tanaman maka bentuk daun menjadi penting, bentuk daun erat kaitannya dengan varietas. Varietas memiliki keragaman sifat internal seperti umur, bentuk tajuk, dan akar, serta kepekaan atau ketahanan terhadap kekurangan atau kelebihan air, hara, radiasi surya, suhu, hama, dan penyakit tertentu (Makarim 2009). Efisensi penggunaan radiasi matahari akan tergantung dari luas daun yang mengintersepsi radiasi per satuan luas lahan. Semakin tinggi kerapatan tanaman akan menaikkan ILD sehingga intersepsi radiasi akan optimum. Menurut Jumin (2002) intersepsi radiasi surya dapat dimanipulasi dengan varietas (morfologi dan arsitektur tanaman) dan kerapatan tanaman setiap satuan luas lahan dengan pengaturan jarak tanam. 2.6 Intersepsi dan Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya

Radiasi surya merupakan faktor penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang berkaitan dengan proses fisiologi tanaman. Radiasi yang jatuh pada tajuk tanaman diantaranya akan diserap oleh tajuk dan ditransmisikan kebawah tajuk. Radiasi surya diserap oleh tanaman melalui organ daun yang memiliki klorofil dalam bentuk foton, sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis. Hasil fotosintesis menjadi bahan utama dalam pertumbuhan dan produksi tanaman.

Efisiensi penggunaan radiasi surya atau yang biasa dikenal dengan istilah Radiation

Use Efficiency (RUE) adalah jumlah biomassa

per unit radiasi yang diintersepsi oleh tanaman dalam satuan g MJ-1 (Mavi & Graeme 2004). RUE merupakan parameter yang dapat digunakan dalam mempelajari produktivitas tanaman (Curt et al. 1998). RUE juga telah banyak digunakan dalam model pertumbuhan tanaman untuk memperkirakan jumlah biomassa di atas tanah dan hasil panen (Apakupakul 1995). Efisiensi penggunaan radiasi di daerah sub tropis umumnya lebih

(16)

rendah jika dibandingkan dengan daerah tropis, hal ini berkaitan dengan jumlah radiasi yang diintersepsi oleh tanaman. Di daerah tropis penerimaan radiasi hampir merata sepanjang tahun dengan rata-rata penerimaan radiasi harian 12 jam.

Kiniry et al. (1989) menjelaskan nilai efisiensi penggunaan radiasi surya biomassa kering tanaman padi adalah sebesar 2,2 gMJ-1 dengan menggunakan radiasi PAR. Efisiensi penggunaan radiasi surya dipengaruhi oleh faktor iklim dan faktor dari tanaman serta lingkungannya, seperti yang diungkapkan oleh Monteith dan Unsworth (1973) beberapa faktor iklim yang mempengaruhi efisiensi penggunaan radiasi surya antara lain: letak lintang dan musim, keawanan dan kandungan aerosol di atmosfer, komposisi spektral radiasi surya, konsentrasi CO2 di lingkungan

tannaman, dan kuantum cahaya yang dibutuhkan dalam proses fotokimia. Sedangkan faktor tanaman dan lingkungan yang berpengaruh antara lain: posisi dan susunan daun, indeks luas daun (ILD), struktur dan jenis pigmen daun, serta ketersediaan air dan hara dalam tanah.

BAB III. BAHAN DAN METODE 3.1 Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam kegiatan penelitian ini adalah:

 Padi varietas Ciherang (varietas yang umum dipakai petani di tempat penelitian), Inpari 10 (varietas toleran kekeringan), dan Inpari 13 (varietas berumur genjah/pendek).

 Paket sarana produksi pertanian untuk budidaya tanaman padi.

 Alat pengukur unsur cuaca. Curah hujan (penakar hujan), kecepatan angin (Anemometer), radiasi surya dan suhu udara (sensor radiasi surya dan suhu udara).

 Alat ukur tinggi tanaman padi.

Grain moisture meter, untuk mengukur kadar air gabah (KAG).

Seperangkat komputer beserta Microsoft

Word dan Microsoft Exel untuk

pengolahan data.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada lahan sawah milik petani yang terletak di Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu. Penelitian berlangsung mulai akhir bulan Maret hingga Agustus 2011. Sedangkan penulisan dan pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. 3.3 Metode Penelitian

 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan pada penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Perlakuan penelitian meliputi varietas dan waktu tanam. Varietas yang digunakan adalah varietas Ciherang (V1), Inpari 10 (V2), Inpari 13 (V3). Waktu tanam dilakukan tiga kali. Tanam I (W1) dilakukan sekitar dua minggu sebelum petani setempat memulai musim tanam II, sedangkan waktu tanam II (W2) dilakukan bersamaan dengan para petani, dan waktu tanam III (W3) dilakukan 1 bulan setelah waktu tanam kedua. Pada waktu tanam I dan tanam II kebutuhan air tanaman tercukupi. Sedangkan pada tanam III tanaman mengalami cekaman air karena air irigasi sudah tidak sampai di lahan penelitian dan tidak ada hari hujan sejak tanaman berumur 22 HST. Setiap perlakuan varietas terdiri dari tiga kali ulangan di setiap waktu tanam. Sehingga pada setiap waktu tanam terdapat sembilan anak petak dengan luas masing anak petak 15 m x 13 m. Pada masing-masing anak petak terdapat tiga ulangan pengamatan. Analisis sidik ragam menggunakan bantuan software Costat 6.4.

Model linier untuk RAK adalah: Yij = μ + ti + βj+εij

dimana i = 1,2,3 dan j = 1,2,3

Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i

dan kelompok ke-j μ = nilai rata-rata populasi ti = pengaruh perlakuan ke-i

βj = pengaruh kelompok ke-j

εij = pengaruh acak perlakuan ke-i kelompok

ke-j

Gambar 1 Pembagian petak, waktu semai, waktu tanam, dan penempatan varietas pada

petak  Persiapan dan Penanaman

Lahan yang akan digunakan untuk kegiatan penelitian diolah menggunakan

Varietas (V)

(17)

traktor sebanyak dua kali, pertama untuk membersihkan sisa jerami dari sisa penanaman sebelumnya dan rumput-rumput yang ada di lahan, sedangkan yang kedua untuk meratakan lahan. Penanaman dilakukan setelah umur persemaian 20 hari dengan sistem tanam legowo 5 dan jarak tanam 25 x 25 x 12,5 cm.

 Pemupukan dan Pemeliharaan

Pupuk yang digunakan yaitu Urea, TSP, dan Ponska. Pemupukan pada setiap waktu tanam dilakukan dua kali, pemupukan pertama dilakukan pada 12 HST dengan dosis 50% Urea (12,5 Kg), 100% TSP (25 Kg), 50% Ponska (12,5 Kg). Sedangkan pemupukan kedua dilakukan pada 25 HST dengan dosis 50% Urea 50% Urea (12,5 Kg), 0% TSP (0 Kg), 50% Ponska (12,5 Kg).

Penyemprotan pestisida untuk menanggulangi hama dilakukan secara kondisional yaitu setiap terjadi gejala serangan hama. Sedangkan penyiangan rumput pengganggu hanya dilakukan satu kali pada waktu tanam I (W1) karena rumput pengganggu yang tumbuh relatif sedikit.

 Pengamatan Unsur-unsur Cuaca

Unsur-unsur cuaca yang diamati meliputi radiasi surya, suhu bola kering, suhu bola basah, kecepatan angin, dan curah hujan. Pengamatan radiasi surya, suhu bola kering, dan suhu bola basah menggunakan sensor yang dilengkapi dengan logger yang dapat merekam data secara otomatis setiap 10 menit. Pengamatan kecepatan angin menggunakan

anemometer. Sedangkan alat pengukur curah

hujan menggunakan alat penakar hujan. Selain dari pengamatan secara langsung data radiasi surya juga didapat dari BB Padi Pusakanegara. Karena pada pengamatan radiasi surya terdapat beberapa data yang

error maka data radiasi pada penelitian ini

menngunakan data dari BB Padi Pusakanegara. Khusus untuk bulan Agustus dikarenakan data dari BB Padi Pusakanegara tidak ada dan data hasil pengamatan terdapat data error beberapa hari maka untuk mendapatkan data pada bulan Agustus diambil dari rata-rata bulan Juli dengan rumus:

Ai = (Ji + Ji-1)/2

dimana Ai = data bulan Agustus pada tanggal

ke-i, Ji = data bulan Juli pada tanggal ke-i, Ji

-1= data bulan Juli sebelum data ke-i. hal ini dilakukan karena pada bulan Agustus dan Juli memiliki karakteristik yang hampir sama.

 Pengamatan Komponen Agronomi - Tinggi tanaman, jumlah anakan, dan

jumlah anakan produktif.

Tinggi tanaman, jumlah anakan, dan jumlah anakan produkif diamati setiap minggu. Sampel yang diamati pada setiap petak terdiri dari tiga kali ulangan, dimana setiap ulangan terdiri dari empat rumpun tanaman padi. Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga ujung daun terpanjang. Jumlah anakan padi merupakan jumlah total anakan padi baik yang menghasilkan malai maupun yang tidak bermalai. Sedangkan anakan produktif yaitu anakan yang menghasilkan malai.

- Perkembangan tanaman.

Perkembangan tanaman yang diamati adalah jumlah anakan maksimum, primordia, keluar malai, pengisian bulir, pemasakan, hingga tanaman siap panen. Jumlah anakan maksimum, dihitung dari jumlah anakan terbanyak yang dihasilkan oleh tanaman. Fase primordia diamati dengan cara mengambil satu batang (anakan) padi kemudian dilihat pada buku teratas jika sudah terdapat kerucut putih yang berbentuk seperti kapas berarti tanaman padi sudah masuk pada fase primordia. Tanaman padi dianggap masuk fase keluar malai jika semua tanaman padi dalam satu petak 50% telah keluar malai. Ketika 50% bulir padi semua tanaman pada satu petak telah terisi maka tanaman padi dianggap masuk pada fase pengisian bulir padi. Fase pemasakan diamati ketika bulir padi muai menguning. Tanaman padi siap dipanen ketika 80% bulir padi telah menguning.

- Berat Kering Tanaman

Berat kering tanaman yang diamati meliputi berat kering batang, daun, dan malai. Pengamatan dimulai sejak tanaman umur 0 HST (sebelum tanam pindah) sampai 70 HST. Tanaman contoh diambil setiap dua minggu, kemudian dibawa ke BB Padi Sukamandi untuk di keringkan menggunakan oven dengan suhu 70 ⁰C selama 48 jam, setelah itu ditimbang bobotnya.

- Luas Daun

Luas Daun diukur di BB Padi Sukamandi seiap dua minggu sekali. Luas daun merupakan kumulatif dari semua daun dalam satu rumpun padi yang diamati.

(18)

 Analisis Data

- Indeks Luas Daun (ILD), menunjukkan rasio luas permukaan daun terhadap luas lahan yang ditempati oleh tanaman. ILD = LD/A

LD = luas daun total (m2)

A = luas lahan yang ditutupi daun (m2) Karena pengukuran luas daun setiap dua minggu, maka data ILD juga per dua minggu. Dugaan ILD pada hari-hari yang tidak dilakukan penelitian dicari dengan persamaan polinomial.

- Radiasi Intersepsi oleh tajuk (Rint),

mengikuti persamaan umum hukum Beer.

Rint = 1-exp(-k x ILD) x I0

Dimana:

Rint = radiasi intersepsi oleh tajuk

(MJ m-2 hari-1)

I0 = radiasi diatas tajuk tanaman

(MJ m-2 hari-1)

ILD = indeks luas daun

k = koefesien pemadaman tajuk. Nilai k yang digunakan pada penelitian sebesar 0,5 karena nila ini merupakan nilai yang banyak digunakan dalam litratur-literatur (Yoshida 1981 dalam Muyan 2011). Nilai k tanaman padi menurut Hayashi dan Ito (1962) adalah 0,4 untuk padi berdaun tegak dan 0,8 untuk padi berdaun terkulai. Ketiga varietas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Ciherang, Inpari 10, dan Inpari 13 semuannya memiliki bentuk daun yang tegak (Suprihatno et

al. 2010).

Radiasi diatas tajuk tanaman (I0) yang

digunakan adalah dalam bentuk PAR. Radiasi PAR didapat dari radiasi global dikalikan dengan 0,44 (Impron. et al. 2008).

- Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya (Radiation Use Efisiency, RUE). Efisiensi penggunaan radiasi surya dihitung berdasarkan selisih berat kering tanaman dengan total radiasi yang diintersepsi oleh tanaman padi selama siklus hidupnya (sejak tanam hingga panen). Satuan dari efisiensi penggunaan radiasi surya adalah gMJ-1.

𝑅𝑈𝐸 = ∆ BKT (g m

−2 )

Rint (MJ m−2 )

BKT = berat kering tanaman

 Produktivitas dan Komponen Hasil Tanaman Padi

- Produktivitas Tanaman Padi

Produktivitas padi diukur pada kadar air 14%. Untuk menghitung produktivitas

padi digunakan metode ubinan dengan luas 7,5 m2 atau sama dengan 120 rumpun padi. Gabah yang dihasilkan dari 120 rumpun padi tersebut ditimbang dan diukur kadar airnya menggunakan alat

Grain Moisture meter. Kemudian

produktivitas padi dihitung dengan rumus ubinan: P =100 − KAG 100 − 14 x 160000 120 x BG atau P =100 − KAG 100 − 14 x 10.000 m2 7,5 m2 x BG P = produktivitas padi (ton/ha) KAG = kadar air gabah (%) BG = bobot gabah 120 rumpun - Komponen Hasil Tanaman Padi

Tanaman contoh untuk komponen hasil diambil pada saat tanaman siap panen, setiap ulangan terdiri dari empat tanaman contoh (4 rumpun) dimana setiap anak petak terdapat tiga ulangan. Komponen hasil yang diukur yaitu: jumlah malai 4 rumpun, bobot jerami kering oven 4 rumpun, bobot gabah 4 rumpun, bobot gabah sub sampel, bobot gabah isi sub sampel, bobot gabah hampa sub sampel, jumlah gabah isi sub sampel, jumlah gabah hampa sub sampel, bobot akar kering sub sampel, bobot gabah 1000 butir, persentase gabah isi, persentase gabah hampa, jumlah gabah per malai.

Rumus bobot 1000 butir (KAG 14%) : 𝐵𝑆𝐵 =1000

𝐺𝐼 𝑥 𝐵𝐺𝐼 𝑥

100 − 3 100 − 14 BSB = Bobot 1000 butir

GI = Jumlah gabah isi sub sampel BGI = Bobot gabah isi sub sampel Rumus persentase gabah isi:

%GI = 𝐺𝐼

𝐺𝐼 + 𝐺𝐻 𝑥 100 %GI =Persentase gabah hampa GI = Jumlah gabah isi sub sampel GH = Jumlah gabah hampa sub sampel Rumus persentase gabah hampa:

%GH = 𝐺𝐻

𝐺𝐼 + 𝐺𝐻 𝑥 100 %GH = Persentase gabah hampa GI = Jumlah gabah isi sub sampel GH = Jumlah gabah hampa sub sampel Rumus jumlah gabah per malai:

𝐽𝐺 =𝐶 𝐷 𝑥

𝐺𝐼 + 𝐺𝐻 𝐴 JG = Jumlah gabah per malai C = Bobot gabah 4 rumpun D = Bobot gabah sub sampel GI = Jumlah gabah isi sub sampel

(19)

GH = Jumlah gabah hampa sub sampel A = Jumlah malai 4 rumpun

Keterangan: rumus perhitungan produktivitas dan komponen hasil diperoleh dari Bpk. Ujang Sutarjo (BB Padi Sukamandi) melalui komunikasi pribadi. Rumus-rumus tersebut adalah rumus yang dipakai oleh BB Padi Sukamandi untuk perhitungan produktivitas dan komponen hasil padi.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Penelitian

Kendala yang ditemui saat tanam I yaitu tanaman rentan dengan serangan hama dan penyakit, karena lahan sekitar penelitian belum ditanami oleh petani. Pada tanam II tidak banyak kendala karena waktu tanam dilakukan serempak dengan petani sekitar. Sehingga hama dan penyakit yang menyerang lebih menyebar. Pada waktu tanam III di lahan penelitian sudah tidak mendapat air irigasi. Air yang digunakan untuk penanaman adalah sisa air dari lahan tanam II yang sudah siap panen. Sehingga pada saat pemupukan kedua yaitu pada saat tanaman padi berumur 25 HST (24 Juli 2011) kondisi air dilahan sudah macak – macak. Pada saat panen, kadar air tanah lapisan atas tinggal sekitar 11% (V/V), kadar air lapisan tengah antara 19% (V/V), dan kadar air lapisan bawah antara 21% (V/V). Selain kendala pada air, tanam III juga banyak diserang oleh hama penggerek batang.

( 2a ) ( 2b ) Gambar 2 Kondisi lahan tanam III saat pemupukan kedua pada umur 25 HST (2a)

dan saat tanaman umur 48 HST (2b). Hama dan penyakit tanaman yang menyerang tanaman padi selama penelitian berlangsung pada tanam I yaitu tikus, burung, dan kresek. Pada tanam III yaitu penggerek batang dan tikus. Sedangkan hama yang

banyak menyerang waktu persemaian adalah kupu putih dan keong mas. Hama dan penyakit yang menyebabkan kerusakan cukup parah pada tanaman serta sulit dikendalikan adalah tikus dan penggerek batang. Contoh persentase kerusakan tanaman akibat serangan tikus dapat dilihat pada Tabel 1. Varietas yang banyak terkena serangan hama tikus yaitu Inpari 10 dan Inpari 13 (Tabel 1), hal tersebut dikarenakan varietas Inpari 10 dan Inpari 13 merupakan varietas yang baru ditanam di tempat penelitian sehingga tikus lebih suka menyerang Inpari 10 dan Inpari 13 dari pada Ciherang. Hama tikus mulai menyerang tanaman pada saat tanaman masuk pada fase primordia.

Tabel 1 Persentase kerusakan tanaman pada tanam I akibat serangan hama tikus Petak Varietas Kerusakan

Akibat Tikus I II III IV V VI VII VIII IX Inpari 10 Ciherang Inpari 10 Ciherang Inpari 13 Inpari 13 Ciherang Inpari 10 Inpari 13 5% - 35% - 10% 10% - - 10% (3a) (3b) Gambar 3 Kondisi tanaman yang terkena hama tikus (3a) dan kondisi tanaman yang

terkena hama penggerek batang (3b). 4.2 Kondisi Cuaca

Suhu udara rata-rata harian selama penelitian adalah 26,7 °C, sedangkan suhu minimumnya adalah 24,6 °C dan suhu maksimumnya adalah adalah 29,3 °C. Suhu udara tersebut memenuhi syarat untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi. Suhu udara rata-rata harian yang kurang dari 20ᴼC akan menyebabkan perkembangan tanaman terhambat dan kehampaan gabah

(20)

tinggi. Sedangkan suhu udara rata-rata harian harian yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi yang pada akhirnya menurunkan jumlah gabah (Yoshida 1981). Adapun kelembaban udara rata-rata harian selama bulan Maret – Agustus adalah 82%. Kelembaban udara tersebut termasuk kelembaban optimum untuk tanaman padi. Menurut Tanaka (1976) kelembaban optimum untuk tanaman padi adalah 50 - 90%, kelembaban nisbi yang terlalu rendah dapat menyebabkan kekeringan tanaman akibat laju transpirasi yang tinggi. Sebaliknya pada kondisi kelembaban nisbi yang terlalu tinggi dapat menyebabkan persentase gabah hampa yang tinggi karena proses persarian tidak berlangsung sempurna akibat menggumpalnya tepung sari (Gambar 4).

Rata-rata radiasi surya harian selama penelitian adalah 19,3 MJm-2hari-1. Radiasi tertinggi terjadi pada tanggal 10 Mei (Julian date 130) dengan jumlah radiasi sebesar 22,2 MJm-2hari-1. Radiasi terendah 7,8 MJm-2hari-1

pada tanggal 9 April (Julian date 99). Rata-rata kecepatan angin harian yang bertiup adalah 1,4 m/s, laju kecepatan angin tertinggi adalah 3,5 m/s, sedangkan kecepatan angin terendah adalah 0,6 m/s. Kecepatan angin sebelum julian date 200 (menjelang panen tanam II dan inisiasi malai tanam III) kecepatan angin cenderung stabil. Setelah julian date 200 kecepatan angin semakin meningkat sehingga mengakibatkan sebagian tanaman waktu tanam II rebah (Gambar 5).

Pada waktu tanam I dan awal waktu tanam II intensitas curah hujan yang turun cukup tinggi dengan curah hujan tertinggi lebih dari 63 mm yang terjadi pada tanggal 14 April 2011 (Julian date ke-104). Memasuki bulan Juli dan Agustus sudah tidak turun hujan dilahan penelitian. Hal ini berarti sejak tanaman pada tanam III berumur 22 HST sudah tidak lagi mendapat air hujan. Kondisi tersebut tentunya sangat berpengaruh terhadap petumbuhan dan perkembangan tanaman (Gambar 6).

Gambar 4 Suhu udara rata-rata harian (biru) dan kelembaban rata-rata udara harian (merah).

Gambar 5 Radiasi surya rata-rata harian (biru) dan kecepatan angin rata-rata harian (merah). 60 70 80 90 100 20 22 24 26 28 30 83 133 183 233

K

el

em

b

a

ba

n

uda

ra

(%)

S

uh

u

uda

ra

h

ar

ia

n

(

C)

Hari ke- (dalam 1 tahun/Julian date) tahun 2011

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 83 103 123 143 163 183 203 223 243

K

ec

epa

ta

n

a

n

gi

n

(m

/s

)

R a di a si s ur y a (M Jm -2h a ri -1)

(21)

Gambar 6 Curah hujan harian di Desa Langgengsari, Kecamatan Lelea, Indramayu.

4.3 Pertumbuhan Tanaman

Pertumbuhan tanaman padi diindikasikan dengan perubahan dan pertambahan tinggi tanaman serta jumlah anakan. Pada penelitian ini tinggi tanaman dan jumlah anakan diamati setiap minggu mulai awal tanam hingga tanaman siap dipanen.

4.3.1 Tinggi Tanaman

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tinggi Ciherang tanam III berbeda nyata dengan tanam I dan tanam II, Ciherang tanam III memiliki tinggi tanaman paling rendah. Tinggi varietas Inpari 10 berbeda nyata untuk setiap waktu tanam, dimana tinggi tanaman tertinggi pada waktu tanam II dan terendah pada waktu tanam III. Sedangkan varietas Inpari 13 tanam II berbeda nyata dengan tanam I dan tanam III, tanam II memiliki tinggi tanaman paling tinggi (Tabel 2). Tabel 2 Perbandingan tinggi tanaman padi

antar waktu tanam Waktu

Tanam

Tinggi Tanaman (cm) Ciherang Inpari 10 Inpari 13

Tanam I 103a 99b 101b

Tanam II 110a 114a 121a

Tanam III 66b 68c 91b

Keterangan : - Angka pada masing – masing kolom yang ditandai huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%

- Data diambil dari pengamatan minggu terakhir sebelum panen.

Kondisi kekurangan air atau kekeringan yang terjadi pada tanam III sejak fase vegetatif menyebabkan pertumbuhan tinggi tanaman menjadi terhambat. Jumin (1992) menyatakan bahwa defisit air mempengaruhi pertumbuhan vegetatif tanaman. Hilangnya turgiditas pada tanaman karena kekurangan air

dapat menghentikan pertumbuhan sel (penggandaan dan pembesaran) yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat.

Tabel 3 Perbandingan tinggi tanaman padi antar varietas

Varietas

Tinggi Tanaman (cm) Tanam I Tanam II Tanam III

Ciherang 103a 110b 66b

Inpari 10 99a 114b 68b

Inpari 13 101a 121a 91a

Keterangan : - Angka pada masing – masing kolom yang ditandai huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%

- Data diambil dari pengamatan minggu terakhir sebelum panen.

Analisis sidik ragam perbandingan tinggi tanaman antar varietas menunjukkan pada tanam I semua varietas tidak terdapat perbedaan yang nyata. Pada tanam II dan tanam III varietas Inpari 13 berbeda nyata dengan Ciherang dan Inpari 10. Varietas Inpari 13 memilki pertumbuhan tinggi rata-rata diats Ciherang dan Inpari 10 (Tabel 3). Tinggi tanaman bukan merupakan parameter baik tidaknya varietas padi. Tanaman yang tinggi dengan batang yang lemah menyebabkan tanaman mudah rebah yang dapat menurunkan produksi padi. Yoshida (1981) menyatakan tingginya hasil padi varietas unggul baru terutama disebabkan oleh ketahanannya terhadap kerebahan. Menurut Suprihatno et al. (2010) varietas Inpari 10 dan Inpari 13 merupakan varietas yang tahan terhadap kerebahan, sedangkan Ciherang memiliki tingkat kerebahan sedang.

0 10 20 30 40 50 60 70 83 103 123 143 163 183 203 223 243 Cur a h h uj a m h a ri a n (m m )

(22)

0 20 40 60 80 100 120 140 0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 T in g g i ta n a m a n ( cm ) Umur tanaman (HST) 0 20 40 60 80 100 120 140 0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 T in g g i ta n a m a n ( cm ) Umur Tanaman (HST) 0 20 40 60 80 100 120 140 0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 T in g g i ta n a m a n ( cm ) Umur tanaman (HST)

Gambar 7 Tinggi tanaman pada waktu tanam I (gambar atas), waktu tanam II (gambar tengah), waktu tanam III (gambar bawah), untuk varietas Ciherang ( ),

Inpari 10 ( ), Inpari 13 ( ). Tinggi tanaman terus meningkat sejak

awal pertumbuhan hingga tinggi maksimum tercapai, kemudian tinggi tanaman konstan. Tinggi maksimum tanaman pada tanam I dan tanam II terjadi pada umur 56 HST, sedangkan pada tanam III terjadi pada 42 HST (Gambar 7). Tinggi maksimum tanaman pada ketiga waktu tanam semuanya terjadi pada fase pembungaan, setelah tinggi maksimum tercapai tinggi tanaman konstan karena alokasi produksi biomassa semuanya

digunakan untuk gabah. Handoko (1994) menyatakan setelah fase pembungaan, semua produksi biomassa dialokasikan ke biji. Tinggi tanaman pada tanam III untuk varietas Ciherang dan Inpari 10 setelah umur 63 HST menunjukkan grafik yang menurun, hal ini karena pada saat itu sampel yang diamati daunnya mengering dan dimungkinkan daun yang tertinggi juga telah mengering sehingga tinggi tanaman yang diamati menjadi lebih pendek (Gambar 7).

(23)

4.3.2 Jumlah Anakan

Jumlah anakan merupakan jumlah seluruh anakan padi baik yang menghasilkan malai maupun yang tidak menghasilkan malai. Analisis sidik ragam jumlah anakan varietas Ciherang di tiga waktu tanam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Varietas Inpari 10 tanam II berbeda nyata dengan tanam I dan tanam III, tanam II memiliki anakan yang paling sedikit. Varietas Inpari 13 pada tanam I dan tanam II berbeda nyata dengan tanam III, dimana tanam III memiliki jumlah anakan yang paling sedikit (Tabel 4). Secara umum perbedaan waktu tanam tidak terlalu berpengaruh terhadap jumlah anakan. Tabel 4 Perbandingan jumlah anakan padi

antar waktu tanam Waktu

Tanam

Jumlah Anakan

Ciherang Inpari 10 Inpari 13

Tanam I 16a 19a 17a

Tanam II 17a 16b 17a

Tanam III 17a 18a 15b

Keterangan : - Angka pada masing – masing kolom yang ditandai huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%.

- Data diambil dari pengamatan minggu terakhir sebelum panen.

Tabel 5 Perbandingan jumlah anakan padi antar varietas

Varietas

Jumlah Anakan

Tanam I Tanam II Tanam III

Ciherang 16a 17a 17ab

Inpari 10 19a 16a 18a

Inpari 13 17a 17a 15b

Keterangan : - Angka pada masing – masing kolom yang ditandai huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%

- Data diambil dari pengamatan minggu terakhir sebelum panen.

Sidik ragam jumlah anakan antar varietas padi menunjukkan pada tanam I dan tanam II tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga varietas. Pada tanam III varietas Ciherang tidak berbeda nyata dengan Inpari 10 dan Inpari 13, sedangkan antara varietas Inpari 10 dengan Inpari 13 saling beda nyata. Varietas yang memiliki rata-rata jumlah anakan terbanyak adalah Inpari 10 (Tabel 5). Secara umum ketiga varietas padi memiliki jumlah anakan yang hampir sama.

4.4 Jumlah Anakan Produktif

Jumlah anakan produktif merupakan jumlah anakan padi yang menghasilkan malai.

Pada tanam I varietas Inpari 13 hanya menghasilkan 11 anakan produktif dari total 17 anakan (Tabel 6), hal ini karena Inpari 13 merupakan varietas yang terkena serangan hama tikus paling parah. Pada tanam III jumlah anakan produktif yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan tanam I dan tanam II, faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah pada tanam III tanaman mengalami kekeringan sehingga perkembangan jumlah anakan produktif lebih sedikit. Faktor lain yang mempengaruhi jumlah anakan produktif pada tanam III adalah hama tikus dan penggerek batang yang menyerang tanam III. Tabel 6 Perbandingan jumlah anakan

produktif padi antar waktu tanam Waktu

Tanam

Jumlah Anakan Produktif Ciherang Inpari 10 Inpari 13

Tanam I 15a 16a 11b

Tanam II 17a 16a 16a

Tanam III 11a 13a 13ab

Keterangan : - Angka pada masing – masing kolom yang ditandai huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%.

- Data diambil dari pengamatan minggu terakhir sebelum panen.

Tabel 7 Perbandingan jumlah anakan produktif padi antar varietas Varietas

Jumlah Anakan Produktif Tanam I Tanam II Tanam III

Ciherang 15a 17a 11a

Inpari 10 16a 16a 13a

Inpari 13 11a 16a 13a

Keterangan : - Angka pada masing – masing kolom yang ditandai huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%

- Data diambil dari pengamatan minggu terakhir sebelum panen.

Berdasarkan tabel sidik ragam Tabel 7 dapat dilihat disemua waktu tanam tidak terdapat perbedaan yang nyata antara semua varietas dalam jumlah anakan produktif. Pada kondisi normal (waktu tanam II) jumlah anakan produktif Ciherang adalah 17 batang, sedangkan Inpari 10 dan Inpari 13 sebanyak 16 batang. Suprihatno et al. (2010) menyebutkan jumlah anakan produktif untuk varietas Ciherang 14 – 17 batang, Inpari 10 berkisar 17 – 25 batang, dan Inpari 13 sebanyak 17 batang.

4.5 Perkembangan Tanaman

Perkembangan tanaman merupakan perubahan fase pada tanaman, untuk tanaman semusim biasanya dinyatakan mulai dari

(24)

perkecambahan sampai matang fisiologis. Pengamatan fase perkembangan pada penelitian ini dimulai sejak tanaman berada di persemaian. Umur tanaman selama di persemaian sampai tanaman siap ditanam (tanam pindah) untuk waktu tanam I adalah 22 hari, waktu tanam II 19 hari, dan waktu tanam III 22 hari. Pembentukan anakan pada tanaman padi berlangsung sejak anakan pertama muncul sampai anakan maksimum. Setelah anakan maksimum tercapai, sebagian anakan akan mati dan tidak menghasilkan malai. Anakan tersebut dinamakan anakan tidak produktif. Anakan maksimum pada tanam I untuk varietas Ciherang dan Inpari 13 tercapai pada saat tanaman berumur 35 HST/57 HSS, sedangkan varietas Inpari 10 tercapai pada 43 HST/65 HSS. Pada tanam II anakan maksimum semua varietas terjadi pada saat tanaman berumur 35 HST/54 HSS, begitu juga dengan tanam III anakan maksimum semua varietas terjadi pada saat tanaman berumur 43 HST/65 HSS (Tabel 7).

Fase primordia tanaman padi dapat terjadi bersamaan, sebelum, atau sesudah pembentukan anakan maksimum. Fase primordia pada penelitian ini terjadi sebelum anakan maksimum. Varietas Inpari 13 masuk fase primordia paling cepat, hal ini karena Inpari 13 merupakan varietas genjah.

Sedangkan Ciherang dan Inpari 10 masuk fase primordia pada umur yang hampir sama (Tabel 8).

Varietas Inpari 13 memiliki perkembangan yang lebih cepat dari varietas Ciherang dan Inpari 10, hal ini karena faktor genetik dari varietas Inpari 13 yang memiliki umur genjah dimana umur varietas Inpari 13 adalah 103 hari (Suprihatno et al. 2010). Pada penelitian ini umur varietas Inpari 13 kurang dari 103 hari, pada tanam I dan tanam II varietas Inpari 13 sudah siap dipanen pada umur 99 hari sedangkan pada tanam III tanaman siap panen pada umur 89 hari. Varietas Ciherang dan Inpari 10 memiliki fase perkembangan yang hampir sama, kedua varietas tersebut pada tanam I memiliki umur panen berturut-turut 103 dan 104 hari, pada tanam II berumur 102 dan 103 hari, dan pada tanam III kedua varietas tersebut memiliki umur yang sama yaitu 99 hari (Tabel 8).

Varietas yang paling responsif terhadap terjadinya kekeringan yaitu varietas Inpari13. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan umur panen Inpari 13 tanam III yang memiliki perbedaan umur 10 hari lebih cepat dari tanam I dan tanam II. Sedangkan varietas Ciherang dan Inpari 10 hanya berbeda 2 – 5 hari lebih cepat dari tanam I dan tanam II (Tabel 8).

Tabel 8 Fase perkembangan tanaman tiga varietas padi pada tiga waktu tanam Waktu

Tanam

Varietas

Hari Setelah Semai (HSS) Semai ∑ Anakan Maksimum Primordia Keluar Malai Pengisian Bulir Pemasakan Panen (masak) I Ciherang 0 57 53 74 81 90 103 Inpari 10 0 65 53 73 80 90 104 Inpari 13 0 57 52 69 76 88 99 II Ciherang 0 54 51 75 80 88 102 Inpari 10 0 54 52 73 80 86 101 Inpari 13 0 54 51 69 76 84 99 III Ciherang 0 65 57 71 82 90 99 Inpari 10 0 65 56 71 80 90 99 Inpari 13 0 65 52 63 68 79 89

4.6 Produktivitas dan Komponen Hasil Produktivitas padi dihitung menggunakan metode ubinan dengan mengambil luas 7,5 m2 atau sama dengan 120 rumpun padi. Analisis sidik ragam perbandingan produktivitas antar waktu tanam menunjukkan perbedaan yang nyata untuk semua varietas (Tabel 9). Waktu

tanam II memiliki produktivitas paling tinggi. Faktor yang mempengaruhi tingginya produktivitas tanam II diantaranya adalah kebutuhan air tanaman padi tercukupi serta kondisi cuaca yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan padi. Hama dan penyakit yang menyerang tanam II juga relatif sedikit

(25)

dibandingkan tanam I dan III, karena waktu tanam II bersamaan dengan petani setempat sehingga hama dan penyakit yang menyerang lebih menyebar.

Waktu tanam III memiliki produktivitas yang paling rendah, dimana varietas Ciherang hanya memiliki produktivitas 1,42 ton/ha, varietas Inpari 10 lebih rendah lagi hanya 0,75 ton/ha, dan Inpari 13 memiliki produktivitas sebesar 2,42 ton/ha. Produktivitas yang rendah tersebut karena waktu tanam III berada pada kondisi yang sangat ekstrim kering, dimana tanaman sejak umur 22 HST sudah tidak mendapat hujan dan irigasi. Kondisi tanaman yang sangat kering ini mengakibatkan kehampaan gabah yang tinggi. Persentase gabah hampa pada tanam III untuk varietas Ciherang sebesar 56%, Inpari 10 sebesar 75%, dan Inpari 10 sebesar 53%. Selain kehampaan gabah yang tinggi, kekeringan pada tanam III juga menurunkan bobot gabah 1000 butir ketiga varietas. O’toole dan Chang (1979) menyatakan stres air pada fase generatif menurunkan pembungaan, jumlah bulir, bobot per 1000 butir dan meningkatkan gabah hampa.

Hasil sidik ragam jumlah gabah per malai untuk varietas Ciherang dan Inpari 13 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada

setiap waktu tanam. Sedangkan varietas Inpari 10 berbeda nyata untuk setiap waktu tanam, tanam II memiliki jumlah gabah per malai paling tinggi dan tanam III memiliki jumlah gabah per malai terendah. Analisis sidik ragam bobot gabah 1000 butir varietas Ciherang dan Inpari 10 pada tanam III berbeda nyata dengan tanam I dan tanam II, bobot gabah 1000 butir tanam III lebih rendah dari tanam I dan tanam II. Sidik ragam bobot gabah 1000 butir varietas Inpari 13 berbeda nyata disetiap waktu tanam, bobot gabah 1000 butir tertinggi pada waktu tanam II dan terendah pada tanam III (Tabel 9). Produktivitas yang tinggi pada waktu tanam II dapat dilihat pada jumlah gabah per malai dan bobot gabah 1000 butir pada waktu tanam II yang lebih tinggi dari waktu tanam I dan waktu tanam III.

Analisis sidik ragam perbandingan produktivitas antar varietas menunjukkan pada tanam I dan tanam II tidak terdapat perbedaan yang nyata antar ketiga varietas. Pada tanam III terdapat perbedaan yang nyata untuk ketiga varietas (Tabel 10). Varietas Inpari 13 memiliki produktivitas tertinggi pada waktu tanam III, sedangkan produktivitas terendah terdapat pada varietas Inpari 10.

Tabel 9 Perbandingan produktivitas dan komponen hasil antar waktu tanam Produktivitas dan

Komponen Hasil

Waktu tanam Ciherang Inpari 10 Inpari 13

Produktivitas (ton/ha) Tanam I 5,29b 5,15b 4,81b

Tanam II 6,94a 6,74a 6,76a

Tanam III 1,42c 0,75c 2,42c

Bobot Gabah 1000 Butir pada KA 14% (gram)

Tanam I 25,8a 29,3a 26,0b

Tanam II 26,4a 29,6a 27,1a

Tanam III 21,1b 22,8b 22,9c

% Gabah Isi Tanam I 90a 90a 83a

Tanam II 91a 92a 90a

Tanam III 44b 25b 47b

% Gabah Hampa Tanam I 10b 10b 17b

Tanam II 9b 8b 10b

Tanam III 56a 75a 53a

Jumlah Gabah/Malai Tanam I 103a 88b 119a

Tanam II 115a 107a 131a

Tanam III 109a 77c 114a

Keterangan : Angka pada masing – masing kolom yang ditandai huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%

(26)

Tabel 10 Perbandingan produktivitas dan komponen hasil antar varietas Produktivitas dan Komponen

Hasil

Varietas Tanam I Tanam II Tanam III

Produktivitas (ton/ha) Ciherang 5,29a 6,94a 1,42b

Inpari 10 5,15a 6,74a 0,75c

Inpari 13 4,81a 6,76a 2,42a

Bobot Gabah 1000 Butir pada KA 14% (gram)

Ciherang 25,8b 26,4b 21,1b

Inpari 10 29,3a 29,6a 22,8a

Inpari 13 26,0b 27,1b 22,9a

% Gabah Isi Ciherang 90a 91ab 44a

Inpari 10 90a 92a 25b

Inpari 13 83b 90b 47a

% Gabah Hampa Ciherang 10b 9ab 56b

Inpari 10 10b 8b 75a

Inpari 13 17a 10a 53b

Jumlah Gabah/Malai Ciherang 103b 115b 109a

Inpari 10 88c 107a 77a

Inpari 13 119a 131b 114a

Keterangan : Angka pada masing – masing kolom yang ditandai huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%

Bobot gabah 1000 butir varietas Inpari 10 pada tanam I dan tanam II memiliki bobot tertinggi dan berbeda nyata dengan varietas Ciherang dan Inpari 13. Sedangkan pada tanam III varietas Ciherang memiliki bobot gabah 1000 butir lebih rendah dari Inpari 10 dan Inpari 13. Varietas Inpari 13 memiliki persentase gabah hampa cukup tinggi pada tanam I dan tanam II. Sedangkan pada tanam III Inpari 10 merupakan varietas yang memiliki kehampaan gabah yang paling tinggi. Varietas Inpari 13 merupakan varietas yang memiliki jumlah gabah per malai yang paling banyak dari pada Ciherang dan Inpari 10, akan tetapi varietas ini juga memiliki tingkat kehampaan gabah yang cukup tinggi sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap potensi hasil produktivitas Inpari 13 (Tabel 10).

Inpari 13 merupakan varietas yang paling tahan terhadap kondisi kekeringan dibandingkan Ciherang dan Inpari 10. Hal tersebut dapat dilihat dari produktivitas Inpari

13 yang lebih tinggi dibandingkan Ciherang dan Inpari 10 pada waktu tanam III. Oleh karena itu, jika diprediksi akan terjadi kekeringan para petani dapat menggunakan varietas Inpari 13 untuk mengantisipasi besarnya kerugian akibat kekeringan. Pada kondisi normal atau tidak dalam kondisi kekeringan Inpari 13 juga memiliki produktivitas yang hampir sama dengan Ciherang dan Inpari 10.

Gambar

Gambar 1 Pembagian petak, waktu semai,  waktu tanam, dan penempatan varietas pada
Gambar 6 Curah hujan harian di Desa Langgengsari,   Kecamatan Lelea, Indramayu.
Gambar 7 Tinggi tanaman pada waktu tanam I (gambar atas), waktu tanam II   (gambar tengah), waktu tanam III (gambar bawah), untuk varietas Ciherang (      ),
Tabel 9 Perbandingan produktivitas dan komponen hasil antar waktu tanam  Produktivitas dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Demikian undangan dari kami dan atas perhatiannya diucapkan terima kasih.. Pokja 2 ULP Kabupaten Kendal

[r]

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2019, seluruh kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Oesapa berada pada tingkat Container Index yang tinggi

Informasi barang dan/atau jasa yang diperoleh dari konsumen atau.. organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut

Hasil analisis data tentang hasil belajar siswa menggunakan uji tuckey memperlihatkan dua hal yang berlawanan dimana siswa yang memiliki tingkat penalaran kongkrit,

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cuevas, Aura et al ((2010) yang menemukan bahwa mencuci tangan sebelum dan setelah defekasi dan mencuci

Hasil uji Duncan dengan taraf signifikan 5% pada tabel 4.2 menunjukkan, bahwa pengaruh pemberian berbagai kombinasi konsentrasi sukrosa dan kinetin terhadap jumlah nodus kentang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi tidak sesuai dengan realitas perilaku seksual dan resiko seksual yang dihadapi remaja