• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Luka

Luka adalah kerusakan anatomi, keadaan pemisahan jaringan karena kekerasan atau trauma (Marzoeki, 1993). Keparahan luka tergantung dari besarnya trauma yang diterima oleh jaringan (Pavletic, 1992). Luka terjadi karena rusaknya struktur dan fungsi anatomi normal akibat proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ tertentu. Luka dapat diklasifikasikan secara sederhana yaitu luka terbuka dan luka tertutup (Marzoeki, 1993). Luka berdasarkan tingkat kontaminasi (Prabakti, 2005; Abdurrahmat, 2014):

1. Luka bersih (Clean wounds), yaitu luka bedah tak terinfeksi, tidak terjadi proses peradangan (inflamasi). Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1-5%.

2. Luka bersih terkontaminasi (Clean-contamined wounds), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi. Kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3-11%.

3. Luka terkontaminasi (Contamined wounds), termasuk jenis luka terbuka, segar, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau terkontaminasi dari saluran cerna, pada kategori ini termasuk insisi akut, inflamasi non-purulen. Kemungkinan infeksi luka 10-17%.

4. Luka kotor atau infeksi (Dirty wound), ialah jenis luka yang terjadi pada lingkungan yang sudah terkontaminasi oleh bakteri, termasuk juga luka akibat pelaksanaan operasi di tempat yang tidak steril, misalnya operasi darurat di lapangan. Kemungkinan terjadi infeksi lebih dari 27%.

(2)

5 Menurut Taylor (1997) Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, luka dapat dibagi menjadi:

a. Stadium I : Luka Superfisial (“Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.

b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.

c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.

2.1.1 Luka Insisi

Luka insisi / iris (vulnus scisum ), yaitu jenis luka yang diakibatkan oleh irisan benda tajam misalnya pisau, yang terjadi akibat pembedahan. Jenis luka ini sering menimbulkan rusaknya pembuluh-pembuluh yang cukup besar bila irisannya cukup dalam. Luka insisi biasanya dapat fatal apabila tempat yang terkena luka pada bagian leher. Luka yang dalam keadaan aseptis maka luka jenis ini akan segera tertutup setelah sebelumnya terjadi penutupan pembuluh darah dengan meninggalkan bekas berbentuk sutura (Prabakti, 2005). Ciri – cirinya yaitu luka terbuka, nyeri, panjang luka lebih besar daripada dalamnya luka (Berman, 2009).

Karakteristik luka sayat ada beberapa, yaitu: luka sejajar, tidak adanya memar berdekatan tepi kulit, tidak adanya `bridging` jaringan memanjang dari satu sisi ke sisi lain dalam luka (Wyatt, 2011). Luka insisi bisa dikategorikan luka akut jika

(3)

6 proses penyembuhan berlangsung sesuai dengan kaidah penyembuhan normal tetapi bisa juga dikatakan luka kronis jika mengalami keterlambatan penyembuhan ( delayed healing ) atau menunjukkan tanda-tanda infeksi. Luka insisi/operasi berkembang menjadi luka kronis yang menyebabkan gangguan, bukan hanya mengganggu aktivitas, namun juga memiliki dampak ekonomi signifikan berkaitan dengan biaya penanganannya, juga mengakibatkan penurunan produktivitas akibat morbiditasnya, terutama nyeri.

Luka insisi hilangnya kulit secara keseluruhan dan meluas sehingga menyebabkan banyaknya jaringan yang hilang dan memerlukan penyembuhan luka secara sekunder (Nkemcho Ojeh et al., 2015). Kehilangan integritas kulit yang luas bukan saja menyebabkan gangguan fungsi tetapi juga dapat menyebabkan kecacatan dan bahkan komplikasi sistemik yang berakibat kematian. Luka iris dapat ditemukan pada luka insisi akibat pembedahan, kesembuhannya lebih cepat dengan sedikit jaringan nekrosis pada tepi-tepi luka, keadaan yang berlawanan ditemukan pada luka menggunakan gunting, elektroscalpel atau laser (Fossum, 1997).

2.2 Kesembuhan Luka

Kesembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan saling berhubungan, dengan tujuan untuk mengembalikan fungsi jaringan yang rusak kembali seperti normal atau mendekati normal. Kesembuhan luka melibatkan proses seluler, fisiologis, biokemis dan molekuler yang menghasilkan pembentukan jaringan parut dan perbaikan dari jaringan ikat (Cockbill, 2002). Ketika terjadi perlukaan pada jaringan kulit, proses kesembuhan dan regenerasi sel terjadi secara otomatis sebagai respon fisiologis tubuh (Ingold, 1993).

Manajemen perawatan luka diperlukan untuk meningkatkan penyembuhan, mencegah kerusakan kulit lebih lanjut, mengurangi resiko infeksi dan meningkatkan kenyamanan pasien. Berbagai jenis luka dikaitkan dengan tahap penyembuhan luka memerlukan manajemen luka yang tepat (Gayatri, 1999). Ada 3 fase penyembuhan

(4)

7 luka yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi (Setyarini EA et al., 2013):

2.2.1 Fase inflamasi (reaksi)

Fase inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap luka yang dimulai setelah beberapa menit dan berlangsung sekitar 3 hari setelah cedera. Tujuan yang hendak dicapai pada fase ini adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas. Keadaan ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF β1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag.

2.2.2 Proliferasi/regenerasi

Fase proliferasi ditandai dengan munculnya pembuluh darah baru sebagai hasil rekonstruksi, fase proliferasi terjadi dalam waktu 3-24 hari. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan. Segera setelah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluar-kan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun (rekonstruksi) jaringan baru (Singer, 1999). Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi pada luka. Jaringan granulasi merupakan kombinasi dari elemen seluler termasuk

(5)

8 fibroblast dan sel inflamasi, yang bersamaan dengan timbulnya kapiler baru tertanam dalam jaringan longgar ekstra seluler dari matriks kolagen, fibronektin dan asam hialuronik.

Fase ini juga disebut fibroplasi karena pada masa ini fibroblas sangat menonjol perannya. Fibroblas mengalami proliferasi dan mensintesis kolagen. Serat kolagen yang terbentuk menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya tepi luka. Pada fase ini mulai terjadi granulasi, kontraksi luka dan epitelialisasi

2.2.3 Maturasi/remodeling

Fase maturasi merupakan tahap akhir proses penyembuhan luka. Dapat memerlukan waktu lebih dari 1 tahun, bergantung pada kedalaman dan keluasan luka. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan jaringan yang baru terbentuk menjadi jaringan yang kuat. Serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi. Selain pem-bentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda ( gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yang lebih kuat dan strukturnya yang lebih baik (proses remodelling) (Singer, 1999).

Hambatan utama penyembuhan luka adalah adanya infeksi, peradangan, dan tidak seimbangnya kelembaban. Sehingga pada setiap fase penyembuhan luka memiliki karakteristik tersendiri dari segi warna dan tekstur luka. Area luka dapat mempunyai warna dan tekstur beragam yang berupa pengelupasan, jaringan granulasi merah dan jaringan nekrotik hitam (Prodan A et al., 2006).

2.3 Extracellular matrix

Proses penyembuhan luka merupakan suatu hubungan yang kompleks antara aksi seluler dan biokimia yang akan mengawali proses pemulihan integritas struktural

(6)

9 dan fungsional dengan menumbuhkan kembali kekuatan pada jaringan yang terluka tersebut meliputi interaksi sel-sel berkelanjutan dan sel extracellular matrix yang menyebabkan terjadinya proses inflamasi, kontraksi luka, reepitelisasi, remodeling jaringan, dan pembentukan jaringan granulasi dengan angiogenesis. Normalnya perkembangan fase-fase penyembuhan luka dapat diprediksi, sesuai dengan waktu yang diharapkan (Thakur et al., 2011).

Pada proses kesembuhan luka normal, matrik ekstraseluler inang sangat penting karena berfungsi sebagai struktur pendukung untuk migrasi sel (Mendonca dan Coutinho, 2009). Membran basal adalah jenis khusus yang terdapat dalam extracellular matrix, yang terdiri dari kolagen dan protein perekat yang cocok untuk pertumbuhan sel epitel in vivo. Setiap organisme hidup membran basal membantu proliferasi, migrasi, dan diferensiasi sel selama perkembangan jaringan. Pada penelitian eksperimental yang telah dilaporkan, perancahe extracellular matrix yang berasal dari vesiva urinaria babi merupakan jaringan yang sangat bagus mempertahankan membran basal (Brown et al., 2006).

Matriks ekstraseluler merupakan substrat tempat perlekatan, proliferasi, dan diferensiasi sel pada sistem kultur in vitro (Freshney 1986; Trappmann et al., 2012; Yamada et al., 2014). Extracellular matrix yang digunakan selama ini berasal dari kolagen atau gelatin sapi dan babi. Kolagen merupakan protein dengan jumlah terbesar di dalam tubuh vertebrata dan invertebrata dengan kisaran 30% dari total protein. (Iqbal et al., 2015). Kolagen dalam bidang medis diaplikasikan untuk pengobatan penyakit regeneratif pada tulang atau luka karena trauma (Ferreira et al., 2012). Kolagen dalam kultur jaringan digunakan sebagai substrat matriks ektraseluler untuk tempat tumbuh sel. Extracellular matrix diproduksi oleh sel epitel dan sel stroma termasuk fibroblas, osteoblas, dan sel epitel basal. Kolagen berperan mendukung struktur dan pengikatan bagian protein extracellular matrix dari sel, interaksifaktor pertumbuhan (growth factor), reseptor sinyal (signal receptors), serta perlekatan molekul-molekul yang memediasi antar sel (Kim et al., 2011). Kolagen sebagai extracellular matrix juga dapat meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel

(7)

10 (Guo et al., 2013; Liu et al., 2014). Respons normal penyembuhan luka timbul saat terjadi kontak antara trombosit dan exposed kolagen dan elemen lain extracellular matrix jaringan yang terpapar darah, menyebabkan pelepasan faktor pembekuan dan deposisi fibrin ke dalam lokasi luka; bentukan ini bukan hanya berfungsi menghentikan perdarahan, namun juga akan menjadi matriks dan mendasari tahap penyembuhan luka selanjutnya.

Extracellular matrix (ECM) terdiri dari molekul struktural dan fungsional yang disekresikan oleh sel residen dari setiap jaringan dan organ dari mana mereka dipersiapkan. Oleh karena itu, komposisi dan distribusi spesifik dari konstituen ECM akan bervariasi tergantung pada sumber jaringan. Perancah ECM berasal dari kandung kemih babi.

Bahan perancah biologis terdiri dari extracellular matrix (ECM) telah ditunjukkan untuk memfasilitasi renovasi konstruktif dari banyak jaringan yang berbeda di kedua studi hewan praklinis dan dalam aplikasi klinis manusia. Perancah ECM berasal dari bahan-bahan berbagai jaringan, termasuk katup jantung, pembuluh darah, kulit, saraf , otot rangka, tendon, ligamen, submukosa usus kecil (SIS), kandung kemih dan hati (Lin et al., 2004)

2.4 Komponen Extracellular matrix 2.4.1 Glikosaminoglikans (GAGs)

Glikosaminoglikans merupakan rantai-rantai polisakarida tidak bercabang yang tersusun atas unit-unit disakarida berulang dan merupakan grup heterogenus pada rantai-rantai polisakarida yang bermuatan negatif yang terhubung secara kovalen dengan protein untuk membentuk molekul proteoglikan. Disebut GAGs karena satu dari 2 gula pada disakarida yang berulang selalu merupakan gula amino (N-acetylglucosamine/N-acetylgalactosamine). Gula kedua biasanya asam uronat (glukuronat atau iduronat). Glikosaminoglikans sangat bermuatan negatif karena ada grup sulfat atau karboksil pada sebagian besar gulanya.

(8)

11 Empat grup utama GAGs dibedakan berdasarkan gulanya, tipe hubungan di antara gula, dan jumlah serta lokasi grup sulfat: (1) hyaluronan, (2) chondroitin sulfat dan dermatan sulfat, (3) heparan sulfat, dan (4) keratan sulfat. Contoh GAGs: hyaluronan dan proteoglikan.

Hyaluronan merupakan GAGs yang paling sederhana. Hyaluronan tidak mengandung gula yang bersulfat, semua unit disakaridanya sama, panjang rantainya sangat besar (ribuan monomer gula), dan umumnya tidak terhubung secara kovalen dengan beberapa protein inti. Proteoglikan tersusun atas rantai-rantai GAG yang terhubung secara kovalen dengan protein inti. Proteoglikan dianggap memiliki sebuah peranan utama dalam pemberian isyarat kimiawi di antara sel.

2.4.2 Kolagen

Kolagen merupakan protein matriks ekstraseluler yang berperan dalam formasi skar pada fase penyembuhan jaringan ikat (Novriansyah, 2008). Lebih dari 50% jaringan kulit terdiri dari kolagen (Friess, 1998). Sintesis kolagen pada fase proliferasi dapat optimal jika masa inflamasi tidak mengalami perpanjangan (Gauglitz et al., 2011). Sebuah penelitian oleh Novriansyah (2008) juga menyatakan bahwa tingginya densitas kolagen pada fase proliferasi merupakan tanda proses penyembuhan luka terjadi lebih cepat dan menurunkan potensi terbentuknya skar yang buruk. Menurut (Singer, 1999) Kolagen merupakan protein fibrosa yang memberikan kekuatan regang. Kolagen fibril membentuk bagian utama jaringan ikat pada luka yang menyembuh, khususnya pada jaringan parut. Pemulihan kekuatan regang terjadi karena sintesis kolagen melebihi degra-dasinya selama dua bulan pertama penyem-buhan. Kemudian akan terjadi modifikasi struktural serat-serat kolagen (pembentukan ikatan silang, peningkatan ukuran serat) setelah sintesis kolagen terhenti. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh fibroblas, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Akumulasi kolagen pada daerah luka tergantung pada ratio antara sintesis kolagen dan degradasi

(9)

12 kolagen oleh enzim. Pada fase awal proses penyembuhan luka, jumlah degradasikolagen rendah, tetapi akan meningkat seiring dengan maturasi dari luka (Mercandetti, 2002)

2.4.3 Fibronektin

Fibronektin merupakan komponen penting pada matrik ekstraseluler yang diproduksi pada mesangial sel. Fibronektin adalah glikoprotein dalam extracellular matrix dan permukaan sel dan memainkan peran penting dalam perbaikan dan rekonstruksi jaringan.

Fibronektin muncul dalam bentuk yang dapat larut dan fibrillar. Ada banyak isoform fibronektin yaitu fibronektin plasma dan fibril fibronektin. Pentingnya fibronektin pada perkembangan hewan ditunjukkan dengan eksperimen inaktivasi gen. Fibronektin tidak hanya penting untuk pelekatan sel ke matriks tapi juga untuk menuntun migrasi sel dalam embrio vertebrata. Fibronektin memiliki banyak fungsi, yang membolehkannya berinteraksi dengan banyak zat ekstraseluler, seperti kolagen, fibrin dan heparin, dan dengan reseptor membran yang spesifik pada sel-sel yang responsif.

2.5 Tikus Putih

Tikus putih (Rattus Novergicus) merupakan hewan menyusui (kelas mamalia) yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, baik bersifat menguntungkan maupun merugikan. Sifat menguntungkan terutama dalam hal penggunaannya sebagai hewan percobaan di laboratorium. Sifat merugikan yaitu dalam hal posisinya sebagai hama pada komuditas pertanian, hewan pengganggu, serta penyebar dan penular (vektor) dari beberapa penyakit pada manusia (Priyambodo, 2007). Tikus putih (Rattus Novergicus) melakukan kegiatanya pada malam hari dan akan istirahat pada saat siang hari (Pass and Freeth, 1993). Tikus telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian (Pramono, 2005).

(10)

13 Tikus putih (Rattus novergicus) merupakan hewan pengerat dan sering digunakan sebagai hewan percobaan atau digunakan untuk penelitian, dikarenakan tikus merupakan hewan yang mewakili hewan mamalia. Sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimianya, sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah dan ekskresi menyerupai manusia.

2.6 Kerangka Konsep

Tingkat kejadian luka cukup banyak ditemui kasusnya pada dunia medis, terutama pada hewan dimana kejadian luka yang ditemukan cukup sering dijumpai para dokter hewan di rumah sakit hewan. Luka merupakan kerusakan anatomi, keadaan pemisahan jaringan karena kekerasan atau trauma. Dimana jenis luka sayat yang diakibatkan oleh benda tajam banyak ditemukan pada hewan.

Dalam penanganan kesembuhan luka melibatkan proses seluler, fisiologis, biokemis dan molekuler yang menghasilkan pembentukan jaringan parut dan perbaikan dari jaringan ikat. secara umum meliputi proses inflamasi, proliferasi, dan regenerasi. Berbagai pengobatan yang di beikan dalam proses penyembuhan luka sayat, seperti pemberian perancah matrik ekstraseluler yang sudah diaplikasikan di manusia.

Pada penelitian ini akan diteliti tentang efektivitas penggunaan vesica urinaria babi sebagai perancah extracellular matrix terhadap proses kesembuhan luka terbuka pada tikus putih jantan dengan melihat perubahan secara makros dan mikroskopis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kecocokan dan keamanan penggunaan vesica urinaria babi sebagai extracellular matrix terhadap proses kesembuhan luka terbuka pada tikus putih serta mengetahui perubahan yang terjadi pada daerah implan pasca pemberian bahan serbuk vesica urinaria

(11)

14 Gambar 1. kerangka konsep

2.7 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep yang dijabarkan di atas, maka hipotesis yang disusun dari penelitian ini adalah pemberian extracellular matrix (ECM) dari vesica urinaria babi pada luka insisi mempercepat peroses kesembuhan luka yang dilihat secara makroskopis.

Potensi ECM

Tikus Dengan Luka

Variabel Kendali Internal : 1. Jenis Kelamin

2. Berat Badan 3. Ras

Variabel Kendali Eksternal: 1. Pakan tikus

2. Kandang tikus 3. Lingkungan

4. Panjang dan kedalaman luka tikus

Penanganan Luka

Pengamatan kesembuhan luka secara

(12)

15 BAB III

MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1 Materi Penelitian

3.1.1 Objek Penelitian

Penelitian ini menggunakan 32 ekor tikus putih jantan dengan umur 2-2,5 bulan dengan berat badan ±250-300 gram. Lokasi penelitian di Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.

3.1.2 Alat-alat Penelitian

Kandang tikus tunggal sebanyak 32 buah, spuit disposible 3 ml, satu set alat bedah minor steril, tabung untuk organ, gelas objek, gelas penutup, tabung gelas rendam asam, beker gelas, gelas ukur, dan alat-alat lain yang mendukung dalam penelitian ini.

3.1.3 Bahan Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan Extracellular matrix yang berasal dari vesica urinaria babi, anestetikum ketamine (0,06) – xylazine (0,04) , alkohol 70%, iodine povidone 10%, NaCl 0,9% steril, aquades, pakan tikus, methanol, asam perasetat, dan bahan-bahan lain yang mendukung.

3.1.4 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Tiga puluh dua ekor tikus putih jantan yang dipergunakan pada penelitian diadaptasikan terlebih dahulu selama 1 minggu. Tikus dibagi menjadi dua kelompok masing-masing berjumlah 16 ekor. Kelompok I yaitu 16 ekor tikus pada daerah punggungnya dilukai dengan pisau scalpel sedalam 2mm dan panjang 2 cm dan diberi perlakuan extracellular matrix yang berasal dari vesica urinaria babi. Kelompok II yaitu 16 ekor tikus pada daerah punggungnya dilukai dengan pisau scalpel sedalam 2mm dan panjang 2 cm dan diberikan perlakuan vaselin. Monitoring kea ma na n ba ha n mat r iks ma ka d ila kuka n pe ng a mat a n perkembangan kesembuhan lu ka pa da

(13)

16 24 ja m, har i k e -1, har i ke-5, har i ke-10, da n har i k e-15 p as ca o peras i d e nga n pe nga mat a n makro s ( ke mer a ha n, be ngk ak, da n kero peng). ditempatkan pada kandang individu di Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana

3.1.5 Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini merupakan perlakuan yang diberikan kepada objek penelitian. Perlakuan tersebut yaitu pemberian serbuk ECM, dan vaselin.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini merupakan hasil yang didapatkan karena dilakukan perlakuan, yaitu perubahan/kesembuhan luka.

3. Variabel Kendali

Variabel kendali dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, umur, berat badan, pakan, kebersihan tikus, kebersihan lingkungan, kebersihan kandang.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Pembuatan serbuk matrik ekstraseluler dari vesica urinaria babi Pembuatan serbuk matrik ekstraseluler sama dengan metode (Freytes et al., 2008). yang sedikit dimodifikasi meliputi proses: vesica urinaria babi dibersihkan dari sisa otot dan jaringan lemak menggunakan scalpel selanjutnya dicuci dengan NaCl fisiologis, kemudian vesica urinaria dipotong dengan ukuran 1 x 1 cm selanjutnya diblander menjadi bagian halus, selanjutnya direndam di dalam larutan yang mengandung 0,1% asam perasetat, 4% methanol, dan 95,9% aquabides selama 2 jam. Residu asam perasetat kemudian dihilangkan dengan dua kali pencucian NaCl fisiologis, diikuti dengan dua kali pencucian dengan aquabides masing-masing selama 15 menit, kemudian disimpan dalam tabung yang berisi alkohol 70% sampai diaplikasikan.

(14)

17 3.2.2 Persiapan Hewan Model

Tikus dibagi menjadi dua kelompok masing-masing berjumlah 16 ekor. Kelompok I yaitu 16 ekor tikus pada daerah punggungnya dilukai dengan pisau scalpel sedalam 2mm dan panjang 2 cm dan diberi perlakuan extracellular matrix yang berasal dari vesica urinaria babi. Kelompok II yaitu 16 ekor tikus pada daerah punggungnya dilukai dengan pisau scalpel sedalam 2mm dan panjang 2 cm dan diberikan perlakuan vaselin. Monitoring kea ma na n ba ha n mat r ik s mak a d ila kuka n p e nga mat a n perkembangan kesembuhan luk a pada 24 ja m, har i ke -1, har i ke-5, har i k e-10, da n har i k e -15 pa sca o pera s i de nga n p e nga mat a n ma kro s (ke mera ha n, be ngkak, da n kero pe ng ).

3.2.3 Teknik operasi

Pada kedua kelompok sampel diberi anestesi dengan menggunakan kombinasi xylazin dan Ketamin (5-10 mg/kg dan 40-100 mg/kg). ketamine (0,06) – xylazine (0,04). Kemudian dilakukan insisi pada punggung sepanjang 2 cm dengan kedalaman 0,2 cm sejajar os.vertebrae, berjarak 5 cm dari telinga. Kelompok I diberikan vaselin, dan kelompok II diberikan bahan matrik yang berasal dari vesica urinaria babi.

3.2.4 Analisis Data

Hasil pemeriksaan makroskopis dianalisis secara statistik dengan uji kruskall-wallis, bila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji wilcoxon mann whitney untuk melihat perubahan kondisi luka seperti, kemerahan, bengkak, dan keropeng.

3.2.5 Lokasi dan Waktu Penelitian

Proses pembuatan bahan matrik ekstraseluler dengan menghilangkan sel-sel pada jaringan (desellular) dilaksanakan di laboratorium Biomedik

(15)

18 fakultas kedokteran hewan universitas udayana. Perlakuan implantasi bahan matriks ekstraseluler dilakukan di Rumah Sakit Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Waktu penelitian dilakukan bulan November sampai Desember 2018.

Referensi

Dokumen terkait

Semasa pemain daripada pasukan lawan yang dibenarkan berada dalam kawasan itu membuat hantaran percuma, bola tidak boleh dibaling melebihi kawasan gelanggang

Infrastruktur yang ada pada organisasi/perusahaan, telah mencakup lapisan transport yang merupakan lapisan yang menyediakan kemampuan jaringan/networking dan

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

Salah satu asas penting yang wajib diperhatikan adalah bahwa hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut

Pada serangan awal, KAS umumnya terdapat pada permukaan bawah anak daun..Dengan meningkatnya serangan, kutu ini dapat ditemukan pada permukaan atas daun, tangkai daun,bagian

2. Pendingin diperlukan untuk meredam suhu dan membersihkan kotoran selama proses penggerindaan pada saat putaran roda gerinda yang sangat tinggi memerlukan langkah

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa praktik jual beli kapsul cacing menurut Fatwa MUI Perspektif BPOM studi kasus di desa 15 Polos

Sehubungan dengan penyusunan skripsi yang berjudul Pengaruh Relationship Marketing Terhadap Loyalitas Pelanggan (Studi Pada Alfamidi Malang).. Maka dengan hormat, saya mohon