MODEL KONSELING KOGNITIF-PERILAKU
UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI
MAHASISWA
(Studi Terhadap Mahasiswa STAIN Ponorogo)
DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Doktor
Ilmu Pendidikan dalam Bidang Bimbingan dan Konseling
Promovendus
Umi Rohmah
0800826
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
SEKOLAH PASCASARJANA
Umi Rohmah, 2014
ABSTRAK
Umi Rohmah. 2014. Model Konseling Kognitif-Perilaku untuk Meningkatkan Resiliensi Mahasiswa (Studi Terhadap Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri [STAIN] Ponorogo). Disertasi. Dibimbing oleh: Prof. Dr. H. Rochman Natawidjaja (Promotor), Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M.Pd. (Kopromotor), dan Dr. H. Nandang Rusmana, M.Pd. (Anggota). Program Studi Bimbingan dan Konseling, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Penelitian ini bertujuan menghasilkan model konseling kognitif-perilaku untuk meningkatkan resiliensi mahasiswa. Metode penelitian menggunakan research and development, dengan one-group pretest-posttest design dan pretest-posttest control group design. Partisipan terdiri dari mahasiswa semester dua
STAIN Ponorogo jurusan Tarbiyah, Syari’ah, dan Ushuluddin. Data dikumpulkan
dengan menggunakan angket, dandianalisis dengan menggunakan berbagai analisis, yakni: deskriptif, kolaboratif, dan ancova. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model konseling kognitif-perilaku efektif untuk meningkatkan resiliensi mahasiswa. Model ini direkomendasikan untuk dipelajari secara utuh, dan diterapkan dalam rangka meningkatkan resiliensi mahasiswa.
ABSTRACT
Umi Rohmah. 2014. Cognitive-Behavioral Counseling Model for Improving Students’ Resilience (A Study to Students of State Institute forIslamic Studies [STAIN] Ponorogo). Dissertation.Supervised by: Prof. Dr. H. Rochman Natawidjaja (Promoter), Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M.Pd. (Co-promoter), and Dr. H. Nandang Rusmana, M.Pd. (Committee Member). Guidance and Counseling Study Program, School of Postgraduate Studies, Indonesia University of Education, Bandung.
The present study is aimed at developing Cognitive-Behavioral Counseling Model for Improving Students’ Resilience.The study applies research and development approach with mixed research methods design, using experimental one-group pretest-posttest design and pretest-posttest control group design. The study involves the second semester students of STAIN Ponorogo for the department of Tarbiyah, Syari’ah, and Ushuluddin. Research data were gathered using questionnaires, and analyzed using a number of techniques, including descriptive analysis, collaborative analysis, and ancova. The study comes up with the main finding that the constructed Cognitive-Behavioral Counseling Model is proven to be effective to improve students’ resilience. The model is recommended to be studied thoroughly, and then applied in the efforts to improve students’ resilience.
Umi Rohmah, 2014
DAFTAR ISI
Hlm.
LEMBAR PENGESAHAN i
MOTTO ii
PERNYATAAN iii
ABSTRAK iv
KATA PENGANTAR vi
UCAPAN TERIMA KASIH viii
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GRAFIK xvi
DAFTAR GAMBAR xvii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Penelitian……… 1
B.Rumusan Masalah ……….. 14
C.Tujuan Penelitian ……… 15
D.Manfaat Penelitian ………. 16
E. Asumsi Penelitian ……….. 17
BAB II KONSEP TENTANG KONSELING KOGNITIF- PERILAKU UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI MAHASISWA A.Resiliensi ………. 20
1. Definisi Resiliensi ……….. 21
2. Karakteristik Individu yang Resilien. ……... 22
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi……... 22
Perilaku………
5. Model untuk Mengembangkan Resiliensi …………... 30
B.Mahasiswa ……….. 47
1. Pengertian Mahasiswa ……… 47
2. Tugas Perkembangan Mahasiswa ……….. 47
3. Masalah-masalah Mahasiswa ………. 48
C.Konseling Kognitif-Perilaku………... 51
1. Sejarah Konseling Kognitif-Perilaku ………... 51
2. Pengertian Konseling Kognitif-Perilaku ………... 55
3. Karakteristik Konseling Kognitif-Perilaku……... 56
4. Tujuan dan Fokus Konseling Kognitif-Perilaku…... 60
5. Konseli yang Bisa Ditangani dengan Konseling Kognitif-Perilaku………... 61
6. Proses Konseling Kognitif-Perilaku……….... 61
7. Teknik Konseling Kognitif-Perilaku……… 63
D.PenelitianTerdahulu yang Relevan ………. 69
E. Kerangka Pikir Pemecahan Masalah Penelitian ……….. 79
F. Hipotesis Penelitian ……… 86
BAB III METODE PENELITIAN A.Pendekatan dan Metode Penelitian………... 87
B.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel… 89 C.Pengembangan Instrumen Penelitian ……….. 92
D.Lokasi, Populasi, dan Sampel Penelitian……….. 104
E. Tahap-tahap Penelitian ………... 108
F. Analisis Data ………... 112
G.RancanganAwal Model KonselingKognitif-PerilakuuntukMeningkatkanResiliensiMahasiswa ……. 117
Umi Rohmah, 2014
A.Hasil Penelitian ………... 131
1.Profil Resiliensi Mahasiswa ………... 131
2.Profil Adversitas Mahasiswa ……….. 141
3.Profil Upaya Mahasiswa dalam Menghadapi Adversitas ………... 148
4.PengembanganModel HipotetikKonseling Kognitif-Perilaku untuk Meningkatkan Resiliensi Mahasiswa.. 152
5.Efektivitas Model Konseling Kognitif-Perilaku dalam Meningkatkan Resiliensi Mahasiswa ………. 176 B.Pembahasan Hasil Penelitian……… 224
1. Profil Resiliensi Mahasiswa ………... 224
2. Profil Adversitas Mahasiswa ………. 232
3. Upaya-upaya Mahasiswa dalam Meningkatkan Resiliensi ……… 235
4. Model Konseling Kognitif-Perilaku untuk Meningkatkan Resiliensi Mahasiswa ………. 241
5. Efektivitas Model Konseling Kognitif-Perilaku dalam Meningkatkan Resiliensi Mahasiswa ……….. 243
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……… 256
Surat keterangan expert judgement untuk instrument penelitian
Surat keterangan expert judgement untuk model
Surat permohonan izin melakukan penelitian di STAIN Ponorogo
Surat permohonan untuk melakukan uji coba model
Surat keterangan telah melaksanakan penelitian di STAIN Ponorogo
Umi Rohmah, 2014
DAFTAR TABEL
Tabel Hlm.
2.1 Proses Konseling kognitif-Perilaku ……… 62
2.2 Proses Konseling Kognitif-Perilaku yang Telah disesuaikan dengan Budaya Indonesia ………... 63
3.1 Matriks Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Mahasiswa (Sebelum Uji Coba) ………... 93
3.2 Angket Pengungkap Berbagai Masalah yang Dialami Mahasiswa ………... 95
3.3 Angket Pengungkap Upaya Mahasiswa dalam Menghadapi Adversitas ……… . 97
3.4 Interpretasi Terhadap Koefisien Korelasi dari Nilai r (Reliabilitas Instrumen) ……….. 101
3.5 Tingkat Reliabilitas Instrumen ………... 101
3.6 Matriks Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Mahasiswa (Setelah Uji Coba) ……….. 102
3.7 Jumlah Sampel Penelitian ………... 107
3.8 Kriteria Skor Kompetensi Resiliensi Mahasiswa ………... 114
3.9 Kualifikasi Resiliensi Mahasiswa Sesuai Kategori ……… 114
3.10 Deskripsi Uji Model Konseling Kognitif-Perilaku untuk Meningkatkan Resiliensi Mahasiswa Pada Kelompok Eksperimen dan Kontrol ………. 116
4.1 Profil Resiliensi Mahasiswa Semester Dua STAIN Ponorogo Tahun Akademik 2012/2013 Secara Umum ……….. 132
4.2 Profil Resiliensi Mahasiswa Semester Dua STAIN Ponorogo Tahun Akademik 2012/ 2013 Berdasarkan Gender ………... 133
4.3 Hasil Uji Normalitas Data ………... 219
4.4 Hasil Uji Homogenitas Data ………... 220
4.5 Hasil Uji Efektifitas Konseling Kognitif-Perilaku dalam Meningkatkan Resiliensi Mahasiswa . ……… 222
DAFTAR GRAFIK
Grafik Hlm.
4.1 Profil Resiliensi Mahasiswa Semester Dua STAIN Ponorogo
Tahun Akademik 2012/2013 Secara Umum ……….. 132
4.2 Profil Resiliensi Mahasiswa Semester Dua STAIN Ponorogo
Tahun Akademik 2012/2013 Berdasarkan Gender ……… 133
4.3 Profil Resiliensi Mahasiswa Semester Dua Jurusan Tarbiyah STAIN Ponorogo Tahun Akademik 2012/2013 Berdasarkan
Aspek Resiliensi ……… 135
4.4 Profil Resiliensi Mahasiswa Semester Dua Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo Tahun Akademik 2012/2013 Berdasarkan
Aspek Resiliensi ……… 137
4.5 Profil Resiliensi Mahasiswa Semester Dua Jurusan Ushuluddin
STAIN Ponorogo Tahun Akademik 2012/2013 Berdasarkan
Aspek Resiliensi ……… 140
4.6 Profil Adversitas Mahasiswa Semester Dua STAIN Ponorogo
Secara Umum ………... 142 4.7 Profil Adversitas Mahasiswa Semester Dua Jurusan Tarbiyah
STAIN Ponorogo Tahun Akademik 2012/2013 ... 144 4.8 Profil Adversitas Mahasiswa Semester Dua Jurusan Syari’ah
STAIN Ponorogo Tahun Akademik 2012/2013 ……… 146
4.9 Profil Adversitas Mahasiswa Semester Dua Jurusan
Ushuluddin STAIN Ponorogo Tahun Akademik 2012/2013 … 148
4.10 Gambaran Hasil Pre Test dan Post Test Kelompok Kontrol
Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah ……… 212
4.11 Gambaran Hasil Pre Test dan Post Test kelompok Eksperimen
Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah ……… 212
4.12 Gambaran Hasil Pre Test dan Post Test Kelompok Kontrol
Pada Mahasiswa Jurusan Syari’ah ………. 214
4.13 Gambaran Hasil Pre Test dan Post Test Kelompok Eksperimen
Pada Mahasiswa Jurusan Syari’ah ………. 215
4.14 Gambaran Hasil Pre Test dan Post Test Kelompok Kontrol
Umi Rohmah, 2014
4.15 Gambaran Hasil Pre Test dan Post Test Kelompok Eksperimen
Pada Mahasiswa Jurusan Ushuluddin ……… 217
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hlm.
2.1 ABCDE Form ………. 66
2.2 Kerangka Pikir Pemecahan Masalah Penelitian ………. 85
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan asumsi penelitian.
A.Latar Belakang Penelitian
Mahasiswa merupakan sebagian kecil dari generasi muda Indonesia yang
mendapat kesempatan untuk mengasah kemampuannya di perguruan tinggi.
Mereka diharapkan mendapat manfaat yang sebesar-besarnya dalam
pendidikannya tersebut agar kelak mampu menyumbangkan kemampuannya
untuk memperbaiki kualitas hidup bangsa Indonesia.
Setiap tahun, puluhan bahkan ratusan ribu mahasiswa memasuki perguruan
tinggi, baik negeri maupun swasta. Mereka pada umumnya merupakan lulusan
yang terpilih untuk melanjutkan studi, memperoleh gelar akademik tertentu
beserta kemampuan yang mencerminkan keberhasilan studi, serta nantinya
diharapkan dapat mengembangkan karir dan kehidupan yang lebih baik.
Sepanjang masa studinya, mahasiswa dituntut untuk melakukan berbagai
kegiatan, terutama kegiatan yang mendukung keberhasilan studi. Idealnya,
konsentrasi kegiatan diarahkan kepada keberhasilan studi. Kegiatan ekstra
kurikuler pun sebaiknya diatur dan diarahkan sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu atau menjadikan kegiatan utama terabaikan, bahkan diharapkan bisa
keberhasilan itu sebagai keberhasilan yang tersimpul di dalam tri sukses:
akademik, persiapan karir, dan sosial kemasyarakatan.
Dalam penyelesaian studinya, mahasiswa yang termasuk kategori remaja
akhir atau dewasa awal ini, seringkali menghadapi berbagai masalah. Yusuf
(2009: 9-11) mengidentifikasi ada lima masalah yang biasa dihadapi mahasiswa,
yakni: masalah pribadi (personal problem), keluarga, masalah kelompok sebaya,
belajar dan karir.
Gladding (2012: 507) mengidentifikasi ada 13 masalah yang biasa terjadi
pada mahasiswa, seperti yang dikemukakannya sebagai berikut
Masalah-masalah yang biasa dihadapi mahasiswa antara lain: (1) penyesuaian pribadi dan sosial, (2) harga diri (masalah kepercayaan diri), (3) konflik nilai, (4) depresi (ingin bunuh diri), (5) pelecehan seksual, (6) masalah akademis, (7) karir, (8) sakit kepala, perut, insomnia, (9) fobia yang tidak masuk akal, (10) penyalahgunaan obat-obatan, alkohol, (11) disfungsi seks, (12) kelainan pola makan, dan (13) perilaku yang tidak biasa (pengasingan sosial, pikiran paranoid, halusinasi).
Nurihsan (2006: 27) mengemukakan bahwa belajar di perguruan tinggi
memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan belajar di sekolah lanjutan,
seperti yang dikemukakannya sebagai berikut
Karakteristik utama dari studi pada tingkat ini adalah kemandirian, baik dalam pelaksanaan kegiatan belajar dan pemilihan program studi, maupun dalam pengelolaan dirinya sebagai mahasiswa. Seorang mahasiswa telah dipandang cukup dewasa untuk memilih dan menentukan program studi yang sesuai dengan bakat, minat dan cita-citanya. Mahasiswa juga dituntut untuk lebih banyak belajar sendiri, tanpa banyak diatur, diawasi dan dikendalikan oleh dosen-dosennya. Dalam mengelola hidupnya, mahasiswa dipandang telah cukup dewasa untuk dapat mengatur kehidupannya sendiri. Umumnya, mereka juga telah berkeluarga dan mempunyai anak.
Dalam usaha merealisasikan kemandirian tersebut, perkembangan
mereka hadapi. Di antara hambatan atau masalah terkait dengan kemandirian
tersebut adalah, ketidakmampuan mahasiswa dalam mengungkapkan gagasan dan
menemukan suatu gagasan atau masalah untuk bahan penulisan makalah, tugas
akhir atau tulisan lainnya. Hal ini barangkali disebabkan proses belajar di kelas
sampai tingkat akhir terlalu banyak ditekankan pada aspek doing, tetapi kurang penekanan pada aspek thinking atau reasoning. Apa yang diajarkan di kelas lebih
banyak berkaitan dengan masalah “diketahui dan hitung-hitungan” atau berkaitan
dengan bagaimana mengerjakan sesuatu tetapi bukan mengapa demikian dan apa
implikasinya.
Mahasiswa yang pada waktu sekolah di tingkat SLTA terbiasa menerima
pengetahuan yang telah ditransfer oleh guru tanpa masalah dan kontroversi,
tiba-tiba pada tahun pertama di perguruan tinggi, mahasiswa harus mencari sendiri
pengetahuan dan mengajukan masalah untuk karya tulisnya (makalah, tugas akhir
dsb.). Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi. Mahasiswa tidak mampu
mengidentifikasi masalah yang menjadi perhatiannya yang layak untuk diangkat
menjadi tulisan karya ilmiah.
Sementara itu Gultom (2011: 3) mengemukakan bahwa, akar masalah
mahasiswa sebenarnya ada pada pola penggunaan waktu yang kurang efisien, dan
masalah mental, yakni: motivasi rendah, konsep diri tidak sehat, etos belajar
rendah, ekspektasi rendah dan resiliensi rendah.
Sedangkan masalah-masalah yang dihadapi mahasiswa STAIN Ponorogo
berdasarkan hasil studi pendahuluan terhadap 285 mahasiswa semester dua tahun
sebagai berikut: (1) kehilangan orang yang berarti (ayah, ibu, nenek, kakek, adik,
dsb.) karena meninggal dunia sebanyak 31,94%, (2) terbebani dengan tugas-tugas
kuliah sebanyak 19,16%, (3) kesulitan finansial sebanyak 9,58%, (4) mempunyai
penyakit di kepala (migren, tumor, dsb.) sebanyak 9,09%, (5) putus hubungan
dengan pacar sebanyak 5,89%, (6) ketergantungan pada rokok sebanyak 4,66%,
(7) mempunyai penyakit di perut (maag) sebanyak 4,42%, (8) pindah rumah
sebanyak 3,93%, (9) orang tua bercerai sebanyak 3,19%, (10) dipaksa kuliah di
STAIN Ponorogo oleh orang tua sebanyak 2,70%, (11) kehilangan pekerjaan
sebanyak 2,21%, (12) cinta ditolak sebanyak 1,96%, (13) patah tulang karena
kecelakaan motor sebanyak 0,73%, dan (14) bisnis mengalami kebangkrutan
sebanyak 0,49%.
Berbagai masalah yang dialami mahasiswa tersebut apabila tidak segera
ditangani dengan baik maka akan dapat memicu konflik dalam dirinya yang
membuat mereka rentan terhadap berbagai perilaku maladaptif. Schoon (2006: 5)
mengemukakan bahwa adversitas dapat membawa pada resiko. Individu yang
beresiko biasanya menjadi individu yang rentan dan memiliki kecenderungan
yang tinggi untuk menjadi individu yang bermasalah.
Beberapa laporan hasil survei mengungkapkan bahwa, pengalaman terhadap
adversitas berkaitan dengan kerentanan individu terhadap penggunaan obat
terlarang dan berbagai bentuk perilaku maladaptif lainnya. Hasil penelitian Suyasa
dan Wijaya (2006: 102) membuktikan bahwa, pemberontakan atau ekspresi dari
parental berkelanjutan, dan minimnya supervisi dari orang tua memiliki pengaruh
terhadap penyalahgunaan napza oleh remaja usia 15-25 tahun.
Harian Kabar Cirebon melansir sekitar 3362 juta jiwa penduduk Indonesia
teridentifikasi menggunakan narkoba dan 1355 juta atau 40,3% di antaranya
merupakan pelajar dan mahasiswa. Dari jumlah tersebut terungkap bahwa, 90%
pelajar menggunakan narkoba sebagai akibat dari masalah keluarga atau broken home, mereka melampiaskan kekesalan atas perpecahan keluarga dengan cara
menjadi pecandu narkoba.
Selain berakibat pada kecenderungan terjadinya kenakalan remaja,
pengalaman terhadap adversitas juga dapat mempengaruhi kondisi mental
seseorang. Orang yang baru mengalami adversitas biasanya akan menjadi rapuh
dan sangat beresiko terhadap berbagai masalah kejiwaan yang patologis seperti
frustrasi, depresi, paranoid, kesedihan berkepanjangan, histeria, stres berat,
schizofrenia, dan akibat fatal lainnya, seperti bunuh diri (Edward & Warelow,
2005: 47).
Hasil penelitian Klibert, dkk. (2010: 75) terhadap 413 mahasiswa tahun
pertama pada Georgia Southern University juga memperkuat temuan Edward &
Warelow. Menurut Klibert, dkk., berbagai adversitas yang dihadapi mahasiswa
tahun pertama seperti: masalah finansial, hubungan pertemanan, terbebani dengan
tugas-tugas kuliah, kehilangan orang yang dicintai, dan rindu pada keluarga
berdampak pada problem mental seperti depresi dan kecemasan.
Dalam menghadapi berbagai masalah tersebut, ada beragam reaksi yang
Mereka menjadi sering marah, dan merusak lingkungan sekitar. Emosi negatifnya
meluap-luap bahkan ada yang berusaha menyakiti orang lain secara fisik.
Sebagian mahasiswa yang lain melakukan hal sebaliknya. Emosi mereka meledak
di dalam. Mereka menjadi mati rasa, merasa tidak berdaya, dan bahkan tidak bisa
mencoba untuk menghadapi apa yang telah terjadi. Ada juga yang
menggambarkan diri mereka sebagai korban. Mereka menyalahkan orang lain
untuk menghancurkan kehidupan mereka. Kondisi mentalnya terus menurun,
tenggelam dalam pikiran dan perasaan tidak bahagia, dan mereka juga mengeluh
terus-menerus.
Namun ada juga sekelompok mahasiswa yang melewati kesusahan mereka
dengan mengarahkan dengan cepat terhadap kehidupan baru, dan mengatasi
langsung sebuah tantangan. Mereka bangkit kembali, dan merasa yakin akan
tujuannya. Mereka memiliki bakat untuk menciptakan keberuntungan yang baik
dari keadaan yang menurut orang lain adalah sebaliknya. Kemampuan ini lah
yang disebut resiliensi.
Resiliensi merupakan salah satu faktor psikologis yang berkontribusi pada
kesehatan mental dan kualitas hidup seseorang (Chambers, 2005: 30). Resiliensi
juga merupakan salah satu sumber kebahagiaan. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Seligmen (dalam Al Siebert, 2005: 58), ada lima aspek sumber
kebahagiaan, yakni: (1) menjalin hubungan positif dengan orang lain, (2)
keterlibatan penuh, yakni bagaimana individu melibatkan diri sepenuhnya dalam
pekerjaan yang mereka tekuni, (3) bisa menemukan makna dalam kehidupan
Penelitian yang dilakukan oleh Reivich dan Shatte (2002: 11) juga menegaskan
bahwa resiliensi mempunyai peran yang sangat penting dalam meraih kesuksesan
dan kebahagiaan seseorang. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan
diselenggarakannya bimbingan dan konseling, yaitu agar individu meraih
kebahagiaan.
Selama beberapa waktu, resiliensi dianggap sebagai karakteristik yang
relatif stabil, seperti kepribadian atau intelegensi, sehingga membentuk sebuah
trait yaitu sebuah karakteristik internal yang permanen (sifat). Namun penelitian-penelitian terbaru menemukan bahwa resiliensi individu juga dapat berfluktuasi
secara umum atau dalam situasi-situasi tertentu (Hooper, 2009: 20).
Resiliensi menurut Al Siebert (2005: 17) memiliki derajat tinggi, sedang,
dan rendah. Individu yang memiliki resiliensi tingkat tinggi memiliki ciri-ciri:
bersikap tenang dalam mengatasi masalah, memiliki keterampilan memecahkan
masalah, memiliki sikap percaya diri dalam menghadapi masalah, bisa menerima
realitas baru dengan cepat, memandang masalah dari berbagai sudut pandang,
memiliki sikap optimis dalam menghadapi masalah, mampu bersinergi dengan
orang lain, mampu mengambil peluang dari tantangan, dan mampu mengambil
hikmah di balik musibah.
Individu dengan tingkat resiliensi sedang memiliki ciri-ciri: bersikap tenang
dalam menghadapi masalah, memiliki keterampilan pemecahan masalah, dan
memiliki sikap percaya diri dalam menghadapi masalah. Sedangkan individu
dengan resiliensi tingkat rendah memiliki ciri-ciri: melakukan
bingung dalam menghadapi masalah, sering marah-marah, merasa diri sebagai
korban, tidak mempunyai harapan positif, merasa sakit hati ketika ada orang
mengkritiknya, tidak berani menghadapi tantangan baru, tidak memiliki
keterampilan pemecahan masalah, dan merasa tidak tenang (Al Siebert, 2005:
18-19).
Resiliensi merupakan salah satu kebutuhan yang penting bagi individu
untuk dapat berfungsi secara efektif. Berbeda dengan kebutuhan dasar seperti
makanan dan minuman yang dapat mengganggu fungsi fisik individu, ketiadaan
resiliensi dapat menimbulkan gangguan dalam fungsi psikologis individu.
Terdapat berbagai permasalahan yang bisa muncul jika individu memiliki
resiliensi yang tidak memadai atau rendah. Permasalahan-permasalahan itu bisa
terkait dengan hubungan interpersonal, masalah dalam studi, pekerjaan, bahkan
dapat menimbulkan dampak psikologis dan perilaku yang lebih serius seperti
ketergantungan pada obat-obatan terlarang, depresi, atau gangguan mental lainnya
(Amelia, Asni, dan Chairilsyah, 2013: 3). Penelitian Hjemdal (2011: 316) juga
menunjukkan bahwa, resiliensi yang rendah dapat menjadi faktor etiologi pada
gangguan-gangguan mental seperti kecemasan, depresi, dan
obsessive-compulsive.
Resiliensi berkembang sejak masa anak hingga dewasa. Baik
anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa bisa saja memiliki resiliensi yang rendah
maupun tinggi. Hal ini terbukti berdasarkan hasil studi pendahuluan terhadap 285
mahasiswa STAIN Ponorogo semester dua tahun akademik 2012/2013
tingkat resiliensi rendah, 196 mahasiswa (68,77%) memiliki kecenderungan
tingkat resiliensi sedang, dan 46 mahasiswa (16,14%) memiliki kecenderungan
tingkat resiliensi tinggi. Data ini menunjukkan bahwa, meskipun mahasiswa
semester dua termasuk kategori dewasa awal, tetapi tingkat resiliensi mereka tidak
semuanya tinggi, melainkan ada yang sedang bahkan rendah.
Pada penelitian ini, peneliti mengambil sampel penelitian dengan rentang
usia dewasa awal (mahasiswa tahun pertama). Alasan pengambilan sampel karena
pada usia tersebut, banyak tantangan hidup yang harus dijalani oleh individu,
misalnya tugas-tugas kuliah yang banyak, karir, menjalin hubungan percintaan
yang serius, keuangan, keluarga, dan lain-lain. Untuk menghadapi
tantangan-tantangan tersebut, maka penting bagi individu untuk memiliki resiliensi yang
baik pada rentang usia tersebut. Weiss (2008: 128) mengemukakan bahwa,
resiliensi dipandang sebagai salah satu faktor yang menentukan kesuksesan
perkembangan kesejahteraan psikologis dan emosional individu pada dewasa
awal.
Beberapa penelitian yang dilakukan pada remaja dan dewasa awal
menunjukkan bahwa, individu yang memiliki resiliensi rendah pada rentang usia
tersebut lebih rentan terhadap masalah-masalah seperti drop out dari kuliah, kehamilan dini, ketergantungan pada obat-obat terlarang, stres, depresi, kesulitan
membentuk dan mempertahankan hubungan, perilaku anti sosial, dan munculnya
ide percobaan bunuh diri (Wayman, 2002: 168). Fakta tentang individu pada usia
dewasa awal sering mengalami stres dan depresi juga dilaporkan oleh Gallup
52% orang dewasa yang disurvei mengaku “sering” mengalami stress, dan 48%
mengaku kadang-kadang mengalami stress.
Riset yang dilakukan oleh lembaga National Institute of Mental Health juga
menunjukkan bahwa, terdapat hampir 19 juta orang dewasa Amerika berusia 19
tahun dan lebih, menderita gangguan depresi, dan kecemasan (Perez, dkk., 2009:
21). Di Indonesia, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Persatuan Dokter
Spesialis Kesehatan Jiwa (PDSKJ) terhadap individu yang berusia 18 tahun,
menyebutkan sekitar 94% masyarakat Indonesia mengidap depresi dari mulai
tingkat ringan hingga paling berat (Lubis, 2009: 37).
Penggunaan obat-obat penenang dan obat-obat terlarang sebagai dampak
dari rendahnya tingkat resiliensi juga dialami oleh 1,5 juta orang Amerika (Al
Siebert, 2005: 4). Kondisi ini tidak berbeda pada mahasiswa STAIN Ponorogo
semester dua tahun akademik 2012/2013, meskipun persentasenya sangat kecil,
yakni 0,23% atau hanya dua orang yang mengkonsumsi alkohol ketika
menghadapi masalah.
Menurut Al Siebert (2005: 25) dan juga Neenan (2009: 20-21), esensi dari
resiliensi rendah ada pada pola pikir negatif, kurang terkontrol, dan kurang
terstruktur dengan baik dalam menghadapi masalah yang ada. Ketika pola pikir
terhadap diri dan masalah negatif, maka konsekuensi yang terjadi adalah
munculnya perasaan, dan perilaku yang negatif, sehingga individu yang demikian
bisa disebut resiliensinya rendah.
Pada individu yang memiliki resiliensi rendah, maka penanganan atau
masalah-masalah psikologis yang lebih berat, bahkan hingga menimbulkan
gangguan mental. Terdapat beberapa jenis pendekatan untuk meningkatkan
resiliensi individu yang dapat dilakukan oleh konselor dalam membantu konseli
yang memiliki resiliensi rendah.
Dari berbagai pendekatan yang ada, peneliti tertarik untuk menggunakan
salah satu jenis pendekatan konseling yang mengusung pembenahan pola pikir
yaitu konseling kognitif-perilaku. Pemilihan ini didasari oleh latar belakang
bahwa resiliensi rendah esensinya terletak pada pola pikir yang negatif terhadap
diri dan masalah yang sedang dihadapi. Oleh karena itu peneliti memandang
bahwa intervensi yang melibatkan fungsi kognitif individu seperti Cognitive- Behaviour Theraphy (CBT) lebih sesuai untuk meningkatkan resiliensi.
Cognitive-Behavior Therapy (CBT) merupakan sebuah pendekatan terapi
yang memiliki pengaruh dari pendekatan cognitive therapy dan behavior therapy.
Oleh sebab itu, Matson dan Ollendick (dalam Rusmana, 2009: 100)
mengungkapkan bahwa CBT merupakan perpaduan pendekatan dalam psikoterapi
yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Sehingga langkah-langkah yang dilakukan oleh cognitive therapy dan behavior therapy ada dalam terapi yang
dilakukan oleh CBT. Lebih lanjut Matson dan Olendick mendefinisikan
cognitive-behavior therapy sebagai pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara
spesifik menggunakan kognisi sebagai bagian utama terapi. Fokus terapi yaitu
persepsi, kepercayaan dan pikiran.
Para ahli yang tergabung dalam National Association of
cognitive-behavior therapy yaitu suatu pendekatan psikoterapi yang menekankan peran yang penting berpikir bagaimana kita merasakan dan apa yang kita lakukan
(Rusmana, 2009: 100).
Bush (dalam Rusmana, 2009: 100) mengungkapkan bahwa CBT merupakan
perpaduan dari dua pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Terapi kognitif memfokuskan pikiran, asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah
kesalahan. CBT didasarkan pada konsep mengubah pikiran dan perilaku negatif
yang sangat mempengaruhi emosi. Melalui CBT, individu terlibat aktivitas dan
berpartisipasi dalam training untuk diri dengan cara membuat keputusan, penguatan diri dan strategi lain yang mengacu pada self-regulation. Pada dasarnya
pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon
(SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak
manusia, di mana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan
bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak.
Cognitive-Behavior Therapy merupakan pendekatan terapi yang menitikberatkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang
akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis. CBT
merupakan terapi yang dilakukan untuk meningkatkan dan merawat kesehatan
mental. Terapi ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan
bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisa, pengambil keputusan,
bertanya, bertindak dan memutuskan kembali. Sedangkan pendekatan pada aspek
permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Tujuan dari CBT yaitu
mengajak individu untuk belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan
tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan membantu membuat
keputusan yang tepat. Hingga pada akhirnya dengan CBT diharapkan dapat
membantu mahasiswa dalam menyelaraskan berpikir, merasa dan bertindak
(Rusmana, 2009: 101).
Menurut Perry (2010: 235), terapi kognitif efektif menangani beraneka
ragam problem, mulai dari gangguan suasana perasaan, gangguan kecemasan
hingga gangguan kepribadian. Sejumlah fakta menunjukkan bahwa terapi kognitif
yang berbasis aspek-aspek dari resiliensi sangat efektif dalam mengatasi depresi
dan kegelisahan (Reivich dan Shatte, 2002: 53). Resiliensi memungkinkan
individu untuk tetap fokus pada persoalan yang sesungguhnya, dan tidak
menyimpang ke dalam perasaan dan pikiran negatif, sehingga individu bisa
mengatasi resiko depresi dan banyak tantangan. Pikiran dan perasaan adalah inti
dalam memahami individu dalam rangka meningkatkan resiliensi.
Dobson (dalam Sunberg, 2007: 211) mengatakan bahwa, konseling
kognitif-perilaku didasarkan pada tiga proposisi fundamental: (1) aktivitas
kognitif mempengaruhi perilaku, (2) aktivitas kognitif dapat dimonitor dan
diubah, dan (3) perubahan perilaku yang diinginkan dapat dipengaruhi melalui
perubahan kognitif. Dengan demikian, resiliensi yang kurang baik bisa
dikembangkan dengan pendekatan konseling kognitif-perilaku.
Pertimbangan lain dalam penggunaan konseling kognitif-perilaku adalah,
kesempatan (waktu) yang sifatnya terbatas dalam memberikan pelayanan
bimbingan dan konseling kepada mahasiswa, sehingga dengan pendekatan
konseling kognitif-perilaku ini, target perubahan atau perbaikan perilaku dapat
diupayakan hanya dengan beberapa sesi saja. Menurut Curwen, Palmer, dan
Ruddel (2008: 67) bisa dengan Brief Counseling yaitu 3, 5, 7 atau hingga 12 sesi konseling, dan bahkan hanya dengan satu sesi konseling.
Berdasarkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh pendekatan
kognitif-perilaku, sebagaimana yang telah peneliti sebutkan, maka peneliti berasumsi
bahwa pendekatan ini bisa meningkatkan resiliensi mahasiswa STAIN Ponorogo.
Berdasarkan uraian di atas yang memaparkan dampak masalah terhadap
individu, urgensi resiliensi mahasiswa, dampak negatif dari resiliensi yang rendah,
serta berbagai kasus yang bisa ditangani dengan pendekatan kognitif-perilaku,
maka penelitian dengan judul “Model Konseling Kognitif-Perilaku untuk
Meningkatkan Resiliensi Mahasiswa”, dipandang penting untuk dilakukan.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bermaksud menghasilkan
rumusan model konseling kognitif-perilaku yang efektif untuk meningkatkan
kemampuan resiliensi mahasiswa.
Agar penelitian lebih berfokus, terdapat masalah-masalah yang menarik
untuk dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana profil resiliensi mahasiswa semester dua STAIN Ponorogo tahun
2. Adversitas apa saja yang pernah/sedang dialami mahasiswa semester dua
STAIN Ponorogo tahun akademik 2012/2013 yang berpengaruh terhadap
resiliensi mereka?
3. Apakah upaya-upaya yang dilakukan oleh mahasiswa semester dua STAIN
Ponorogo tahun akademik 2012/2013 dalam menghadapi adversitas?
4. Bagaimanakah bentuk model hipotetik konseling kognitif-perilaku untuk
meningkatkan resiliensi mahasiswa semester dua STAIN Ponorogo tahun
akademik 2013/ 2014?
5. Apakah model konseling kognitif-perilaku efektif untuk meningkatkan
resiliensi mahasiswa semester dua STAIN Ponorogo tahun akademik
2013/2014?
C.Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, tujuan umum penelitian ini adalah
menghasilkan model konseling kognitif-perilaku yang memiliki kehandalan dan
layak diimplementasikan sebagai layanan bimbingan dan konseling di perguruan
tinggi, khususnya untuk membantu mahasiswa mengembangkan resiliensinya.
Tujuan umum ini akan dicapai melalui tujuan khusus penelitian yaitu:
1. Mengetahui profil resiliensi mahasiswa semester dua STAIN Ponorogo tahun
akademik 2012/ 2013.
2. Mengetahui berbagai adversitas yang pernah/sedang dialami mahasiswa
semester dua STAIN Ponorogo tahun akademik 2012/2013 yang berpengaruh
3. Mengetahui upaya mahasiswa semester dua STAIN Ponorogo tahun akademik
2012/2013 dalam menghadapi adversitas.
4. Menemukan model hipotetik konseling kognitif-perilaku untuk meningkatkan
resiliensi mahasiswa semester dua STAIN Ponorogo tahun akademik
2013/2014.
5. Mengetahui efektivitas model konseling kognitif-perilaku dalam meningkatkan
resiliensi mahasiswa semester dua STAIN Ponorogo tahun akademik
2013/2014.
D.Manfaat Penelitian
Sasaran utama yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah ditemukannya
model konseling kognitif-perilaku yang efektif untuk meningkatkan kemampuan
resiliensi mahasiswa. Dengan memiliki kemampuan resiliensi yang baik, para
mahasiswa diharapkan dapat meraih kesuksesan dalam akademik, karir, keluarga,
sosial, dan kebahagiaan yang hakiki dalam hidupnya.
Hasil penelitian berupa model konseling kognitif-perilaku untuk
meningkatkan resiliensi mahasiswa diharapkan mempunyai kegunaan dalam
pengembangan ilmu maupun pelaksanaan bimbingan dan konseling.
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan mengembangkan
khasanah teori resiliensi dan melengkapi berbagai model intervensi bimbingan
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan oleh dosen Pembimbing
Akademik (PA) maupun konselor perguruan tinggi sebagai rujukan dalam
memberikan bimbingan dan konseling kepada mahasiswa sehingga dapat
mengembangkan resiliensinya. Bagi lembaga, hasil penelitian ini dapat
menjadi rujukan dalam mengembangkan kebijakan dan fokus layanan
bimbingan dan konseling pada mahasiswa STAIN Ponorogo.
E.Asumsi Penelitian
Penelitian ini dilakukan atas dasar beberapa asumsi sebagai berikut:
1. Berbagai adversitas yang dialami mahasiswa dapat memicu konflik dalam
dirinya yang membuat mereka rentan terhadap berbagai perilaku maladaptif
(Schoon, 2006: 5).
2. Mahasiswa memerlukan resiliensi untuk menghadapi berbagai adversitas yang
menimpa pada dirinya. Resiliensi merupakan salah satu faktor psikologis yang
berkontribusi terhadap kesehatan mental dan kualitas hidup seseorang
(Chambers, 2005: 30)
3. Resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam
berhadapan dengan kondisi yang tidak menyenangkan, serta dapat
mengembangkan kompetensi sosial, akademis dan vokasional sekalipun berada
di tengah kondisi stres hebat yang inheren dalam kehidupan dunia dewasa ini
4. Tidak semua mahasiswa berhasil mengembangkan resiliensinya dengan baik.
Ada sebagian mahasiswa yang masih memiliki resiliensi tingkat rendah.
Mahasiswa yang memiliki tingkat resiliensi rendah rentan terhadap
masalah-masalah seperti drop out dari kuliah, kehamilan dini, ketergantungan pada
obat-obat terlarang, stres, depresi, kesulitan membentuk dan mempertahankan
hubungan, perilaku anti sosial, dan munculnya ide percobaan bunuh diri
(Wayman, 2002: 168)
5. Resiliensi rendah esensinya disebabkan oleh pola pikir negatif terhadap diri
dan masalah yang sedang dihadapinya (Al Siebert, 2005: 25; Neenan, 2009:
20-21).
6. Pada mahasiswa yang memiliki tingkat resiliensi rendah, maka penanganan
atau intervensi untuk meningkatkan resiliensi menjadi penting sebelum timbul
masalah-masalah psikologis yang lebih berat, bahkan hingga menimbulkan
gangguan mental.
7. Salah satu pendekatan yang dipandang sesuai untuk meningkatkan resiliensi
adalah pendekatan konseling kognitif-perilaku. Pemilihan ini didasari oleh latar
belakang bahwa resiliensi rendah esensinya terletak pada pola pikir yang
negatif terhadap diri dan masalah yang sedang dihadapi (Al Siebert, 2005: 25;
Neenan, 2009: 20-21).
8. Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan formal yang memiliki
kesempatan (waktu) yang sifatnya terbatas dalam memberikan pelayanan
bimbingan dan konseling bagi mahasiswa, sehingga dengan model konseling
diupayakan hanya dengan beberapa sesi saja. Menurut Curwen, Palmer, dan
Ruddel (2008: 67) bisa dengan Brief Counseling yaitu 3, 5, 7 atau hingga 12
Umi Rohmah, 2014
B A B III
METODE PENELITIAN
Bab ini berisi uraian tentang metode yang digunakan dalam penelitian, di
dalamnya dibahas antara lain pendekatan dan metode penelitian, variabel
penelitian dan definisi operasional variabel, pengembangan instrumen penelitian,
lokasi, populasi, sampel penelitian, tahap-tahap penelitian, analisis data, dan
rancangan awal model konseling kognitif-perilaku untuk meningkatkan resiliensi
mahasiswa.
A.Pendekatan dan Metode Penelitian
Tujuan akhir penelitian ini adalah tersusunnya model konseling
kognitif-perilaku untuk meningkatkan resiliensi mahasiswa. Kerangka isi dan komponen
model disusun berdasarkan kajian teori tentang resiliensi, konseling
kognitif-perilaku, kajian hasil penelitian terdahulu yang relevan, analisis permasalahan
resiliensi, dan hasil studi pendahuluan terhadap mahasiswa STAIN Ponorogo
tahun akademik 2012/2013 terkait dengan resiliensi mahasiswa.
Sesuai dengan fokus, permasalahan dan tujuan penelitian, pendekatan
penelitian ini menggunakan research and development. Penelitian pengembangan
diarahkan sebagai “process used to develop and validate educational product
(Borg dan Gall, 2003: 271). Produk dimaksud adalah model konseling
kognitif-perilaku yang efektif untuk meningkatkan resiliensi mahasiswa. Selanjutnya,
dalam penelitian pengembangan meliputi: (1) studi pendahuluan, (2) merancang
model hipotetik, (3) penelaahan model hipotetik, (4) revisi model hipotetik, (5) uji
coba model terbatas, (6) revisi hasil uji coba model terbatas, (7) uji coba model
lebih luas, (8) model akhir dan (9) diseminasi dan sosialisasi.
Dalam penelitian ini, metode kuantitatif dan kualitatif digunakan secara
bersama-sama. Menurut Creswell (2008: 516), terdapat tiga model
kualitatif-kuantitatif, yaitu: (1) two-phase design, (2) dominant-less dominant design, dan
(3) mixed method design sequence. Dalam penelitian ini dipilih mixed method design sequence karena metode kuantitatif dan kualitatif digunakan secara terpadu
dan saling mendukung. Metode kuantitatif digunakan untuk mengkaji dinamika
resiliensi mahasiswa dan keefektifan model konseling kognitif-perilaku dalam
meningkatkan resiliensi mahasiswa. Sementara itu, metode kualitatif digunakan
untuk mengetahui validitas rasional model hipotetik konseling kognitif-perilaku
untuk meningkatkan resiliensi mahasiswa. Pada tataran teknis dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut: metode analisis deskriptif, metode partisipatif kolaboratif
dan metode quasi eksperimen.
Metode analisis deskriptif dilaksanakan untuk menjelaskan secara
sistematis, faktual, akurat, tentang fakta-fakta dan sifat-sifat yang terkait dengan
substansi penelitian. Dalam hal ini dilakukan untuk menganalisis profil resiliensi
mahasiswa, adversitas yang dialami mahasiswa, dan upaya-upaya yang dilakukan
mahasiswa ketika dihadapkan pada adversitas.
Metode partisipatif kolaboratif dilaksanakan dalam proses uji kelayakan
mahasiswa. Uji kelayakan model dilaksanakan dengan uji rasional, uji
keterbacaan, uji kepraktisan dan uji coba terbatas. Uji rasional melibatkan tiga
orang pakar konseling, uji keterbacaan melibatkan tiga mahasiswa STAIN
Ponorogo, sedangkan uji kepraktisan dilaksanakan melalui diskusi terfokus
dengan melibatkan para dosen bimbingan dan konseling, serta dosen psikologi
STAIN Ponorogo.
Metode quasi eksperimen dengan design pre-test dan post-test dilaksanakan
dalam uji lapangan model hipotetik untuk memperoleh gambaran tentang
efektivitas model konseling kognitif-perilaku untuk meningkatkan resiliensi
mahasiswa (Sugiyono, 2006: 118).
B.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
Variabel dalam penelitian ini terdiri atas: (1) variabel bebas, yaitu Model
Konseling Kognitif-Perilaku, dan (2) variabel terikat, yaitu resiliensi mahasiswa.
Variabel bebas (independent variable) berfungsi sebagai strategi fasilitasi
pengembangan resiliensi, sedangkan variabel terikat berfungsi sebagai perilaku
sasaran.
Masing-masing variabel didefinisikan secara operasional sebagai berikut:
1. Model Konseling Kognitif-Perilaku
Menurut Kartadinata (dalam Agustin, 2009: 84) model adalah (a)
seperangkat proposisi untuk mendeskripsikan sesuatu dalam bentuk yang
sederhana, (b) didasarkan pada suatu teori, (c) suatu tipe saran, skema atau
konsekuensi-konsekuensi dari tindakan, dan (d) aspirasi untuk merepresentasikan dunia nyata
yang membutuhkan analisis.
Terdapat beragam strategi intervensi dalam konseling kognitif-perilaku.
Intervensi kognitif-perilaku menggunakan kombinasi teknik kognitif dan perilaku
untuk mengubah kognisi, perilaku atau keduanya (Bond, 2002: 40). Teknik
konseling kognitif-perilaku yang digunakan dalam penelitian ini adalah: ABC
Form, problem solving, visualisasi, dan tugas rumah. Secara umum, intervensi
kognitif-perilaku memiliki ciri: bersifat direktif, terstruktur, berorientasi tujuan,
waktunya terbatas, menggunakan teknik pekerjaan rumah, praktek keterampilan,
dan berfokus pada pemecahan masalah, serta merupakan hubungan kolaboratif
antara konselor dan konseli.
Secara operasional yang dimaksud dengan model konseling
kognitif-perilaku dalam penelitian ini adalah pedoman/prosedur yang digunakan untuk
meningkatkan resiliensi mahasiswa semester dua STAIN Ponorogo yang
teridentifikasi memiliki tingkat kecenderungan resiliensi rendah dan sedang, yang
dilakukan oleh konselor, dalam setting kelompok serta melibatkan penggunaan
teknik-teknik dari pendekatan konseling kognitif-perilaku yakni: ABC form (pada
sesi kesatu, kedua, kelima, dan keenam), problem solving (pada sesi keempat), visualisasi (pada sesi ketiga), dan tugas rumah (pada semua sesi).
2. Resiliensi Mahasiswa
Resiliensi mahasiswa dalam penelitian ini merupakan kemampuan internal
kesulitan-kesulitan hidup, sehingga menghasilkan kemampuan penyesuaian diri
dan outcome yang positif. Kemampuan internal yang dimaksud terdiri dari:
a. Kemampuan dalam menerima perubahan-perubahan yang mengganggu dalam
hidup.
b. Kemampuan dalam memperkuat potensi yang dimilikinya untuk mengatasi
perubahan-perubahan yang mengganggu dalam hidup
c. Kemampuan dalam mengembangkan kebiasaan hidup sehat ketika menghadapi
masalah
d. Kemampuan dalam melakukan kegiatan-kegiatan positif ketika menghadapi
masalah.
e. Kemampuan dalam menumbuhkan sikap percaya diri ketika dalam keadaan
terpuruk
f. Kemampuan dalam menumbuhkan sikap optimis ketika dalam keadaan
terpuruk.
g. Kemampuan untuk belajar dari kegagalan sendiri ketika dalam keadaan
terpuruk
h. Kemampuan dalam mengidentifikasi penyebab dari masalah
i. Kemampuan dalam mengidentifikasi akibat dari masalah
j. Kemampuan dalam mempertimbangkan sumber-sumber kredibel untuk
pemecahan masalah
k. Kemampuan dalam mengidentifikasi berbagai strategi untuk pemecahan
l. Kemampuan dalam merubah cara berpikir ketika cara berpikir yang lama tidak
berhasil dalam mengatasi masalah
m.Kemampuan dalam mencari strategi yang lain ketika strategi yang lama tidak
berhasil dalam mengatasi masalah
n. Kemampuan dalam menghindari diri dari mengkonsumsi zat terlarang
o. Kemampuan dalam menghindari diri dari melukai diri sendiri/orang lain ketika
menghadapi masalah.
C.Pengembangan Instrumen Penelitian
1. Jenis Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk mengukur kemampuan resiliensi
mahasiswa berupa angket. Angket digunakan atas dasar jumlah responden besar,
dapat membaca dengan baik, dan dapat mengungkapkan hal-hal yang sifatnya
rahasia (Sugiyono, 2006: 172).
Skala sikap yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert.
Sarwono (2006: 96) mengatakan bahwa, skala Likert menilai sikap atau perilaku
yang diinginkan oleh para peneliti dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan
kepada responden. Skala sikap dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
profil resiliensi mahasiswa semester dua STAIN Ponorogo.
2. Pengembangan Kisi-kisi Instrumen
Kisi-kisi instrumen pengumpul data dibuat untuk menyusun tiga perangkat
instrumen penelitian, yaitu: (1) angket pengungkap resiliensi mahasiswa,
dialami mahasiswa, (3) angket pengungkap upaya-upaya yang dilakukan
mahasiswa ketika menghadapi adversitas.
Kisi-kisi instrumen pengungkap resiliensi mahasiswa disajikan pada tabel
3.1 berikut:
Tabel 3.1
Matriks Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Mahasiswa (Sebelum Uji Coba)
Variabel Aspek Indikator No. Item
potensi yang dimiliki
untuk mengatasi
optimis ketika dalam keadaan terpuruk
ketika dalam keadaan terpuruk
19, 20, 21
Lanjutan Tabel 3.1
Variabel Aspek Indikator No. Item
berbagai strategi untuk pemecahan masalah
berpikir ketika cara
berpikir yang lama tidak
Lanjutan Tabel 3.1
Variabel Aspek Indikator No. Item
Jumlah Item
15. Mampu menghindari diri dari
melukai diri sendiri/orang
lain ketika menghadapi
masalah
42, 43, 44
3
Jumlah butir pertanyaan (item) 44
Angket pengungkap berbagai masalah yang pernah dialami mahasiswa
tersaji pada tabel 3.2 berikut:
Tabel 3.2
Angket Pengungkap Berbagai Masalah yang Pernah Dialami Mahasiswa
Pertanyaan Jawaban Berilah tanda centang (√) pada kotak
di samping yang menyatakan berbagai
adversitas (masalah) yang
pernah/sedang anda alami. Anda dapat menuliskan tambahan pada tempat yang telah disediakan
Putus hubungan dengan pacar Kematian orang yang berarti (ayah, ibu, istri, suami, anak, kakek, nenek, pacar, dll.)
Sulit mendapat teman
Lanjutan Tabel 3.2
Pertanyaan Jawaban
Sulit menerima perilaku teman Teringat kampung halaman
Sulit berkomunikasi dengan orang lain
Sulit menyesuaikan diri dengan norma warga setempat
Sulit bergaul dengan orang lain Masalah keuangan
Masalah disiplin diri Masalah pengaturan waktu
Situasi lingkungan yang tidak sesuai dengan lingkungan sebelumnya
Instrumen pengumpul data lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini
adalah angket untuk mendapatkan informasi tentang upaya-upaya mahasiswa
dalam menghadapi adversitas. Kisi-kisi instrumen yang dikembangkan disajikan
Tabel 3.3
Angket Pengungkap Upaya-upaya Mahasiswa dalam Menghadapi Adversitas
Pertanyaan Jawaban Berilah tanda centang (√) pada kotak
di samping yang selama ini merupakan
upaya anda dalam menghadapi
berbagai adversitas (masalah) dalam
kehidupan anda. Anda dapat
Terdapat beberapa tahap pengujian dalam mendapatkan instrumen
kemampuan resiliensi mahasiswa yang layak sebagai alat pengumpul data, yaitu
dengan uji kelayakan instrumen, uji keterbacaan serta uji validitas dan reliabilitas.
a. Uji Kelayakan Instrumen
Untuk melihat kesesuaian antara konstruk, konten/isi dan redaksi instrumen
dengan landasan teoretis, ketepatan bahasa baku dan karakteristik subjek yang
menjadi responden maka dilakukan telaah butir-butir pertanyaan instrumen atau
yang lebih dikenal dengan penimbangan (judgment) instrumen. Judgment dapat juga berfungsi sebagai uji validitas internal instrumen atau alat pengumpul data.
Dari enam aspek resiliensi menghasilkan 15 indikator, yang kemudian
dikembangkan menjadi 44 butir pertanyaan. Instrumen penelitian ditimbang oleh
tiga orang penimbang untuk dikaji kesesuaian setiap butir pertanyaan dengan
aspek-aspek dan indikator yang akan diungkap. Penimbangan (judgment) terhadap
instrumen penelitian dilakukan oleh tiga orang pakar bimbingan dan konseling,
yaitu Bapak Prof. Dr. H. Syamsu Yusuf L.N., Bapak Dr. H. Mubiar Agustin,
M.Pd., dan Bapak Dr. Ilfiandra, M.Pd.
Berdasarkan penimbangan instrumen penelitian, masing-masing pertanyaan
dikelompokkan dalam kualifikasi memadai (M) atau tidak memadai (TM).
Kategori antara memadai atau tidak memadai sebuah instrumen dilihat dari
konstruk instrumen, konten/isi instrumen, dan redaksi instrumen tersebut.
Pertanyaan yang berkualifikasi memadai (M) dapat langsung digunakan sebagai
butir item dalam instrumen penelitian sementara pertanyaan yang berkualifikasi
pakar terkait dengan instrumen penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman
272 s.d. 274.
b.Uji Keterbacaan
Uji keterbacaan instrumen dilakukan kepada tiga orang mahasiswa STAIN
Ponorogo yang berasal dari semester dua tahun akademik 2012/2013 dalam
rangka mengukur sejauh mana keterbacaan instrumen. Melalui uji keterbacaan ini
dapat diketahui kata-kata yang kurang difahami serta kalimat yang rancu dan
kurang jelas sehingga butir pertanyaan dalam instrumen dapat disederhanakan
tanpa mengubah maksud dari pertanyaan tersebut.
Setelah dilakukan uji keterbacaan, butir pertanyaan instrumen yang kurang
jelas diperbaiki sesuai kebutuhan sehingga dapat dimengerti oleh responden.
Untuk saran/masukan dari mahasiswa terkait dengan instrumen penelitian dapat
dilihat pada Lampiran 2 halaman 275.
c. Uji Validitas
Instrumen yang valid adalah alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan
data yang valid dan dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur.
Semakin tinggi nilai validitas, semakin valid instrumen tersebut digunakan di
lapangan.
Uji coba instrumen penelitian dilaksanakan terhadap mahasiswa yang bukan
subjek penelitian sebenarnya, namun memiliki karakteristik yang relatif sama
dengan subjek penelitian yang sebenarnya. Untuk keperluan uji coba instrumen
akademik 2012/2013. Dasar pengambilan responden sebanyak 30 mahasiswa
adalah untuk memenuhi rule of thumb kenormalan data (Mustafa, 2009: 164).
Langkah uji validitas butir pertanyaan dilakukan dengan menggunakan
teknik pengolahan statistik, yakni korelasi item–total Product Moment (Pearson).
Penghitungan validitas butir pertanyaan dilakukan dengan bantuan program
komputer SPSS 17.0 for windows. Untuk hasil uji validitas instrumen penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 288 s.d. 321. Berdasarkan hasil
penghitungan, diperoleh butir pertanyaan yang tidak valid sebanyak 10 butir. Item
pertanyaan yang tidak valid adalah nomer 2, 3, 10, 12, 17, 22, 24, 28, 31 dan 33.
Oleh karena itu jumlah item instrumen yang semula 44 item setelah diuji cobakan
menjadi 34 item. Untuk instrumen penelitian sebelum uji coba dapat dilihat pada
Lampiran 3 halaman 276 s.d. 287.
d. Uji Reliabilitas
Menurut Mustafa (2009: 224), reliabilitas sama dengan konsistensi atau
keajegan. Suatu instrumen penelitian dikatakan mempunyai nilai reliabilitas yang
tinggi, apabila tes yang dibuat mempunyai hasil yang konsisten dalam mengukur
yang hendak diukur.
Dalam menentukan koefisien reliabilitasnya, digunakan kriteria interpretasi
Tabel 3.4
Interpretasi Terhadap Koefisien Korelasi dari Nilai r (Reliabilitas Instrumen)
Besarnya Nilai r Interpretasi
0.800-1.00 Hubungan tinggi
0.600-0.800 Hubungan cukup
0.400-0.600 Hubungan agak rendah
0.200-0.400 Hubungan rendah
0.000-0.200 Hubungan sangat rendah (tidak berkorelasi)
Sumber: Arikunto (2006: 276)
Perhitungan reliabilitas dilakukan dengan bantuan program SPSS 17.0 for
Windows diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 3.5
Tingkat Reliabilitas Instrumen
Total ganjil Total genap
Total ganjil Pearson Correlation 1 .895**
Sig. (2-tailed) .000
N 30 30
Total genap Pearson Correlation .895** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 30 30
Pada tabel 3.5 disajikan interpretasi ketercapaian tingkat reliabilitas
instrumen. Dari hasil perhitungan data menggunakan software SPSS 17.0 pada 44
pertanyaan diperoleh harga r sebesar 0.895 pada =0.05. Untuk hasil uji
reliabilitas instrumen penelitian dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 324.
hubungan yang tinggi. Hubungan yang tinggi menandakan bahwa instrumen yang
digunakan baik dan dapat dipercaya sebagai alat pengumpul data kemampuan
resiliensi mahasiswa.
e. Revisi Akhir dan Pengemasan Instrumen Final
Butir item yang memenuhi syarat dihimpun dan direvisi sesuai kebutuhan,
dengan demikian dapat dihasilkan seperangkat instrumen siap pakai untuk
pengumpulan data mengenai profil resiliensi mahasiswa serta dapat digunakan
sebagai instrumen pre test dan post test. Untuk instrumen penelitian setelah uji coba dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 325 s.d. 335.
Berikut disajikan kisi-kisi instrumen skala resiliensi mahasiswa setelah uji
coba dalam tabel 3.6.
Tabel 3.6
Matriks Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Mahasiswa (Setelah Uji Coba)
Variabel Aspek Indikator No. Item
potensi yang dimiliki
untuk mengatasi kebiasaan hidup sehat
ketika menghadapi
masalah
masalah ketika strategi yang lama tidak berhasil
dalam mengatasi
Lanjutan Tabel 3.6
Variabel Aspek Indikator No. Item
Jumlah Item
13.Mampu merubah cara
berpikir ketika cara berpikir yang lama zat terlarang (alkohol,
narkoba, obat
Jumlah butir pertanyaan (item) 34
D.Lokasi, Populasi, dan Sampel Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di STAIN Ponorogo yang berlokasi di Jalan
Pramuka No. 156 Ponorogo, Jawa Timur. Perguruan tinggi ini memiliki tujuan
menjadi perguruan tinggi yang lebih maju, berkualitas dan egaliter. Perguruan
tinggi akan menjadi lebih maju, berkualitas, dan egaliter jika pihak-pihak yang
berperan di dalamnya juga berkualitas. Kualitas mahasiswa sebagai bagian dari
STAIN Ponorogo juga merupakan salah satu indikator majunya lembaga ini.
dengan mengembangkan kemampuan resiliensi mahasiswa. Hal ini yang menjadi
salah satu alasan peneliti melakukan penelitian di STAIN Ponorogo.
2. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester dua STAIN
Ponorogo tahun akademik 2012/2013 berjumlah 1052 orang yang meliputi
jurusan Syari’ah, Tarbiyah dan Ushuluddin. Untuk jumlah mahasiswa aktif
semester dua STAIN Ponorogo tahun akademik 2012/2013 dapat dilihat pada
Lampiran 7 halaman 336. Penentuan anggota populasi didasarkan atas
pertimbangan bahwa mahasiswa yang duduk di tahun pertama adalah mahasiswa
yang berada dalam masa transisi dari Sekolah Menengah Atas (SMA) ke
perguruan tinggi, dimana pada masa ini mereka sedang mengalami tantangan yang
cukup banyak, baik secara tahap perkembangan, adaptasi dengan teman baru,
budaya dan tempat yang baru, hubungan dengan lawan jenis maupun perencanaan
karir setelah selesai studi. Tantangan-tantangan ini lah yang dipandang sebagai
bagian dari episode kehidupan yang menuntut kemampuan resiliensi dan
memanfaatkan tantangan menjadi sebuah peluang untuk meningkatkan
kebahagiaan dan kesejahteraan. Diharapkan dengan mendapat intervensi
konseling kognitif-perilaku, mahasiswa semester dua akan meningkat kemampuan
resiliensinya untuk mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin terjadi selama
proses penyelesaian studi dan kehidupannya di masa yang akan datang. Hal ini
sejalan dengan fungsi bimbingan dan konseling yaitu fungsi preventif, kuratif dan
3. Sampel Penelitian
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan sebanyak dua kali,
yaitu: (a) pengambilan sampel untuk mengungkap profil kompetensi resiliensi
dengan menggunakan tehnik cluster sampling (Sukmadinata, 2012: 259), dengan
pertimbangan bahwa kompetensi keahlian merupakan klaster-klaster, tidak
berbeda dalam tingkatan strata, tetapi masing-masing klaster memiliki
karakteristik sendiri, dan (b) pengambilan sampel untuk menentukan kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol dengan menggunakan tehnik incidental
sampling, sampel dipilih berdasarkan kesediaan, yaitu siapa saja yang secara
kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila
dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data (Kiddler,
1986: 60). Adapun karakteristik subyek penelitian dalam penelitian ini adalah: (1)
mahasiswa semester dua STAIN Ponorogo strata satu, (2) berusia antara 18-20
tahun, (3) memiliki tingkat resiliensi rendah dan sedang, (4) pria dan wanita, serta
(5) bersedia mengikuti kegiatan intervensi sampai dengan selesai. Berdasarkan
kelima karakteristik subyek penelitian tersebut, maka peneliti mendapatkan
sebanyak 10 orang untuk kelompok eksperimen, dan 10 orang untuk kelompok
kontrol pada masing-masing jurusan (Tarbiyah, Syari’ah, dan Ushuluddin). Jadi
jumlah sampel penelitian untuk ketiga jurusan pada kelompok eksperimen ada 30
orang, dan demikian juga untuk kelompok kontrol berjumlah 30 orang.
Pertimbangan menentukan jumlah 10 orang pada masing-masing kelompok
jumlah anggota kelompok yang dianggap baik adalah antara lima sampai 10
orang.
Ukuran sampel untuk mengungkap profil resiliensi mahasiswa semester dua
STAIN Ponorogo tahun akademik 2012/2013 merujuk pada penentuan jumlah
sampel dari Issac dan Michael untuk tingkat kesalahan 1%, 5% dan 10%
(Sugiyono, 2006: 126) sebagai berikut:
Keterangan:
α2
dengan dk = 1, taraf kesalahan 1%, 5%, 10%
P = Q = 0,5 d = 0.05 s = jumlah sampel
Dari perhitungan di atas, ukuran sampel untuk kesalahan 5% (tingkat
kesalahan untuk penelitian sosial) dengan jumlah populasi 1052 orang yaitu 285.
Adapun rincian dari sampel penelitian dapat dilihat pada tabel 3.7.
Tabel 3.7
Syari’ah Ahwal al-Syakhshiyyah 80 21
Mu’amalah 198 53
Tarbiyah Pendidikan Agama Islam 267 73
Pendidikan Bahasa Arab 101 28
Lanjutan Tabel 3.7
No Tahap Penelitian Subyek Penelitian
2. Uji coba model (untuk
Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, penelitian ini dilaksanakan dalam
sembilan tahap kegiatan, yaitu: tahap kesatu persiapan, tahap kedua merancang
model hipotetik, tahap ketiga uji kelayakan model hipotetik, tahap keempat
perbaikan model hipotetik, tahap kelima uji coba terbatas, tahap keenam revisi
hasil uji coba terbatas, tahap ketujuh uji lapangan model, tahap kedelapan
merancang model akhir dan tahap kesembilan diseminasi model.
Rancangan kegiatan setiap tahap adalah sebagai berikut:
1. Persiapan Pengembangan Model
Kegiatan penelitian pada tahap ini meliputi:
a. Kajian konseptual dan analisis penelitian terdahulu
b. Survei lapangan untuk memperoleh informasi kondisi obyektif resiliensi
mahasiswa
c. Mengkaji hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan pengembangan
d. Mengkaji pendekatan dan strategi konseling dalam menerapkan model
2. Merancang Model Hipotetik
Berdasarkan kajian teoretik, hasil-hasil penelitian terdahulu, hasil studi
pendahuluan, berikutnya disusun Model Hipotetik Konseling Kognitif-Perilaku
untuk meningkatkan resiliensi mahasiswa.
3. Uji Kelayakan Model Hipotetik
Uji kelayakan model dilakukan untuk mendapatkan Model Konseling
Kognitif-Perilaku dalam meningkatkan resiliensi mahasiswa yang memiliki keterandalan
ini dilakukan kegiatan berupa konsultasi dengan pembimbing ahli yakni Bapak
Prof. Dr. H. Syamsu Yusuf, L.N, Bapak Dr. Ilfiandra, M.Pd., dan Bapak Dr. H.
Mubiar Agustin, M.Pd. Untuk saran/masukan dari pakar dapat dilihat pada
Lampiran 8 halaman 337 s.d. 339.
4. Perbaikan Model Hipotetik
Berdasarkan hasil uji kelayakan model, kegiatan berikutnya adalah:
a. Mengevaluasi dan menginventarisasi hasil uji kelayakan model
b. Memperbaiki redaksi dan isi model hipotetik
c. Tersusun model hipotetik yang sudah direvisi
5. Uji Coba Terbatas
Uji coba terbatas dilaksanakan untuk mendapatkan masukan kritis dari
mahasiswa sebagai subyek dalam membantu meningkatkan resiliensi
mahasiswa. Kegiatan dalam tahap ini meliputi:
b.Mencari mahasiswa yang bersedia untuk dijadikan sebagai target intervensi.
Peneliti mendapatkan tujuh mahasiswa semester dua STAIN Ponorogo tahun
akademik 2013/2014 yang bersedia untuk dijadikan target intervensi.
c.Melaksanakan uji coba terbatas. Uji coba terbatas dilaksanakan pada tanggal
22 Desember 2013 s.d. 31 Desember 2014. Untuk data hasil uji coba model
secara terbatas dapat dilihat pada Lampiran 9 halaman 340 s.d. 365.
d.Diskusi dan refleksi sebagai masukan untuk perbaikan model. Untuk saran/
masukan dari pelaksana uji coba model dapat dilihat pada Lampiran 10
halaman 366.
6. Revisi Hasil Uji Coba Terbatas
Berdasarkan masukan dalam diskusi dan refleksi dari hasil uji coba terbatas,
model hipotetik direvisi lagi dari segi konstruksi, materi dan pelaksanaan
konseling.
7. Uji Coba Diperluas
Pada tahap ini dilaksanakan uji lapangan model konseling kognitif-perilaku
untuk meningkatkan resiliensi mahasiswa, meliputi:
a. Menyusun rencana kegiatan uji lapangan
b.Menyiapkan konselor. Pada uji coba diperluas ini, peneliti bertindak sebagai
observer, sedangkan untuk pelaksana uji coba model dilaksanakan oleh
salah seorang dosen Psikologi STAIN Ponorogo, yaitu ibu Lia Amalia,
M.Si.
c. Untuk uji coba model diperluas ini dilakukan pada mahasiswa jurusan