• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM KITAB RISĀLAH AHL AL- SUNNAH WA-AL-JAMĀ AH FI HADIS AL-MAWTA WA-ASHRĀṬ AL- SĀ AH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DALAM KITAB RISĀLAH AHL AL- SUNNAH WA-AL-JAMĀ AH FI HADIS AL-MAWTA WA-ASHRĀṬ AL- SĀ AH"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

SĀ’AH KARYA KH. HASYIM ASY’ARI (Analisis Pada Bab Kematian)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Farhan Qorib NIM 11160360000030

PROGRAM STUDI ILMU HADIS FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442/2020 M

(2)

i

WA ASYRATI AL-SA’AH KARYA KH. HASYIM ASY’ARI

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Farhan Qorib NIM 11160360000030

Pembimbing

Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag NIP. 19748510 200501 1 009

PROGRAM STUDI ILMU HADIS FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1442/2020 M

(3)

ii

(4)
(5)

iv ABSTRAK

FARHAN QORIB, Takhrīj hadis-hadis dalam Kitab Risalah Ahl al- Sunnah Wa al-Jamā’ah Fī Ḥadis al-Mawta Wa Ashrāṭ al-Sā’ah karya KH. Hasyim Asy’ari (Analisis Pada Bab Kematian), 2020.

Skripsi ini meneliti tentang hadis-hadis yang berhubungan dengan kematian, seputar pengetahuan mayyit ketika ia sedang diurusi jenazahnya, baik sedang dikafani, dimandikan, lalu di bawa untuk menuju ke kuburan yang terdapat di dalam kitab Risalah Ahl al-Sunnah Wa al-Jamā’ah Fȋ Hadis al- Mawta Wa Ashrāt al-Sȃ’ah karya KH. Hasyim Asy’ari. Dalam memperkuat argumennya, KH. Hasyim Asy’ari menggunakan hadis Nabi namun tanpa menyebutkan sanadnya secara lengkap juga tidak menyebutkan referensi dari mana hadis itu dikutip, sehingga kualitas hadis tersebut masih belum dapat diketahui.

Skripsi ini hanya meneliti hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Risalah Ahl al-Sunnah Wa al-Jamā’ah Fȋ Hadis al-Mawta Wa Ashrāt al-Sȃ’ah pada bab kematian. Hadis yang terdapat pada bab kematian berjumlah 4 hadis dengan redaksi yang berbeda-beda. Untuk mengetahui kualitas hadis tersebut perlu dilakukan penelitian takhrīj al-Hadis, pembuatan skema sanad, perbedaan teks matn hadis, dan kemudian melakukan penelitian terhadap periwayat hadis dengan metode al-jarḥ wa al-Ta’dil.

Setelah dilakukan penelitian, dari 4 hadis tersebut terdapat hadis-hadis yang ṣahīh dan ḍa’īf. Di antaranya 2 hadis ṣahīh yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī, 1 hadis ṣahīh yang diriwayatkan oleh imam Abū Dawūd, dan 1 hadis da’īf diriwayatkan oleh imam al-Ṭabarānī. Sesuai pembatasan masalah, Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, dengan langkahnya yaitu penelitian kepustakaan (library research). Sesuai pembatasan masalah, penelitian ini hanya merujuk pada kitab Risalah Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah Fȋ Hadis al-Mauta Wa Ashrat al-Sȃ’ah karya KH.Hasyim Ash’ari sebagai buku primer rujukan mengenai Hadis kematian. Adapun sumber sekunder dari penelitian ini, yaitu buku hadis al-Mu’jam al-Ausaṭ karya Imam al-Ṭabarȃnȋ, Ṣahȋh al-Bukhȃrȋ dan sunan Abū Dawūd.

Kata Kunci: Hadis, Kematian, Takhrīj

(6)

v

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah swt. Atas rahmat dan nikmatnya yang dianugrahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir. Shalawat serta salam selalu tertuju kepada Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga, para ṣahabatnya dan para pengikutnya yang telah memberikan sinar keterangan.

Kesempatan ini, penulis menghaturkan rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang membantu, mendukung dan mendorong penulis, khususnya kepada:

1. Prof. Dr. Amany Lubis M.A selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Yusuf Rahman selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.

3. Dr. Rifqi Muhammad Fatkhi, MA., selaku ketua jurusan Ilmu Hadis dan Bapak Dr. Abdul Hakim Wahid, MA., selaku sekretaris jurusan, yang telah memberikan kesempatan belajar dan pelayanan akademik dengan baik selama penulis menempuh pendidikan.

4. Pembimbing Skripsi Bapak Dr. Ahmad Fudhaili M.Ag., yang banyak membantu penulis dan memberikan saran dan masukan, serta mau mendengar keluh kesah penulis selama pembuatan Skripsi serta bapak Drs. Harun al-Rasyid MA.,. yang telah menjadi Pembimbing Akademik saya, segala motivasi dan doa

(7)

vi dosen fakultas ushuluddin.

5. Terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan kepada Ayahanda H. Achfas (Alm) dan Ibunda Hj.Zurkoh yang tak henti-hentinya memanjatkan doa ke hadirat Tuhan untuk kesuksesan anak-anaknya serta Menempatkan keduanya dalam derajat yang tinggi dan selalu memberikan rahmat dan keberkahan dalam hidupnya. Semoga Allah swt.

mengampuni dosa mereka. Ucapan terima kasih juga kepada para kakak penulis, terutama H.Abd Aziz Muslim yang selalu memberi motivasi semangat untuk kehidupan ini, lalu kepada Laila Mufidah yang selalu juga memberikan semangatnya.

6. Keluarga besar ILHA 2016 (khususnya) serta 2017 dan 2018.

7. FKJMU UIN Jakarta

8. Kepada para Jama’ah pengajian al-Fairuzy, al-Riyadh, Himmas, KH. M. Zakwan al-Kholidiy dll.

9. Seluruh pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini yang tidak disebutkan Namanya satu persatu.

Semoga segala bantuan dan dorongan baik moril maupun materil dari semua pihak yang teah membantu penulis dapat memperoleh balasan keberkahan dari Allah Swt.

Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan guna mensempurnakan skripsi ini.

(8)

vii

Berikut ini merupakan pedoman transliterasi dalam penyusunan skripsi yang digunakan oleh penulis. Penulis menggunakan transliterasi arab-latin dengan berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah pada tahun 2017 melalui keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507.

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab

Huruf

Latin Keterangan

ا

Tidak dilambangkan

ب

b Be

ت

t Te

ث

th te dan haḤḥ

ج

j Je

ح

ḥ h dengan garis bawah

خ

kh ka dan ha

د

d De

ذ

dh de dan ha

(9)

viii

ز

z Zet

س

S Es

ش

Sh es dan ha

ص

ṣ es dengan titik di bawah

ض

ḍ de dengan titik di bawah

ط

ṭ te dengan titik di bawah

ظ

ẓ zet dengan titik di bawah

ع

‘ koma terbalik di atas hadap

kanan

غ

gh ge dan ha

ف

f Ef

ق

Q Ki

ك

K Ka

ل

L El

م

M Em

ن

N En

(10)

ix

ه

H Ha

ء

` Apostrof

ي

Y Ye

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut.

Tanda Vokal Arab

Tanda

Vokal Latin Keterangan

َ

A Fathah

َ

I Kasrah

َ

U Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab

Tanda

Vokal Latin Keterangan

ي ـــــ ــــــ

ai a dan i

(11)

x

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab

Tanda

Vokal Latin Keterangan

اـ ـــــــ

â a dengan topi di atas

يــ ـــــ

î i dengan topi di atas

وـــ ـــــــ

Û Dammah

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun kamariah.

Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.

(12)

xi al-darûrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh sifat (na’t).

Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.

No. Kata Arab Alih Aksara

1

ةقيرط

Tarîqah

2

ةيملاسالإ ةعماجلا

al-jâmî’ah al-islâmiyyah

3

دوجولا ةدحو

wahdat al-wujûd

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata

(13)

xii

Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindî bukan Al-Kindî.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold).

Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

(14)

xiii DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix

DAFTAR ISI ... vx

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah ... 8

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

F. Tinjaun Pustaka ... 8

G. Metode Penelitian ... 9

H. Tehnik Penulisan ... 12

I. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II METODE PENELITIAN HADIS A. Metode Takhrȋj Hadis ... 15

B. Metode Kritik Hadis ... 18

C. I’tibar ... 25

D. Penjelasan Skema Sanad ... 26

BAB III KH HASYIM ASYARI DAN KITAB A. Riwayat Kehidupan KH. Hasyim Asyari ... 27

a. Wafat ... 28

(15)

xiv

b. Kontribusi KH. Hasyim Asy’ari ... 29

C. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari ... 29

B. Profil Kitab ... 30

a. Latar Belakang ... 30

b. Motivasi Penulisan Kitab... 30

c. Sistematika Penulisan ... 31

BAB IV KAJIAN TEKS HADITS DALAM KITAB AL-RISALAH A. Kegiatan Takhrij hadits dan kritik Matan ... 34

Hadis ke-1……… ... ….34

Hadis ke-2……… ... .38

Hadis ke-3……… ... .42

Hadis ke-4……… ... 53

BAB V PENUTUP ... 65

A. KESIMPULAN ... 65

B. SARAN-SARAN………. .... 65

DAFTAR PUSTAKA………. ... .66

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Di akhir abad ke-20, gairah umat Islam Indonesia khususnya dan umat Islam di dunia umumnya, dalam melakukan studi keislaman menunjukan keadaan yang cukup menggembirakan. Keadaan ini muncul mungkin betolak dari suatu keyakinan bahwa dengan memiliki pemahaman tentang Islam yang kualitatif dan konfrehensif, akan menimbulkan sikap moral yang Tangguh dalam menghadapi tantangan dan problema kehidupan yang semakin kompleks. Pemahaman Islam yang demikian hanya mungkin muncul dari pemahaman yang tepat tentang al-Quran dan hadis. Keberadaan al-Quran diikuti oleh hadis yang merupakan perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad SAW. hadis merupakan rujukan utama setelah al-Quran.1 Maka kita dapat menyatakan bahwa hadis sebagai bayȃn atau penjelas bagi al- Quran. Sebagaimana firman Allah SWT. Surat al-Nahl ayat 44:

َنوُرَّكَفَ تَ ي ْمُهَّلَعَلَو ْمِهْيَلِإ َلِِّزُن اَم ِساَّنلِل َِِّيَِبُ تِل َرْكِِّذلا َكْيَلِإ اَنْلَزْ نَأَو

Artinya:

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'ȃn, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.

Dengan demikian hadis Nabi Saw. menempati posisi yang signifikan dalam ajaran agama Islam. Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi Saw.

berbeda dengan al-Quran. Untuk al-Quran semua periwatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawȃtir. Sedang untuk hadis Nabi Saw. sebagian

1 Abbudin Nata, Dirasah Islamiah I, (Jakarta: PT. Rajawali, 1993), Cet. ke-1, h.

155.

(17)

periwayatannya berlangsung secara mutawȃtir dan sebagian lagi secara ahad.2 Dalam hal ini yang berkatagori ahad diperlukan penelitian.3

Pada umumnya para ulama hadis beranggapan bahwa hadis yang berkatagori Mutawȃtir, tidak menjadi obyek penelitian sebab hadis mutawȃtir tidak lagi diragukan keṣaḥiḥannya berasal dari Nabi.4

Dengan demikian, tujuan utama penelitian hadis adalah untuk melihat apakah sesuatu yang dikatakan sebagai hadis Nabi Saw. benar-benar dapat dipertanggung jawabkan keṣaḥiḥannya berasal dari Nabi Saw. ataukah tidak.

Hal ini sangat penting, mengingat kedudukan kualitas hadis erat sekali kaitannya dengan dapat atau tidak dapatnya suatu hadits dijadikan hujjah (dalil) agama.

Untuk kepentingan penelitian kualitas hadis Nabi, ulama telah menciptakan berbagai kaidah dari ilmu (pengetahuan) hadis.5

Dengan kaidah dan ilmu hadis itu ulama mengadakan pembagian kualitas hadis.

Menurut Ibnu Khaldun (w.808 H/1406 M), ulama hadis yang melakukan penelitian berita yang berkaitan dengan agama berpegang pada penelitian terhadap pembawa berita. Apabila pembawa berita itu adalah orang-orang yang dapat dipercaya, maka berita itu dinyatakan berkualitas ṣaḥȋḥ.

Sebaliknya, apabila para pembawa beritanya bukanlah orang-orang yang dapat dipercaya, maka berita yang bersangkutan tidak dapat dijadikan hujjah agama.6

2 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi, (Jakarta,: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke-1, h.3

3 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi, h. 4

4 Ṣabhi al-ṣalih, ‘Ulum al-Hadis wa Musthalahuu, (Bairut: Dar al-‘Ilm Li al- Malayun, 1977) h. 14-30

5 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, h. 5

6 Abd al-Rahman bin Muhammad bin Khaldun, Muqoddimah Ibn Khaldun, ( ttp, Dar al-Fikr, tth), h. 37

(18)

Hadis merupakan pedoman umat muslim setelah Al-Qur’an. Para ulama peneliti sampai pada kesimpulan bahwa hadis ṣaḥȋḥ bisa dijadikan hujjah (bukti, alasan) bagi seluruh umat.7 Dengan demikian Ibn Khaldȗn berpendapat, bahwa penelitian hadis yang telah dilakukan oleh para ulama hadis hanya terbatas pada penelitian sanad (rangkaian periwayat) saja.

Pendapat tersebut, secara langsung ataupun tidak langsung telah dibantah oleh para ulama lainnya, misalnya oleh Musthafa al-Siba’i dan Nuruddin ‘Itr.

Mereka menyatakan ulama hadis dalam meniliti hadis Nabi Saw. sama sekali tidak mengabaikan penelitian matan. Hal ini terbukti pada kaidah kesatuan hadȋthyang telah ditetapkan oleh ulama hadȋth. Dalam kaidah itu dinyatakan, sebagian syarat yang harus dipenuhi oleh hadis yang berkualitas ṣahȋh ialah matan dan sanad hadȋth itu harus terhindar dari kejanggalan (shȃdh) dan cacat (’illat). Untuk penelitian matan hadis yang tidak mengandung kejanggalan dan cacat, ulama hadȋthtelah menyusun berbagai kaidahnya.8

Terlepas dari perbedaan di atas, yang jelas dalam sejarah, ’ulȃma mutaqaddimȋn, telah membuktikan kesungguhannya dalam meneliti sanad, hadȋth mereka berlaku demikian karena mereka berpendapat bahwa sanad hadȋs merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari agama dan dari diri hadȋth itu sendiri, berikut ini dikemukakan sebagian dari pernyataan mereka itu. Misalnya pernyataan ‘Abdullah Ibn al-Mubȃrak (w. 181 H/797 M) menyatakan:

ِْلا ْس ِن ُدا َن ِم ِِّدلا ْي ِن َو َل ْو َل

ْا ِل ْس َن ُدا َل َقا َم ْن َل َش َءا َم َش ا َءا

Artinya: “Sanad itu merupakan bagian dari agama dan sekiranya sanad itu tidak ada, niscaya siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya”.

7 Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu hadis ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), cet. Ke-8 h. 267

8 Nuruddin ‘itr, al-Madkhal ila ‘Ulum al-Hadis, h. 15-17

(19)

9

ُلِتاَقُ ي ٍءْيَش ِِّىَأِبَف ح َلَِس ُهَعَم ْنُكَي َْلَ اَذِاَف ِنِمْؤُمْلا ُح َلَِس ُداَنْسِلا

Artinya: “ Sanad itu merupukan bagian dari senjata, bila pada diri orang yang beriman tidak ada senjata, maka dengan apa dia akan menghadapi peperangan.”

Pernyataan ini memberikan suatu legitimasi bahwa sanad hadis merupakan bagian penting dari riwayat hadis. Keberadaan suatu hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis ditentukan juga oleh keberadaan dan kualitas sanadnya. Dengan kata lain, kualitas sanad suatu hadis mampu menentukan apakah hadis itu layak untuk diterima atau memang harus ditolak.

Dalam mengkaji suatu sanad hadis, kita tidak akan bisa menempuh kecuali dengan tiga metode keilmuan yang bersumber kepada disiplin dalam ilmu hadits itu sendiri. Yang pertama ialah Ilmu Musṭalah al-Hadis, yaitu ilmu yang digunakan untuk mengetahui berbagai istilah yang terdapat di dalam sanad dan matn hadis. Kedua, Ilmu Rijȃl al-Hadis, yaitu ilmu yang mempelajari riwayat kehidupan para perawi hadis, dapat diterima atau tidaknya sebagai sandaran periwayatnya dalam sanad hadis.10 Ketiga, Ilmu Takhrȋj al-Hadis, yaitu suatu ilmu yang berupaya menemukan suatu hadȋts dalam kitab induknya secara lengkap dengan sanad-nya, kemudian dilepaskan kualitas hadis yang yang bersangkutan jika diperlukan.11

Dari perangkat-perangkat ilmu ini, maka Ilmu Takhrȋj al-hadis-lah yang sangat berperan dalam upaya pengkajian atau pengkritikan terhadap hadis.

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan “Apabila kita ingin menyelesaikan suatu kajian hadis hanya dengan Ilmu Musṭalah al-Hadis dan

9 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, h. 7

10 Ahmad Husnan, Kajian Hadis Metode Takhrij, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), Cet. ke-2, h.15

11 Mahmud Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Sanad (Riyad: Maktabah al- Ma’rifat, 1991), Cet. ke-2, h.139

(20)

Ilmu Rijȃl al-hadis, tanpa mengetahui Ilmu Takhrȋj al-hadis yang termasuk dalam kajian Dirȃsȃt al-Asȃnid, maka hal itu belum memadai”12

Sehubungan dengan itu, pentingnya kegiatan Takhrȋj al-Hadis ini, maka penulis mengutarakan untuk mencoba melakukan penelitian terhadap hadis- hadis kematian.

Dalam kehidupannya, manusia akan selalu mencari pengetahuan yang terjadi di alam sekitar. Seperti pengetahuan manusia akan kematian.

Kematian merupakan suatu keniscayaan yang tidak satu bernyawa pun dapat luput dari cengkramannya. Namun, keniscayaan itu mestinya tidak harus menjadikan kita pesimis apalagi bila kita yakin bahwa kematian mengantarkan kita kembali kepada tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang.13

Dalam surah Al-Mulk ayat 2 Allah SWT, Berfirman :

ُروُفَغْلا ُزيِزَعْلا َوُهَو لََمَع ُنَسْحَأ ْمُكُّيَأ ْمُكَوُلْ بَ يِل َةاَيَْلْاَو َتْوَمْلا َقَلَخ يِذَّلا

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Menurut Hamka dalam penafsiran ayat ini. Ia mengatakan bahwa Allah menyebutkan kematian lebih dahulu dari kehidupan, karena tujuannya adalah memberi peringatan kepada manusia bahwa hidup ini tidaklah berhenti hingga di dunia ini saja. Ini adalah peringatan kepada manusia agar mereka insaf akan mati di samping dia terpesona oleh hidup. Banyak manusia yang lupa akan mati itu, bahkan takut menghadapi maut karena hatinya yang terikat kepada dunia. Berkenaan dengan ayat peringatan maut di samping hidup inilah Ibn Ḥȃtim merawikan sebuah Hadis dari Qatȃdah, bahwa Rasulullah Saw., pernah bersabda:

12 Ahmad Husnan, Kajian Hadith Metode Takhrij h. 15

13 M. Quraish Shihab, Kematian adalah Nikmat ( Tangerang: Lentera Hati, 2018), h.1

(21)

َب َّلَذَا َالله َّنِإ ِْن

َم َدآ ِب ْل َم ْو َو ِت َج َع َل ُّدلا ْ ن َي َد ا َح َرا َي َُّث ٍتا َرا َد َم ْو َو ٍت َج َع ْا َل َ ل

َر ِخ َد َة َرا

َج َز َُّث ٍءا َد َرا َ ب َق ) تماح بيأ نبإ هاور( ٍءا

“Sesungguhnya Allah menghinakan keturunan Adam dengan maut, dan Allah menjadikan dunia ini negeri untuk hidup, kemudian itu negeri untuk mati, dan Dia jadikan negeri akhirat untuk menerima ganjaran dan negeri untuk kekal.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ḥȃtim dari Qȃtadah dan diriwayatkan pula Ma’mar dari Qȃtadah juga, yang serupa isinya dan artinya, dapatlah dijadikan penjelasan dari maksud ayat ini. Yakni asal kita lahir ke dunia, sudahlah berarti bahwa kita telah pasti mati, sebab kita telah menempuh hidup, dan di antara waktu hidup dan mati itulah kita anak Adam menentukan nilai diri.14

Dalam kitab Risȃlah Ahli al-Sunnah wa Al-Jama’ȃh karya KH. Hasyim Ash’ari dijelaskan bahwa orang yang sudah mati dapat mendengar suara langkah kaki orang-orang yang mengiringi jenazahnya. Bahkan ia tahu orang-orang yang memandikan, megkafani, dan menguburkannya. Ini berdasarkan apa yang tertuang dalam hadis-hadis yang disusun oleh KH.

Hasyim Ash’ari dalam karyanya.15

Al-Ṭabarȃni meriwayatkan hadis dalam Mu’jam al-Ausȃṭ dari Abu Sa’id al-Khudrȋ sesungguhnya Nabi Saw. Bersabda:

16

ِهِتَرْفُح ِفِ ُهَيِِّلَدُي ْنَمَو ُهَنِِّفَكُي َو ُهُلِِّمَُيُ َو ُهَلِِّسَغُ ي ْنَم ُف ِرْع َ ي َتِِّيَمْلا َّنِإ

14 Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), Juz 29 h. 9-10

15 Muhammad Hasyim Asya’ari, Risalah Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah fi Hadith al-Mauta wa Ashrati al-Sa’ah (Jombang: Maktabah al-Turas al-Islami, 1418 H), Cet. Ke-1 h.36

16 Abu al-Qasim Sulaiman Ibn Ahmad al-Thabrani, Al-Mu’jam al-Ausath (al- Qahira: Dar al-Hadits, 1996), Cet. Ke-1, h. 305

(22)

“ Sungguh, mayit itu mengetahui orang yang memandikannya, memikulnya, mengkafaninya, dan yang memasukkan ke dalam liang kuburnya.”

Sa’ȋd bin Jubair berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang sudah meninggal dunia itu memperoleh kabar tentang orang-orang yang masih hidup. Tidak seorang pun mempunyai kekasih atau kerabat, kecuali akan datang kepadanya berita tentang kaum kerabatnya tadi. Jika memperoleh kabar baik, si mayit akan merasa senang dan gembira; sedang jika memperoleh kabar buruk, dia akan cemberut dan merasa sedih.”17

Dengan latar belakang masalah tersebut, maka dari itu penulis tuangkan ke dalam bentuk skripsi dengan judul: “ Takhrȋj Hadis-Hadis dalam Kitab Risālah Ahl Sunnah Wa-al-Jamā’ah Fi Hadis Al-Mawta Wa Ashrȃṭ al-Sȃ’ah Karya KH. Hasyim Ash’ari (Analisis Pada Bab Kematian)”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis jelaskan sebelumnya, maka penulis membuat identifikasi masalah agar permasalahan menjadi lebih focus dan tidak melebar.

a. Kitab Risālah Ahl Sunnah Wa-al-Jamā’ah Fi Hadis Al-Mawta Wa Ashrȃṭ al-Sȃ’ah merupakan salah satu kitab yang dipelajari di berbagai pesantren Indonesia, khususnya di kalangan penganut Organisasi NU.

b. Kitab Risālah Ahl Sunnah Wa-al-Jamā’ah Fi Hadis Al-Mawta Wa Ashrȃṭ al-Sȃ’ah merupakan salah satu rujukan yang dipakai di berbagai pesantren di Indonesia, khususnya di kalangan penganut Organisasi NU.

17 Muhammad Hasyim Ash’ari, Risalah Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah fi Hadith al- Mauta wa Ashrat al-Sa’ah, h.36

(23)

c. Di dalam Kitab Risālah Ahl Sunnah Wa-al-Jamā’ah Fi Hadis Al-Mawta Wa Ashrȃṭ al-Sȃ’ah banyak ditemukan hadis, namun tidak tercantum sanad secara utuh, mukharrij, dan matn di berharakat.

C. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah akan meneliti tentang hadis- hadis tentang kematian dalam kitabnya KH. Hasyim Asy’ari yaitu Risȃlah Ahli Sunnah Wa al-Jamȃ’ah Fi Hadis Al-Mauta Wa Ashrȃt al-Sȃ’ah, akan tetapi dibatasi hanya analisis hadis kematian, diantaranya:

1. Hadis-hadis tentang kematian pada kitab al-Risalah 2. Penelitian redaksi matn pada kutub al-sittah

3. Kesesuaian redaksi pada kutub al-sittah 4. Bagaimana kualitas hadis kematian D. Perumusan Masalah

Maka untuk menyesuaikan judul di atas, penulis membahas mengenai hadis-hadis kematian yaitu Bagaimana kualitas sanad dan matn hadis-hadis kematian dalam kitab Risȃlah Ahli Sunnah Wa al-Jamȃ’ah Fi Hadis Al- Mauta Wa Ashrȃt al-Sȃ’ah?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan

Untuk mengetahui:

1.1 Sumber hadis yang dikutip 1.2 Kualitas hadis terkaji 2. Manfaat

2.1. Secara akademik, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat turut serta mengembangkan khazanah keilmuan dalam bidang hadis dan dapat memberikan sumbangan pengetahuan tentang kualitas danad hadis yang terdapat dalam kitab Risȃlah Ahli Sunnah Wa al-Jamȃ’ah Fi Hadis Al- Mauta Wa Ashrȃt al-Sȃ’ah karya KH. Hasyim Asy’ari.

(24)

2.2. Secara praktis, dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan khususnya kepada para santri dan umumnya kepada masyarakat luas yang mengkaji kitab Risȃlah Ahli Sunnah Wa al-Jamȃ’ah Fi Hadis Al-Mauta Wa Ashrȃt al-Sȃ’ah karya KH. Hasyim Asy’ari.

2.3. Secara khusus, penelitian ini menjadi salah satu persyaratan akhir program S1 untuk dapat meraih gelar Sarjana Agama (S.Ag) di Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Tinjaun Pustaka

Dari hasil penelusuran yang penulis lakukan, diantara karya ilmiah yang membahasa KH. Hasyim Asy’ri yang relevan dengan judul penelitian ini adalah Jurnal yang berjudul “ Konsep Pendidikan Menurut Pemikiran KH.

Hasyim Asy’ari” yang ditulis oleh Mukhlis Lbs.18 penelitian tersebut berbeda dengan penelitian penulis. Kemudian skripsi yang berjudul “Pandangan KH.

Hasyim Asy’ari Tentang Konsep Hakikat dan Tujuan Pendidikan Islam”.19 Penelitian-penelitian yang mengkaji tentang makna kematian telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan fokus penelitian yang berbeda, Misalnya penelitian oleh Abdul Karim yang berjudul “Makna Kematian Dalam Perspektif Tasawuf” STAIN Kudus berfokus pada ritual kematian yang dilakukan oleh masyarakat Islam Jawa dengan hasil Sinergi budaya Islam dan Jawa ternyata membentuk sebuah kebudayaan baru yang memiliki makna dan tujuan-tujuan.20 Kemudian penelitian yang dilakukan Nurhidayati Lisya Chairani dengan judul “Makna Kematian Orangtua Bagi Remaja

18 Muklis Lbs, Konsep Pendidikan Menurut Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari, Jurnal As-Salam , 4 (1), 79-94

19 Sholi Robika, Skripsi: Pandangan KH. Hasyim Asy’ari Tentang Konsep Hakikat dan Tujuan Pendidikan Islam (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018), 55

20Abdul Karim, Skripsi“Makna Kematian Dalam Perspektif Tasawuf”(Kudus: Stain Kudus, 2018), 66

(25)

(Studi Fenomenologi Pada Remaja Pasca Kematian Orangtua)” dari Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau berfokus pada mengetahui makna kematian orang tua bagi remaja, dengan hasil menunjukkan bahwa makna kematian orang tua bagi remaja adalah kehilangan.21 Penelitian ini berbeda dengan tujuan penelitian penulis, penulis meniliti tentang status hadis kematian, tetapi skripsi tersebut meniliti makna kematian orang tua bagi remaja.

G. Metode Penelitian

Sebagaimana tata cara penulisan karya ilmiah, penulis akan menguraikan beberapa hal penting mengenai penulisan.

1. Jenis Penelitian

Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif karena dalam tujuannya penelitian kualitatif berusaha untuk mendapatkan jawaban dari fenomena yang ada melalui prosedur secara ilmiah dan menghasilkan jawaban yang bersifat kualitatif.22 Adapun meneliti hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Risȃlah Ahli Sunnah Wa al-Jamȃ’ah Fi Hadis Al-Mauta Wa Ashrȃt al-Sȃ’ah karya KH. Hasyim Asy’ari, penulis menggunakan jenis penelitian Pustaka (library research) yaitu dengan mengadakan penelusuran dan penggalian sistematis atas buku-buku dan sumber lainnya yang dapat memberikan pemecahan atas penulisan skripsi.23

Dalam menghukumi hadis, penulis mengikuti pendapat para ulama yang sudah menghukumi hadis.

21Nurhidayati, Lisya Chairani, Skripsi: “Makna Kematian Orangtua Bagi Remaja (StudiFenomenologi Pada Remaja Pasca Kematian Orangtua)” Dari Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

22 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan, h. 329.

23 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metode Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 107

(26)

2. Sumber Data

Penggalian bahan-bahan pustaka dengan obyek kajian yang dimaksud, di antaranya, Data yang akan dikumpulkan di bagi menjadi dua macam, yaitu data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer, penulis akan ambil dari buku karya KH. Hasyim Asy’ari mengenai tema kematian, yaitu: Risȃlah Ahli Sunnah Wa al-Jamȃ’ah Fi Hadis Al-Mauta Wa Ashrȃt al-Sȃ’ah.24

b. Data Sekunder

Sedangkan data sekunder adalah berupa tulisan-tulisan dan keterangan yang menunjukkan signifikasi dengan tema penelitian.

3. Analisis Data

Karena obyek penelitian adalah hadits-hadits yang tercantum dalam kitab Risȃlah Ahli Sunnah Wa al-Jamȃ’ah Fi Hadis Al-Mauta Wa Ashrȃt al- Sȃ’ah, maka dalam proses pengumpulan data dilakukan kegiatan:

a. Takhrȋj al-Hadis. Yakni penelusuran atau pencarian teks hadits pada berbagai kitab hadȋth yang merupakan sumber asli dari hadis yang bersangkutan yang di dalamnya disebutkan secara lengkap sanad dan matan hadȋtsnya.25

b. I’tibȃr al-Hadis. Menurut istilah dalam ilmu hadis, al-I’tibȃr26 adalah menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits tertentu, yang hadis tersebut pada bagian sanad-nya tampak terdapat seorang

24 KH Hasyim Asy’ari, Risâlah Ahlis-Sunnah wal Jamâ'ah: fî Hadîtsil Mawtâ wa Asyrâthis-Sâ'ah, (buku Daras). Pesantren Jombang, Jawa Timur. Tth.

25 Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, h.44

26 Kata I’itibȃr merupakan Masdar dari kata I’tibȃrȃ yang berarti menguji, mencoba. I’tibar adalah peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat mengetahui sesuatu yang sejenis dengannya. Lihat al-Ṭahhan, Taisir Muṣṭalah al-Hadȋth, (Bairut, Dar al-Quran al-Karim, 1978), h. 140

(27)

periwayat saja, sehingga dengan menyertakan sanad-sanad yang lain akan terlihat adanya periwayat lain untuk bagian sanad hadis yang diteliti.27

Dalam pelacakan hadis, ditempuh cara penelusuran melalui kosa kata tertentu, dengan rujukan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfȃẓ al-Hadis al- Nabawȋ yang disusun oleh Arnold John Wensinck, ataupun dengan menelusuri awal matan melalui kitab Mausȗ’ah Aṭrȃf al-Hadis al-Nabawȋ al- Syarȋf karya Abu Hajar Muhammad Sa’ib Basuni Zaglul.

Setelah kegiatan Takhrij al-Hadis dan I’tibār, dilanjutkan dengan meneliti kualitas periwayat disertai dengan pembahasan tentang keadilan dan ke-dȃbiṭ-an perawi, yang dapat diketahui melalui biografi, informasi ta’dȋl atau tarjȋh-nya dari para ulama kritikus hadȋts. Kemudian kegiatan diarahkan pada penelitian metode periwayatan yang digunakan oleh rawi hadis, yakni berkaitan erat dengan lambang-lambang atau lafal-lafal yang digunakan dalam periwayatan hadis. Dari kegiatan ini dapat diketahui sejauh mana tingkat akurasi metode periwayatannya yang digunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadis. Langkah selanjutnya adalah meneliti kemungkinan adanya syȃz dan ‘ȋllat. Sebagaimana diketahui shȃz dan ȋllat bisa terjadi pada sanad dan matan hadis.28 Namun dalam skripsi ini, penulis hanya meneliti shȃz dan ȋllat yang terdapat pada sanad hadis dan telaah kritik matan.

Sebagai langkah terakhir adalah kegiatan menyimpulkan hasil penelitian sanad.

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan metode induktif, yakni proses berfikir yang bertolak dari satu atau sejumlah data secara khusus untuk kemudian diambil kesimpulan dengan cara

27 Abȗ ‘Amr Usman Ibn ‘Abd al-Rahman Ibn Ṣalah, Ulum al-Hadis, (al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-Ilmiyyat, 1972), h. 74-75

28 Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, h.47

(28)

generalisasi atau analogi yang mengacu pada kritik sanad yang telah dirumuskan oleh ulama hadis, misalnya kitab-kitab al-Jarh wa al-Ta’dȋl dan kitab-kitab Rijȃl al-Hadȋth lainnya.

H. Tehnik Penulisan

Adapun Teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku

“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan oleh CeQDA, cetakan ke-2 tahun 2017

I. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan ini, penulis akan membagikannya ke dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut :

Bab Pertama: Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah yang akan dibahaskan, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua: Metode Kritik sanad dan matn, meliputi pengertian takhrȋj dan kritik matn, I’tibār al-Hadis.

Bab Ketiga: Profil KH. Hashim Asy’ari. Bab ini pembahasannya mengenai riwayat hidup KH. Hashim Asy’ari, aktifitas keilmuan, guru dan muridnya, karya-karyanya, dan kontribusi KH. Hashim Asy’ari dalam bidang Hadȋth.

Mengenal kitab Risȃlah Ahli Sunnah Wa al-Jamȃ’ah Fi Hadȋth Al-Mauta Wa Asrȃṭ al-Sȃ’ah. bab ini berisikan pembahasan tentang metode penulisan dan penyusunan kitab dalam kitab Risȃlah Ahli Sunnah Wa al-Jamȃ’ah Fi Hadȋth Al-Mauta Wa Asrȃṭ al-Sȃ’ah, yaitu meliputi penulisan sumber rujukan, penulisan sanad dan matan, sistematika kitab, susunan kitab, motivasi pembukuan dan isi kitab

Bab Keempat:. Melakukan takhrīj al-Hadis kematian dan kritik matan untuk mengetahui pengutipan hadis-hadis tersebut dari kitab induknya. Apakah

(29)

terdapat perbedaan antara matan hadis yang satu dengan yang lain. lalu dilakukan Analisa terhadap matan tersebut.

Bab Kelima: Penutup. Pada bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan skripsi dan juga saran-saran.

(30)

15 BAB II

METODE PENELITIAN HADIS A. Metode Takhrīj Hadis

1. Definisi Takhrīj Hadis

Secara etimologi kata “takhrīj” berasal dari akar kata:

ُجُرَْيَ َجَرَخ اًجْوُرُخ

mendapat tambahan tasydīd syiddah pada ra (‘ain fi’il) menjadi:

َج َخ ر ُج َُيَ ر ًْيا َْت ر

yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan dan menumbuhkan. Maksudnya menampakkan sesuatu yang tidak atau sesuatu yang masih tersembunyi, tidak kelihatan dan masih samar. Penampakan dan pengeluaran disini tidak mesti berbentuk fisik yang konkrit, tetapi mencakup non fisik yang hanya memerlukan tenaga dan pikiran seperti makna kata

َج ْخ َر ْس َت إ

yang diartikan istinbāt} yang berarti mengeluarkan hukum dari nash/teks Alquran dan hadis.1

Menurut istilah dan yang biasa dipakai oleh ulama hadis, kata takhrij mempunyai beberapa arti yakni:2

a. Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh. Misalnya Imam al- Bukhari dengan kitab ṣaḥīḥnya.

b. Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah

1 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2008), h. 115.

2Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992) h. 41-43

(31)

dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri atau riwayat para gurunya atau riwayat temannya atau orang lain dengan menerangkan periwayatannya dari para penyusun kitab yang dijadikan sumber pengambilan. Misalnya Imam alBaihaqi yang telah banyak mengambil hadis dari kitab al-Sunan yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Basri, lalu al-Baihaqi mengemukakan sanadnya sendiri.

c. Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakah sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh mukharij-nya langsung. Misalnya Bulūghul Marām susunan Ibnu Hajar al-Asqalani.3

d. Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis yang di dalamnya disertakan metode periwayatan serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadisnya. Misalnya Ihyā’ Ulum al-Dīn susunan Imam al-Ghazali.

e. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli. Yang dimaksud dalam hal ini adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan. Misalnya Miftah Kunūz al-Sunah.4

2. Metode Takhrīj

a. Takhrīj dengan kata (bi al-lafz)

Metode takhrīj pertama ini penelusuran hadis melalui kata/lafal matn hadis baik dari permulaan, pertengahan, dan atau

3 Abdul Majin Khon, Ulumul Hadis, h. 116

4 Abdul Majin Khon, Ulumul Hadis, h. 117

(32)

akhiran. Kamus yang diperlukan metode takhrij ini salah satunya yang paling mudah adalah kamus al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis Al-Nabawi yang disusun oleh AJ. Wensinck dan kawan- kawannya sebanyak 8 jilid.

Maksud takhrīj dengan kata adalah takhrij dengan kata benda (isim) atau kata kerja (fi’il) bukan kata sambung (huruf) dalam bahasa arab yang mempunyai asal akar kata 3 huruf. Kata itu diambil dari salah satu bagian dari teks hadis yang mana saja selain kata sambung, kemudian dicari akar kata asal dalam bahasa arab yang hanya 3 huruf yang disebut fi’il thulathi.5

b. Takhrīj dengan tema (bi al-mawḍu’i)

Arti takhrīj kedua ini adalah penelusuran hadis yang berdasarkan pada topic, misalnya bab al-Nikah, al-Ṣalat, dan lain- lain. Salah satu kamus hadis tematik adalah Miftah Kunuz al- Sunnah oleh Dr. fuad Abdul Baqi, terjemahan dari aslinya bahasa Inggris A Handbook Of Early Muhammad karya AJ. Wesinck pula.6 Bila menggunakan metode ini seorang peneliti sudah harus mengetahui tema/topik hadis yang dikaji.

c. Takhrīj dengan permulaan matn (bi awwal al-matn)

Takhrīj menggunakan permulaan matn dari segi hurufnya, misalnya awal suatu matn dimulai dengan huruf mim maka dicari pada bab mim, jika diawali dengan huruf ba maka dicari pada bab ba dan seterusnya. Takhrīj seperti ini diantaranya dengan menggunakan kitab Al- Jāmi’ Al-Ṣaghīr atau al-Jāmi’ al-Kabīr karangan Al-Suyuṭi dan Mu’jam al-Jāmi’ al-Uṣul fi Ahadis al- Rasul, karya Ibn al-Athir.7

5 Abdul Majin Khon, Ulumul Hadis, h. 119

6 Abdul Majin Khon, Ulumul Hadis, h. 121

7 Abdul Majin Khon, Ulumul Hadis, h.123

(33)

d. Takhrīj melalui sanad pertama (bi al-rawi al-a’la)

Takhrīj ini menelusuri hadis melalui sanad yang pertama atau yang paling atas yakni para sahabat (hadis muttasil) atau tabi’in (dalam hadis mursal). Berarti peneliti harus mengetahui terlebih dahulu siapa sanadnya dikalangan sahabat atau tabi’in, kemudian dicari dalam kitab Musnad atau Al-Aṭraf.8

e.

Takhrīj dengan sifat (bi al-ṣifah)

Telah banyak disebutkan sebagaimana pembahasan diatas tentang metode takhrij. Seseorang dapat memilih metode mana yang tepat untuk ditentukannya sesuai dengan kondisi orang tersebut. Jika suatu hadis sudah dapat diketahui sifatnya, misalnya Mawdu’, ṣaḥīḥ, Qudsi, Mursal, dan lain-lain sebaiknya di-takhrij melalui kitab-kitab yang telah menghimpun sifat-sifat tersebut.9 Misalnya ṣaḥīḥ akan lebih mudah di takhrīj melalui kitab-kitab himpunan hadis ṣaḥīḥ seperti ṣaḥīḥ al-Bukhārī atau ṣaḥīḥ Muslim.

B. Metode Kritik Hadis

1. Keṣaḥiḥan Sanad dan Matn Hadis a. Keṣaḥiḥan sanad hadis

Sanad atau ṭariq ialah jalan yang dapat menghubungkan matn hadis sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Sanad juga dapat digunakan sebagai instrumen untuk menetapkan nilai suatu hadis.

Suatu hadis dinilai shahih apabila hadis tersebut dinukil dari rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.10

8 Abd Majin Khon, Ulumul Hadis, h.126

9 Abd Majin Khon, Ulumul Hadis, h.127

10 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis (Bandung: PT Al Ma’arif, 1974), h.

117.

(34)

1) Perawi yang adil

Dalam memberikan pengertian istilah adil yang berlaku dalam ilmu hadis ulama’ berbeda pendapat. Dari berbagai perbedaan pendapat itu dapat dihimpunkan kriterianya kepada empat butir. Penghimpunan kriteria itu didasarkan pada kesamaan maksud tetapu berbeda dalam ungkapan sebagai akibat dari perbedaan peninjauan. Keempat butir sebagai kriteria untuk sifat adil adalah 1) beragama islam. 2) mukallaf. 3) melaksanakan ketentuan agama. 4) memelihara muru’ah.11 2) Sempurna Ingatannya

Orang yang sempurna ingatannya disebut ḍābiṭ yaitu orang yang kuat ingatannya, artinya ingatnya lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. M. Syuhudi Ismail menetapkan kaidah-kaidah lain bagi perawi yang ḍābiṭ yakni hafal dengan baik hadis yang diriwayatkan, mampu dengan baik menyampaikan hadis yang dihafal kepada orang lain dan terhindar dari shādh.12 3) Sanad Bersambung

Yang dimaksud adalah sanad yang selamat dari keguguran yakni tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari sumbernya. Untuk syarat ini ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bersambungnya sanad adalah apabila antara periwayat satu dengan periwayat berikutnya betul-betul melakukan serah terima hadis.

Periwayatan ini dapat dilihat dari cara serah terima tersebut

11 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitain Hadis Nabi, h. 67

12 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahehan Sanad Hadis (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1998),h. 129.

(35)

misalnya dengan redaksi

نيثدح

atau

تعسم

atau

نابرخا

.13 Secara

umum ungkapan kata-kata periwayatan bisa diartikan sama yakni bertemu langsung. Namun, kemudian masingmasing mempunyai metodologis khusus, misalnya sebagai berikut: a) Lambang periwayatan

نيثدح انثدح

atau

تعسم

digunakan dalam metode Al-Sama’ artinya seorang murid mendengarkan penyampaian hadis dari seorang guru secara langsung. b) Lambang periwayatan

برخا ني/برخا

.Dipergunakan dalam metode al-Qira’ah atau al-‘Aradh artinya seorang murid membaca atau yang lain ikut mendengarkan dan didengarkan oleh seorang guru. c)

نيأبنا ناأبنأ

dalam metode ijazah yaitu seorang guru memberikan izin periwayatan kepada seorang atau beberapa orang muridnya. d) Lambang periwayatan

لي لاق

atau

لي ركذ

dipergunakan dalam menyampaikan metode al- Mudhakarah artinya murid mendengar bacaan guru dalam konteks mudzakarah bukan dalam kontek menyampaikan periwayatan yang tentunya sudah siap kedua belah pihak. e) lambang periwayatan

نع

.Hadis yang diriwayatkan menggunakan kata ‘an disebut hadis mu’an’anah. Menurut jumhur ulama dapat diterima asal periwayatnya tidak mudallis (menyimpan cacat) dan di mungkinkan adanya pertemuan

13 M. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis Dan Metodologis (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2003), h. 90

(36)

dengan gurunya. Jika tidak memenuhi dua persyaratan ini maka tidak dihukumi muttaṣil.

Lambang periwayatan pada d dan e diatas dipersilisihkan penggunaannya oleh ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata-kata itu menunjukkan periwayatan dengan cara al-sama’ yang berarti murid mendengar langsung dari penyampaian guru, bila didalamnya tidak terdapat tadlis (cacat tersembunyi). 14

4) ‘Illat hadis

‘Illat hadis adalah penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keṣaḥiḥan suatu hadis. ‘illat hadis yang terdapat dalam matn misalnya adanya suatu sisipan dalam matn hadis.

Selain itu ‘illat hadis dapat terjadi pada sanad yang tampak muttaṣil dan marfu’ ternyata muttaṣil tetapi mawqūf, dapat pula terjadi pada sanad yang muttaṣil dan marfu’ ternyata muttaṣil tetapi mursal (hanya samapai ke al-tabi’i) atau terjadi karena percampuran hadis dengan bagian hadis lain juga terjadi kesalahan penyebutan periwayat karena ada lebih dari seorang periwayat yang memiliki kemiripan nama padahal kualitasnya tidak sama thiqah.15

5) Kejanggalan hadis (shādh)

Dalam mendefinisikan Shādh terdapat 3 pendapat :

a) Hadis yang diriwayatakan dari orang Thiqah yang bertentangan dengan riwayat orang yang lebih Thiqah.

Ini merupakan pendapat Imam Syafi'i (204H).

14 Abd Majin Khon, Ulumul Hadis, h.100-101

15 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahehan Sanad Hadis ,h. 132.

(37)

b) Hadis yang diriwayatkan oleh orang Thiqah tetapi banyak orang Thiqah lain tidak meriwayatkannya. Ini merupakan pendapat alHakim (405H).

c) Hadis yang sanad-nya hanya satu saja, baik periwayatanya bersifat Thiqah atau tidak, pendapat ini dikemukakan oleh Abu al-Ya'la alKhalili (446H).16 Kejanggalan hadis ini dapat diketahui dari dua syarat sebelumnya yakni sanad bersambung dan perawi yang ḍābiṭ (kuat ingatannya).

Untuk mengetahui shādh atau ‘illat tidaklah mudah, sebagian ulama menyatakan untuk menemukan shādh atau

‘illat dalam hadis hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai keilmuan yang luas.

Penelitian terhadap shadh hadis lebih sulit daripada menentukan illat dalam hadis.

b. Keṣaḥiḥan matan hadis

Sebagaimana disepakati bahwa hadis sahih adalah hadis yang memenuhi lima kriteria Keṣaḥiḥannya, yaitu sanad-nya bersambung, perawi bersifat adil, ḍābiṭ, terhindar dari shadh dan terbebas dari ‘illat. Ketiga kriteria yang disebutkan pertama khusus diperuntukkan pada aspek sanad, sedangkan dua kriteria yang disebutkan terakhir berkaitan dengan aspek sanad dan matn sekaligus.17

16 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitain Hadis Nabi, h. 85-86

17 Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis (Malang: UIN Press, 2008),h. 101

(38)

Berbeda dengan prosedur pelaksanaan kritik sanad hadis, pada kritik matn ini para ulama tidak mengemukakan secara eksplisit bagaimana sebenarnya penerapan secara praktisnya. Namun demikian, mereka memiliki beberapa “garis batas” yang dipegangi sebagai tolok ukur butirnya, meskipun tidak selalu terdapat keseragaman antara tolok ukur yang distandaeisasikan oleh seorang ulama dengan ulama lainnya.18

Menurut Al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H/1072 M) bahwa suatu matan hadis dapat dinyatakan maqbūl (diterima) sebagai matan hadis yang ṣaḥīḥ apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1) Tidak bertentangan dengan akal sehat.

2) Tidak bertentangan dengan hukum Alquran yang telah muhkam (ketentuan hukum yang telah tetap).

3) Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir.

4) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama salaf

5) Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.

6) Tidak bertentangan dengan hadis aḥad yang kualitas Keṣaḥiḥannya lebih kuat.19

Sebagian ulama menyatakan lebih rinci. Menurut jumhur ulama tanda-tanda hadis yang palsu adalah:

1) Susunan bahasanya rancau.

18 Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, h. 101

19 Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 63.

(39)

2) Kandungan pernyataannya bertentangan dengan akal sehat dan sulit ditafsiri secara rasional.

3) Kandungan pernyataannya bertentangan dengan pokok ajaran Islam.

4) Kandungan pernyataannya bertentangan dengan sunnat Allah.

5) Kandungan pernyataannya bertentangan dengan fakta sejarah.

6) Kandungan pernyataannya bertentangan dengan petunjuk Alquran atau hadis mutawatir.

7) Kandungan pernyataannya berada di luar kewajiban jika diukur dari petunjuk umum Islam.20

Salahuddin al-Adlabi menyimpulkan bahwa tolok ukur untuk penelitian matan ada empat macam21:

1) Tidak bertentangan dengan petunjuk Alquran.

2) Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.

3) Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan sejarah.

4) Susunan pernyataanya menunujukkan ciri-ciri sabda keNabian.

Dengan uraian tersebut dapatlah dinyatakan bahwa walaupun unsur-unsur pokok kaedah keṣaḥīḥan matn hadis hanya dua macam tetapi aplikasinya dapat berkembang dan menuntut adanya pendekatan dengan tolok ukur yang cukup banyak sesuai dengan matn yanfg diteliti.

20 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitain Hadis Nabi, h. 127-128

21

(40)

C. I’tibȃr

Kegiatan al-I’tibȃr dilakukan untuk memperlihatkan dengan jelas seluruh jalur sanad hadȋth yang diteliti, termasuk nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatannya yang digunakan oleh masing-masing periwayatan bersangkutan.22 Maka dalam mempermmudah proses kegiatan I’tibȃr, penulis akan menampilkan skema untuk seluruh sanad bagi hadȋth yang menjadi objek penelitian. Sedangkan kritik matan yang dikemukakan oleh Muhammad Tahir al-Jawabi, yaitu ketentuan terhadap periwayat hadis, baik kecacatan atau keadilannya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu yang telah dikenal oleh ulama-ulama hadis, meneliti matn hadis yang telah dinyatakan ṣaḥῑḥ dari segi sanad untuk mengatasi kesulitan dalam pemahaman hadis dan menyelesaikan kontradiksi yang terdapat dalam matan ḥadῑṡ dengan pertimbangan yang mendalam. Meskipun definisi yang dikemukakan Muḥammad Tahir al-Jawabi meliputi kritik sanad dan kritik matan, bahkan kritik matannya sampai tahapan pemahaman hadis dan penyelesaian kontradiktif.23

Adapula definisi sejalan dengan pandangan Ibnu al-Aṡir al-Jazari bahwa setiap matan ḥadῑṡ tersusun atas elemen lafal (teks) dan elemen makna (konsep). Dengan demikian komposisi ungkapan matan hadis pada hakikatnya adalah pencerminan konsep idea yang intinya dirumuskan dalam bentuk teks. Dari pengertian kata ṣaḥῑḥ atau istilah kritik ini, dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kritik matan hadis (naqd al-matn) dalam konteks ini ialah usaha untuk menyeleksi matan-matan ḥadῑṡ sehingga dapat ditentukan antara matan-matan hadis yang atau lebih kuat dan yang tidak. Ke-ṣaḥῑḥ-an yang berhasil diseleksi dalam kegiatan kritik matn tahap pertama ini baru pada tahap menyatakan keshahihan matn.24

22 Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.52

23 Masrukhin Muhsin, Studi Kritik Matn, h.8-9

24 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 47

(41)

Dari paparan tentang pengertian di atas terlihat bahwa pengertian tersebut lebih mengarah ke kritik hadis pada kritik sanad, hal itu wajar karena penkembangan kritik matn masih baru dikenal. Ilmu kritik matn hadis merupakan disiplin ilmu yang baru dikembangkan akibat persinggungan keilmuan dengan orientalis yang menghujat bahwa ulama hadis terdahulu mengabaikan kritik matn.25

D. Penjelasan Skema Sanad

untuk memperjelas dan permudah proses kegiatan al-I’tibȃr, sangat diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad bagi hadis yang akan diteliti. Adapun kegiatan tersebut mencakup perhatian khusus, namun sebelum dikemukakan skema sanadnya, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, dengan demikian skema akan lebih mudah disusun dan di fahami.

1. Pada skema I, yaitu sanad hadis kematian, tertulis di skema tersebut 2 riwayat, yaitu riwayat al-Thabarȃni.

2. Pada skema II, yaitu sanad hadȋth pertanyaan dan siksa kubur, tertulis di skema tersebut 2 riwayat yaitu, yaitu riwayat Imam Abu Daȗd dan Imam Ahmad bin Hanbal.

3. Lambang periwayatan yang digunakan dari masing-masing ketiga tema hadis yang ada, berikut dengan hadis-hadis pendukungnya, menggunakan lambang

،نابرخأ ،انث ،انثدح ،نع ،لاق

sedangkan lambang

ح

,26 terdapat pada skema hadis riwayat Imam Abu Dawūd.

25 Amar Fathan, Naqdu Matni al-Hadis 'Inda al-Shahabah: Al-Sayyidah 'A'isyah Radhiyallhu anha Namudzajan, h. 88.

26 Muhammad Shuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 57 (tahwil isanad ila inad al-Ukhra) artinya perpindahan dari sanad yang satu ke sanad yang lain.

(42)

27 BAB III

KH HASYIM ASYARI DAN KITAB AL- RISĀLAH AHLI SUNNAH WA AL-JAMĀ’AH FĪ HADIS AL-MAUTA WA ASHRĀT AL-SĀ’AH A. Riwayat Kehidupan KH. Hasyim Asyari

Haḍrat al-Shaikh K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal 14 Februari 1871 di Jombang. Beliau ialah pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nadhlatul Ulama (NU). Haḍrat al-Shaikh K.H. Hasyim Asy’ari juga merupakan pahlawan nasional Indonesia. Jasanya terhadap perjuangan Indonesia sangat dimuliakan terutama ketika beliau memfatwakan “Revolusi Jihad’. Pada tanggal 22 Oktober 1945.1

Haḍrat al-Syaikh, itulah sebutannya. Ia mendapatkan gelar ‘Haḍrat al- Syaikh’ sejak beliau di Makkah. Ia menyandang gelar tersebut dikarenakan beliau telah menguasai secara mendalam berbagai disiplin keilmuwan Islȃm, juga hafal kitab-kitab hadȋth yang tebal seperti Kutub al-Sittah yang meliputi Ṣahȋh Bukhȃrȋ, Ṣahȋh Muslim, Sunan Abȗ Dȃud, Sunan al-Turmudzȋ, Sunan al-Nasa’ȋ Sunan Ibnu Mȃjah.2 Dialah Rȃis Akbar NU pertama sebelum diubah Namanya menjadi Rāis ‘Ām. KH. Hasyim Asy’ari menjadi guru hampir seluruh kiyai besar di Jawa. Dia adalah kiyainya para kiyai di Jawa.

Sebagai Kiyai yang ahli hadis, KH. Hasyim Asy’ari memiliki otoritas untuk mengajarkan kitab Ṣahȋh al-Bukhȃrȋ3, kitab hadis paling otoratif di kalangan Sunni. Nama besar NU dan pesantren Tebuireng Jombang tidak dapat dilepaskan dari sosok KH. Hasyim Asy’ari.4

1 Tim Baitul Mukminin, Mengenal Ulama Nusantara, (Jakarta:Erlangga), 2019, h.

110

2 Tim Baitul Mukminin, Mengenal Ulama Nusantarah, h. 110

3 Sahih bukhari merupakan karya dari Abu Abdillah M. Ibn Ismail al-Bukhari (Imam Bukhari)

4 Tim Baitul Mukminin, Mengenal Ulama Nusantara, h. 111

(43)

Setiap mengaji hadis kepada Shaikh mahfuẓ al-Termasi, butiran sanad yang diriwayatkan kepadanya hingga ṣȃhibu al-sharȋ’ah, Nabi Muhammad Saw. Dibacakan, Shaikh Mahfuz al-Termasi merupakan guru umdahnya KH.

Hasyim Asy’ari selama di Harȃmain. Ia dikenal menguasai berbagai disiplin keilmuwan, terlebih olmu hadȋth. Oleh sebab itu, maka tidak mengherankan jika ia mempunyai murid yang ahli di dalamnya, yang melanjutkan tongkat estafetnya dalam mengemban amanah mengajar hadȋs Nabawȋ. Sebagai perwakilan dari muridnya yang menonjol di bidang hadis adalah Syaikh Umar Hamdan al-Mahrusi disebut sebagai Muhaddisu al-harȃmain ( pakar hadȋth di Harȃmain) dan KH. Hasyȋm Asy’ari dikenal sebagai pakar hadis yang ada di Nusantara pada zamannya.

KH. Hasyim Asy’ari belajar di Haramain kurang lebih tujuh tahun.

Karena prestasinya yang unggul, akhirnya ia ditunjuk sebagai salah seorang pengajar di Haramain. Ia dikenal dengan ketelitian dan keberaniannya jika dihadapkan dengan sebuah keilmuwan yang memusykilkan dirinya.5

a. Wafat

Hadratussyaikh K.H. Hashim Ash’ari wafat pada pukul 03.00 pagi tanggal 25 Juli 1947 bertepatan dengan 07 Ramadhan 1366 H di Jombang Jawa Timur. Saat itu beliau berumur 72 tahun. Beliau wafat setelah sempat mengimami shalat Tarawih.

Atas jasa-jasanya, Pemerintah RI menganugerahi Rȃis Akbar Nadhlatul Ulama ini sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 294 tahun 1964 tertanggal 17 November 1964.6

5 Amirul ulum, Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari al-Jombangi:

Matahari dari Jombang (Yogyakarta: Global Press, 2016), h. 15-17

6 Tim Baitul Mukminin, Mengenal Ulama Nusantara, h. 120

(44)

b. Kontribusi KH. Hasyim Asy’ari

Di antara kontribusi beliau ialah mendirikan pesantren Tebuireng tahun 1899 sepulang dari Makkah. Pesantren ini menjadi pesantren terbesar di Jawa. Beliau memilih desa Tebuireng sebagai tempat untuk mendirikan pesantren dikarenakan saat itu mengalami perubahan nilai agama akibat penanaman tebu dengan system sewa yang akhirnya melahirkan, kebiasan berjudi, mabuk-mabukan, perzinaan, dan perampokan. Dengan alasan inilah beliau mendirikan pesantren ditempat tersebut.7

Pondok pesantren Tebuireng didirikan Bersama rekan-rekan seperjuangan yaitu K.H Abbas Buntet Pesantren Cirebon, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, Kiai Abdullah dan beberapa kiai lainnya berjuang mengatasi segala kesulitan dan ancaman dari pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran Pendidikan Islam di Tebuireng. Kemudian KH.Hasyim Asyari juga mempunyai kontribusi besar yaitu mendirikan organisasi Nahḍotul ‘Ulama.

B. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari

Karya-karya yang ditulis KH. Hasyim Asy’ari cukup banyak, diantara:

1. Kitab hadis karya KH. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah Risȃlah Ahli Sunnah Wa al-Jamȃ’ah Fi Hadis Al-Mauta Wa Ashrȃṭ al-Sȃ’ah wa bayan Mafhumi al-Sunnah wa al-Bid’ah (Paradigma Ahlussunah wal Jama’ah:

Pembahasan tentang orang-orang mati, Tanda-tanda zaman, dan Penjelasa tentang Sunnah dan Bid’ah). Kitab ini ditulis antara tahun 1920-1930an.

2. al-Nȗrul Mubȋn fi Mahabbati Sayyid al-Mursalȋn (cahaya yang Terang tentang Kecintaan pada Utusan Tuhan (Muhammad SAW).

3. Adab al-Alim wa al-Muta’alim fi maa yahtȃja Ilayhi al-Muta’allim fi Ahwali Ta’alumihi wa mȃ Ta’limihi (Etika Pengajar dan Pelajar dalam hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pelajar selama belajar)

7 Tim Baitul Mukminin, Mengenal Ulama Nusantara, h. 115

(45)

4. Al-Tibyan: fi al-Nahyi ‘an Muqota’til Arham wa al-‘aQōrib wa al-Ikhwȃn (Penjelasan tentang larangan memutus tali silaturahmi, tali persaudaraan, dan tali persahabatan).

5. Muqaddimah al-Qanȗn al-Asasili Jam’iyyȃt Nahdlatul Ulama.

6. Dalam kitab Risalah fi Ta’kȋd al-Akhdzi bi Maẓhab al-A’immah al- Arba’ah, ia mengikuti manhaj para imam yang empat. Hal itu tentunya memiliki makna khusus baginya.

7. Mawaiẓ adalah kitab yang bisa menjadi solusi bagi para pegiat NU di masyarakat. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ jam’iyyat Nahdlatul Ulama adalah kitab yang berisi 40 hadits pilihan yang menjadi pedoman bagi warga NU. Artinya, hidup ini tidak akan lepas dari rintangan-tantangan.8

C. Profil Kitab

a. Motivasi Penulisan Kitab

Berawal dari tujuan kitab yang agung ini, yaitu yang memuat tujuan- tujuan yang berfaedah dan pembahasan-pembahasan yang banyak untuk manfaat bagi kamu muslimin yang membutuhkan penguatan akidah-akidah beragama yakni Ahlussunah wa al-Jamȃ’ah (Aswaja). Di dalam kitab ini juga menegaskan mengenai penolakan terhadap kesesatan para ahli bid’ah bagi pendusta dan menjelaskan syubhat-syubhat para penyeleweng lagi tersesat.

Lebih spesifiknya kitab ini merupakan argumentasi dan dalil; keterangan dan penjelasan; di dalamnya terdapat kejayaaan dan kemulian bagi umat Islam;

juga terdapat keselamatan dan ketentraman; karena didalamnya penulis (KH.Hasyim Asy’ari) telah menetapkan akidah-akidah yang benar menurut thariqah Ahlussunnah wa al-Jamȃ’ah.

8 Tim Baitul Mukminin, Mengenal Ulama Nusantara, 2019, h. 119-120

Referensi

Dokumen terkait

Studi Kritis atas Buku As-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-

Buku as-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al- Hadīś dan Pengaruhnya di Kalangan Umat Islam .... METODE KRITIK NALAR DALAM KRITIK MATAN

STUDI KUALITAS SANAD HADIS BAB GÎBAH KITAB IRSYÂD AL- `IBÂD ILÂ SABÎL AL-RASYÂD (Karya: Syaikh Zain al-Dîn al-Malîbârî).. Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua

Dalam prakatanya, al-Sayyid Sâbiq menyatakan bahwa kitab Fiqh al-Sunnah ini memuat permasalahan fiqh Islam yang disertai dalil yang jelas dari al-Qur’an, Sunnah yang

Setelah dilakukan penelitian sanad terhadap hadis-hadis akhlak kepada kedua orang tua yang terdapat di dalam kitab al-Akhlāq li-al-Banīn karya Umar bin Ahmad

Antara khidmat yang beliau berikan kepada karya tasawuf ialah mentakhrijkan hadis-hadis kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din oleh Imam al- Ghazali.. Namun, al-Zirikli hanya menyebut

Dalam kitab al-Hats ‘ala Hifz al-‘Ilm wa Dzikr Kibar al-Huffaz Ibnu al-Jawzi secara khusus mencatat beberapa pengakuan dari para penghafal hadis tentang jumlah hadis yang mereka

Justeru kajian ini bertujuan untuk menganalisis salasilah sanad kitab turath hadis yang terkandung dalam sebuah karya AWM penting serta jarang-jarang dapat dihasilkan di nusantara pada