• Tidak ada hasil yang ditemukan

GARAM-GARAM LOGAM ALKALI TANAH SILIKAT NANO PORI SEBAGAI ADSORBEN ASAM LEMAK BEBAS DARI MINYAK KELAPA SAWIT KASAR DISERTASI INDRA MASMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GARAM-GARAM LOGAM ALKALI TANAH SILIKAT NANO PORI SEBAGAI ADSORBEN ASAM LEMAK BEBAS DARI MINYAK KELAPA SAWIT KASAR DISERTASI INDRA MASMUR"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)GARAM-GARAM LOGAM ALKALI TANAH SILIKAT NANO PORI SEBAGAI ADSORBEN ASAM LEMAK BEBAS DARI MINYAK KELAPA SAWIT KASAR. DISERTASI. INDRA MASMUR 118103002. PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(2) GARAM-GARAM LOGAM ALKALI TANAH SILIKAT NANO PORI SEBAGAI ADSORBEN ASAM LEMAK BEBAS DARI MINYAK KELAPA SAWIT KASAR. DISERTASI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Program Ilmu Kimia dibawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, dipertahankan pada tanggal 14, bulan 08, tahun 2017, di Medan, Sumatera Utara. INDRA MASMUR 118103002. PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(3) PERNYATAAN ORISINALITAS. GARAM-GARAM LOGAM ALKALI TANAH SILIKAT NANO PORI SEBAGAI ADSORBEN ASAM LEMAK BEBAS DARI MINYAK KELAPA SAWIT KASAR. DISERTASI. Saya menyatakan bahwa disertasi ini adalah benar hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.. Medan,. Juli 2017. INDRA MASMUR NIM: 118103002. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(4) PENGESAHAN DISERTASI. Judul Disertasi. : Garam-Garam Logam Alkali Tanah Silikat Nano Pori Sebagai Adsorben Asam Lemak Bebas Dari Minyak Kelapa Sawit Kasar Kategori : Disertasi Nama Mahasiswa : Indra Masmur Nomor Induk Mahasiswa : 118103002 Program Studi : Doktor (S3) Ilmu Kimia Fakultas : MIPA – Universitas Sumatera Utara. Disetujui Oleh Komisi Pembimbing Tanggal Lulus : 01 Pebruari 2017. Promotor. Prof. Dr. Seri Bima Sembiring, M.Sc NIP. 19490718 197603 1 001. Co-promotor. Co-promotor. Dr. Nimpan Bangun, M.Sc NIP. 19501222 198003 1 002. Prof. Dr. Jamaran Kaban, M.Sc NIP. 19510630 198002 1 001. Ketua Program Studi S3 Ilmu Kimia. Dekan. Prof. Dr. Tamrin, M.Sc NIP. 19600704 198903 1 003. Dr. Kerista Sebayang, M.S NIP. 19580623 198601 1 001. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(5) PROMOTOR Prof. Dr. Seri Bima Sembiring, M.Sc Guru Besar Ilmu Kimia Bidang Kimia Anorganik Fakultas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. CO-PROMOTOR Dr. Nimpan Bangun, M.Sc Lektor Kepala Bidang Kimia Anorganik Fakultas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. CO-PROMOTOR Prof. Dr. Jamaran Kaban, M.Sc Guru Besar Bidang Kimia Organik Fakultas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(6) Panitia Penguji: Ketua Komisi Penguji: Prof. Dr. Seri Bima Sembiring, M.Sc Guru Besar Bidang Kimia Anorganik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Anggota Komisi Penguji 1. Dr. Nimpan Bangun, M.Sc Lektor Kepala Bidang Kimia Anorganik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara 2. Prof. Dr. Jamaran Kaban, M.Sc Guru Besar Bidang Kimia Organik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara 3. Prof. Basuki Wirjosentono, M.S., Ph.D Guru Besar Bidang Kimia Polimer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara 4. Prof. Dr. Tonel Barus Guru Besar Bidang Kimia Organik Bahan Alam Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara 5. Prof. Dr. Yunazar Manjang Guru Besar Bidang Kimia Organik Bahan Alam Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(7) Telah diuji dan dinyatakan lulus pada Tanggal : 14 Agustus 2017. PANITIA PENGUJI DISERTASI Pimpinan Sidang Ketua Anggota. : Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum : Prof. Dr. Seri Bima Sembiring, M.Sc : Dr. Nimpan Bangun, M.Sc Prof. Dr. Jamaran Kaban, M.Sc Prof. Basuki Wirjosentono, M.S., Ph.D Prof. Dr. Tonel Barus Prof. Dr. Yunazar Manjang. Rektor USU USU Medan USU Medan USU Medan USU Medan USU Medan UNAND Padang. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(8) KATA PENGANTAR. Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat, anugrah dan kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Pendidikan Doktor dengan penelitian disertasi yang berjudul Garam-Garam Logam Alkali Tanah Silikat Nano Pori Sebagai Adsorben Asam Lemak Bebas Dari Minyak Kelapa Sawit Kasar. Pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan Program Doktor. Bapak Dr. Kerista Sebayang, M.S selaku Dekan FMIPA USU yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan Doktor Kimia, Bapak Prof. Dr. Tamrin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu Kimia Pascasarjana dan Prof. Dr. Jamaran Kaban, M.Sc selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Kimia Pascasarjana sekaligus sebagai Co-Promotor yang telah memberikan petunjuk dan arahan dalam mengikuti pendidikan Doktor Kimia. Bapak Prof. Dr. Seri Bima Sembiring, M.Sc selaku Promotor, Bapak Dr. Nimpan Bangun, M.Sc dan Bapak Prof. Dr. Jamaran Kaban, M.Sc selaku Co-Promotor yang memberikan dorongan, bimbingan, saran dan kritik yang membangun dalam menyelesaikan penelitian dan disertasi ini. Seluruh staf pengajar Sekolah Pascasarjana Ilmu Kimia Universitas Sumatera Utara yang telah membagi pengalaman dan ilmu serta memotivasi sehingga dapat menyelesaikan pendidikan Program Doktor. Kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Indonesia melalui Dirjen DIKTI atas program beasiswa BPPS untuk kesempatan dan dukungan materi dalam menempuh pendidikan Doktor Kimia. Kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungan dalam pelaksanaan penelitian ini terutama kepada Kepala Laboratorium Kimia Anorganik, Dr. Nimpan Bangun, M.Sc beserta seluruh staf dan asisten, Kepala Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia FMIPA USU, Dr. Mimpin Ginting, M.S beserta seluruh staf dan asisten khususnya Nabila Karina Putri dan Hardy Shuwanto yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini. Kepada PT. MUSIM MAS Medan untuk analisa GC dan PT. Vanadia Utama Jakarta untuk analisa SEM-EDX.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(9) Segenap keluarga khususnya istri tersayang Hestina Br Ginting beserta anakanak Marck Riand TieShan Tarigan dan Epril Darin TieShan Tarigan yang telah memberikan dukungan moril maupun material dalam penyelesaian pendidikan Doktor. Ucapan terima kasih saya sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta dan tersayang Alm. Bapak P. Tarigan dan Ibu M. Br Sinukaban serta Bapak dan Ibu mertua Alm. K. Ginting dan P. Br Bangun yang turut memberi dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan pendidikan Program Doktor. Kepada seluruh keluarga besar, Kaka tua Thedosius Pinem/Salome Br Tarigan, Kaka tengah: Alm. Rajin Pandia/Cahaya. Br. Tarigan,. Jasa. Tarigan/Nurpina. Br. Ginting,. Daniel. Tarigan/Agustina, Dartin Tarigan/Irama Br Purba, Amos Tarigan/Amanita Br Ginting dan Kaka tua Johanes Ginting/E. Br Bukit, Kaka tengah Alm. Adrianto Ginting, Marali Harahap/Elisa Br Ginting dan Dani Tarigan/Erika Agustina Br Ginting. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama teman seangkatan yang telah mendukung penulis untuk menyelesaikan pendidikan Doktor Kimia, kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa menyertai kita semua.. Medan, Penulis. Juli 2017. Indra Masmur. ii. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(10) RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 5 Nopember 1976 di desa Sikeben Kecamatan Sibolangit sebagai anak terakhir dari tujuh bersaudara, anak dari Bapak dan Ibu tercinta Alm. P Tarigan dan M. Br Sinukaban. Penulis menjalani pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Sikeben Kabupaten Deli Serdang tamat tahun 1989, SMP Negeri Sikeben tamat tahun 1992 dan sekolah menengah atas di SMA Negeri Pancur Batu tamat tahun 1995. Penulis melanjutkan pendidikan Perguruan Tinggi Jurusan Kimia FMIPA USU tamat pada tahun 2000 dan melanjutkan Pasca Sarjana USU Jurusan Ilmu Kimia dan menyelesaikan pendidikan tahun 2002. Pada tahun 2011 penulis mendapat kesempatan mengikuti Program Doktor Ilmu Kimia FMIPA USU melalui program beasiswa pendidikan BPPS yang diselenggarakan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Indonesia melalui Dirjen DIKTI.. iii. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(11) GARAM-GARAM LOGAM ALKALI TANAH SILIKAT NANO PORI SEBAGAI ADSORBEN ASAM LEMAK BEBAS DARI MINYAK KELAPA SAWIT KASAR ABSTRAK. Asam lemak bebas (ALB) dari minyak kelapa sawit kasar (CPO) diadsorpsi dengan adsorben logam alkali tanah silikat (M-silikat: M = Mg, Ca, Sr dan Ba) dalam pelarut etanol dengan menggunakan metode batch. Adsorben dihasilkan dari reaksi garam-garam klorida logam alkali tanah dan Na2SiO3. Padatan putih logam alkali tanah silikat yang dihasilkan kemudian dipanaskan pada suhu 800oC selama 3 jam untuk memperbesar porositas. Adsorben yang dihasilkan dikarakterisasi dengan menggunakan SEM-EDX, XRD dan BET. Spektrum EDX dari SEM-EDX menunjukkan semua elemen dari adsorben, spektrum XRD menunjukkan bahwa adsorben memiliki struktur crystobalite. Porositas adsorben dihitung dengan metode BET menunjukkan bahwa porositas adsorben berada pada kisaran 2,0844-2,0969 nm sebagai nano pori dari nanopartikel. Semua adsorben digunakan untuk mengadsorpsi ALB dari empat jenis CPO yang masing-masing mengandung ALB sebesar 4,79%, 7,3%, 10,37% dan 13,34%. Perbandingan adsorben dan CPO yang digunakan untuk mengadsorpsi ALB dari CPO adalah 1:1, 1:2 dan 1:3, dengan waktu adsorpsi selama 1 jam. Adsorpsi maksimum ALB dari CPO ditunjukkan oleh adsorben Ca-silikat antara 69,88-94,78%, diikuti Sr-silikat antara 52,07-93,32%, Mg-silikat antara 49,3474,55% sedangkan adsorpsi paling rendah ditunjukkan oleh adsorben Ba-silikat sebesar 39,53-79,77%. Kata kunci : Asam lemak bebas, Minyak kelapa sawit kasar, Adsorpsi, Adsorben, Logam alkali tanah silikat.. iv. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(12) NANO POROUS ALKALINE EARTH METAL SALTS SILICATES AS FREE FATTY ACID ADSORBENTS FROM CRUDE PALM OIL ABSTRACT. Free fatty acids (FFA) from Crude Palm Oil (CPO) have been adsorbed by alkaline earth metal silicate (M-silicate : M = Mg, Ca, Sr and Ba) adsorbents in ethanol using batch method. The adsorbents were prepared from the chloride salts of alkaline metals and Na2SiO3. The resulting white solid of the alkaline earth metal silicates were then heated at 800oC for 3 hours to enlarge their porosities. All adsorbents were characterized by SEM-EDX, XRD and BET. The EDX spectrum of SEM-EDX showed the appearance of all elements in the adsorbents, and the XRD spectrum of all adsorbents showed that they have crystobalite structure. The porosity of the adsorbents calculated by BET method showed that the porosities of the adsorbents range from 2.0844 - 2.0969 nm as nano pore from nanoparticle. All the adsorbents were used to adsorb the FFA from four tipe CPO each containing 4.79%, 7.3%, 10.37% and 13.34% of FFA. The ratio of adsorbent to CPO to be used in adsorption of FFA from CPO were made 1:1, 1:2 and 1:3, with adsorption time of 1 hour. We found that the maximum adsorption of FFA from CPO was given by Casilicate adsorbent which was between 69.88-94.78%, followed Sr-silcate between 52,07-93,32%, Mg-silicate between 49,34-74,55% while the lowest adsorption was shown by Ba-silicate adsorbent which was 39,53-79,77%. Keywords : FFA, CPO, Adsorption, Adsorbent, Alkaline earth metal silicate.. v. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(13) DAFTAR ISI. Halaman i iii iv v vi viii ix xi xii. KATA PENGANTAR RIWAYAT HIDUP ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR SINGKATAN BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1.2. Permasalahan 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Manfaat Penelitian 1.5. Lokasi Penelitian 1.6. Metodologi Penelitian. 1 3 3 3 4 4. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit 2.2. Pemurnian Minyak Kelapa Sawit 2.3. Adsorpsi 2.3.1 Adsorpsi Secara Batch 2.4. Adsorben 2.4.1 Aktivitas Adsorben 2.5. Desorpsi 2.6. Emulsi 2.7. Emulsifier 2.8. Pelarut 2.8.1 Pelarut polar 2.8.2 Pelarut non polar 2.9. Interaksi Van der Walls. 5 9 12 19 20 20 21 22 22 23 23 24 24. BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu 3.2. Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan 3.2.2 Alat 3.3. Prosedur Penelitian 3.3.1 Pembuatan Adsorben M-silikat 1, 2, 3 dan 4 3.3.2 Adsorpsi ALB dari CPO A, B, C dan D 3.4. Bagan Penelitian 3.4.1 Pembuatan Adsorben M-silikat 1, 2, 3 dan 4. 25 25 25 25 26 26 26 27 27 vi. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(14) 3.4.2 Adsorpsi ALB dari CPO A, B, C dan D BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pembuatan Adsorben M-silikat 1, 2, 3 dan 4 4.1.1 SEM (Scanning Electron Microscopy) 4.1.2 Analisis EDX (Energy Dispersive X-ray) 4.1.3 Analisis XRD (X-Ray Diffraction) 4.1.4 Analisis BET (Burnaur-Emmet-Teller) 4.2. Analisis ALB dari CPO 4.3. Adsorpsi ALB dengan Adsorben M-silikat 4.3.1 Adsorpsi ALB dengan Adsorben MgSiO3, 1 4.3.2 Adsorpsi ALB dengan Adsorben CaSiO3, 2 4.3.3 Adsorpsi ALB dengan Adsorben SrSiO3, 3 4.3.4 Adsorpsi ALB dengan Adsorben BaSiO3, 4 4.4. Perbandingan Adsorpsi Terhadap Variasi ALB 4.4.1 Perbandingan Adsorpsi 1 dengan Variasi ALB 4.4.2 Perbandingan Adsorpsi 2 dengan Variasi ALB 4.4.3 Perbandingan Adsorpsi 3 dengan Variasi ALB 4.4.4 Perbandingan Adsorpsi 4 dengan Variasi ALB 4.5. Perbandingan Adsorpsi Setiap ALB Terhadap Adsorben 4.5.1 Perbandingan Adsorpsi ALB CPO A terhadap Adsorben 4.5.2 Perbandingan Adsorpsi ALB CPO B terhadap Adsorben 4.5.3 Perbandingan Adsorpsi ALB CPO C terhadap Adsorben 4.5.4 Perbandingan Adsorpsi ALB CPO D terhadap Adsorben 4.6. Perbandingan Adsorpsi ALB Terhadap Adsorben 4.6.1 Perbandingan Adsorpsi ALB pada 0,5 g Adsorben 1, 2, 3 dan 4 4.6.2 Perbandingan Adsorpsi ALB pada 1 g Adsorben 1, 2, 3 dan 4 4.6.3 Perbandingan Adsorpsi ALB pada 1,5 g Adsorben 1, 2, 3 dan 4 4.7. Perbandingan Berat dan Molaritas Adsorben Terhadap ALB dari CPO. 28. 29 29 30 32 32 33 34 34 37 39 40 42 42 44 45 46 48 48 49 51 52 54 54 55 57 59. BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 5.2. Saran. 63 64. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN. 65 68. vii. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(15) DAFTAR TABEL. Nomor Tabel 2.1 2.2 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 4.15 4.16 4.17 4.18 4.19 4.20. Judul. Halaman. Komposisi Asam Lemak pada Minyak Kelapa Sawit Perbedaan Antara Adsorpsi Fisika dengan Adsorpsi Kimia Analisa Elementer Adsorben 1, 2, 3 dan 4 Analisa BET Adsorben 1, 2, 3 dan 4 Adsorpsi ALB pada 0,5 g CPO dengan adsorben 1 Adsorpsi ALB pada 0,5 g CPO dengan adsorben 2 Adsorpsi ALB pada 0,5 g CPO dengan adsorben 3 Adsorpsi ALB pada 0,5 g CPO dengan adsorben 4 Adsorpsi ALB Berdasarkan Berat Adsorben 1 Adsorpsi ALB Berdasarkan Berat Adsorben 2 Adsorpsi ALB Berdasarkan Berat Adsorben 3 Adsorpsi ALB Berdasarkan Berat Adsorben 4 Adsorpsi A Berdasarkan Variasi Adsorben dan Berat Adsorpsi B Berdasarkan Variasi Adsorben dan Berat Adsorpsi C Berdasarkan Variasi Adsorben dan Berat Adsorpsi D Berdasarkan Variasi Adsorben dan Berat Adsorpsi ALB pada 0,5 g CPO dengan Adsorben 1, 2, 3 dan 4 Adsorpsi ALB pada 1 g CPO dengan Adsorben 1, 2, 3 dan 4 Adsorpsi ALB pada 1,5 g CPO dengan Adsorben 1, 2, 3 dan 4 Perbandingan Adsorpsi ALB untuk Asumsi 5.0 mmol Adsorben Perbandingan Adsorpsi ALB untuk Asumsi 10.0 mmol Adsorben Perbandingan Adsorpsi ALB untuk Asumsi 15.0 mmol Adsorben. 8 14 31 33 35 37 39 41 42 44 46 47 49 50 52 53 55 56 58 59 60 61. viii. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(16) DAFTAR GAMBAR. Nomor Gambar 2.1 2.2. 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9. 3.1 3.2 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 4.15 4.16. Judul. Halaman. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Menurut Status Pengusaha di Indonesia, 1980-2013 a). Propinsi Sentra Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia, 2009-2013, b). Kabupaten Sentra Produksi Kelapa Sawit Sumatera Utara 2012 Perkembangan Produksi Minyak Sawit Status Pengusaha di Indonesia, 1980-2013 Kontribusi Rata-rata Produksi Minyak Sawit Status Pengusaha, Rata-rata 2009-2013 Buah kelapa sawit, menghasilkan jenis minyak CPO dan CPKO 8 Perkembangan Penggunaan Minyak Sawit Untuk Aplikasi Pangan dan Non Pangan Proses Pemurnian/Refining CPO Secara Kimia dan Fisika Gambar Adsorpsi dan Desorpsi Kurva hubungan antara kosentrasi solut pada larutan dan yang teradsorpsi (A) kurva konveks, (B) kurva garis lurus, (C) Kurva konkaf. Cs = kosentrasi zat yang teradsorpsi, Cm = konsentrasi zat dalam larutan Flowchart Pembuatan Adsorben M-silikat 1, 2, 3 dan 4 Flowchart Adsorpsi ALB dari CPO A, B, C dan D SEM Adsorben 1, 2, 3 dan 4 (3000 X) EDX Spektra Adsorben 1, 2, 3 dan 4 Difraktogram XRD Adsorben 1, 2, 3 dan 4 Kromatogram Gas Kromatografi CPO A, B, C dan D Perbandingan persentasi Adsorpsi ALB untuk Adsorben 1 Perbandingan persentasi Adsorpsi ALB untuk Adsorben 2 Perbandingan persentasi Adsorpsi ALB untuk Adsorben 3 Perbandingan persentasi Adsorpsi ALB untuk Adsorben 4 Perbandingan Adsorpsi ALB Berdasarkan Berat Adsorben 1 Perbandingan Adsorpsi ALB Berdasarkan Berat Adsorben 2 Perbandingan Adsorpsi ALB Berdasarkan Berat Adsorben 3 Perbandingan Adsorpsi ALB Berdasarkan Berat Adsorben 4 Perbandingan Adsorpsi A Berdasarkan Variasi Adsorben dan Berat Perbandingan Adsorpsi B Berdasarkan Variasi Adsorben dan Berat Perbandingan Adsorpsi C Berdasarkan Variasi Adsorben dan Berat Perbandingan Adsorpsi D Berdasarkan Variasi Adsorben dan Berat. 5. 6 7 7. 9 10 13. 16 27 28 30 31 32 33 36 38 40 41 43 45 46 47 49 50 52 53. ix. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(17) 4.17 4.18 4.19. Perbandingan Adsorpsi ALB dalam 0,5 g Adsorben 1, 2, 3 dan 4 Perbandingan Adsorpsi ALB dalam 1 g Adsorben 1, 2, 3 dan 4 Perbandingan Adsorpsi ALB dalam 1,5 g Adsorben 1, 2, 3 dan 4. 55 56 58. x. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(18) DAFTAR LAMPIRAN. Nomor Lampiran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12. Judul Analisis GC CPO A Analisis GC CPO B Analisis GC CPO C Analisis GC CPO D Analisis XRD Adsorben 1 Analisis XRD Adsorben 2 Analisis XRD Adsorben 3 Analisis XRD Adsorben 4 Analisis BET Adsorben 1 Analisis BET Adsorben 2 Analisis BET Adsorben 3 Analisis BET Adsorben 4. Halaman 68 69 70 71 72 75 78 81 84 86 88 90. xi. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(19) DAFTAR SINGKATAN. M-silikat ALB FFA CPO CPKO PPO SNI PR PBN PBS SEM EDX XRD BET BJH GC MgSiO3 CaSiO3 SrSiO3 BaSiO3 1 2 3 4 A B C D. = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =. Logam Alkali Tanah Silikat Asam Lemak Bebas Free Fatty Acid Crude Palm Oil Crude Palm Kernel Oil Processed Palm Oil Standar Nasional Indonesia Perkebunan Rakyat Perkebunan Besar Negara Perkebunan Besar Swasta Scanning Electron Microscopy Energy Dispersive X-ray X-Ray Diffraction Burnaur-Emmet-Teller Barret-Joyner-Halenda Gas Chromatography Magnesium silikat Kalsium silikat Stronsium silikat Barium silikat MgSiO3 CaSiO3 SrSiO3 BaSiO3 CPO ALB 4,79% CPO ALB 7,35% CPO ALB 10,37% CPO ALB 13,34%. xii. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(20)    . BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Minyak kelapa sawit kasar (CPO/Crude Palm Oil) merupakan minyak nabati yang dihasilkan dari tanaman kelapa sawit yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Data statistik perkebunan 2013 – 2015 Dirjen Perkebunan menyatakan bahwa luas perkebunan sawit di Indonesia tahun 2013 mencapai 10,4 juta ha, terdiri dari 4,3 juta ha (42%) PR/perkebunan rakyat, 727 ribu ha (7%) PBN/perkebunan besar negara dan 5,3 juta ha (51%) PBS/perkebunan besar swasta dengan total produksi CPO mencapai 27,782 juta ton, dimana 20,58 juta ton (74%) diekspor dalam bentuk CPO 6,6 juta ton (23,7%), dan produk hilir (PPO/Processed Palm Oil) 13,99 juta ton (50,3%) (Dirjen Perkebunan, 2014). Produksi CPO menurut asosiasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) tahun 2014 sebesar 31,5 juta ton dan tahun 2015 naik menjadi 32,5 juta ton (GAPKI, 2016). Besarnya produksi CPO menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil (Rianto B, 2013) dan pengekspor terbesar CPO maupun turunannya yang banyak digunakan diberbagai industri pangan dan non pangan dimana pengolahan CPO menjadi turunannya sampai saat ini Indonesia baru mencapai 47 jenis produk turunan (Investor Daily, 2016; Kemenperin, 2015). Pengolahan buah kelapa sawit menjadi CPO dan produk turunannya dengan proses termal memerlukan biaya tinggi dan berdampak pada hilangnya berbagai kandungan berharga lainnya seperti β-karoten sebagai sumber vitamin A dan tokoferol sebagai sumber vitamin E terutama dalam proses deodorized. CPO sebagai produk awal dari pengolahan buah kelapa sawit memiliki kualitas yang beragam, dari yang sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI; ALB/asam lemak bebas < 5%) sampai dengan CPO ber-ALB tinggi (ALB > 5%). Kualitas buah sawit sangat mempengaruhi kualitas CPO, umumnya kualitas buah PBS dan PBN lebih baik dari. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(21) 2 .  . buah PR. Proses panen buah PR sering kali hanya didasarkan pada orientasi kebutuhan petani semata, buah yang belum matang, kelewat matang dan bahkan buah busuk (hasil panen lebih dari 1 hari atau lebih) dicampur menjadi satu. Pengolahan yang dilakukan mulai dari proses panen, transportasi sampai pada tahap pengolahan di pabrik umumnya membutuhkan waktu relatif lebih lama dibanding buah dari PBS dan PBN yang menjadi prioritas utama dari pabrik CPO. Hal ini menyebabkan mutu CPO yang dihasilkan dari buah PR lebih rendah dengan kandungan ALB > 5% (Amzul R, 2011, Rohani et al, 2006). Mengingat tingginya permintaan industri dan fluktuasi ketersediaan buah sawit maka kondisi buah yang kurang baik menjadi satu alternatif pemenuhan kebutuhan produksi dengan resiko kualitas CPO yang dihasilkan rendah dan memiliki kandungan ALB tinggi (> 5%). Keberadaan aturan SNI yang menetapkan kadar ALB < 5% mendorong terjadinya praktek pencampuran CPO ber-ALB tinggi (ALB > 5%) dengan CPO ber-ALB rendah (< 5%) untuk mendapatkan CPO campuran dengan ALB kurang dari 5%. Langkah pencampuran CPO bukanlah langkah yang tepat karena dapat menyebabkan perubahan fisikokimia CPO yang berakibat pada sulitnya pengolahan pada proses fraksinasi (Haq H., 2014). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas CPO yang dihasilkan dari perkebunan rakyat adalah dengan cara adsorpsi. Adsorpsi merupakan metode sederhana dengan biaya rendah dan adsorben dapat diregenerasi kembali (Qadeer R., 2002). Beberapa penelitian yang telah dilakukan antara lain: Menurunkan ALB CPO dengan menggunakan zeolit alam lampung menggunakan 2 metode, batch dan kolom. Hasil penelitian menunjukkan bahwa zeolit lampung melalui metode kolom dapat mengadsorpsi hingga 68,07% tetapi dengan menggunakan metode batch hanya dapat mengadsorpi sebesar 17,86% (Widi Astuti, dkk, 2006). Bangun dkk (2015) telah mengadsorpsi ALB dari CPO menggunakan adsorben berbasis garam silikat, magnesium silikat dan kalsium silikat. Dari kedua adorben tesebut ternyata kalsium silikat lebih baik mengadsorpsi ALB dari CPO dibanding dengan magnesium silikat. Dilaporkan bahwa kalsium silikat dapat menurunkan kadar ALB CPO dari 4,47% menjadi 0,3%. Magnesium silikat yang disintesis dari sekam padi dilaporkan memiliki kemampuan adsorpsi ALB dari CPO. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(22) 3 .  . sebesar 185 mg per gram adsorben (Clowutimon W, dkk, 2011), serta penggunaan magnesium silikat sebagai adsorben ALB dari biodiesel dilaporkan memiliki kemampuan sebesar 77,39% dengan kapasitas adsorpsi 52,57 mg per gram adsorben (Assawasaengrat P. 2015). Dalam desertasi ini dilaporkan mengenai adsorpsi ALB yang terkandung dalam 4 (empat) jenis CPO dengan kandungan ALB 4,79% (A), 7,35% (B), 10,37% (C) dan 13,34% (D) menggunakan 4 (empat) adsorben garam silikat MgSiO3 (1), CaSiO3 (2), SrSiO3 (3) dan BaSiO3 (4) pada perbandingan variasi berat antara CPO dan adsorben adalah 1:1, 1:2 dan 1:3 dengan rata-rata total persentasi adsorpsi masing-masing adsorben sebesar 63,20%, 81,47%, 76,59% dan 60,06%. 1.2 Permasalahan Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah adsorben garam logam alkali tanah silikat 1, 2, 3 dan 4 dapat menurunkan konsentrasi ALB yang terkandung dalam CPO A, B, C ataupun D serta bagaimana kemampuan adsorpsinya. 2. Apakah perbedaan persentasi kandungan ALB dari CPO A, B, C dan D akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan adsorben 1, 2, 3 dan 4 untuk mengadsorpsi ALB dari CPO. 1.3 Tujuan Penelitian Untuk menurunkan kadar ALB dalam CPO dengan menggunakan adsorben M-silikat dengan metode adsorpsi sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan mutu CPO yang rendah. 1.4 Manfaat Penelitian Pencampuran CPO ber-ALB tinggi dan rendah adalah salah satu cara yang relatif mudah dan murah dalam mendapatkan kualitas 5% sesuai dengan SNI, namun hal ini bukanlah solusi yang baik karena dapat mempengaruhi sifat fisikokimia dari CPO campuran secara keseluruhan. Untuk itu penggunaan adsorben M-silikat dapat memberikan salah satu solusi dalam menurunkan kandungan ALB terutama pada CPO yang bermutu rendah (ALB > 5%).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(23) 4 .  . 1.5 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik FMIPA USU, analisa SEM-EDX dilakukan di PT. Vanadia Utama Jakarta, XRD dilakukan di Laboratorium FMIPA UNIMED, analisa GC dilakukan di PT. MUSIM MAS Medan dan analisa pori dengan BET dilakukan di LIPI. 1.6 Metodologi Penelitian Adsorben garam-garam M-silikat disintesa dari garam-garam klorida (M= Mg, Ca, Sr, Ba) dengan natrium silikat (Na2SiO3), dimana dilakukan secara destruksi diikuti pencucian hasil destruksi. Adsorben yang diperoleh dianalisis secara SEM, XRD dan BET, selanjutnya CPO diadsorpsi dengan adsorben M-silikat untuk menurunkan kadar ALB, dimana kadar ALB sebelum dan sesudah adsorpsi akan ditentukan secara metode GC dan titrasi. . UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(24) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) berasal dari Nigeria, Afrika Barat, sampai saat ini minyak kelapa sawit merupakan salah satu jenis minyak yang diperdagangkan secara global dengan standart mutu dan keamanan pangan yang telah diatur oleh FAO dan WHO. Kelapa sawit banyak berkembang di Indonesia, Malaysia, Thailand dan Papua Nugini, tumbuh subur diluar daerah asalnya (Fauzi, 2004). (000 Ha) 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000. PR. PBN. PBS. 2013*). 2010. 2007. 2004. 2001. 1998. 1995. 1992. 1989. 1986. 1983. 1980. 0. Indonesia. *PR= Perkebunan rakyat, PBN= Perkebunan besar negara, PBS= Perkebunan besar swasta. Gambar 2.1 Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Menurut Status Pengusaha di Indonesia, 1980-2013 (Sumber, Kemtan, 2014). UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(25) 6. Perkembangan kelapa sawit di Indonesia diawali dengan masuknya 4 bibit kelapa sawit pada tahun 1948 yang berasal dari Bourbon (Mauritius) dan Amsterdam, penanaman pertama dilakukan di Kebun Raya Bogor dan selanjutnya dikembangkan ke daerah Deli Sumatera Utara (Risza, 1994). Minyak dari buah kelapa sawit terdiri dari minyak kelapa sawit (CPO/Crude Palm Oil) dan minyak inti kelapa sawit (CPKO/Crude Palm Kernel Oil) (Fox, et al, 1982). Produksi CPO Indonesia tahun 2012 dari luas areal tanaman sawit sebesar 9,5 juta hektar mencapai 25,4 juta ton (Nurmayanti, 2013). Data statistik perkebunan 2013 - 2015 Dirjen Perkebunan menyatakan bahwa luas perkebunan sawit di Indonesia tahun 2013 mencapai 10,4 juta ha yang terdiri dari 4,3 juta ha (42%) PR/perkebunan rakyat 727 ribu ha (7%) PBN/perkebunan besar negara dan 5,3 juta ha (51%) PBS/perkebunan besar swasta dan total produksi CPO mencapai 27,782 juta ton dimana 20,58 juta ton (74%) diekspor dalam bentuk CPO 6,6 juta ton (23,7%), dan produk hilir (Processed Palm Oil/PPO) 13,99 juta ton (50,3%) (Dirjen Perkebunan, 2014). Produksi CPO Indonesia tahun 2014 berdasarkan asosiasi GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) sebesar 31,5 juta ton sedangkan produksi tahun 2015 naik sebesar 3% menjadi 32,5 juta ton (GAPKI, 2016). 24.74% 5.77% 26.31%. 7.12%. 10.00%. 10.02%. 16.05%. Riau. Sumatera Utara. Kalimantan Tengah. Sumatera Selatan. Jambi. Kalimantan Barat. Lainnya. a. b. Gambar 2.2 a). Propinsi Sentra Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia, 20092013, b). Kabupaten Sentra Produksi Kelapa Sawit Sumatera Utara 2012 (Sumber, Kemtan, 2014). UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(26) 7. CPO bersifat setengah padat pada suhu kamar dengan titik cair antara 40700C, berwarna kuning jingga karena mengandung pigmen karotenoida. Berdasarkan perbedaan titik cairnya CPO dibagi menjadi 2 (dua) fraksi besar, yaitu fraksi olein (ringan) berbentuk cair yang mengandung asam lemak jenuh dan fraksi stearin (berat) yang berbentuk padat pada suhu kamar mengandung asam lemak tak jenuh (Serlahwaty, 2007).. (000 Ton) 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000. PR. PBN. PBS. 2013*). 2010. 2007. 2004. 2001. 1998. 1995. 1992. 1989. 1986. 1983. 1980. 0. In do n esia. Gambar 2.3 Perkembangan Produksi Minyak Sawit Status Pengusaha di Indonesia, 1980-2013 (Sumber, Kemtan, 2014). 36.80%. 54.35%. 8.85%. PR. PBN. PBS. Gambar 2.4 Kontribusi Rata-rata Produksi Minyak Sawit Status Pengusaha, Ratarata 2009-2013 (Sumber, Kemtan, 2014). UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(27) 8. Minyak kelapa sawit selain mengandung komponen utama trigliserida sebesar 94% juga mengandung ALB pada kisaran 3-5%, serta komponen non trigliserida yang jumlahnya sangat kecil sekitar 1% termasuk karotenoida, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida dan berbagai komponen trace element. Minyak kelapa sawit mengandung lemak, asam lemak, karotenoida dan tokoferol dimana komponen penyusun minyak sawit terdiri atas trigliserida dan non trigliserida (Tambun, 2002). Asam lemak penyusun trigliserida terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh, asam lemak jenuh yang terkandung berkisar 47-48% mempunyai ikatan tunggal, sedangkan asam lemak tidak jenuh terkandung berkisar 52-53% yang mempunyai ikatan rangkap (Kuswardhani, 2007). Gambar 2.5 Buah kelapa sawit, menghasilkan jenis minyak CPO dan CPKO (sumber, Hariyadi P, 2014). Tabel 2.1 Komposisi Asam Lemak pada Minyak Kelapa Sawit Asam Lemak * Asam Laurat (C12:0) Asam Miristat (C14:0) Asam Palmitat (C16:0) Asam Palmitoleat (C16:1) Asam Stearat (C18:0) Asam Oleat (C18:1) Asam Linoleat (C18:2) Asam Linolenat (C18:3) Asam Arakidonat (C20:0). % Terhadap Asam Lemak Total Kisaran Rata-rata 0,1-1,0 0,2 0,9-1,5 1,1 41,8-45,8 44,0 0,1-0,3 0,1 4,2-5,1 4,5 37,3-40,8 39,2 9,1-11,0 10,1 0,0-0,6 0,4 0,2-0,7 0,4. *) Asam lemak dinyatakan dengan notasi Cm:n, dimana m adalah panjang karbon, dan n adalah jumlah ikatan rangkap. (sumber, Hariyadi P, 2014).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(28) 9. .. Gambar 2.6 Perkembangan Penggunaan Minyak Sawit Untuk Aplikasi Pangan dan Non Pangan (Sumber, Haryadi P, 2014) 2.2 Pemurnian Minyak Kelapa Sawit Proses pemurnian merupakan hal yang perlu dilakukan dalam produksi edible oil dan produk berbasis lemak yang bertujuan untuk menghilangkan pengotor dan komponen lain yang akan mempengaruhi kualitas dari produk jadi. Kualitas produk yang perlu diawasai antara lain bau, stabilitas daya simpan dan warna produk. Dari sudut pandang industri tujuan pemurnian adalah untuk merubah minyak kasar/mentah menjadi edible oil yang berkualitas dengan cara menghilangkan pengotor yang tidak diinginkan sampai level yang diinginkan tercapai dengan cara paling efesien. Pengotor tersebut mungkin diperoleh selama proses dihulu yaitu ekstraksi, penyimpanan atau transportasi minyak kasar atau mentah dari lapangan ke pabrik (Pahan, 2007). Pemurnian atau pembersihan minyak sawit ada 2 (dua) tipe dasar teknologi yang dapat diterapkan yaitu pemurnian secara kimia (alkali) dan pemurnian secara fisika. Perbedaan antara kedua tipe tersebut didasarkan pada jenis bahan kimia yang digunakan dan cara penghilangan ALB. Pembersihan secara fisika pada prakteknya menggantikan teknik pembersihan menggunakan bahan kimia (alkali) karena tingginya ALB pada minyak sawit yang dibersihkan dengan cara kimia (Sontag, 1982).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(29) 10 Crude Palm Oil (CPO) Physical Refining. Chemical Refining. Degumming. Gums. Degumming. Bleaching. Soap Stock. Alkali Neutralization. Deodorization. splitting Bleaching FFA. Palm Fatty Acid Destillates (PFAD). Refined Bleached Deodorised Palm Oil (RBDPO). Deodorization Neutralized Bleached Deodorised Palm Oil (NBDPO). Gambar 2.7 Proses Pemurnian/Refining CPO Secara Kimia dan Fisika Proses deasidifikasi (deodorisasi) pada proses pembersihan secara fisika mampu mengatasi masalah tingginya ALB dimana metode tersebut disarankan karena diketahui cocok untuk minyak tumbuhan dengan kadar fosfat yang rendah seperti minyak kelapa sawit. Pembersihan secara fisika memiliki efisiensi yang lebih tinggi, kehilangan yang lebih sedikit (NP/Nilai Pemurnian <1,3), biaya operasi yang lebih rendah, modal yang lebih rendah dan lebih sedikit bahan untuk ditangani. NP adalah parameter yang digunakan untuk memperkirakan berbagai tahap pada proses pemurnian dan dikualifikasi untuk berbagai tahap dalam proses pemurnian secara sendiri-sendiri dan pengawasan NP dalam pemurnian biasanya berdasarkan berat yang dihitung dari pengukuran volumetrik yang disesuaikan dengan suhu atau menggunakan accurate cross-checked flow meters (Rindengan dan Novarianto, 2004). Secara umum pemurnian secara kimia memerlukan tahap proses, peralatan dan bahan kimia yang lebih banyak bila dibandingkan dengan pemurnian secara fisika. 1. Pemurnian secara kimia Pemurnian secara kimia atau pemurnian basa adalah metode konvensional yang digunakan untuk memurnikan CPO dimana ada tiga tahap pada proses. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(30) 11. refining yaitu degumming dan netralisasi, penjernihan dan filtrasi serta penghilangan bau. a. Degumming dan netralisasi Fosfatida minyak dihilangkan dengan menambahkan aditif asam fosfat dan asam sitrat pada kondisi reaksi yang spesifik, kemudian dilakukan netralisasi dengan basa untuk menghilangkan ALB, selanjutnya dipisahkan antara bagian minyak dan sabun hasil reaksi antara basa dengan ALB dan untuk menghilangkan kelebihan basa dilakukan pencucian dengan air panas. b. Penjernihan dan filtrasi Minyak dimasukkan ke dalam bejana silindris dengan pengaduk yang dinamakan “Bleacher” dan dipanaskan pada suhu 900C dibawah kondisi vakum kemudian diuapkan sampai kering. Minyak kering ditambah karbon aktif untuk mengadsorpsi warna dari minyak kemudian campuran minyak dan agen pemutih dipisahkan untuk mendapatkan hasil yang lebih jernih. c. Penghilangan bau Setelah melewati tahap penjernihan minyak masih mengandung beberapa bahan yang dapat menyebabkan bau sehingga perlu dilakukan deodorisasi. Minyak jernih dimasukkan kedalam bejana silindris yang dinamakan “Deodoriser”. Deodoriser dijaga pada kondisi vakum kemudian dipanaskan pada suhu 2000C dengan tekanan tinggi sehingga senyawa yang volatile akan menguap. Minyak didinginkan dan dijernihkan melewati mesin penyaring untuk mendapatkan minyak yang bening. 2. Permurnian secara fisika Pemurnian secara fisika adalah metode alternatif dimana cara penghilangan ALB dilakukan dengan destilasi pada temperatur yang tinggi dan vakum yang rendah, cara ini menggantikan penambahan basa pada metode pemurnian kimia. Pemurnian secara fisika juga dapat dikatakan sebagai deasidifikasi dengan destilasi uap dimana ALB dan senyawa volatile lainnya dipisahkan dari minyak menggunakan agen stripping yang efektif dan pada pemurnian. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(31) 12. fisika ALB dihilangkan pada tahap akhir.. Kelebihan metode pemurnian. fisika dibanding metode permunian kimia adalah : a. Mendapatkan hasil yang baik b. Asam lemak yang dihasilkan sebagai produk samping memiliki kualitas yang tinggi c. Stabilitas minyak lebih baik d. Peralatan yang digunakan lebih murah e. Operasinya sederhana (Pusparajah, 1986). 2.3 Adsorpsi Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida (cairan maupun gas) terikat pada suatu padatan dan akhirnya membentuk suatu film (lapisan tipis) pada permukaan padatan. Dalam adsorpsi digunakan istilah adsorbat dan adsorben, dimana adsorbat adalah substansi yang terjerap, sedangkan adsorben adalah media penyerap. Proses penyerapan molekul-molekul cair atau gas pada permukaan zat padat atau cair yang terjadi karena adanya interaksi gaya tarik menarik antar molekulmolekul zat yang teradsorpsi dengan molekul-molekul zat pengadsorpsi yang terjadi hanya pada permukaan adsorben. Interaksi ini dipengaruhi oleh adanya gaya Van der Waals (Sulaiman,1997) seperti pada Gambar 2.8. Padatan berpori yang menyerap (adsorption) dan melepaskan (desorption) suatu fluida disebut adsorben. Molekul fluida yang dihisap tetapi tidak melekat ke permukaan adsorben disebut adsorptive, sedangkan yang melekat disebut adsorbat. Gaya Van der Waals merupakan salah satu jenis interaksi elektrostatis yang kekuatan ikatannya sangat lemah dibandingkan ikatan kimia lainnya. Gaya Van der Waals yang menyebabkan adsorbat dapat bergerak dari suatu bagian permukaan ke bagian permukaan lain dari adsorben. Adsorpsi fisik terutama disebakan oleh gaya Van der Waals dan juga gaya elektrostatis antara molekul adsorbat dan atom-atom yang membentuk permukaan adsorben. Gaya Van der Waals merupakan gaya tarik menarik antar molekul polar yang relatif lemah sehingga mudah untuk dilepaskan kembali.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(32) 13. Gambar 2.8 Gambar Adsorpsi dan Desorpsi Berdasarkan interaksi molekuler antara permukaan adsorben dengan adsorbat, adsorpsi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu penyerapan secara fisika dan penyerapan secara kimia. 1. Adsorbsi secara fisika terjadi tanpa adanya reaksi antar molekul adsorbat dengan permukaan adsorben. Molekul adsorbat terikat secara lemah karena adanya gaya Van der Waals, sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian permukaan lain dari adsorben. Adsorpsi fisika bersifat reversible dan dapat membentuk lapisan ganda (multilayer). 2. Absorbsi kimia terjadi karena adanya reaksi kimia antar molekul adsorbat dengan permukaan adsorben, absorpsi kimia bersifat tidak reversible dan hanya membentuk satu lapisan tunggal (monolayer). Umumnya terjadi pada suhu tinggi sehingga panas absorpsi tinggi mengakibatkan terjadi pembentukan senyawa kimia dengan ikatan yang lebih kuat (Sukardjo, 1997). Adsorpsi fisik adalah adsorpsi yang terjadi akibat gaya interaksi tarik menarik antara molekul adsorben dengan molekul adsorbat. Adsorpsi ini melibatkan gayagaya Van der Walls (sebagai kondensasi uap). Jenis ini cocok untuk proses adsorpsi yang membutuhkan proses regenerasi karena zat yang teradsorpsi tidak larut dalam adsorben tapi hanya sampai permukaan saja. Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang terjadi akibat interaksi kimia antara molekul adsorben dengan molekul adsorbat.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(33) 14. Proses ini pada umumnya menurunkan kapasitas dari adsorben karena gaya adhesinya yang kuat sehingga proses ini tidak reversibel (Bernasconi et al., 1995). Perbedaan antara adsorpsi fisika dengan kimia dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Perbedaan Antara Adsorpsi Fisika dengan Adsorpsi Kimia No Parameter. Adsorpsi Fisika. Adsorpsi Kimia. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10. Semua jenis Semua gas Fisika 5 – 10 kkal/gr-mol gas di bawah temperatur kritis Kurang dari 1 kkal/grmol Reversible Banyak (multilayer) Besar Sebanding dengan kenaikan tekanan. Terbatas Kecuali gas mulia Kimia 10-100 kkal/gr-mol gas di atas temperatur kritis 10-60 kkal/gr-mol Tidak selamanya reversible Satu (monolayer) Kecil Sebanding dengan banyaknya inti aktif adsorben yang dapat bereaksi dengan adsorbat. Adsorben Adsorbat Jenis ikatan Panas adsorpsi Temperatur operasi Energi aktivasi Reversibilitas Tebal lapisan Kecepatan adsorpsi Jumlah zat teradsorp. Sumber : Bernasconi et al., 1995. Adsorpsi akan terjadi ketika ada interaksi antara fase pada dan molekul pada fase cair, dalam hal ini akan terjadi dua jenis ikatan yang akan menunjukkan adsorpsi tersebut terjadi secara fisika atau kimia. Adsorpsi secara fisika atau fisiosorpsi hampir mirip seperti yang terjadi pada kondensasi uap dan deviasi pada gas ideal, sedangkan adsorpsi secara kimia atau kemisorpsi terjadi jika ada pembentukan senyawa kimia (Rouquerol, F, 2014). Adsorpsi adalah proses dimana satu atau lebih unsur-unsur pokok dari suatu larutan fluida akan lebih terkonsentrasi pada permukaan suatu padatan tertentu (adsorben). Dengan cara ini, komponen-komponen dari suatu larutan, baik itu dari larutan gas ataupun cairan, bisa dipisahkan satu sama lain. Adsorpsi melibatkan proses perpindahan massa dan menghasilkan kesetimbangan distribusi dari satu atau lebih larutan antara fasa cair dan partikel. Pemisahan dari suatu larutan tunggal antara cairan dan fasa yang diserap membuat pemisahan larutan dari fasa curah cair dapat dilangsungkan. Fasa penyerap disebut sebagai adsorben. Bahan yang banyak digunakan sebagai adsorben adalah karbon aktif, molecular sieves dan silika gel (Treybal, 1980).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(34) 15. Proses adsorpsi adalah proses pemisahan dimana komponen tertentu dari suatu fasa fluida berpindah ke permukaan zat padat yang menyerap (adsorben) Hal ini disebabkan karena partikel zat padat tersebut mempunyai daya tarik terhadap zatzat terlarut maupun pada zat pelarutnya yang sangat bergantung pada kekuatan tipe interaksi, yaitu interaksi ion-dipol, interaksi dipol-dipol, ikatan hidrogen, dipol dengan dipol tereduksi dan ikatan Van der Walls. Sehingga apabila larutan mengalir melalui permukaan yang aktif maka proses adsorpsi dan desorpsi dapat terjadi. Proses adsorpsi dapat digambarkan sebagai proses dimana molekul meninggalkan larutan dan menempel pada permukaan zat adsorben akibat kimia dan fisika (McCabe et al.,1989). Kecepatan adsorpsi sangat dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi, luas permukaan adsorben, suhu, tekanan (untuk gas), ukuran partikel dan porositas adsorben. Selain itu, ukuran molekul bahan yang akan diadsorpsi serta viskositas campuran yang akan dipisahkan juga berpengaruh terhadap kecepatan adsorpsi. Suatu adsorben dipandang sebagai suatu adsorben yang baik untuk adsorpsi dilihat dari sisi waktu. Lama operasi terbagi menjadi dua, yaitu waktu penyerapan hingga komposisi diinginkan dan waktu regenerasi /pengeringan adsorben. Makin cepat dua varibel tersebut, berarti makin baik unjuk kerja adsorben tersebut Tingkat adsorpsi naik diikuti dengan kenaikan temperatur dan turun diikuti dengan penurunan temperatur (Benefield, 1982). Metode adsorpsi dapat diterapkan untuk memperoleh karotenoid yang terdapat dalam suatu campuran minyak. Biasanya dilakukan di dalam proses pemucatan minyak sawit (Ooi et al.,1994; Choo, 1995). Metode adsorpsi fase terbalik (reverse phase adsorption) melalui jalur metil ester mampu menghasilkan lebih dari 90%. Naibaho (1983) telah mengekstrak karoten dari tanah pemucatan komersil dengan beberapa tahap yaitu pelunakan tanah pemucat dan penyabun dimana konsentrasi karoten yang diperoleh mencapai 40% dari konsentrasi awal. Isoterm adsorpsi adalah hubungan kesetimbangan antara konsentrasi dalam fase fluida dan konsentrasi di dalam partikel adsorben pada suhu tertentu. Untuk zat cair, konsentrasi biasanya dinyatakan dalam satuan massa seperti bagian per juta (ppm). Konsentrasi adsorbat pada zat padat dinyatakan sebagai massa yang teradsorpsi per satuan massa adsorben semula (McCabe et al., 1989). Gambar 2.9. menunjukkan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(35) 16. hubungan antara konsentrasi zat yang ada dalam larutan (Cm) dan yang teradsorpsi (Cs).. Gambar 2.9 Kurva hubungan antara kosentrasi solut pada larutan dan yang teradsorpsi (A) kurva konveks, (B) kurva garis lurus, (C) Kurva konkaf. Cs = kosentrasi zat yang teradsorpsi, Cm = konsentrasi zat dalam larutan Kurva yang menggambarkan hubungan antara Cm dan Cs dinamakan dengan isoterm adsorpsi. Isoterm yang berbentuk konveks seperti yang terlihat dalam Gambar 2.9A, dapat terjadi karena ada variasi aktivitas dari permukaan yang ada, yang mengakibatkan dihasilkannya hubungan yang tidak linier. Kurva isoterm yang berbentuk garis lurus (Gambar 2.9B) merupakan keadaan yang dikehendaki, dimana permukaan tidak akan terjadi menjadi jenuh dengan zat yang diadsorpsi. Slope dari kurva isoterm yang berupa garis lurus ini akan merupakan koefisien distribusi dan tidak tergantung dari besarnya konsentrasi. Kurva isoterm yang berbentuk konkaf (Gambar 2.9C) dihasikan dari reaksi yang terjadi sedemikian sehingga menyebabkan dapat mempercepat proses adsorpsi secara keseluruhannya. Kurva isoterm yang berbentuk konveks akan menghasilkan puncak yang condong ke depan, kurva isoterm yang lurus memberikan bentuk puncak yang ideal, sedangkan yang konkaf akan memberikan benuk puncak yang condong ke belakang (McCabe et al., 1989). Puncak yang berbentuk condong (tailing) biasanya terjadi karena adsorben yang terlalu aktif dan juga disebabkan oleh permukaan yang di beberapa bagian tidak mempunyai sisi aktif. Hal ini dapat disebabkan adsorben yang tidak murni dan karena adanya pengaruh geometris pemukaannya, sehingga bagian permukaan lebih reaktif dan disebut reactive site. Hal ini dapat dikurangi dengan menutup sisi aktif dengan zat lain atau dengan menaikan suhu. Cara lain adalah dengan mengurangi banyaknya sampel yang dipisahkan, diatur tidak melebihi bagian linier dari kurva konveks (Adnan, 1997).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(36) 17. Adsorben seperti karbon aktif, silika dan zeolit secara esensial bersifat non polar, adsorben non polar akan mendominasi ikatan van der walls dan afinitas relative ditentukan dari ukuran dan kemampuan polarisasi zat sorbat ke pori (Karge, H.G, 2006). Bila zat padat dimasukkan kedalam suatu larutan, permukaan partikel zat padat tersebut mempunyai daya tarik baik pada zat-zat yang terlarut maupun pada pelarutnya. Daya tarik atau kekuatan ikatan senyawa organik dengan suatu penyerap tergantung pada kekuatan tipe interaksi yaitu ion-dipol, interaksi dipol-dipol, ikatan hidrogen, dipol dengan dipol terinduksi dan ikatan Van der Walls (Slejko, 1985). Proses adsorpsi sangat peka terhadap perbedaan bentuk stereometrik dari solute yang dipisahkan. Banyak solute yang dapat ditampung pada permukaan adsorben, diantaranya dipengaruhi oleh konfigurasi solute. Bentuk konfigurasi solute juga dapat menentukan mudah tidaknya solute tersebut teradsorpsi pada permukaan adsoben bila dibanding dengan solute lain. Perbedaan daya teradsorpsi akan menentukan mudah tidaknya solute dipisahkan dengan kromatografi adorpsi, oleh karena itu kromatografi adsopsi merupakan cara yang cocok untuk memisahkan campuran solute yang serupa tetapi mempunyai perbedaan bentuk stereometrik (Adnan, 1997). Sifat umum proses adsoprsi suatu bahan tergantung pada berbagai faktor yang dapat dibagi dalam lima katagori : 1. Asorpsi adalah proses keseimbangan antara konsentrasi pada suatu bidang permukaan dan konsentrasi lain dibidang mana komponen tersebut terkandung dan keadaannya adalah reversible. 2. Banyaknya komponen yang diadsorpsi sebanding dengan luas permukaan zat adsorben. 3. Daya adsorpsi tiap jenis adsorben terhadap suatu zat berbeda bahkan cara pembuatan adsorben yang berbeda menyebabkan daya adsoprsi juga berlainan. 4. Daya adsorpsi akan berkurang bila suhu bertambah tinggi. 5. Adsorpsi diikuti dengan pengeluaran panas (energi) (Sukmariah dan Kamianti, 1990). Adsorpsi hidrokarbon tak jenuh dalam substrat logam merupakan interaksi fisik lemah, dimana lebih didominasi oleh Van der Walls. Ikatan hidrokarbon tak jenuh dengan logam pertama kali dikembangkan oleh Dewar, Chatt dan Duncanson. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(37) 18. yang sekarang dikenal dengan DCD yang didasarkan pada konsep orbital terdepan. Pada model ini interaksi ditunjukkan dengan adanya donasi muatan dari orbital π tertinggi yang terisi ke logam dan substansi backdonation dari muatan logam yang terisi orbital π terendah yang tidak terisi (Nilson, A dan Peterson L.G, 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi antara lain: 1. Adsorben Setiap jenis adsorben mempunyai karakteristik tersendiri artinya sifat dasar dari adsorben berperan penting. Adsorben adalah suatu zat yang dapat menjerap atau mengadsorpsi molekul zat lain pada permukaan adsorben. Pada umumnya adsorben dapat berupa zat padat maupun cair. Adapun karakteristik adsorben padat yang baik antara lain memiliki luas permukaan yang besar sehingga daya adsorpsinya juga semakin besar, memiliki tingkat kemurnian yang tinggi agar daya adsorpsinya lebih baik, memiliki daya tahan yang tinggi, tidak terjadi perubahan massa maupun struktur selama proses adsorpsi maupun desorpsi, serta dapat direcovery untuk dapat digunakan secara berulang. Berdasarkan kepolarannya adsorben dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: a. Adsorben polar (hidrofilik) yaitu adsorben yang dapat mengadsorpsi molekul-molekul zat yang bersifat polar misalnya silika gel, aluminium oksida dan zeolit. b. Adsorben non polar (hidrofobik) yaitu adsorben yang dapat mengadsorpsi molekul-molekul zat yang bersifat non polar, contoh adsorben seperti ini antara lain karbon aktif dan bahan polimer seperti polyetylen dan polystyrene serta turunannya. 2. Adsorbat Adsorbat dapat berupa zat padat elektrolit maupun non elektrolit. Adsorbat yang bersifat elektrolit daya adsorpsinya besar karena mudah mengion sehingga antar molekul-molekulnya saling tarik menarik. Sedangkan adsorbat yang bersifat zat non elektrolit adsorpsinya sangat kecil. Ukuran molekul adsorbat juga merupakan hal penting agar proses adsorpsi dapat terjadi, karena molekul-molekul yang dapat diadsorpsi adalah molekul-molekul yang diameternya lebih kecil atau sama dengan diameter pori adsorben. Kepolaran. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(38) 19. adsorbat juga perlu diperhatikan karena molekul-molekul polar lebih kuat di adsorpsi daripada molekul yang non polar. Molekul yang lebih polar dapat menggantikan molekul-molekul yang kurang polar yang lebih dahulu teradsorpsi. 3. Konsentrasi Semakin tinggi konsentrasi larutan kontak antara adsorben dengan adsorbat semakin besar sehingga adsorpsinya juga semakin besar. 4. Luas Permukaan Semakin luas permukaan adsorben, gaya adsorpsi akan makin besar sebab kemungkinan zat untuk diadsorpsi juga semakin luas. Jadi semakin halus suatu adsorben maka daya adsorpsinya makin besar. 5. Suhu Semakin tinggi suhu, molekul-molekul adsorbat akan bergerak cepat sehingga kemungkinan menangkap atau mengadsorpsi molekul-molekul semakin sulit (Alberty, 1987). Adapun mekanisme penyerapan adalah sebagai berikut: a. Molekul adsorbat berpindah menuju lapisan terluar dari adsorben b. Karbon aktif dalam kesatuan kelompok mempunyai luas permukaan pori yang besar, sehingga dapat mengadakan penyerapan terhadap adsorbat. c. Sebagian adsorbat ada yang teradsorpsi di permukaan luar, tetapi sebagian besar teradsorpsi di dalam poripori adsorben dengan cara difusi. d. Bila kapasitas adsorpsi masih sangat besar, sebagian besar molekul adsorbat akan teradsorpsi dan terikat di permukaan, akan tetapi apabila adsorbat jenuh, ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu: 1) Terbentuk lapisan adsorpsi kedua, ketiga dan seterusnya. 2) Tidak terbentuk lapisan adsorpsi kedua, ketiga dan seterusnya, sehingga adsorbat yang belum teradsorpsi akan terus berdifusi keluar pori. 2.3.1 Adsorpsi secara Batch Proses adsorpsi batch dilakukan untuk skala kecil seperti laboratorium, dengan cara mencampurkan media dan solute, juga dilakukan pengadukan agar terjadi kontak secara merata. Proses batch ini bertujuan untuk mengetahui. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(39) 20. karakteristik adsorban yang digunakan dan dinyatakan dengan hubungan antara penurunan zat yang diserap dan berat adsorben yang digunakan pada koefisien dari persamaan yang ada. Pada proses adsorpsi batch ini, hasilnya dapat ditampilkan dengan menggunakan kurva adsorpsi isotherm. Selain itu, adsorpsi batch juga dapat digunakan untuk mengukur efisiensi removal dengan cara membandingkan konsentrasi limbah sebelum proses adsorpsi dan setelah proses adsorpsi (Raditya, dkk., 2014). 2.4 Adsorben Adsorben adalah bahan padat dengan luas permukaan dalam yang sangat besar. Permukaan yang luas ini terbentuk karena banyaknya pori yang halus pada padatan tersebut. Kebanyakan zat pengadsorpsi atau adsorben adalah bahan-bahan yang sangat berpori, dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding-dinding pori atau pada daerah tertentu di dalam partikel itu. Karena pori-pori adsorben biasanya sangat kecil maka luas permukaan dalamnya menjadi beberapa kali lebih besar dari permukaan luar. Biasanya luasnya berada dalam ukuran 200 - 1000 m2/g adsorben dengan diameter pori sebesar 0,0003-0,02 μm (Bernasconi et al., 1995). 2.4.1 Aktivasi Adsorben Aktivitas permukaan dari setiap adsorben berbeda pada sisi yang satu dengan sisi lainnya begitu pula dari batch yang satu ke batch yang lainnya akibatnya hasil yang diperoleh menjadi tidak optimal. Perlakuan pendahuluan terhadap adsorben perlu dilakukan sehingga dapat menghilangkan perbedaan aktivitas tersebut (Adnan, 1997). Aktivasi terhadap atapulgit dapat dilakukan dengan beberapa perlakuan seperti perlakuan panas dan juga perlakuan asam. Berdasarkan teori ada dua cara perlakuan dalam. meningkatkan aktivitas. adsorben,. yaitu. pemanasan. dan. pengasaman. Aktivasi dengan pemanasan bertujuan agar air yang terikat di celahcelah molekul dapat teruapkan, sehingga porositas adsorben meningkat. Aktivasi secara pengasaman adalah aktivasi dengan menggunakan asam mineral (misalkan HCL atau H2SO4) pada konsentrasi tertentu yang dapat mempertinggi daya pemurnian karena asam mineral tersebut larut atau bereaksi dengan komponen berupa garam Ca dan Mg yang menutupi pori-pori adsorben.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(40) 21. Selain itu asam mineral akan melarutkan Al 2O3 sehingga dapat menaikan perbandingan jumlah SiO2 dan Al2O3 dari (2-3) : 1 menjadi (5-6) : 1. aktivasi asam dapat mempertinggi sifat adsorben dengan meningkatkan sifat kimia dan fisiknya tanpa menghancurkan struktur lapisan mineral liatnya. Peningkatan sifat fisiko kimia tersebut diantaranya adalah luas permukaan spesifik dan ukuran volume pori-porinya (Adnan, 1997). 2.5 Desorpsi Desorpsi adalah proses pemisahan atau pelepasan molekul-molekul adsorbat yang telah berikatan dengan gugus aktif pada permukaan adsorben. Desorpsi terjadi karena adanya interaksi antara molekul adsorbat dengan adsorben relatif lemah sehingga lebih mudah dilepaskan dari permukaan adsorben. Untuk memperlemah interaksi antara adsorben dengan adsorbat dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 1. Temperatur Pada saat molekul adsorbat melekat pada permukaan adsorben maka akan terjadi pembebasan sejumlah energi. Berkurangnya suhu akan menambah jumlah adsorbat yang teradsorpsi. Proses desorpsi membutuhkan energi panas. Dengan menaikkan suhu sistem maka interaksi antara molekul adsorbat derngan adsorben akan menjadi lebih lemah sehingga molekul adsorbat menjadi lebih mudah dilepas dari permukaan adsorben. 2. Menambahkan zat kimia/pelarut. Dalam peristiwa ini molekul adsorbat yang teradsorpsi akan didesorpsi dengan menambahkan zat kimia/pelarut yang sifatnya lebih kuat berinteraksi dengan molekul adsorbat dibandingkan dengan interaksi antara adsorben dengan adsorbat (Sulaiman, H. 1997). Pelarut desorpsi yang sesuai bergantung kepada jenis adsorben yang digunakan pada setiap proses adsorpsi. Jika adsorben yang digunakan bersifat polar seperti arang aktif maka eluen yang baik digunakan adalah pelarut-pelarut non polar seperti n-heksan. Sedangkan jika adsorben yang digunakan bersifat semi polar seperti bentonit maka eluen yang baik digunakan adalah yang bersifat semi polar seperti isopropanol (Muslich, 2012).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(41) 22. 2.6 Emulsi Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari dua cairan yang tidak dapat bercampur antara fase pendispersi (fase yang lebih banyak) dan fase terdispersi (fase yang lebih sedikit). Ditinjau dari segi kepolaran, emulsi merupakan campuran dari senyawa polar dan senyawa non polar. Emulsi dapat dibedakan atas dua macam yaitu : emulsi minyak dalam air (O/W) dan emulsi air dalam minyak (W/O). Pada sistem O/W fase pendispersi adalah air dan fase terdispersi adalah minyak, sedangkan pada sistem emulsi W/O fase pendispersi adalah minyak dan fase terdispersi adalah air. Pada saat pembentukan emulsi kontak antara molekul minyak dan air merupakan sistem yang tidak stabil. Untuk mendispersikan dua cairan yang tidak bercampur memerlukan komponen lain yang disebut dengan pengemulsi (emulsifier) (Tadros, 2013). 2.7 Emulsifier Emulsifier (pengemulsi) adalah bahan yang digunakan untuk menstabilkan emulsi. Pengemulsi merupakan molekul yang mempunyai gugus hidrofilik (polar) dan hidrofobik (non polar). Gugus hidrofilik dapat bermuatan positif (kationik), negatif (anionik) maupun non ionik. Gugus hidrofobik umumnya terdiri atas asam lemak jenuh rantai panjang. Kelemahan pengemulsi anionik adalah dapat berinteraksi dengan berbagai jenis ion membentuk kompleks yang dapat menurunkan stabilitas emulsi. Emulsifier atau zat pengemulsi merupakan senyawa yang mempunyai aktivitas permukaan sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan antara cairan. Kemampuan menurunkan tegangan permukaan menjadi hal yang menarik karena emulsifier memiliki keunikan struktur kimia yang mampu mempersatukan dua senyawa yang berbeda polaritasnya. Daya kerja emulsifier untuk menurunkan tegangan permukaaan ditandai dengan adanya bagian lipolitik (non polar) dan bagian hidrofilik (polar) yang terdapat dalam struktur kimianya. Pengemulsi yang efektif adalah surfaktan non ionik yang dapat digunakan untuk mengemulsi W/O atau O/W. Surfaktan ionik seperti natrium dodesil sulfat (SDS) dapat juga digunakan sebagai pengemulsi untuk O/W. Campuran surfaktan ionik dan non ionik memberikan efek yang lebih baik dalam emulsifikasi dan stabilitas emulsi. Secara umum emulsifier. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(42) 23. dibedakan menjadi dua jenis yaitu emulsifier alami dan emulsifier buatan. Contoh daripada emulsifier alami misalnya lesitin dan vitamin E yang berfungsi sebagai emulsifier sedangkan contoh emulsifier buatan adalah ester dari asam lemak sorbitan (sorbitan monostearat yang dikenal sebagai span) yang dapat membentuk emulsi air dalam minyak sedangkan ester dari polioksietilen sorbitan dengan asam lemak yang dikenal dengan tween yang dapat membentuk emulsi minyak dalam air (Tadros, 2013) 2.8 Pelarut Suatu senyawa dengan jumlah yang besar dalam suatu larutan disebut sebagai pelarut (Moore, 2010). Pelarut akan melarutkan reaktan dalam medium reaksi dan ikut terlibat dalam reaksi subsitusi. Berdasarkan konstanta dielekriknya, pelarut dibagi atas pelarut polar dan non polar. Semakin besar nilai konstanta dielektrik suatu pelarut maka semakin kecil interaksi antara ion dan muatan sebaliknya (Brown, 2009).. 2.8.1 Pelarut polar Pelarut polar memiliki molekul dengan interaksi dipole permanen dan memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen. Air adalah contoh pelarut polar yang universal (Hendrikson, 2010). Pelarut polar memiliki nilai konstanta dielektrik sebesar 15 atau lebih. Pelarut polar terbagi atas dua: 1. Pelarut polar protik Pelarut polar protik yang umum digunakan untuk reaksi subsitusi nukleofilik adalah air, alkohol dan asam karboksilat dengan berat molekul rendah. Masing-masing pelarut ini memiliki muatan parsial negatif pada atom oksigen yang terikat pada muatan parsial positif dari atom hidrogen. 2. Pelarut polar aprotik Pelarut polar aprotik biasanya digunakan pada reaksi subsitusi nukleofilik. Contoh dari pelarut polar aprotik adalah dimetil sulfoksida (DMSO), asetonitril, N,N-dimetilformamida (DMF), aseton (Brown, 2009). UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(43) 24. 2.8.2 Pelarut non polar Pelarut non polar tidak memiliki interaksi dipol yang permanen dan tidak dapat membentuk ikatan hidrogen (Hendrikson, 2010). Pelarut non polar memiliki nilai konstanta dielektrik dibawah 5, contoh dari pelarut non polar adalah dietil eter, toluena dan n-heksana (Brown, 2009). 2.9 Interaksi Van der Walls Interaksi van der walls adalah interaksi molekuler yang pendek dengan adanya atom, molekul dan ion yang berada pada posisi dekat ataupun berdampingan. Gaya Van der Walls mengusung interaksi elektrostatis dimana kekuatannya sangat lemah dibandingkan dengan gaya ikatan kimia (ikatan ionik dan ikatan kovalen). Gaya intermolekular menyebabkan adanya polarisasi dari molekul non polar yang disebut dengan gaya London. Gaya ini sangat lemah, tetapi gaya London terlibat pada proses kondensasi gas. Ketika dua atom atau molekul saling berdekatan maka akan timbul gaya-gaya antara lain : 1. Gaya atraktif, terjadi akibat adanya interaksi inti atom dengan elektronnya sendiri dan antara atom pusat dengan salah satu molekul dan elektron dari molekul lain. 2. Gaya repulsif, terjadi akibat interaksi antara dua molekul yang berbeda, dan antara dua inti atom dari dua molekul yang berbeda (Prakash, 2009).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(44) BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik dan Laboratorium Kimia Dasar Departemen Kimia FMIPA USU. Analisis Gas Chromatography dilakukan di PT. Musim Mas Medan, analisis SEM-EDX (Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive X-ray) di PT. Vanadia Utama Jakarta, analisis XRD (X-Ray Diffraction) dilakukan di Laboratorium Fisika UNIMED Medan dan analisis BET (Brunauer Emmet Teller) dilakukan di LIPI. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Oktober 2016. 3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adsorpsi ALB adalah 4 (empat) kemasan minyak sawit kasar (Crude Palm Oil/CPO) yang diperoleh dari PT. Perkebunan Nusantara III Medan antara tahun 2012 dan 2013 dan telah lama di simpan di Laboratorium Kimia Anorganik FMIPA USU yang memiliki kandungan asam lemak bebas 4,79% (A), 7,35% (B), 10,37% (C) dan 13,34% (D). Senyawa MgCl2, CaCl2, SrCl2, BaCl2, Etanol dan Water Glass (Na2SiO3) diperoleh dari EMerck yang digunakan dalam pembuatan adsorben. 3.2.2 Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian adsorpsi ALB adalah Gas Chromatography tipe Agilent 7890 B kolom DB5HT, untuk menentukan kandungan ALB CPO, luas permukaan dan porositas adsorben ditentukan dengan BET tipe Micromeritics Tristar II 3020, penentuan morpologi dan analisis elementer menggunakan SEM-EDX tipe Carl Zeiis EVO MA Oxford EDS X-Max 50mm2 dan struktur kristal ditentukan dengan X-Ray Diffraction 6100 Shimadzu.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(45) 26. 3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Pembuatan Adsorben M-silikat 1, 2, 3 dan 4 Adsorben garam logam alkali tanah silikat (M-silikat; M = Mg, Ca, Sr, Ba) dibuat dengan mereaksikan antara logam alkali klorida (M-Cl2) dan water glass (Na2SiO3). Water glass (30,5 g; 0,25 mol) dan MgCl2 (28.44 g; 0,3 mol) dimasukkan kedalam beaker glas 250 ml dan diaduk sampai campuran homogen. Campuran reaksi dimasukkan ke cawan porselin 100 ml dan didestruksi pada suhu 800 0C selama 3 jam. Padatan yang dihasilkan dari proses destruksi dihaluskan dan selanjutnya dicuci dengan aquadest hingga pH normal yang diikuti pencucian kembali dengan etanol absolut. Padatan halus kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 0C selama 1 jam. Adsorben MgSiO3 (1) yang diperoleh (24,13 g; 96,52%) diuji dengan SEM-EDX, BET dan XRD. Prosedur diatas diulang untuk masing-masing Ca, Sr dan Ba (33,24 g; 47,64 g; 62,44 g) dengan hasil 28,04 g; 96,69% (2), 39,87 g; 97,24% (3) dan 52,21 g; 98,51% (4). 3.3.2 Adsorpsi ALB dari CPO A, B, C dan D Adsorben garam logam alkali tanah silikat masing-masing, MgSiO3 (1), CaSiO3 (2), SrSiO3 (3) dan BaSiO3 (4) digunakan untuk mengadsorpsi ALB dari CPO A, B, C dan D. Setiap jenis adsorben ditimbang dalam 3 (tiga) bagian berat (0,5 g, 1,0 g dan 1,5 g) dan masing-masing berat CPO yang digunakan adalah 0,5 g. Adsorben 1 (0,5 g) dicampuran kedalam larutan CPO dalam etanol, A (0,5 g; 15 ml) diaduk dan ditempatkan dalam sentrifuse selama 30 menit, selanjutnya disaring untuk memisahkan filtrat dan adsorben. Filtrat dari hasil penyaringan dianalisis dengan GC untuk menentukan kandungan asam lemak bebas yang masih terkandung didalamnya. Perlakuan yang sama dilakukan untuk adsorben dan bagian berat yang berbeda terhadap masing-masing jenis CPO.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(46) 27. 3.4 Bagan Penelitian 3.4.1 Pembuatan Adsorben M-silikat 1, 2, 3 dan 4 Water Glass (Na2SiO3) (30,5 g, 0,25 mol). M-Cl2 (28.44 g, 0,3 mol). Campuran Reaksi diaduk (homogen) ditanur 3 jam (8000). Padatan Putih dihaluskan dicuci aquadest (pH normal) disaring. Filtrat. Endapan dicuci etanol absolut dikeringkan (1jam, 1050C). (Serbuk Putih) Karakterisasi. SEM-EDX. XRD. BET. Gambar 3.1 Flowchart Pembuatan Adsorben M-silikat 1, 2, 3 dan 4. Prosedur diatas dilakukan untuk 0.3 mol; CaCl2 (33,24 g), SrCl2 (47,64 g) dan BaCl2 (62,44 g).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(47) 28. 3.4.2 Adsorpsi ALB dari CPO A, B, C dan D CPO (A) dalam Etanol (0,5 g; 15 ml). M-SiO3 (1) (0.5 g). Campuran A, 1 dan Etanol disentrifuse (30 menit) disaring. Endapan Karakterisasi. Kandungan ALB (%). Gambar 3.2 Flowchart Adsorpsi ALB dari CPO A, B, C dan D Percobaan diatas diulang untuk berat 0,5; 1,0; 1,5 g adsorben 1, 2, 3, 4 dan dilakukan terhadap CPO A, B, C dan D.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(48) BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Adsorben merupakan suatu zat padat yang dapat mengadsorpsi baik zat cair maupun gas. Secara umum adsorben memiliki luas permukaan yang besar, mudah dilakukan desorpsi dan dapat diregenerasi. Dalam penelitian ini dilakukan adsorpsi ALB dari CPO yang mengandung asam lemak bebas 4,79%, A, 7,35%, B, 10,37%, C dan 13,34%, D menggunakan adsorben garam logam alkali tanah silikat (M-silikat) yaitu MgSiO3, 1, CaSiO3, 2, SrSiO3, 3 dan BaSiO3, 4. Dibawah ini akan diuraikan hasil penelitian tentang adsorpsi ALB dari CPO A, B, C dan D menggunakan adsorben 1, 2, 3 dan 4. 4.1 Pembuatan Adsorben M-silikat 1, 2, 3 dan 4 Adsorben garam logam alkali tanah silikat (M-silikat) dibuat dari reaksi garamgaram klorida MgCl2, CaCl2, SrCl2 dan BaCl2 dengan Na2SiO3 menghasilkan adsorben 1, 2, 3 dan 4. Garam alkali tanah silikat yang dihasilkan berupa padatan putih dan semua adsorben dikarakterisasi dengan SEM-EDX (Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive X-ray), XRD (X-Ray Diffraction) dan BET (BurnaurEmmet-Teller). Dibawah ini diuraikan hasil analisis adsorben M-silikat (M = Mg, Ca, Sr dan Ba). 4.1.1 SEM (Scanning Electron Microscopy) Image SEM dari adsorben 1, 2, 3 dan 4 ditunjukkan pada Gambar 4.1. Dari Gambar 4.1 terlihat bahwa pada pembesaran 3000 kali image SEM adsorben 1 mayoritas berbentuk lembaran tipis kecil, adsorben 2 yang berbentuk persegi dan jarum sedangkan adsorben 3 dan 4 memiliki kesamaan satu dengan lainnya yang mayoritas partikelnya berbentuk butiran dan beberapa berbentuk jarum yang lebih kecil dibanding dengan 1. Dari keempat tampilan image SEM adsorben alkali tanah silikat terlihat bahwa 2 memiliki rongga yang lebih besar bila dibanding dengan 1, 3 dan 4.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(49) 30. MgSiO3, 1. CaSiO3, 2. SrSiO3, 3. BaSiO3, 4. Gambar 4.1 SEM Adsorben 1, 2, 3 dan 4 (3000 X) 4.1.2 Analisis EDX (Energy Dispersive X-ray) Spektrum Energy Dispersive X-ray (EDX) dari adsorben logam alkali tanah silikat 1, 2, 3 dan 4 seperti ditampilkan Gambar 4.2. Spektrum MgSiO3 menunjukkan bahwa adsorben 1 mengandung unsur Mg = 46,61%, Si = 9,98% dan O = 42,14%, adsorben 2. mengandung unsur Ca = 31,84%, Si = 25,38% dan O = 41,71%,. adsorben 3 mengandung unsur Sr = 44,71%, Si = 17,17% dan O = 28,89% sedangkan adsorben 4 mengandung unsur Ba = 24,82%, Si = 33,22% dan O = 40,73%.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(50) 31. MgSiO3, 1. CaSiO3, 2. SrSiO3, 3. BaSiO3, 4. Gambar 4.2 EDX Spektra Adsorben 1, 2, 3 dan 4 Hasil analisis elementer alkali tanah silikat adsorben 1, 2, 3 dan 4 ditabulasi pada Tabel 4.1 bahwa adsorben 1, 2, 3 dan 4 masing-masing mengandung unsur yang cocok. Tabel 4.1. Analisa Elementer Adsorben 1, 2, 3 dan 4 Ele ment. Mg Si O Cl Na Total:. Wt % % 46.61 0.17 9.98 0.12 42.14 0.98 0.06 0.29 0.06 100. Ele ment. Ca Si O Cl Cu. Wt % % 31.84 0.14 25.38 0.12 41.71 0.75 0.04 0.32 0.1 100. Ele ment. Sr Si O Cl Cu. Wt % % 44.71 0.24 17.17 0.14 27.89 9.61 0.11 0.62 0.14 100. Ele ment. Ba Si O Cl. Wt % % 24.82 0.22 33.22 0.16 40.73 1.23 0.05 100. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(51) 32. 4.1.3 Analisis XRD (X-Ray Diffraction) Adsorben 1, 2, 3 dan 4 yang diperoleh kemudian dikarakterisasi dengan XRD dan difraktogram terlihat seperti yang ditampilkan pada Gambar 4.3.. BaO. SiO2. MgO. SrO. CaO. BaSiO3 SrSiO3 CaSiO3 MgSiO3. Gambar 4.3. Difraktogram XRD Adsorben 1, 2, 3 dan 4 Pada difraktogram adsorben 1, 2, 3 dan 4 tampak puncak difraksi O-Si-O pada sudut difraksi 2 (theta) 200-250, ini menunjukkan bahwa semua adsorben 1, 2, 3 dan 4 mengandung SiO2 dalam bentuk struktur cristobalit. Difraktogram 1 disamping puncak difarksi SiO2 juga tampak puncak MgO pada 400-450 yang menunjukkan bahwa difraktogram MgSiO3 disebabkan oleh adsorben 1. Demikian juga halnya dengan adsorben 2, 3 dan 4 masing-masing menunjukkan puncak difraksi pada 400450, 430-450 dan 200-250 yang disebabkan oleh CaO, SrO dan BaO. Dari data difraktogram ini jelas terlihat bahwa adsorben 1, 2, 3 dan 4 telah terbentuk. 4.1.4 Analisis BET (Burnaur-Emmet-Teller) Untuk menentukan luas permukaan dan ukuran pori dari adsorben 1, 2, 3 dan 4 dilakukan karakterisasi analisis luas permukaan dengan metode BET dan BJH. Hasilnya ditampilkan pada Tabel 4.2. dari analisis didapatkan bahwa luas permukaan adsorben 1, 2, 3 dan 4 adalah masing-masing 5,19 m2/g, 3,32 m2/g, 2,71 m2/g dan 2,52 m2/g, yang menunjukkan bahwa luas permukaan dari adsorben 1, 2, 3 dan 4 semakin kecil secara berurutan. Hal yang sama terhadap luas permukaan pori. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(52) 33. adsorben 1, 2, 3 dan 4 yang dihitung dengan metode BJH bahwa luas permukaan pori masing-masing adsorben adalah 2.80 m2/g, 2.01 m2/g, 1.81 m2/g dan 1,60 m2/g. Tabel 4.2 Analisa BET Adsorben 1, 2, 3 dan 4 MgSiO3, 1 BET surface area (m2/g) 5.19 BJH surface area of pores (m2/g) 2.80 Pore volume (cm3/g) 14,70 x 10-4 Pore size (nm) 2.0969 Nanoparticle size (nm) 11,55 x 102. CaSiO3, 2 3.32 2.01 10,47 x 10-4 2.0889 18,08 x 102. SrSiO3, 3 2.71 1.81 9,45 x 10-4 2.0899 22,15 x 102. BaSiO3, 4 2.52 1.60 8,34 x 10-4 2.0844 23,85 x 102. Volume pori adsorben 1, 2, 3 dan 4 adalah masing-masing 14,70x10-4 cm3/g, 10,47x10-4 cm3/g, 9,45x10-4 cm3/g dan 8,34x10-4 cm3/g. Ini menunjukkan penurunan volume pori dari adsorben 1, 2, 3 dan 4, demikian juga untuk ukuran partikel yang masing-masing adalah 11,55 x 102 nm, 18,08 x 102 nm, 22,15 x 102 nm dan 23,85 x 102 nm yang merupakan nano partikel, sedangkan ukuran pori hampir sama untuk semua adsorben 1, 2, 3 dan 4 adalah 2,0969 nm, 2,0889 nm, 2,0899 nm dan 2,0844 nm. 4.2. Analisis GC ALB dari CPO TG. FFA. DG. 4.79% (A) 7.35% (B) 10.37% (C) 13.34% (D). Gambar 4.4 Kromatogram Gas Kromatografi CPO A, B, C dan D CPO yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. Perkebunan Nusantara III Medan antara tahun 2012 dan 2013 dan telah lama disimpan di. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(53) 34. Laboratorium Kimia Anorganik FMIPA USU. Sebelum kandungan ALB dari CPO diadsorpsi terlebih dahulu ditentukan kandungan ALB yang terdapat dalam CPO tersebut dengan gas kromatografi. Ada 4 (empat) jenis CPO yang digunakan dengan kandungan ALB masing-masing 4,79%, A, 7,35%, B, 10,37%, C dan 13,34%, D. Hasil analisis gas kromatografi ALB dalam CPO terlihat pada Gambar 4.4. Kromatogram gas kromatografi dari CPO A, B, C dan D mempunyai pattern yang sama. Perbedaan hanya ditunjukkan dari besarnya puncak serapan gas kromatografi pada waktu retensi antara 7-11 menit yang menunjukkan persentasi kandungan ALB total dalam CPO A, B, C dan D. 4.3 Adsorpsi ALB dengan Adsorben M-silikat Secara umum adsorpsi adsorben MgSiO3, 1, CaSiO3, 2, SrSiO3, 3 ataupun BaSiO3, 4 meningkat dengan bertambahnya massa adsorben yang digunakan untuk mengadsorpsi ALB yang terkandung dalam CPO 4,79%, A, 7,35%, B, 10,37%, C atau 13,34%, D, sedangkan untuk berat adsorben 1, 2, 3 dan 4 yang sama terhadap ALB dari CPO A, B, C dan D terlihat semakin besar pada konsentrasi ALB yang lebih kecil, dengan kata lain untuk berat adsorben yang sama, persentasi ALB yang diadsorpsi pada A > B > C > D. 4.3.1 Adsorpsi ALB dengan Adsorben MgSiO3, 1 Adsorben MgSiO3, 1 dengan variasi berat adsorben 0,5 g, 1 g dan 1,5 g digunakan untuk mengadsorpsi ALB dari CPO 4,79%, A, 7,35%, B, 10,37%, C dan 13,34%, D. Adsorben dan 0,5 g CPO dalam 15 ml etanol disentrifuse selama 30 menit kemudian disaring, 5 ml filtrat diuapkan dan diperoleh residu dalam bentuk minyak yang disebut aliquot dan dinyatakan dalam gram (g). ALB filtrat merupakan jumlah ALB dari CPO yang tidak diadsorpsi oleh adsorben yang dinyatakan dalam persen (%) dan berat ALB filtrat dihitung dari perkalian persen ALB filtrat dengan 3 (tiga) kali berat aliquot dinyatakan dalam miligram (mg). ALB adsorpsi diperoleh dari pengurangan persen ALB CPO mula-mula dengan persen ALB aliquot dan dinyatakan dalam persen (%) dan berat ALB adsorpsi dihitung dari perkalian persen ALB adsorpsi dibagi 100 dengan berat CPO yang digunakan dikurang dengan tiga kali berat aliquot dan dinyatakan dalam miligram (mg). Daya serap merupakan hasil. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(54) 35. bagi berat ALB adsorpsi dengan berat adsorben yang digunakan dinyatakan dalam mg/g adsorben. Persen ALB adsorpsi dihitung dari pembagian persen ALB adsorpsi dengan persen ALB CPO mula-mula dikali dengan 100 dan dinyatakan dalam persen (%). Tabel 4.3 Adsorpsi ALB pada 0,5 g CPO dengan adsorben 1 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12. ALB CPO (%). (mg). A (4,79). 24.0. B (7,35). 36.8. C (10,37). 51.8. D (13,34). 66.7. Adsorben (g) (mmol). 0.5 1.0 1.5 0.5 1.0 1.5 0.5 1.0 1.5 0.5 1.0 1.5. 5.0 10.0 15.0 5.0 10.0 15.0 5.0 10.0 15.0 5.0 10.0 15.0. ALB Filtrat. ALB Adsp. Aliquot (g). (%). (mg). (%). (mg). 0.08 0.07 0.08 0.07 0.09 0.11 0.10 0.09 0.07 0.09 0.01 0.08. 1.73 1.51 1.22 3.30 3.08 2.53 4.75 3.04 2.90 6.76 5.61 4.20. 4.00 3.27 2.99 7.23 8.08 8.69 14.63 7.90 6.18 17.44 1.80 10.29. 3.06 3.28 3.57 4.05 4.27 4.82 5.62 7.33 7.47 6.58 7.73 9.14. 8.2 9.3 9.1 11.4 10.2 7.5 10.8 17.6 21.4 15.9 36.2 23.3. Daya Daya % ALB Adsp [̅] Serap Serap [̅] Adsp 16.5 9.3 6.1 22.8 10.2 5.0 21.6 17.6 14.3 31.9 36.2 15.5. Rata-rata Total. 10.6. 12.7. 17.8. 27.9. 17.2. 63.90 68.49 74.55 55.11 58.10 65.58 54.19 70.68 72.03 49.34 57.96 68.53. 68.98. 59.60. 65.63. 58.61. 63.20. Keterangan : ALB Adsp = ALB Adsorpsi; Daya Serap = Daya serap mg/g adsorben; Daya Serap [̅] = Daya serap Rata-rata mg/g adsorben; % ALB Adsp = Persen ALB Adsorpsi; Adsp [̅] = Adsorpsi Rata-rata. Keterangan Warna Angka Tabel : Warna Biru = Persentasi Adsorpsi Tertinggi; Warna Merah = Persentasi Adsorpsi Terendah.. Adsorpsi ALB dari CPO A, B, C dan D dengan adsorben 1 ditabulasi pada Tabel 4.3. Adsorpsi ALB dari keempat jenis CPO A, B, C ataupun D meningkat dengan bertambahnya berat adsorben 1 yang digunakan untuk mengadsorpsi ALB dari CPO seperti grafik Gambar 4.5. Persentasi adsorpsi ALB dengan variasi 0,5 g, 1 g dan 1,5 g adsorben dari masing-masing CPO adalah A 63.90%, 68.49% dan 74,55%, B 55,11%, 58,10% dan 65,58%, C 54,19%, 70,68% dan 72,03% dan D 49.34%, 57.96% dan 68,53%, dengan rata-rata adsorpsi tertinggi untuk A 68,98%, diikuti C 65,63%, B 59,60%, dan D 58,61%. Adsorpsi adsorben 1 tertinggi terjadi untuk ALB dari CPO A pada berat 1,5 g adsorben sebesar 74,55%, sedangkan terendah untuk D pada 0,5 g adsorben sebesar 49,34%. Adsorpsi adsorben 1 untuk masing-masing ALB dari CPO A, B, C ataupun D pada berat adsorben yang sama secara umum mengalami penurunan, pada berat 0,5 g adsorben persentasi adsorpsi untuk ALB dari CPO A 63,90%, B 55,11%, C 54,19% dan D 49,34%, pada 1 g adsorben persentasi adsorpsi untuk ALB dari CPO A. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(55) 36. 68,49%, B 58,10%, C 70,68% dan D 57,96% sedangkan pada 1,5 g adsorben persentasi adsorpsi untuk ALB dari CPO A 74,55%, B 65,58%, C 72,03% dan D 68,53%. Hal tersebut menunjukkan bahwa persentasi adsorpsi dari adsorben 1 terhadap ALB dari CPO A, B, C dan D secara keseluruhan meningkat dengan bertambahnya berat adsorben sedangkan dengan bertambahnya kandungan ALB dari CPO justru menurunkan persentasi adsorpsi adsorben terhadap ALB dari CPO. Bertambahnya perbandingan antara CPO dan adsorben dengan variasi 1:1, 1:2 dan 1:3 tidak memberikan dampak yang berbanding linier terhadap peningkatan persentasi adsorpsi ALB sesuai dengan perbandingan antara CPO dan adsorben.. 75. % Adsorpsi ALB. 70 65 A. 60. B C. 55. D. 50 45 0,4. 0,6. 0,8. 1,0. 1,2. 1,4. 1,6. Adsorben (g). Gambar 4.5 Perbandingan persentasi Adsorpsi ALB untuk Adsorben 1 Daya serap adsorben 1 terhadap ALB menurun dengan bertambahnya berat adsorben dan meningkat dengan bertambahnya konsentrasi ALB dari CPO. Daya serap adsorben 1 terhadap A, B, C ataupun D berada pada rentang 5,0 – 36,2 mg/g, untuk 0,5 g adsorben terhadap ALB adalah A 16,5 mg/g, B 22,8 mg/g, C 21,6 mg/g dan D 31,9 mg/g, untuk 1 g adsorben adalah A 9,3 mg/g, B 10,2 mg/g, C 17,6 mg/g dan D 36,2 mg/g sedangkan untuk 1,5 g adsorben terhadap ALB adalah A 6,1 mg/g, B 5,0 mg/g, C 14,3 mg/g dan D 15,5 mg/g. Daya serap 1 untuk tiap berat adsorben yang digunakan dipengaruhi oleh kandungan ALB dari CPO, semakin tinggi kandungan ALB maka daya serap adsorben juga akan meningkat. Pada perbandingan CPO adsorben 1:1, 1:2 dan 1:3 menunjukkan bahwa daya serap maksimum untuk A 16,5 mg/g, B 22,8 mg/g, C 21,6 mg/g terjadi pada berat 0,5 g adsorben sedangkan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

Referensi

Dokumen terkait

Saat didapatkan kondisi nutrisi pada penampungan melebihi batas maksimal kepekatan maka, mikrokontroler akan mengaktifkan pompa dari kantong air murni untuk

Setiawan, Y.A., 2015, Pengaruh Komposisi Glenium Ace 8590 dengan Fly Ash dan Filler Pasir Kuarsa Terhadap Sifat Mekanik Beton Mutu Tinggi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Penambahan nutrien defisien (P, Cu dan metionina) pada taraf pemberian daun rami yang sama dengan perlakuan T2 meningkatkan konsumsi nutrien dan efisiensi penggunaannya

bassiana isolat Tegineneng yang dibuat dalam bentuk formulasi kering mampu menyebabkan kematian terhadap serangga uji pengisap buah kakao (Helopeltis spp.).. Mortalitas

(seratus empat puluh sembilan juta enam ratus delapan puluh tiga ribu rupiah). PEJABAT PENGADAAN BARANG/JASA Ranai, 26 Agustus

Daun Ambre ( Geranium radula ) yang termasuk minyak atsiri diketahui mempunyai bau yang tidak disukai oleh nyamuk yang dihasilkan dari minyak atsiri yang terikat sebagai b

Masing-masing bentuk intervensi yang diterapkan terdapat dalam kegiatan tersebut, misalnya dalam bentuk kepemimpinan biasanya diterapkan saat program pembelajaran

Merujuk pada konsep dasar dari teori komunikasi pemasaran terpadu oleh Schultz yakni berkomunikasi dengan sasaran mencipatkan dan menyokong hubungan jangka panjang dengan