• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. itu memberikan corak yang beragam dalam pendekatan dan pengelolaan atas sumber daya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. itu memberikan corak yang beragam dalam pendekatan dan pengelolaan atas sumber daya"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1.1.1. Keragaman Pengelolaan Hutan di Indonesia

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki beragam suku dan budaya, serta potensi sumber daya alam yang melimpah. Keragaman suku dan budaya yang sangat tinggi itu memberikan corak yang beragam dalam pendekatan dan pengelolaan atas sumber daya alam yang ada. Perbedaan satu daerah dengan daerah lainnya menjadi suatu keniscayaan terlebih di era otonomi daerah yang tengah diterapkan di Indonesia. Hal ini dapat menjadi satu nilai positif atau pun negatif bergantung pada bagaimana sudut pandang yang digunakan.

Tingginya keragaman yang ada di Indonesia itu seharusnya menjadi satu modal tersendiri dalam proses pengelolaan sumber daya alam. Indonesia dengan potensi sumber daya hutan yang luasnya mencakup 58% dari total daratan (APHI, 2009), hutan Indonesia yang berperan penting bagi penghidupan dan ketahanan pangan dan gizi sebagian besar penduduknya (Perhutani, 1979; DKP, 2015), hingga jutaan manusia di dunia yang masih bergantung kepada sumber daya hutan untuk kelangsungan hidup mereka (Ritchie, B. dkk.: 2001); selayaknya menjadi penyemangat untuk senantiasa maksimal dalam pengelolaan sumber daya hutan seiring sejalan dengan tingginya potensi keragaman suku dan budaya tersebut.

Namun demikian, Awang, dkk. (2002) mengatakan bahwa pengelolaan ataupun pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat memberikan dampak negatif berupa kerusakan alam dan ekosistem jika pengelolaannya kurang bijaksana, serta dampak positif yaitu kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Oleh karena itu, penting kiranya melaksanakan pengelolaan yang tepat dan dapat menjadi jalan tengah antara

(2)

kebutuhan masyarakat dengan kepentingan ekologis sehingga sumber daya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Agroforestri yang sudah sejak lama dipraktikkan di Indonesia (Sabarnurdin, dkk.: 2011; Rohadi, dkk.: 2013) merupakan sistem pemanfaatan lahan perpaduan antara tanaman tahunan berkayu dengan pertanian atau peternakan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada (Lundgren dan Raintree dalam Nair, 1993), setidaknya bisa menjadi jalan tengah antara kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya alam dengan kepentingan ekologis. Praktik agroforestri yang sudah lama di Indonesia ini setidaknya bisa menjadi informasi penting dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam berikut kearifan lokal yang niscaya ada dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Peribahasa yang cukup masyhur dalam khazanah Bahasa Indonesia ini memberikan gambaran bahwa suku budaya suatu daerah dengan daerah lainnya niscaya ada perbedaan. Begitu pun demikian dalam praktik pengelolaan sumber daya alamnya terlebih di Indonesia yang kaya dengan suku dan budaya. Tuntutan untuk mengetahui kearifan lokal ini menjadi penting mengingat tingginya perkembangan penduduk yang berdampak pada tingginya kebutuhan terhadap sumber daya alam. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana semakin dibutuhkan agar konflik kepentingan antar pihak dapat diatasi dengan baik.

Perbaikan atas pengelolaan sumber daya alam guna menekan konflik ini dapat kita lihat pada salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu Perum Perhutani. Perum Perhutani telah menyadari bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangatlah penting, sehingga terbitlah SK nomor 136/Kpts/Dir/2001 yang menggulirkan model Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat/PHBM (Yuwono, 2008). Model PHBM ini memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut berperan dalam pengelolaan hutan

(3)

sehingga akses terhadap sumber daya alam itu semakin tinggi dan berbeda dengan pendekatan yang digunakan pada era pemerintahan Presiden Soeharto.

Akses masyarakat terhadap sumber daya alam inilah yang menjadi poin penting dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan di Indonesia. Hal ini dikarenakan partisipasi masyarakat secara substansial dan signifikan, mulai dari proses perencanaan sampai pengawasan, termasuk ke dalam salah satu ciri tata kelola kehutanan yang baik (Purba, C.P.P dkk. 2014). Namun, akses masyarakat terhadap sumber daya alam ini juga menjadi satu tantangan tersendiri mengingat tingginya keragaman suku dan budaya.

1.1.2. Dinamika Pengelolaan Hutan di Jawa

Pulau Jawa, salah satu pulau di Indonesia, merupakan pulau tempat tinggal bagi 57,5% penduduk Indonesia (BPS, 2011) dan memberikan kontribusi terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) yaitu 58,91% (BPS, 2016a). Padatnya penduduk di Pulau Jawa dan tingginya aktivitas perekonomian niscaya berkorelasi dengan kebutuhan terhadap sumber daya alam. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan hutan alam di Pulau Jawa, 625 ribu hektar, yang tidak lebih luas dari hutan alam di Bali dan Nusa Tenggara, 1,1 juta hektar (Purba, C.P.P. dkk. 2014). Hutan-hutan di Pulau Jawa itu telah berubah fungsi menjadi lahan pertanian dan pemukiman penduduk. Dinamika pengelolaan sumber daya alam menjadi begitu komplek seiring dengan banyaknya pihak yang berkepentingan baik langsung ataupun tidak, khususnya di Pulau Jawa.

Adapun Magetan merupakan kabupaten terkecil kedua di Provinsi Jawa Timur setelah Kabupaten Sidoarjo dan berada pada ketinggian antara 60 s.d. 1.660 mdpl (BPS, 2015). Dari informasi tersebut, dapat diketahui bahwa sebagian wilayah Magetan berada di dataran tinggi atau kawasan hulu. Lebih tepatnya, Magetan berada di kawasan hulu sisi timur Gunung Lawu yang menjadi perbatasan antara Provinsi Jawa Timur dengan Jawa

(4)

Tengah. Oleh karena itu, kondisi sumber daya alam di daerah ini memiliki peran strategis bagi penyangga lingkungan di wilayah tengah dan hilir (Markum, dkk. 2014).

Peran strategis itu terkadang tidak disadari oleh masyarakat di kawasan hulu. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pemanfaatan sumber daya air yang dirasa mulai menunjukkan tanda-tanda melewati batas, masyarakat mulai berbondong-bondong memasang pipa tersendiri untuk lingkungan tinggalnya. Alhasil, air yang seharusnya mengalir hingga hilir telah lebih dulu “habis” dimanfaatkan oleh masyarakat di kawasan hulu.

Pemanfaatan sumber daya air tersebut hanya sebagai salah satu contoh bahwa masyarakat tetap bergantung kepada sumber daya alam. Tingginya kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya alam, meningkatnya jumlah penduduk, hingga semakin banyaknya lahan pertanian berubah menjadi rumah dan bangunan lain, semakin mendesak lahan hutan terlebih kawasan hutan yang langsung berbatasan dengan pemukiman. Oleh karena itu, pengelolaan kawasan hutan dituntut untuk lebih baik lagi sehingga keberadaan hutan benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara langsung. Tidak jarang adaptasi kebijakan yang diambil oleh pengelola hutan terpaksa harus berseberangan dengan hukum positif yang tengah berlaku di Indonesia guna mewujudkan kebermanfaatan yang bisa dirasakan langsung tersebut.

Kompleksitas permasalahan pengelolaan hutan di Jawa, khususnya di daerah Kabupaten Magetan, adalah potret tantangan pengelolaan hutan masa kini. Tuntutan fleksibilitas rimbawan lapangan pun semakin tinggi seiring tingginya desakan kebutuhan masyarakat atas lahan hutan. Sistem tumpangsari yang dikenalkan oleh Buurman pada tahun 1873 pun menjadi andalan dalam keberhasilan pembangunan hutan tanaman jati yang bagus dan berpotensi tinggi (Simon, H. 2010a) sebagai jawaban atas desakan kebutuhan lahan tersebut.

(5)

Buurman merancang sistem tumpangsari selesai dalam jangka waktu dua tahun tetapi perkembangan penerapannya sangat dinamis seiring dengan dinamika yang ada di suatu daerah. Dinamika ini juga terjadi di kawasan hulu Kabupaten Magetan yang nyatanya masih ada pengolahan lahan di bawah tegakan pada kelas umur (KU) lanjut, khususnya pada kawasan hutan produksi di BKPH Lawu Selatan, KPH Lawu DS. Selain itu, pada kawasan hutan lindung juga ada penanaman di bawah tegakan dengan jenis hijauan makanan ternak (HMT).

Pada hutan produksi di BKPH Lawu Selatan, KPH Lawu DS, ditemukan aktivitas masyarakat sekitar hutan yang cukup tinggi. Selain kegiatan penyadapan getah pinus (Pinus merkusii), ditemukan juga pemanfaatan lahan di bawah tegakan (PLDT). Bentuk PLDT itu antara lain; penanaman sayuran, tembakau, kopi, dan tanaman bernilai ekonomi tinggi lainnya, hingga penanaman HMT. Pada hutan lindung BKPH Lawu Selatan, KPH Lawu DS, ditemukan area cukup luas yang digunakan untuk penanaman HMT.

1.2 Rumusan Masalah

Perhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang kehutanan, menjadi satu-satunya BUMN yang memegang kuasa penuh dalam pengelolaan di hampir seluruh kawasan hutan Pulau Jawa. Budaya kerja Perhutani yang masih erat dengan pola kolonialisme jaman penjajahan Belanda (Peluso, 2006) menjadi satu tantangan tersendiri dalam kaitannya dengan penerapan program kehutanan sosial yang ada. Tidak jarang konflik yang mengemuka itu disebabkan oleh sistem kolonialisme yang masih mengakar di Perhutani.

Tingginya desakan terhadap kawasan hutan oleh berbagai aktor menuntut pengelola hutan harus benar-benar bijak dalam mengambil setiap keputusan. Perencanaan dan pemanfaatan hutan yang tidak tepat bisa mengantarkan Perhutani pada konflik berkepanjangan dan mendatangkan kerugian yang tidak sedikit.

(6)

Konflik yang sering mengemuka dalam pengelolaan hutan menurut Herawan (2017) antara lain; pencurian/penjarahan hasil hutan, perambahan lahan, okupasi lahan penambangan emas tanpa izin dan proses pinjam pakai kawasan hutan. Oleh karena itu, guna meningkatkan keamanan dan kenyamanan dalam pengelolaan kawasan hutan, Perhutani terus berproses mendekatkan diri kepada masyarakat, atau dengan kata lain menggunakan pendekatan yang lebih humanis dalam pengelolaan kawasan hutan.

Bentuk pengelolaan itu dapat berupa pemahaman terhadap kondisi sosial budaya di suatu kawasan dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap hutan dan kedekatan antara masyarakat dengan pengelola hutan, sehingga masyarakat akan berperan aktif dalam menjaga keamanan hutan. Selain itu, adanya program yang mendatangkan keuntungan akan lebih meningkatkan kebergantungan masyarakat terhadap hutan sehingga mau tidak mau masyarakat akan menjaga keberadaan hutan itu sendiri.

Kawasan hutan di Kelurahan Sarangan, lereng timur Gunung Lawu, menurut fungsi pokoknya terdapat dua jenis; yaitu kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi. Dua kawasan dengan peruntukan yang berbeda niscaya menimbulkan interaksi yang berbeda antara masyarakat dengan kawasan hutan, termasuk dinamika yang terjadi di dalamnya. Interaksi yang erat dengan intensitas yang cukup tinggi antara masyarakat dengan hutan inilah yang memunculkan pertanyaan mengenai pengelolaan kawasan hutan di BKPH Lawu Selatan, KPH Lawu DS.

Bagaimana kebijakan pengelola kawasan BKPH Lawu Selatan, KPH Lawu DS dalam tata kelola lahan bersama masyarakat dengan dua fungsi hutan yang berbeda? Bagaimana masyarakat sekitar hutan mengakses pemanfaatan kawasan hutan? Bagaimana bentuk adaptasi kebijakan yang dibuat oleh pengelola hutan?

(7)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung di lereng timur Gunung Lawu, dengan cara:

a. Mengetahui pola dan dinamika tata kelola lahan hutan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung lereng timur Gunung Lawu.

b. Mengetahui pola akses masyarakat dalam mengelola lahan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung lereng timur Gunung Lawu.

c. Mengetahui adaptasi kebijakan dalam pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung atas dinamika yang ada.

1.4 Batasan Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada kegiatan tumpangsari yang ada di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, BKPH Lawu Selatan, KPH Lawu DS, yang di dalamnya terdapat pola juga dinamika pengelolaan kawasan hutan. Adaptasi kebijakan digali dari pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung oleh pengelola kawasan BKPH Lawu Selatan, KPH Lawu DS dan masyarakat di sekitar kawasan hutan.

Hutan produksi yang diamati adalah hutan yang berada di Kelurahan Sarangan. Pemilihan hutan produksi di Kelurahan Sarangan sebagaimana rekomendasi dari pengelola BKPH Lawu Selatan, KPH Lawu DS, dan ditemukan tingginya intensitas masyarakat masuk ke kawasan hutan produksi.

Hutan lindung yang diamati berada di Kelurahan Sarangan dan Desa Genilangit. Kawasan hutan lindung di dua tempat ini sangat dekat dengan pemukiman penduduk. Selain itu, hutan lindung di dua tempat ini memiliki beberapa perbedaan karakter –jarak antara rumah penduduk ke kawasan hutan lindung dan tingkat kecuraman kawasan hutan-- tetapi tingkat interaksi masyarakatnya dengan kawasan hutan cukup tinggi.

(8)

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai tata kelola lahan, khususnya tumpangsari, telah banyak dilakukan terlebih jika berkaitan dengan kegiatan teknis pengelolaan tumpangsari itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian dengan kata kunci “tumpangsari” lebih banyak menunjukkan pengamatan teknis tentang produktivitas sistem tumpangsari tersebut. Penelitian ini lebih difokuskan pada pengelolaan lahan melalui tumpangsari dari aspek waktu dan sosialnya.

Penelitian ini mencoba mengaitkan antara tata kelola lahan pasca tumpangsari dengan dinamika sosial masyarakat yang ada di sekitar kawasan hutan. Tabel 1 menunjukkan beberapa penelitian yang sekiranya memiliki tema serupa dengan penelitian ini.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam rangka mengetahui dinamika pengelolaan sumber daya alam ini, diharapkan kebermanfaatannya antara lain:

1. Memberikan informasi kepada aktor terkait tentang bentuk pengelolaan dan akses masyarakat atas lahan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung.

2. Memberikan rekomendasi dalam pengelolaan sumber daya alam berdasarkan dinamika dan fakta yang berkembang di masyarakat.

(9)

Tabel 1. Daftar penelitian terdahulu yang memiliki tema serupa No Penulis

(Tahun)

Judul Tujuan Metode Kesimpulan

1 Agus Eko Raharjo Pepekai (2015) Dampak Konversi Lahan terhadap Lingkungan Lahan Pertanian dan Strategi Adaptasi Petani di Kecamatan Mejayan Kabupaten Madiun

a. Mengkaji dampak konversi lahan pertanian terhadap kondisi lingkungan lahan pertanian serta kondisi sosial ekonomi petani

b. Mengkaji bentuk strategi adaptasi yang dilakukan petani dalam menghadapi konversi lahan pertanian c. Mengkaji pengaruh konversi

lahan terhadap strategi adaptasi petani Penelitian survei dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam. Analisa deskriptif kuantitatif dengan uji statistik chi kuadrat dan koefisien kontigensi.

a. Konversi lahan di wilayah Kecamatan Mejayan berdampak negatif pada lahan pertanian sawah dan tegalan diantaranya semakin berkurangnya lahan usaha tani, kerusakan saluran irigasi, serta menurunnya kesuburan lahan akibat sampah rumah tangga. b. Terdapat perbedaan bentuk strategi

adaptasi dari masing-masing rumah tangga petani, diantaranya 56,5% pemilik lahan menerapkan strategi akumulasi, 87,1% petani penggarap menerapkan strategi konsolidasi, dan 84,2% dari buruh tani menerapkan strategi survival.

c. Faktor kondisi sosial ekonomi dengan nilai koefisien kontigensi 0,557 dan kepemilikan aset dengan nilai koefisien kontigensi 0.462

berpengaruh secara nyata terhadap bentuk strategi adaptasi petani, status kondisi sosial ekonomi lebih kuat pengaruhnya terhadap bentuk adaptasi petani.

2 Hernung Saktyorin i (2013)

Ora Obah Ora Mamah; Studi

Pemanfaatan Sumber daya Alam dan

a. Mengetahui bentuk pemanfaatan dan

pengelolaan sumber daya hutan di Taman Nasional

Penelitian etnografi dengan pengambilan data melalui

observasi-partisipatif

a. Terdapat ketergantungan antara masyarakat Ngadas terhadap sumber daya hutan dimana mereka mempunyai rasionalitas pemikiran dalam

(10)

No Penulis (Tahun)

Judul Tujuan Metode Kesimpulan

Strategi Adaptasi Masyarakat Enclave Ngadas di Tengah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Bromo Tengger Semeru sebagai bagian dari strategi adaptasi masyarakat Ngadas b. Mengetahui kegiatan yang

dilakukan petani dalam intensifikasi pertanian di bidang sayuran

c. Mengetahui perbedaan pola adaptasi antar kelas pada masyarakat Ngadas

dan wawancara mendalam. Analisa deskriptif kualitatif

memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan melalui ketersediaan sumber daya, masyarakat dapat mengerjakan pertanian, mengambil kayu, rumput serta bahan-bahan untuk ritual keagamaan.

b. Pemanfaatan lahan di sekitar enclave dan pemanfaatan nun-lahan

masyarakat diperbolehkan memungut hasil hutan dengan syarat tertentu. c. Adaptasi kelas bawah lebih bersifat

realistis dalam mengusahakan ladang mereka. Adaptasi kelas menengah memanfaatkan jaringan seperti kelompok tani untuk

mengakumulasikan modal dalam bentuk tabungan serta mendapat keuntungan dari kelompok tani berupa kemudahan mendapatkan pupuk. Adaptasi kelas atas menggunakan mekanisme sewa-menyewa dan bagi hasil pada ladang mereka untuk melepaskan tanggung jawab mereka dalam memelihara sapi meski harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. 3 Johana Bety Paembon an (2016) Pola Akses Masyarakat Lokal dalam Pemanfaatan Hutan Lindung di

a. Mengetahui pola akses pemanfaatan hutan lindung oleh masyarakat lokal di

Metode kombinasi, pengumpulan data dengan wawancara mendalam, observasi lapangan, dan

a. Pola akses pemanfaatan hutan lindung antara lain; pemanfaatan hutan untuk berkebun, pemanfaatan HHBK (sayuran hutan, buah-buahan, biji-bijian, rotan), serta pemanfaatan hasil

(11)

No Penulis (Tahun)

Judul Tujuan Metode Kesimpulan

Kabupaten Pegunungan Bintang Kabupaten Pegunungan Bintang b. Merumuskan strategi pemanfaatan yang berkelanjutan bagi masyarakat dan kawasan hutan.

penelusuran dokumen. Analisa deskriptif, analisa SWOT dan AHP, serta analisa Miles dan Huberman.

hutan kayu untuk sumber energi dan kayu bangunan.

b. Rumusan strategi pemanfaatan hutan lindung kedepannya yaitu; 1)

peningkatan akses informasi bagi para pihak melalui sosialisasi batas-batas kawasan hutan menurut fungsinya, 2) peninjauan kembali penunjukan kawasan hutan khususnya kawasan dengan fungsi lindung dan konservasi di Kabupaten Pegunungan Bintang, 3) peningkatan produktivitas lahan dengan mengembangkan pola

agroforestri, dan 4) pengakuan secara de jure melalui perda masyarakat hukum adat dengan pemetaan dan inventarisasi wilayah ulayat. 4 Lia Ardianti (2017) Karakteristik Pola Tanam Agroforestri Pasca Tumpangsari Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Peluang Keberlanjutannya di Desa Hargowilis, Kokap, Kulon Progo

a. Mengetahui karakteristik pola tanam agroforestri pasca tumpangsari yang diterapkan oleh masyarakat pada lahan Hutan

Kemasyarakatan (HKm) b. Mengetahui peluang

keberlanjutan pola tanam agroforestri pasca tumpangsari Hutan Kemasyarakatan (HKm) Metode menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dengan data dianalisa menggunakan analisis multy dimensional scalling (MDS) dan indeks nilai selang

a. Karakteristik pola tanam agroforestri pasca tumpangsari yang diterapkan oleh petani adalah pola tanam alternate row dengan komposisi tanaman berkayu, empon-empon, umbi-umbian, tanaman buah, dan hijauan makanan ternak (HMT). b. Peluang keberlanjutan pola tanam

agroforestri pasca tumpangsari termasuk dalam keberlanjutan sedang dengan nilai 11,5 pada skala 4-16

(12)

No Penulis (Tahun)

Judul Tujuan Metode Kesimpulan

5 Moh. Solehatul Mustofa (2011)

Perilaku Masyarakat Desa Hutan dalam Memanfaatkan Lahan di Bawah Tegakan

Mengetahui perilaku masyarakat desa hutan dalam memanfaatkan lahan di bawah tegakan tanpa menimbulkan gangguan kerusakan hutan. Penelitian kualitatif menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisa interpretasi.

Perilaku penduduk sekitar terhadap lingkungan hutan ditunjukkan dengan hal-hal berikut: membuka lahan,

memanfaatkan lahan hutan untuk

pertanian, menjaga kelestarian hutan, dan menjaga keamanan hutan.

6 Rela Pambudi (2016) Implementasi Dialog Otentik dalam Pengelolaan Hutan di BKPH Ngarengan KPH Pati Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Tengah a. Mengetahui bentuk keragaman kepentingan antara masyarakat dan Perhutani dalam pengelolaan hutan

b. Mengetahui bentuk saling ketergantungan antara masyarakat dan Perhutani dalam pengelolaan hutan c. Menyusun strategi untuk

menciptakan kondisi pengelolaan hutan yang kolaboratif.

Penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Analisa deskriptif dan SWOT.

a. Bentuk kepentingan masyarakat terhadap sumber daya hutan yaitu kebutuhan lahan garapan untuk

pertanian ketela, sumber pakan ternak, kayu bakar dan kepentingan untuk mendapatkan dana bagi hasil. Bentuk kepentingan Perhutani yaitu

menyelenggarakan pengelolaan hutan sesuai tupoksinya serta menciptakan kelestarian hutan untuk memupuk keuntungan perusahaan.

b. Masyarakat tergantung dengan Perhutani karena sumber daya lahan yang dimiliki Perhutani, sedangkan Perhutani tergantung dengan

masyarakat karena tenaga kerja yang dimiliki masyarakat, harapan bantuan keamanan hutan dari masyarakat dan ketergantungan karena pengelolaan hutan dibatasi oleh kepentingan masyarakat.

c. Upaya penyelesaian konflik dilakukan secara kolaboratif dengan model

Gambar

Tabel 1. Daftar penelitian terdahulu yang memiliki tema serupa  No  Penulis

Referensi

Dokumen terkait

Untuk siswa/i MAS Al-Ishlah Al-Aziziyah Lueng Bata Banda Aceh, rajinlah belajar tentang ilmu akidah akhlak, khususnya yang membahas tentang penyakit hasad agar mengerti

Hasil penelitian ini Kurangnya komunikasi dan sumber daya Implementasi Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis

Komisi yang diberikan kepada pialang asuransi, agen dan perusahaan asuransi lain sehubungan dengan penutupan pertanggungan dicatat sebagai beban komisi, sedangkan komisi yang

Tingginya tingkat kunjungan wisatawan manca negara ke Daerah Istimewa Yogyakarta dan kekayaan potensi alam yang dimiliki oleh kawasan pantai Samas Bantul

Pengolahan surat keterangan untuk menikah Pengolahan surat keterangan belum menikah Pengolahan SKCK Pengolahan keterangan pindah WNI Pengolahan surat keterangan

Namun bila terlalu banyak serbuk kelapa didalam komposit fraksi massa akan menurunkan kekuatan mekanisnya.Kekuatan rata-rata tarik komposit maksimal 13,473MPa

Secara umum, KP adalah masalah penempatan beberapa item ke dalam satu atau lebih tempat (biasa disebut Knapsack) yang mempunyai kapasitas tertentu, dimana setiap item memiliki bobot

Proses untuk mencari sumber atau susunan yang memberikan diagram arah sesuai keinginan designer Sintesa diagram tidak selalu sederhana dan mungkin menghasilkan susunan yang