• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai subyek hukum pada dasarnya dipandang. mempunyai kecakapan yang berfungsi untuk mendukung hak dan kewajiban

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai subyek hukum pada dasarnya dipandang. mempunyai kecakapan yang berfungsi untuk mendukung hak dan kewajiban"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai subyek hukum pada dasarnya dipandang mempunyai kecakapan yang berfungsi untuk mendukung hak dan kewajiban sejak manusia menjadi dewasa. Dengan kata lain setiap diri pribadi manusia mempuyai kemampuan, baik kemampuan untuk menerima (ahliyah al-wujub) maupun kemampuan untuk berbuat (ahliiyah al-ada’)

Hukum Islam dalam memberlakukan ketentuan-ketentuan hukumnya pada manusia selalu disesuaikan dengan kemampuan badan dan akalnya maka dalam perjalanan hidup manusia dibagi menjadi 4 periode : 1. Periode Janin.

Periode ini dimulai semenjak seseorang itu berupa ‘alaqah (gumpalan darah) dalam kandungan Ibunya sampai dengan saat dilahirkan.

2. Periode kanak-kanak.

Periode ini dimulai semenjak seseorang lahir ke dunia, maka telah sempurnalah sifat kemanusiaannya, karena ia telah berpisah dari tubuh Ibunya. Namun demikian, kemampuan akalnya belum ada.

3. Periode Tamyiz.

Periode tamyiz dimulai dari seseorang mampu membedakan antara sesuatu yang baik dengan yang buruk dan antara sesuatu yang bermanfaat dengan yang madlarat.

(2)

4. Periode Baligh.

Periode baligh adalah kedewasaan hidup seseorang. Tanda-tanda mulai kedewasaan, apabila telah mengeluarkan air mani bagi laki-laki dan apabila telah mengeluarkan darah haid / hamil bagi orang perempuan.1 Sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nur ayat 59:

!

"

#

$

.

Artinya : “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baliqh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. ( QS. An-Nur : 59)2

Allah SWT mensyariatkan hukum, baik yang mengatur tentang hak-hak yang harus dimiliki seseorang / hak-hak yang harus ditunaikannya pun mengenai ucapan dan perbuatannya, dengan tujuan mewujudkannya kemaslahatan baik kelompok / perorangan, jasmani atau rohani.

Kemampuan yang dimiliki oleh pribadi manusia sangat tergantung pada keadaan yang ada dalam diri mereka, artinya keadaan fisik, umur, akal ataupun keadaan yang lain yang dapat mempengaruhi terhadap tingkat kemampuan yang dimilikinya.3

Manusia bila ditinjau dari hubungan yang ahliyah al-ada’ mempuyai

1 Depag RI, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN,

Ilmu Fiqh, Cet-2, Semarang, CV. Toha Putra, 1984 / 1985, hlm 1-4.

2 Depag RI, Al-Quran dan Terjemah, Semarang, CV.Toha Putra, 1989, hlm 554.

3 Ridwan Syahroni, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung : Alumni, 1992,

(3)

tiga keadaan yaitu :

1. Terkadang ia sama sekali tidak mempuyai ahliyah al-ada’, atau sama sekali sepi daripadanya. Inilah anak kecil pada masa kanak-kanaknya dan orang gila pada usia berapapun. Masing-masing dari keduanya, karena keadaannya yang tidak mempunyai akal, maka ia tidak mempunyai

ahliyah al-ada’. Masing-masing dari keduanya tidak bisa menimbulkan

konsekuensi hukum syara’ pada perbuatannya maupun ucapannya. Jadi, semua aqad (perjanjian) dan thasarufnya (tindakan hukum) adalah batal. 2. Adakalanya ia adalah kurang ahliyah al-ada’nya. Yaitu orang yang telah

pintar tetapi belum baligh ini berkenaan dengan anak kecil pada periode tamyiz (pandai membedakan antara baik dan buruk) sebelum baligh, dan berkenaan pula pada orang yang kurang waras otaknya, karena orang yang kurang waras otaknya adalah orang yang cacat akalnya, bukan tidak berakal ia hanyalah lemah akal, kurang sempurna akalnya. Jadi hukumnya sama dengan anak kecil yang mumayyiz. Masing-masing dari mumayyiz dan ma’luh (orang agak kurang akalnya) karena adanya dan tetapnya pokok ahliyah al-ada’nya dengan kemampuan membedakan, maka tasharrufnya yang bermanfaat baginya dengan kemanfaatan yang murni adalah sah. Seperti penerimaannya terhadap berbagai hibah dan sedekah tanpa izin walinya.

Adapun tasharrufnya yang berbahaya karena ada suatu bahaya / kerugian murni padanya, seperti tabaru’nya (berbuat baiknya) dan penggugurannya (terhadap hutang) maka tidak sah sama sekali, kendatipun disetujui oleh

(4)

walinya. Jadi hibahnya, wasiatnya, waqafnya, talaqnya, pemerdekaannya, semuanya ini batal, dan tidak boleh disusul dengan rekomendasi walinya. Adapun berbagai tasharrufnya yang berkisar antara memberikan keuntungan dan kerugian padanya, maka hal tersebut sah, akan tetapi masih tergantung pada rekomendasi walinya. Jika walinya merekomendir akad perjanjian / tasharruf itu, maka ia dapat terlaksana, dan jika ia tidak merekomendirnya, maka ia batal.

3. Bahwasannya ahliyah al-ada’ tertekan dengan akal saja, akan tetapi dikaitkan dengan baligh, karena keadaan baligh merupakan tempat dugaan

(mazhinnah) keberakalan. Sedangkan hukum dikaitkan dengan berbagai illat yang nyata dan pasti. Seseorang yang telah baligh, baik balighnya

karena usianya / dengan berbagai tanda, maka ia dianggap berakal dan ahli (layak) untuk melaksanakan dan sempurna ahliyahnya sepanjang tidak ditemukan sesuatu yang menunjukkan rusaknya akalnya / kurangnya.4

Batas awal usia mulainya baligh secara yuridis adalah jika seseorang telah berusia 12 tahun bagi laki-laki dan berusia 9 tahun bagi perempuan5 sedangkan menurut imam Abu Hanifah dalam kitab Bada’i Ush Shana’i, mengatakan tentang batasan kedewasaan seseorang adalah sebagai berikut:

%& "

#

'

() % * +", %

-" . % +-",

/

4 Abd. Al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terj Zuhri dan Ahmad Qorib, Ilmu Ushul

al-fiqh”, Semarang: Dina Utama, 1994 hlm. 203-205

(5)

Artinya

: “

Abu Hanifah berkata : Anak laki-laki baligh telah mencapai usia 18 tahun, dan 17 tahun bagi budak perempuan”.6

Kemudian dalam kitab Fiqh Al-Islam Wa’ Adilatuh karangan Wahbah al-Zuhaili, Abu Hanifah juga menjelaskan tentang ukuran kedewasaan seseorang.

*

#

0-

* +", %

-

()

1

2

(

3 4 '5

* +", '

6

7 ",

Artinya: “Abu Hanifah berkata : “Seorang anak laki-laki dikatakan baligh ketika telah mencapai umur 18 tahun, sedangkan wanita pada usia 17 tahun. Karena, mimpi yang menjadi tolok ukur syariat dalam menetukan baligh terjadi pada usia diatas”.7

Berdasarkan klasifikasi diatas, maka kemampuan untuk berbuat dapat dibedakan menjadi dua macam

1. Kemampuan untuk berbuat tidak penuh (ahliyah al-ada’ naqishah) yaitu kepatutan berbuat bagi seseorang untuk sebagianya saja, tidak berwenag penuh untuk berbuat. Apabila ia berbuat sesuatu haruslah di bawah bimbingan seseorang yang sudah sempurna akalnya yang dapat mengetahui manfaat / tidaknya sesuatu yang diperbuat.

2. Kemampuan untuk berbuat penuh (ahliyah al-ada’ al-kamilah) yaitu kepatutan seseorang melakukan perbuatan-perbuatan yang dipandang sah

6 Alaudin Abu Bakar Ibnu Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Bada’i Ush-Shana’i’, Juz 7 Dar

al-Fiqr, Hlm. 423

(6)

oleh syara’, baik dilakukan dengan lisan maupun dengan tindakan, yang menyangkut hak Allah maupun hak manusia.8

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat imam Abu Hanifah tentang ukuran kedewasaan seseorang apabila anak laki-laki telah mencapai umur 18 tahun sedangkan wanita pada umur 17 tahun. Apabila tanda-tanda tersebut belum muncul (mimpi dan haid) maka imam Abu Hanifah menetapkan umur tersebut, karena pada umur tersebut perkembangan akal sampai pada taraf ini dikatakan telah mencapai kesempurnaannya.

B. Permasalahan :

1. Bagaimana pendapat Imam Abu Hanifah tetang batasan dewasa bagi seseorang?

2. Apa alasan Imam Abu Hanifah mengenai batasan dewasa dan pengaruhnya terhadap hukum?

C. Tujuan Penulisan Skripsi

1. Untuk mengetahui bagaimanakah pendapat Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum tentang batasan-batasan dewasa dan pengaruhnya terhadap hukum

2. Untuk mengetahui metode istinbath hukum yang digunakan Imam Abu Hanifah.

(7)

D. Telaah Pustaka

Dalam skripsi ini penulis mencoba mengangkat tema “Studi Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Kedewasaan Seseorang dan Pengaruhnya Terhadap Pelaksanaan Hukum” berdasarkan kitab-kitab ataupun buku-buku yang membahas tentang masalah kedewasaan, mulai dari kitab-kitab fiqh klasik sampai kepada buku-buku yang ditulis oleh ulama masa kini. Berangkat dari sini maka penulis mencantumkan karya beberapa ulama yang didalamnya membahas tentang permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini, adapun karya-karya itu adalah:

Bada’i Ush Shana’ i karya Alaudin Abu Bakar ibn Masud al-Kasani

al-Hanafi yang merupakan rujukan inti dalam penulisan penelitian ini, dia berpendapat bahwa:

%& "

#

'

() % * +", %

-" . % +-",

/

Artinya

: “

Abu Hanifah berkata : Anak laki-laki baligh telah mencapai usia 18 tahun, dan 17 tahun bagi budak perempuan”.9

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ukuran atau batasan kedewasaan seseorang ditentukan dengan usia bagi laki-laki ketika mencapai

9 Alaudin Abu Bakar Ibnu Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Bada’i Ush-Shana’i’, Juz 7 Dar

(8)

umur 18 tahun dan bagi perempuan umur 17 tahun.10

Pendapat imam Abu Hanifah tersebut dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh Islam Wa’ Adilatuh yaitu:

*

#

0-

* +", %

-

()

1

2

(

3 4 '5

* +", '

6

7 ",

Artinya: “Abu Hanifah berkata : “Seorang anak laki-laki dikatakan baligh ketika telah mencapai umur 18 tahun, sedangkan wanita pada usia 17 tahun. Karena, mimpi yang menjadi tolok ukur syariat dalam menetukan baligh terjadi pada usia diatas”.11

Senada dengan pendapat imam Abu Hanifah yaitu TM Hasbi Ash Shiddieqy, ia mengatakan dalam bukunya “Pengantar Hukum Islam”, apabila belum nyata tanda-tanda sampai umur, maka Abu Hanifah menetapkan umur 17 tahun bagi gadis dan umur 18 tahun bagi jejaka.12 Walaupun TM Hasbi Ash Shiddieqy tidak secara langsung mengatakan batasan kedewasaan itu ditentukan dengan usia 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan, tetapi ia menyamakan pendapatnya dengan pendapatnya imam Abu Hanifah.

Berbeda dengan ketentuan di atas, apa yang diterangkan dalam buku Ilmu Fiqh, yang diterbitkan oleh Depag proyek pembinaan prasarana dan sarana perguruan tinggi Agama / IAIN. Dalam buku itu diterangkan bahwa batas awal usia mulai balighnya seseorang secara yuridis adalah jika seseorang

10 Alaudin Abu Bakar ibnu Mas’ud al-Kasani al- Hanafi, Op.Cit, hlm.423

11 Wahbah al-Zuhaili, Fiqih al-Islam wa Adillatuh, Juz 5, Beirut : Dar al-Fiqr, Hlm.423 12 T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra,

(9)

telah berusia 12 tahun bagi laki-laki dan berusia 9 tahun bagi perempuan.13 Beberapa hasil penelitian dapat dilihat dari beberapa buku atau kitab, banyak juga dijumpai hal yang mengupas permasalahan kedewasaan seseorang. judul-judul skripsi atau karya tulis ilmiah yang telah ada ataupun mempunyai kesamaan tema, tetapi jauh berbeda titik fokus pembahasannya. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini ada beberapa skripsi yang mempunyai bahasan dalam tema yang penulis jumpai diantaranya:

1. Kedewasaan sebagai penghapus hak ijbar “Studi Analisis Terhadap Konsistensi Pemikiran Ibnu Taimiyah” yang ditulis oleh Siti Kholifah Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Konsep ijbar adalah produk fiqh yang merupakan hasil dari pemahaman ulama fiqh pada waktu itu, mayoritas ulama madzhab mengakui adanya hak ijbar yang diberlakukan terhadap orang yang diberi perwalian (anak perempuan) bahkan ada beberapa persyaratan yang disampaikan oleh sebagian ulama (misalnya imam Syafi’i) untuk memberlakukan hak ijbar. Akan tetapi persyaratan tersebut belum menyelesaikan masalah dari akarnya. Artinya persyaratan yang disodorkan masih memberi pemahaman pada praktek pemaksaan pernikahan.

2. “Studi Analsis Pendapat Imam Malik tentang Kebolehan Wasiat Orang Safih atau Bodoh” yang ditulis oleh Nurul Fuadah mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Dalam skripsi tersebut penulis dapat mengambil kesimpulan

(10)

Hal ini sangat bertolak belakang dengan pendapat yang akan penulis bahas yaitu tentang kedewasaan seseorang dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan hukum. Dengan pedoman pada penjelasana tersebut menurut hemat penulis tema di atas menarik untuk di kaji.

E. Metode Penulisan Skripsi

Penyusunan skripsi ini pada dasarnya merupakan upaya penelitian yang menggunakan pendekatan ilmiah yang diterapkan untuk menyelidiki masalah. jenis penulisan penelitian kepustakaan (liberary research) dengan menggunakan data tertulis14 metode yang digunakan adalah :

1. Metode pengumpulan data.

Jenis penelitian ini merupakan peneltian library research sehingga metode pengumpulan datanya diperoleh melalui studi kepustakaan.

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu: a. Sumber data primer.

Merupakan data yang diperoleh dari sumber asli yang memuat suatu informasi,15 sumber data primer penelitian ini adalah kitab Bada’i Ush

Shana’i karya Alaudin Abu Bakar Ibn Mas’ud al-Kasani al-Hanafi.

b. Sumber data sekunder.

14 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, cet-5, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000,

hlm. 125

15 Tatang M. Amrin, Menyusun Rencana Penulisan, cet-3, Jakarta, Raja Grafindo

(11)

Merupakan data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli16 bersifat komplemen, yaitu :

a. Al-Fiqh al-Islam Wa’adilatuh, karya Wahbah al-Zuhayly b. Filsafat Hukum Islam, karya Zaini Dahlan

c. Ushul al-Fiqh, karya Abdul Wahab Khallaf

d. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, karya Ridwan Syahroni dan lain-lain

2. Metode analisis data

Setelah data terkumpul, kemudian diorganisir, dikualifisir dan dianalisis. Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode content analysis (analisis isi)17 yaitu metode yang berusaha menggambarkan mengenai masalah tersebut. Penulis akan melakukan analisis data dan pengolahan secara ilmiah tentang sisi dari pesan / teks. Metode ini digunakan untuk memahami pendapat dan istinbath hukum yang dipakai oleh Imam Abu Hanifah tentang batasan dewasa dan pengaruhnya terhadap hukum.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Bab I Pendahuluan, dalam bab ini penulis menerangkan latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode penulisan skripsi dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II Dalam bab ini diuraikan tentang landasan teori, yaitu berkaitan dengan kedewasaan dan dasar hukumnya, kedewasaan dalam hukum Islam,

16 Ibid, hlm.132

(12)

hak dan kewajiban.

Bab III Dalam bab ini penulis membahas secara khusus mengenai biografi Imam Abu Hanifah, dasar istinbath hukum imam Abu Hanifah dan pendapatnya tentang ukuran kedewasaan seseorang dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan hukum.

Bab IV Merupakan inti skripsi ini, dalamnya dikemukakan tentang analisis pemikiran Imam Abu Hanifah dalam menentukan kedewasaan seseorang dan metode istinbat hukum yang digunakannya dalam menentukan kedewasaan seseorang.

Bab V Merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini. Pada bab ini dikemukakan beberapa kesimpulan dan beberapa saran yang dipandang perlu.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhayly, Wahbah, Fiqh Islam Wa’adilatuh, Juz 5, Beirut Dar al-Fikr, t.th. Ash Shiddieqy Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra,

2001

Amrin, Tatang M., Menyusun Rencana Penulisan, Cet-3, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Dahlan, Zaini, et.al, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992 Depag RI, Al-Qur’an dan Terj, Annur 59 Semarang : CV. Toha Putra, 1989. ..., Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi

Agama / IAIN, Ilmu Fiqh, Cet 2, 1984/1985.

Khallaf, Abdul al-Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, H. M. Zuhri dan Ahmad Qorib, Ilmu al-Fiqh, Semarang : Dina Utama, 1994.

Al-Hanafi, al-Kasani Alaudin Abu Bakar ibn Mas’ud, Badaiush Shana’i, Juz 7, Beirut Dar Al- Fikr, t.th.

Muhadjir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Raka Serasi, 1996 Nata,Abudin, Metodologi Studi Islam, Cet-5, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,

2000

Ridwan, Syahroni, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung : Alumni, 1992

Referensi

Dokumen terkait

Menrt Mlyasa9 'ara mem#angkitkan na(s #elajar pada peserta didik dapat dengan 'ara Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita pa"ami #a"&a se'ara positi(9

Untuk menjelaskan perancangan sistem yang dilakukan dalam mewujudkan sistem kontrol sepeda motor menggunakan arduino – android dengan keluaran berupa sistem yang dapat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa saham bebas yang dimiliki karyawan tidak mempunyai sumbangan terhadap komitmen organisasi di PT Telkom Tbk Kantor Divre V

Hasil observasi diatas menunjukkan bahwa perilaku menyimpang karyawan kerap terjadi di Hotel Bumi Ayu Sanur.Perilaku menyimpang ini dapat merugikan rekan kerja ataupun

(1991) yang merupakan acuan dalam menggunakan MSLQ juga merupakan sebagian replikasi dari penelitian ini. Persamaan dengan penelitian ini adalah menghubungkan regulasi diri

Menggunakan sistem informasi geografis untuk melakukan pemetaan secara akurat, dimana Sistem Informasi Geografis disini dapat menentukan titik kordinat secara cepat

Untuk mengkaji apakah bangunan yang telah direncanakan dengan menggunakan SNI 1726:2012 aman terhadap bahaya gempa yang bersumber dari Sesar Lasem, maka dilakukan

Penelitian terhadap ROA sesuai dengan hipotesis yang diajukan yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan ROA (Return on Assets) bank sebelum dengan setelah