• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Bagian pendahuluan ini berisi uraian yang menjelaskan tentang motivasi utama dari pengambilan topik penelitian model e-learning ini. Penjelasan dimulai dengan melihat latar belakang penelitian, yang terdiri atas pentingnya e-learning dalam menunjang program percepatan dan pemerataan akses pendidikan, dilanjutkan dengan penjelasan tentang model-model e-learning yang ada beserta isu-isu yang terkait di dalamnya. Selanjutnya uraian dari latar belakang ini yang dijadikan acuan dalam perumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bagian ini diakhiri dengan gambaran tentang bagaimana keseluruhan tulisan penelitian ini disajikan dalam bentuk sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang

1.1.1 E-learning Sebagai Alternatif Percepatan dan Pemerataan Akses Pendidikan

Indonesia sebagai bangsa yang besar akan memiliki usia produktif (usia angkatan kerja 15 – 64 tahun) sebanyak 70% dari total penduduk pada rentang waktu tahun 2020-2030 (Sumber : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2010). Kondisi tersebut merupakan bonus demografi sebagai modal utama dalam pembangunan. Bonus demografi adalah suatu fenomena atau kondisi struktur penduduk yang sangat menguntungkan dari sisi pembangunan, karena jumlah penduduk usia produktif sangat besar, sedang proporsi usia muda sudah semakin kecil dan proporsi usia lanjut belum banyak.

Bonus demografi ini akan menjadi masalah besar jika tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja, layanan pendidikan, kesehatan, dan ketersediaan pangan yang memadai. Khusus berkaitan dengan layanan pendidikan, usia angkatan kerja yang tidak terdidik akan menimbulkan peningkatan angka pengangguran. Bonus demografi ini akan memunculkan

(2)

masalah-masalah lain yang menjadi beban bagi negara, jika tidak diantisipasi dengan baik.

Sebagai gambaran, jika angka partisipasi kasar (APK) tingkat sekolah menengah dijadikan sebagai acuan angkatan kerja yang terdidik, sampai dengan tahun 2015-2016, angka ini belum menunjukkan capaian yang diharapkan., sebagaimana ditunjukan pada Gambar 1.1 (Sumber : Pusat Data dan Statistik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016).

Gambar 1.1 APK Tingkat SLTA/Sederajat Tahun 2015-2016

Data APK sebagaimana disajikan pada Gambar 1.1, memperlihatkan 48.43 67.56 67.79 68.24 69.1 70.54 70.57 72.81 73.22 73.38 74.31 74.47 74.92 75.47 75.48 76.08 77.06 79.43 79.68 80.54 80.59 80.64 84.78 85.37 85.52 85.89 86.79 88.87 90.6 91.02 91.36 92.46 92.95 93.89 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Papua Jawa Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Lampung Bangka Belitung Nusa Tenggara Timur Banten Kalimantan Utara Jambi Jawa Tengah Riau Sulawesi Tengah Sumatera Selatan Gorontalo Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Jawa Timur Bengkulu Papua Barat Kalimantan Timur Aceh Nusa Tenggara Barat Sumatera Barat Sulawesi Utara Sumatera Utara Maluku Utara Sulawesi Tenggara Maluku D.K.I. Jakarta Kepulauan Riau Bali D.I. Yogyakarta APK Sekolah Menengah Atas/Sederajat Tahun 2015-2016 APK

(3)

adanya kesenjangan antara daerah yang satu dengan yang lainnya. APK di beberapa daerah sudah mencapai target, tetapi sisanya masih di bawah rata-rata nasional. Berdasarkan data ini terdapat 16 provinsi yang APK-nya masih dibawah rata-rata APK nasional sebesar 76,45%. Kondisi ini, tentu saja menjadi cambuk bagi pemerintah untuk melakukan berbagai macam upaya dan terobosan. Usaha-usaha yang dilakukan harus diarahkan dalam rangka mempercepat tercapainya APK sesuai yang diharapkan sebesar 97%. Tanpa program-program percepatan yang dilakukan, bonus demografi pada rentang waktu 2020-2030 hanya akan menjadi beban pada masa yang akan datang. Proyeksi peningkatan APK dengan adanya program percepatan dan program biasa bisa dilihat pada Gambar 1.2 (Sumber : Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah, Kemdikbud, 2014).

Gambar 1.2 Proyeksi Program Peningkatan Pencapaian APK

Untuk mengejar ketertinggalan APK ini, pemerintah telah melakukan berbagai macam usaha dalam bentuk program percepatan APK sekolah menengah/sederajat. Program-program percepatan dengan mendirikan unit sekolah baru atau penambahan ruang kelas baru tentunya akan membutuhkan biaya dan waktu yang cukup lama. Di sisi lain terdapat ketimpangan antara jumlah lulusan yang harus ditampung dengan unit sekolah yang tersedia. Padahal, pengadaan insfrastruktur fisik pendidikan dan tenaga pendidik tidak bisa dilakukan seperti membalik telapak tangan. Bahkan, untuk daerah-daerah tertentu dengan kondisi geografis yang terisolir, pembangunan sarana pendidikan memberikan tantangan tersendiri.

(4)

Situasi dan kondisi seperti yang disampaikan sebelumnya, membuat isu-isu yang berkaitan dengan pemerataan dan perluasan akses bidang pendidikan selalu menjadi perhatian serius. Isu pemerataan dan perluasan akses bidang pendidikan ini sangat krusial dalam menentukan arah kebijakan bidang peningkatan kualitas sumber daya manusia. Usaha-usaha untuk memberikan layanan pendidikan yang berkualitas kepada masyarakat terus dilakukan sejalan dengan terus meningkatnya kebutuhan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Di sisi lain, laju peningkatan dan penambahan daya tampung, terutama dengan ketersediaan ruang-ruang kelas, laboratorium maupun sarana dan prasarana pendidikan lain, masih tidak sebanding dengan kebutuhan yang ada. Terlebih lagi bagi Indonesia dengan variasi demografis dan letak geografisnya, diperlukan berbagai terobosan yang tepat guna mengatasi masalah ini. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengurangi kesenjangan ini, salah satunya dengan menerapkan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

PJJ adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi informasi dan komunikasi serta media lain (Permendikbud no 24 tahun 2012). Sistem pembelajaran ini menggunakan model e-learning yang sudah sejak lama dikembangkan jauh sebelum regulasi PJJ ini dikeluarkan. E-learning telah memberikan alternatif dan kesempatan kepada para pendidik dan peserta pendidik untuk melakukan proses pembelajaran melalui sebuah lingkungan virtual baik di dalam maupun di luar pendidikan formal.

1.1.2 Model dan Isu Pada Aplikasi E-learning

Program pembelajaran dengan sistem PJJ yang berbasis e-learning ini terus dikembangkan dalam rangka memberikan alternatif pembelajaran, pemerataan, dan perluasan akses pendidikan. E-learning menggunakan teknologi multimedia dan internet untuk memperbaiki kualitas pembelajaran melalui fasilitas akses terhadap berbagai materi dan layanan belajar [1]. E-learning dapat memberikan solusi yang luas dalam meningkatkan pengetahuan dan kinerja [2].

(5)

sifatnya tatap muka langsung ke dalam sebuah lingkungan virtual pembelajaran. Perkembangan industri e-learning terus tumbuh dengan pesat seiring dengan meningkatnya kebutuhan alternatif akses pada dunia pendidikan. Walaupun demikian masih terdapat isu yang sering dijumpai dalam implementasi sistem

e-learning saat ini.

Diantara isu yang paling dominan diantaranya adalah: kurangnya umpan balik dari pendidik, pedagogik (model pembelajaran), kurangnya kolaborasi peserta didik, terbatasnya konteks sosial lingkungan kampus, kesenjangan teknologi [3], kondisi emosional pengguna, terbatasnya konten digital yang sesuai dengan ketertarikan pengguna [4], serta hilangnya konteks pembelajaran [5].

Kebutuhan pengguna yang semakin tinggi dan beraneka ragam, mendorong sebuah sistem e-learning dirancang dan dibangun mengikuti kondisi alamiah penggunanya. Lingkungan virtual pembelajaran dikembangkan sedapat mungkin mendekati kondisi dan situasi penggunanya. Hal tersebut sejalan dengan perubahan paradigma dalam model pembelajaran, dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered learning) menjadi model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (learner centered learning). Oleh karena itu konsep

e-learning lebih ditekankan kepada konteks pembelajaran, memberikan perhatian

yang lebih terhadap kebutuhan peserta didik, serta mengadopsi pengalaman-pengalaman sebelumnya [6]. Pendapat lainnya mengatakan bahwa e-learning yang berbasis konteks lebih menekankan pada komunitas dan stakeholder yang lebih spesifik, utilitas pembelajaran yang spesifik, serta lingkungan yang lebih terbatas [7].

Poin-poin yang disampaikan sebelumnya yang melibatkan berbagai hal yang berkaitan dengan situasi, konteks pembelajaran, dan perubahan model pembelajaran, telah mendorong pengembangan model e-learning dirancang mengikuti kebutuhan personal peserta didik dalam bentuk personalisasi

e-learning. Desain model e-learning yang awalnya berorientasi pada teknologi dan

bersifat umum menjadi lebih berorientasi pada kebutuhan, karakteristik, situasi, dan kondisi peserta didik seperti learning style, prior knowledge, learning goals,

(6)

kemampuan kognitif, learning interest, dan motivasi sebagai parameter-parameter (context) dalam pembelajaran [8]. Pada banyak studi yang berkaitan dengan personalisasi e-learning, learning style banyak digunakan sebagai context.

Learning style dapat digunakan sebagai dasar untuk adaptasi presesentasi materi

secara dinamis [9]. Studi lain menjelaskan sebagai bagian dari cognitive style,

learning style adalah sebuah kompleksitas dari parameter kognitif yang sangat

relevan untuk proses pembelajaran [10]. Learning style lebih berorientasi pada proses tentang bagaimana cara mempersepsi, menyimpan, memproses, dan

me-recall pembelajaran [11].

Parameter context berupa kebutuhan, karakteristik, situasi, dan kondisi untuk mendapatkan awareness rekomendasi pembelajaran, merepresentasikan sebuah personalisasi e-learning berbasis context aware. Dalam personalisasi

context aware e-learning, satu atau kombinasi beberapa context digunakan sistem

untuk memilih, mencocokkan, merekomendasikan, dan menyaring materi pembelajaran yang lebih relevan dan sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik [12]. Tidak seperti e-learning yang konvensional, sebuah model personalisasi context aware e-learning menyediakan solusi yang adaptif berdasarkan model peserta didik yang bisa dilakukan dengan berbagai macam

context [13].

Seiring dengan terus berkembangnya pervasive computing, personalisasi

context aware e-learning terus dikembangkan termasuk dalam bentuk mobile learning [14]. Meskipun demikian, model-model personalisasi context aware e-learning yang dikembangkan masih fokus pada penyajian materi pembelajaran

dengan berbagai macam konteks, berbagai macam metode serta lingkungan pembelajaran. Belum adanya model konseptual sebagai framework dalam mengembangkan sebuah aplikasi context aware e-learning, mengakibatkan model yang ada banyak dilakukan secara sporadis. Sebuah bentuk abstraksi model

context aware e-learning sangat diperlukan sebagai panduan sekaligus pembeda

dengan model context aware computing bidang lainnya. Oleh karena itu perlu dikembangkan sebuah model konseptual context aware e-learning yang dapat

(7)

diturunkan pada berbagai model kontekstual untuk sebuah aplikasi e-learning. Selanjutnya, kalau dilihat dari sisi kontekstualnya, pengembangan model personalisasi context aware e-learning dengan mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik sebagai context dan acuan dalam mengembangkan sebuah aplikasi context aware e-learning masih terbatas jumlahnya [15]. Padahal keterikatan dan ketertarikan peserta didik dalam proses pembelajaran salah satunya ditentukan dari kondisi psikologis peserta didik tersebut [16]. Pengalaman psikologis ini menjadi sangat menarik untuk diteliti dan dikaji. Sesuai dengan isu dan tantangan pada model e-learning saat ini, aspek psikologis ini menjadi sangat penting untuk dilibatkan dalam model. Walaupun untuk memodelkan pengalaman psikologis ini sangat kompleks, tetapi poin inilah yang menjadi kontribusi utama dalam penelitian ini.

Berbagai macam studi, teori dan rujukan untuk menggambarkan kondisi psikologis telah banyak dilakukan yang umumnya diimplementasikan dalam permainan (games). Pada proses pembelajaran, isu-isu berkaitan dengan kondisi psikologis pembelajaran masih banyak dibahas dalam pembelajaran konvensional saja. Akibatnya, keterlibatan komponen-komponen yang berkaitan dengan kondisi psikologis peserta didik ke dalam sebuah model e-learning masih terbatas, apalagi kalau menggunakan pendekatan model context aware e-learning. Untuk itu menggabungkan parameter-parameter kondisi psikologis ini ke dalam model

context aware e-learning menjadi sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut.

Pengalaman psikologis yang paling umum dalam pembelajaran adalah perasaan gelisah, bosan, dan optimal yang dialami oleh peserta didik. Ketiga kondisi tersebut didasarkan pada sebuah teori flow (flow theory) yang menyatakan kondisi emosional, kognitif dan motivasi peserta didik [17], [18]. Kondisi optimal (flow state) dicapai pada saat kemampuan atau skill peserta didik (pengalaman, pengetahuan, kemampuan kognitif) sebanding dengan tingkat tantangan atau masalah (challenges/problem) yang diberikan. Kondisi gelisah (anxiety) terjadi jika tingkat kemampuan/skill peserta didik lebih rendah daripada tingkat tantangan atau masalah (challenges/problem) yang diberikan. Sebaliknya kondisi

(8)

bosan (boredome), terjadi jika kemampuan peserta didik lebih tinggi dari tingkat tantangan atau masalah (challenges/problem) yang diberikan [19]. Sehingga, keseimbangan antara penyajian tingkat challenge/problem dan skill/materi pembelajaran harus menjadi fokus utama pada pengembangan model e-learning berdasarkan kondisi psikologis pengguna ini.

1.2 Rumusan Masalah

Peningkatan kebutuhan, pemerataan dan perluasan akses terhadap pendidikan telah mendorong pengembangan model e-learning sebagai salah satu alternatif solusi pembelajaran. Walaupun demikian masih terdapat isu dalam penerapan model e-learning saat ini. Diantara isu yang dimaksud diantaranya adalah tidak memberikan perhatian yang lebih terhadap kebutuhan, situasi dan kondisi psikologis pengguna. Penerapan model context aware pada e-learning menjadi salah satu solusi terhadap isu penerapan e-learning tersebut. Meskipun begitu, model yang ada masih fokus pada penggunaan physical context, explicit

context, maupun context yang berkaitan dengan lingkungan fisik pembelajaran.

Secara umum, rumusan masalah dalam penelitian ini dapat disarikan sebagai berikut :

1. Inti permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimana melibatkan aspek psikologis dalam model context aware e-learning. Penelitian berkaitan dengan keterlibatan pengalaman psikologis pada model context aware

e-learning masih terbatas jumlahnya. Untuk itu, pengembangan model

personalisasi e-learning dengan mengintegrasikan teknologi yang tepat, memperhatikan kebutuhan dan pengalaman pengguna saat berinteraksi dengan e-learning yang mengacu pada kondisi psikologis dan learning

style pengguna menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti dan

dikembangkan lebih lanjut [20], [21].

2. Pemecahan terhadap inti permasalahan pada poin 1 memunculkan permasalahan turunan. Permasalahan turunan yang pertama berkaitan dengan model konseptual dari context aware e-learning. Sebelum

(9)

membangun sebuah model kontekstual context aware e-learning, idealnya ada model konseptual yang memberikan batasan yang membedakan sebuah model context aware e-learning dengan model context aware pada bidang lain.

3. Permasalahan turunan yang kedua berkaitan dengan model identifikasi atau pengukuran context-nya. Penelitian terkait pengukuran flow

experience sebagai salah satu representasi dari pengalaman psikologis

pembelajaran masih dilakukan secara manual menggunakan serangkaian kegiatan survey/kuesioner. Model pengukuran kondisi psikologis dan

learning style pembelajaran pada model pembelajaran yang ada tidak

dapat mendukung sebuah model context aware e-learning. Tantangan lainnya adalah belum ada konstruksi model yang memperlihatkan hubungan flow experience dengan learning behavior sebagai parameter untuk mengukur kondisi psikologis pada model e-learning. Untuk itu perlu dibangun model hipotesis hubungan variabel-variabel pengalaman psikologis dengan learning behavior peserta didik saat berinteraksi dengan

e-learning.

1.3 Keaslian Penelitian

Pada bagian ini akan diberikan gambaran penelitian berkaitan dengan model personalisasi context aware e-learning. Penelitian-penelitian yang dilakukan terutama berkaitan dengan context yang digunakan dalam model

context aware e-learning. Gambaran ini akan memberikan posisi penelitian

terhadap model context aware e-learning yang digunakan.

Penelitian berkaitan dengan model personalisasi context aware e-learning umumnya dibedakan berdasarkan jenis context yang digunakan. Salah satu penelitian yang menggunakan context profil peserta didik khususnya learning

style adalah penelitian dengan judul “Using learning styles to personalize online learning” [22]. Penelitian menghasilkan konteks learning style yang dihasilkan

(10)

e-learning. Learning style didasarkan pada style kemampuan pembelajaran lewat

pendengaran (audio), visual (video) dan membaca (teks).

Penelitian dengan context menggunakan device pernah dilakukan oleh Michael Derntl dan Karin A. Hummel dengan judul “Modelling context aware

e-learning scenarios” [23]. Dalam penelitian ini dilakukan model e-e-learning dengan context lokasi peserta didik dan aktifitas menggunakan teknologi RFID sebagai

sensor dan perangkat fisik. RFID digunakan untuk mengetahui materi pembelajaran dan peserta didik terdekat selama proses pembelajaran.

Model context personalisasi aware e-learning yang menekankan pada metode yang digunakan untuk mengakuisisi materi pembelajaran diantaranya dilakukan oleh Philip Moore dan Hai V. Pham dengan fokus pada “personalized

intelligent context aware e-learning on demand” [24]. Penelitian ini lebih

menekankan pada penerapan algoritme context matching yang didasarkan pada himpunan dan logika fuzzy. Metode ini digunakan untuk mencocokkan materi pembelajaran sesuai dengan permintaan peserta didik. Senada dengan penelitian ini, penelitian berjudul “Context adaptif learning designs by using semantic web

serices” menerapkan konsep context aware dengan penekanan pada penerapan

teknologi semantic web service yang diintegrasikan dalam aplikasi e-learning [25]. Metode ini digunakan untuk personalisasi dan adaptasi materi pembelajaran.

Context lokasi sering digunakan dalam implementasi model context aware computing menggunakan mobile device. Penelitian berjudul “Midleware for the developmen of context aware applications inside m-learning” menggunakan

teknologi context aware sebagai midleware dalam aplikasi mobile-learning [26]. Penelitian menggunakan fitur dalam mobile devices seperti GPS, dan motion

sensor untuk terhubung ke sistem pembelajaran. Lebih jauh penelitian ini fokus

pada pembahasan cara memanggil jenis materi pembelajaran pada saat peserta didik dalam kondisi bergerak atau diam. Posisi penelitian berkaitan dengan penggunaan context pada model context aware e-learning ditunjukkan pada Gambar 1.3.

(11)

Gambar 1.3 Posisi Penelitian Berdasarkan Context pada Model Personalisasi Contex Aware E-learning

Penggunaan teori flow sebagai salah satu teori psikologi sudah banyak dilakukan dalam penelitian yang ditujukan untuk mengetahui pencapaian pembelajaran. Penelitian untuk mengetahui pengalaman flow peserta didik pernah dilakukan dengan menciptakan lingkungan pembelajaran yang didukung oleh penyediaan berbagai macam bentuk materi pembelajaran [27]. Penelitian lainnya menggunakan pendekatan konsep Technology Acceptance Model (TAM) pada pencapaian pengalaman flow peserta didik pada pembelajaran berbasis web [28].

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, khususnya berkaitan dengan context yang digunakan, menjadi dasar bagi pengembangan penelitian yang dilakukan, yaitu model personalisasi context aware e-learning berdasarkan pengalaman psikologis pembelajaran. Model-model personalisasi

context aware e-learning saat ini umumnya hanya memberikan gambaran tentang

klasifikasi context yang sering digunakan. Model-model tersebut belum memberikan gambaran yang generik/framework untuk membuat sebuah model aplikasi context aware e-learning. Pada penelitian sebelumnya, model personalisasi context aware e-learning fokus pada context dan metode untuk mengakuisisi materi pembelajaran saja, serta terbatas pada konteks lingkungan peserta didik seperti lokasi dan waktu. Context ini kurang memberikan gambaran

(12)

pengalaman peserta didik pada saat berinteraksi dengan e-learning. Penelitian berkaitan dengan pemanfaatan teori flow umumnya dilakukan pada pembelajaran tatap muka biasa, sementara pada e-learning belum didukung oleh teknologi personalisasi context aware.

Keterbatasan-keterbatasan pada penelitian yang ada, setidaknya dapat berimplikasi pada hal-hal berikut:

1. Belum adanya sebuah model konseptual yang terstruktur berdampak pada pengembangan sebuah model aplikasi context aware e-learning dilakukan secara sporadis dan kurang memberikan perhatian pada aspek-aspek pembelajaran. Penerapan context aware computing pada bidang e-learning seharusnya mempunyai batasan dan keunikan yang membedakan dengan model context aware computing pada bidang lain.

2. Terbatasnya perhatian pada context yang berkaitan dengan kondisi pengguna (user context), khususnya pengalaman psikologis pembelajaran pengguna berdampak pada munculnya isu-isu berkaitan dengan implementasi e-learning. Padahal, aspek psikologis, terutama keterikatan dan keterikatan pengguna saat pembelajaran merupakan hal yang sangat penting.

3. Pengembangan pada user context akan memberikan paradigma baru dan memberikan pemahaman yang lebih luas tentang arti sebuah context pada model aplikasi context aware computing. Context tidak lagi dipersepsikan sebagai sensor-sensor fisik atau devices yang digunakan pada lingkungan fisik pembelajaran.

Berdasarkan keterbatasan penelitian yang sudah dilakukan, pada penelitian ini dikembangkan sebuah model konseptual context aware e-learning yang didasarkan pada model context aware computing. Model konseptual ini berisi

framework komponen dan proses sebagai referensi dalam membangun sebuah

model context aware e-learning. Selanjutnya, dengan model konseptual tersebut, dikembangkan sebuah model kontekstual berdasarkan pengalaman psikologis

(13)

pembelajaran dengan melibatkan dua buah context. Kedua context tersebut adalah

learning style untuk mendukung penyajian materi pembelajaran, serta flow experience context yang merepresentasikan keseimbangan antara skill dan problem. Kondisi emosional peserta didik yang disajikan pada flow theory ini,

menjadi context untuk menghasilkan respon problem dalam sebuah pembelajaran. Model ini diharapkan menjadi perbaikan dari model sebelumnya sebagai salah satu solusi menjawab isu context dan kebutuhan peserta didik dalam lingkungan pembelajaran.

1.4 Tujuan Penelitian

Merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah pada sub bab 1.1 s.d. 1.3, maka tujuan utama yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah membangun model personalisasi context aware e-learning berdasarkan pengalaman psikologis pembelajaran. Pengalaman psikologis didasarkan pada

flow theory yang direpresentasikan oleh keseimbangan skill dan challenge saat

peserta didik berinteraksi dengan e-learning. Tujuan utama ini menghasilkan tujuan tambahan yang dapat dinyatakan sebagai berikut :

1. Membangun model konseptual sebagai acuan yang membedakan model

context aware e-learning dengan model context aware pada bidang lain.

2. Mengidentifikasi hubungan keseimbangan skill-challenge, flow experience, serta learning behavior peserta didik saat berinteraksi dengan e-learning. Learning behavior ini digunakan sebagai parameter untuk

memodelkan learner contextual information.

3. Memodelkan dan mengukur learning style dan flow state sebagai learner

contextual information berdasarkan parameter-parameter learning behavior peserta didik saat berinteraksi dengan e-learning.

1.5 Manfaat Penelitian

(14)

pengalaman psikologis pembelajaran ini diharapkan memberikan manfaat dan berkontribusi bagi hal-hal berikut :

1. Rumpun Keilmuan

Memberikan pengayaan bagi pengembangan rumpun kelimuan khususnya pada bidang pengembangan e-learning. Penelitian yang dihasilkan diharapkan mampu mengurangi keterbatasan dan isu-isu mendasar terkait penerapan e-learning.

Pada rumpun keilmuan khususnya bidang context aware computing, diharapkan memberikan paradigma baru bahwa melihat context tidak hanya pada tergantung pada sensor-sensor fisik saja. Pada pengembangan model e-learning memberikan pengayaan bahwa penambahan personal

behavior pada e-learning turut mendukung terwujudnya lingkungan

pembelajaran yang kondusif sesuai dengan kebutuhan, sehingga diharapkan penelitian dan pengembangan dalam rumpun ini akan terus berlangsung dengan inovasi-inovasi yang lebih baru.

2. Masyarakat

Pada dasarnya penelitan ini diperuntukkan bagi masyarakat khsusnya peserta didik, dalam mendapatkan model e-learning sesuai dengan kebutuhan dan kondisi peserta didik selama mengikuti proses pembelajaran. Lebih jauh, tentunya implementasi dari hasil penelitian ini akan memberikan perluasan dan kesempatan yang besar kepada masyarakat untuk memproleh akses terhadap pendidikan.

3. Bagi Pemerintah dan Industri

Bagi pemerintah, penelitian ini akan memberikan pedoman sebagai salah satu alternatif dalam menentukan kebijakan bidang pendidikan, khususnya perluasan akses dan pemerataan pendidikan.

Bagi industri yang memproduksi perangkat teknologi informasi dan komunikasi, serta industri infrastruktur jaringan yang digunakan dalam

e-learning, diharapkan memberikan masukan untuk pengembangan produk

ke depan, termasuk didalamnya produk-produk yang mendukung fitur personalisasi e-learning.

(15)

Bagi industri pengembang konten e-learning, diharapkan memberikan kontribusi dalam hal pemenuhan kebutuhan konten digital yang terus berkembang.

1.6 Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan naskah disertasi ini terdiri atas 8 (delapan) bab. Untuk memudahkan dalam memberikan gambaran umum tentang isi, urutan, serta keterkaitan antar bagian, naskah disertasi ini telah diususun dan ditulis dengan sistematika sebagai berikut :

BAB 1 PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan naskah disertasi.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

Bab ini memuat tinjauan pustaka, landasan teori, pertanyaan penelitian, dan hipotesis penelitian. Tinjauan pustaka menggambarkan state of the art penelitian yang dikembangkan dari keaslian penelitian pada Bab 1 berupa pandangan kritis terhadap model yang ada.

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini terdiri atas tahapan penelitian yang meliputi : tahapan-tahapan pengembangan model context aware e-learning, rencana pengujian dan validasi variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, instrumen penelitian yang digunakan, rencana simulasi implementasi prototype model, pendekatan pengujian hipotesis, serta proses analisis data yang dilakukan.

BAB 4 MODEL CONTEXT AWARE E-LEARNING

Bab ini menyajikan model context aware e-learning yang diajukan dalam penelitian ini, meliputi : model konseptual context aware e-learning, model kontekstual context aware e-learning, model hipotesis hubungan variabel yang

(16)

terlibat, rancangan pengukuran learning style context, rancangan pengukuran flow

experience context, serta evaluasi model e-learning. Bagian ini sekaligus

menunjukkan kontribusi penelitian sebagaimana rumusan masalah dan tujuan penelitian pada Bab 1 serta hasil pengembangan dari Bab 2.

BAB 5 PENGUJIAN MODEL IDENTIFIKASI CONTEXT PADA MODEL

CONTEXT AWARE E-LEARNING

Bab ini berisi pengujian dan validasi terhadap model yang diajukan di Bab 4. Pengujian dan validasi dilakukan terhadap hipotesis hubungan variabel yang terlibat, pengujian pengukuran learning style context, dan pengujian pengukuran

flow experience context.

BAB 6 SIMULASI IMPLEMENTASI PROTOTYPE MODEL CONTEXT

AWARE E-LEARNING BERDASARKAN PENGALAMAN PSIKOLOGIS

PEMBELAJARAN

Bab ini menggambarkan prototype model yang dikembangkan sebagaimana diajukan pada Bab 4 dan telah di validasi pada Bab 5, hasil simulasi impelementasi model, dan pengujian hipotesis terhadap performance hasil simulasi.

BAB 7 TEMUAN HASIL PENELITIAN TERHADAP MODEL APLIKASI

E-LEARNING

Bab ini menjelaskan penemuan penelitian terhadap efektivitas model dan

trend model e-learning yang ada. Bagian ini memberikan gambaran bagaimana

model e-learning yang dihasilkan mendukung dan sesuai dengan trend pengembangan e-learning. Bagian ini sekaligus menjawab latar belakang pada bab 1 serta memperkuat posisi penelitian yang ditulis pada Bab 2.

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dan saran berdasarkan hasil penelitian, pengujian, analisis, dan pembahasan.

Gambar

Gambar 1.1 APK Tingkat SLTA/Sederajat Tahun 2015-2016
Gambar 1.2 Proyeksi Program Peningkatan Pencapaian APK
Gambar 1.3 Posisi Penelitian Berdasarkan Context pada Model Personalisasi Contex  Aware E-learning

Referensi

Dokumen terkait

tidak dapat mengukur non-perform dari suatu kredit padahal terdapat variabel total loans dalam perhitungan efisiensi; investor di Indonesia masih berorientasi short term

Dengan menerapkan metode pembelajaran yang terintegrasi dengan teknologi komputer (seperti SPC) akan memberikan suatu model yang berbasis unjuk kerja, hal ini

Sedangkan objek dalam penelitian ini adalah meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran ilmu pengetahuan alam dengan menggunakan teknik send a problem di

Menyatakan bahwa Pasal 58 huruf (o) dan Penjelasan Pasal 58 huruf (o) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN. Tahun 2004 Nomor 125,

Menentukan bobot latihan setiap jenis keterampilan berdasarkan hasil analisis terhadap respons yang muncul dan tingkat kesulitan yang dialami mahasiswa dalam mempraktikkan

Implementasi untuk sistem pengukuran demikian dapat dilakukan cukup dengan mempergunakan dua mikrokontroler, yaitu satu master I2C yang melakukan pengukuran dosis radiasi

Motivasi belajar siswa sangat penting dalam pembelajaran, sebab pengetahuan, keterampilan, dan sikap tidak dapat ditransfer begitu saja tetapi harus siswa sendiri

Dari hasil perhitungan back testing pada tabel tersebut tampak bahwa nilai LR lebih kecil dari critical value sehingga dapat disimpulkan bahwa model perhitungan OpVaR