• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) a. Pengertian Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah semua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) a. Pengertian Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah semua"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori

1. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) a. Pengertian

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi dan diduga karena imunisasi.15

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) / Adverse Event Following Immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi, baik berupa reaksi vaksin ataupun efek simpang, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis; atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.16

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi.17 Pada kejadian tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (artritis kronik pasca vaksinasi rubela), atau sampai 6 bulan (infeksi irus campak vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).17

b. Klasifikasi KIPI

Klasifikasi menurut WHO (1999) yaitu klasifikasi lapangan untuk petugas yaitu:

1) Kesalahan program / teknik pelaksanaan (programmatic errors). Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi. Contoh kesalahan program : dosis antigen (terlalu banyak), lokasi dan cara penyuntikan, sterilisasi

(2)

septik, kontaminasi vaksin dan alat suntik, penyimpanan vaksin, pemakaian sisa vaksin, jenis dan jumlah pelarut vaksin, serta tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra, dll). Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama. Kecenderungan lain adalah apabila suatu kelompok populasi mendapat vaksin dengan batch yang sama tetapi tidak terdapat masalah, atau apabila sebagian populasi setempat dengan karakteristik serupa yang tidak diimunisasi tetapi justru menunjukkan masalah tersebut.1

Kasus KIPI berhubungan dengan kesalahan teknik pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi, cara menyuntik, sterilisasi dan penyimpanan vaksin. Semakin membaiknya pengolahan vaksin, pengetahuan dan ketrampilan petugas pemberi vaksinasi, maka kesalahan tersebut dapat diminimalisasi.18

Berikut beberapa kesalahan program yang dapat menimbulkan terjadinya KIPI.

Tabel 2.1 Kesalahan program yang dapat menjadi KIPI

KESALAHAN PROGRAM KIPI

Penyuntikan yang tidak steril

 Menggunakan jarum suntik atau syringe bekas (reuse).

 Vaksin atau pelarut yang

terkontaminasi (lemari pendingin tidak boleh dipergunakan untuk menyimpan obat lain selain vaksin agar tidak terkontaminasi).

 Menggunakan kembali vaksin yang sudah dilarutkan pada pelayanan berikutnya (segera dibuang setelah 6 jam).

Infeksi (seperti: supurasi lokal pada daerah suntikan, abses, sellulitis), infeksi sistemik : sepsis, toxic shock syndrome, penularan virus lewat darah (seperti : HIV, Hepatitis B atau C)

Penyiapan vaksin secara tidak benar  Vaksin dilarutkan dengan pelarut yang

salah.

 Obat tertukar dengan vaksin atau pelarut.

Reaksi lokal atau abses karena pengocokan tidak adekuat.

Reaksi obat (contoh : muscle relaxant, insulin)

(3)

KIPI kesalahan program yang paling sering adalah infeksi karena suntikan yang tidak steril. Gejala yang timbul dari suatu KIPI kesalahan program dapat membantu dalam mengidentifikasi penyebab.17

Pencegahan:

a) Alat suntik steril untuk setiap suntikan

b) Pelarut vaksin yang sudah disediakan oleh produsen vaksin c) Vaksin yang sudah dilarutkan segera dibuang setelah 6 jam d) Lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksin e) Pelatihan vaksinasi dan supervise yang baik

Program error dilacak, agar tidak terulang kesalahan yang sama.15 2) Reaksi suntikan (Injection reaction)

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak, dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.16

Reaksi suntikan yang terjadi tidak berhubungan dengan kandungan vaksin. Tetapi lebih karena trauma akibat tusuk jarum misalnya : bengkak, nyeri dan kemerahan tempat suntikan. Kecemasan, pusing atau pingsan karena takut terhadap jarum suntik juga dapat menyebabkan reaksi suntikan. Reaksi suntikan dapat dihindari dengan melakukan teknik penyuntikan secara benar dan komunikasi terlebih dahulu.18

Pencegahan:

a) Teknik penyuntikan yang benar.

b) Suasana tempat penyuntikan yang tenang

(4)

3) Induksi vaksin (reaksi vaksin)

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian terrtulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk yang ada harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.20

Pencegahan:

a) Pencegahan terhadap reaksi vaksin b) Perhatikan kontra indikasi

c) Vaksin hidup tidak diberikan kepada anak dengan defisiensi imunitas.

d) Orang tua diajar menangani reaksi vaksin yang ringan dan dianjurkan segera kembali apabila ada reaksi yang mencemaskan e) Paracetamol dapat diberikan 4x sehari untuk mengurangi gejala

demam dan rasa nyeri

f) Mengenal dan mampu mengatasi reaksi anafilaksis lainnya disesuaikan dengan reaksi ringan/berat yang terjadi atau harus dirujuk kerumah sakit dengan fasilitas lengkap.15

4) Faktor kebetulan (Coincidental)

Kejadian terjadi setelah imunisasi yang timbul secara kebetulan. Indikator faktor kebetulan ditemukannya kejadian yang sama di saat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakter serupa tetapi tidak mendapat imunisasi.21

(5)

5) Penyebab tidak diketahui

Kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke dalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.1

c. Gejala Klinis KIPI

Tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka jika seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu diobservasi beberapa saat, sehingga dapat dipastikan tidak terjadi KIPI. Lama waktu observasi sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15 menit.

Untuk menghindari hal tersebut maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis.

Tabel 2.2 Gejala Klinis KIPI

Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI Saat timbul KIPI

Toksoid

Tetanus, (DPT, DT, TT)

Syok Anafilaksis Neuritis brakhial

Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 4 jam 2-18 hari Tidak tercatat Pertusis whole cell (DPwT) Syok anafilaksis Ensefalopati

Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian

4 jam 72 jam Tidak tercatat

Campak Syok anafilaksis

Ensefalopati

Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian

4 jam 5-15 hari Tidak tercatat Trombositopenia

Klinis campak pada resipien Imunokompromais

Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 7-30 hari 6 bulan Tidak tercatat Polio Hidup (OPV) Polio paralisis

Polio paralisis pada resipien Imunokompromais

Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian

30 hari 6 bulan

Hepatitis B Syok anafilaksis

Komplikasi akut termasuk kecacatan dan 4 jam Tidak tercatat

(6)

d. Penanggulangan Medik Kasus KIPI

Kepala Puskesmas, Tim KIPI tingkat Kabupaten/Kota dapat menganalisis data hasil pelacakan untuk menilai klasifikasi kasus dan dicoba mencari penyebab kasus tersebut. Dengan adanya data kasus, maka pada kasus ringan penanggulangan dapat diselesaikan oleh Puskesmas dan memberikan pengobatan segera, Komda PP-KIPI hanya perlu diberikan laporan, dan yang selanjutnya akan melakukan evaluasi. Apabila kasus tergolong berat, harus segera dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut dan pemberian pengobatan segera. Kasus berat yang masih dirawat, sembuh dengan gejala sisa, atau kasus meninggal, dilakukan evaluasi ketat dan apabila diperlukan Komda PP-KIPI segera dilibatkan.17

e. Surveilans KIPI

Adalah kegiatan untuk mendeteksi dini, merespons kasus KIPI dengan cepat dan tepat, mengurangi dampak negatif imunisasi untuk kesehatan individu dan pada program imunisasi dan merupakan indikator kualitas program.

Kegiatan surveilans KIPI meliputi :

1) Mendeteksi, memperbaiki, dan mencegah kesalahan program.

2) Mengidentifikasi peningkatan rasio KIPI yang tidak wajar pada petunjuk vaksin atau merek vaksin tertentu.

3) Memastikan bahwa suatu kejadian yang diduga KIPI merupakan koinsiden (suatu kebetulan).

4) Memberikan kepercayaan masyarakat pada program imunisasi dan memberi respon yang tepat terhadap perhatian orang tua/masyarakat tentang keamanan imunisasi di tengah kepedulian (masyarakat dan professional) tentang adanya resiko imunisasi.

5) Memperkirakan angka kejadian KIPI (rasio KIPI) pada suatu populasi.17

(7)

f. Pelaporan KIPI

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaporan :

1) Identitas : nama anak, tanggal dan tahun lahir, jenis kelamin nama orang tua dan alamat harus jelas.

2) Jenis vaksin yang diberikan, dosis, siapa yang memberikan. Vaksin sisa disimpan dan dipelakukan sepei vaksin yang masih utuh. 3) Nama dokter yang bertanggung jawab.

4) Riwayat KIPI pada imunisasi terdahulu.

5) Gejala klinis yang timbul dan atau diagnosis, pengobatan yang diberikan dan perjalanan penyakit, (sembuh, dirawat atau meninggal) sertakan hasil laboratorium yang pernah dilakukan tulis juga apabila terdapat penyakit yang menyertai.

6) Waktu pemberian imunisasi (tanggal, jam).

7) Saat timbulnya gejala KIPI sehingga diketahui, berapa lama interval waktu antara pemberian imunisasi dengan terjadinya KIPI, lama gejala KIPI.

8) Apakah terdapat gejala sisa, setelah dirawat dan sembuh. 9) Bagaimana cara menyelesaikan masalah KIPI.

10) Adakah tuntunan dari keluarga. 11) Angka kejadian KIPI.

g. Angka Kejadian KIPI

KIPI yang paling sering terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik atau hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi.24

(8)

h. Imunisasi pada kelompok resiko

Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dalam kelompok resiko adalah :

1) Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasai terdahulu. Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI setempat dan KN PP KIPI dengan mempergunakan formulir pelaporan yang telah tersedia untuk penanganan segera.

2) Bayi berat lahir rendah

Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah :

a) Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah daripada bayi cukup bulan.

b) Apabila berat badan bayi cukup kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 200 gram atau berumur 2 bulan; imunisasi hepatitis B diberikan pada umur 2 bulan atau lebih kecuali bila ibu mengandung HbsAg.

c) Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak menyebabkan penyebaran virus polio melalui tinja.

3) Pasien Imunokompromais

Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien imunokompromais dapat diberikan IVP bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu pendek. Tetapi imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2mg/kg berat badan/hari

(9)

atau prednison 20 mg/kg berat badan/hari selam 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai. 4) Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobin

Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan untuk menghindarkan hambatan pembentukan respon imun.23

i. Indikasi Kontra dan Perhatian Khusus Untuk Imunisasi

Pada umumnya tidak terdapat indikasi kontra imunisasi untuk individu sehat kecuali untuk kelompok resiko. Pada setiap sediaan vaksin selalu terdapat petunjuk dari produsen yang mencantumkan indikasi kontra serta perhatian khusus terhadap vaksin. Petunjuk ini harus dibaca oleh setiap pelaksana vaksinasi.

1) Secara umum (berlaku untuk semua vaksin) :

a) Alergi terhadap vaksin (setelah vaksinasi pertama timbul reaksi alergi, bahkan sampai syok).

b) Alergi terhadap zat lain yang terdapat di dalam vaksin (antibiotika yang terdapat di dalam vaksin, pengawet, dan lain-lain).

c) Sakit sedang atau berat, dengan atau tanpa demam (sakit akut ringan dengan atau tanpa demam bukan indikasi kontra imunisasi).

2) Secara khusus (untuk beberapa vaksin) :

a) Imunodefisiensi (keganasan darah atau tumor padat, imunodefisiensi kongenital, terapi dengan obat-obatan yang menurunkan daya tahan tubuh seperti kortikosteroid (prednisone, metil prednisolon) jangka panjang > imunisasi polio oral, MMR, varisela.

b) Infeksi HIV (polio oral dan varisela) atau kontak HIV serumah (polio oral).

c) Imunodefisiensi (gangguan kekebalan tubuh) penghuni rumah poli oral.

(10)

d) Kehamilan MMR, Varisela (tapi bila ibunya yang hamil, tidak apa-apa bila anaknya diimunisasi.23

j. Daftar Cek Pra-Imunisasi

Sebelum anak anda diimunisasi, beritahu dokter atau perawat jika hal-hal berikut berlaku :

1) Anak merasa tidak enak badan pada hari imunisasi (suhu tubuh diatas 38,50C).

2) Pernah mengalami reaksi yang berat terhadap vaksin apapun. 3) Pernah menderita alergi parah terhadap unsur vaksin apapun.

Efek samping umum :

1) Mudah marah, menangis, gelisah dan umumnya tidak senang. 2) Rasa kantuk dan lelah.

3) Demam ringan.

4) Kesakitan, kemerahan dan pembengkakan pada tempat bekas suntikan.

5) Benjolan kecil sementara pada tempat bekas suntikan. Efek samping yang sangat jarang :

1) Peristiwa kejadian hypotonic-hyporesponsive (Hypotonic-hyporesponsive episode yang disebut HHE).

Balita mungkin menunjukkan tanda-tanda pucat, lemah dan tidak bereaksi apapun. Hal ini dapat terjadi sekitar satu sampai 48 jam setelah vaksinasi. Gejala ini dapat berlangsung selama beberapa menit sampai 36 jam. Pemeriksaan lebih lanjut pada anak yang mengalami HHE menunjukkan bahwa tidak ada dampak jangka panjang pada saraf atau efek samping lainnya.

2) Reaksi alergi berat.

Jika reaksi ringan terjadi, reaksi tersebut dapat berlangsung selama sehari sampai dua hari. Efek samping tersebut bisa dikurangi dengan minum cairan lebih banyak, tidak memakai pakaian terlalu banyak, mengompres tempat bekas suntikan dengan kaian basah yang dingin serta emberikan anak paracetamol untuk mengurangi

(11)

demamnya (perhatikan dosis yang dianjurkan untuk usia anak). Jika reaksi sangat berat atau berkelanjutan, atau jika khawatir, hubungi dokter atau rumah sakit.24

2. Imunisasi a. Pengertian

Imunisasi merupakan usaha pemberian kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu.25

Imunisasi adalah cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit.6

Dalam keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1059/MENKES/SK/IX/2004 imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan menderita penyakit tersebut.26

Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh tubuh itu sendiri. Sedangkan kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah.27

b. Tujuan pemberian imunisasi

Tujuan pemberian imunisasi adalah :

1) Diharapkan anak menjadi kebal terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.

2) Dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

(12)

3) Menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari 9 dunia seperti pada imunisasi cacar variola.6

c. Manfaat imunisasi :

1) Untuk anak : mencegah penderita yang disebabkan oleh penyakit dan kemungkinan cacat atau kematian.

2) Untuk keluarga : menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa anak akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.

3) Untuk Negara : memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan bekal untuk melanjutkan pembangunan Negara.24

d. Macam- macam imunisasi

Menurut Atikah (2010) macam imunisasi terbagi menjadi 2 yaitu : 1) Imunisasi aktif

Imunisasi aktif merupakan pemberian bibit penyakit yang telah dilemahkan (vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan memberikan suatu ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan meresponnya. Dalam imunisasi aktif, terdapat beberapa unsur vaksin yaitu :

a) Vaksin dapat berupa organisme yang secara keseluruhan dimatikan. b) Pengawet, stabilisator atau antibiotik. Merupakan zat yang digunakan agar vaksin tetap dalam keadaan lemah atau menstabilkan antigen dan mencegah tumbuhnya mikroba.

c) Cairan pelarut dapat berupa air steril atau juga berupa cairan kultur jaringan yang digunakan sebagai media tumbuh antigen.

Keuntungan imunisasi aktif yaitu :

a) Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidup b) Murah dan efektif

(13)

2) Imunisasi pasif

Imunisasi pasif merupakan pemberian zat (imunoglobulin), yaitu suatu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang didapat bayi dari ibu melalui plasenta) atau binatang (bias ular) yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi.24 3) Cara pemberian imunisasi dan waktu pemberian imunisasi

a) Cara Pemberian Imunisasi

Tabel 2.3 Cara pemberian imunisasi dasar (modul kebijakan program imunisasi, DepKes 2006 ).

Vaksin Dosis Cara pemberian

BCG 0,05 ml Disuntikkan secara intrakutan didaerah kanan atas (insertio musculus deltoideus)

DPT 0,5 ml Secara intramuscular Polio 2 tetes Diteteskan ke mulut

Campak 0,5 ml Subkutan, biasanya dilengan kiri atas Hepatitis B 0,5 ml Intramuscular pada anterolateral paha

b) Jadwal pemberian imunisasi

Tabel 2.4 Waktu yang tepat untuk pemberian imunisasi dasar (DepKes RI, 2006)

Umur Jenis Imunisasi

0-7 hari Hepatitis B 1

1 bulan BCG

2 bulan Hepatitis B 2, DPT 1, Polio 1 3 bulan Hepatitis B 3, DPT 2, Polio 2 4 bulan DPT 3, Polio 3

9 bulan Campak, Polio 4

e. Syarat-syarat imunisasi

Ada beberapa jenis penyakit yang dianggap bahaya bagi anak, yang pencegahannya dapat dilakuakan dengan pemberian imunisasi dalam bentuk vaksin. Dapat dipahami bahwa imunisasi hanya dilakukan pada tubuh yang sehat. Berikut ini keadaan yang tidak boleh memperoleh imunisasi yaitu :

(14)

1) Anak sakit keras. 2) Keadaan fisik lemah.

3) Dalam masa tunas suatu penyakit.

4) Sedang mendapat pengobatan dengan sediaan kortikosteroid atau obat imunosupresif lainnya (terutama vaksin hidup) karena tubuh mampu membentuk zat anti yang cukup banyak.17

Dalam pemberian imunisasi ada syarat yang harus diperhatikan yaitu :

1) Diberikan pada bayi atau anak yang sehat. 2) Vaksin yang diberikan harus baik.

3) Disimpan dilemari es dan belum lewat masa berlakunya. 4) Pemberian imunisasi dengan tekhnik yang tepat.

5) Mengetahui jadwal imunisasi dengan melihat umur dan jenis imunisasi yang telah diterima.

6) Meneliti jenis vaksin yang diberikan.

7) Mencatat nomor batch pada buku anak atau kartu imunisasi.

8) Memberikan informed consent pada orang tua atau keluarga sebelum melakukan tindakan imunisasi yang sebelumnya telah dijelaskan kepada orang tuanya tentang manfaat dan efek samping atau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang dapat timbul setelah pemberian imunisasi.15

3. Vaksin

a. Pengertian

Vaksin adalah suatu produk biologik yang terbuat dari kuman, komponen kuman, atau racun kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan dan berguna untuk merangsang timbulnya kekebalan tubuh seseorang.

Vaksinasi merupakan pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh.

(15)

b. Jenis Vaksin

Pada dasarnya vaksin dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1) Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan)

2) Inactivated (kuman, virus atau komponennya yang dibuat tidak aktif).

Sifat vaksin attenuated dan inactivated berbeda sehingga hal ini menentukan bagaimana vaksin ini digunakan.

1) Vaksin hidup attenuated

Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan di laboratorium, biasanya dengan pembiakan berulang-ulang.

Vaksin hidup yang tersedia: berasal dari virus hidup yaitu vaksin campak, gondongan (parotitis), rubella, polio, rotavirus, demam kuning (yellow fever). Berasal dari bakteri yaitu vaksin BCG dan demam tifoid.

2) Vaksin inactivated

Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan penanaman bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin komponen, organisme tersebut dibuat murni dan hanya komponen-komponennya yang dimasukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida dari kuman pneumokokus). Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini selalu membutuhkan dosis multipel, pada dasarnya dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun.

3) Vaksin polisakarida

(16)

panjang molekul-molekul gula yang membentuk permukaan kapsul bakteri tertentu. Vaksin ini tersedia untuk tiga macam penyakit yaitu pneumokokus, meningokokus, dan haemophillus influenzae type b.

4) Vaksin rekombinan

Terdapat tiga jenis vaksin rekombinan yang saat ini telah tersedia :

a) Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen virus hepatitis B ke dalam gen sel ragi. b) Vaksin tifoid (Ty21a) adalah bakteri salmonella typhi yang

secara genetik diubah sehingga tidak menyebabkan sakit. c) Tiga dari empat virus yang berada di dalam vaksin rotavirus

hidup adalah rotavirus kera rhesus yang diubah secara genetik menghasilkan antigen rotavirus manusia apabila mereka mengalami replikasi.29

c. Macam-Macam Efek Samping Vaksinasi

Berikut ini adalah macam-macam efek samping yang ditimbulkan dari vaksin ;

1) Hepatitis B

Pencegahan penyakit hepatitis B ditempuh melalui upaya preventif umum dan khusus. Imunisasi preventif khusus hepatitis B ditempuh dengan imunisasi pasif dan imunisasi aktif. Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir untuk memutuskan rantai transmisi maternal ibu ke bayi. Reaksi KIPI yang umumnya terjadi adalah reaksi lokal ringan dan sementara. Terkadang bisa terjadi demam ringan 1-2 hari.30

2) DPT

Pemberian imunisasi DPT dapat memberikan efek samping ringan dan berat, efek ringan seperti terjadi pembengkakan, nyeri pada tempat penyuntikan dan demam, sedangkan efek berat yang timbul dari pemberian vaksin ini adalah bayi menangis hebat lebih dari empat jam,

(17)

kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati dan syok.20 Kebanyakan bayi menderita panas pada waktu sore hari setelah mendapatkan imunisasi DPT.31

3) BCG

Imunisasi BCG adalah imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit TBC yang berat sebab terjadinya penyakit TBC yang primer atau ringan dapat terjadi walaupun sudah diimunisasi. Efek samping pemberian imunisasi BCG adalah terjadinya ulkus pada daerah suntikan, regionalis dan reaksi panas.25

4) Polio

Vaksinasi ini tidak menyakitkan bagi anak. Infeksi yang mengikuti pemberian imunisasi polio adalah sangat jarang, lebih kurang delapan kasus paralisis terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat.20

5) Campak

Ada dua jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus campak hidup yang dilemahkan dan vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan. Vaksin campak diberikan dalam satu dosis 0,5 ml melalui suntikan subkutan pada umur 9 bulan. Reaksi KIPI akibat imunisasi campak tersebut anatara laian : demam lebih 39,50C pada hari ke 5-6 selama 2 hari yang dapat merangsang terjadinya kejang demam, ruam pada hari ke 7-10 selama 2-4 hari, serta gangguan sistem syaraf pusat.30

6) MMR

Reaksi terhadap vaksin MMR sangat umum terjadi, tetapi biasanya sangat ringan dan tidak timbul reaksi dalam satu atau 2 minggu setelah suntikan. Reaksi yang lebih jarang terjadi adalah nyeri pada tangan dan kaki. Semua ini sulit untuk dilihat pada bayi juga reaksi alergi.22

7) Varisella (Cacar air)

Pada bulan Maret 1995, telah diijinkan sebuah vaksin sebagai imunisasi terhadap varisella pada individu berusia satu tahun atau

(18)

dengan dosis tunggal sebanyak 0,5 ml secara subkutan. Remaja dan orang dewasa yang berusia 13 tahun dan yang lebih tua sebaiknya mendapatkan dosis sebesar 0,5 ml secara subkutan 2 dosis ke 2 sebesar 0,5 ml diberikan 4-8 minggu kemudian. Vaksin reaksi merugikan dapat berupa demam, reaksi lokal dan ruam.15

d. Penyimpanan vaksin

1) Semua vaksin disimpan pada suhu + 20C s/d 80C.

2) Bagian bawah lemari es diletakkan cool pack sebagai penahan dingin dan kestabilan suhu.

3) Peletakan dus vaksin mempunyai jarak antara minimal 1-2 cm atau satu jari tangan.

4) Vaksin HS (BCG, Campak, Polio) diletakkan pada dekat dengan evaporator.

5) Vaksin FS (DPT,TT,DT, Hepatitis B,DPT/HB) diletakkan jauh dengan evaporator.

6) Vaksin dalam lemari es harus diletakkan dalam kotak vaksin. Catatan:

1) Vaksin HB Uniject (ADS PID) di BDD (Bidan Desa) disimpan pada suhu ruangan ataupun dibawa saat kunjungan rumah tanpa rantai vaksin. Kelayakan pemakaian vaksin diukur dengan melihat status VVM.

2) Pelarut vaksin BCG dan campak jangan disimpan dalam lemari es/freezer. Simpanlah ditempat yang sejuk atau suhu kamar.

3) Pelarut tidak boleh beku.

4) Lemari es tempat menyimpan vaksin tidak boleh dicampur dengan barang selain vaksin) makanan, minuman, barang-barang laboratorium.17

e. Pengenceran vaksin

Vaksin kering yang beku harus diencerkan dengan cairan pelarut khusus dan digunakan alam periode waktu tertentu. Apabila vaksin telah diencerkan, harus diperiksa terhadap tanda-tanda kerusakan

(19)

(warna dan kejernihan). Perlu diperhatikan bahwa vaksin campak yang telah diencerkan cepat mengalami perubahan pada suhu kamar. Jarum ukuran 21 yang steril dianjurkan untuk mengencerkan dan jarum ukuran 23 dengan panjang 25 mm digunakan untuk menyuntikkan vaksin.

f. Pembersihan kulit

Tempat suntikan harus dibersihkan sebelum imunisasi dilakukan , namun apabila kulit telah bersih, antiseptik kulit tidak diperlukan.

g. Pemberian suntikan

Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuskular atau subkutan dalam. Terdapat perkecualian pada dua jenis vaksin yaitu OPV diberikan per oral dan BCG diberikan dengan suntikan intradermal (dalam kulit). Walaupun vaksin sebagian besar diberikan secara suntikan intramuskular atau subkutan dalam, namun bagi petugas kesehatan yang kurang berpengalaman memberikan suntikan subkutan dalam, dianjurkan memberikan dengan cara intramuskular.

h. Teknik dan ukuran jarum

Para petugas yang melaksanakan vaksinasi harus memahami teknik dasar dan petunjuk keamanan pemberian vaksin, untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi dan trauma akibat suntikan yang salah. Pada tiap suntikan harus digunakan tabung suntikan dan jarum baru, sekali pakai dan steril. Sebaiknya tidak digunakan botol vaksin yang multidosis, karena risiko infeksi. Apabila memakai botol multidosis (karena tidak ada alternatif vaksin dalam sediaan lain) maka jarum suntik yang telah digunakan menyuntik tidak boleh dipakai lagi mengambil vaksin. Tabung suntik dan jarum harus dibuang dalam tempat tertutup yang diberi tanda (label) tidak mudah robek dan bocor, untuk menghindari luka tusukan atau pemakaina ulang. Tempat pembuangan jarum suntik bekas harus dijauhkan dari jangkauan

(20)

anak-Penggunaan jarum yang pendek meningkatkan risiko terjadi suntikan subkutan yang kurang dalam. Hal ini menjadi masalah untuk vaksin-vaksin yang inaktif.

Standar jarum suntik ialah ukuran 23 dengan panjang 25 mm, tetapi ada pengecualian lain dalam beberapa hal seperti berikut: a) Pada bayi kurang bulan, umur 2 bulan atau yang lebih muda dan

bayi-bayi kecil lainnya, dapat pula dipakai jarum ukuran 26 dengan panjang 16 mm.

b) Untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dipakai jarum ukuran 25 dengan panjang 16 mm, untuk bayi-bayi kecil dipakai jarum ukuran 27 dengan panjang 12 mm.

c) Untuk suntikan intramuskular pada orang dewasa yang sangat gemuk (obese) dipakai jarum ukuran 23 dengan panjang 38 mm, d) Untuk suntikan intradermal pada vaksinasi BCG dipakai jarum

ukuran 25-27 dengan panjang 10 mm.

i. Pengambilan vaksin dari botol (Vial)

Untuk vaksin yang diambil menembus tutup karet atau yang telah dilarutkan, harus memakai jarum baru. Apabila vaksin telah diambil dari vial yang terbuka, dapat dipakai jarum yang sama. Jarum atau semprit yang telah digunakan menyuntik seseorang tidak boleh digunakan untuk mengambil vaksin dari botol vaksin karena risiko kontaminasi silang, vaksin dalam botol yang berisi dosis ganda (multidosis) jangan digunakan kecuali tidak ada alternatif lain.17

4. Pengelolaan Vaksin

Pengelolaan vaksin sama halnya dengan pengelolaan rantai vaksin yaitu suatu prosedur yang digunakan untuk menjaga vaksin pada suhu tertentu yang telah ditetapkan agar vaksin memiliki potensi yang baik mulai dari pembuatan sampai pada saat pemberiannya kepada sasaran.33,34,35

(21)

Pengelolaan rantai vaksin sebagai suatu sistem pengawasan, mempunyai komponen yang terdiri dari input, proses, out put, efek, out come dan mekanisme umpan baliknya.36

a. Input

Input dalam pengelolaan vaksin terdiri dari man, money, material, method, disingkat dengan 4 M. Man atau sumber daya manusia di tingkat puskesmas minimal mempunyai tenaga yang bertugas sebagai petugas imunisasi dan pengelola cold chain dengan standar kualifikasi tenaga minimal SMA atau SMK yang telah mengikuti pelatihan cold chain. Rumah Sakit dan Rumah Bersalin serta pelayanan imunisasi pada praktek swasta lainnya, pada prinsipnya hampir sama dengan di Puskesmas. Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih.37 Oleh karena itu, untuk meningkatkan pengetahuan dan atau ketrampilan petugas pengelola vaksin perlu dilakukan pelatihan. Studi tentang pengelolaan vaksin di Vancouver (2006) menunjukan bahwa dengan pengetahuan yang baik dengan praktik pengelolaan vaksin yang baik akan menurunkan jumlah vaksin yang rusak. Pada penelitian tersebut dari 170 responden hanya 23% petugas dengan pengetahuan memuaskan, dan 49% unit pelayanan ditemukan vaksin yang rusak. Program pelatihan dapat mempengaruhi perilaku kerja dalam dua cara dan yang paling jelas adalah dengan langsung memperbaiki ketrampilan yang diperlukan petugas agar berhasil menyelesaikannya pekerjaannya.38

Money dalam pengelolaan vaksin adalah tersedianya dana operasional untuk pemeliharaan peralatan rantai vaksin secara rutin serta kondisi darurat bila terjadi kerusakan peralatan. Material adalah dalam pengelolaan vaksin adalah peralatan rantai vaksin yang meliputi lemari es, vaccine carrier, termometer, kartu suhu, form laporan dan sebagainya. Method antara lain prosedur penerimaan dan penyimpanan vaksin.36

(22)

b. Proses

Proses dalam pengelolaan vaksin adalah semua kegiatan pengelolaan vaksin mulai dari permintaan vaksin, penerimaan / pengambilan penyimpanan sampai dengan pemakaian vaksin.

1) Permintaan vaksin

Permintaan kebutuhan vaksin didasarkan pada jumlah sasaran yang akan diimunisasi dengan mempertimbangkan kapasitas tempat penyimpanan vaksin. Permintaan vaksin di semua tingkatan dilakukan pada saat stock vaksin telah mencapai stock minimum oleh karena itu setiap permintaan vaksin harus mencantumkan sisa stock yang ada.

2) Penerimaan/pengambilan Vaksin

Pengambilan vaksin harus menggunakan peralatan rantai vaksin yang sudah ditentukan, Misalnya cold box atau vaccine carrier atau termos. Sebelum memasukan vaksin ke dalam alat pembawa, petugas harus memeriksa indikator vaksin (VVM) kecuali vaksin BCG. Vaksin yang boleh digunakan hanya hanya bila indikator VVM A atau B, sedangkan bila VVM pada tingkat C atau D, vaksin tidak diterima karena tidak dapat digunakan lagi. Selanjutnya ke dalam vaccine carrier dimasukan kotak cair dingin (cool pack) dan di bagian tengah diletakan termometer. Vaccine carrier yang telah berisi vaksin, selama perjalanan tidak boleh terkena matahari langsung.33

3) Penyimpanan Vaksin

Agar vaksin tetap mempunyai potensi yang baik sewaktu diberikan kepada sasaran maka vaksin harus disimpan pada suhu tertentu dengan lama penyimpanan yang telah ditentukan di masing-masing tingkatan administrasi. Cara penyimpanan untuk vaksin sangat penting karena menyangkut potensi dan daya antigennya. Dibawah ini merupakan gambaran tentang lama penyimpanan vaksin disetiap tingkatan:

(23)

Tabel 2.5 Lama penyimpanan vaksin di setiap tingkatan

Jenis Vaksin

Pusat/B iofarma

Provinsi Kab/Kota Pusk/Pustu,

RS dan unit lain Bidan di Desa (khusus HB<7 hari) Masa Simpan Vaksin

6 bulan 3 bulan + 1 bulan cadangan 2 bulan + 1 bulan cadangan 1 bulan + 1 minggu cadangan Polio Freezer : suhu -150C s/d -250C +20C s/d

+80C Suhu Ruangan DPT +20C s/d +80C TT DT BCG Campak Polio HB DPT-HB HB-uninject

Sumber : World Health Organization, User’s handbook for vaccine cold room on freezer room, 2002.

Susunan vaksin dalam lemari es harus diperhatikan karena suhu dingin dari lemari es/freezer diterima vaksin secara konduksi.

Vaksin yang berasal dari virus hidup (polio,campak) pada pedoman sebelumnya harus disimpan pada suhu di bawah 0oC. Dalam perkembangan selanjutnya, hanya vaksin polio yang masih memerlukan suhu di bawah 0oC di provinsi dan kabupaten/kota, sedangkan vaksin campak dapat disimpan di refrigerator pada suhu 2-8oC. Adapun vaksin lainnya harus disimpan pada suhu 2-8oC

(24)
(25)

4) Pemakaian

Prinsip yang dipakai dalam mengambil vaksin untuk pelayanan imunisasi adalah "Earliest Expired First Out/EEFO" (dikeluarkan berdasarkan tanggal kadaluarsa yang lebih dulu). Namun dengan adanya VVM (Vaccine Vial Monitor) ketentuan EEFO tersebut menjadi pertimbangan kedua. VVM sangat membantu petugas dalam manajemen vaksin secara cepat dengan melihat perubahan warna pada indikator yang ada.

Kebijaksanaan program imunisasi adalah tetap membuka vial/ampul baru meskipun sasaran sedikit untuk tidak mengecewakan masyarakat. Kalau pada awalnya indeks pemakaian vaksin menjadi sangat kecil dibandingkan dengan jumlah dosis per vial/ampul, dengan semakin mantapnya manajemen program di unit pelayanan, tingkat efisiensi dari pemakaian vaksin ini harus semakin tinggi.37

5) Pencatatan dan Pelaporan

Stock vaksin harus dilaporkan setiap bulan, hal ini untuk menjamin tersedianya vaksin yang cukup dan memadai. Keluar masuknya vaksin terperinci menurut jumlah, no batch, kondisi VVM, dan tanggal kedaluwarsa harus dicatat dalam kartu stok. Sisa atau stok vaksin harus selalu dihitung pada setiap kali penerimaan dan pengeluaran vaksin. Masing-masing jenis vaksin mempunyai kartu stok tersendiri, Selain itu kondisi VVM sewaktu menerima vaksin juga perlu dicatat di Surat Bukti Barang Keluar (SBBK).

c. Output

Yang menjadi output dalam sistem pengelolaan rantai vaksin adalah kualitas vaksin. Kualitas vaksin hanya dapat dipertahankan jika vaksin disimpan dan ditangani dengan tepat mulai dari pembuatan hingga penggunaan.33 Monitoring kualitas vaksin dapat dilakukan

(26)

secara cepat dengan melihat indikator VVM dan freeze tag atau freeze watch.

VVM adalah indikator paparan panas yang melekat pada setiap vial vaksin yang digunakan untuk memantau vaksin selama perjalanan maupun dalam penyimpanan.39 Semua vaksin program imunisasi kecuali BCG telah dilengkapi dengan VVM. VVM tidak mengukur potensi vaksin secara langsung, namun memberikan informasi tentang layak tidaknya pemakaian vaksin yang telah terkena paparan panas. VVM mempunyai karakteristik yang berbeda, spesifik untuk tiap jenis vaksin. VVM untuk vaksin polio tidak dapat digunakan untuk vaksin Hb, begitu juga sebaliknya.

Bila warna kotak segi empat lebih muda daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut kondisi VVM A atau B) maka vaksin belum terpapar suhu di atas batas yang diperkenankan. Vaksin dengan kondisi VVM B harus segera dipergunakan.

A. Segi empat lebih terang dari lingkaran sekitar. Bila belum kadaluarsa : GUNAKAN vaksin

B. Segi empat berubah gelap tapi lebih terang dari lingkaran sekitar.

Bila belum kadaluarsa : SEGERA GUNAKAN vaksin.

C. Segi empat sama warna dengan lingkaran sekitar. JANGAN GUNAKAN vaksin : Lapor kepada pimpinan.

D. Segi empat lebih gelap dari lingkaran sekitar.

JANGAN GUNAKAN vaksin : Lapor kepada pimpinan.

(27)

Bila warna kotak segi empat sama atau lebih gelap daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut kondisi VVM C atau D) maka vaksin sudah terpapar suhu diatas batas yang diperkenankan, tidak boleh diberikan pada pasien.

Freeze tag dan freeze watch adalah alat pemantau paparan suhu dingin dibawah 0oC. Freeze tag dan freeze watch digunakan untuk memantau kinerja leamari es terhadap penyimpanan vaksin yang sensitif beku. Bila menemukan vaksin yang dicurigai beku maka perlu dilakukan uji kocok (shake test) dengan prosedur yang baru.

Gambar 2.3 Freeze watch Gambar 2.4 Freeze tag

Perbedaan uji kocok pada prosedur yang lama adalah adanya vaksin pembanding yang berupa vaksin yang sengaja dirusak atau dibekukan. Prosedur uji kocok vaksin adalah sebagai berikut:

1) Pilih satu contoh dari tiap tipe dan batch vaksin yang dicurigai pernah beku, utamakan yang dekat dengan evaporator dan bagian lemari es yang paling dingin. Beri label “Tersangka Beku”. Bandingkan dengan vaksin dari tipe dan batch yang sama yang sengaja dibekukan hingga beku padat seluruhnya dan beri label “Dibekukan”.

2) Biarkan contoh “Dibekukan” dan vaksin “Tersangka Beku” sampai mencair seluruhnya.

3) Kocok contoh “Dibekukan” dan vaksin “Tersangka beku” secara bersamaan.

4) Amati contoh “Dibekukan” dan vaksin “Tersangka beku” bersebelahan untuk membandingkan Waktu Pengendapan . (umumnya 5 – 30 menit).

(28)

Uji kocok dilakukan untuk tiap vaksin yang berbeda batch dan jenis vaksinnya dengan kontrol “Dibekukan” yang sesuai.

Sumber : World Health Organization. Ensuring Quality of vaccines at country level-A guidelines for Health Staff. WHO,2002.

Gambar 2.5 Cara uji kocok vaksin

5. Teknik Pelaksanaan Vaksinasi

Berdasarkan SOP yang terdapat di Puskesmas, berikut prosedur atau tata cara pelaksanaan vaksinasi :

a. Persiapan alat menentukan jenis imunisasi yang akan diberikan 1) Persiapan alat

a) Ambil vaksin dari cold chain dimasukkan ke dalam vaksin carrier yang sudah diberi cool pax.

b) Pastikan vaksin masih baik lihat indikator pada botol vaksin. c) Menyiapkan termos air panas.

d) Menyiapkan spuit kapas, mangkok untuk air panas. 2) Persiapan bayi

a) Inform confirm orang tua

b) Bayi digendong ibu/dibaring-baringkan di meja imunisasi. c) Disiapkan bagian tubuh yang akan diimunisasi.

Tempat imunisasi Jenis imunisasi Cara pemberian Dosis Lengan kiri atas BCG IC 0,05 cc Paha/lengan kiri atas Hepatitis O IM 0,5 cc Paha DPT IM 0,5 cc

(29)

kiri/kanan Combo Lengan kiri

atas

Campak SC 0,5 cc

3) Tindakan imunisasi injeksi

a) Sedot vaksin yang akan diberikan sesuai jenis, imunisasi yang akan diberikan sesuai dosis (kemudian botol sisa vaksin ke dalam vaksin carrier)

b) Desinfeksi bagian tubuh yang akan diimunisasi dengan kapas yang sudah yang dicelup dengan air panas.

c) Suntikan jarum ke lokasi yang akan diberikan (lihat bagan) d) Aspirasi spuit (pastikan tidak mengenai pembuluh darah. e) Masukkan vaksin yang ada dalam spuit.

f) Tarik spuit.

g) Depp bekas suntikan dengan kapas air panas lalututup dengan plester.

h) Awasi bayi setelah 30 menit setelah imunisasi. i) Buang spuit pada safety box.

4) Tindakan imunisasi per oral.

a) Ambil vaksin lalu buka tutupnya. b) Mulut bayi dibuka.

c) Teteskan vaksin sebanyak 2 tetes.

d) Bayi dilarang minum selama 10 menit setelah pemberian polio. 5) Catat dalam KMS pemberian imunisasi yang sudah diberikan, tanda

tangan pemberi imunisasi.

6) Catat hasil imunisasi dalam buku register puskesmas + no batch vaksin dalam buku register.

7) Edukasi orang tua. Bila terjadi KIPI terhadap bayi yang baru diimunisasi segera hubungi puskesmas.15,28

Penggunaan Alat Suntik dan Teknik Penyuntikan yang aman : a. Pengertian

(30)

1) Sasaran imunisasi memperoleh kekebalan terhadap suatu penyakit dalam rangka menurunkan prevalensi penyakit.

2) Tidak ada dampak negatif berupa kecelakaan, penularan penyakit atau kejadian ikutan pasca imunisasi pada sasaran maupun petugas.

3) Secara tidak langsung tidak menimbulkan kecelakaan atau penularan infeksi pada masyarakat dan lingkungan terkait.

b. Jenis alat suntik dan cara menggunakannya

1) Berikut alat suntik yang digunakan untuk vaksinasi Tabel 2.6 Jenis Alat suntik

Alat Keterangan

Semprit Auto-disable Peralatan suntik yang direkomendasikan

Alat suntik prefilled auto-disable (PID) Tersedia untuk vaksin hepatitis B & TT Semprit dan jarum yang bisa dipakai ulang (reusable) Tidak direkomendasikan

Sepmrit dan jarum sekali pakai di buang (non-AD) Untuk tujuan mencampur vaksin saja

2) Langkah-langkah umum penggunaan semprit AD

a) Keluarkan semprit dari bungkus plastik atau lepaskan tutup plastiknya.

b) Pasang jarum pada semprit bila jarum belum terpasang. c) Lepaskan tutup jarum tanpa menyentuh jarum.

d) Masukkan jarum ke dalam vial/ampul vaksin, arahkan ujung jarum ke bagian paling rendah dari dasar vial/ampul vaksin.

e) Tarik piston untuk mengisi semprit. Piston secara otomatis akan berhenti setelah melewati tanda 0,05/0,5 ml dan terdengar bunyi klik.

f) Masukkan ujung jarum ke dalam cairan, isi semprit sesuai dosis 0,05/0,5 ml. Lepaskan jarum dari botol, keluarkan sisa gelembung udara pada semprit 8.

g) Tentukan tempat penyuntikan.

h) Dorong piston ke depan dan suntikkan vaksin.

i) Buang jarum dan semprit ke dalam kotak pembuangan (safety box). 3) Langkah-langkah umum penggunaan semprit PID

a) Keluarkan PID dari kemasan.

(31)

c) Jarak antara penutup jarum dan port akan hilang dan terasa ada klik.

d) Keluarkan penutup jarum.

e) Pegang PID pada port dan suntikkan jarum ke lokasi suntikan. f) Tekan reservoir (gelembung vaksin) untuk mengeluarkan vaksin. g) Sesudah reservoir kempes, tarik PID keluar, jangan lakukan

recapping.

4) Semprit & Jarum sekali buang semprit yang hanya bisa dipakai sekali dan dibuang (disposable), tidak direkomendasikan untuk suntikan dalam imunisasi karena resiko penggunaan kembali semprit dan jarum tersebut menyebabkan resiko infeksi tingg.i(WHO,UNICEF & UNFPA, 1999) .

5) Prosedur Penyuntikan

a) Mengunakan ADS baru dan steril.

b) Memeriksa bungkus ADS, untuk memastikan tidak rusak & belum kedaluarsa.

c) Tidak menyentuh jarum.

d) Membersihkan kulit dengan kapas dan air matang, tunggu kering. e) Menyuntikkan vaksin sesuai dengan jenis vaksin.

f) Tidak memijat-mijat daerah bekas suntikan.

g) Jika perdarahan, menekan daerah suntikan dengan kapas kering baru hingga darah berhenti.

h) Membuang ADS bekas pakai langsung ke dalam safety box tanpa melakukan penutupan kembali jarum suntik (no recapping).40

6. Tenaga Pelaksana Imunisasi

Standar tenaga pelaksana di tingkat puskesmas adalah petugas imunisasi dan pelaksana cold chain. Petugas imunisasi adalah tenaga perawat atau bidan yang telah mengikuti pelatihan, yang tugasnya memberikan pelayanan imunisasi dan penyuluhan. Pelaksana cold chain

(32)

mengikuti pelatihan cold chain, yang tugasnya mengelola vaksin dan merawat lemari es, mencatat suhu lemari es, mencatat pemasukan dan pengeluaran vaksin serta mengambil aksin di kabupaten/kota sesuai kebutuhan per bulan. Pengelola program imunisasi adalah petugas imunisasi, pelaksana cold chain atau petugas lain yang telah mengikuti pelatihan untuk mengelola program imunisasi, yang tugasnya membuat perencanaan vaksin dan logistik lain, mengatur jadwal pelayanan imunisasi, mengecek catatan pelayanan imunisasi, membuat dan mengirim laporan ke kabupaten/kota, membuat dan menganalisis PWS bulanan, dan merencanakan tindak lanjut.15

Untuk meningkatkan pengetahuan dan/atau ketrampilan petugas imunisasi perlu dilakukan pelatihan sesuai dengan modul latihan petugas imunisasi. Pelatihan teknis diberikan kepada petugas imunisasi di puskesmas, rumah sakit dan tempat pelayanan lain, petugas cold chain di semua tingkat. Pelatihan manajerial diberikan kepada para pengelola imunisasi dan supervisor di semua tingkat.15

(33)

B. Kerangka Teori

Berdasarkan uraian dalam tinjauan pustaka dapat disusun kerangka teori sebagai berikut :

Gambar 2.6 Kerangka teori1,17,19,20,21

Penyebab tidak diketahui Faktor Kebetulan (Coinsidental) Reaksi Suntikan:  Langsung : Rasa sakit, bengkak, kemerahan pada suntikan. Induksi Vaksin: Reaksin simpang dalam petunjuk pemakaian vaksin. Seperti Indikasi, kontraindikasi khusus, perhatian khusus, interaksi dengan obat/vaksin lain.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Kesalahan Program/Teknik Pelaksanaan  Abses dingin  Pembengkakan Reaksi Suntikan:  Tidak Langsung: Rasa takut, pusing, mual, sinkope. Faktor Psikologi s Alergi  Syok Anafilaksis/kolaps.  Ensefalopati.  Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian.  Trombositopenia.  Imunokompromais.  Sepsis kejang demam

Gejala penyakit terjadi

secara kebetulan bersamaan dengan waktu imunisasi Pengelolaan Vaksin Teknik Pelaksanaan Vaksinasi

(34)

C. Kerangka Konsep

Kerangka yang dibuat merupakan alur penelitian secara deskriptif. Gambar 2.7 Kerangka konsep

Pengelolaan Vaksin Kejadian Ikutan Pasca

Imunisasi :  Jumlah KIPI  Gejala Klinis KIPI Teknik Pelaksanaan

Gambar

Tabel 2.1 Kesalahan program yang dapat menjadi KIPI
Tabel 2.4 Waktu yang tepat untuk pemberian imunisasi dasar (DepKes RI, 2006)
Tabel 2.5 Lama penyimpanan vaksin di setiap tingkatan
Gambar 2.3 Freeze watch Gambar 2.4 Freeze tag
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tepid water sponge merupakan tindakan untuk menurunkan suhu tubuh pada saat demam yaitu dengan merendam anak didalam air hangat, mengelap sekujur tubuh dengan air

Dampak narkoba terhadap keluarga sangat banyak, bila narkoba sudah masuk ke dalam keluarga, sasarannya bukan hanya anak kita, sekarang banyak orang tua pun juga

Salman (2015) menyebutkan bahwa metode belajar yang kurang sesuai dengan siswa dapat menyebabkan kecemasan matematika. Hasil wawancara menunjukan bahwa 2 orang

Penelitian yang dilakukan oleh Rihawati (2010) menunjukkan adanya hubungan antara status anemia dengan produktivitas pada pekerja wanita di Gresik, Jawa

Langkah 4: Klasifikasi Menetapkan kecenderungan berdasar informasi yang didapat dari daftar tilik Langkah 3: Algoritma Mengkaji secara sistematis semua data yang berhubungan

Reaksi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) DPT/HB Combo di Posyandu Desa Doyong Kecamatan Miri Kabupaten Sragen” dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa

Pengetahuan Ibu Tentang Reaksi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) DPT/HB Combo di Posyandu Desa Doyong Kecamatan Miri Kabupaten Sragen pada tingkat cukup baik

Efek samping dari vaksinasi ini, dikenal dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yakni kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin