• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAMPIRAN FORM KONSULTASI SKRIPSI / TUGAS AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAMPIRAN FORM KONSULTASI SKRIPSI / TUGAS AKHIR"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

90

LAMPIRAN

FORM KONSULTASI SKRIPSI / TUGAS AKHIR

NIM Mahasiswa : 00000022505

Nama Mahasiswa : Steffani Liwang

Program Studi : Jurnalistik

Nama Dosen Pembimbing : Dr. Bobi Guntarto, M.A.

NO TANGGAL BIMBINGAN CATATAN BIMBINGAN TANDA TANGAN PEMBIMBING 1. 13 Februari 2021 1. Pergantian pendekatan penelitian dari kuantitatif

menjadi kualitatif

2. Judul baru: Peran media online sebagai sumber informasi covid-19 dalam penentuan perilaku menerapkan protokol kesehatan

2. 26 Februari 2021 1. “Penentuan sikap” diubah menjadi “Pembentukan sikap”

2. Memperbaiki salah satu pertanyaan penelitian dari

“Sumber apa yang digunakan individu untuk memperoleh informasi?” menjadi ”Bagaimana individu memperoleh informasi” sebab individu digambarkan tidak secara aktif mencari informasi

3. Melihat perbedaan individual dari sisi usia 4. Mencari acuan untuk melihat kemampuan dan pengetahuan individu mengenai prokes, cara penularan virus COVID-19, dan penyebab virus COVID-19.

3. 5 Maret 2021 1. Tugas minggu depan adalah membuat daftar pertanyaan untuk informan.

2. Mendetailkan dan usahakan melengkapi dengan tabel pada subbab "Informan"

3. Mengontekskan "pengetahuan dan pemahaman" pada bagian konsep "Sikap"

4. Mengerjakan bagian keabsahan data dan analisis data (melengkapi sumber referensi)

4. 13 Maret 2021 1. Konsep dan kontektualisasi "media daring"

dikontekskan "peran media sebagai sumber informasi"

2. Konsep dan konteksualisasi "Sikap" -> berfokus pada

"pembentukan sikap"

3. Prokes -> Kontekstualisasi "Bagaimana informan menerapkan"

4. Usulan judul agar lebih baik dan semua

konsepnya 'terlihat' : Peran Perbedaan Individu dalam menggunakan media daring sebagai sumber informasi bagi pembentukan sikap terhadap penerapan protokol kesehatan COVID-19

5. Catatan: Media massa berbeda dengan media daring.

(2)

91 6. Menyinggung "pengetahuan" dan "pemahaman" dalam

kontektualisasi "pembentukan sikap"

7. Yang menjadi pertimbangan peneliti dalam menentukan informan: usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan kemampuan akses berita.

Kriteria informannya ditulis secara umum saja, jgn terlalu detail.

Jelaskan aspek apa yg seringkali berpengaruh dengan pembentukan sikap. (Pahami teori individual differences agar mengetahui aspek apa saja yg paling berpengaruh) 8. Beri rujukan dan referensi mengenai rentang usia (generasi), jenis pekerjaan, pendidikan dll di bagian kontekstualisasi "teori perbedaan individu"

9. Daftar pertanyaan, tambahkan pertanyaan umum, seperti Kepuasan informasi yg diperoleh, misalnya.

Tambahkan "Sepengetahuan Anda..."

5. 19 Maret 2021 1. Urutan pertanyaan penelitian di ubah 2. Saat wawancara, yg digali adalah realitas krn pengalaman nyata seringkali menjadi hal yang penting dan berperan dlm pembentukan sikap

3. Perbanyak rujukan mengenai berita yg berhubungan dgn isu ini agar wawancara dapat lebih nyambung 4. Mulai wawancara informan pertama

6. 25 Maret 2021 1. Lebih menggali realitas atau pengalaman dari informan, jangan langsung berpindah ke topik lain (wawancara mendalam)

2. Menentukan subbab apa saja yang akan dijelaskan dalam subbab 4.2

3. Memasukkan poin-poin informasi dari Informan 1 ke dalam subbab 4.2 dan lakukan wawancara lagi untuk melengkapi informasi (jika ada yang kurang lengkap) 7. 5 April 2021 1. Subbab 4.2 ditambahkan satu lagi, yaitu perbedaan individu, lalu diberi tabel (lih. cth ref. skripsi Agata) 2. Subbab 4.3 pembahasan, yaitu berisi pembahasan yg dikorelasikan dengan teori konsep dan penelitian terdahulu (bukan mengulang pembahasan perinforman seperti pada 4.2)

3. Selanjutnya, mulai mengisi informasi untuk bab 4 agar lebih mudah melanjutkan wawancara informan ketiga dst.

8. 9 April 2021 1. Penyajian 4.2.1 dan 4.2.2 diperbaiki karena rancu (pembahasannya mirip), sebaiknya digabungkan saja karena tabel perbedaan individu sudah terlihat pada 4.1.

Usulan judul penggabungan subbab: "Penggunaan media .." (bisa masukkan Akses media online, akses media sosial, akses media konvensional, data dalam bentuk tabel dicentang2)

2. Peneliti memberi penilaian dr hasil wawancara, rendah-sedang-tinggi (ringkasan) disetiap akhir subbab 4.2

3. Kutipan langsung, line spacingnya 1.

4. Gejala, penyebaran, dan pencegahan masuk di bab 2, bukan bab 4. (bisa masukkan di konsep sikap)

Kontekskan sikap dengan pengetahuan dan

pemahamaman -> org bisa bersikap salah kalau

pengetahuan dan pemahamannya bisa salah.

(3)

92 Sikap didasari oleh pengetahuan dan pemahaman yg

memadai -> lihat dari sudut pandang ini.

Pengetahuan itu objektif

pemahaman itu sudah subjektif karena mengandung nilai

9. 15 April 2021 1. Detailing pembentukan sikap, terutama bab 4.2 2. Aspek pembentukan sikap + perilaku yang ada ~>

Sikapnya apa (positif misalnya), tapi berbeda dengan perilakunya.

3. Penjelasan konsep pengetahuan dan pemahaman perlu dihighlight di bab 2 -> highlight bagian "penelitian ini fokusnya pada pengetahuan dan pemahaman, sebagai salah satu faktor pembentukan sikap

4. Bab 4.2.3 highlight pengetahuan dan pemahaman sebagai dasar pembentukan sikap -> ini yg utama. Faktor lain seperti pengalaman dll, bisa jg dilihat. Nnti bikin tabel ringkasan yg isinya indikator2 pembentukan sikap dan kolom terakhir isinya kesimpulan sikap informan seperti apa

5. Sikap dikategorikan dalam kategori netral, +, atau - (bisa jg masukan kecenderungannya apakah netral cenderung negatif, atau positif lemah dll, kalau dibutuhkan)

6. Perhatikan space kutipan langsung (1 spasi) dan jarak paragraf menjorok (1cm)

7. Kalau datanya minim, harus menanyakan ke informan ybs.

10. 23 April 2021 1. Lengkapi dan detailing hasil penelitian 4.2.3 2. Lengkapi tabel 4.4 dengan perbedaan individu (usia, pendidikan, dll) Usahan tabel tetap potrait

3. Kesimpulan sikap tidak perlu dimasukkan dalam tabel, tetapi dinarasikan saja

11. 26 April 2021 1. Mulai mengerjakan bab 4.3 (kaitkan dengan teori konsep, penelitian terdahulu, dan lihat polanya, cari benang merahnya)

2. Perbaikan teknis, khususnya ukuran font sub sub judul 12

12. 28 April 2021 1. Di bagian pembahasan, paparkan dahulu latar belakangnya (perbedaan individual) baru kemudian fenomenanya agar strukturnya sama (konsisten) dengan paragraf sebelumnya.

2. Di bagian pembahasan, tidak lagi menyebutkan nama- nama informan, melainkan abstraksi (semua informan disebut sebagai informan).

3. Tidak menggunakan kata "relatif" pada sikap 4. Di pembahasan, tidak usah lagi menyebutkan nama ketiga informan, tetapi dicari apa yang sama atau mirip di antara ketiganya. Misal, berpendidikan sedang,

menengah, atau apa. Mis. Salah satu informan dari generasi Boomer merasa khawatir dst.

5. Di simpulan juga tidak tepat lagi menyebutkan nama, seharusnya sudah menjabarkan temuan secara umum.

Terima kasih, Pak Gun.

6. Perumusan pembahasan dan simpulan untuk

(4)

93 Pertanyaan Penelitian poin ketiga lebih mengarah ke

seberapa kuat, sehingga perlu lebih difokuskan ke arah perbedaan individu dan faktor pembentukan sikap agar fokusnya tidak mengarah ke kuantitatif.

7. Tambahkan peran perbedaan individu pada PP poin 3, selanjutnya dibahas lebih lanjut di pembahasan dan simpulan (fokus melihat peran perbedaan individu, jangan bergeser fokusnya)

8. Perbedaan individu mana yang paling berperan (dominan) dalam pembentukan sikap kelima informan itu, misalnya sebutkan 2 aspek.

8. Saran akademik bisa terbagi 2: substasi dan metodologi. Ubah struktur sarannya, berangkat dari meringkas penelitian secara sederhana, kemudian menyarankan apa. (cth: kelemahan dari penelitian ini, maka di sarankan begini)

13. 30 April 2021 1. Jangan ada kesimpulan di pembahasan

2. Menyampaikan hasil temuan, baru kemudian dikaitan dgn teori konsep (scr sederhana, sejalan/tidak sejalan dengan teori konsep yang digunakan).

3. Membuat abstrak (200-400 kata, 1 spasi, 1 paragraf.

Isinya: femomena empirik, permasalahan penelitian, metode, sampel/informan, hasil temuan)

4. Membuat halaman

5. Masukkan informan consent

6. Menyebut gambar dalam narasi, huruf kapital 7. Setelah submit final, persiapkan ppt (durasi presentasi 15 menit. Estimasi: 10' proposal + 5' hasil dan simpulan)

Cat:

Minimal bimbingan Skripsi/TA adalah 8 kali, Form wajib dilampirkan di laporan Skripsi

Tanda Tangan Pembimbing

( Dr. Bobi Guntarto, M.A.)

(5)

94

TRANSKRIP WAWANCARA INFORMAN

Informan I

Nama Informan : Dominika Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 68 Tahun (Boomers)

Pendidikan terakhir : Sekolah Dasar (SD) Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Tanggal Wawancara : 11 April 2021 Waktu Wawancara : 12.00 - 13.00 WIB Sarana Wawancara : Whatsapp video call Tempat Wawancara : Rumah masing-masing

Peneliti : Halo, Bu. Perkenalkan, saya Steffani Liwang, mahasiswa prodi Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara. Pertama-tama, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ibu menjadi informan dalam penelitian saya yang berjudul “Faktor Perbedaan Individu dalam Menggunakan Media Daring sebagai Sumber Informasi bagi Pembentukan Sikap terhadap Penerapan Protokol Kesehatan COVID-19”. Dalam wawancara, mohon Ibu menjawab pertanyaan sejujur-jujurnya sebab tidak ada jawaban salah ataupun benar. Segala informasi yang Ibu berikan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian saja. Begitu ya, Bu. Boleh sekarang perkenalkan dulu nama, usia, dan pekerjaan Ibu.

Informan : Halo. Nama Dominika, usia 68 tahun, pekerjaan Ibu Rumah Tangga.

Peneliti : Apa ijazah terakhir yang Ibu punya?

Informan : SD.

Peneliti : Oke, langsung kita masuk ke pertanyaannya ya, Bu. Sepengetahuan Ibu, apa gejala yang terjadi kalau orang itu kena COVID?

Informan : Yang pertama, demam, demam kira-kira 2 hari. Terus, setelah

demam, e… mulai terasa agak tersumbat hidungnya, penciumannya. Terus, e… dia

(6)

95

tidak bisa merasakan rasa makanan, apa asin, apa manis, pokoknya hilang penciuman, hilang juga rasa. Udah.

Peneliti : Selanjutnya, sepengetahuan Ibu, bagaimana COVID bisa menular dari satu orang ke orang lain?

Informan : Ya… melalui e… pernapasan, air liur, ya begitu.

Peneliti : Sepengetahuan Ibu lagi nih, bagaimana mencegah penularan COVID?

Informan : Ya… harus pake masker, rajin cuci tangan pakai sabun, e… hindari kumpul-kumpul. Kalau kumpul-kumpul, jaga jarak.

Peneliti : Oke, Bu. Biasanya selama pandemi ini, Ibu sering cari informasi tentang COVID ga, Bu? Informasi apapun tentang COVID.

Informan : Biasanya lebih menonton TV, dapat informasi dari TV.

Peneliti : Biasanya apa, Bu yang ditonton dari TV?

Informan : Ya… berita-berita yang ada sangkut pautnya dengan COVID-19.

Peneliti : Biasanya Ibu nonton beritanya berapa kali?

Informan : Ya... setiap hari karena satu-satunya hiburan di rumah ya itu, nonton televisi.

Peneliti : Biasanya program beritanya apa, Bu namanya?

Informan : Program beritanya ya… e… sekitar berita-berita yang ada kejadian-kejadian hari ini.

Peneliti : Channel-nya channel apa, Bu?

Informan : Biasanya di channel Metro TV dan juga di SCTV Peneliti : Jadi dalam seminggu, berapa kali Ibu nonton TV?

Informan : Seminggu... setiap hari nonton. Pokoknya nonton. Kalau lagi jam berita, ya nonton berita. Kalau selesai jam berita, ya lanjut nonton sinetron. Begitu.

Peneliti : Kalau durasinya, Bu, dalam satu kali menonton bisa berapa lama?

Informan : Ya… biasanya sesuai dengan berita yang dibacakan itu. Berapa menit, ya kita ikuti saja sampai selesai.

Peneliti : Kira-kira, Bu?

Informan : Ndak terlalu diperhatikan juga berapa lama.

Peneliti : Jadi kalau misalnya Ibu lagi mau cari tahu informasi tentang COVID, Ibu langsung cari tahunya dari mana?

Informan : Dari nonton televisi saja. Kalau cari tahu dari mulut ke mulut, biasanya membingungkan. Yang satu ngomong begini, yang satu ngomong begini.

Lebih baik kita nonton di berita saja.

Peneliti : Kenapa, Bu? Apa alasan Ibu bilang kalau informasi dari mulut ke mulut itu membingungkan, tapi kalau informasi yang Ibu dapatkan dari TV, Ibu yakin kalau itu betul?

Informan : Karena di televisi itu kan ditonton oleh seluruh Indonesia, jadi tidak mungkin berita hoaks.

Peneliti : Sekalipun kalau informasi dari mulut ke mulut itu banyak yang mengatakan hal yang sama, Ibu tetap gak percaya?

Informan : Jarang juga saya menanyakan ke orang-orang. Selama COVID ini, jarang ke luar rumah. Lebih baik di rumah saja, lebih aman.

Peneliti : Kan tadi Ibu bilang ibu jarang menanyakan, tapi kalau dikasih tau

sama teman pasti sering ya, Bu?

(7)

96

Informan : Jarang-jarang juga ada teman berkunjung selama COVID-19.

Peneliti : Berarti memang sumber informasi utama Ibu dari televisi ya?

Informan : Iya, dari televisi saja.

Peneliti : Ada gak Ibu menggunakan media lain, selain televisi untuk mendapatkan informasi?

Informasi : Ndak ada, biasanya televisi saja.

Peneliti : Koran, radio, atau media online?

Informan : Ndak punya radio di rumah, terus ndak pintar-pintar buka-buka online. Hape saya masih hape jadul, belom pintar buka-buka hp android. Jadi, satu- satunya yang saya andalkan ya televisi.

Peneliti : Koran?

Informan : Koran juga tidak berlangganan koran.

Peneliti : Memangnya apa, Bu, berita terakhir yang Ibu tahu tentang COVID?

Informan : Berita terakhir tentang COVID yang saya tahu itu tentang vaksinasi COVID-19.

Peneliti : Kenapa, Bu, vaksinnya?

Informan : Vaksinnya untuk menjaga supaya kita tidak mudah terpapar.

Walaupun terpapar, tidak akan separah daripada sebelum divaksinasi.

Peneliti : Biasanya, Bu kalau Ibu dapat informasi dari televisi, Ibu cek kembali gak kebenaran informasi itu? Mungkin dari sumber lain, atau kalau informasi itu dari TV, Ibu langsung percaya saja?

Informan : Ya... kalau keluarga dekat ada yang berkunjung, ya… kita sempatkan bertanya-tanya juga tentang berita yang kita dapat.

Peneliti : Oh, kalau dari yang tadi Ibu bilang, berarti Ibu juga kurang percaya ya sama apa yang Ibu nonton di televisi?

Informan : Mungkin begitu juga.

Peneliti : Kenapa, Bu? Apa alasan Ibu masih ragu-ragu dengan informasi yang Ibu tonton dari berita di televisi?

Informan : Kadang-kadang, mungkin, ada berita yang terlalu dibesar- besarkan.

Peneliti : Contohnya?

Informan : Contohnya, mungkin, yang terpapar meninggal 1.000 orang, nanti diberitakan 2.000 orang. Begitu contohnya, umpamanya begitu.

Peneliti : Lalu, kalau misal beritanya begitu, kenapa Ibu bisa yakin kalau orang yang Ibu tanyai, dia tahu tentang data kematian itu?

Informan : Kayaknya kalau data kematian, jarang kita tanya ke orang.

Biasanya kita tanya, situasi dan kondisi yang pada saat sekarang. Kira-kira, masih seganas yang sebelumnya atau sudah mulai e… berkurang yang terpapar.

Peneliti : Ibu biasanya mengecek kebenaran informasi itu ke orang lain ya, biasanya orangnya siapa, Bu, apakah teman, keluarga, atau siapa, Bu?

Informan : Biasanya, karena COVID itu jarang teman berkunjung, biasanya

yang berkunjung ya keluarga. Jadi kebetulan ada keluarga yang berkunjung, ya kita

nanya-nanya, anggap saja untuk bahan obrolan daripada kita ngerumpi, gosip-gosip

masalah orang, kan gak enak.

(8)

97

Peneliti : Tadi kan Ibu juga sudah sempat menyebutkan cara mencegah penularan COVID dan lain sebagainya. Nah, kalau Ibu sendiri nih, apa saja yang Ibu lakukan untuk menerapkan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari?

Informan : Ya… Kalau tidak terlalu penting, ndak usah ke luar rumah, di rumah aja. Terus, dirumah harus jaga kebersihan, tangan harus rajin dicuci dengan sabun, dengan air mengalir. Terus, anjurkan supaya kebersihan dalam rumah juga harus diperhatikan, begitu.

Peneliti : Tadi kan Ibu juga menyebutkan kalau Ibu jarang ke luar rumah, kira-kira dalam seminggu, Ibu ke luar rumahnya berapa kali?

Informan : Satu minggu… Kalau untuk ke tempat ibadah, satu minggu satu kali, yaitu tiap hari Minggu saja.

Peneliti : Selain itu?

Informan : Di rumah aja.

Peneliti : Berarti memang hanya satu kali dalam seminggu ya, Bu.

Informan : Ya.

Peneliti : Nah, kalau Ibu berpergian ke luar rumah, apa saja yang Ibu lakukan untuk menjaga diri tetap aman?

Informan : Pake masker, siapkan anti kuman, tisu. Itu saja yang dibawa.

Peneliti : Setelah posisi sudah di luar, bagaimana Ibu menerapkan protokol kesehatan?

Informan : Masker tetap dipakai, terus kalau abis sentuh apa-apa, tidak lupa cuci tangan pakai sabun dan air mengalir.

Peneliti : Kalau sepulang dari luar nih, biasanya sampai rumah, apa yang Ibu lakukan?

Informan : Langsung pakaian yang sudah dipakai ke luar tadi, jangan dipakai lagi. Langsung dilepas, langsung mandi yang bersih.

Peneliti : Apa dampak dari pandemi COVID-19 yang paling Ibu rasakan?

Informan : Yang saya rasakan… tidak bisa seenaknya ke luar rumah untuk cari hiburan, seperti mau jalan-jalan ke luar kota, mau ke mall.

Peneliti : Berarti sebelum pandemi, Ibu memang suka cari hiburan di luar ya, Bu?

Informan : Ya, suka juga karena menghilangkan kejenuhan.

Peneliti : Dari tadi penjelasan Ibu kan, Ibu bilang kalau Ibu menerapkan protokol kesehatan, Ibu juga menahan diri untuk tidak ke luar dulu. Sebenarnya, apa sih, Bu, alasan Ibu setaat itu menjalankan protokol kesehatan?

Informan : Ya takut, takut terpapar COVID-19 karena kita kan tidak bisa tau kalau kita terpapar, apakah kita bisa terselamatkan kah. Jangan sampe langsung kita bisa K.O.

Peneliti : Kenapa, Bu? Padahal kan banyak juga orang-orang yang masih sering ke luar rumah juga. Kenapa Ibu begitu takut dengan COVID?

Informan : Ya… karena takut terpapar COVID-19, akhirnya diri sendiri menjadi menderita, bikin susah juga keluarga, tidak bisa menjenguk nanti.

Peneliti : Kalau kondisi kesehatan Ibu sendiri saat ini bagaimana?

Informan : Ya baik-baik saja.

Peneliti : Apakah Ibu punya pengalaman tertentu, misalnya orang-orang

terdekat yang sebelumnya pernah terpapar virus korona?

(9)

98

Informan : Belum ada. Keluarga dekat belum pernah terpapar korona selama ini. Dalam keluarga, semua mengikuti protokol kesehatan yang mana mereka malah sampe minum-minum jamu supaya tidak mudah terpapar.

Peneliti : Ohh, oke, Bu. Kalau dari teman-teman sebaya Ibu, ada gak yang gak percaya dengan COVID?

Informan : Tidak tau kalau teman yang lain. Saya sendiri sangat percaya bahwa virus korona ini sangat membahayakan.

Peneliti : Membahayakannya seperti apa maksudnya, Bu?

Informan : Bisa membawa kematian.

Peneliti : Dari tadi kan Ibu menegaskan sekali ya, Bu kalau Ibu percaya dengan keberadaan virus ini. Nah, pertanyaan saya, apa Ibu sudah sepercaya ini sejak isu COVID masih awal-awal terdengar? Atau kah dulunya kira-kira masih ragu-ragu begitu?

Informan : Langsung percaya karena sering kita nonton di TV juga, di luar negeri banyak korban yang terpapar virus korona.

Peneliti : Kalau Ibu sendiri, ada gak kebiasaan baru atau kebiasaan yang berubah dari sebelum pandemi dan saat pandemi seperti ini?

Informan : Yang berubah, yang tadinya kita keluar rumah, menghirup udara bebas, tidak perlu pake masker. Sekarang, kita keluar rumah, biarpun jaraknya cuma tidak terlalu jauh, harus pake masker. Jadi pake masker juga rasanya pernapasan tidak leluasa, begitu.

Peneliti : Lalu, saya ingin tahu lagi nih, Bu tentang bagaimana Ibu mendapatkan informasi selama pandemi ini. Tadi kan Ibu sempat bilang, ibu selalu menonton TV, terutama berita. Kalau dari orang-orang terdekat, ada gak, Bu, yang sering memberi tahu informasi seputar COVID? Kalau ada biasanya dari siapa, Bu?

Informan : Biasanya dari keluarga dekat yang kebetulan berkunjung, umpama menantu, atau besan, begitu.

Peneliti : Pernah gak, Ibu menemukan informasi yang tadinya Ibu sudah percaya informasi itu benar, eh tapi ternyata itu adalah hoaks?

Informan : Belum pernah. Biasanya informasi yang saya dapat ya saya tidak tanya-tanya lagi ke siapa-siapa, ke mana-mana karena memang kita tidak pernah keluar jadi tidak pernah ketemu orang. Jadi setelah dengar informasi, kita diam saja di rumah, terserah itu benar kah tidak, terserah. Yang penting kita menjaga kesehatan masing-masing.

Peneliti : Jadi kalau informasinya salah, didiamkan juga saja, Bu?

Informan : Kita juga karena tidak tanya lagi ke mana-mana, jadi tidak tau salah atau benar itu informasi.

Peneliti : Oiya, Bu, apakah Ibu percaya dengan vaksin COVID?

Informan : Percaya.

Peneliti : Kenapa, Bu?

Informan : Karena banyak yang mau divaksin (tertawa kecil) Peneliti : Apa Ibu tahu kegunaan dari vaksin itu sendiri?

Informan : Untuk pencegahan supaya kalau terpapar tidak seberat sebelum divaksin.

Peneliti : Tapi seperti yang Ibu bilang sebelumnya, yang membuat Ibu

percaya adalah karena banyak yang mau divaksin. Itu betul, Bu?

(10)

99

Informan : Iya, berarti banyak yang percaya bahwa vaksin itu ada manfaatnya.

Di TV juga dibilang vaksin itu sangat membantu supaya kalau terpapar tidak akan seberat seperti yang dialami oleh orang-orang yang belum pernah divaksin.

Peneliti : Ibu sudah divaksin atau belum?

Informan : Sudah, sudah 2 kali. Jadi sudah selesai.

Peneliti : Jadi sebenarnya Ibu percaya vaksin sampai mau disuntikkan itu karena banyak orang yang mau divaksin atau karena berita yang Ibu nonton di TV?

Informan : Dua-duanya. Baca berita, juga mendengar pengalaman dari orang yang sudah divaksin.

Peneliti : Pengalaman siapa, Bu yang Ibu dengar tentang vaksin ini?

Informan : Ya… pengalaman dari teman yang sudah lebih dahulu divaksin.

(11)

100

Informan II

Nama Informan : Ani

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 53 Tahun (Generasi X) Pendidikan terakhir : Sekolah Dasar (SD) Pekerjaan : Pengurus kos-kosan Tanggal Wawancara : 22 Maret 2021 Waktu Wawancara : 14.00 - 15.00 WIB Sarana Wawancara : Tatap muka

Tempat Wawancara : Ruko Newton Timur No. 32, Gading Serpong, Tangerang Selatan

Peneliti : Perkenalkan, saya Steffani Liwang, mahasiswa prodi Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara. Ya, Bu, saya mau mengucapkan terima kasih terlebih dahulu atas kesediaan Ibu menjadi informan dalam penelitian saya yang berjudul “Faktor Perbedaan Individu dalam Menggunakan Media Daring sebagai Sumber Informasi bagi Pembentukan Sikap terhadap Penerapan Protokol Kesehatan COVID-19”. Dalam wawancara, mohon Ibu menjawab pertanyaan sejujur-jujurnya sebab tidak ada jawaban salah ataupun benar. Segala informasi yang Ibu berikan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian saja. Kita mulai ya. Pertama, Bu, perkenalkan nama, usia, dan pekerjaan Ibu.

Informan : Nama saya Ibu Ani atau Ibu Kadir. Umur 53. Pekerjaan, pengurus kos-kosan.

Peneliti : Apa ijazah terakhir yang Ibu punya?

Informan : Saya, ijazah SD.

Peneliti : Sepengetahuan Ibu, apa gejala kalau orang terkena COVID?

Informan : Kalau gejala COVID, (berpikir), ee.., panas dingin, batuk, pilek,

terus sesak napas.

(12)

101

Peneliti : Sepengetahuan Ibu, gimana COVID bisa menular?

Informan : (berpikir) Ee… Bisa menular karena mungkin imun tubuhnya kurang fit atau kurang… atau ada gejala-gejala penyakit dalam. Selain itu, mungkin lansia ya.

Peneliti : Menurut Ibu, cara mencegah supaya virusnya gak menular itu gimana?

Informan : Cara mencegahnya… (ragu-ragu) Mungkin bisa… makan yang secara teratur, jaga kesehatan. Terus, makan makanan yang sehat atau minum- minum obat-obat tradisional.

Peneliti : Kalau Ibu sendiri, biar gak kena COVID, apa yang Ibu lakukan untuk mencegah?

Informan : Kalau saya biasanya ya, karena saya orang pekerja, jadi mungkin kayak semacam kayak olahraga. Jadi mungkin, tubuh saya agak kuat. Jadi, mungkin, jauh dari COVID itu.

Peneliti : Biasanya olahraga apa, Bu?

Informan : Olahraga naik-turun tangga, lari.

Peneliti : Biasanya Ibu sering baca berita atau informasi tentang COVID gak sih, Bu?

Informan : Paling nonton TV, ada berita COVID.

Peneliti : Biasanya Ibu nonton TV berapa kali dalam seminggu?

Informan : Ya… sekali dua kali lah dalam seminggu.

Peneliti : Selain itu, biasanya Ibu dapat info tentang COVID, kayak cara mencegahnya, atau gejalanya itu dari mana, Bu selain dari TV?

Informan : Dari orang-orang yang ini… Itu, harus pakai masker atau apa, gejala ini lah, yang flu atau apa, cuci tangan, jaga jarak.

Peneliti : Biasanya dapat info dari orang-orang itu berapa banyak dalam seminggu?

Informan : Ya… Belum tentu sih, kadang-kadang seminggu ada 2 kali atau 3 kali.

Peneliti : Biasanya infonya dikasih tau secara langsung atau lewat SMS atau lewat apa?

Informan : Secara langsung, kadang-kadang ada yang suka ngasih tau.

Peneliti : Siapa biasanya Bu?

Informan : Teman, kadang-kadang di jalanan, di Indomaret, atau di mana gitu suka ada teman saya.

Peneliti : Kalau info di internet, Ibu sering nyari gak?

Informan : Enggak (tertawa malu) karena saya gak bisa internet.

Peneliti : Mana yang Ibu lebih percaya, informasi yang dikasih tau oleh teman Ibu atau yang Ibu nonton di TV?

Informan : Ya mungkin dua-duanya. Soalnya antara dikasih tau teman dan di TV, (informasinya) hampir sama. Contohnya, sama yang harus jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, jaga imunitas tubuh.

Peneliti : Kalau misalnya, ada info yang dikasih tahu teman tapi Ibu belum

pernah dapat info itu dari TV sebelumnya. Itu Ibu percaya gak sama info yang

dikasih tau?

(13)

102

Informan : Ya… Sebelum nonton di TV, setengah percaya gak percaya begitu, soalnya istilahnya belum banyak ngeliat di TV atau ada bukti-bukti yang lain.

Peneliti : Biasanya info seperti apa, Bu, yang setengah percaya setengah gak percaya?

Informan : Itu kadang-kadang ada yang bilang, itu mah boong, penyakit boong, gitu. Kadang-kadang kan antara iya atau enggak, kita belum yakin gitu lah.

Peneliti : Biasanya kalau dari TV, Ibu nonton beritanya dari mana?

Informan : Dari Indosiar.

Peneliti : Kalau dapat info yang Ibu setengah percaya setengah gak percaya, itu Ibu biarin aja infonya, cari tahu di internet/TV, atau tanya ke orang-orang?

Informan : Ya… Kadang-kadang, tanya ke orang-orang, apa iya, apa engga, gitu. Ada berita penyakit kayak begini, tapi ternyata katanya memang ada, gitu.

Peneliti : Jadi kalau Ibu lagi pengen cari tau informasi tentang COVID, sumber informasi yang paling Ibu andalkan itu dari mana, Bu?

Informan : Saya dari teman, atau dari... kadang-kadang kan ada dokter gitu ya, yang nyaranin suruh ini-ini-ini, gitu. Jadi kita percaya.

Peneliti : Kalau Ibu sendiri, Ibu percaya gak dengan COVID?

Informan : Saya percaya, soalnya kan udah banyak yang kena.

Peneliti : Orang-orang terdekat Ibu ada yang kena COVID?

Informan : Ada, kakaknya Bapak (suami).

Peneliti : Ketika Ibu dapat informasi tentang COVID, apa yang Ibu lakukan, apakah langsung diberi tahu ke teman, dicari tahu dulu, atau gimana, Bu?

Informan : Kalau saya dapat informasi, saya kasih tau ke teman-teman.

Istilahnya, kita harus jaga kesehatan lah. Kita harus jaga ini-ini-ini biar kita gak sampe kena COVID, gitu.

Peneliti : Ibu sendiri dalam kehidupan sehari-hari, apa saja protokol kesehatan yang Ibu lakukan?

Informan : Pakai masker, cuci tangan, terus olahraga tiap hari.

Peneliti : Jadi Ibu selalu pakai masker setiap berpergian?

Informan : Ya.

Peneliti : (Sebelumnya melihat Bu Ani keluar tanpa memakai masker) Tadi gak pakai masker, Bu.

Informan ; Engga (tertawa kecil). Kalau sekarang gak pakai masker itu karena saya itu setiap saat ketemu ini orang, kecuali kita ketemu sama orang yang jauh atau ke luar rumah. Kalau di sekeliling sini (sekitar komplek tempat tinggal Bu Ani), di rumah kan, enggak lah. Istilahnya kan campur sehari-hari, gitu. Soalnya tiap hari ketemu sama orangnya. Ini kan orang di ruko sini enggak ke luar jauh-jauh.

Peneliti : Kalau tadi, Bu, pas lagi layanin orang mau lihat kos-kosan, kenapa Ibu gak pakai masker?

Informan : (tertawa kecil) Karena tadi gugup, jadi gak pake (masker).

Peneliti : Kalau Ibu berpergian ke luar rumah, persiapan protokol kesehatannya apa aja?

Informan : Masker, pakai masker saya kalau ke luar, ke Indomaret.

Peneliti : Setelah Ibu pulang, apa yang Ibu lakukan lagi?

Informan : Cuci tangan. Ya, kalau dari pasar ya kita harus ganti baju, mandi.

Kalau gak dari pasar, paling Indomaret atau apa, paling cuci tangan aja.

(14)

103

Peneliti : Selama pandemi, udah mulai beraktivitas seperti biasa ga? Kalau iya, seperti apa?

Informan : Saya sih, masih sama. Maksudnya, kan anak-anak kos juga belum pada masuk terus pekerjaannya agak-agak berkurang, aktivitasnya berkurang lah.

Kalau berpergian, masih sama, tapi kalau yang dilarang, gak boleh, umpamanya ditutup, saya gak (pergi). Paling juga pergi ke tempat saudara, kalau ada hajatan atau orang meninggal, tapi meninggalnya kan gak kena COVID. Kita ke sana, boleh.

Peneliti : Ibu kalau ketemu sama orang baru selalu waspada gak?

Informan : Saya sih, istilahnya apa ya, harus percaya gitu, COVID memang ada, tapi mudah-mudahan kita jangan sampai kena. Jangan terlalu dibikin panik.

Peneliti : Ibu dari dulu sudah percaya akan adanya COVID atau baru-baru ini aja?

Informan : Udah lama sih, sejak awal udah percaya sih ada COVID.

Peneliti : Soalnya waktu itu, pas kita ngobrol di dapur, Ibu pernah bilang kalau COVID itu gak ada. Itu gimana, Bu?

Informan : Waktu pertama-tama, ya memang kayak, ya makanya saya bilang percaya gak percaya, gitu. Jadi di antara iya apa enggak, kayaknya kayak ya gak percaya gitu. Soalnya dari dulu kan saya belum pernah ngalamin penyakit itu.

Belum pernah denger, baru ini.

Peneliti : Apa yang bikin Ibu percaya gak percaya dengan COVID saat itu?

Informan : Gak langsung percaya soalnya kadang-kadang orang kena COVID.

Begitu kena COVID, berapa hari langsung meninggal. Kan kayak percaya gak percaya jadinya. Terlalu cepat. Tapi mungkin sekarang karena udah banyak di edaran TV, terus di masyarakat juga banyak yang kena, saya baru percaya.

Peneliti : Ada gak momen atau pengalaman yang membuat Ibu percaya akan COVID?

Informan : Percayanya, banyak di lingkungan sini juga ada (yang COVID), terus kata orang-orang cerita, katanya kena COVID begini-begini. Oh berarti, memang ada. Saya baru percaya gitu.

Peneliti : Berarti sebenarnya, Bu, informasi yang Ibu lihat di TV itu masih buat Ibu ragu-ragu, tapi kalau ada yang kejadian beneran atau dengar dari cerita orang beneran baru bisa naik tingkat kepercayaannya, begitu, Bu?

Informan : Iya, percaya. Kalau sekarang sih percaya, percaya 100%, soalnya banyak yang kena.

Peneliti : Kalau Ibu sendiri udah pernah tes COVID ga?

Informan : Saya belum. Perasaan saya, saya sehat, mudah-mudahan jangan sampai gitu kena. Nanti ini ada suntik vaksin, ikut, udah daftar.

Peneliti : Tadinya Ibu memang mau ikut atau sempat meragukan?

Informan : Yaa… sempat begitu sih, takut. Banyak orang yang katanya bilang,

“Jangan! Itu malah dikasih penyakit.” Tapi kita… Enggalah, mudah-mudahan itu memang buat jaga penyakit itu.

Peneliti : Lalu kenapa pada akhirnya Ibu bisa percaya dan mau divaksin?

Informan : Orang-orang juga ada yang ngasih tau, “Ini Ibu ikut aja buat

penangkal penyakit itu.” Jadi, yaudahlah ikut.

(15)

104

Informan III

Nama Informan : Sihar Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 47 Tahun (Generasi X) Pendidikan terakhir : Strata 2 (S2)

Pekerjaan : Penulis, Pengelola Website, dan Sastrawan Tanggal Wawancara : 10 April 2021

Waktu Wawancara : 10.51 - 12.10 WIB Sarana Wawancara : Zoom meeting

Tempat Wawancara : Rumah masing-masing

Peneliti : Selamat pagi, Pak. Perkenalkan, saya Steffani Liwang, mahasiswa prodi Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara. Pertama-tama, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Bapak menjadi informan dalam penelitian saya yang berjudul “Faktor Perbedaan Individu dalam Menggunakan Media Daring sebagai Sumber Informasi bagi Pembentukan Sikap terhadap Penerapan Protokol Kesehatan COVID-19”. Dalam wawancara, mohon menjawab pertanyaan sejujur-jujurnya sebab tidak ada jawaban salah ataupun benar. Segala informasi yang diberikan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian saja.

Oke, Pak, boleh perkenalan dulu, nama dan pekerjaan Bapak.

Informan : Oke. Saya Sihar Ramses Sakti S. atau Sihar Ramses Simatupang.

Pekerjaan, penulis, penulis buku, novel, cerpen, puisi, jurnalis Sinar Harapan dan Jawa Pos dulu. Sekarang mengelola website sambil berkesenian sampai sekarang.

Kadang menjuri, kadang pembicara, kadang membaca puisi di forum event-event lain, fokusnya di sastra. Itu sih.

Peneliti : Lalu, ijazah terakhir yang Bapak punya apa, Pak?

Informan : Di IKJ, S2.

Peneliti : Sepengetahuan Pak Sihar, apa gejala yang terjadi kalau seseorang terkena COVID?

Informan : Yang Bapak lihat, e… panas, e… pusing, ya pernapasan, pileknya

berbeda. Itu, jadi bila ada situasi begitu, kalau tidak pisah, ya harus menyendiri,

meninggalkan lingkungan komunitas.

(16)

105

Peneliti : Lalu sepengetahuan Pak Sihar, gimana COVID bisa menular?

Informan : Biasanya melalui pertemuan fisik, tidak berjarak, tidak memakai masker, terutama indoor. Bapak selama ini yang paling khawatir sih di lingkungan- lingkungan yang indoor, AC, tertutup, itu agak takut itu. Kalau di tempat terbuka, lapangan begitu, ada matahari, Bapak agak tenang tuh.

Peneliti : Sepengetahuan Bapak, gimana cara mencegah penyebaran virus?

Informan : Iya, Bapak sering selalu cuci tangan. Kalau ada megang apapun di tempat umum, cari cuci tangan paling. Terutama di beberapa tempat yang sering dipakai ya, ATM, mall, minimarket, pintu-pintunya, terus dipikirin itu. Jadi sebenarnya sekarang ini, banyak di pikiran, di benak kita sendiri protect-nya. Gue habis megang ini, maka begini. Ada air gak, ada ini gak, cuci tangan, ada sabun gak, pake hand sanitizer kalo gak ada.

Peneliti : Lalu, Pak, biasanya untuk mendapatkan informasi seputar COVID, Bapak menggunakan media apa saja?

Informan : Biasanya sih dapat info tembus lewat medsos WA, Facebook, itu mampir tuh kadang informasi-informasi seperti itu tuh. Atau saat meng-klik website apa gitu, muncul. Facebook cukup rutin tuh.

Peneliti : Berarti lebih ke jejaring sosial ya Pak?

Informan : Iya, banyak dapat info dari situ. Oh, sama ini, hp kita ya, android kita itu biasa muncul ya.

Peneliti : Kalau cetak, radio, dan TV?

Informan : Bapak mulai jarang menggunakan media itu, padahal dulunya dari koran ya (tertawa kecil).

Peneliti : Berarti sekarang Bapak lebih seringnya menggunakan media sosial dan media daring juga ya, Pak?

Informan : Iya, betul.

Peneliti : Kalau TV, radio, dan cetak sudah tidak begitu menggunakan media tersebut ya, Pak?

Informan : Oh, TV masih denger, TV sering, termasuk TV cable Indihome tuh di rumah. Kadang Bapak ikutin.

Peneliti : Berarti di antara ketiga itu, media yang paling sering digunakan itu yang mana?

Informan : Hampir sama itu, TV cable ini dan jejaring sosial.

Peneliti : Kira-kira dalam seminggu, berapa kali Bapak menonton TV dan menggunakan jejaring sosial itu? Kan tadi Bapak sempat bilang hampir sama.

Informan : Hampir sama itu, rata-rata 3-4 kali per minggu dapat informasi itu.

Seperti di Facebook, kadang-kadang kan menyebutkan wilayah merah ada di mana, ada di mana, itu tuh malah ditegur di Facebook.

Peneliti : Kalau di antara itu, mana yang lebih sering Bapak gunakan?

Informan : Yang paling sering? Hampir sama, sulit Bapak katakan ya, yang mana yang lebih deras antara website, TV cable ini, atau jejaring sosial. Bapak sih kayaknya, paling banyak itu, jejaring sosial deh yang paling sering. Medsos, dari WA tuh kan, antara warga tuh, itu kan banyak grup. Itu saling memberi tahu.

Peneliti : Dan itu juga yang Bapak jadikan sumber informasi yang paling

diandalkan ya, Pak?

(17)

106

Informan : Ngeliat dulu sumbernya, karena kita udah tau, sering di media ya.

Bapak cepat menyadarkan kalau itu tidak benar, kadang-kadang bereaksi juga langsung.

Peneliti : Seperti apa, Pak, contohnya?

Informan : Misalnya ada isu tentang hoax negeri lain… rekayasa… kayak gitu gitu, lihat dulu porsinya, itu bahaya itu, jadi jangan nyebar hoax juga, tapi kan yang sifatnya penyuluhan, pemberitahuan dari organisasi, dari pemerintah, dari kementerian kan keliatan pola narasumbernya, waktunya, orangnya, itu bisa dibiarin kalau gitu. Tapi Bapak bisa, kalau ada yang nggak beres, bereaksi Bapak.

Peneliti : Jadi kalau misalnya Bapak dapat informasi dari jejaring sosial yang ternyata itu adalah disinformasi atau hoax, biasanya Bapak memverifikasinya ke mana?

Informan : Bapak sih hanya bisa berusaha minta mencabut kepada orang yang bikin dan sebar itu. Terus memberikan informasi, misalnya kalau kalian mau googling aja lewat foto dan tulisan, akan kelihatan mana yang mirip. Orang ini cuma copy-paste, gitu kan. Untuk dapat menelusur sampai ke atas, sulit lah jaringan itu. Jadi yang bisa kita lakukan, meluruskan sekitar kita lah. Itu sih yang paling penting sih. Di komunitas-komunitas kita, yang kadang-kadang satu grup WA aja isinya bisa sampe 50-250 orang. Dengan kita ngomong di grup itu, ya paling tidak memberitahukan kepada yang lain. Nah, kan di tengah bencana gini ada yang memanfaatkan kesempatan, ini yang ribet dan repot. Kita harus lurusin itu. Ini musibah bersama.

Peneliti : Dari penjelasan Bapak sebelum-sebelumnya, bisa dibilang Bapak cukup aware ya dengan proteksi diri dari COVID. Nah, apakah sebelumnya Bapak pernah punya pengalaman orang-orang terdekat yang terpapar atau gimana, Pak?

Informan : Pertama, memang virus ini berbahaya. Kedua, ada beberapa, apa…

ada adik kandung Bapak yang perawat ya di RS negeri yang cukup e… wilayah merah, dia selalu ngingetin tuh di grup WA saudara. Dari awal dia cerita, dia sering diperiksa, dites, gitu. Termasuk proteksi-proteksi, misalnya pake masker, rumahnya kalau bisa terbuka, rawan kalo ketutup banget, gitu ya. Itu ya yang Bapak lihat.

Terus, dari awal juga ini sebenarnya di tengah simalakama juga, Bapak tau, tapi itu

bahaya, harus kita hindari sampai sekarang. Kita belum bicara soal efek ekonomi

ya, Steffani, di masyarakat bawah ya, tapi ini perlu dihindari. Makanya… kan ada

beberapa yang Bapak tidak lagi bisa lakukan, kesenian, penyairan, pembicara,

seminar, juri itu hilang selama COVID. Jadi kesenian Bapak macet, banyak teman-

teman seniman macet. Kalau kayak gitu kan nanggung jadinya, kita berusaha

tegakkin lah semampu kita lah, menghindarilah orang-orang itu kalau sudah ada

tanda-tanda gitu… Meski di jalan raya, ya mau gak mau kita gak bisa lebih tau, tapi

menghindar dari dia gitu. Ini ada di sekitar kita, jadi kita simalakama. Di satu sisi

kita harus aware, kita harus tau risikonya, tapi di satu sisi, di situasi seperti ini

membuat masyarakat kan… usaha ekonomi kan lagi macet nih, akhirnya Bapak

banyak melakukan tindakan, sedapat mungkin melakukan kegiatan ekonomi yang

bisa meminimalisir risiko COVID gitu. Seni budaya paling terkena dampak,

Steffani. Jadi kalau misal dibilang aware, ya karena terlibat, ada keluarga, ya karena

jurnalis juga. Jadi banyak hal lah. Pemerintah kan juga sedang berjuang, negeri,

dunia, semua negara berjuang. Ada yang politis mengatakan, “Ini karena Jokowi…

(18)

107

bla bla bla…” Di tiap negara sekarang lagi kena dampak coy, (tertawa kecil) jadi jangan menghubungkan dengan pemerintahan politik masa kini. Sempit sekali pikirannya gitu loh. Siapa sih presiden di setiap negara yang sanggup dalam kondisi seperti ini. Begitu-gitu tuh. Jadi banyak berimbas kemana-mana nih, hoax-hoax dimanfaatkan nih sama kelompok-kelompok. Oposisi boleh kritis, tapi jangan sampai memakai kesempatan dalam persoalan kemanusiaan kayak gini-gini nih. Ini jadi lahan politik gitu loh.

Peneliti : Kalau Bapak sendiri, apakah memang kepercayaan Bapak terhadap eksistensi COVID ini sudah sematang yang sekarang? Atau dulu, sebenarnya pas awal-awal masih meragukan COVID?

Informan : Sejak awal, Bapak sudah percaya bahwa pandemi akan terjadi pada setiap sejarah umat manusia karena virus ini kan pernah terjadi di tahun 1800an di Eropa, tapi dalam bentuk-bentuk yang lain begitu ya. Jadi ini ya, tantangan buat semua umat manusia untuk mencari laboratorium penyembuh, termasuk vaksin ini gitu kan. Bapak yakin gitu, akan ada penyembuhnya, tapi ini pasti akhirnya ada, real. Cuma… e… euphoria media membuat kadang-kadang jadi tidak logis rasional bagaimana menanganinya, gitu. Lebih banyak ketakutannya, misalnya gitu juga. Itu juga hal yang berbahaya. Akhirnya tidak ada optimis untuk menghalau bersama.

Kedua, orang-orang yang memakai kesempatan jual beli masker, hand sanitizer.

Bapak sih percaya itu ada, tapi silang sengkarut COVID ini begitu banyak. Yang paling penting adalah yang waktu itu Bapak lakukan adalah pertahanan diri sih. Jadi gini, jamu-jamu harus dicari nih, jamu-jamu tradisi yang tidak termasuk dalam register farmasi dunia gitu loh. Terus, tidur cukup yang paling penting juga. Jadi lebih ke kesehatan internal untuk menghalau itu sih, sama menghindari kerumunan yang terlalu berbahaya, walaupun itu ya persiapan lagi. Terus, jangan stress.

Depresi itu bisa jadi awal untuk segalanya ini. Nah, banyakan depresi ini bukan hanya berujung COVID, tapi depresi ekonomi, depresi eksistensi tidak bergaul, depresi tidak saling berkomunikasi antarmanusia. Yang muncul penyakit-penyakit yang lain, akhirnya dibilang terdampak COVID. Jadi, banyak intervensi atau kondisi di antara pemerintah, masyarakat yang membuat itu jadi bisa kemana-mana.

Akhirnya panik, panik sosial, itu lebih berbahaya. Akhirnya ekonomi kita yang jadi macet. Nah sekarang ini, hati-hati, karena banyak masyarakat kan sudah tidak tahan, ‘dapur’nya sudah terluka parah. Nah itu mereka bisa tidak perduli loh. Jadi perlu selain penyuluhan, vaksin, kesehatan yang harus dimaksimalkan, gitu.

Peneliti : Bapak sendiri mau untuk divaksin?

Informan : Mau lah, Bapak nunggu giliran tapi belum dapet. Apa lagi jalan keluar? Kalau bagi yang mau menolak vaksin, Bapak tanyakan, “Siapa yang bisa punya obat selain vaksin?” Kalau ingin membantah, jawab dulu obatnya. Kalaupun dia dikatakan, ada yang bilang efektif, tidak efektif, apa, apa, apa, mereka punya yang lebih efektif gak? Berapa ribu, berapa juta lab di dunia ini yang baru terjawab dengan vaksin ini gitu. Jadi kalau memang tradisi dari kalimantan, dari Batak, atau dari mana bisa mampu membawa tradisi, lakukan di negeri kita untuk menemukan.

Tapi selama ini, vaksinlah yang bisa menjadi jembatan kita untuk optimis dalam

kondisi sekarang. Yang paling penting kan memelihara semangat. Jadi, penting juga

untuk tetap berjaga di informasi COVID dan tetap mengikuti apa yang… prosedur

dari pemerintah dan disepakati dunia, tapi juga tetap menjaga semangat kreatif.

(19)

108

Peneliti : Jadi kalau Bapak ketemu orang secara langsung yang gak menerapkan protokol kesehatan, Bapak tegur ga atau dibiarkan saja?

Informan : Kalau di ruangan tertutup, harus ditegur, tapi kalau di lapangan terbuka, matahari, gitu, itu Bapak agak menjaga jarak. Aku itu setiap keluar gitu, selalu menjaga jarak dan selalu nyari sabun dan air, pasti selalu mikirin itu. Hand sanitizer itu kadang-kadang bawa, kadang-kadang gak bawa, nah itu mulai ketakutan itu kan. Kalau di hotel itu, tiap ada hand sanitizer tuh, pake mulu. Sampe sekarang gitu, 2 tetes, 3 tetes, sampe kena semua tangan kita, selain masker.

Peneliti : Adakah perbedaan dari sebelum COVID dan saat COVID dalam hal pencarian berita atau informasi gitu?

Informan : Ada, di COVID ini lebih meningkat lah. Kebutuhan digital lebih meningkat dibanding offline ya, tapi Bapak juga berduka karena esensi substansi komunikasi manusia adalah pertemuan langsung gitu, tak bisa tergantikan.

Peneliti : Biasanya untuk mengakses informasi tentang COVID itu, apakah Bapak adalah orang yang aktif mencari atau pasif terpapar informasi?

Informan : Maksudnya terpapar bagaimana?

Peneliti : Maksudnya kalau yang Bapak adalah yang pasif, maka lebih banyak informasi yang didapatkan, tapi bukan Bapak sendiri yang aktif mencari informasi tersebut.

Informan : Terkadang mencari juga. Apalagi kalau wilayah tertentu ya kan, kayak Bojong Gede itu sempet tuh wilayah merah, jadi pengen tau tuh sampe mana sih. Terus, seperti Bapak juga banyak lihat fenomena banyak yang terpapar di wilayah perkantoran, tertutup dan AC. Itu kan menjadi pertanyaan, “Betulkah?” Ya kadang-kadang di benak begitu.

Peneliti : Alasan Bapak aktif mencari informasi begitu, untuk memenuhi kebutuhan apa, Pak?

Informan : Ya mengetahui buat diri, buat keluarga, buat masyarakat. Sampai kapanpun pengetahuan COVID ini harus kita ketahui supaya jangan di-hoaks-in orang, supaya jangan diplesetin juga, gitu. Nah, nanti misalnya ada yang salah kaprah ngomong, “Bang, kalau pernapasan yang bermasalah, tapi kalau lewat makanan engga, maka kita ngopi bareng.” Ya itu salah kaprah juga kan berarti (tertawa kecil). Ada juga yang katakan, “COVID itu gaada, itu cuma politik doang.”

Wah, ini kacau lagi nih orang. “Pemerintah ini yang bikin COVID” Woy, negara lain lu kaga baca? Kaya gitu kan (tertawa kecil). Siapapun gitu, ada lagi yang masih menghubungkan dengan peristiwa dulu, Pilpres, kan lucu kan. Ya gitulah.

Peneliti : Berarti rutin ya, Pak, setiap hari begitu mencari beritanya. Kira- kira dalam seminggu berapa berita yang Bapak baca?

Informan : Bolehlah kita menyebut, mencari itu hanya 4-5 kali, tapi mampir ke ruang-ruang medsos, TV cable kita, itu membuat kita jadi akhirnya mencari, ngerti gak? Udah dapet nih, akhirnya 2-3 kalinya nyari ampe 3 informasi gitu loh karena berlimpah gitu loh. Bapak itu kadang-kadang ditambah googling untuk menambahkan informasi yang didapat itu karena kan Bapak penasaran, ini bener kagak nih omongan dia gitu loh. Kadang-kadang kalau lagi memburu untuk sebuah kebenaran doang, bisa sampe sampe 2-3 jam nyari, bisa gitu.

Peneliti : Untuk satu topik berita ya, Pak?

(20)

109

Informan : Iya, tapi kan topiknya bisa benang merah ke sini maka benang merah melebar ke sini gitu ya. Gitu. Kalo ngomong, ada tetangga, misalnya, ada info dari warga RT, ya kita akhirnya kan baca tentang Bojong Gede. Abis baca Bojong Gede, Bogor gimana sih, gitu, terus kenapa Bogor bisa kena, apa pasarnya yang jadi masalah, apa interaksinya, ternyata karena kantor AC. Nah, ada apa dengan pasar di wilayah Bogor, karena kan cuek juga. Nah, Bapak cari pasar-pasar cuek di wilayah Bogor, pernah gak dapat teguran. Oh, ternyata pernah kena. Jadi melebar ke sana. Antara nyari sama dapat informasi udah makin tipis perbedaannya.

Dipancing, nyari atau pas nyari melebar ke sini atau kalau ada informasi dari tetangga yang lewat di medsos, WA, jadi penasaran. Karena kalau datengin kan gak dapet informasi, ya kita cari wartawan di media-media online lokal kan bisa ketahuan tuh, ya kan. Akhirnya melebar juga dari peta mappingnya di luar.

Akhirnya kadang-kadang jadi nyari ke government untuk informasi website resmi.

Kadang mampir-mampir gitu lah.

Peneliti : Banyak ya, Pak, relasinya.

Informan : Yaa… karena sebenernya kalau searching-searching dari dulu kan, kita biasa ya. Waktu di Sinar Harapan, bahkan waktu di Jawa Pos, saat membuat features, Bapak kan ‘mampir’ ke mana-mana. Buka lagi pustaka, pustaka online ini kan kemana-mana, gitu. Tapi itu yang paling penting, cari dulu ini website siapa nih yang punya. Kadang-kadang kan orang awam ngambil aja blog atau bikinan orang yang gak jelas, itu dipercaya. Kalau Bapak nggak percaya, biarpun cari di-googling pake keywords yang sama, kan akan keluar tuh. Nah, kalau hoaks dia gak akan muncul tuh, kalau orang yang gak bertanggung jawab. Tapi kalau fenomena, misalnya, Jokowi mengumumkan daerah ini. Kalau kita searching, itu semua keluar, media-media terhormat itu. Ya itu sih bandingannya.

Peneliti : Berarti Bapak itu memang mengandalkan informasi dari media- media yang kredibel ya, Pak?

Informan : Ya, kayak foto tentang hoaks ya. Foto diambil, keliatan tuh fotonya. Kalau yang hoaks tuh, ternyata dia ambil foto yang 5 tahun yang lalu untuk contoh korban, padahal kecelakaan malah dipake untuk COVID (tertawa). Kan macem-macem itu. Tapi Bapak sebenarnya generasi yang, apa, pascaboomer itu sebenernya X ya, Bapak ya berusaha mengikuti seperti kalian, belajar ini, yaa…

suka nggak suka ini.

Peneliti : Bapak paling merasakan dampak COVID dalam hal apa?

Informan : Sebenarnya sih, selain eksistensi, dapur. Eksistensi bergaul, berkomunikasi, termasuk pentas ya, dapur. Cuma Bapak orang kreatif, tetep Bapak membuat beberapa lapis. Sampe punya sambilan hobi arwana lagi, jual beli online.

Peneliti : Selama pandemi ini, adakah kebiasaan-kebiasaan baru yang terbentuk dan mungkin sebelumnya belum pernah Bapak lakukan?

Informan : Yaa… habit... Akhirnya banyak pertemuan-pertemuan kesenian yang jadi pertemuan digital. Baca puisi akhirnya berpikir main di Youtube, padahal kan paling asik baca puisi itu depan ratusan orang, efeknya langsung keliatan gitu loh. Kita kehilangan panggung itu para seniman semua.

Peneliti : Kalau kebiasaan yang dibangun untuk diri sendiri begitu, Pak

dalam keseharian?

(21)

110

Informan : Ya berhati-hati dalam bergaul. Kalau ada pertemuan, liat dulu nih gimana nih orang-orang, kalau ada yang datang terus kondisinya lagi gimana- gimana, disaranin gak mau ketemu apa nanti mendatang, atau ketemuan depan rumah aja dekat keran, ada air sama sabun (tertawa kecil). Itu tinggal pencet untuk tamu dan biasanya di luar, gak mau dia masuk ke dalam rumah. Jadi kayak gitu lah.

Peneliti : Kalau Bapak mau berpergian ke luar, persiapannya apa aja?

Informan : Pasti masker lah, sedapat mungkin, hand sanitizer lah, tapi kalau nggak ada, cari keran. Trus, ngeliat orang yang kita ajak ngobrol, sama jarak, sama tempat terbuka kalau bisa.

Peneliti : Berarti Bapak selalu taat dengan protokol kesehatan ya sekalipun di luar. Gak pernah lepas masker begitu ya, Pak?

Informan : Ya, tapi kalaupun suatu saat narik napas untuk biar seger, di tempat terbuka lah beraninya, ada matahari gitu. Kalau ada hamparan padang rumput gitu, Bapak masih berani tuh sambil berjarak jauh juga dengan mereka. Sama perhatikan lawan bicara kita sih, kondisinya gimana.

Peneliti : Biasanya lawan bicara seperti apa, Pak yang bikin was-was?

Informan : Ya, kalau lagi agak pilek, kurang sehat, wah, udah mulai tuh. Puji Tuhan sampai saat sih Bapak dan keluarga paling menghindari hal itu sih. Yang jelas, makin jarang ke keramaian lah. Anak-anak ke Alfamart sekali udah kayak heboh gitu kan karena nggak pernah mereka dibolehkan. Ya… Ujungnya tetep doa itu penting sih, Steffani, selain menghindar ya. Bukan apa-apa ya, dia bisa ada di sekitar kita juga gitu loh, COVID-nya kan. Kalau di rumah kami lebih banyak terbuka sih, jendela, kami gak pake AC.

Peneliti : Kalau sepulang dari luar, begitu sampai rumah apa yang dilakukan?

Informan : Baju masukin semua ke mesin cuci. Kalau pun ada jaket, beraninya

gantung di luar rumah, sama buru-buru mandi. Bapak gak sempurna selalu untuk

menjadi rapi tiap detail, tapi paling tidak di kepala benak kita selalu dari sini maka

begini. Kausalitas harus selalu dipikirin deh dalam kondisi korona ini. Sebab gue

ketemu gini, maka akibat begini. Sebab dia begini, agak jauh dikit. Jadi ada

banyak… Ya, risikonya memang, ada yang hilang sih.

(22)

111

Informan IV

Nama Informan : Triaji Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 25 Tahun (Millennials)

Pendidikan terakhir : Sekolah Menengah Atas (SMA) Pekerjaan : Marketing Promoter

Tanggal Wawancara : 15 April 2021 Waktu Wawancara : 13.40 - 14.35 WITA Sarana Wawancara : Tatap muka

Tempat Wawancara : Satria Nusantara Cell, Jl. Ahmad Yani No. 142, Wua-wua, Kendari

Peneliti : Perkenalkan, saya Steffani Liwang, mahasiswa prodi Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara. Pertama, saya mau berterima kasih atas kesediaan Kakak menjadi informan dalam penelitian saya yang berjudul “Faktor Perbedaan Individu dalam Menggunakan Media Daring sebagai Sumber Informasi bagi Pembentukan Sikap terhadap Penerapan Protokol Kesehatan COVID-19”.

Dalam wawancara, mohon menjawab dengan sejujur-jujurnya sebab tidak ada jawaban salah ataupun benar. Segala informasi yang Kakak berikan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian saja. Begitu ya, Kak. Pertama, perkenalkan dulu nama, usia, dan pekerjaan Kakak.

Informan : Perkenalkan, nama saya Triaji Lamarundu, pekerjaan saya sebagai marketing promoter di handphone Oppo.

Peneliti : Usia?

Informan : Usia saya 25 tahun.

Peneliti : Apa ijazah terakhir yang Kakak punya?

Informan : Ijazah SMA.

(23)

112

Peneliti : Nah, sepengetahuan Kakak, apa yang terjadi kalau seseorang itu kena COVID?

Informan : E… pastinya demam, terus badannya itu di atas 37

o

C. Dia panas, terus disertai juga pilek, sama matanya kek merah-merah, batuk juga. Gitu.

Peneliti : Sepengetahuan Kakak, bagaimana COVID bisa menular?

Informan : E… ini dari jaga jarak biasa… Jarak terlalu dekat, terus ndak pake masker, sama kalo habis pegang uang atau pegang sesuatu atau salaman, terus gak cuci tangan langsung pegang makanan, itu biasa juga (menular), atau garuk-garuk hidung. Jadi, tangannya belum bersih, terus garuk-garuk bagian muka, kayak mata, hidung, mulut, lidah, biasa terjangkit korona.

Peneliti : Lalu sepengetahuan Kakak, bagaimana mencegah penyebaran COVID?

Informan : Melakukan 3M sih, kayak mencuci tangan, memakai masker, sama menjaga jarak.

Peneliti : Kakak biasanya sering cari tahu informasi tentang COVID ga?

Kayak update-update info terkini gitu.

Informan : Kalau update-nya sih, lihat di ini ya, kek internet. Berapa jumlah orang yang terkena COVID, yang OTK, e, OTG, OTG kan? (tertawa kecil) Terus orang yang ini, yang lagi diisolasi, itu biasa yang saya liat-liat. Banyak juga ya, Kak, yang terkena-kena COVID, terus ada juga orang yang terkena COVID, tapi tidak ada bentuk apapun, kek misalkan, ndak pilek, ndak demam, langsung terkena COVID begitu. Itu juga hati-hati sekali.

Peneliti : Itu Kakak selalu cari informasi tentang itu?

Informan : Iya, selalu. Kayak misalkan, ini misalkan di-rapid, itu orangnya tersebut terkena COVID tapi dia tidak ada gejala sama sekali. Itu yang lebih… lebih apa sih… lebih mengerikan soalnya tidak ada gejala sih.

Peneliti : Biasanya kalau Kakak cari informasi kayak begitu, cari informasinya dari mana?

Informan : Dari internet sih.

Peneliti : Internet, berarti cari di google atau di mana?

Informan : Di google sama liat di kayak Instagram gitu, kayak social media.

Itu, kek apa-apa tentang COVID, itu masuk sendiri kalau misalkan pencarian tentang COVID.

Peneliti : Kalau di google biasanya baca beritanya itu dari mana?

Maksudnya, web apa yang dibuka?

Informan : E… biasa Tribunnews, itu, yang saya baca.

Peneliti : Kalau di Instagram?

Informan : Kalau di Instagram sih, kayak, em… apa ya, biasa… kalau Lambe Turah masuk juga kah? (tertawa kecil) Lambe Turah, biasa tentang COVID, sama ini sih, apa ya, info kendari, Kendari Info biasa.

Peneliti : Ohh, kalau media lain mungkin, kayak koran, TV, radio, dll. Ada gak?

Informan : Televisi… e… biasanya TVOne. Kalau saya nonton, TVOne terus.

Kalau di koran, jarang saya baca.

Peneliti : Jadi kalau antara internet, yang Tribuns tadi sama media sosial,

Kakak lebih sering pakai yang mana buat mencari informasi seputar COVID?

(24)

113

Informan : Kalau misalkan anu sih… dua-duanya karena biasa kalau buka google, buka Instagram lagi. Nanti muncul sendiri, kalau Instagram dia kan kalau kita scroll-scroll, itu biasa ada masuk, ini kayak… Kalau Tribun kan harus dicari dulu.

Peneliti : Berarti sama ya?

Informan : Sama.

Peneliti : Tapi yang mana yang lebih Kakak percayai? Internet, atau Instagram, atau sama saja?

Informan : Kalau saya sih, Instagram.

Peneliti : Kenapa?

Informan : Lebih percaya sih karena… soalnya sudah ada di Instagram, belum ada di google.

Peneliti : Ohh, memangnya kenapa, Kak, kalau sudah ada di Instagram, tapi belum ada di google?

Informan : Soalnya… hmm… gimana di’... lebih updates begitu. Lebih update kalau di Instagram. Kalau di google sih, biasa kurang update. Maksudnya, kalau di Instagram dia, cepat 1 menit. Kalau misalkan di google, dia 5 menit begitu.

Peneliti : Berarti karena lebih cepat makanya Kakak lebih percaya yang di Instagram ya?

Informan : (mengangguk)

Peneliti : Terus biasanya menggunakan Instagram itu berapa kali dalam seminggu?

Informan : Setiap hari, tapi untuk jamnya sih… Misalkan kayak ada waktu luang, kayak istirahat, saya pergunakan untuk main sosial media lagi. Terus kalo misalkan lagi kerja, lagi kerja.

Peneliti : Kira-kira berapa lama, Kak dalam satu hari?

Informan : 1-2 jam sih, terus lanjut lagi kalau ada waktu luang lagi baru main Instagram. Soalnya kita kan kalau istirahat itu 1 jam, jadi 1 jamnya itu kita buka internet. Tapi misalkan kalo lagi kerja, biasa sempat-sempatnya juga kita main Instagram.

Peneliti : Berarti kira-kira total dalam satu hari itu berapa jam?

Informan : (tertawa kecil) Satu hari itu... rata-rata 6 jam saja.

Peneliti : Berarti Kakak setiap hari ya mencari informasinya?

Informan : Ndak, kalo main Instagram kan sering, tapi ndak khusus untuk buka artikel begitu.

Peneliti : Kan tadi Kakak juga sempat bilang kalau Kakak lebih percaya dengan informasi yang Kakak dapat dari Instagram, itu biasanya kalo yang Kakak lihat dari Instagram, Kakak cek lagi gak kebenaran informasinya?

Informan : Percaya tidak percaya sih soalnya kan media sosial, jadi banyak yang… ada sisi positifnya, ada sisi negatifnya, jadi kita biasa mencari lagi, mana betul, mana betul.

Peneliti : Cara mencarinya gimana, Kak?

Informan : Cara mencarinya sih… e… COVID terkini, COVID-19 terkini, begitu.

Peneliti : Itu apa, Kak maksudnya? COVID-19 terkini itu apa?

(25)

114

Informan : Di google, COVID terkini. Kayak misalkan, sudah ada di Instagram, saya cari lagi di google. Kayak misalkan sama, baru saya percaya.

Peneliti : Tadi Kakak kan bilang kalo Kakak lebih percaya dengan informasi yang ditemukan media sosial, tapi kalau ada info dari Instagram yang Kakak kurang percaya, Kakak cari di google. Jadi sebenarnya, yang mana yang lebih Kakak percaya?

Informan : Kalo… Kalo misalkan sama, kayak yang di Instagram dan google sama. Tapi kalo misalkan kesamaannya itu lebih cepat dari Instagram, baru saya percaya yang di sosial media.

Peneliti : Oke, berarti kalau ditanya, sumber informasi apa yang paling Kakak andalkan untuk cari kebenaran informasi itu apa?

Informan : Sosial media, contohnya Satgas COVID terkini.

Peneliti : Kalau Kak Aji sendiri, percaya gak dengan COVID-19?

Informan : Kalau saya sebagai karyawan, percaya. Di luar sih, percaya juga…

percaya tidak percaya sih...

Peneliti : Kenapa, Kak? Apa memang bedanya sebagai karyawan dan bukan karyawan?

Informan : Kan kalo karyawan, kita harus ikuti aturan toko, kayak WFO, protokol kesehatan, tapi kalau misalkan di luar, lagi ngumpul, gak ini sih… Kalau lagi ngumpul sama temen, masih jaga jarak sih, tapi ndak terlalu dibahas begitu.

Tapi kalau masuk kerja itu, protokol kesehatannya harus dijaga begitu. Jadi kayak, percaya tidak percaya.

Peneliti : Memangnya kenapa, Kak bisa percaya tidak percaya dengan COVID?

Informan : Karena ini sih… misalkan kita lagi di luar, ngobrol, asik sama teman, jadi ndak ada yang bahas begituan, jadi kek… kek… ndak masuk di pemikiran kita itu COVID-19. Tapi kalau masuk kerja, itu protokol kesehatannya, jadi kalo misalkan ada orang yang masuk, percaya lagi dengan adanya COVID-19.

Kek ketemu orang lain lagi toh, jadi harus jaga jarak, pakai masker.

Peneliti : (memerhatikan sedari tadi) Ohh, iya, tapi kenapa sekarang gak pakai masker, Kak?

Informan : (tertawa) Lagi ndak ada orang, lagi ndak melayani. Kalau lagi melayani, baru pake masker lagi. Ini saya di sini juga jaga jarak (dengan promoter lainnya).

Peneliti : Kan tadi Kakak sempat bilang kalau Kakak masih percaya gak percaya dengan COVID karena jarang dibahas bersama teman-teman, tapi kalau dari pribadi Kakak sendiri kenapa masih ragu?

Informan : E… saya ragu karena mungkin belum kena ke saya, amit-amit (tertawa kecil). Belum kena mungkin, jadi saya masih ragu, tapi kalo mungkin saya kena… amit-amit, mungkin saya percaya.

Peneliti : Tapi kalau pengalaman dari orang-orang terdekat mungkin, sudah ada yang pernah terpapar COVID?

Informan : Sudah ada yang pernah kena, kayak teman, e… maksudnya…

teman jauh sih. Jadi dia kena, terus diisolasi juga, kek gitu 15 hari kah, 12 hari

diisolasi. Terus besoknya sudah mulai aktivitas lagi. Jadi dia rapid, terus rapidnya

(26)

115

itu hasilnya positif. Dari situ saya agak percaya, gitu. Kalau misalkan kena ke saya, mungkin saya percaya lagi… lebih percaya. Ini (sekarang) agak percaya.

Peneliti : Oh, oke, Kak, aku mau balik lagi ke tadi, Kakak kan bilang biasanya dapat informasi dari Instagram gitu. Nah, biasanya informasi itu Kakak sering share gak ke orang-orang atau baca untuk diri sendiri aja?

Informan : Biasa share sih, di grup WA, tapi ndak sering. Jadi misalkan...

kalau misalkan lagi kencang-kencangnya begitu, ini-ini-ini, share lagi. Kalau misalkan… ya untuk dibaca sendiri saja, saya ndak share.

Peneliti : Berarti apa kategori berita yang Kakak share ke orang-orang sama yang Kakak ndak share kayak mau dibaca sendiri saja?

Informan : E… kayak… biasa kayak… Di kota sini, misalkan kayak di Kendari, ih banyak sekali yang terkena (COVID), hati-hati saja begitu toh. Kalau misalkan kayak, kurang-kurang lagi, itu saya ndak share. Tapi kalau yang kayak lagi gencar-gencarnya, ih korona banyak sekali di Kendari, ya sudah itu yang saya share lagi. Jadi gitu sih.

Peneliti : Oh, berarti intinya, Kakak share berita yang punya korelasi dengan teman-teman ya?

Informan : Iya.

Peneliti : Kalau Kakak sendiri, bagaimana Kakak menerapkan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari? Apa yang Kakak terapkan?

Informan : Saya terapkan itu… melakukan 3M: memakai masker, menjaga jarak, sama mencuci tangan. Kalau misalkan saya mau makan atau apa, cuci tangan, itu sih saya terapkan. Terus kalo misalkan saya lagi bersin, saya menjauh dari sekitar, gitu.

Peneliti : Kalau Kakak berpergian ke luar rumah, apa yang Kakak persiapkan supaya menjaga diri tetap aman dari COVID?

Informan : Pertama ya, kalau misalkan ke luar dari rumah itu, saya pake masker… e... sediakan masker. Terus, saya juga… kek misalkan ada hand sanitizer, biasa saya bawa.

Peneliti : Selama pandemi ini, Kakak sudah beraktivitas seperti biasa belum?

Kayak keluar sama teman, dan lain-lain. Apakah sudah sebebas sebelum COVID atau gimana?

Informan : Kalau sebebas dulu sih, ndak karena ini ya, karena mungkin COVID. Tapi kalau misalkan kek lagi ingin jumpa saja, biasa pergi. Tapi kalau misalkan kek setiap hari, ndak, ndak kayak dulu sebelum ada pandemi. Kalau sesudah ada pandemi itu jarang sekali kumpul.

Peneliti : Kalau Kakak ketemu sama orang-orang baru yang asing begitu, Kakak kan kerjaannya ketemu sama orang baru terus ya, pembeli. Itu Kakak selalu ada perasaan was-was dengan orang itu gak?

Informan : Was-was sekali. Saya sangat was-was, biasa kalau misalkan ada orang bank masuk di toko, terus saya pakai masker, terus ada orang yang batuk tiba- tiba, itu langsung saya jaga jarak. Itu yang saya takutkan, waspada, hati-hati juga.

Terus kalau misalkan, ya kalau normal-normal saja , konsumennya pakai masker, saya pakai masker, jadi itu cuma jaga jarak saja.

Peneliti : Oh, oke oke. Kalau vaksin, Kak, Kakak percaya gak dengan vaksin

itu?

Referensi

Dokumen terkait

Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan

Kawasan Pulau Serangan yang memiliki tipe habitat seperti mangrove, laguna, pantai yang tidak hanya cocok untuk burung air namun juga burung-burung

1) Keuntungan dan kerugian (cost and benefits)  yang dianalisis jangan semata-mata dipusatkan pada keuntungan dan kerugian bagi  perusahaan, kendati benar bahwa ini

Strategi pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang dilaksanakan di MI Ma’arif NU Krangean sudah dilaksanakan sesuai dengan teori yang ada sebagai upaya untuk mengaktifkan

bahwa dengan dilaksanak annya reformasi birokrasi di lingkungan Kem enter ian Agama, maka dalam upaya peningkatan k inerja Pegawai di lingkungan Kementetian Agama,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan berbagai merek siaran berita stasiun televisi swasta berdasarkan dimensi ekuitas mereknya, dengan memfokuskan pada empat

In this paper, QMCF method is used to investigate solvation structure and dynamical properties of Cu + in liquid ammonia during simulation time of 20 ps, especially in the second

Pada penelitian ini membahas tentang perbandingan nilai ukur sensor load cell pada alat penyortir buah otomatis terhadap timbangan manual atau konvensional,