• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi Gas Rumah Kaca dari Sektor Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Estimasi Gas Rumah Kaca dari Sektor Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Estimasi Gas Rumah Kaca dari Sektor Pertanian, Perkebunan, dan

Peternakan di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau

Estimation of Greenhouse Gases in the Agriculture, Plantation and Animal

Husbandry Sector in Kampar District, Riau Province

Aryo Sasmita1*, Isnaini2, Rizki Zustika1

1Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Riau, Kampus Binawidya Jalan HR. Subrantas KM 12.5, Kota Pekanbaru 28293, Indonesia

2Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Riau, Kampus Binawidya Jalan HR. Subrantas KM 12.5, Kota Pekanbaru 28293, Indonesia

*Email korespondensi : aryosasmita@lecturer.unri.ac.id

ABSTRAK

Pertanian merupakan sektor yang berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Kampar. Namun di sisi lain, sektor pertanian ini termasuk di dalamnya peternakan dan perkebunan turut menyumbang 8% dari emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai emisi gas rumah kaca di sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan di Kabupaten Kampar. Metode yang digunakan dalam perhitungan emisi menggunakan metode Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) 2006 dan 2019 Refinement to the 2006 dengan pendekatan Tier 1. Emisi GRK dihitung dari kegiatan penanaman padi, penggunaan pupuk, pengelolaan tanah, pengelolaan kotoran hewan, dan hasil fermentasi enterik dari proses pencernaan hewan. Data didapat dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kampar yang telah dikonfirmasi oleh Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura. Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa emisi GRK di Kabupaten Kampar dari sektor pertanian dan perkebunan adalah sebesar 297.15 Gg CO2 ekivalen per tahun,

sedangkan emisi GRK dari sektor peternakan sebesar 14,012.24 Gg CO2 ekivalen per tahun.

Emisi GRK total dari sektor pertanian, perkebunan dan peternakan tahun 2019 adalah sebesar 14,309.39 Gg CO2 ekivalen per tahun, dimana sektor peternakan berkontribusi paling besar

sebesar 97.92%.

Kata kunci : emisi GRK, Kabupaten Kampar, perkebunan, pertanian, peternakan

ABSTRACT

Agriculture is a sector that contributes greatly to the economic growth in Kampar Regency. However, the agricultural sectors include animal husbandry and plantations accounted for 8% of Indonesia's national Greenhouse Gas (GHG) emissions. This study aims were to obtain emission values in the agriculture, plantation, and animal husbandry sectors in Kampar Regency. The emission calculation method is based on the IPCC 2006 and 2019 refinement to the 2006 method with a Tier 1 approach. GHG emissions are calculated from rice cultivation activities, fertilizers usage, soil management, animal manure management, and the results of enteric fermentation from the digestion of animals. Data were obtained from BPS Kampar Regency confirmed by Department of Food Crops and Horticulture in Kampar Regency. The results showed that the GHG emission in Kampar Regency from the agricultural and the plantation sectors was 297.15 Gg CO2 equivalent per year, and the GHG emission from the animal

husbandry sector was 14,012.24 Gg CO2 equivalent per year. The total GHG emissions from the

agricultural, plantation, and animal husbandry sectors in 2020 amounted to 14,309.39 Gg CO2

equivalent per year, where the animal husbandry sector contributed the most by 97.92%.

(2)

PENDAHULUAN

Sebagai negara agraris, banyak penduduk Indonesia hidup dari hasil pertanian, sehingga di Indonesia sektor pertanian menjadi sektor yang berpengaruh dalam kesejahteraan masyarakat. Sektor pertanian ini terdiri dari beberapa bidang meliputi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan (Soetriono & Suwandri, 2016). Selain berpengaruh dalam kesejahteraan masyarakat, sektor pertanian juga mempunyai kontribusi sebagai penghasil emisi GRK. Sektor pertanian menyumbang 8% dari emisi GRK Nasional (KLHK, 2019). GRK yang diproduksi dari sektor pertanian antara lain berasal dari penanaman padi, penggunaan pupuk, pengelolaan tanah, pengelolaan kotoran hewan, dan hasil fermentasi enterik dari proses pencernaan hewan (IPCC, 2019).

Selain gas karbon dioksida (CO2) yang

dihasilkan, sektor pertanian juga menghasilkan gas metana (CH4) dan

dinitrogen oksida (N2O). Kedua gas ini

lebih tinggi tingkat pemanasan globalnya dari CO2. Gas CH4 28 kali lebih tinggi, dan

gas N2O 256 kali tinggi dari gas CO2. Emisi

CH4 dan N2O tersebut berasal dari proses

fermentasi enterik dimana CH4 dihasilkan

dari pencernaan serat pada ternak ruminansia dan dihasilkan melalui kehilangan nitrogen yang terkait dengan penggunaan pupuk (Harwatt et al., 2017), sedangkan gas dalam bentuk N2O dan CO2

disumbangkan dari ternak monogastrik (Herawati, 2012).

Peningkatan GRK adalah sumber utama dari penyebab perubahan iklim dan pemanasan global (Zhang et al.,, 2019) atau peristiwa meningkatnya temperature secara umum di bumi (Rusbiantoro, 2008). Sektor pertanian khususnya pertanian untuk pangan, rentan terhadap perubahan iklim. Hal ini dikarenakan pertanian untuk pangan adalah tanaman musiman, sehingga sensitif dengan adanya kekurangan dan kelebihan air. Sifat sensitif ini berhubungan dengan metode tata kelola lahan dan sifat tanah, pola penanaman, pemanfaatan teknologi kelola tanah, pengairan, dan jenis tanaman yang digunakan (Las, dkk., 2008b).

Beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Lintangrino & Boedisantoso (2016); Akhadiarto & Rofiq (2017); dan Purnamasari dkk. (2019) telah melakukan perhitungan emisi GRK dari sektor pertanian, perkebunan dan peternakan di berbagai lokasi. Suwondo (2014) telah melakukan perhitungan emisi GRK pada sektor pertanian, kehutanan dan pengunaan lahan lain di Provinsi Riau. Penelitian-penelitian tersebut tidak mengkaji nilai dari proses mana yang lebih besar menghasilkan emisi pada tiap sektor dan tidak menghitung secara spesifik estimasi GRK di Kabupaten Kampar.

Kabupaten Kampar merupakan daerah dengan kecamatan terbanyak serta daerah terluas ke tiga di Provinsi Riau. Di Kabupaten Kampar terdapat banyak sumber daya alam sehingga menjadi tempat yang strategis untuk dimanfaatkan di sektor pertanian, peternakan dan perkebunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kampar (2020), pertanian merupakan sektor yang berkontribusi besar dalam laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Kampar, hal tersebut sesuai dengan PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) atas harga dasar berdasarkan lapangan usaha sebesar 27.82%.

Pemerintah Indonesia mengharuskan setiap kota dan Kabupaten untuk membuat Rencana Aksi Daerah pengurangan emisi GRK (RAD-GRK). Keharusan ini dituangkan dalam Perpres No. 61 tahun 2011 mengenai Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Oleh karena itu penelitian ini bermaksud untuk mengetahui nilai emisi GRK dari sektor pertanian, perkebunan dan peternakan yang ada di Kabupaten Kampar. Data nilai emisi tersebut dapat digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Kampar untuk membuat RAD-GRK Kabupaten Kampar dan kemudian langkah selanjutnya sebagai upaya mengurangi emisi GRK khususnya di sektor pertanian, perkebunan dan peternakan di Kabupaten Kampar.

(3)

BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, yang terdiri dari 21 Kecamatan dan luas 11,289.28 km2.

Penduduk Kabupaten Kampar berjumlah 841,332 jiwa dan peningkatan jumlah penduduk 1.85% per tahun. (BPS Kabupaten Kampar, 2020).

Pengumpulan Data

Data yang digunakan berupa data sekunder yaitu data kegiatan pada objek penelitian tahun 2019 dan faktor emisi. Data kegiatan atau aktivitas diantaranya meliputi data luas lahan padi, umur tanam padi, luas lahan tanaman pangan dan perkebunan serta komoditas yang tersedia, data jumlah kebutuhan pupuk nitrogen yang diaplikasikan, populasi dan jenis hewan ternak, dan sistem pengelolaan kotoran ternak. Data diperoleh dari BPS Kabupaten Kampar ynag telah dikonfirmasi oleh Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Kampar.

Pengolahan Data

Pengolahan data menggunakan metode IPCC 2006 dan 2019 Refinement to the 2006 dengan pendekatan Tier 1. Pendekatan Tier 1 adalah metode perhitungan sederhana yang didasarkan pada default faktor emisi atau serapan global atau regional (KLH, 2012). Emisi GRK sektor pertanian dan perkebunan yang dihitung adalah dari kegiatan penanaman padi, penggunaan pupuk, dan pengelolaan tanah. Emisi GRK sektor peternakan yang dihitung adalah dari pengelolaan kotoran hewan dan hasil fermentasi enterik dari proses pencernaan hewan.

Emisi CH4 Kelola Padi Persawahan

Emisi CH4 pengelolaan lahan sawah

dihitung dengan menggunakan persamaan (1).

... (1) Emisi CH4Rice adalah emisi CH4 kelola lahan

persawahan (Gg CH4 per tahun). Ef adalah

faktor emisi CH4 dari lahan sawah (lokal

Indonesia bernilai 1.61 kg CH4 per ha per

hari), dimana nilainya bersumber dari KLH (2012). A adalah luas lahan sawah (Ha), dimana nilainya bersumber dari BPS (2020). T adalah masa penanaman padi (hari) yaitu selama 180 hari per tahun. Data tsb bersumber dari hasil survey dan wawancara di lokasi studi.

Emisi CO2 dari Penggunaan Pupuk

Pendekatan perhitungan emisi CO2 dari

pupuk yang digunakan dihitung dengan menggunakan persamaan (2).

... (2) Emisi CO2 adalah emisi C dari penggunaan

pupuk (Ton CO2 per tahun). EF pupuk

adalah faktor emisi pupuk. Nilai EF pupuk urea sebesar 0.20 ton C per tahun (IPCC, 2006). M pupuk adalah banyaknya pupuk yang digunakan (ton per tahun). Jumlah pupuk didapatkan dengan mengalikan luas tanam dengan dosis anjuran. Luas tanam bersumber dari data BPS (2020). Data dosis anjuran bersumber dari KLH (2012).

Emisi N2O Tanah yang dikelola

Estimasi emisi N2O langsung dari

pengelolaan tanah dihitung dengan menggunakan persamaan (3).

... (3) Emisi N2O adalah perkiraan N2O langsung

dari pengelolaan tanah tahunan (kg N2O-N

per tahun). FSN adalah banyaknya

pengunaan pupuk N sintetis yang diberikan ke tanah dalam setahun (kg N per tahun). Konsumsi pupuk didapatkan berdasarkan survei dan wawancara lapangan. Kandungan N pada Urea, ZA dan NPK masing-masing sebesar 46%, 21% dan 15% (KLH, 2012). FON adalah

banyaknya pengunaan pupuk kompos, kandang, kotoran ternak, dan N organik lainnya diberikan ke tanah dalam setahun (kg N per tahun). Konsumsi pupuk didapatkan berdasarkan survey dan wawancara lapangan. Kandungan N pada pupuk kandang, kompos, crop residu masing-masing sebesar 16%, 0.5% dan 0.5% (KLH, 2012). EF1 adalah faktor emisi N2O

(4)

dari N input untuk lahan kering (kg N2O-N

(kg N input). Nilai EF1 sebesar default 0.010

(KLH, 2012). EF1FR adalah faktor emisi N2O

dari N input pada sawah irigasi (kg N2O-N

(kg N input). Nilai EF1FR sebesar default

0.003 (KLH, 2012).

Persamaan untuk estimasi emisi N2O

tidak langsung dari pengelolaan tanah dihitung dengan menggunakan persamaan (4).

(4) Emisi N2O- adalah emisi N2O tidak

langsung dari pengelolaan tanah tahunan (kg N2O-N per tahun). FSN adalah

banyaknya pupuk sintetik N diberikan ke tanah dalam setahun (kg N per tahun). Konsumsi pupuk didapatkan berdasarkan survey dan wawancara lapangan. Kandungan N pada Urea, ZA dan NPK masing-masing sebesar 46%, 21% dan 15% (KLH, 2012). FON adalah banyaknya

penggunaan pupuk kompos, kandang, eksresi ternak, dan N organik lainnya diberikan ke tanah dalam setahun (kg N per tahun). Konsumsi pupuk didapatkan berdasarkan survey dan wawancara lapangan. Kandungan N pada pupuk kandang, kompos, crop residu masing-masing sebesar 16%, 0.5% dan 0.5% (KLH, 2012). FPRP adalah banyaknya urin dan

kotoran N yang didapat oleh hewan merumput di padang rumput dalam setahun (kg N per tahun). Berdasarkan hasil survey dan wawancara lapangan, di lokasi penelitian tidak ada data tersebut. FracGasf adalah fraksi pupuk N sintetis

yang bervolatilisasi sebagai NH3 dan NOx

(kg N tervolatilisasi per kg N yang digunakan). Nilai FracGasf adalah sebesar

default 0.011 (KLH, 2012). FracGasm adalah

fraksi pupuk organik N (FON) dan kotoran ternak yang terdeposit ternak (FPRP) yang

tervolatilisasi sebagai NH3 and NOx (kg N

tervolatilisasi per kg N yang diberikan atau terdeposit). Nilai FracGasm adalah sebesar

default 0.021 (KLH, 2012). EF4 adalah faktor

emisi N2O dari terdeposit N pada

permukaan air dan tanah [kg N–N2O per

(kg NH3–N + NOx–N volatilised)]. Nilai EF4

adalah sebesar default 0.01 (KLH, 2012).

Penentuan Jumlah Ternak (Animal Unit)

Penentuan jumlah ternak hanya berlaku untuk hewan ternak besar seperti kerbau, sapi pedaging, dan sapi perah. Ketiga jenis ternak besar diasumsikan sebagai Animal Unit dengan menggunakan persamaan (5).

... (5) N(T) adalah jumlah hewan ternak (Animal

Unit. N(X) adalah jumlah hewan ternak

(ekor), dimana nilainya bersumber dari BPS (2020). K(T) adalah faktor koreksi. Nilai K(T)

untuk sapi perah 0.75, kerbau 0.72, sapi pedaging 0.72 (KLH, 2012). T adalah jenis atau kategori ternak.

Emisi CH4 dari Fermentasi Enterik Hewan

Ternak

Estimasi emisi CH4 dari fermentasi enterik

hewan ternak dihitung dengan menggunakan persamaan (6).

... (6) Emisi CH4 adalah emisi CH4 fermentasi

enterik (Gg CH4 per tahun). EF(T) adalah

faktor emisi fermentasi enterik dari masing —masing ternak (kg CH4 per ekor per

tahun), dimana nilainya bersumber dari KLH (2012). N(T) adalah jumlah hewan

ternak yang didapatkan dari hasil perhitungan menggunakan persamaan (5).

Emisi CH4 pada Kotoran Ternak yang

dikelola

Perhitungan emisi CH4 kotoran ternak yang

dikelola dilakukan dengan menggunakan persamaan (7).

... (7) CH4 Peng. Kotoran adalah emisi CH4 dari

kotoran ternak yang dikelola (ton CH4 per

tahun). EF(T) adalah faktor emisi kelola

kotoran dari tiap ternak (kg CH4 per ekor

per tahun), dimana nilainya bersumber dari KLH (2012). N(T) adalah jumlah hewan

ternak jenis tersebut, dimana nilainya bersumber dari BPS (2020). VS(T) adalah

(5)

rata-rata ekskresi untuk jenis ternak T per tahun (kg per ekor per tahun), dimana nilainya bersumber dari KLH (2012). AWMS adalah fraksi dari total VS untuk jenis ternak dalam sistem pengelolaan kotoran ternak (%), dimana nilainya bersumber dari KLH (2012).

Rata-rata ekskresi VS per ekor tiap jenis hewan ternak (VS(T)) per tahun dihitung

dengan menggunakan persamaan (8).

... (8) VS(T) adalah rata-rata ekskresi untuk jenis

ternak T per tahun (kg per ekor per tahun), (KLH, 2012). VSrate(T) adalah standar

kecepatan ekskresi VS (kg N per 1000 kg berat ternak per hari). TAM adalah standar berat hewan untuk tiap jenis ternak T (kg per ekor). Nilai VSrate(T) dan TAM

bersumber dari KLH (2012).

Emisi Dinitrogen Dioksida (N2O) Kotoran

Hewan Ternak yang Dikelola

Perhitungan N2O langsung dari kotoran

hewan ternak yang dikelola dihitung dengan menggunakan persamaan (9).

... (9) Emisi N2O (mm) adalah emisi langsung N2O

dari kotoran ternak yang dikelola (kg N2O

per tahun). N(T) adalah jumlah hewan jenis

tertentu (Animal Unit) yang didapatkan dari hasil perhitungan menggunakan persamaan (5). Nex(T) adalah rata-rata

ekskresi N tiap ekor jenis ternak per tahun (kg N ternak per tahun), dimana nilainya bersumber dari KLH (2012). AWMS(T.S)

adalah fraksi dari total ekskresi nitrogen pada tiap jenis ternak per tahun dimana nilainya bersumber dari KLH (2012). EF3(S)

adalah faktor emisi langsung N2O dari S

(kg N2O-N per kg N). Nilai default EF3(S)

hewan ruminansia 0.02, default EF3(S)

unggas 0.001 (KLH, 2012). S adalah sistem pengelolaan kotoran ternak, jenis-jenis pengelolaan (KLH, 2012). T adalah jenis hewan ternak. Nilai 44/28 adalah perubahan nilai emisi dari N2O-N (mm) ke

nilai N2O (mm).

Rata-rata ekskresi N per ekor tiap jenis hewan ternak (Nex(T)) per tahun dihitung

dengan menggunakan persamaan (10).

... (10) NEX(T) adalah ekskresi N pada tiap jenis

ternak T per tahun (kg N perekor per tahun). Nrate(T) adalah standar besar ekskresi

N (kg N per 1000 kg berat ternak per hari). TAM adalah standar berat ternak tiap jenis ternak T (kg per ekor). Nilai Nrate(T) dan

TAM bersumber dari KLH (2012).

N yang hilang karena penguapan dari kotoran ternak yang dikelola perhitungan menggunakan persamaan (11).

... (11) Nvolatisation– adalah N yang hilang karena

volatilisasi dari pengelolaan kotoran ternak. N(T) adalah jumlah hewan ternak per jenis

hewan ternak (ekor) yang didapatkan dari hasil perhitungan menggunakan persamaan (5). Nex(T) adalah rata-rata N yang dieksresikan per jenis per kategori ternak tertentu per tahunan (kg N per ternak per tahun). Nilai Nex(T) didapatkan dari hasil perhitungan menggunakan persamaan (10). MST,S adalah fraksi N yang dieksresikan untuk setiap jenis kategori ternak berdasarkan jenis pengelolaan limbah ternak, dimana nilainya bersumber dari KLH (2012). FracGasMS adalah persentase sisa N yang menguap pada tiap jenis ternak tertentu yang menguap menjadi NH3 dan NOx pada

sistem pengelolaan limbah ternak S. Nilai FracGasMS untuk unggas sebesar 0.4, sedangkan untuk ruminansia sebesar 0.3.

Perhitungan emisi N2O tidak langsung

dari kotoran ternak yang dikelola dihitung dengan menggunakan dengan persamaan (12).

... (12) N2OG(mm) adalah emisi tidak langsung N2O

(6)

kotoran ternak (kg N2O per tahun).

Nvolatilization- adalah banyaknya kotoran

ternak MMS yang hilang akibat volatilisasi

NH3 dan NOX (kg Nper tahun) yang

berasal dari hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan (11). EF4 adalah

faktor emisi N2O dari deposisi atmosfer

nitrogen di tanah dan permukaan air (kg N2O-N per (kg NH3-N+NOx

-Ntervolatilisasi). Nilainya sebesar default 0.01 (KLH, 2012).

Emisi GRK total dari sektor pertanian, perkebunan dan peternakan

Emisi total sektor pertanian, perkebunan dan peternakan dihitung dengan menjumlahkan emisi dari sektor pertanian dan perkebunan dan emisi dari sektor perkebunan. Untuk melakukan perbandingan, maka beban emisi CH4 dan

N2O per tahun di konversi menjadi bentuk

Gg CO2 ekivalen per tahun, dengan cara

mengalikan dengan nilai Global Warming Potensial (GWP) (KLH, 2012). Nilai Global Warming Potensial (GWP) untuk CH4 yaitu

23, sedangkan nilai Global Warming Potensial (GWP) untuk N2O yaitu 296.

HASIL DAN PEMBAHASAN Emisi dari Sektor Pertanian dan Perkebunan

Berdasarkan hasil pengumpulan data didapatkan luas lahan tanam untuk komoditas padi, hortikultura dan palawija di Kabupaten Kampar tahun 2019. Data dapat dilihat pada Tabel 1. Dari hasil survey lapangan, diketahui bahwa lahan padi di Kabupaten Kampar menggunakan padi varietas lokal. Padi varietas lokal ini berasal dari Kabupaten Kampar ataupun varietas turunan dari varietas padi yang berasal dari Sumatera Barat. Varietas lokal yang ditanam tiap kecamatan dilakukan berdasarkan kesesuaian terhadap kondisi ekosistem.

Pupuk yang digunakan adalah pupuk N dengan 4 jenis yaitu, urea, Phonska (pupuk NPK), Za dan organik. Pada lahan pertanian dan perkebunan, dilakukan beberapa kali pemupukan dalam 1 kali periode penanaman, bahkan apabila petani merasa kurang, dilakukan lagi penambahan pupuk. Pemberian pupuk N kimia pada tanaman dilakukan dengan cara ditaburkan, sedangkan pemberian pupuk organik dilakukan dengan ditebar diatas permukaan tanah atau dicampur dengan tanah sebelum tanah ditanami, agar menghindari tanaman mati karena kepanasan akibat pencampuran tersebut.

Untuk menghitung emisi GRK dari sektor pertanian dan perkebunan menggunakan persamaan (1) hingga (4). Hasil pengolahan untuk emisi GRK dari sektor pertanian dan perkebunan terdapat pada Tabel 2.

(7)

Tabel 1. Data luas lahan tanam Kabupaten Kampar tahun 2019

No. Kecamatan

Pertanian (Ha)* Perkebunan (Ha)**

Padi Palawija Hortikultura Karet Kelapa

Sawit Kelapa Kakao

1 Bangkinang 868 62 71 2,249 8,895 69 4

2 Bangkinang Kota 0 110 63 1,378 1,262 50 5

3 Gunung Sahilan 0 159 175 2,613 5,976 90 1

4 Kampar Kiri 222 130 133 6,715 19,221 164 1

5 Kampar 1,593 93 583 3,796 3,292 121 26

6 Kampar Kiri Hilir 0 201 308 2,451 4,324 41 13

7 Kampar Kiri Hulu 538 107 82 15,667 939 160 5

8 Kampar Kiri Tengah 0 182 80 2,705 1,577 119 0

9 Kampar Timur 556 137 304 1,411 5,564 83 17

10 Kampar Utara 886 103 142 4,092 3,400 61 24

11 Koto Kampar Hulu 151 63 49 6,307 1,633 52 4

12 Kuok 1,035 216 132 7,124 2,248 69 4 13 Perhentian Raja 13 383 691 1,396 2,973 39 105 14 Rumbio Jaya 305 45 140 1,634 4,696 79 15 15 Salo 742 107 61 2,856 1,448 38 7 16 Siak Hulu 149 471 247 5,441 15,485 117 2 17 Tambang 944 143 295 5,009 9,944 163 71 18 Tapung 100 729 407 1,543 34,244 0 22 19 Tapung Hilir 10 319 413 169 37,811 7 4 20 Tapung Hulu 727 61 79 1,413 54,510 42 5

21 XIII Koto Kampar 320 30 76 14,230 6,643 152 1

Total 9,159 8,438 3,851 90,199 226,085 1,716 336

Sumber :

*Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Kampar, 2020 ** BPS Kabupaten Kampar, 2020

Tabel 2. Emisi GRK dari sektor pertanian dan perkebunan Kabupaten Kampar tahun 2019

No. Kecamatan Emisi CH4 Lahan Padi Emisi CO2 Penggunaan Pupuk Emisi N2O Langsung Pengelolaan Tanah Emisi N2O Tidak Langsung Pengelolaan Tanah Gg CO2 ekivalen per tahun

1. Kampar kiri 1.93 0.95 7.26 7.06

2. Kampar Kiri Hulu 7.10 0.44 4.61 3.28

3. Kampar Kiri Hilir 0 0.25 2.16 1.86

4. Gunung Sahilan 0 0.32 2.43 2.36

5. Kampar Kiri Tengah 0 0.14 1.18 1.03

6. XIII Koto Kampar 2.36 0.63 5.20 4.64

7. Koto Kampar Hulu 1.74 0.22 2.02 1.68

8. Kuok 11.06 0.33 5.31 2.33 9. Salo 6.87 0.17 3.31 1.39 10. Tapung 0.49 1.46 11.14 10.74 11. Tapung Hulu 10.98 2.26 17.29 16.74 12. Tapung Hilir 0.17 1.55 11.13 11.44 13. Bangkinang Kota 0 0.09 0.77 0.68 14. Bangkinang 8.50 0.46 5.56 3.35 15. Kampar 13.88 0.33 7.15 2.29 16. Kampar Timur 3 0.30 3.94 2.18 17. Rumbio Jaya 1.28 0.25 2.68 1.84 18. Kampar Utara 6.41 0.29 4.57 2.09 19. Tambang 5.16 0.58 6.89 4.36 20. Siak Hulu 1.47 0.79 6.38 5.92 21. Perhentian Raja 0.13 0.20 2.36 1.40 Total 83.14 12.01 113.34 88.66

(8)

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa emisi GRK total dari sektor pertanian dan perkebunan adalah 297.15 Gg CO2 ekivalen

per tahun. Emisi GRK tertinggi yang dihasilkan dari aktivitas sektor pertanian dan perkebunan adalah emisi N2O

langsung dari pengelolaan tanah sebesar 113.34 Gg CO2 ekivalen per tahun dengan

sebaran emisi tertinggi di Kecamatan Tapung Hulu sebesar 17.29 Gg CO2

ekivalen per tahun.

Emisi CH4 dari lahan padi dipengaruhi

oleh luas lahan yang dimiliki setiap kecamatan. Emisi CH4 tertinggi sebesar

13.88 Gg CO2 ekivalen per tahun atau

sebesar 16.69% dari total emisi CH4 berasal

dari Kecamatan Kampar yang memiliki luas lahan terbesar. Hal ini sejalan dengan penelitian Lingtangrino & Boedisantoso (2016), dimana penyumbang emisi GRK untuk sektor pertanian padi sangat dipengaruhi oleh luas panennya.

Emisi CO2 karena penggunaan pupuk

pada lahan pertanian menyebabkan terlepasnya CO2 yang digunakan selama

proses pembuatan urea di pabrik dan emisi ini dihitung sebagai rosot di sektor industri. Urea (CO(NH2)2) diubah menjadi amonium

(NH4+), ion hidroksil (OH-), dan bikarbonat

(HCO3-) dengan adanya air dan enzim

urease (Purnamasari dkk., 2019). Sedangkan emisi CO2 yang dihitung untuk

jenis pupuk NPK, Za dan organik adalah emisi N2O langsung dan tidak langsung

dari penggunaan pupuk.

Emisi N2O langsung dan tidak langsung

tertinggi sebesar 17.29 Gg CO2 ekivalen per

tahun dan 16.74 Gg CO2 ekivalen per tahun

berasal dari Kecamatan Tapung Hulu. Besaran emisi N2O langsung dan tidak

langsung yang dihasilkan di Kecamatan Tapung Hulu dipengaruhi oleh luas lahan

tanam komoditas pertanian dan perkebunan pada Tabel 1, sehingga berpengaruh terhadap jumlah tahunan pupuk yang diaplikasikan ke tanah serta mempengaruhi emisi N2O yang dihasilkan.

Pemupukan N pada tanah dapat memicu aktivitas mikrobiologi sehingga dapat mempengaruhi emisi N2O yang dihasilkan

(Indriyati, dkk., 2007).

Emisi dari Sektor Peternakan

Populasi hewan ternak yang ada di Kabupaten Kampar sangat bervariasi, mulai dari hewan ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba, dan non ruminansia seperti ayam dan itik. Produksi gas CH4 rumen melibatkan

mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut melakukan hidrolisis protein, karbohidrat, dan polimer dinding sel makanan menjadi asam-asam amino dan gula sederhana, yang kemudian difermentasi menjadi Volatile Fatty Acid dengan hidrogen sebagai produk sekunder. Melalui proses metanogenesis oleh bakteri, membuat CO2

dihilangkan oleh H2 dan terbentuklah CH4

(Haryanto & Thalib, 2009).

Dari hasil survey, diketahui sistem pengelolaan kotoran ternak ruminansia dilakukan dengan cara ditumpuk hingga kering (dry lot), sedangkan pengelolaan kotoran unggas dikelola dengan cara dikumpulkan pada tempat penampungan di kandang. Data jumlah hewan ternak ruminansia dan unggas yang terdapat pada Tabel 3. Untuk menghitung emisi GRK dari sektor peternakan digunakan persamaan (5) hingga persamaan (12). Hasil perhitungan emisi GRK dari sektor peternakan terdapat pada Tabel 4.

(9)

Tabel 3. Data jumlah hewan ternak dan unggas di Kabupaten Kampar tahun 2019

No. Kecamatan

Jumlah hewan ternak per jenis (ekor) Unggas (ekor) Sapi

Pedaging

Sapi

perah Kerbau Kambing Domba Ayam Itik

1 Bangkinang 228 1,348 546 409 0 734,981 1,329 2 Bangkinang Kota 11 92 80 512 0 690,800 4,000 3 Gunung Sahilan 611 1,296 191 755 0 72,495 3,311 4 Kampa 127 219 82 418 0 218,500 1,705 5 Kampar 332 836 310 998 0 341,617 2,887 6 Kampar Kiri 150 602 4,788 1,310 63 153,530 3,283

7 Kampar Kiri Hilir 104 356 305 378 0 250,351 582

8 Kampar Kiri Hulu 33 93 1,048 891 0 12,185 782

9 Kampar Kiri Tengah 508 1,455 0 565 0 888,492 836

10 Kampar Utara 146 489 384 679 0 1,227,156 384

11 Koto Kampar Hulu 131 253 585 1,062 0 191,900 860

12 Kuok 134 515 1,305 1,451 4 801,350 385 13 Perhentian Raja 144 250 3 480 36 860,706 580 14 Rumbio Jaya 313 513 584 759 0 890,845 8,248 15 Salo 99 240 1,692 491 0 326,837 150 16 Siak Hulu 774 1,112 1,208 560 0 857,906 660 17 Tambang 251 752 745 1,436 0 1,475,231 3,103 18 Tapung 906 2,451 2 1,186 280 1,340,543 1,021 19 Tapung Hilir 1,622 4,820 22 1,300 780 75,400 3,500 20 Tapung Hulu 879 3,137 36 2,609 145 1,847,627 1,477

21 XIII Koto Kampar 158 369 399 1,825 0 489,500 1,200

Sumber : BPS Kabupaten Kampar, 2020

Tabel 4. Total emisi GRK dari sektor peternakan Kabupaten Kampar tahun 2019

No. Kecamatan Emisi CH4 Fermentasi Enterik Emisi CH4 Pengelolaan Kotoran Emisi N2O Langsung Pengelolaan Kotoran Ternak Emisi N2O Tidak Langsung Pengelolaan Kotoran Ternak Gg CO2 Ekivalen per tahun

1. Bangkinang 5.93 270.47 40.95 6.40

2. Bangkinang Kota 0.30 138.01 2.90 0.57

3. Gunung Sahilan 3.21 49.68 20.47 3.08

4. Kampar Kiri 10.6 255.68 112.11 16.88

5. Kampar 2.53 50.43 17.33 2.66

6. Kampar Kiri Hilir 2.52 48.13 20.67 3.12

7. Kampar Kiri Hulu 2.25 59.80 24.72 3.71

8. Kampar Kiri Tengah 4.77 726.13 28.69 5.01

9. Kampar Timur 7.01 143.71 56.33 8.48

10. Kampar Utara 2.70 707.68 20.52 3.76

11. Koto Kampar Hulu 2.19 114.99 18.67 2.91

12. Kuok 4.14 786.69 39.87 6.70 13. Perhentian Raja 1.63 1,458.30 11.19 3.17 14. Rumbio Jaya 2.84 807.33 22.39 4.15 15. Salo 4.16 244.93 39.14 6.09 16. Siak Hulu 4.13 2,454.80 34.15 7.94 17. Tambang 3.69 1,895.00 31.49 6.71 18. Tapung 9.92 828.49 59.44 9.63 19. Tapung Hilir 15.40 297.90 91.25 13.79 20. Tapung Hulu 13.56 1,595.19 81.72 13.73

21. XIII Koto Kampar 2.07 51.99 16.37 2.50

Total 105.55 12,985.33 790.37 130.99

(10)

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa emisi GRK total dari sektor peternakan adalah sebesar 14,012.24 GgCO2 ekivalen

per tahun. Emisi GRK tertinggi yang dihasilkan dari sektor peternakan berasal dari aktivitas sumber emisi CH4

pengelolaan kotoran ternak sebesar 12,985.33 GgCO2 ekivalen per tahun

dengan sebaran emisi tertinggi di Kecamatan Siak Hulu sebesar 2,454.80 GgCO2 ekivalen per tahun.

Emisi CH4 fermentasi enterik terbesar

berasal dari Kecamatan Tapung Hulu dan Tapung Hilir yang memiliki jumlah ternak ruminansia terbanyak. Hal ini dikarenakan emisi CH4 dari fermentasi enterik

tergantung kepada jumlah konsumsi pakan serta jumlah energi yang dikonsumsinya (Akhadiarto & Rofiq, 2017). Jika banyak jumlah ternak banyak, maka semakin besar pula jumlah konsumsi pakan serta jumlah energi yang dikonsumsinya.

Emisi CH4 pengelolaan kotoran ternak

terbesar berasal dari Kecamatan Siak Hulu. Emisi CH4 pengelolaan kotoran ternak di

Kecamatan Siak Hulu dipengaruhi oleh besarnya jumlah hewan unggas karena hewan unggas merupakan komoditas yang paling banyak dibudidayakan. Emisi CH4

dari pengelolaan kotoran hewan lebih besar daripada emisi CH4 dari fermentasi enteric.

Hal ini dikarenakan emisi CH4 dari

fermentasi enterik hanya menghitung dari hewan ruminansia saja, sedangkan emisi CH4 dari pengelolaan kotoran ternak, juga

dipengaruhi dengan jumlah unggas, selain dari ternak ruminansia.

Emisi N2O langsung dan tidak langsung

tertinggi sebesar 112.11 Gg CO2 ekivalen

per tahun dan 16.88 Gg CO2 ekivalen per

tahun berasal dari Kecamatan Kampar Kiri. Emisi N2O langsung lebih besar dari emisi

N2O tidak langsung dari pengelolaan

kotoran ternak, dikarenakan adanya perbedaan variabel pengali dan faktor emisinya. Emisi N2O langsung berasal dari

proses nitrifikasi dan denitrifikasi nitrogen pada kotoran hewan ternak, sedang kan N2O tidak langsung terjadi melalui

nitrogen volatile yang hilang yang berasal dari ammonia dan NOx (Pramono, 2016).

Emisi total dari Sektor Pertanian, Perkebunan dan Petenakan di Kabupaten Kampar

Untuk menghitung emisi total dari sektor pertanian, perkebunan dan petenakan di Kabupaten Kampar adalah dengan cara menjumlahkan emisi dari ketiga sektor tersebut. Emisi total dihitung dengan menjumlah emisi dari sektor pertanian dan perkebunan (297.15 Gg CO2 ekivalen per

tahun) dan emisi dari sektor peternakan (14,012.24 Gg CO2 ekivalen per tahun) dan

didapatkan emisi total sebesar 14,309.39 Gg CO2 ekivalen per tahun. Dari hasil

perhitungan diketahui bahwa emisi dari sektor peternakan menyumbangkan emisi GRK lebih besar daripada sektor pertanian dan perkebunan. Kontribusi sektor peternakan terhadap nilai emisi GRK total pada sektor pertanian, perkebunan dan peternakan di Kabupaten Kampar mencapai 97.92%.

Saran Upaya Adaptasi dan Mitigasi Pada Sektor Pertanian, Perkebunan dan Peternakan

Upaya adaptasi yang diberikan, dihasilkan berdasarkan diskusi dan wawancara dengan petani dan disesuaikan dengan literatur-literatur yang ada. Upaya adaptasi pada sektor pertanian dan perkebunan adalah dengan penyesuaian waktu dan pola tanam. Dengan memperhatikan kondisi cuaca saat musim tanam, maka dilakukan pemilihan jenis dan metode penanaman, sehingga apabila penanaman dilakukan dengan memperhatikan kondisi cuaca dan lahan, besar kemungkinan akan mendapat hasil yang berkualitas dan emisi yang dihasilkan lebih rendah (Las, 2008a). Selain itu upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman, dan salinitas (Surmaini, dkk., 2010).

Upaya mitigasi pada sektor pertanian adalah dengan menerapkan pertanian organik, yaitu membatasi penerapan pupuk sintetis, herbisida, pestisida, dan fungisida yang terkandung di dalamnya berpotensi mengurangi emisi GRK dan aliran nitrat dan bahan kimia beracun. Selain itu penggunaan tanaman penutup, rotasi tanaman dan kompos dalam pertanian organik dapat memainkan peran penting

(11)

dalam menjaga optimal kesehatan tanah, meningkatkan penyerapan karbon, dan mengurangi emisi GRK (Squalli & Adamkiewicz, 2018). Hal lain yang dapat dilakukan ialah pengaturan sistem irigasi secara bergantian antara sistem kering dan basah, memilih varietas padi yang menghasilkan emisi yang lebih rendah dan memanfaatkan bahan pembenahan tanah seperti biochar. Dengan demikian, kondisi tersebut dapat membuat produksi meningkat namun emisi yang dihasilkan lebih rendah dan biaya yang lebih murah (Ariani, dkk., 2016).

Upaya adaptasi yang dapat dilakukan pada sektor peternakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim yaitu perbaikan pada sistem perkandangan hewan, meningkatkan mutu pakan ternak dan pemberian vaksinasi kepada hewan ternak secara berkala (Aldrian, dkk., 2011). Upaya mitigasi lain pada sektor peternakan yaitu dengan melakukan penggunaan jenis pakan rendah emisi (Herawati, 2012). Beberapa jenis pakan itu antara lain adalah Kedelai (Glycine max), Pepaya (Carica papaya), Pisang (Musa paradisiaca), Biji lerak (Sapindus rarak) untuk jenis ramban (daun-daunan). Untuk jenis legiminosa antara lain Turi (Sesbania grandiflora), Kaliandra (Calliandra callothyrsus), Stylo (Stylosanthes guyanensis), Kalopo (Calopogonium mucunoides), dan Lamtoro (Leucaena leucocephala) (Thalib, 2011).

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan maka kesimpulan yang dapat ditarik yaitu:

1. Emisi GRK dari sektor pertanian dan perkebunan di Kabupaten Kampar adalah sebesar 297.15 Gg CO2 ekivalen

per tahun.

2. Emisi GRK dari sektor peternakan di Kabupaten Kampar adalah sebesar 14,012.24 Gg CO2 ekivalen per tahun

3. Emisi GRK total dari sektor pertanian, perkebunan dan peternakan di Kabupaten Kampar adalah sebesar 14,309.39 Gg CO2 ekivalen per tahun

dengan emisi terbesar berasal dari sektor peternakan sebesar 97.92%.

DAFTAR PUSTAKA

Akhadiarto, S. & Rofiq, M. N. (2017). Estimasi emisi gas metana dari fermentasi enterik ternak ruminansia menggunakan metode Tier-1 di Indonesia. Jurnal Teknologi Lingkungan, 18(1), 1-8.

Aldrian, E., Karmini, M., & Budiman, B. (2011). Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, Kedeputian Bidang Klimatologi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.

Ariani, M., Setyanto, P., & Ardiansyah. (2016). Biaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sektor pertanian di Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur. Jurnal Ilmu Lingkungan, 14(1), 39-49.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kampar. (2020). Kabupaten Kampar Dalam Angka 2019. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kampar.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Kampar. (2020). Data Luas Lahan Tanam Palawija dan Hortikultura Kabupaten Kampar 2019. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Kampar.

Harwatt, H., Sabat, J., Eshel, G., Soret, S., & Ripple, W. (2017). Substituting beans for beef as a contribution toward US climate change targets. Climate Change,

143, 1–2.

https://doi.org/10.1007/s10584-017-1969-1

Haryanto, B. & Thalib, A. (2009). Emisi metana dari fermentasi enterik: Kontribusinya secara nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada ternak. WARTAZOA, 19(4), 157-165.

Herawati. (2012). Refleksi sosial dari mitigasi gas rumah kaca pada sektor peternakan di Indonesia. Wartazoa Jurnal Balai Penelitian Ternak, 22(1), 35-45.

Indriyati, L. T., Sabiham, S., Darusman, Situmorang, L. K. R., Sudarsono, D., & Sisworo, W. H. (2007). Transformasi nitrogen dalam tanah tergenang:

(12)

Aplikasi jerami padi dan kompos jerami padi serta pengaruhnya terhadap serapan nitrogen dan aktivitas penambatan N2 di daerah

perakaran tanaman padi. Jurnal Tanah dan Iklim, 26, 63-70.

Intergovernmental Panel on Climate Change. (2006). IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Intergovernmental Panel on Climate Change

Intergovernmental Panel on Climate Change. (2019). Refinement to the 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Intergovernmental Panel on Climate Change

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2019). Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan Verifikasi Tahun 2018. Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup. (2012).

Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional: Buku II Volume 3 – Pertanian, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya. Kementerian Lingkungan Hidup.

Las, I. (2008a). Menyiasati fenomena anomali iklim bagi pemantapan produksi padi nasional pada era revolusi hijau lestari. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2), 83-104.

Las, I., Syahbuddin, H., Surmaini, E. & Fagi, A. M. (2008b). Padi: Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Lintangrino, M. C. & Boedisantoso, R.

(2016). Inventarisasi emisi gas rumah kaca pada sektor pertanian dan peternakan di Kota Surabaya. Jurnal Teknik ITS, 5(2), D53-D57.

Pramono, A. (2016). Potensi penurunan emisi gas rumah kaca pada pengelolaan kotoran hewan sapi melalui pemberian pakan tambahan. Jurnal Hutan Pulau-Pulau Kecil, 1(2), 111-116.

Purnamasari, E., Sudarno, Hadiyanto. (2019). Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian di Kabupaten Boyolali. Prosiding Seminar Nasional Geotik 2019, 384-391.

Rusbiantoro, D. (2008). Global Warming For Beginner: Pengantar Komprehensif Tentang Pemanasan Global. Niaga Swadaya.

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. (2011). Peraturan Presiden No 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.

Soetriono, A. & Suwandri. (2016). Pengantar Ilmu Pertanian. Intimedia.

Squalli, J., & Adamkiewicz, G. (2018). Organic farming and greenhouse gas emissions: A longitudinal U.S. state-level study. Journal of Cleaner

Production, 192, 30-42.

https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2018. 04.160

Surmaini, E., Runtunuwu, E., & Las, I. (2011). Upaya sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim. Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 1-7.

Suwondo. (2014). Analisis emisi gas rumah kaca sektor Agriculture, Forestry And Other Land Use (AFOLU) di Provinsi Riau. Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Bidang MIPA 2014 (SEMIRATA), 595-602.

Thalib, A. (2011). Perkembangan Teknologi Perternakan Terkait Perubahan Iklim : Teknologi Mitigasi Gas Metan Enterik pada Ternak Ruminansia. Badan Penelitian Ternak Jakarta.

Zhang, L., Pang, J., Chen, X., & Lu, Z. (2019). Carbon emissions, energy consumption and economic growth Evidence from the agricultural sector of China's main grain-producing areas. Science of the Total Environment, 665, 1017–1025.

https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.20 19.02.162

Gambar

Tabel 2. Emisi GRK dari sektor pertanian dan perkebunan Kabupaten Kampar tahun 2019
Tabel 3. Data jumlah hewan ternak dan unggas di Kabupaten Kampar tahun 2019  No.  Kecamatan

Referensi

Dokumen terkait

Manusia sebagai makhluk “mulia” tidak cukup hidup hanya dengan nalurinya, karena hidupnya bukan sekedar “terlempar ke dalam jurang nasib tak tertolak”, namun harus

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa jumlah individu di stasiun Bahowo jauh lebih banyak dibanding- kan dengan jumlah individu di stasiun Batu meja dan Rap-Rap,

Setelah data hasil penelitian diperoleh maka langkah berikutnya yang dilakukan peneliti adalah menganalisis data tersebut untuk mengetahui uji kebenaran hipotesis yang ada

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian good corporate governance (GCG) pada dasarnya merupakan suatu sistem dan seperangkat peraturan

Peran perpustakaan sebagai penyedia ruang (space ) yang nyaman, dengan berbagai fasilitas yang diperlukan, seperti akses internet, layar LCD, printer dan scanner

Berdasarkan hasil simulasi dan visualisasi yang dilakukan maka logam penghantar listrik yang terbaik diberikan oleh logam tembaga sebagai penghantar listrik karena dengan nilai

Kebijakan dividen pada hakekatnya adalah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan

Instalasi listrik dibuat dari panel ke seluruh peralatan yang menggunakan listrik sebagai penggeraknya. Sebagian kabel-kabel disangga menggunakan penyangga yang dibuat