• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume 1 Number 1 Article 4

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Volume 1 Number 1 Article 4"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Check and Balances dalam Sistem Peradilan Etik Check and Balances dalam Sistem Peradilan Etik

Mega Ayu Werdiningsih

Komisi Yudisial RI, megaa.werdiningsih@gmail.com

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jurnalkonsdem Recommended Citation

Recommended Citation

Werdiningsih, Mega Ayu (2021) "Check and Balances dalam Sistem Peradilan Etik," Jurnal Konstitusi dan Demokrasi: Vol. 1 : No. 1 , Article 4.

Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jurnalkonsdem/vol1/iss1/4

This Article is brought to you for free and open access by UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Jurnal Konstitusi dan Demokrasi by an authorized editor of UI Scholars Hub.

(2)

Check and Balances dalam Sistem Peradilan Etik Mega Ayu Werdiningsih

Staf Biro Pengawasan dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial RI

E-mail: megaa.werdiningsih@gmail.com Abstract

The principle of checks and balances is closely related to the principle of separation of powers in the constitutional system, which in its development, the application of checks and balances emphasizes the importance of mutual control relationships between various branches of state administration, including within the scope of the judicial system. If in the legal justice system in the context of judicial power, the application of the principle of checks and balances is not new – that is through supervision by the House of Representatives (DPR) which is authorized to propose changes to the Supreme Court law and external supervision by the Judicial Commission (KY) on the behavior of judges according to the Code of Ethics-, therefore, the application of the principle of checks and balances should also be a concern in the ethical justice system. Considering, nowadays, the judicial system does not only include the legal justice system (Court of Law) but also includes the ethical justice system (Court of Ethics). For this reason, this paper examines the application of the principle of checks and balances in the ethical justice system, especially in the ethical justice system which still applies closed ethical trials, namely the Honorary Council of the DPR (MKD), the Honorary Council of Judges (MKH) and the Honorary Council of the Constitutional Court (MKMK). By knowing and paying attention to the application of the principle of checks and balances in the ethical justice system, it is hoped that the development of the ethical justice system (Court of Ethics) and the Court of Law will be implemented.

Keywords: Court of Ethics, Check and Balances, Honorary Council of DPR, Honorary Council of Judges, Honorary Council of the Constitutional Court.

Abstrak

Prinsip check and balances erat kaitannya dengan prinsip pemisahan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan, yang mana dalam perkembangannya, penerapan checks and balances menekankan pada penting adanya hubungan saling mengendalikan antara berbagai cabang penyelenggara negara, termasuk dalam lingkup sistem peradilan. Jika dalam sistem peradilan hukum pada konteks kekuasaan kehakiman penerapan prinsip checks and balances bukanlah hal yang baru -yaitu dilakukan melalui pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diberi kewenangan mengusulkan perubahan terhadap undang-undang Mahkamah Agung dan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial (KY) terhadap perilaku Hakim sesuai Kode Etik-, maka, penerapan prinsip checks and balances ini seharusnya juga menjadi perhatian dalam sistem peradilan etik. Mengingat, dewasa ini, sistem peradilan tidak hanya meliputi sistem peradilan hukum (Court of Law) namun juga meliputi sistem peradilan etika (Court of Ethics). Untuk itu, makalah ini mengkaji terkait penerapan prinsip check and balances dalam sistem peradilan etik khususnya pada sistem peradilan etik yang masih menerapkan persidangan etik secara tertutup yaitu di Majelis Kehormatan DPR (MKD), Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Dengan diketahui dan diperhatikannya penerapan prinsip check and balances dalam sistem peradilan etik tersebut, diharapkan dapat semakin mengimplementasi beriringannya pengembangan sistem peradilan etika (Court of Ethics) dengan sistem peradilan hukum (Court of Law).

Kata Kunci: Peradilan Etik, Check and Balances, Majelis Kehormatan DPR, Majelis Kehormatan Hakim, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

I. Pendahuluan

Penelitian ini secara garis besar akan membahas salah satu problematika pelaksanaan penegakan atau peradilan etika yang dilakukan oleh lembaga penegak Kode Etik di Indonesia yaitu menyangkut penerapan prinsip check and balances. Lembaga penegak Kode Etik yang akan di teliti khususnya adalah lembaga yang mengawasi dan melaksanakan fungsi peradilan

(3)

Etik para Pejabat Publik di lingkungan lembaga legislatif yaitu Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD); dan di lingkungan yudikatif dalam lingkup kekuasaan kehakiman yaitu dilakukan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme Majelis Kehormatan Hakim MK (MKMK). Jimly Asshiddiqie, dalam bukunya Peradilan Etik dan Etika Konstitusi berpendapat bahwa sistem peradilan etik (Court of Ethics) pada lembaga-lembaga ini dinilai masih bersifat pro-forma, salah satunya karena masih menerapkan persidangan etik secara tertutup. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie berpandangan bahwa suatu peradilan etik, seharusnya menerapkan prinsipprinsip peradilan yang lazim di dunia modern, terutama soal transparansi, indepedensi dan imparsialitas.1

Sebagaimana diketahui prinsip check and balances erat kaitannya dengan prinsip pemisahan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan yang dikemukakan oleh John Lock dan Montesquieu. John Lock dalam bukunya Two Treatises on Civil Government, membagi kekuasaan negara atas, kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif), kekuasaan melakukan undang-undang (eksekutif), dan kekuasaan federatif.2 Sementara, Monteusquieu, dalam bukunya L”Esprit des Louis atas pengaruh pemikiran John Lock, mengemukakan konsep pemisahan kekuasaan negara dalam tiga kekuasaan, pertama, la puissance legislative, yang membentuk undang-undang; kedua, la puissance executive, yang melaksanakan undang- undang, dan yang ketiga, la puissanc de juger, yang menjalankan kekuasaan kehakiman.3 Dari kedua teori ini lah kemudian berkembang dan mengalami medifikasi melalui berbagai ajaran, seperti ajaran pembagian kekuasaan (distribustion of powers) yang menekankan pada pembagian fungsi dan bukan pada organ, dan ajaran checks and balances yang menekankan pada penting adanya hubungan saling mengendalikan antara berbagai cabang penyelenggara negara. Perkembangan ketatanegaraan di Indonesia yang mengarah pada sistem checks and balances ditandai dengan adanya amandeman UUD NRI 1945 yaitu lembaga negara yang saling mengawasi dan mengimbangi lembaga negara lainnya. Indonesia membagi kekuasaan pemerintahan kepada eksekutif yang dilaksanakan oleh presiden, legislatif oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan yudikatif oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Oleh karena itu, sistem check and balances lahir dan tidak dapat dipisahkan dari masalah pembagian kekuasaan, sebagamana ditulis oleh Robert Weissberg, “A principle related to separation of powers is the doctrine of checks and balances. Whereas separation of powers devides governmental power among different officials, checks and balances gives each official some power over the others”.4

Jika melihat dalam sistem peradilan hukum (Court of Law), gaung penerapan prinsip check and balances bukanlah hal yang baru. Ismail Rumadan, Staf Puslitbang Hukum dan Peradilan MA RI, dalam penelitiannya pada tahun 2014 yang berjudul Problematika Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman, memaparkan bahwa pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam konteks pelaksanaan check and balaces dilakukan melalui pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diberi kewenangan mengusulkan perubahan terhadap UU Mahkamah Agung dan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial terhadap perilaku Hakim sesuai Kode Etik, serta secara kongkrit putusan hakim dalam suatu perkara pidana misalnya, juga telah dibatasi oleh asas legalitas baik hukum substantif maupun hukum acara dan apa yang didakwakan Jaksa, sehingga apa yang diputuskan hakim tidak terlepas dari apa yang

1Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Jakarta: Snar Grafika, 2015, hlm. 266.

2Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Study HTN, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.

3Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1990.

4Robert Weissberg, Understanding American Government, New York: Holt Rinehart and Winston, 1979, hal. 35.

(4)

didakwakan oleh Jaksa.5 Penerapan check and balaces ini beriringan dengan prinsip indepdensi peradilan hukum yang mana telah ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jimlly Asshiddiqie berpendapat, prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) menghendaki bahwa para hakim dapat bekerja secara independent dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif, sehingga diperlukan hakim yang benar-benar dapat dipercaya, karena banyak sekali komentar dan pandangan negatif terhadap hakim mengenai sejauh mana hakim dapat bekerja dengan obyektif. Dengan demikian, prinsip independensi tidak menempatkan pengadilan dan hakim dalam posisi kebal hukum, melainkan ditempatkan dalam konteks akuntabilitas. Dari penelitian ini, dapat kita lihat bahwa penerapan prinsip check and balances dalam peradilan hukum (Court of Law) dapat dioperasionalkan dalam 2 hal, yaitu check and balances dalam penyeimbangan suatu kekuasaan kelembagaan dan/atau check and balances dalam penyeimbang pelaksanaan sistem peradilan.

Merujuk pada gagasan yang dikemukakan Jimly Asshidiqqie terkait pengembangan peradilan etika (Court of Ethics), yang mana seharusnya bekerja beriringan dengan peradilan hukum (Court of Law) dalam rangka menopang demokrasi yang sehat (tidak hanya bersifat prosedural-formal tetapi juga bersifat substansial), maka dalam konteks lembaga penyelenggara kekuasaan penegakan Etika ini, sudah seharusnya kita juga perlu mengembangkan penataan terhadap sistem etika (rule of ethics). Pada tahun 2020, tepatnya 11 November 2020, MPR bekerjasama dengan Komisi Yudisial dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar Konferensi Nasional ke II Etika Kehidupan Berbangsa.6 Konferensi ini diadakan dalam rangka upaya peningkatan integrasi sistem kode etik dan dibangunnya struktur etika jabatan publik di tingkat eksekutif, yudikatif, maupun organisasi profesi lainnya. Pengaturan lembaga etik yang terintegrasi ini merupakan amanat dari Ketetapan MPR Nomor/6/2001, yang mana hingga saat ini setelah 19 tahun, pengaturan terkait lembaga etik yang terintegrasi dalam bentuk peraturan perundang- undangan masih belum terbentuk. Selain itu, konfrensi ini juga merupakan kelanjutan dari Konfrensi Nasional ke I yang sebelumnya diadakan pada 01 Juni 2017, yang mana menghasilkan salah satunya soal penekanan pentingnya dilakukan integrasi sistem kode etik dan dibangunnya konstruksi struktur etika dalam jabatan-jabatan publik baik lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun organisasi-organisasi profesi lainnya, dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD NRI 1945.7 Salah satu pengembangan sistem etika (rule of ethics) yaitu dengan menerapkan prinsip check and balances dalam rangka membangung mekanisme hubungan pengendalian dengan lembaga kekuasaan yang lain sehingga diharapkan dapat menghindari terjadinya dominasi suatu cabang kekuasaan dan tindakan kesewenang-wenangan oleh pemangku kekuasaan, yang mana hal ini dilaksakan dengan tetap memperhatikan prinsip indepedensi atau kemandirian lembaga peradilan Etik itu sendiri dalam melaksanakan fungsi penegakan etika. Pengembangan sistem etika kini telah menjadi sorotan para negarawan, meskipun dalam realisasinya tentu memerlukan proses yang panjang.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa isu untuk dibahas secara lebih terperinci dalam penelitian ini yaitu:

5Ismail Rumadan. Problematika Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 3, No.3, 3 Nopember 2014, hlm. 248 - 249.

6Putra Ananda, Berita: MPR Pertimbangkan Bentuk Lembaga Kode Etik Nasional, tanggal 10 November 2020, https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/359707/mprpertimbangkan- bentuk-lembaga-kode-etik-nasional, diakses tanggal 28 Mei 2021.

7 Ervan Bayu, Berita: Ini Rekomendasi Konferensi Nasional Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, tanggal 02 Juni 2017, https://www.gatra.com/detail/news/266415-ini-isirekomendasi- konferensi-nasional-etika-kehidupan-berbangsa-dan-bernegara, diakses tanggal 28 Mei 2021.

(5)

1. Bagaimana sistem peradilan etik di Mahkamah Kehormatan DPR (MKD), Mahkamah Kehormatan Hakim (MKH) dan Mahkamah Kehormatan Hakim Konstitusi (MKH MK)?

2. Bagaimana melakukan Check and Balances dalam peradilan etik di Majelis Kehormatan DPR (MKD), Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)?

II. Pembahasan

2.1. Sistem Peradilan Etik Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)

Dasar hukum keberadaan Mahkamah Kehormatan Dewan (selanjutnya disebut

“MKD”) diatur pada Pasal 199 sampai dengan Pasal 149 Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 20l4 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut “UU MD3”). Meski MKD diatur dalam UU MD3, namun keberadaan MKD ditujukan hanya sebagai alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut “DPR”), sebagaimana diatur pada pasal 119 ayat (1) UU MD3. Padahal, keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut “MPR”) terdiri atas anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut “DPD”).

MKD dibentuk scara tetap oleh DPR dengan tujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, dengan tugas dan fungsi pada pokoknya melakukan pencegahan dan pengawasan serta penindakan pelanggaran Kode Etik anggota DPR. Keanggotaan MKD terdiri atas semua fraksi sesuai perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Keanggotaan ini berjumlah 17 orang dan di dalamnya terdapat Pimpinan MKD yang terdiri atas 1 orang Ketua dan paling banyak 2 orang wakil yang dipilih dari dan oleh anggota MKD berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah mufakat. Sidang MKD bersifat tertutup dan rahasia, namun masih dimungkinkan adanya sidang terbuka jika dinyatakan demikian oleh Sidang MKD. Aturan formil MKD diatur pada Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat sedangkan aturan materiil dikodifikasikan melalui Peraturan DPR No. 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat. Dari Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015, dapat diketahui bahwa ada dua kriteria perkara etik yang ditangani oleh MKD yaitu perkara Pengaduan dan perkara Tanpa Pengaduan. Perkara Pengaduan disampaikan oleh Pimpinan DPR, Anggota DPR, dan Masyarakat secara perseorangan atau kelompok, sedangkan perkara Tanpa Pengaduan didasarkan oleh usulan anggota MKD atau pimpinan MKD dan hasil Verifikasi oleh Sekretariat dan Tenaga Ahli terhadap pelanggaran yang tidak memerlukan Pengaduan. Dua kriteria perkara ini yang menentukan alur proses Persidangan Etik MKD. Perbandingan alur proses berdasarkan Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015 tersebut adalah sebagai berikut:

Pengaduan

(Pasal 8) Tanpa Pengaduan

(Pasal 12)

(6)

Verifikasi oleh sekretariat Register Penyampaian kepada MKD Rapat MKD Hasil Tindak Lanjut Penyelidikan Materi Pengaduan disampaikan kepada Teradu dan pimpinan Fraksi (14 hari setelah putusan tindaklanjut Pengaduan) Sidang MKD: Sidang Pertama untuk mendengarkan pokok permasalahan yang diadukan oleh Pengadu (ditetapkan Pimpinan MKD paling lama 14 hari sejak Rapat MKD memutus perkara ditindaklanjuti), sedangkan keterangan Teradu didengar pada hari sidang kedua (paling lama 14 hari sejak Pengadu didengarkan dalam sidang pertama MKD)

Materi pemeriksaan persidangan:

a. mendengarkan pokok permasalahan yang diajukan oleh Pengadu;

b. mendengarkan keterangan Teradu;

c. memeriksa Alat Bukti; dan

d. mendengarkan pembelaan Teradu.

Rapat MKD Tindaklanjut Pencatatan administrasi oleh Sekretariat Register Penyelidikan Penyampaian Materi Perkara Tanpa Pengaduan kepada Teradu dan pimpinan Fraksi (14 hari setelah Rapat MKD) Sidang MKD: Sidang Pertama untuk mendengarkan keterangan dan sekaligus pembelaan Teradu (ditetapkan Pimpinan MKD paling lama 10 hari sejak Rapat MKD memutus perkara ditindaklanjuti).

Materi pemeriksaan persidangan:

a. mendengarkan keterangan dan sekaligus pembelaan Teradu; dan b. memeriksa Alat Bukti.

Putusan yang dihasilkan dari Sidang MKD berupa penjatuhan sanksi etik yang bersifat final dan mengikat, kecuali mengenai putusan pemberhentian tetap anggota harus mendapat persetujuan rapat paripurna.8 Putusan pemberhentian tetap ini dikategorikan sebagai penjatuhan Sanksi Berat, yang persidangan etiknya dilakukan oleh tim Panel bentukan MKD melalui sistem rekruitmen yang dilakukan paling lama 10 hari sejak Putusan Tindaklanjut Rapat MKD. Tim Panel ini terdiri atas 3 orang anggota MKD dan 4 orang unsur masyarakat, serta bersifat ad hoc.9 Tim Panel selain bertugas menyelidiki dan memverifikasi dugaan pelanggaran Kode Etik yang bersifat berat, juga bertugas melakukan persidangan secara tertutup, dan berhak memanggil saksi dan ahli serta menghadirkan barang bukti dalam persidangan, dan menyampaikan hasil putusan kepada MKD, yang kemudian oleh MKD disampaikan pada rapat paripurna DPR. Sehingga khusus untuk putusan dengan sanksi berat (pemberhentian tetap) tidak bersifat Final and Binding, melainkan harus mendapatkan persetujuan Paripurna.

Jika penegakan Kode Etik Bagi anggota DPR dipegang oleh MKD, lantas bagaimana untuk anggota DPRD, dan anggota MPR yang lain yaitu DPD? Berdasarkan penelusuran Penulis, ternyata terdapat pengaturan yaitu Keputusan MPR RI No. 2/MPR/2010 Tentang Peraturan Kode Etik Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang mana mengatur bahwa penegakan Kode Etik bagi anggota MPR dilakukan oleh “Tim Kode Etik MPR”. Tim Kode Etik MPR ini dibentuk atas dasar Keputusan Pimpinan MPR dan anggotanya berasal dari perwakilan anggota dari fraksifraksi dan Kelompok Anggota MPR. Artinya, penyelidikan

8Dewan Perwakilan Rakyat RI, Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat, Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015, Ps. 56 ayat (4) dan ayat (5).

9Dewan Perwakilan Rakyat RI, Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat, Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015, Ps. 39.

(7)

laporan masyarakat yang dilakukan Tim Kode Etik MPR baru dapat dilakukan jika telah ada keputusan Pimpinan MPR yang menyatakan menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut.

Berbeda halnya dengan MKD yang dapat memutus sanksi penjatuhan etik kepada anggota DPR (kecuali sanksi pemberhentian tetap, harus mendapat persetujuan Paripurna), output kinerja Tim Kode Etik MPR ini hanya berupa putusan akhir hasil penyelidikan yang disampaikan kepada Pimpinan MPR, sehingga wewenang penjatuhan sanksi etik berada pada Pimpinan MPR. Selain itu, setelah menyelesaikan tugasnya Tim Kode Etik MPR dapat dibubarkan, sehingga pembentukannya tidak bersifat tetap layaknya MKD DPR. Dari sini sebenarnya terlihat adanya dualisme penegakan kode etik dalam anggota DPR. Secara kelembagaan, anggota DPR terikat oleh Kode Etik DPR yang dibentuk oleh MKD namun disatu sisi sebagai bagian dari anggota MPR, ia juga seharusnya terikat oleh Kode Etik MPR yang tertuang dalam Keputusan MPR RI No. 2/MPR/2010. Isu ini tidak pernah dibahas lebih lanjut. Padahal adanya 2 kekuasaan yang melakukan penegakan Etik ini dapat dimodifikasi kearah penerapan prinsip check and balances.

Selain penegakan Kode Etik anggota MPR yang diatur diluar materi muatan UU MD3, pengawasan dan penegakan Kode Etik bagi anggota DPD juga diatur tersendiri melalui Peraturan DPD tentang Tata Tertib yaitu yang terbaru adalah Peraturan DPD No. 2 Tahun 2019. Padahal DPD juga merupakan bagian dari MPR. Alat kelengkapan ini disebut “Badan Kehormatan” yang terdiri atas 19 (Sembilan belas) orang anggota DPD yang mencerminkan keterwakilan dari masing-masing gugus daerah dalam porsi anggota yang telah ditentukan.

Badan Kehormatan berwenang melakukan evaluasi, penyempurnaan tentang Tata Tertib dan Kode Etik DPD, serta melaksanakan sidang atas pelanggaran Tata Tertib dan Kode Etik secara tertutup.10 Laporan Kode Etik yang ditindaklanjuti oleh Badan Kehormatan dapat berupa temuan dan/atau Pengaduan. Pengaduan ini dapat berasal dari masyarakat ataupun dari Anggota DPD lain yang merasa dirugikan (Pasal 314 No. 2 Tahun 2019 tentang Tata Tertib).11 Dalam penanganan kasus tertentu, yaitu adanya indikasi pelanggaran dan/atau diperoleh informasi tentang penyelidikan tindak pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap Pimpinan DPD, maka Badan Kehormatan dapat membentuk “Komisi Kode Etik” yang terdiri atas anggota Badan Kehormatan dan 3 (tiga) orang unsur masyarakat.12 Tata beracara Badan Kehormatan diatur oleh Peraturan DPD No. 5 Tahun 2017, sedangkan Kode Etik DPD diatur melalui Peraturan DPD No. 2 Tahun 2018, yang mana kedua peraturan ini belum disesuaikan dengan Peraturan DPD No. 2 Tahun 2019 tentang Tata Tertib, yang merubah beberapa poin penting, salah satunya menambahkan syarat calon Pemimpin DPD yaitu tidak pernah melakukan pelanggaran tata tertib dan kode etik yang ditetapkan dengan Keputusan Badan kehormatan. Penentuan dan penjatuhan sanksi atas pelanggaran Kode Etik diputus pada Sidang Etik, namun tidak terdapat aturan lebih lanjut mengenai aturan formil pada sidang etik ini seperti layaknya Sidang MKD.

Selain tidak mengatur alat kelengkapan Etik bagi anggota MPR dalam hal ini anggota DPD, UU MD3 juga tidak mengatur alat kelengkapan Etik bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut “DPRD”). Pengaturan terkait Pengawasan Kode Etik bagi anggota DPRD termuat dalam Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota, sedangkan penyusunan materi Kode Etik diserahkan kepada masing-masing DPRD, yang mana paling sedikit memuat antara lain: a. ketaatan dalam melaksanakan sumpah/janji; b. sikap dan peritaku enggota DPRD; c. tata kerja Anggota DPRD; d. tata hubungan antarpenyelenggara pemerintahan daerah; e. tata hubungan antar-Anggota DPRD; f. tata hubungan antara Anggota DPRD dan pihak lain; c. penyampaian pendapat,

10Dewan Perwakilan Daerah RI, Tata Tertib, Peraturan DPD No. 2 Tahun 2019, Ps. 111.

11Dewan Perwakilan Daerah RI, Tata Tertib, Peraturan DPD No. 2 Tahun 2019, Ps. 314.

12Dewan Perwakilan Daerah RI, Tata Tertib, Peraturan DPD No. 2 Tahun 2019, Ps. 113.

(8)

tanggapan, jawaban, dan sanggahan; h. kewajiban Anggota DPRD; i. larangan bagi Anggota DPRD; j. hal-hal yang tidak patut dilakukan oleh Anggota DPRD; k. sanksi dan mekanisme penjatuhan sanksi; dan l. rehabilitasi. Misal, Kode Etik DPRD

Kabupaten Rembang berbeda dengan Kode Etik DPRD Kabupaten Madiun. Penegakan Kode Etik bagi anggota DPRD dilakukan oleh “Badan Kehormatan” yang tata beracaranya juga diatur oleh masing-masing DPRD. Proposi keanggotaan Badan Kehormatan ditentukan berdasarkan usul dari masing-masing Fraksi, sama hal nya dengan keanggotaan MKD DPR, namun pimpinan Badan Kehoramatan DPRD terdiri dari 1 orang Ketua dan hanya 1 orang Wakil Ketua. Selain itu Badan Kehormatan DPRD berwenang memutus penjatuhan sanksi pelanggaran Kode Etik, dan keputusannya diumumkan dalam rapat paripurna, bahkan DPRD mempublikasikan penjatuhan sanksi berupa pemberhentian sebagai pimpinan alat kelengkapan DPRD dan pemberhentian sementara sebagai anggota DPRD. Sedangkan pemberhentikan tetap bagi anggota DPRD didasarkan pada mekanisme yang telah diatur oleh perundang-undangan yang berlaku.

Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa sistem Peradilan Etik MKD yang diatur dalam UU MD3 masih bersifat bersifat privat (imposed from within) dan tidak memuat hal-hal yang dapat dipaksakan oleh kekuasaan resmi negara atau imposed from without. Begitu pula dengan sistem penegakan etik yang dilakukan Tim Kode Etik MPR dan Badan Kehormatan DPD maupun Badan Kehormatan DPRD. Bahkan Tim Kode Etik MPR dan Badan Kehormatan DPRD tidak memiliki sistem peradilan etik (sidang etik), layaknya MKD dan Badan Kehormatan DPD. Padahal ke-4 (empat) kekuasaan lembaga negara ini berada dalam satu rumpun lembaga legislatif yang diatur dalam UU MD3, maka seharusnya satu sama lain bisa saling bersinergi dalam hal pengawasan dan penegakan etik.

2.2. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)

Pengawasan dan penegakan Kode Etik terhadap Hakim Konstitusi dilakukan “Dewan Etik” yang kemudian mengusulkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk membentuk suatu persidangan etik yang dinamakan “Majleis Kehormatan Mahkamah Konstitusi” (selanjutnya disebut “MKMK”) sebagaimana diatur oleh Peraturam Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut “PMK No. 2 tahun 2014”). Yang kemudian atas dasar PMK No. 2 tahun 2014 ini, Dewan Etik menetapkan Peraturan Dewan

Etik Hakim Konstitusi No. 1 Tahun 2014 tentang Mekanisme Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan

Laporan dan Informasi. Materi Kode Etik pada Hakim Konstitusi dapat dilihat pada Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama). Terdapat 7 prinsip dalam Kode Etik ini, yaitu,

Prinsip Independensi, Prinsip Ketidak berpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, Prinsip Kesetaraan, Prinsip Kecakapan dan Kseksamaan, serta Prinsip Kearifan dan Kebijaksanaan. Penormaan MKMK semula termaktub pada Pasal 27A ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut

“UU MK”), yaitu dilatarbelakangi oleh adanya kekosongan hukum dan lembaga pengawas perilaku Hakim Konstitusi sejak Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006. Namun Pasal 27A ayat (2) UU MK ini kemudian dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PUUIX/2011 tanggal 14 Oktober 2011, sehingga pada tanggal 20 Maret 2013, secara internal Mahkamah Konstitusi memberlakukan pengaturan MKMK melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 1 Tahun 2013 tentang Majelis Kehormatan Hakim, yang kemudian pada tanggal 18 Maret 2014, peraturan ini dinyatakan tidak berlaku atau dicabut oleh PMK No. 2 tahun 2014.

(9)

Pada awalnya pengawasan Kode Etik terhadap Hakim Konstitusi dilakukan oleh Komisi Yudisial yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial juncto Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan pada pokoknya bahwa Komisi Yudisial berwenang melakukan pengawasan terhadap perilaku Hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim. Frasa “Hakim” ini dahulu diartikan meliputi Hakim pada peradilan di bawah Mahkamah Agung, termasuk Hakim Agung dan juga Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi. Namun melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUUIV/2006, kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi Hakim Konstitusi tidak mempunyai kekuatan mengikat, yang pada pokoknya dikarenakan Hakim konstitusi dianggap bukan sebagai hakim berdasarkan profesi seperti Hakim pada Mahkamah Agung, melainkan karena jabatan, sehingga Hakim Konstitusi tidaklah termasuk objek pengawasan Komisi Yudisial.

Berdasarkan PMK No. 2 tahun 2014, diketahui bahwa Dewan Etik bersifat tetap yang mana keanggotanya dipilih oleh Panitia Seleksi independen dan tertutup. Dewan Etik merupakan perangkat yang dibentuk Mahkamah Konstitusi sehingga secara rutin wajib melaporkan pelaksanaan tugas setiap tahun kepada Mahkamah Konstitusi. Anggota Dewan Etik berjumlah 3 orang dengan masa jabatan selama 3 tahun dan tidak dapat dipilih kembali, yang terdiri dari 1 orang Hakim Konstitusi, 1 orang Guru Besar dalam bidang hukum dan 1 orang tokoh masyarakat, yang mana dari 3 anggota tersebut 1 orang merangkap menjadi Ketua. Dewan Etik pada pokonya bertugas menindaklanjuti dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi. Yang menarik disini, pada Pasal 21 ayat (2) PMK No. 2 tahun 2014 menyebutkan bahwa “pelanggaran” ini tidak hanya terkait pelanggaran Kode Etik, namun juga menyebutkan “pelanggaran lain”, yang pada pokoknya juga termasuk kategori pelanggaran perilaku Hakim Konstitusi. Padahal persoalan Kode Etik identik dengan pelanggaran mengenai kualitas perilaku, mengenai bagaiman kekuasaan itu diselenggarakan oleh orang per orang dalam sistem kekuasaan yang bersangkutan. Jimly Asshidiqie mengungkapkan bahwa etika haruslah dipandang lebih luas cakupannya dan jangkauannya daripada hukum, yang mana suatu perbuatan yang melanggar hukum sudah pasti dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang juga melanggar etika, namun suatu perbuatan yang melanggar etika belum tentu merupakan perbuatan melanggar hukum.13

Berdasarkan Peraturan Dewan Etik No. 1 Tahun 2014 tentang Mekanisme Kerja dan Tatacara Pemeriksaan Laporan dan Informasi, diketahu bahwa Dewan Etik melaksanakan penegakan kode etik dari 3 hal yaitu, (1) laporan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait penanganan perkara konstitusi (disampaikan 3 bulan setelah perkara a quo diucapkan dan Hakim Terlapor bersangkutan masih dalam status aktif); (2) laporan Kode Etik Hakim Konstitusi tidak terkait penanganan perkara konstitusi (dapat dilaporan sewaktu-waktu selama Hakim Terlapor bersangkutan masih dalam status aktif); dan (3) Informasi dari media massa dan dari masyarakat. Dalam menindaklanjuti laporan dan informasi dugaan pelanggaran Hakim Konstitusi ini, Dewan

Etik berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Pelapor, Saksi-Saksi dan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga. Selain itu, juga berwenang menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan kepada Hakim yang terbukti melakukan pelanggaran. Wewenang-wewenang ini tidak berlaku jika dugaan pelanggaran yang dilakukan Hakim Terlapor adalah pelanggaran berat dan jika terhadap Hakim Terlapor yang telah 3 kali mendapatkan teguran lisan dan/atau tertulis, maka Dewan Etik mengusulkan pembentukan MKMK untuk melakukan pemeriksaan dan pengambilan keputusan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga dan mengusulkan pembebastugasan Hakim bersangkutan. Secara garis besar, mekanisme penanganan dugaan Kode Etik oleh Dewan Etik bersifat tertutup dan dapat digambarkan sebagai berikut:

13Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Jakarta: Snar Grafika, 2015, hlm. 266.

(10)

sumber: diolah oleh Penulis dari Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi No. 1 Tahun 2014 tentang Mekanisme Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Laporan dan Informasi.

Meskipun Dewan Etik bersifat tetap, namun berdasarkan PMK No. 2 tahun 2014 pada pokoknya mengatur bahwa persidangan etik MKMK bersifat ad hoc. Keanggotaan MKMK berjumlah 5 orang terdiri dari 1 orang Hakim Konstitusi, 1 orang anggota Komisi Yudisial, 1 orang mantan Hakim Konstitusi, 1 orang Guru Besar dalam bidang hukum dan 1 orang tokoh masyarakat, yang mana keanggotaanya dipilih dalam Rapat Pleno Hakim yang bersifat tertutup, kecuali anggota yang berasal dari Komisi Yudisial, yang ditugaskan berdasarkan permintaan Mahkamah Konstitusi kepada Komisi Yudisial. Dari 5 anggota tersebut terdapat anggota yang merangkap menjadi Ketua dan Sekretaris. Ya, anggota MKMK salah satunya berasal dari Komisi Yudisial, hal ini merupakan tindak lanjut atas adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011.

Bahwa susunan keanggotaan MKMK berdasarkan PMK No. 2 tahun 2014 ini berbeda dengan yang diatur sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi UndangUndang. UU No. 4 Tahun 2014 ini mengatur susunan MKMK salah satunya tidak terdiri dari unsur anggota Komisi Yudisial, meski kemudian di tahun yang sama, undang- undang ini dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta memberlakukan kembali UU No. 8 Tahun 2011 (UU MK) oleh Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tanggal 13 Februari 2014. UU MK telah mengatur susunan anggota MKMK salah satunya terdiri dari unsur anggota Komisi Yudisial, dengan alasan (jika kita melihat pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PUU- IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011) bahwa keberadaan lembaga Komisi Yudisial dalam MKMK sudah selayaknya dikarenakan secara konstitusional Komisi Yudisial memang dibentuk untuk menjalankan fungsi pengawasan kekuasaan kehakiman, meski terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 yang telah menyatakan kewenangan

Penerimaan Laporan

dan Informasi Rapat Dewan Etik Kesimpulan Dewan Etik

Terdapat pelanggaran Ringan

Terdapat dugaan pelanggaran Berat

Hakim Terlapor telah mendapat Teguran Lisan

sebanyak 3 kali Tidak Terdapat

pelanggaran

Berita Acara Pemeriksaan (BAP)

menyatakan Tidak Terbukti

BAP disampaikan kepada Ketua MK dan

Hakim Terlapor hari setelah BAP (2

ditandatangani)

Berita Acara Pemeriksaan BAP) menyatakan (

menjatuhkan sanksi Teguran Lisan

BAP disampaikan kepada Ketua/Wakil MK, Hakim Terlapor

dan seluruh Hakim MK (2 hari setelah BAP ditandatangani)

Berita Acara Pemeriksaan (BAP) menyatakan Dugaan Pelanggaran Berat

BAP disampaikan kepada MK dan Hakim Terlapor

(2 hari setelah BAP ditandatangani) disertai Usul/ Rekomendasi pembentukan

Majelis Kehormatan (MKMK) dan pembebastugasan Hakim Terlapor bersangkutan

(11)

Komisi Yudisial dalam mengawasi perilaku Hakim Konstitusi tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Sejak MKMK dibentuk pada tahun 2011 hingga penelitian ini ditulis, tercatat terdapat 3 putusan yang telah dihasilkan MKMK, yaitu antara lain (Website Mahkamah Konstitusi, 2021):

No. Nomor Keputusan Keterangan

1. 01/MKMK/X/2013 tanggal

01 November 2013 Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Kepada Hakim Terlapor Akil Mochtar

2. 01/MKMK-SPP/II/2017 tanggal 06 Februari 2017

Pemberhentian Sementara Terhadap Hakim Terduga Patrialis Akbar

3. 01/MKMK-SPL/II/2017

tanggal 16 Februari 2017 Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Kepada Hakim Terduga Patrialis Akbar

Persidangan Etik MKMK pada dasarnya juga bersifat tertutup (kecuali ditentukan lain oleh MKMK), namun keputusan sidang dibacakan secara terbuka untuk umum, dengan alur yang dapat digambarkan sebagai berikut:

(12)

Tidak Terbukti

Terbukti Pelanggaran

Ringan

Terbukti Pelanggaran

Berat

Rehabilitasi hari

2

Penjatuhan Sanksi Teguran Lisan

oleh MKMK hari

2

Rekomendasi Pemberhentian Sementara ke MK

2 hari Kesimpulan

Dewan Etik

Terdapat dugaan pelanggaran Berat

Hakim Terlapor telah mendapat Teguran Lisan sebanyak 3 kali

Usul/ Rekomendasi pembentukan Majelis Kehormatan (MKMK) dan pembebastugasan

Hakim Terlapor bersangkutan

Agenda meliputi:

a. Mendengarkan

keterangan Dewan Etik, Pelapor dan/atau pendalaman Informasi;

b. Pemeriksaan alat Bukti;

c. Pemeriksaan dan Pembelaan Hakim Terlapor

Sidang Pemeriksaan Pendahuluan

Terlapor Pembentukan MKMK

melalui Keputusan Ketua MK

7 hari hari

30 dapat

diperpanjang hari 15

(13)

sumber: diolah oleh Penulis dari Peraturam Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

2.3. Majelis Kehormatan Hakim (MKH)

Secara terminologi, Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana termaktub pada Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut “UU Kekuasaan Kehakiman”. Hal tersebut dikarenakan definisi Hakim disini adalah Hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

Pengawasan dalam lingkup Kekuasaan Kehakiman tersebut diatur pada Pasal 39 s/d Pasal 40 UU Kekuasaan Kehakiman yang Penulis gambarkan dalam bagan sebagai berikut:

(14)

sumber: diolah oleh Penulis dari Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dari bagan di atas terlihat bahwa terdapat peran Komisi Yudisial dalam melaksanakan pengawasan eksternal tingkah laku Hakim dalam lingkup kekuasaan kehakiman. Pengawasan tingkah laku Hakim ini yang kemudian disebut pengawasan Kode Etik dan Perilaku Hakim (selanjutnya disebut “KEPPH”). Sedangkan objek pengawasan Mahkamah Agung adalah terkait pengwasan tingkah laku Hakim secara internal, yang mana dalam hal ini dilakukan oleh badan internal Mahkamah Agung yang disebut Badan Pengawasan Mahkamah Agung (selanjutnya disebut “Bawas MA”) yang meliputi (Komisi Yudisial RI, 2012, pp. 41-42):

a. masalah teknis peradilan menyangkut penyelenggaraan atau jalannya peradilan;

b. perbuatan dan tingkah laku Hakim serta pejabat Kepaniteraan dalam menjalankan tugas mereka; dan

c. administrasi peradilan.

Secara umum, mekanisme Pengawasan Hakim dalam UU Kekuasaan Kehakiman diatur pada Pasal 41 dan Pasal 42, yang berbunyi sebagai berikut:

1. Dalam melaksanakan pengawasan, Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung wajib :

a. menaati norma dan peraturan perundang-undangan;

b. berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung); dan

c. menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh.

2. Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diperiksa oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.

Pengawasan

Pengawasan Penyelenggaraan

Peradilan

Mahkamah Agung

Pengawasan pelaksanaan tugas

administrasi dan keuangan

Mahkamah Agung

Pengawasan Tingkah Laku

Hakim

Internal Mahkamah Agung

Eksternal Komisi Yudisial

(15)

Tata cara pengawasan internal KEPPH yang dilakukan oleh Bawas MA diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 9 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan (whistleblowing System) di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya, yang secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut:

sumber: diolah oleh Penulis dari Website Resmi Mahakamh Agung (https://siwas.mahkamahagung.go.id/)

Sebagaimana disampaikan di atas, pengawasan eksternal KEPPH dilakukan oleh Komisi

Yudisial. Keberadaan Komisi Yudisial merupakan amanat Konstitusi sebagaimana Amandemen ke-4 UUD NRI 1945 tanggal 10 Agustus 2002 dan diundangkan pada tanggal 13 Agustus 2004 melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya disebut “UU Komisi Yudisial”). Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dilakukan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim sebagaimana tertuang pada Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945.

Istilah ‘menjaga dan ‘menegakkan’ kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam wewenang Komisi Yudisial sebagaimana disebut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mengandung makna preventif dan refresif. ‘Menjaga’ berarti Komisi Yudisial melakukan serangkaian kegiatan yang dapat menjaga hakim agar tidak melakukan tindakan yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. ‘Menegakkan’ bermakna Komisi Yudisial melakukan tindakan represif terhadap hakim yang telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (“KEPPH”). Tindakan itu dapat berbentuk pemberian rekomendasi sanksi.

Tata cara pengawasan KEPPH yang dilakukan oleh Komisi Yudisial diatur melalui Peraturan Komisi Yudisial No. 2 Tahun 2015 tentang Penanganan Laporan Masyarakat, yang secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut:

(16)

sumber: Website Resmi Komisi Yudisial (https://pelaporan.komisiyudisial.go.id)

Meskipun penanganan pengawasan Hakim baik oleh Bawas MA dan Komisi Yudisial bersifat tertutup namun masyarakat sebagai pihak Pelapor dapat memantau perkembangan laporannya. Output pengawasan Bawas MA adalah laporan hasil pemeriksaan sedangkan Komisi Yudisial adalah rekomendasi sanksi yang nantinya wewenang penjatuhan sanksi dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pengawasan Hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung melalui kesepakatan bersama (MoU) yang dituangkan dalam Keputusan Bersama Ketua Komisi Yudisial RI dan Ketua Mahkamah Agung RI No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 dan No. 047/KMA/SKB/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (selanjutnya disebut “KEPPH”) dan lebih lanjut mekanisme Pengawasan Hakim diatur oleh Peraturan Bersama Ketua Komisi Yudisial RI dan Ketua Mahkamah Agung RI No. 02/SKB/P.KY/IV/2012 dan No.

047/KMA/SKB/IV/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (selanjutnya disebut “PPKEPPH”).

Pada Pasal 17 PPKEPPH, diatur bahwa laporan dugaan KEPPH yang diterima Komisi Yudisial, ditelaah oleh Komisi Yudisial dan diusulkan kepada Mahkamah Agung untuk ditindaklanjuti, dalam hal Mahkamah Agung menilai hasil telaah tersebut layak ditindaklanjuti juga, maka dalam 60 hari sejak penerimaan telaah tersebut, Mahkamah Agung harus memberitahukan kepada Komisi Yudisial dan apabila Mahkamah Agung menilai hasil telaah tersebut tidak layak ditindaklanjuti, maka Mahkamah Agung memberitahukan hal tersebut kepada Komisi Yudisial paling lama 30 hari sejak hasil telaah diterima. Tindaklanjut rekomendasi Komisi Yudisial oleh Mahkamah Agung ini juga telah ditegaskan dalam Pasal 22 E UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, yang mengatur bahwa dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mengenai usulan Komisi Yudisial tentang penjatuhan sanksi, dilakukan pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung terhadap hakim yang bersangkutan, dan apabila belum mencapai kata sepakat dan rekomendasi Komisi Yudisial tidak ditanggapi oleh Mahkamah Agung, maka dalam jangka waktu 60 hari, rekomendasi tersebut dapat berlaku secara otomatis dan wajib dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.

Namun mekanisme keberlakuan otomatis ini belum diatur secara jelas sehingga yang menjadi masalah saat ini adalah ketika banyak rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial yang tidak ditindaklanjuti Mahkamah Agung dalam artian rekomendasi Komisi Yudisial banyak yang ditolak oleh Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung, Syarifuddin mengakui bahwa

(17)

pada tahun 2020 dari 52 rekomendasi Komisi Yudisial, hanya 11 rekomendasi yang ditindaklanjuti Mahkamah Agung dengan penjatuhan sanksi, hal ini dikarenakan 39 rekomendasi adalah terkait dengan teknis yudisial dan 2 rekomendasi karena Terlapor sudah lebih dulu dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Agung.14 Ya, dalam penjtuhan sanksi etik terhadap Hakim terdapat penerapan asas ne bis in idem dalam hal rekomendasi sanksi.

Dengan demikian, dalam hal ini penjatuhan sanksi pelanggaran KEPPH terhadap Hakim, tetap dilaksanakan oleh Mahkamah Agung atas rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial.

Sehingga meskipun Komisi Yudisial merupakan lembaga eksternal yang kedudukannya setara dengan Mahkamah Agung (sebagai lembaga tinggi negara), namun kewenangan pengawasannya tetap berujung pada keputusan Mahkamah Agung.

Dengan demikian, kedua lembaga ini sama-sama berwenang mengawasi hakim, namun Komisi Yudisial hanya berwenang mengenai dugaan pelanggaran KEPPH dan hanya berwenang terhadap hakim. Sebaliknya, Mahkamah Agung bukan hanya berwenang memeriksa dugaan pelanggaran KEPPH tetapi juga teknis yudisial, administrasi dan keuangan; dan Mahkamah Agung berwenang mengawasi aparat pengadilan selain Hakim.

Namun, dalam prakteknya terdapat irisan antara teknis yudisial dengan pelanggaran KEPPH, sehingga dapat menjadi obyek pengawasan Komisi Yudisial. Sukma Violetta, anggota Komisi Yudisial, pada pokoknya berpendapat bahwa pelanggaran teknis yudisial juga bisa dijatuhi sanksi KEPPH, apabila dalam teknis yudisial tersebut terdapat tindakan yang mengandung unsur kesalahan berulang-ulang; motif buruk, seperti keberpihakan atas dasar isu SARA;

kesalahan fatal seperti melanggar hakhak fundamental (mendasar) dan kesalahan prosedur (hukum acara) mendasar.15

Majelis Kehormatan Hakim (selanjutnya disebut “MKH”) sendiri merupakan forum pembelaan diri bagi hakim yang berdasarkan hasil pemeriksaan dinyatakan terbukti melanggar KEPPH atau ketentuan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diusulkan untuk dijatuhi “sanksi berat” berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat. Jadi dalam sidang MKH tidak ada lagi pemeriksaan Pelapor dan Saksi- Saksi dari Tim Pengawas (baik itu tim pengawas Komisi Yudisial maupun Bawas MA).

Pengusulan Sidang MKH terhadap pelanggaran perilaku yang dilakukan Hakim Agung, Hakim Tinggi dan Hakim/ Hakim ad hoc, dapat dilakukan baik atas usulan Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial, dengan alasan serta bukti yang cukup. Landasan hukum penyelenggaraan MKH didasarkan pada pasal 11A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, selain itu juga pasal 22F dan 22G UU Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial serta Peraturan Bersama Ketua Komisi Yudisial dan Ketua Mahkamah Agung Nomor 04/SKB/P.KY/IX/2012 dan 04/KMA/SKB/IX/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim. Alur Sidang MKH adalah sebagai berikut:

14Muhammad Ridwan, Hanya 11 dari 52 Rekomendasi KY yang Ditindaklanjuti MA, https://www.jawapos.com/nasional/01/01/2021/hanya-11-dari-52-

15Sukma Violetta dalam Simposium Internasional Terkait Batasan Antara Teknis Yudisial Dengan Pelanggaran Perilaku Hakim, di Gedung Komisi Yudisial tanggal 10 November 2016,

https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/76712/ky-gelar-simposiuminternasional.html di akses tanggal 04 Juni 2021.

(18)

sumber: diolah oleh Penulis dari Peraturan Bersama Ketua Komisi Yudisial dan Ketua Mahkamah Agung Nomor 04/SKB/P.KY/IX/2012 dan 04/KMA/SKB/IX/2012 Sidang MKH bersifat tidak tetap yang mana keanggotaannya terdiri atas 3 orang Hakim Agung dan 4 orang Anggota Komisi Yudisial, yang bukan merupakan anggota Tim Pemeriksa yang melakukan pemeriksaan langsung terhadap dugaan pelanggaran. Meskipun pengawasan dan penegakan KEPPH yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dan Bawas MA bersifat tertutup, namun sidang MKH justru bersifat terbuka untuk umum (kecuali dinyatakan tertutup oleh majelis). Sidang MKH diselenggarakan di gedung Mahkamah Agung. Agenda sidang MKH adalah mendengarkan pembelaan dari Terlapor (Hakim). Jika Terlapor tidak hadir maka sidang ditunda maksimal 5 hari kerja dan dilakukan pemanggilan kedua.

Terlapor dianggap tidak menggunakan haknya untuk membela diri jika pada pemanggilan kedua tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah, sehingga MKH menjatuhkan keputusan tanpa kehadiran Terlapor. Dalam memberikan pembelaannya, Terlapor dapat didampingi oleh Tim pembela dari Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dan dapat mengajukan saksi-saksi serta bukti-bukti yang mendukung pembelaannya. Pemeriksaan MKH maksimal dilaksanakan 14 hari kerja sejak tanggal pembentukan MKH, namun pada praktek selama ini, sidang MKH hanya berlangsung selama 1 hari. Keputusan MKH dilaksanakan hari itu juga dengan menskors sidang untuk bermusyawarah. Setelah selesai bermusyawarah sidang dibuka kembali dan Terlapor dipanggil untuk masuk dan menghadap MKH untuk mendengar

(19)

pembacaan keputusan MKH. Keputusan penjatuhan Sanksi dari hasil putusan sidang MKH bersifat final and banding atau bersifat mengikat dan tidak dapat diajukan keberatan. Alur penjatuhan sanksi atas keputusan MKH adalah sebagai berikut:

sumber: diolah oleh Penulis dari Peraturan Bersama Ketua Komisi Yudisial dan Ketua Mahkamah Agung Nomor 04/SKB/P.KY/IX/2012 dan 04/KMA/SKB/IX/2012.

Penjatuhan sanksi atas keputusan MKH tidak hanya berupa sanksi pemberhentian, mengingat pengusulan sidang MKH dilakukan atas dasar rekomendasi berupa “sanksi berat”.

Jika merujuk pada PPKEPPH, pada Pasal 19 ayat (4) disebutkan sanksi berat terdiri atas: a.) pembebasan dari jabatan; b.) Hakim nonpalu lebih dari 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun; c.) penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 3 (tiga) tahun; d.) pemberhentian tetap dengan hak pensiun; e.) pemberhentian tidak dengan hormat. Khusus untuk Terlapor yang merupakan Hakim Agung, sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat dari jabatan hakim. Selain itu, Penjatuhan sanksi atas keputusan MKH berupa pemberhentian tetap, tidak secara otomatis mengakibatkan pemberhentian dari jabatan Pegawai Negeri Sipil dari Terlapor bersangkutan. Pemberhentian PNS mengikuti mekanisme dari Badan Kepegawaian Nasional, yang saat ini diatur melalui Peraturan BKN Nomor 3 tahun 2020 Tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Jadi jangan heran apabila seorang Hakim yang telah dijatuhi sanksi pemberhentian tetap masih bekerja di pengadilan dengan status Pegawai Pengadilan. Data Hakim yang telah dijatuhi sanksi atau yang disebut sebagai hukuman disiplin, dapat dilihat melalui website Bawas MA yaitu https://bawas.mahkamahagung.go.id, namun kita hanya bisa melihat inisial Hakim yang

Keputusan MKH

Pembelaan Ditolak atau Diterima Sebagian

Pembelaan Diterima Seluruhnya

Usul Pemberhentian Hakim oleh Ketua MA

kepada Presiden

Penyampaian Salinan Keputusan ke Ketua MA

Penyampaian Salinan Keputusan ke Ketua KY

Penyampaian Salinan Keputusan ke Terlapor dan Pimpinan

Pengadilan

Diterima Sebagian Penyampaian Salinan Keputusan

ke Dirjen Badan Peradilan

Dirjen Badan Peradilan menerbitkan Surat Keputusan Penjatuhan Sanksi

SK Penjatuhan Sanksi dikirmkan ke Pimpinan Pengadilan

SK Penjatuhan Sanksi disampaikan oleh Pimpinan Pengadilan ke Terlapor

7 hari

hari 7

hari

14 3 hari

hari 3 3 hari

3 hari

(20)

bersangkutan, hal ini dikarenakan adanya fungsi penjagaan nama baik dan kehormatan hakim.

2.4. Check and Balances dalam Peradilan Etik

Setelah kita mengetahui secara garis besar sistem peradilan etik pada Pejabat Publik lembaga negara di atas, ternyata tidak ada keseragaman alur perisdangan etik dan baik Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Majelis Kehormatan Hakim MK (MKMK) dan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) adalah alat kelengkapan Peradilan Etik yang bertugas menjalankan sidang etik dari suatu lembaga negara. Peradilan Etik ini memiliki unsur-unsur yang berbeda, misalnya suatu Peradilan Etik belum tentu memegang fungsi penegakan dan pengawasan etik, karena terdapat alat kelengkapan tersendiri yang dibentuk untuk menjalankan fungsi penegakan dan pengawasan. MK membentuk Dewan Etik sebagai alat kelengkapan internal penegakpengawas kode etik dan kemudian Dewan Etik membentuk MKMK untuk menjalankan fungsi peradilan etik. Sedangkan DPR membentuk MKD sebagai alat kelengkapan internal penegakpengawas kode etik sekaligus memegang fungsi menjalankan peradilan etik. Berbeda halnya dengan MKH, MKH merupakan alat kelengkapan yang menjalangkan fungsi peradilan etik, namun fungsi penegak-pengawasan kode etik dipegang oleh 2 lembaga negara bukan hanya sekedar alat kelengkapan, yaitu oleh Mahkamah Agung (yang dijalankan secara internal oleh Bawas MA) dan Komisi Yudisial, sebagai lembaga eksternal. Unsur-unsur lain dapat dibandingkan dalam tabel sebagai berikut:

Sidang MKD Sidang MKMK Sidang MKH

Lembaga Penegak Etik

MKD bentukan DPR Dewan Etik dipilih oleh Panitia Seleksi MK

KY (Eksternal), Bawas MA (Internal),

Subyek

Pengawasan Etik

Anggota DPR Hakim Konstitusi Hakim di bawah Mahkamah Agung

Keanggotaan Bersifat tetap berjumlah 17 orang

dari semua fraksi sesuai perimbangan dan pemerataan jumlah anggota, yang terdiri dari 1 Ketua dan maks. 2 orang Wakil Ketua

Bersifat ad hoc, anggotanya berjumlah 5 orang masing- masing dari Hakim Konstitusi, anggota Komisi Yudisial, mantan Hakim Konstitusi, Guru Besar dalam bidang hukum dan tokoh masyarakat, yang terdiri dari 1 Ketua dan 1 Sekretaris

dipilih dalam Rapat Pleno Hakim kecuali anggota yang berasal dari Komisi Yudisial, yang ditugaskan berdasarkan permintaan Mahkamah Konstitusi kepada Komisi Yudisial.

Bersifat ad hoc, anggotanya berjumlah 7 orang dari 3 orang Hakim Agung dan 4 orang Anggota Komisi Yudisial

* yang bukan merupakan anggota Tim Pemeriksa yang melakukan pemeriksaan langsung terhadap Terlapor baik di tingkat pemeriksaan oleh KY maupun oleh Bawas

(21)

Sifat Sidang Tertutup

*namun masih dimungkinkan adanya sidang terbuka jika dinyatakan demikian oleh

Sidang MKD

Tertutup, namun keputusan sidang dibacakan secara terbuka untuk

Terbuka untuk umum, dilaksanakan di Gedung MA

Aturan Materiil Peraturan DPR No. 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat.

Peraturan Mahkamah Konstitusi No.

09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama)

Keputusan Bersama Ketua Komisi Yudisial RI dan Ketua Mahkamah Agung RI No.

02/SKB/P.KY/IV/2009 -No.

047/KMA/SKB/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

Aturan Formil Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat

Peraturam Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

dan

Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi No. 1 Tahun 2014 tentang

Peraturan Bersama Ketua Komisi Yudisial RI dan Ketua Mahkamah Agung RI No.

02/SKB/P.KY/IV/2012 dan No.

047/KMA/SKB/IV/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

dan Mekanisme Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Laporan dan Informasi

Peraturan Bersama Ketua Komisi Yudisial dan Ketua Mahkamah Agung Nomor 04/SKB/P.KY/IX/2012 dan 04/KMA/SKB/IX/2012 tentang Tata Cara

Pembentukan, Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim.

Materi

pemeriksaan persidangan

e. mendengarkan pokok permasalahan yang diajukan oleh Pengadu;

f. mendengarkan keterangan dan pembelaan Teradu;

g. memeriksa Alat Bukti; dan h. mendengarkan

pembelaan Teradu.

a. Mendengarkan

keterangan Dewan Etik, Pelapor dan/atau pendalaman Informasi;

b. Pemeriksaan alat Bukti;

c. Pemeriksaan dan Pembelaan Hakim Terlapor

Mendengarkan pembelaan dari

Terlapor (Hakim)

* Terlapor dapat didampingi oleh Tim pembela dari Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dan dapat mengajukan saksi- saksi

serta bukti-bukti yang mendukung pembelaannya

(22)

Output Putusan penjatuhan Sanksi yang final dan mengikat, kecuali mengenai putusan pemberhentian tetap

Putusan penjatuhan Sanksi yang final dan mengikat kecuali sanksi

pemberhentian tidak hormat

Keputusan Penjatuhan Sanksi Berat yang final dan mengikat

Kewenangan Pemberhentian Tetap

disidangkan oleh Tim Panel bentukan MKD (3 anggota MKD, 4 unsur masyarakat) dan harus mendapat persetujuan rapat paripurna

putusan MKMK

disampaikan ke MK, MK menyampaikan

permintaan ke Presiden

diusulkan oleh Ketua MA kepada Presiden

Upaya Hukum Banding

Tidak ada Tidak Ada Tidak Ada

sumber: diolah oleh Penulis

Berdasarkan unsur-unsur pada tabel di atas, maka dapat terlihat pula sejauh apa prinsip check and balances pada masing-masing sistem peradilan etik, atau bahkan sebenarnya belum terlihat diterapkan. Black Law Dictionary memberikan pengertian “checks and balances is arrangement of governmental power whereby powers of one governmental branch check or balance those of other branches. See also separation of power” (Campbel, 1990, p. 238).16 Oleh karena itu, prinsip checks and balances terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of powers) yang digagas oleh Montesquieu lewat teori trias politica nya. Meskipun dalam perkembangannya peristilahan pemisahan kekuasaan banyak mengalami kritik dari para ahli hukum, termasuk ahli hukum di Indonesia, yang mana seringkali menarik kesimpulan bahwa istilah pemisahan kekuasaan (separation of power) yang dipakai oleh Montesquieu tidak dapat dipergunakan dalam konsep pembagian kekuasaan (distribution of power).17 Terkait hal ini, Jimlly Asshiddiqie berpendapat, istilah pembagian dan pemisahaan kekuasaan sebenarnya dapat digunakan apabila dilihat dari dua konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal atau yang bersifat vertikal, sehingga dianjurkan agar orang tidak perlu ragu-ragu menggunakan istilah pemisahan kekuasaan demi terciptanya prinsip checks and balances untuk menyebut sistem yang dianut UUD NRI 1945, asalkan tidak dipahami dalam konteks pengertian trias politica Montesquieu.18 Dalam hal menata kekuasaan lain di luar tiga kekuasaan menurut Montesquieu, Crince le Roy menyimpulkan bahwa pada dasarnya prinsip checks and balances menjadikan negara sebagai lembaga penertib.19 Bertitik tolak dari kegiatan penertiban tersebut, disusunlah fungsi negara yang dilaksanakan oleh badan-badan negara yang bebas dan terpisah satu dengan yang lainnya yang ditambah suatu sistem pengawasan untuk menghindarkan salah satu alat kekuasaan akan menarik seluruh kekuasaan ke dalam dirinya yang disebut dengan sistem checks and balances.

16Shimon Shetreet, J. Deschenes (eds), Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges, Netherlands: Martinus Nijhoff Publishe,. 1985. Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), Mahkamah Agung Republik Indonesia.

17Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2016.

18Ibid.

19Crince le Roy, Kekuasaan ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh Soehardjo, Semarang: Yayasan Dharma Bakti, 1981, hlm. 42.

(23)

John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff menjelaskan bahwa terdapat tiga pendekatan yang digunakan untuk memahami tempat dan hubungan lembaga-lembaga negara, yaitu (1) separation of powers, (2) separation of function dan (3) check and balance.20 Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam perspektif checks and balances di luar konteks pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan negara (separation of powers) adalah tidak tepat. Maka harus dibedakan apakah pengawasan itu bukanlah dalam rangka checks and balances dan juga pengawasan terhadap fungsi kekuasaan peradilan etik ataukah pengawasan terhadap perilaku individu-individu Majelis pada persidangan Etik. Sebagaimana disampaikan pada latarbelakang penulisan ini, bahwa merujuk penelitan penerapan prinsip check and balances pada sistem peradilan hukum (Court of Law), maka hal ini dapat juga diteliti pada sistem peradilan etik (Court of Etichs), yang mana check and balances pada sistem peradilan etik dapat dioperasionalkan dalam 2 hal, yaitu check and balances dalam konteks kekuasaan suatu kelembagaan peradilan etik dan/atau check and balances dalam konteks pelaksanaan peradilan etik (Court of Etichs).

Check and balances dalam konteks kekuasaan suatu lembaga Etik tidak terlihat secara eksplisit dalam peradilan etik MKD maupun MKMK, mengingat keduanya merupakan alat kelengkapan internal, di mana segala aturan pelaksanaan persidangan baik materiil maupun formil hanya dibentuk dan dievaluasi oleh lembaga yang membawahinya. Dari pemaparan sebelumnya terlihat bahwa selain aturan MKD, ternyata anggota DPR seharusnya juga terikat oleh Kode Etik yang diselenggarakan oleh Tim Kode Etik MPR, dan dualisme ini tidak pernah disoroti, padahal upaya sinkronasi perlu dibangun, mengingat anggota MPR terdiri dari anggota DPR. Berbeda hal nya dengan MKH, yang dibentuk khusus sebagai Peradilan Etik terbuka bagi Hakim yang melanggar Kode Etik (KEPPH). Majelis MKH yang berasal dari 2 lembaga yaitu MA dan KY, sebelumnya juga melaksanakan fungsi pengawasan Etik pada masing-masing lembaga meskipun prngawasannya bersifat tertutup. Pengaturan MKH tidak hanya tertuang dalam aturan khusus yang dibentuk oleh kedua lembaga namun juga tertuang dalam tataran perundang-undangan yaitu UU Komisi Yudisial dan UU Mahkamah Agung.

Dituangkannya pengaturan peradilan etik dalam tataran peraturan perundang-undangan, mengingat pengaturan MKD dan MKMK secara umum juga tertuang dalam tataran perundang-undangan yaitu UU MD3 dan UU Mahkamah Konstitusi, sebenarnya memungkinkan adanya penyimbangan kekuasaan dalam batas-batas tertentu (dasar UUD NRI 1945) melalui mekanisme judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, karena sistem norma etika yang digunakan untuk mengontrol etika para pejabat publik berimplikasi pada kepercayaan publik (public trust). Checks and balances ini, mengakibatkan satu cabang kekuasaan dalam batas-batas tertentu dapat turut campur dalam tindakan cabang kekuasaan lain, tidak dimaksud untuk memperbesar efisiensi kerja, tetapi untuk membatasi kekuasaan dari setiap cabang kekuasaan secara efektif. Pilihan-pilihan bentuk perumusan norma etika tersebut sangat tergantung kepada sikap pemerintah tertuama lembaga pembentuk undang- undang, apakah akan mengembangkan sistem infrastruktur etik itu secara resmi dan tegas sebagai bagian dari sistem penyelengaraan kekuasaan negara atau tidak.

Check and balances dalam konteks pelaksanaan peradilan etik (Court of Ethics) dapat terlihat dari 2 hal yaitu dalam hal perangkat peradilan etik dan dalam hal mekanisme penjatuhan putusan etik. Pertama dalam hal perangkat peradilan etik, diketahui jika dalam peradilan hukum (Court of Law) dalam suatu persidangan terdapat perangkat sidang meliputi Majelis Hakim, Panitera Pengganti, Penasehat Hukum dan Penuntut Umum (dalam sidang pidana), namun tidak demikian dalam persidangan etik. Secara garis besar, perangkat sidang etik dalam MKD, MKMK dan MKH hanya terdiri dari Majelis Etik dan Sekretaris, kecuali MKH, yang mana Terlapor Hakim dapat (tidak wajib) didampingi oleh IKAHI untuk

20John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, Modern Constitutional Theory, West Publishing Co, 1994, hlm. 296 – 297.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut dapat dilihat dari persentase yang didapatkan pada saat uji coba pengguna dengan persentase sebesar 83,33% dan untuk persentase respons mahasiswa

Melalui Layanan Over The Top setiap orang dapat dengan mudah mengakses dan menikmati suatu karya cipta, namun demikian setiap orang juga memiliki potensi untuk melakukan

Estimasi persistensi inflasi dilakukan dengan melihat proses univariate autoregressive (AR) time series model sebagaimana Marques (2004) karena model AR tersebut merupakan

1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Pada prinsipnya, ketentuan norma illicit enrichment di dalam UNCAC memungkinkan negara untuk merampas aset pejabat publik dengan alasan bahwa aset tersebut tidak dapat

Sujud syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, ridho-Nya dan hidayahnya-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir

Dengan subjek Penelitian nya yaitu Ibu hamil dengan usia kehamilan ≥28 minggu atau lebih yang melakukan pemeriksaan kehamilan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda

Dari dua pengertian tersebut, secara sederhana tanggung jawab pimpinan dalarn hukuin pidana internasional dapat diartikan sebagai kesalahan yang ditimpakan pada individu yang