4 Hasil dan Pembahasan
4.1 Aktivasi Zeolit
Sebelum digunakan, zeolit sebaiknya diaktivasi terlebih dahulu untuk meningkatkan kinerjanya. Dalam penelitian ini, zeolit diaktivasi melalui perendaman dengan NaCl 1M selama 24 jam. Proses aktivasi melalui perendaman dengan NaCl dapat dijelaskan sebagai berikut: zeolit terjenuhkan oleh NaCl saat dilakukan perendaman. Dengan proses tersebut, dapat diasumsikan seluruh kation dalam zeolit telah digantikan oleh ion Na+. Pada zeolit, kation merupakan spesi yang mudah bergerak. Akan tetapi, mobilitas kation tergantung pada ekivalensi muatannya. Ion Na+ merupakan kation yang mudah bergerak karena merupakan kation monovalen dengan ikatan elektrostatik yang lemah, sehingga sangat mudah untuk dapat dipertukarkan dengan kation lain. Hal ini dapat meningkatkan kapasitas penukar kation zeolit15).
Selain itu, pada proses aktivasi, zeolit yang telah direndam dengan larutan NaCl 1M disaring dan dicuci dengan aqua dm kemudian dikeringkan pada suhu 105ºC untuk menghilangkan air. Proses dehidrasi ini juga dapat mengaktivasi zeolit karena salah satu komponen penyusun zeolit adalah air. Molekul air yang terdapat dalam zeolit dapat dikeluarkan dengan pemanasan. Pada umumnya ketika molekul air telah keluar dari kerangka zeolit, maka zeolit akan mengalami penyusutan. Akan tetapi, tidak terjadi perubahan yang nyata pada kerangka dasarnya, sehingga dapat meningkatkan kemampuan zeolit sebagai adsorben.
4.2 Pembuatan Membran Bentonit dan Membran Bentonit – Zeolit
Komposisi 10 : 7 untuk bentonit : air dalam membran bentonit dan untuk (bentonit + zeolit) : air dalam membran bentonit – zeolit merupakan komposisi yang optimum untuk laju pemanasan yang digunakan dalam penelitian ini. Jika kondisi ini tidak dipenuhi, membran tidak dapat terbentuk dengan baik.
Variasi komposisi bentonit dan zeolit pada membran bentonit – zeolit yang dibuat dalam penelitian ini adalah bentonit : zeolit = 50 : 50 dan bentonit : zeolit = 70 : 30. Pada awalnya
juga dibuat komposisi bentonit : zeolit = 30 : 70. Akan tetapi, membran dengan komposisi ini tidak berhasil dibuat karena pada saat proses pencetakan, membran tidak dapat dibentuk (bersifat rapuh). Hal ini diperkirakan karena bentonit lebih bersifat pemlastis yang dapat membentuk membran dibandingkan dengan zeolit. Ketika jumlah zeolit lebih banyak daripada bentonit, membran tidak dapat dibentuk.
Membran mengalami penyusutan setelah melalui pemanasan dalam oven dan tungku. Hal ini merupakan karakteristik material bahan keramik, yang akan mengalami penyusutan setelah pemanasan dari ukuran sebelumnya, dengan tingkat penyusutan yang cukup besar16). Bentonit memiliki kemampuan untuk mengembang ketika ditambahkan air. Pada proses pemanasan, air akan menguap sehingga membran akan mengalami penyusutan. Dalam penelitian ini, diameter awal membran sebelum pemanasan adalah 3,1 cm, sedangkan setelah melalui pemanasan dalam oven dan tungku, ukuran diameter membran adalah 2,6 cm.
Dengan kata lain, membran mengalami penyusutan diameter sebanyak 0,5 cm dari ukuran diameter sebelum pemanasan. Informasi mengenai besarnya penyusutan membran, dapat digunakan untuk memprediksikan diameter membran ketika dicetak sehingga dapat diperoleh membran dengan ukuran diameter yang diinginkan. Selain itu, ketebalan membran juga perlu diperhatikan. Ketebalan membran yang dibuat dalam penelitian ini adalah 2 mm.
Jika terlalui tipis, membran dapat retak pada saat digunakan pada sel filtrasi aliran kontinu.
Jika terlalu tebal, permeabilitasnya akan berkurang.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah laju pemanasan ketika membran dipanaskan dalam oven dan tungku. Membran yang dibuat dalam penelitian ini sangat sensitif terhadap perubahan suhu yang ekstrem sehingga laju pemanasan harus diatur dengan membuat beberapa tahapan pemanasan.
Jika laju pemanasan terlalu cepat, membran dapat retak atau bahkan melengkung. Hal ini dapat terjadi karena membran kehilangan kandungan airnya secara tiba – tiba dan tidak merata17). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan tahapan pemanasan sebagai berikut:
1. Dalam oven: 16 jam pada suhu 36 ºC, selama 30 menit pada suhu 50ºC, dan dengan laju pemanasan 5ºC per 15 menit, suhu dinaikkan sampai 110ºC. Suhu 110ºC ini dipertahankan sampai 24 jam. Kemudian, suhu dinaikkan menjadi 250ºC, selama 24 jam.
2. Dalam tungku. Proses pemanasan dalam tungku juga melalui beberapa tahap, yaitu:
setelah suhu mencapai 700ºC, suhu ini dipertahankan selama 30 menit kemudian suhu dinaikkan lagi sampai 900ºC, selama 6 jam.
21
Pemanasan juga sangat berpengaruh pada pori membran. Saat pemanasan, terjadi proses penataulangan struktur material pembuat membran untuk membentuk pori. Jika terjadi perubahan suhu yang ekstrem, pori tidak dapat terbentuk dengan baik. Beberapa penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan, ukuran pori membran yang didapatkan akan semakin kecil.
4.3 Karakterisasi Awal Membran
Karakterisasi awal terhadap membran bentonit dan membran bentonit – zeolit yang telah berhasil dibuat dilakukan melalui uji fluks air. Karakterisasi awal ini dilakukan dengan tujuan:
- Untuk mengungkapkan permeabilitas membran.
- Untuk mempelajari kecenderungan ukuran pori dari membran. Suatu membran dapat diperkirakan berpori atau tidak dari besar fluksnya. Semakin besar fluks, dapat diasumsikan bahwa membran semakin berpori.
Dari hasil uji fluks air yang dilakukan terhadap ketiga membran, diperoleh suatu kecenderungan bahwa fluks air paling tinggi dimiliki oleh membran bentonit, kemudian membran bentonit – zeolit 70 : 30 dan yang paling rendah dimiliki oleh membran bentonit – zeolit 50 : 50 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.1 berikut:
0 50 100 150 200 250 300 350
0 100 200 300
laju alir (L/jam)
fluks (L. jam-1 .m-2 ) bentonit
bentonit : zeolit = 70 : 30
bentonit : zeolit = 50 : 50
Gambar 4. 1 Aluran fluks terhadap laju alir pada setiap membran
Dari Gambar 4. 1 tersebut menunjukkan bahwa adanya zeolit dalam sistem membran dapat menurunkan fluks. Hal tersebut terjadi karena dalam proses pembuatannya, bentonit dan zeolit dicampurkan dan dipanaskan pada suhu tinggi (hingga 900ºC). Struktur membran menjadi lebih tidak teratur dan menyebabkan air sulit berpermeasi dalam membran yang
22
menyebabkan turunnya nilai fluks. Hal ini juga dapat dilihat dari hasil foto SEM pada bagian melintang membran bentonit – zeolit 50 : 50 dan membran bentonit – zeolit 70 : 30 yang menunjukkan bahwa kedua membran memiliki struktur yang rumit dan berongga. Semakin banyak rongga, semakin banyak kemungkinan terdapat saluran – saluran dalam membran yang acak sehingga air akan lebih sulit untuk berpermeasi atau bahkan tertahan di dalamnya.
Hal ini pula yang dapat menjadi penyebab membran bentonit – zeolit 50 : 50 memiliki fluks yang paling kecil diantara membran yang lain.
Gambar 4. 2 Penampang melintang membran bentonit – zeolit 70 : 30 perbesaran 500 x
Gambar 4. 3 Penampang melintang membran bentonit – zeolit 50 : 50 perbesaran 500 x
23
4.4 Kinerja Membran Bentonit dan Membran Bentonit – Zeolit terhadap Ion Cu
2+bentonit
0 10 20 30 40
0 20 40 60 80 100
w aktu (m enit)
konsentrasi (ppm)
umpan permeat
Gambar 4. 4 Konsentrasi ion Cu2+ di larutan umpan dan permeat dengan membran bentonit
bentonit : zeolit = 70 : 30
0 20 40 60 80
0 20 40 60 80 100
w aktu (m enit)
konsentrasi (ppm)
umpan permeat
Gambar 4. 5 Konsentrasi ion Cu2+ di larutan umpan dan permeat dengan membran bentonit – zeolit 70 : 30
bentonit : zeolit = 50 : 50
0 10 20 30 40
0 20 40 60 80 100
w aktu (m enit)
konsentrasi (ppm)
umpan permeat
Gambar 4. 6 Konsentrasi ion Cu2+ di larutan umpan dan permeat dengan membran bentonit – zeolit 50 : 50
24
Dari gambar - gambar tersebut diperoleh suatu kecenderungan bahwa untuk setiap variasi membran, konsentrasi ion Cu2+ pada larutan umpan dan larutan permeat menurun. Hal ini dapat diperkirakan bahwa terjadi penyerapan ion Cu2+ oleh membran. Hal ini dapat terjadi karena bahan dasar membran dalam penelitian ini, yaitu bentonit dan zeolit sama – sama memiliki sifat sebagai adsorben.
Sebesar 85% kandungan bentonit merupakan montmorillonit. Pada montmorilonit, selalu terjadi subtitusi Al dan terkadang P dapat menggantikan Si dalam koordinasi tetrahedral, sedangkan Mg, Fe, Zn, Ni, dan Li dapat menggantikan Al dalam koordinasi oktahedral.
Adanya subtitusi ini dapat mengakibatkan terjadinya kekurangan muatan. Kekurangan muatan ini dapat diimbangi oleh kation – kation yang dapat dipertukarkan, yang teradsorpsi diantara lapisan – lapisan satuan sel dan ditepinya. Dengan demikian, bentonit memiliki kemampuan sebagai adsorben.
Dalam keadaan anhidrat, rongga - rongga dalam zeolit dapat terisi molekul. Molekul – molekul dalam rongga kemudian cenderung akan tertahan dengan gaya elektrostatis dan gaya van der waals. Jadi, zeolit dapat menahan dan menyerap molekul – molekul yang cukup kecil untuk masuk ke dalam rongga18).
Kinerja masing – masing membran melalui % retensi ion Cu2+ ditunjukkan pada Gambar 4. 7 berikut:
0 10 20 30 40 50 60 70
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
w aktu (m enit)
% Retensi
bentonit
bentonit : zeolit = 50 : 50
bentonit : zeolit = 70 : 30
Gambar 4. 7 Perbandingan kinerja membran melalui nilai % retensi pada membran bentonit, membran bentonit – zeolit 70 : 30 dan membran bentonit – zeolit 50 : 50 Dari Gambar 4. 7 dapat didapatkan suatu kecenderungan bahwa dengan adanya zeolit dalam membran, nilai % retensi terhadap ion Cu2+ semakin besar pada rentang waktu 32,5 menit hingga 62,5 menit. Hal ini dapat diperkirakan karena adanya sifat penukar kation pada zeolit.
Dalam penelitian ini, zeolit diaktivasi dengan NaCl, sehingga diperkirakan ion Na+ yang ada dalam kerangka zeolit dipertukarkan dengan ion Cu2+ dalam larutan.
25
Selain itu, ukuran dari zeolit yang digunakan juga kecil (-400 mesh). Kinerja zeolit sebagai adsoben dapat ditingkatkan dengan menurunkan ukuran partikel zeolit. Semakin kecil ukuran, maka kemampuan untuk menyerap semakin tinggi, karena luas permukaan kontak menjadi lebih besar19).
Selain adanya penyerapan dan pertukaran ion Cu2+ oleh membran, mekanisme lain yang mungkin terjadi adalah karena terbentuknya suatu struktur yang rumit, dengan derajat ketidakteraturan yang tinggi hasil pemanasan saat pembuatan membran, yang dapat menyebabkan ion Cu2+ terjebak pada ruang – ruang antar kisi struktur atau melewati celah – celah antar pori pada membran.
Saat 77,5 menit, terjadi penurunan nilai % retensi untuk membran bentonit – zeolit 50 : 50.
Hal ini dapat diperkirakan karena terjadi fouling. Fouling dapat menurunkan nilai retensi membran20). Fouling pada membran dapat didefinisikan sebagai deposisi reversibel maupun irevesibel dari partikel, koloid, emulsi, suspensi, makromolekul, garam, dan sebagainya yang tertahan pada permukaan, atau didalam membran2). Deposisi ini meliputi adsorpsi, penyumbatan pori, presipitasi (pengendapan) dan pembentukan cake. Dengan asumsi tersebut, diperkirakan ion Cu2+ akan lebih sulit untuk kontak dengan membran, sehingga nilai % retensinya menurun. Terjadinya fouling dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: sistem aliran, material pembuat membran, dan kualitas larutan umpan21).
Dalam penelitian ini, fouling terjadi pada waktu yang cukup lama. Hal ini menunjukkan tidak hanya menggambarkan adanya fouling pada membran tetapi juga terdapat perubahan sifat fisik pada umpan seperti peningkatan viskositas dengan terakumulasinya molekul tertahan dalam larutan umpan20). Penanganan fouling membran dilakukan dengan cara perlakuan mekanik, back wash (pencucian balik) maupun chemical cleaning dengan surfaktan (deterjen).
26
Difraktogram membran bentonit – zeolit 50 : 50 ditunjukkan pada Gambar 4. 8 berikut:
Position [°2Theta]
10 20 30 40 50 60 70
Counts
0 100 400 900
B=Z=50-50
Gambar 4. 8 Difraktogram membran bentonit – zeolit 50 : 50
Gambar 4. 8 memperlihatkan bahwa membran bentonit – zeolit 50 : 50 berada dalam fasa semikristalin. Bentonit dan zeolit memiliki struktur kristal yang kristalin. Ketika keduanya dicampurkan dan dipanaskan pada suhu yang tinggi, maka kemungkinan akan terjadi deformasi pada struktur, walaupun tidak mengubah kerangka awalnya. Bentonit dan zeolit yang digunakan dalam penelitian ini didapat secara komersial, sehingga tidak dapat dipastikan jenisnya. Oleh karena itu, perlu dianalisa melalui difraktogram membran bentonit – zeolit 50 : 50. dengan membandingkan puncak karakteristik 2θ bentonit, zeolit dan membran bentonit – zeolit 50 : 50, dapat diketahui jenis bentonit dan zeolit yang digunakan.
Berikut adalah perbandingan puncak 2θ antara membran bentonit – zeolit 50 : 50 dengan chabazit dan chlorite-vermiculite-montmorillonite.
Tabel 4. 1 Perbandingan puncak 2θ antara bentonit dengan membran bentonit – zeolit 50 : 50
2θ chlorite-vermiculite- montmorillonite
2θ membran bentonit – zeolit 50 : 50 terdekat dengan
2θ standar
20,000 20,816 25,452 26,501 31,056 31,458 35,577 35,577 45,834 44,515 50,128 50,106 55,350 55,372
27
Tabel 4. 2 Perbandingan puncak 2θ antara zeolit dengan membran bentonit – zeolit 50 : 50
2θ chabazit
2θ membran bentonit – zeolit 50 : 50 terdekat dengan
2θ standar
20,508 20,816 24,447 24,281 27,556 27,784 35,479 35,577 50,193 50,106
Dari Tabel 4. 1 dan Tabel 4. 2 ditunjukkan bahwa terdapat puncak 2θ dari chabazit dan chlorite-vermiculite-montmorillonite pada membran bentonit – zeolit 50 : 50. Dengan demikian, dapat diprediksi membran bentonit – zeolit 50: 50 memiliki kandungan zeolit jenis chabazit dan bentonit jenis chlorite-vermiculite-montmorillonite. Kandungan yang paling dominan dimiliki oleh bentonit, karena pada Gambar 4. 8 intensitas yang paling besar terdapat pada 2θ = 26,501 yang mendekati nilai 2θ dari chlorite-vermiculite-montmorillonite.
28