Temukan di mana kesalahan
penalaran atau logical fallacy-nya!
Ilustrasi Sengketa Transfer Pricing
Webinar DDTC Academy 16 Desember 2021
Ada beberapa alasan mengapa kita perlu memahami bentuk-bentuk kesalahan penalaran. Alasan- alasan tersebut di antaranya sebagai berikut:
1. Dengan memahami bentuk penalaran yang salah, kita akan dapat berargumentasi dengan lebih baik dan tajam, kritis, dan sesuai dengan logika.
2. Karena kita dapat berpikir secara logis, maka tidak mudah terkecoh dengan argumentasi yang belum tentu benar.
3. Kemampuan berpikir kritis memudahkan kita membuka fakta di balik argumentasi lawan bicara yang sering kali memiliki motif tersembunyi yang secara sekilas tampak benar.
Temukan di mana kesalahan penalaran atau logical fallacy dari ilustrasi kasus sengketa di bawah ini!
PT X melaporkan di Surat Pemberitahuan (SPT) dan TP Documentation untuk transaksi afiliasi royalti dengan menggunakan metode CUP/CUT.
1. TAHAP PEMERIKSAAN
Saat pemeriksaan, berdasarkan analisis kesebandingan perjanjian royalti dengan menggunakan metode CUP/CUT Pasal 5 dan Pasal 17 PER 43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah PER 32/PJ/2011 dan berdasarkan UU PPh Pasal 18 ayat 3, dilakukan koreksi oleh pemeriksa pajak karena dianggap tidak memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
2. TAHAP KEBERATAN
Surat Ketetapan Pajak dipertahankan di tingkat keberatan, sehingga wajib pajak melakukan banding.
3. TAHAP BANDING
3.1 Menurut Pemohon Banding
Pemohon Banding mengajukan argumen dengan menggunakan:
3.1.1 Argumen Pertama dari Pemohon Banding
Lampiran I Bab II Bagian B.3.c.a SE-50/PJ/2013:“Dalam hal Wajib Pajak adalah pihak yang memanfaatkan (licensee) atau pembeli dari harta tidak berwujud maka PERLU memperhatikan hal-hal antara lain:
a. Pembayaran yang dilakukan akan memperoleh tingkat pengembalian yang sepadan dibandingkan dengan royalti yang dibayarkan. Hal ini ditunjukkan dengan analisis keuangan atas transaksi tersebut.”
1. Kata “perlu” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti harus dan menurut Eko Endarmoko, Tesamoko Tesaurus Bahasa Indonesia, kata perlu juga berarti harus Sedangkan kata harus memiliki arti patut, wajib, dan mesti (tidak boleh tidak).
2. Kata “tingkat pengembalian” diatur lebih lanjut dalam Bab II huruf B angka (1) (4) PER-22/PJ/2013:
“Dalam Pemeriksaan transfer pricing, perlu dilakukan penelitian awal atas kinerja finansial Wajib Pajak untuk mengidentifikasi risiko penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Penelitian awal dapat dilakukan dengan cara mempelajari rasio rata-rata industri Wajib Pajak.
Pada tahapan menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, Rasio Finansial (tingkat laba kotor/bersih) Wajib Pajak akan dibandingkan dengan Rasio Finansial (tingkat laba kotor/bersih) perusahaan- perusahaan pembanding, untuk menentukan kewajaran dan kelaziman usaha Wajib Pajak.
Beberapa Rasio Finansial yang dapat digunakan sebagai dasar pembanding antara lain:
...
c) Rasio Tingkat Pengembalian Penjualan = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑢𝑠𝑎ℎ𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛
d) Rasio Tingkat Pengembalian Total Biaya = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑈𝑠𝑎ℎ𝑎 𝐻𝑃𝑃+𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖
e) Rasio Tingkat Pengembalian Aset (ROA) = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑈𝑠𝑎ℎ𝑎 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑡𝑖𝑛𝑔 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡”
3. Kata “sepadan” menurut KBBI adalah mempunyai nilai yang sama; sebanding;
seimbang; berpatutan.
Paragraf 6.3.12.7 UN TP Manual pun sejalan dengan SE-50/PJ/2013 dengan menyatakan bahwa metode TNMM digunakan untuk menguji kebenaran pengujian metode CUP sebagai berikut:
“Furthermore, TNMM is often applied to check and to confirm the result of traditional transaction methods (CUP, Cost Plus, Resale Price).”
Terjemahan:
“Lebih jauh, TNMM seringkali digunakan untuk memeriksa keakuratan dan mengonfirmasi hasil dari metode transaksi tradisional (CUP, Cost Plus, Resale Price).”
dan pernyataan ahli pajak H. David Rosenbloom dalam “Angels on a Pin: Arm’s Length in the world” (Artikel Tax Notes International; 2005):
“to ensure that the first test has not produced a ridiculous answer.”
Terjemahan:
“untuk memastikan bahwa pengujian yang pertama tidak memberikan hasil yang tidak masuk akal.”
3.1.2 Argumen Kedua dari Pemohon Banding
Penjelasan UU PPh Pasal 18 ayat 3:“Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya.
Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method), atau metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit split method) dan metode laba bersih transaksional (transactional net margin method).”
Lampiran I, Bab II, bagian (A) SE-50/PJ/2013 mewajibkan Terbanding untuk menganalisis adanya risiko penghindaran pajak pada tahap persiapan pemeriksaan kemudian mendokumentasikannya dalam Kertas Kerja Pemeriksaan.
Pemohon Banding membuktikan bahwa tidak ada penghindaran pajak karena transaksi pembayaran royalti dilakukan dengan negara yang mengenakan tarif pajak lebih tinggi dan laba usaha (tingkat pengembalian) sudah lebih tinggi dari industri sejenis.
Karena tidak ada bukti penghindaran pajak, maka sesuai maksud dan tujuan dari UU PPh Pasal 18 ayat(3), kewenangan Terbanding seharusnya tidak bisa dilakukan.
Terakhir, berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan (2) PER 43/PJ/2010 sebagaimana diubah PER- 32/2011:
“1. Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
2. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan apabila Pemohon Banding telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa.”
Pasal 13 ayat (1) PER-43/PJ/2010 sebagaimana diubah PER-32/PJ/2011:
“Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan metode-metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dapat ditentukan dalam bentuk harga atau laba tunggal (single price) atau dalam bentuk Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar (arm's length range/ALR).”
Ketika laba Pemohon Banding sudah wajar, maka Terbanding seharusnya tidak punya kewenangan untuk melakukan koreksi karena sudah memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
3.2 Menurut Terbanding
Tanggapan Terbanding atas argumen Pemohon Banding adalah sebagai berikut:
3.2.1 Tanggapan Terbanding atas Argumen Pertama dari Pemohon Banding
Bahwa argumen Pemohon Banding (yang disertai literatur) terkait kewajaran royalti yang dapat diuji dengan TNMM maka Terbanding memberikan sanggahan sebagai berikut:1. Laba Operasi dipengaruhi oleh seluruh transaksi baik Penjualan, Harga Pokok Penjualan dan Biaya Operasi sehingga Laba Operasi yang berada di dalam Arm’s Length Range tidak serta merta membuktikan bahwa royalti dan seluruh transaksi afiliasinya telah wajar.
Kewajiban royalti tidak bisa dilihat dari margin laba semata tetapi harus diuji secara transaksional (transaction by transaction);
2. Bahwa berdasarkan OECD TP Guidelines disebutkan bahwa:
Paragraf 3.9
”... In order to arrive at the most precise approximation of arm’s length condition, the arm’s length principle should be applied on a transaction basis.”;
3. Bahwa data dan fakta menunjukkan bahwa Pemohon Banding telah menyatakan dalam SPT bahwa pengujian kewajaran royalti menggunakan Metode CUP. Hal tersebut juga diperkuat dengan informasi yang terdapat dalam dokumen transfer pricing (TP Doc);
4. Bahwa oleh karena itu menjadi tidak konsisten jika Pemohon Banding memberikan argumen terkait kewajaran royalti tersebut menggunakan TNMM;
5. Bahwa pengujian kewajaran royalti seharusnya menggunakan Metode CUP (konsisten dengan SPT, TP Doc Pemohon Banding, Pemeriksaan dan Keberatan;
6. Bahwa Terbanding memohon agar kiranya Majelis Hakim dapat memeriksa bukti-bukti ketidakwajaran royalti yang ditemukan selama pemeriksaan dan keberatan;
7. Bahwa tidak ada satu aturan pun yang menyatakan bahwa WP yang labanya di atas rasio benchmarking telah rasional dan tidak dapat dilakukan koreksi. Hal tersebut sejalan dengan asas keadilan dan asas perlakuan yang sama dimana setiap Pemohon Banding dapat dilakukan pengujian kepatuhan terkait pemenuhan kewajiban perpajakannya oleh Fiskus.
3.2.2 Tanggapan Terbanding atas Argumen Kedua dari Pemohon Banding
1. Bahwa terkait alasan tidak terdapat risiko penghindaran pajak atas transaksipembayaran royalti oleh Wajib Pajak, karena lawan transaksi tidak berkedudukan di negara dengan tarif pajak rendah dan marjin laba operasional Wajib Pajak sudah di atas rata-rata industri Wajib Pajak dan perusahaan pembanding independen lainnya bukanlah merupakan argumen yang dapat membuktikan kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi kepada pihak-pihak yang terdapat hubungan istimewa;
2. Bahwa berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UU PPh disebutkan bahwa:
"Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjua/an kembeli, metode bieye- plus, atau metode lainnya.";
3. Bahwa oleh karena itu perlu dilakukan pengujian terkait penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa pada transaksi tersebut sesuai Pasal 18 ayat (3) UU PPh.
4. Bahwa adapun terkait performa laba Wajib Pajak baik rasio laba operasi maupun rasio laba bersih yang sudah berada di alas rata-rata industri sejenis, bukanlah menjadi acuan atau patokan bahwa transaksi yang dilakukan sudah benar dan wajar sehingga tetap perlu dilakukan pengujian.
3.3 Pendapat Majelis Hakim
1. Bahwa menurut Majelis, meskipun Pemohon Banding telah memperoleh penghasilan netto tahun 20xx dengan wajar atau bahkan telah memperoleh penghasilan netto melebihi penghasilan netto dari perusahaan pembanding (perusahaan independen) sebagaimana analisis kewajaran harga yang dibuat oleh Pemohon Banding dalam TP-Doc a quo, namun hal tersebut, tidak serta merta transaksi antar perusahaan affiliasi berupa transaksi pembayaran royalti juga disimpulkan sudah wajar;
2. Bahwa Majelis berpendapat, meskipun penghasilan netto dari suatu perusahaan yang melakukan transaksi antar affiliasi telah memperoleh penghasilan netto yang wajar atau bahkan telah melebihi penghasilan netto dari perusahaan independen atau perusahaan
yang melakukan transaksi dengan perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa, namun transaksi lainnya belum tentu wajar karena yang dimaksud dengan wewenang Terbanding dalam Pasal 18 ayat (3) UU PPh adalah Terbanding mempunyai wewenang menguji kewajaran penghasilan bruto, biaya-biaya dan penghasilan netto sesuai dengan ketentuan a quo;
3. Bahwa menurut Majelis, tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa Terbanding wajib atau harus melaksanakan analisis kewajaran harga atas transaksi affiliasi dengan dua metode karena kedua metode tersebut akan memperoleh hasil yang berbeda satu sama lain karena perbedaan sifat dari metode dan data yang digunakan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum karena masing-masing pihak akan menggunakan hasil analisis yang paling menguntungkan bagi pihak yang bersangkutan;
4. Bahwa hasil analisis kewajaran atas pembayaran biaya royalti tidak relevan dibandingkan dengan hasil analisis kewajaran atas laba yang diperoleh karena beda tujuan. Tujuan analisis kewajaran biaya royalti adalah untuk menilai kewajaran atas "satu transaksi" dengan pihak affiliasi, sedangkan tujuan analisis kewajaran laba adalah untuk menilai kewajaran hasil kegiatan usaha dalam satu tahun yang merupakan bermacam- macam transaksi baik transaksi dengan perusahaan dependen maupun independen, sehingga kedua analisis tersebut tidak dapat dibandingkan untuk menilai kewajaran transaksi dan hanya dapat digunakan sebagai bahan referensi;
5. “Bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis berpendapat, Terbanding telah melakukan analisis kewajaran harga atas pembayaran royalti atas transaksi antar perusahaan afiliasi sesuai ketentuan a quo, sehingga Terbanding tidak perlu lagi melakukan pengujian kewajaran penghasilan netto dengan metode TNMM karena yang menjadi sengketa banding adalah sengketa transaksi pembayaran royalti kepada perusahaan afiliasi.
Dengan demikian penggunaan analisis kewajaran harga yang dilakukan Terbanding atas pembayaran royalti sudah tepat dan sesuai dengan ketentuan a quo, sedangkan pendapat Pemohon Banding yang menyatakan Terbanding tidak perlu lagi melakukan koreksi atas pembayaran royalti karena penghasilan netto sudah wajar tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU PPh.”