• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi :"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pendaftaran Tanah 1. Pengertian Pendaftaran Tanah

Pengertian pendaftaran tanah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi :

“Pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas tanah satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”

Data fisik menurut Pasal 1 angka 6 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa :

“Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya”.

(2)

14 Data yuridis dalam Pasal 1 angka 7 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan :

“Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.”

Mengacu pada definisi-definisi tersebut di atas, maka pendaftaran tanah ialah serangkaian kegiatan pertanahan, dilakukan oleh subjek hukum ke BPN setempat/Kantor Pertanahan, dimana BPN BPN setempat/Kantor Pertanahan selaku pihak penyelenggara pendaftaran pertanahan harus melaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku demi terlaksanakannya Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB).

B. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah

Dasar hukum sebagai upaya negara untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berhak mempunyai hak atas tanah, dengan cara meng-input beberapa data yang berkaitan terhadap setiap peralihannya.

Pendaftaran tanah yang baik merupakan implementasi tertibnya administrasi terkait pertanahan. Dalam rangka mencapai hal tersebut, maka wajib dilakukan pengambilalihan, pembebanan, dan penghapusan pada setiap bidang tanah dan rumah susun.

Pasal 19 ayat (1) UUPA yang berbunyi :

“Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan- ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.”. Pasal tersebut,

(3)

15 merupakan bentuk tanggung jawab dari pemerintah terhadap kepastian hukum pendaftaran tanah.

Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA, semula adalah PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.

Namun pada tanggal 8 Juli 1997 sejak diundangkannya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.tersebut dinyatakan tidak berlaku.1

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja melahirkan PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Sehingga, dasar hukum pendaftaran tanah sekarang, tidak hanya mengacu pada PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Adapun pasal-pasal PP tersebut secara khusus membahas pendaftaran tanah sebagai berikut :

1. Pasal 84

Pasal tersebut di atas, membahas pendaftaran tanah secara elektronik yang hasilnya berupa data pemilik hak, fisik, serta yuridis objek tanah, dan penggunaan alat saat melakukan pengukuran tanah. Pendaftaran tanah secara elektronik juga sebagai alat bukti hukum yang sah. Hasil pendaftaran tanah secara elektronik bersifat perluasan dari alat bukti hukum, sehingga menambah alat bukti yang sebelumnya telah diatur dalam peraturan hukum acara di Indonesia.

(4)

16 2. Pasal``85

Seluruh kegiatan pendaftaran tanah yakni hasil pemeriksaan tanah, surat ukur, NIB, nomor hak, pengumuman hasil pengukuran data fisik dan yuridis disajikan dengan bentuk dokumen elektronik. Data dan dokumen disimpan di dalam pusat data Kementerian ATR/BPN secara elektronik. Penegak hukum yang membutuhkan informasi pertanahan untuk keperluan pembuktian di pengadilan atau suatu instansi guna memperlancar tugasnya dapat dimohonkan cukup melalui sistem elektronik Kementerian ATR/BPN.

3. Pasal 86

PPAT yang merupakan profesi di bawah kewenangan Kementerian ATR/BPN juga difasilitasi dalam hal sistem elektronik sesuai wewenangnya, yakni pembuatan akta otentik berupa Akta Jual Beli, Akta Tukar Menukar, Akta Hibah, Akta Inbreng, Akta Pembagian Hak Bersama, Akta Pemberian HGB/Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik, Akta Pemberian Hak Tanggungan.

4. Pasal 87

Apabila pemegang hak bidang tanah, tak sempat melakukan pendaftaran tanah secara sistematik, niscaya pemegang hak bidang tanah harus melakukan pendaftaran tanah secara sporadik. Hal tersebut, untuk menegaskan bahwa setiap pendaftaran tanah wajib dilakukan baik secara sistematik atau sporadik.

(5)

17 5. Pasal 88

Dahulu ketika masih berdasar PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah terkait pengumuman hasil pengumpulan data fisik dan data yuridis untuk pendaftaran tanah secara sistematik diumumkan selama 30 (tiga puluh) hari, sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik diumumkan selama 60 (enam puluh) hari. Pada PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah pendaftaran tanah secara sistematik maksimal 14 (empat belas) hari dan secara sporadik maksimal 30 (tiga puluh) hari. Ditambah, mensentralkan pengumuman tersebut pada website Kementerian ATR/BPN.

Sementara, pengumuman hasil pengumpulan data fisik dan yuridis berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah melalui media massa saja dan hanya berlaku untuk pendaftaran tanah secara sporadik individual.

6. Pasal 89

Mengatur terkait batas maksimal pelayanan pendaftaran tanah dalam objek hak tanggungan. Hal tersebut, guna menjamin kepastian hukum terhadap pelayanan pendaftaran tanah dalam objek hak tanggungan.

7. Pasal 90

Mengatur terkait pemegang hak perjanjian sewa tanah atau PPJB bisa melakukan permohonan untuk dicatatkan ke kantor Pertanahan setempat. Dahulu, yang berwenang melakukan hal tersebut hanya

(6)

18 PPAT. Sekarang, kantor Pertanahan juga dapat menaunginya. Hal itu, untuk perluasan alat bukti jika nanti terjadi sengketa hukum.

8. Pasal 91

Mengatur terkait, bahwa pihak yang bersangkutan bisa melakukan permohonan pencatatan ke kantor Pertanahan untuk menginformasikan, tanah tersebut sedang menjadi objek sengketa di pengadilan, agar masyarakat tidak mengakses suatu tanah yang sedang bersengketa.

9. Pasal 92

Mengatur tentang Kepala Kantor Pertanahan harus menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan hak atas tanah yang dilakukan secara tertulis terhadap tanah yang menjadi objek perkara di pengadilan (status quo). Maka, tidak dapat dilakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan hak atas tanah. Kecuali, tanah tersebut telah diputus oleh hakim.

10. Pasal 93

Mengatur terkait kantor Pertanahan yang merupakan delegasi kewenangan dari BPN bertanggung jawab terhadap data fisik dan data yuridis objek eksekusi juru sita pengadilan. Hal tersebut, untuk menghilangkan adanya sengketa hukum penyerobotan tanah akibat eksekusi yang dilakukan oleh juru sita pengadilan.

(7)

19 11. Pasal 94

Mengatur terkait terjadi perkembangan konsep hukum HGB dan hak pakai yakni hasil dari kedua hak tersebut dapat dilakukan permohonan pemegang hak agar menjadi hak milik.

12. Pasal 95

Mengatur terkait akta di bawah tangan hak barat seperti sertifikat hak atas tanah menurut eigondom verponding sudah tidak berlaku, kecuali didaftarkan kembali berdasarkan surat pernyataan penguasaan fisik.

13. Pasal 96

Mengatur terkait bagi pemegang sertifikat tanah bekas milik adat, dikarenakan mereka pasti tidak mengetahui bahwa sekarang harus mendaftarkan alat bukti tertulis tanah bekas milik adatnya ke Kantor Pertanahan/BPN setempat dengan jangka waktu 5 (lima) tahun. Jika tidak didaftarkan dalam kurun waktu tersebut, alat bukti tertulis tanah bekas milik adat hanya menjadi petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah serta diterakan tak berabsah dan tak mempunyai kekuatan hukum sebagai alat pembuktian hak atas ketika terjadi sengketa pertanahan terhadap tanah bekas milik adatnya. Hanya menjadi petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah maksudnya ialah pemegang sertifikat tersebut harus membuktikan kembali ke Kantor Pertanahan/BPN setempat, bahwa tanah bekas milik adat itu telah dikuasai secara fisik selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 25 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

(8)

20 14. Pasal 97

Mengatur terkait surat keterangan tanah, surat keterangan ganti rugi, surat keterangan desa, dan lainnya hanya berfungsi sebagai informasi ketika melakukan pendaftaran tanah. Sehingga, PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah amat menekankan terhadap pembuktian hak lama.

15. Pasal 98

Mengatur terkait bagi orang lain yang sebagai pemegang tanah swapraja atau bekas swapraja dapat menjadi pemegang hak, jika dalam mengusahakan atau menggarap tanah tersebut dengan itikad baik. Menyewa tanah bekas swapraja atau konsesi dihapus. Sehingga, penggarap tanah yang tanpa menyewa tanah bekas swapraja atau konsesi tersebut tetap harus membayar pajak kepada negara.

16. Pasal 99

Memerintahkan terkait akan ada peraturan menteri yang lebih spesifik mengatur tentang keseluruhan dari pasal 84 sampai 98 secara elektronik.

C. Tinjauan Umum Tentang GeoKKP Sebagai Teknologi yang Digunakan BPN dalam Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah

1. Pengertian GeoKKP

GeoKKP adalah aplikasi pengumpul data-data pemetaan bidang tanah yang merupakan persyaratan pendaftaran tanah yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

(9)

21 2. Fungsi GeoKKP

Fungsi dari GeoKKP adalah menyusun data pertanahan baik spasial maupun tekstual yang terunifikasi dan terstandar. Hasilnya, akan memudahkan dalam pengelolaan informasi pertanahan. Data pertanahan spasial seperti surat ukur, gambar ukur, peta tanah.

Sedangkan, data pertanahan tekstual berupa buku tanah, nomor hak, SK hak. Maka, GeoKKP ialah aplikasi yang menginput hasil tugas dari Satuan Tugas Fisik. Adapun tugas dari Satuan Tugas Fisik dibagi menjadi 2 (dua) yakni di lapangan dan GeoKKP. Penjelasannya sebagai berikut2 :

a. Di Lapangan :

Melakukan pengukuran dan pemetaan bidang tanah.

b. Di GeoKKP :

Menginput alat yang digunakan saat mengukur tanah di lapangan serta hasil pengukuran dan pemetaan bidang tanah serta ke GeoKKP. Kemudian, membuat peta bidang tanah sampai; buku tanah terbit, surat ukur terbit, Nomor Induk Bidang (NIB) terbit, nomor hak terbit, SK hak terbit.

(10)

22 D. Tinjauan Umum Tentang Sistem Komputerisasi Kegiatan Pertanahan (KKP) Sebagai Teknologi yang Digunakan BPN dalam Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah

1. Pengertian Sistem Komputerisasi Kegiatan Pertanahan (KKP) KKP adalah sistem yang dapat digunakan dengan atau tanpa jaringan internet. Hasil pelaksanaan serangkaian pendaftaran tanah oleh BPN yang diinput ke dalam GeoKPP, secara otomatis terhubung ke dalam KKP.

2. Fungsi Komputerisasi Kegiatan Pertanahan (KKP)

Fungsi dari KKP ialah menyediakan informasi pertanahan berupa data fisik dan yuridis serta memuat informasi mengenai Nadzir dan Wakif terhadap sertifikat wakaf, gambar pertelaan yang bersangkutan dan tanah bersama terhadap sertifikat hak milik atas satuan rumah susun, objek hak tanggungan terhadap sertifikat hak tanggungan.

Dengan adanya KKP yang dapat diakses oleh para pihak yang bersangkutan, permasalahan sertifikat tumpang tindih (overlapping) diharapkan dapat dihilangkan atau paling tidak mampu terminimalisir.

E. Tinjauan Umum Tentang Tumpang Tindih (Overlapping) Sertifikat Hak Atas Tanah

1. Pengertian Tumpang Tindih (Overlapping) Sertifikat Hak Atas Tanah

Sertifikat tumpang tindih (overlapping) merupakan suatu sertifikat yang menunjuk satu objek tanah yang sama secara data fisik dan yuridis.

(11)

23 2. Penyebab Tumpang Tindih (Overlapping) Sertifikat Hak Atas Tanah Sertifikat tumpang tindih dapat terjadi disebabkan oleh hal-hal, berikut ini3 :

1. Data fisik yang ditunjuk berdasarkan pengukuran ulang di lokasi, pemohon menunjuk data fisik yang keliru.

2. Data yuridis sebagai alat bukti surat atas pemegang hak telah tidak berlaku, tidak jelas, bahkan palsu.

Perselisihan sertifikat tumpang tindih dapat terjadi pada tanah warisan. Dilatar belakangi karena pewaris sebelum meninggal telah menjual tanah miliknya kepada orang lain, namun tidak diketahui ahli warisnya, telah diterbitkan sertifikat atas nama pembeli. Kemudian, para ahli warisnya menyertifikatkan objek tanah yang sama, sehingga mengakibatkan tumpang tindih sertifikat, karena sertifikat terdahulu belum dipetakan.

Kemudian, kantor pertanahan sudah mengeluarkan sertifikat atas permintaan pemohon. Padahal, para ahli warisnya melakukan permohonan sertifikat atas bidang tanah yang persis. Hal tersebut, mengakibatkan overlapping sertifikat hak atas tanah. Dikarenakan, kantor pertanahan sejatinya belum melakukan pemetaan atas bidang-bidang tanah itu.

Adapun unsur-unsur overlapping sertifikat hak-hak atas yakni :

(12)

24 1. Sertifikat tersebut, berisi tentang objek tanah. Namun, pada akhirnya terbukti objek tanah itu persis dengan subjek hukum lain.

2. Letak tanah dan batas-batas tanah di dalam sertifikat milik seseorang masuk ke letak tanah dan batas-batas tanah milik pihak lain;

3. Terdapat surat bukti sertifikat tanah atau pengakuan hak atas tanah pada kemudian hari sudah tidak berlaku lagi, yang berlaku ialah surat bukti sertifikat tanah milik pihak yang lebih baru dikeluarkan oleh BPN Setempat/Kantor Pertanahan.

F. Konsep Umum Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pada Segi Putusan

1. Kekuatan Segi Putusan

Kekuatan putusan terlihat ketika pasca putusan akhir pada pengadilan tingkat pertama, pihak yang keberatan tidak mengajukan upaya-upaya hukum. Kekuatan putusan tersebut, berlaku pula ketika semisal pihak yang bersangkutan melakukan upaya hukum banding, bahkan kasasi.

2. Jenis-Jenis Kekuatan Hukum Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

a) Kekuatan Mengikat

Bahwa yang dimaksud mengikat, yakni para pihak dalam putusan tersebut wajib menerima serta menghargai apa-apa saja amar putusannya.

b) Kekuatan Pembuktian

(13)

25 Disebut memiliki kekuatan pembuktian, dikarenakan putusan tersebut digunakan dalam upaya hukum banding atau kasasi, bahkan pengimplementasiannya.

c) Kekuatan Eksekutorial

Artinya, pihak yang kalah dalam putusan, patut menerima serta apapun perintah-perintah melalui amar putusan wajib diimplementasikan.

G. Tinjauan Umum Tentang Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) Menurut Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, ada 2 (dua) hal yang dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan di PTUN, yaiu: (1) KTUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) KTUN bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.4 Setelah UU PTUN 1986 direvisi melalui UU PTUN tahun 2004, kedudukan AUPB meningkat dari prinsip hukum menjadi norma hukum positif, dengan mengamandemen Pasal 53 ayat (2) UU PTUN 2004 dan memasukkan AUPB sebagai dasar pengajuan gugatan pembatalan KTUN ke Pengadilan.5

AUPB sebagai dasar dalam mengajukan gugatan ke PTUN. Hal tersebut berdasar pada Pasal 53 Ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004. Ketentuan hukum selanjutnya yang menunjuk AUPB sebagai dasar dalam mengajukan gugatan ke PTUN, Pasal 52 Ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi, “(2) Sahnya Keputusan

(14)

26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.”. UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan pada Pasal 52 Ayat (2), lebih meninjau AUPB dari segi sahnya KTUN. Jika suatu KTUN tidak memenuhi AUPB serta peraturan perundang-undangan, maka ia dapat dijadikan sebagai objek gugatan ke PTUN, guna dibatalkan.

Muatan-muatan AUPB berdasarkan hukum positif, juga tertuang dalam Pasal 10 (1) UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, yakni

“(1) AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas:

a. kepastian hukum;

b. kemanfaatan;

c. ketidakberpihakan;

d. kecermatan;

e. tidak menyalahgunakan kewenangan;

f. keterbukaan;

g. kepentingan umum;

h. pelayanan yang baik.”.

Selanjutnya, ketentuan hukum Pasal 10 Ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, berbunyi “(2) Asas-asas umum lainnya di luar AUPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterapkan sepanjang dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.”. Pasal 10 Ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan memperbolehkan hakim PTUN menerapkan AUPB sebagai dasar penilaian, diluar dari 8 asas sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 10 Ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, dengan syarat putusan pengadilan

(15)

27 tersebut telah inkracht. Maka, AUPB dapat juga bersumber dari yurisprudensi.

Menurut Indroharto, AUPB merupakan norma bagi perbuatan- perbuatan pemerintahan di samping norma-norma tertulis dan yang tidak tertulis6. Sehingga, AUPB merupakan asas hukum dan bersifat terbuka.

Maksud daripada terbuka, bahwa AUPB senantiasa dinamis mengikuti tumbuh kembang masyarakat.

Asas hukum merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum atau abstrak.7 Asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku.8 Terdapat pasal dalam UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dan UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menegaskan, bahwa AUPB merupakan asas hukum dan bukan sekedar norma hukum konkrit.

Contohnya adalah sebagai berikut :

1. Ketentuan bunyi Pasal 52 Ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, yakni “(2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.”, dalam frasa “...dan AUPB.”,

(16)

28 2. Ketentuan bunyi Pasal 53 Ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi, “(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.”, dalam frasa “...b.

Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.”.

AUPB sebagai asas hukum mengacu pada peraturan perundang- undangan, pendapat para ahli hukum (doctrine), yurisprudensi, serta hukum kebiasaan. Asas hukum mengemban fungsi ganda: yaitu sebagai fondasi dari sistem hukum positif dan sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum positif.9

Keberadaan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik yang tersirat dalam Pasal 53 ayat 2 Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara di samping dapat digunakan untuk menggugat, juga merupakan dasar- dasar (Kriteria atau ukuran) yang digunakan Hakim Administrasi Negara dalam menguji atau menilai (toetsingsgronden) apakah Keputusan Administrasi Negara (Beschikking) yang disengketa bersifat melawan hukum atau tidak.10 Bobot pertimbangan hukum hakim PTUN tersebut ialah fakta

(17)

29 hukum yang dihubungkan ke ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.

H. Sejarah Perkembangan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) di Belanda

Awal mula sebelum menelusuri riwayat sejarah perkembangan AUPB di Belanda, alangkah baiknya menguraikan tentang asal-usul Peradilan Administrasi khusus pada bagian penerapan AUPBnya.

Jika dikomparasikan terhadap sistem Peradilan Administrasi di Prancis dengan sistem Peradilan Administrasi yang berabsah di Belanda, menghasilkan kekhasan yang komprehensif. Disebut komprehensif, sebab perkara-perkara antara warga negara dengan administrasi pemerintahan, ditelusuri dan diputus oleh beragam badan peradilan, yang tiap-tiap badan tersebut sejatinya hanya berwenang di bidang peradilannya. Hal tersebut, sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Sementara di Prancis, perkara administrasi pemerintahan diselesaikan secara langsung oleh Peradilan Administrasi yang telah memiliki yurisdiksi sendiri.

Istilah AUPB adalah pengadopsian dari bahasa Belanda yakni Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur (ABBB).

Beragam badan peradilan yang menyelesaikan perkara administrasi di Belanda, apabila dikategorikan, terbagi menjadi 3 (tiga) kategori, yakni :

1. Putusan perkara dari badan peradilan yang sebenarnya juga termasuk internal pemerintah sendiri, baik pada segi struktural ataupun wewenangnya. Putusan perkara seperti itu dinamakan sebagai putusan secara upaya banding administrasi (administratief beroep).

(18)

30 2. Putusan perkara dari badan peradilan yang terkategori Peradilan Administrasi. Namun, pengertian Peradilan Administrasi dalam hal ini, bukanlah merupakan perihal Peradilan Administrasi yang memiliki kewenangan wilayah hukum (jurisdictie) secara umum yakni Algemene Administrative Rechtspraak, yang hampir mirip dengan yang diberlakukan di Prancis yaitu Tribunal Administrative and Conseil d’Etat. Melainkan, semata-mata sekedar Peradilan Administrasi yang mempunyai sifat khusus dan berwenang terhadap perkara tertentu. Adapun contoh-contohnya adalah sebagai berikut :

a. Dewan Pusat Banding (Centrale Raad van Beroep)

Berwenang melakukan pemeriksaan banding terhadap beschikking yang berhubungan dengan beragam-ragam jenis jaminan sosial,

b. Dewan Banding (College van Beroep voor het Bedrijfsleven) Berwenang khusus melakukan pemeriksaan keputusan dari badan usaha publik,

c. Dewan Pertimbangan Agung Bagian Peradilan (Afdeling Rechtspraak van de Raad van State)

Berwenang khusus beracu pada Wet AROB 1976, dan sebagainya.

3. Putusan perkara oleh Peradilan Perdata atau Umum.

Mencermati keberbagaian sistem Peradilan Administrasi terkhusus pada angka 2 di atas, memperlihatkan tidak adanya dasar kerangka berpikir yang sistematis mengenai pembentukan badan Peradilan Administrasi di

(19)

31 Belanda. Perihal ini, disebabkan karena adanya ketakutan yang berlebihan dari pihak penguasa, bahwa mengenai sistem Peradilan Administrasi akan memayahkan pelaksanaan pemerintahan yang efektif dan efisien.

Ikhtisar lembaga Peradilan Administrasi yang diberlakukan di Belanda tersebut, pada dasarnya bukanlah sistem Peradilan Administrasi yang semestinya. Sebab, ia hanya bersifat sekedar lembaga pengawasan yang ada dalam lingkungan pemerintah sendiri. Maka dari itu, pelaksanaan administrasi pemerintahan sudah sepatutnya berdasar pada geschreven wet (hukum tertulis) dan Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur (ABBB).

Hal tersebut, demi ketertiban khalayak.

Masih terhadap sifat ketakutan yang berlebihan dari pihak penguasa tersebut di atas, bukan hanya dikarenakan kehadiran lembaga Peradilan Administrasi Negara. Namun lebih jauh dari itu, mereka khawatir jikalau para hakim Peradilan Administrasi akan menguji beleid mereka dengan ABBB.

Konsepsi Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur, tak dapat dilepaskan dari sejarah munculnya suatu konsep yang dibuat oleh Komisi La de Monchy di Parlemen Belanda pada tahun 1950. Konsep tersebut, membahas mengenai pengoptimalan guardian of law (Verhoogde Rechtscherming) kepada rakyat dari tindakan pemerintahan secara administrasi, ketika dicermati merampas hak-hak rakyat.

Komisi La de Monchy berpandangan, dalam rangka pengoptimalan guardian of law, didasarkan terhadap asas hukum yang membatasi pemerintah. Artinya, asas hukum yang dilatar belakangi atas kebutuhan

(20)

32 hukum bagi masyarakat. Hal tersebut, dalam rangka melindungi mereka dari kesewenang-wenangan (willekeur) tindakan administrasi pemerintahan.

Konsep itu kemudian, diperkuat oleh Van der Grinten pada tahun 1959 lewat raport atas tindakan-tindakan Peradilan Penyelenggara Administrasi serta Peradilan Pemutus Perkara Pelanggaran Disiplin Perusahaan

Walaupun saran-saran serta pendapat-pendapat dari Komisi La de Monchy dan Van der Grinten tak seluruhnya diterima, tetapi istilah Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur tersebut, pelan-pelan mulai diterapkan oleh hakim Peradilan Administrasi untuk menguji absah atau tidaknya suatu Keputusan Administrasi Pemerintahan (beschikking). Pasca badan-badan peradilan di Belanda mengacu pada yurisprudensi-yurisprudensi menerimanya, maka pembuat undang-undang akhirnya memasukkan Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur ke dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain sebagai berikut :

1. Pasal 5 Undang-Undang Peradilan Administrasi Organisasi- Organisasi Perusahaan (Wet Administratieve Rechtspraak Bedrijfsorganisatie),

2. Pasal 33 Undang-Undang Persaingan Ekonomi (Wet Economische Mededinging),

3. Pasal 27 Undang-Undang Tentang Pajak-Pajak Negara (Algemene Wet Inzake Rijksbelastingen),

4. Pasal 4 Undang-Undang Banding Terhadap Keputusan-Keputusan Pemerintah (Wet Beroep Administratieve Beschikkingen),

(21)

33 5. Pasal 144 Undang-Undang Bea Cukai (Algemene Wet Inzake Douane

En Accjinzen),

6. Pasal 8 Ayat (1-d) Undang-Undang Tentang Keputusan-Keputusan Administrasi Negara (Wet Administratieve Rechtspraak Overheids- Beschikking).

Mengacu pada ketentuan peraturan hukum tersebut di atas, senyatanya AUPB dapat dijadikan dasar dalam rangka mengajukan gugatan oleh masyarakat terhadap beschikking yang diperkarakan. Pada sisi lain, jelas juga bahwa para hakim Peradilan Administrasi di Belanda telah menerapkan AUPB, dengan menilai absah atau tidaknya suatu beschikking yang dikeluarkan oleh Pejabat Administrasi Pemerintahan.

Referensi

Dokumen terkait

Saya sangat senang melakukan kegiatan kerja praktek, karena saya bisa mendapatkan pengalaman, bekerja yang baik serta disiplin dan tanggung jawab dalam pekerjaan,selain itu saya

Pada Desember 2009, bebarapa tujuan Inklusi keuangan tercantum dalam pernyataan PBB, di antaranya: (i) akses ke layanan perbankan umum seperti kredit, sewa, hipotek, asuransi,

Penelitian ini akan melihat indikator sosial ekonomi suatu wilayah, indikator sosial ekonomi perempuan miskin, serta faktor faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan,

Apabila aplikasi SAS sudah berjalan untuk satker yang bersangkutan, maka pengisian daftar DIPA dapat dilakukan melalui proses peng-copy-an data DIPA tersebut kedalam

Sistem koloid merupakan heterogen yang tercampur dari dua zat atau lebih yang partikel tersebut berukuran koloid (fase terdispersi) tersebar merata dalam zat lain

Penurunan kontribusi dari ekspor komoditas subsektor fashion tidak disebabkan oleh penurunan nilai dari ekspor komoditas tersebut pada tahun 2016, tetapi lebih disebabkan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) aktifitas peserta didik selama pembelajaran dengan menerapkan media TTS