SKRIPSI
REZA IRFANSYAH PUTRA 171201024
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
PENGEMBANGAN EKOWISATA BERBASIS KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DI RUAS AEK
NAULI-MEREK JALUR LINGKAR LUAR DANAU TOBA
SKRIPSI
OLEH:
REZA IRFANSYAH PUTRA 171201024
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
PENGEMBANGAN EKOWISATA BERBASIS KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DI RUAS AEK
NAULI-MEREK JALUR LINGKAR LUAR DANAU TOBA
SKRIPSI
Oleh:
REZA IRFANSYAH PUTRA 171201024/KEHUTANAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Reza Irfansyah Putra NIM : 171201024
Judul Skripsi : Pengembangan Ekowisata Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sekitar Hutan di Ruas Aek Nauli-Merek Jalur Lingkar Luar Danau Toba
Menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan skripsi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Medan, Juni 2021
Reza Irfansyah Putra NIM. 171201024
ABSTRAK
REZA IRFANSYAH PUTRA
. Pengembangan Ekowisata Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sekitar Hutan di Ruas Aek Nauli-Merek Jalur Lingkar Luar Danau Toba, Dibimbing oleh AGUS PURWOKO dan PINDI PATANA.Kegiatan wisata saat ini telah menjadi salah satu kebutuhan bagi manusia. Wisata juga dapat berperan sebagai salah satu sektor pemasukan negara negara dan dapat memperkenalkan terkait dengan potensi alam yang dimiliki oleh suatu negara atau suatu wilayah unruk masyarakat setempat ataupun masyarakat internasional.
Dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN, industri ekowisata di Sumatera Utara memiliki peluang untuk berkembang. Salah satu kelemahan industri pariwisata di Sumatera Utara adalah produk pariwisata yang relatif homogen dan infrastruktur pendukung yang kurang memadai. Produk wisata yang disediakan tiap daerah relatif sama, spot pemandangan buatan yang disediakan tidak unik, dan semua aspek kearifan lokal diabaikan dalam pengembangan ekowisata. Berdasarkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati potensi ekowisata berbasis kearifan lokal yang ada di sepanjang jalur lingkar luar Danau Toba ruas Aek Nauli-Merek, dan untuk menganalisis bagaimana praktek pengembangan ekowisata berbasis kearifan lokal di sepanjang jalur lingkar luar Danau Toba ruas Aek Nauli-Merek. Dari hasil penelitian diharapkan mendapat manfaat untuk masyarakat lokal terkait dengan potensi kreatif dalam mengemas ekowisata, juga praktek pengembangan ekowisata berwawasan kearifan lokal disekitar lokasi. Penelitian yang dilakukan merupakan bentuk penelitian deskriptif kualitatif dengen fokus penelitian mengenai pengembangan ekowisata berbasis kearifan lokal di ruas Aek Nauli-Merek. Hasil dari penelitian bahwa potensi ekowisata yang berbasis kearifan lokal di Kecamatan Merek yaitu, Rumah tradisional suku Karo di Desa Budaya Dokan, Ritual Penusur Sira, Objek wisata Joroh Joroh. Bentuk praktek pengembangan ekowisata berbasis kearifan lokal di sepanjang jalur lingkar luar Danau Toba ruas Aek Nauli-Merek yaitu adalah sikap kebersamaan (kegotongroyongan), rasa kekeluargaan, ketentraman, keramahtamahan, kepedulian terhadap sesama, jiwa kemanusiaan, keharmonisan, penyelesaian masalah, berpikiran baik, giat bekerja, patuh, edukasi, pelestarian dan kreatifitas budaya, peduli lingkungan, dan nilai yang berkaitan dengan bidang kesehatan. Penelitian ini menggunakan teori kearifan lokal yang dikemukakan oleh Kutanegara bahwa bentuk kearifan lokal diklasifikasikan menjadi 2 bentuk, yaitu tangible (tekstual, bangunan, dan benda cagar budaya) dan intangible (nasehat yang disampaikan secara lisan dan bersifat turun temurun dan berupa ungkapan rasa syukur dan senandung yang memiliki nilai ajaran tradisional).
Kata Kunci: Ekowisata, Intangible, Jalur Lingkar Luar Danau Toba, Kearifan Lokal, Ruas Aek Nauli-Merek, Tangible.
ABSTRACT
REZA IRFANSYAH PUTRA.
Development of Ecotourism Based on Local Wisdom of the Community Around the Forest in the Aek Nauli-Merek of the Outer Ring Road of Lake Toba, Supervised by AGUS PURWOKO and PINDI PATANA.Tourism activities have now become a necessity for humans. Tourism can also play a role as one of the country's foreign exchange earning sectors and can introduce the natural potential of a country or an area to local communities and foreign communities. With the enactment of the ASEAN Economic Community, the ecotourism industry in North Sumatra has the opportunity to develop. One of the weaknesses of the tourism industry in North Sumatra is the relatively homogeneous tourism products and inadequate supporting infrastructure. The tourism products provided by each region are relatively the same, the artificial scenic spots provided are not unique, and all aspects of local wisdom are ignored in ecotourism development. This study aims to identify the potential for ecotourism based on local wisdom that exists along the outer ring path of Lake Toba on the Aek Nauli-Merek, and to analyze how local wisdom-based ecotourism development practices along the outer ring path of Lake Toba on the Aek Nauli- Merek. The benefits that are expected from the research carried out are that this research is expected to be useful for local communities related to the creative potential in packaging ecotourism, as well as the practice of developing ecotourism with local wisdom in the vicinity. This research is a qualitative descriptive research with a research focus on the development of ecotourism based on local wisdom in the Aek Nauli-Merek. The results of the research show that the potential for ecotourism based on local wisdom in Merek District, namely, Karo traditional house in Dokan Cultural Village, Penusur Sira Ritual, Joroh Joroh tourism object. The forms of ecotourism development practices based on local wisdom along the outer ring of Lake Toba on the Aek Nauli-Merek section are the attitude of togetherness (gotong royong), a sense of kinship, peace, courtesy, honesty, social solidarity, harmony, conflict resolution, commitment, positive thinking, sense gratitude, welfare, hard work, discipline, education, cultural preservation and creativity, environmental care, and values related to the health sector. This research uses the theory of local wisdom proposed by Kutanegara that the form of local wisdom is divided into 2, namely tangible (textual, buildings, and objects of cultural heritage) and intangible (advice conveyed verbally and from generation to generation which can be in the form of songs and songs that contain values of traditional teachings).
Keywords: Ecotourism, Intangible, Lake Toba Outer Ring Route, Local Wisdom, Section Aek Nauli-Merek, Tangible.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Mulyorejo, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara pada 14 Mei 2000. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara oleh pasangan Bapak Rusmanto dan Ibu Miniarti.
Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar (SD) MIS Al-Hidayah, Desa Mulyorejo, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2005- 2011, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Sunggal pada tahun 2011-2014, dan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Sunggal pada tahun 2014-2017. Pada tahun 2017, penulis lulus di Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis memilih minat Departemen Manajemen Hutan.
Semasa kuliah penulis aktif di berbagai organisasi tingkat fakultas maupun universitas, diantaranya pernah menjadi anggota Divisi Kaderisasi BKM Baytul Asyjaar tahun 2018-2019, Anggota Divisi Pendidikan dan Pelatihan UKM Ikatan Mahasiswa Peduli Masyarakat (IMPM) USU tahun 2018-2019, Ketua Bidang Sosial, Lingkungan Hidup, dan Kehutanan (SOSLINGHUT) Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Kehutanan USU tahun 2018-2019. Dan penulis juga aktif menjadi Master of Ceremony (MC) dan menjadi panitia diberbagai acara di tingkat Fakultas maupun Universitas.
Penulis telah mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Pantai Mangrove, Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai dan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Hutan Diklat Pondok Bulu, Pematang Siantar pada tahun 2019. Pada tahun 2019 penulis juga telah menyelesaikan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di KPH Wilayah I Stabat.
Pada tahun 2020 penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Pengembangan Ekowisata Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sekitar Hutan di Ruas Aek Nauli- Merek Jalur Lingkar Luar Danau Toba” di bawah bimbingan Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si dan Pindi Patana, S.Hut., M.Sc.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian yang berjudul “Pengembangan Ekowisata Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sekitar Hutan di Ruas Aek Nauli-Merek Jalur Lingkar Luar Danau Toba” ini dengan baik untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan studi pada Program S1 Kehutanan Universitas Sumatera Utara.
Penulis banyak menerima bimbingan, motivasi, saran, dan juga doa dari berbagai pihak selama penulisan skripsi ini. Teristimewa dari kedua orangtua yang sangat penulis sayangi yaitu ayahanda Rusmanto dan ibunda Miniarti yang tidak pernah berhenti memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan nasihat yang tulus dalam penyelesaian skripsi ini, serta adik saya Sindi Wulandari dan Ridho Darmawan yang selalu membantu dan mendoakan saya selama proses penelitian hingga saat ini.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M. Si dan Pindi Patana, S.Hut., M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
2. Dr. Ir. Luthfi Hakim, S.Hut., M.Si., IPM, Dr. Delvian, S.P., M.P, Moehar Maraghiy Harahap, S.Hut., M.Si selaku dosen penguji ujian komprehensif.
3. Pemerintah Kecamatan Merek, Kabupaten Karo dan Pemerintah Kabupaten Simalungun serta masyarakat sekitar yang terlibat dalam penelitian ini.
4. Teman-teman yang selalu memberi dukungan semangat, yaitu: teman-teman
“Bimbingan Pak Agus 2017”, dan Rimbawan Kecil (Hamzah Irwansyah Siregar, S.Hut, Saurma Romatua Sinaga, S.Hut, Nur Hidayat, Ega Widya Putri, El Winni Elena Sitorus, Ema Franisa Ginting, Ivana Frandika Siboro, Muawwanah), Kehutanan B 2017, Manajemen Hutan 2017.
5. Reza Irfansyah Putra, penulis sendiri yang sudah hidup, berjuang dengan luar biasa untuk menyelesaikan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat ke berbagai pihak dan menyumbangkan kemajuan bagi ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kehutanan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Juni 2021
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ... i
PERNYATAAN ORIGINALITAS... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT... iv
RIWAYAT HIDUP ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi ... 4
Topografi dan geografi Kecamatan Merek ... 4
Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya ... 5
Perkembangan jumlah pengunjung ... 5
Konsep Jasa Lingkungan... 5
Pengertian Ekowisata ... 6
Aspek 4A (Attraction, Accessibility, Amenities, Ancillary Service) ... 7
Attraction... 7
Accessibility ... 8
Amenities ... 8
Ancillary Service... 8
Pengertian Kearifan Lokal ... 8
Teori Kearifan Lokal... 11
Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) ... 12
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 13
Alat dan Bahan Penelitian ... 13
Ruang Lingkup Penelitian ... …13
Sumber Data ... 14
Metode Pengambilan Data ... 14
Analisis Data ... 15
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi dan Praktek Ekowisata Berbasis Kearifan Lokal ... 17
Potensi ekowisata berbasis kearifan lokal di jalur lingkar luar Danau Toba ruas Aek Nauli-Merek ... 19
Objek ekowisata berbasis kearifan lokal di Kecamatan Merek ... 20
2. Ritual Penusur Sira ... 25 3. Objek wisata joroh joroh ... 27 Praktek pengembangan ekowisata berbasis kearifan lokal di jalur
lingkar luar Danau Toba ruas Aek Nauli-Merek ... 31 Objek ekowisata berbasis kearifan lokal di Kecamatan Merek... 32 1. Rumah adat Karo di Desa Wisata Dokan ... 32 2. Ritual Penusur Sira ... 32 3. Objek Wisata Joroh Joroh ... 34 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 35 Saran………...35 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Objek Ekowisata yang terdapat di Jalur Lingkar Luar
Danau Toba Ruas Aek Nauli-Merek ... 18 2. Praktek Pengembangan Ekowisata Berbasis Kearifan Lokal
di Jalur Lingkar Luar Danau Toba Ruas Aek Nauli-Merek ... 31 3. Matriks Penelitian ... 40
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Merek ... 13
2. Rumah Adat Karo yang terdapat di Desa Budaya Dokan... 21
3. Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu ... 23
4. Rumah Adat Karo Siempat Jabu ... 24
5. Objek Wisata Joroh Joroh ... 28
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks Halaman
1. Matriks Penelitian ... 40
2. Dokumentasi Penelitian ... 42
3. Diagram Alir Penelitian ... 46
4. Panduan pertanyaan ... 47
5. Rekapitulasi hasil wawancara ... 48
PENDAHULUAN
Latar BelakangKini, pariwisata sudah menjadi kebutuhan umat manusia. Pariwisata juga dapat menjadi sumber pemasukan bagi negara dan juga dapat memperkenalkan potensi alam sebuah negara atau wilayah kepada masyarakat setempat maupun asing. Dengan kata lain dapat dikatakan wisatawan lokal dan wisatawan asing.
Dalam perkembangan sebuah negara, pariwisata tidak merasa ketinggalan, karena pariwisata merupakan sumber ekonomi yang dapat menambah penghasilan bagi sebuah negara. Dengan demikian, perubahan dan pengelolaan pada bidang pariwisata mesti ada perubahan yang baik, dan harus mendapat perhatian khusus dari seluruh aspek masyarakat.
Fakta membuktikan bahwa industri pariwisata dapat memacu pertumbuhan ekonomi melalui investasi, kesempatan kerja, dan peluang usaha, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terus mengembangkan industri pariwisata dengan memanfaatkan sumber daya pariwisata yang ada sebagai sumber kegiatan ekonomi yang andal. Pembangunan dan pengelolaan yang baik dapat meningkatkan perekonomian suatu wilayah.
Dalam mengembangkan pariwisata di suatu wilayah perlu memperhatikan potensi wilayah tersebut. Apabila suatu wilayah semakin berkembang, maka wilayah tersebut akan menjadi tujuan wisata yang dapat menghasilkan keuntungan bagi sebuah negara.
Saat ini, bentuk pengembangan pariwisata yang menjanjikan adalah pengembangan pariwisata berbasis ekowisata. Sebagai salah satu cabang industri pariwisata, ekowisata berpotensi untuk menunjang keberhasilan agar dapat merubah dari wilayah yang tertinggal menjadi wilayah yang dapat berkembang dan juga telah diperkenalkan sebagai industri pariwisata modern, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi perlindungan dan pembangunan. Salah satu permasalahan industri pariwisata adalah meskipun tidak membawa manfaat ekonomi, namun tidak meningkatkan perlindungan masyarakat, budaya dan lingkungan. Pasca berkembangnya pariwisata, banyak timbul masalah sosial di masyarakat. Hal yang sama berlaku untuk masalah budaya dan lingkungan. Kunci untuk mempromosikan pariwisata dari pariwisata yang sangat besar (mass
tourism) menjadi pariwisata pengganti adalah langkah bijak untuk mewujudkan pariwisata berkelanjutan. Sebagai pengganti pengembangan pariwisata, pengembangan ekowisata sangat sesuai dan membutuhkan dukungan semua pihak.
Promosi ekowisata di dalam negeri dan daerah dianggap sangat penting bagi keberhasilan pembangunan suatu negara. Kekayaan budaya, alam serta kearifan lokal Indonesia perlu dijaga dan dilindungi agar dapat menjadi tujuan wisata bagi pengunjung lokal dan pengunjung luar negeri. Pengembangan pariwisata bukan saja terkait dengan pengembangan pariwisata secara keseluruhan, tetapi juga terkait dengan tingkat pariwisata di cagar alam, taman nasional, dan kawasan lindung lain.
Dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN, industri ekowisata di Sumatera Utara memiliki peluang untuk berkembang. Hal ini selaras dengan adanya organisasi internasional diantaranya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Organisasi Pariwisata Dunia atau World Tourism Organization (WTO) yang sudah mennyatakan bahwa pariwisata adalah kumpulan unsur yang tidak dapat dijauhkan dari kebutuhan manusia, terutama dalam sektor sosial dan ekonomi.
Menghadapi rintangan dan kesempatan yang ada, peran pemerintah pada sektor budaya dan pariwisata telah berubah. Dahulunya, hanya sebagai pelaksana pembangunan, namun sekarang hanya fokus pada tugas kepemerintahan, dan yang paling utama sebagai penyedia kegiatan pariwisata yang dilaksanakan oleh sektor swasta dapat berkembang lebih cepat.
Salah satu kelemahan sektor industri pariwisata di Sumatera Utara adalah produk pariwisata yang relatif homogen serta infrastruktur pendukung yang kurang memadai. Produk wisata yang disediakan tiap daerah cenderung sama, spot pemandangan buatan yang disediakan relatif tidak unik, dan aspek kearifan lokal diabaikan dalam pengembangan ekowisata.
Kecamatan Merek merupakan salah satu kecamatan yang memiliki objek wisata alam yang sangat beragam, namun sayangnya objek wisata alam yang berbasis kearifan lokal sudah sangat sedikit keberadaannya, padahal objek wisata yang berbasis kearifan lokal jika tetap dipertahankan dan dikembangkan, maka dapat menjadi suatu ciri khas yang unik bagi suatu daerah atau wilayah.
Dari permasalahan berikut maka perlu dilakukan penelitian untuk identifikasi pengembangan ekowisata berbasis kearifan lokal masyarakat sekitar hutan di sepanjang jalur lingkar luar Danau Toba ruas Aek Nauli-Merek, Sumatera Utara.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pentingnya potensi ekowisata berbasis kearifan lokal yang ada di sepanjang jalur lingkar luar Danau Toba ruas Aek Nauli-Merek
2. Untuk menemukan konsep pengembangan ekowisata berbasis kearifan lokal di sepanjang jalur lingkar luar Danau Toba ruas Aek Nauli-Merek.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan adalah dapat bermanfaat untuk masyarakat lokal dan wisatawan terkait dengan potensi dalam mengemas ekowisata yang berbasis kearifan lokal, juga praktek pengembangan ekowisata berbasis kearifan lokal disekitar lokasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Umum LokasiTopografi dan geografi Kecamatan Merek
Ditinjau dari kondisi topografinya (hamparan wilayahnya), Kecamatan Merek berada di dataran tinggi, pegunungan Bukit Barisan yang letak ketinggiannya pada 920-1260 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Merek memiliki keadaan topografi yang berbukit, maka daerah ini dapat dijumpai lembah dan aliran sungai yang cukup dalam serta lereng perbukitan curam/terjal.
Iklim yang terjadi di Kecamatan Merek adalah tropis. Adapun musim yang terjadi biasanya musim kemarau dan musim hujan. Sungai yang melintasi wilayah kecamatan Merek adalah Sungai Air Terjun Sipiso piso dan terdapat danau Toba.
Kecamatan Merek merupakan kecamatan dengan luas 125,51 km² yang terdiri dari 19 (sembilan belas) desa. Kecamatan Merek terletak di Kabupaten Karo dan berbatasan dengan:
Sebelah Utara : Kecamatan Tigapanah yang merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Karo yang sekitar 96% dari total luas lahan Kecamatan Tigapanah merupakan lahan kering.
Sebelah Selatan :Kabupaten Dairi adalah daerah yang memiliki iklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Mata pencaharian utama di Kabuapten Dairi yaitu bergerak di sektor pertanian.
Sebelah Barat :Kecamatan Juhar merupakan kecamatan ketiga terluas di Kabupaten Karo, dengan luas 218,56 km² yang terdiri dari 25 desa
Sebelah Timur :Kabupaten Simalungun yang merupakan kabupaten terluas ketiga setelah kabupaten Mandailing Natal serta Kabupaten Langkat di Sumatera Utara dan letaknya yang cukup strategis yang berada di kawasan wisata Danau Toba-Parapat.
Dari 19 desa yang ada di Kecamatan Merek, terdapat beberapa desa yang memiliki potensi ekowisata berbasis kearifan lokal, yaitu: Desa Kodon Kodon, Desa Sibolangit, Desa Dokan, dan Desa Ajinembah.
Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
Jika ditinjau berdasarkan kondisi sosial masyarakat di Kecamatan Merek mayoritas masyarakat Merek menganut agama Kristen Protestan. Hal tersebut dapat diketahui dari jumlah rumah ibadah umat Kristen lebih dominan daripada dengan agama lain, meskipun masyarakat di Kecamatan Merek memiliki beragam suku juga agama. Sektor pertanian merupakan bagian yang sangat penting dalam perekonomian Kecamatan Merek. Sektor pertanian diklasifikasikan berdasarkan sub sektor tanaman pangan, sektor perkebunan, sektor peternakan, sektor perikanan dan sektor kehutanan. Untuk kondisi budaya yang ada pada Kecamatan Merek, Adat istiadat juga budaya karo masih terjaga sampai saat ini.
Perkembangan jumlah pengunjung
Wisatawan yang datang berkunjung ke objek ekowisata yang terdapat di Kecamatan Merek, sebagian besar hanya menikmati objek ekowisata yang ada saja, masih sangat sedikit wisatawan yang berkunjung ke objek ekowisata yang terdapat kearifan lokal didalamnya. Hal itu disebabkan, kurangnya informasi yang terkait dengan potensi ekowisata yang berbasis kearifan lokal di Kecamatan Merek, padahal objek ekowisata yang berbasis kearifan lokal tidak kalah dengan objek ekowisata yang lain karena terdapat unsur history (sejarah), juga budaya didalamnya, sehingga lebih menarik untuk dinikmati dan digali informasi yang sebanyak banyaknya dari objek ekowisata yang berbasis kearifan lokal tersebut.
Namun, saat ini objek ekowisata yang memiliki potensi kearifan lokal didalamnya semakin terbengkalai bahkan hilang begitu saja. Ditambah lagi sejak tahun 2020 wisatawan yang datang ke Kecamatan Merek mengalami penurunan yang di akibatkan wabah COVID-19 yang mengakibatkan objek ekowisata yang ada di kawasan Kecamatan Merek ditutup selama lebih kurang 4 bulan oleh Pemerintah Kabupaten Karo.
Konsep Jasa Lingkungan
Dalam pengelolaan sumber daya alam, selain nilai ekonomi yang berwujud (tangible), juga terdapat beberapa nilai ekonomi yang tidak berwujud (intangible). Nilai ekonomi tidak berwujud ini terkandung dalam jasa lingkungan.
Jasa lingkungan berarti upaya mengembangkan potensi lingkungan tanpa merusak lingkungan itu sendiri dan tanpa mengurangi fungsi utamanya. Oleh karenanya,
dibutuhkan sumberdaya manusia yang berperan sebagai pengelola dan pengguna sumberdaya alam yang tentunya dapat menerapkan prinsip-prinsip kelestarian alam dan lingkungan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam serta lingkungan. Artinya, mengupayakan peningkatan kesejahteraan hidup manusia dengan tetap menjaga alam agar dapat terpenuhinya kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang (Soenarno, 2015).
Dalam kehidupan sehari-hari lingkungan yang ada disekitar kita sangat berperan penting bagi kita, baik itu lingkungan alam maupun lingkungan buatan.
Adapun peran utama dalam penyediaan lingkungan hidup yang terus berlanjut untuk mendukung kehidupan manusia. Adapun peranan alam bagi manusia yang saling berkaitan dengan keberadaannya mulai dari internal juga nilai eksternal.
Nilai tersebut terkait pada alam yang biasa disebut dengan istilah jasa lingkungan (environmental service). Secara internal, jasa lingkungan mempunyai sifat artoposentris, yang artinya disediakan oleh alam untuk dimanfaatkan dan digunakan oleh manusia. Adapun nilai jasa lingkungan selain sebagai sumberdaya barang yang belum jadi misalnya kayu, bahan tambang, dan sebagai penahan erosi juga pengaturan sistem tata air (hidrologi), dan sebagai penyerap karbon yang mana udara saat ini tidak begitu baik, dengan adanya alam yang sehat dan terawat, semua itu dapat dirasakan keuntungannya. oleh sebab itu, jasa lingkungan ini sangat berkaitan erat dengan kesejahteraan manusia (Juniah et al, 2012).
Pengertian Ekowisata
Konsep ekowisata di Indonesia bisa dilihat pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah, yaitu “Ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggungjawab dengan mengutamakan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap nilai-nilai konservasi sumber daya alam, juga peningkatan pendapatan masyarakat lokal”. Berdasarkan definisi tersebut, ekowisata merupakan suatu bentuk kegiatan wisata yang mesti memadukan hal-hal berikut, seperti:
1. Perjalanan ke sebuah kawasan (baik itu hutan alam, ekosistem bawah laut, pola hidup masyarakat hukum adat, hiruk pikuk perkotaan, dan lain sebagainya),
2. Kegiatan pembelajaran dengan tujuan untuk menambah pengalaman bagi para wisatawan,
3. Mengedepankan upaya proses konservasi baik itu flora, fauna, juga budaya, serta
4. Mengutamakan tingkat kepedulian dan kapasitas masyarakat lokal.
Dengan begitu, ecotourism bisa diklasifikasikan berdasarkan arah ODTW yang menjadi pilihan wisatawan, bentuk pengalaman sesuai yang diinginkan wisatawan, kualitas yang harus diperhatikan untuk konservasi sumberdaya alam dan keikutsertaan masyarakat untuk meningkatkan kunjungan wisata (Asmin, 2018).
Aspek 4A (Attraction, Accessibility, Amenities, Ancillary Service).
a. Attraction
Berdasarkan (Suwena, 2010), pertunjukan/objek daya tarik wisata (ODTW) merupakan kumpulan yang sangat penting dalam rangka promosi untuk mendatangkan para wisatawan. Adapun yang harus dikembangkan untuk menarik para wisatawan adalah dengan cara membuat pertunjukan wisata yang biasa dikenal dengan sumber kepariwisataan (tourism resources). Jenis-jenis pertunjukan yang harus ditingkatkan untuk menarik para wisatawan agar lebih menarik dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu :
1) Natural Resources (pemandangan yang memang sudah ada di alam) misalnya, pegunungan, hamparan perairan dan perbukitan.
2) Pertunjukan wisata budaya seperti bentuk rumah tradisional yang ada di pedesaan, situs peninggalan bersejarah, seni keterampilan yang dibuat masyarakat setempat, upacara adat, kreasi masyarakat setempat, dan kehidupan di masyarakat sehari-hari, dan juga sikap masyarakat yang sangat bersahaja dengan masyarakat lainnya, terutama dalam makanan dan cara penyajiannya
3) Pertunjukan buatan yang dibuat oleh masyarakat setempat, seperti acara olahraga, berbelanja, pameran hasil kerajinan masyarakat setempat, dan keramahtamahan.
b. Accessibility
Menurut (Sunaryo, 2013), adapun yang dimaksud dengan aksesibilitas dalam pariwisata merupakan sarana bagaimana wisatawan dapat dengan mudah untuk mendatangi tempat atau objek wisata yang akan dituju, misalnya dengan adanya sarana transportasi dan akses yang mendukung. Menurut French dalam (Sunaryo, 2013) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor penting yang berhubungan dengan sudut pandang aksesibilitas wisata meliputi petunjuk- petunjuk jalan, tempat-tempat umum, jarak yang harus ditempuh, biaya dalam perjalanan, dan mobilitas untuk menuju tempat wisata.
c. Amenities
(Sugiama, 2011) menyebutkan amenitas merupakan kumpulan sarana dalam memenuhi kebutuhan seperti, tempat penginapan, rumah makan, tempat hiburan, dan tempat untuk membeli keperluan yang lain. Menurut French dalam (Sunaryo, 2013) mengungkapkan ketentuan bahwasanya adanya amenitas tidak semata-mata sesuatu yang sangat penting untuk para pengunjung, tetapi bila kurangnya sarana dalam memenuhi kebutuhan, maka para wisatawan akan merasa enggan mendatangi tempat destinasi wisata tersebut.
d. Ancillary Service
(Sunaryo, 2013) menerangkan bahwa ancillary service menekankan kepada keberadaan tempat-tempat umum yang senantiasa digunakan oleh wisatawan untuk memudahkan atau memfasilitasi kegiatan wisata seperti tempat penarikan atau penukaran uang, rumah sakit dan sejenisnya. Sementara, menurut (Sugiama, 2011) menerangkan bahwasanya faktor ancillary service meliputi eksistensi organisasi yang memiliki tujuan untuk memberikan fasilitas juga merangsang untuk pengembangan serta promosi dalam kepariwisataan untuk destinasi wisata.
Konsep Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah sudut pandang kehidupan juga menjadi ilmu yang sangat penting dalam berbagai jenis strategi didalam kelangsungan hidup yang mencakup kegiatan yang dilakukan oleh setiap penduduk sekitar yang mana mereka harus menyelesaikan masalah yang ada dalam kehidupan mereka.
Kearifan lokal dalam bahasa inggris juga sering disebut dengan kebijakan
setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat “local genious”. Nilai kearifan lokal tersebut melekat di kehidupan masyarakat dan juga nilai kearifan lokal tersebut sudah melalui proses evolusi, selama keberadaan masyarakat tersebut (Fajarini, 2014).
Secara alami, kearifan lokal juga dapat diapresiasikan menjadi suatu edukasi tentang kebudayaan milik oleh kelompok masyarakat yang didalamnya meliputi berbagai pengetahuan tentang kebudayaan yang berkesinambungan dengan sistem pemanfaatan serta pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Kearifan lokal yang masih bertahan di Indonesia, kini menjadi suatu headline pembahasan yang unik untuk didiskusikan saat makin menurunnya sumberdaya alam serta sulitnya langkah untuk pemberdayaan masyarakat. Nilai kearifan lokal adalah suatu peluang utama bagi masyarakat untuk membangun nilai-nilai tersebut dengan tidak merusak suatu aturan sosial yang fleksibel dengan keadaan lingkungan serta alam sekitar (Romarina, 2016).
Kearifan lokal dibuat berdasarkan nilai sosial yang dibesarkan dari suatu tatanan sosial masyarakat lokal serta mempunyai kegunaan sebagai petunjuk, pengatur, dan arah untuk bertindak dalam bermacam jenis kehidupan, disaat berinteraksi kepada sesama ataupun kepada alam. Dewasa ini, perkembangan keberadaan kearifan lokal dinilai sudah memudar di kalangan sebagian masyarakat. Pengalaman merupakan pandangan manusia yang dapat dirasakan oleh masyarakat lain dengan adanya nilai kearifan lokal. Nilai kearifan lokal akan merekat erat di kelompok masyarakat tertentu serta nilai tersebut telah mengalami proses evolusi, selama keberadaan masyarakat tersebut (Lubis, 2014).
Adapun dalam pengelolaan lingkungan merupakan konsep kearifan lokal yang dijelaskan oleh (Berkes, 1993). Dengan kita mengetahui ilmu yang mempelajari tentang ekosistem tradisional ini merupakan kumpulan ilmu pengetahuan, cara pelaksanaannya dan cara keyakinan yang berubah secara perlahan melalui proses penyesuaian yang diturunkan dari keturunan-keturunan berikutnya melalui budaya yang saling berhubungan antara manusia dengan lingkungan yang ada disekitarnya. Ilmu ekologi tersebut, dapat dimiliki secara lengkap dan dapat di sampaikan dalam bentuk, cerita, nyanyian, nilai-nilai sejarah, kepercayaan, ritual, hukum adat, dan bahasa daerah serta sumberdaya
alam yang ada disekitarnya. Dengan kata lain, kearifan lokal dapat dijabarkan sebagai pengetahuan yang ada kaitannya dengan suatu tempat, dan sebuah pengalaman, dan disebarluaskan oleh masyarakat setempat, pengetahuan yang tidak mengikat pada suatu teori, komprehensif dan terintegrasi dalam tradisi serta budaya. Walau dengan istilah yang tidak sama, kedua teori di atas sama-sama menerangkan bahwa kearifan lokal merupakan hasil karya manusia yang menjadi proses budaya yang sesuai dengan lingkungan alam yang ada disekitar. Sesuatu yang ada kaitannya dengan alam adalah faktor utama untuk dipertimbangkan, dan didapat dalam kurun waktu yang lama kemudian diturunkan kepada anak cucu (Dahliani, 2010).
Dalam kehidupan masyarakat yang berada di sekitar tempat wisata Danau Toba, nilai kearifan lokal yang disajikan berupa cerita yang belum tentu kebenarannya, cerita rakyat, kebiasaan, sistem keyakinan, bentuk yang berada di rumah adat, peti mati, kain tenun dan organisasi sosial. Pengembangan pariwisata Danau Toba selama ini hanya menekankan pada sumberdaya alam namun tidak mengamati keberadaan masyarakat setempat. Dengan begitu dapat diamati bahwa masyarakat yang berada di kawasan Danau Toba belum memiliki sikap melayani, namun mengambil peluang demi keuntungan sesaat memperlihatkan nilai kearifan lokal yang sudah mulai mengalami proses degradasi (penurunan) di masa sekarang (Sari dan Kagungan, 2016).
Kecamatan Merek adalah kecamatan yang masyarakat mayoritasnya adalah suku Karo. Masyarakat ini sangat memegang teguh aturan-aturan yang ada di daerah tersebut, diantaranya aturan pada saat pesta rakyat yang dilaksanakan setiap tahunnya, peraturan tersebut merupakan pantangan membuang kotoran manusia sembarangan atau buang air kecil tidak pada tempatnya, menjaga dan melestarikan tempat yang dinilai memiliki nilai sakral oleh penduduk setempat, juga aliran keyakinan terhadap sesuatu keyakinan roh leluhur. Nilai kearifan lokal yang ada di Tanah Karo masih menjaga dan melestarikan budaya yang sudah diwariskan leluhur dari generasi ke generasi (Ginting, 2015).
Didalam kearifan lokal tercakup bermacam mekanisme serta metode buat bertabiat, berperilaku, serta berperan yang dituangkan dalam sesuatu tata sosial.
Umumnya, terdapat lima ukuran budaya mengenai kearifan lokal, ialah
pengetahuan, keahlian, sumber energi, budaya, serta proses sosial lokal.
Hubungan informasi dengan pengetahuan lokal merupakan kepribadian yang khas serta pengetahuan lokal yang pernah dialami warga buat mengalami permasalahan serta kebutuhan dan solusinya. Beberapa faktor-faktor kearifan lokal menurut (Sibarani, 2012) ialah nilai kedamaian, nilai kesopansantunan, nilai kejujuran, nilai kesetiakawanan, nilai kerukunan, dan peduli lingkungan. Kearifan lokal merupakan nilai, etiket dan moral, serta norma yang menjadi pedoman sikap dan perilaku masyarakat untuk melindungi kelestarian lingkungan. Salah satu contoh kearifan lokal adalah aturan adat yang dibuat oleh lembaga adat suatu daerah untuk melindungi ekosistem hutan adat dan sumber air (Siswadi et al, 2011).
Teori Kearifan Lokal
(Kutanegara, et al. 2014), menerangkan bahwasanya kearifan lokal merupakan sudut pandang tentang kehidupan serta penjelasan tentang macam- macam tantangan hidup yang diaplikasikan sebagai perilaku yang dilaksanakan masyarakat setempat dan menerangkan bermacam masalah dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Nilai kearifan lokal dapat mencakup beberapa hal yang diantaranya berupa aturan, nilai dan sistem keyakinan yang dilandasi dengan sikap dari kalangan masyarakat yang dituangkan dalam suatu kepercayaan yang belum tentu kebenarannya dan juga tradisi. Jenis-jenis kearifan lokal dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, antara lain kearifan lokal yang terlihat (tangible) dan kearifan lokal yang tidak terlihat (intangible):
a. Kearifan lokal yang berwujud (tangible)
Bentuk kearifan lokal yang berwujud mencakup beberapa aspek berikut, yaitu:
1. Tekstual, yang bervariasi jenis kearifan lokal contohnya, strata tingkat keyakinan, cara pelaksanaannya, dan ketetapan yang dimaksud dalam suatu pesan tertulis seperti yang umumnya dijumpai dalam kitab-kitab kuno, buku ramalan, dan prasasti.
2. Bangunan, banyaknya bangunan dan keunikan yang terdapat pada bangunan- bangunan yang masih tradisional yang belum tersentuh oleh bangunan modern ternyata merupakan kebalikan dari bentuk kearifan lokal yang berwujud, contohnya arsitektur rumah adat. Arsitektur rumah adat yang masih ada memiliki suatu keunikan yang proses pembuatannya masih sangat alami dan
sangat sederhana, bisa dilihat dari bahan pembuatan rumah adat tersebut, yang mana semua bahan masih berasal dari alam mengikuti apa yang diajarkan nenek moyang, baik dari aspek arsitekturnya dan juga metodenya.
3. Benda cagar budaya
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, definisi Cagar Budaya adalah “warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”.
b. Kearifan lokal yang tidak berwujud (intangible). Bentuk kearifan lokal terbagi menjadi beberapa bentuk, diantaranya kearifan lokal yang terlihat dan yang tidak dapat terlihat. Adapun kearifan lokal yang tidak terlihat seperti nasihat yang disampaikan secara langsung dari generasi ke generasi yang berupa puji- pujian, dan senandung yang maknanya berisi moral yang baik, yang diwariskan oleh nenek moyang. Dengan nasihat atau dengan unsur yang lain, nilai sosial ini dapat disampaikan secara langsung ataupun disampaikan secara turun temurun.
Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)
Melalui konsep kearifan lokal, proses pembangunan cenderung lebih melihat kekayaan budaya yang terdapat pada masyarakat sekitar, dan semata mata bukan hanya untuk dijaga dan dikembangkan saja, namun dapat menjadi dasar bagi suatu perubahan di suatu wilayah. Cara mengembangkan ekonomi setempat agar dapat memajukan pemanfaatan sumberdaya alam agar memiliki tujuan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam secara berskala panjang dengan mengutamakan pada sektor pengembangan daerah pusat yang menjadi tujuan utama untuk pertumbuhan, produksi, juga meningkatkan pertumbuhan UMKM.
Pengembangan ekonomi lokal dapat dialihkan untuk bisa menunjang perubahan pada bidang-bidang ekonomi yang memiliki nilai untuk mendapatkan peluang kerja (Siregar, 2018).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di sepanjang Jalur Lingkar Luar Danau Toba Ruas Aek Nauli-Merek, Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2020 sampai dengan Februari 2021.
Gambar 1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Merek Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, laptop, kamera digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan pertanyaan (question list atau skema pertanyaan), laporan-laporan, skripsi, dan tesis penelitian terdahulu.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup bentuk kearifan lokal (tangible, intangible), praktek pengembangan ekowisata berbasis kearifan lokal, aspek pariwisata yang terdapat di lokasi penelitian.
Prosedur Penelitian Sumber Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan di lapangan berupa hasil wawancara dengan informan (masyarakat, pengelola, tokoh masyarakat, dan pengunjung). Data sekunder diambil untuk melengkapi data primer dan hal-hal yang sulit dicari dan telah tersedia di lapangan, seperti kondisi umum lokasi penelitian yang dikutip dari data BPS Kabupaten Karo.
Penelitian yang dilakukan merupakan bentuk penelitian deskriptif kualitatif dengan fokus penelitian mengenai pengembangan ekowisata berbasis kearifan lokal di ruas Aek Nauli-Merek. Masyarakat lokal yang dimaksud adalah penduduk yang tinggal di ruas Aek Nauli-Merek tersebut. Penelitian ini disebut kualitatif dikarenakan jenis penelitian ini menghasilkan penemuan yang tidak dapat menggunakan prosedur statistik dan cara kuantitatif lainnya, penelitian kualitatif dipakai untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, gerakan sosial dan hubungan kekerabatan. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan tujuan untuk mengungkapkan makna dan pemahaman atas tindakan individu termasuk kehidupan, aktivitas, dan pengalamannya, serta pola pikir dari individu. Untuk mendapatkan data yang berupa narasi, peneliti mengadakan wawancara langsung dengan narasumber/informan.
Narasumber atau informan yang dimaksud adalah tokoh masyarakat/Pemerintah setempat, masyarakat sekitar, pengunjung, dan pengelola objek wisata. Alasan memilih narasumber tersebut adalah karena dari narasumber sebagian besar berasal dari lingkungan objek wisata alam dan juga merupakan masyarakat yang mengelola objek wisata tersebut.
Metode pengambilan data
Metode pengambilan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu sebagai adalah berikut:
1. Metode observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap suatu objek wisata alam yang terdapat nilai kearifan lokal yang ada di jalur lingkar luar Danau Toba Ruas Aek Nauli-Merek
2. Wawancara tidak terstruktur dengan menentukan narasumber. Wawancara tidak terstruktur merupakan wawancara dengan waktu bertanya dan memberikan respon secara bebas, informasinya (narasumbernya terbatas) hanya yang dipilih saja yaitu yang dipandang memiliki pengetahuan dan mendalami situasi serta memiliki informasi yang diperlukan. Wawancara dilakukan kepada tokoh masyarakat, masyarakat sekitar, pengunjung, dan pengelola objek wisata alam. Pedoman wawancara yang digunakan adalah wawancara langsung dan berdiskusi dengan responden di kawasan objek wisata alam tersebut. Tujuan dilakukannya wawancara adalah untuk mendapatkan gambaran tentang nilai kearifan lokal apa saja yang terdapat di objek wisata tersebut dan bagaimana praktek pengembangan nilai kearifan lokal tersebut.
Analisis data
Potensi kearifan lokal yang terdapat pada objek wisata alam dianalisis dengan teori Kutanegara, kemudian membagi bentuk kearifan lokal yang dapat dikategorikan kedalam dua aspek, yaitu kearifan lokal yang berwujud (tangible) dan tidak berwujud (intangible).
Analisis data dilakukan dengan menggunakan beberapa tahap dan komponen-komponen yaitu reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode Miles dan Huberman (1992), tahapannya yaitu:
1. Pengumpulan data, diartikan bahwa data yang didapat dari lapangan ditulis dalam bentuk uraian atau laporan yang terperinci.
2. Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
3. Penyajian data, diartikan untuk melihat gambaran dari keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian untuk menghindari terkumpulnya data yang akan sulit ditangani.
4. Penarikan kesimpulan atau verifikasi, penarikan kesimpulan ini sangatlah penting, karena dari pengumpulan data, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda, kemudian mencatat keteraturan, bagaimana pola- pola, penjelasan, serta konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat serta preposisi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi dan Praktek Pengembangan Ekowisata Berbasis Kearifan Lokal Kearifan lokal yang dapat dijumpai di Kecamatan Merek pada awalnya memang sudah ada sejak zaman leluhur dahulu. Seiring dengan berjalannya waktu berkembangnya zaman seperti masuknya budaya-budaya asing, sehingga mempengaruhi perkembangan zaman yang ada di daerah tersebut, seperti teknologi modern yang dapat kita manfaatkan saat ini, antara lain, internet dan telepon genggam, adapun dampak yang timbul akibat lonjakan penduduk yang tinggi, serta kurangnya peranan pemerintah dan penduduk setempat untuk mempertahankan kearifan lokal, sehingga membuat nilai kearifan lokal semakin menurun. Adapun pengaruh yang ditimbulkan dari zaman modern saat ini sangat jelas tampak dari arsitektur bangunan yang mana bangunan tersebut sebagian besar tidak menggunakan bahan-bahan dari alam, melainkan dari bahan-bahan yang sudah sangat modern, seperti beton, seng, keramik. Namun masih ada beberapa objek wisata yang masih mempertahankan nilai kearifan lokal.
Disamping masih terdapatnya nilai kearifan lokal di beberapa objek wisata, masyarakat sekitar juga masih dapat dikatakan bergantung pada hutan, salah satu contoh, mereka masih mencari kayu bakar dan bambu juga hasil hutan bukan kayu lainnya dari hutan. Wisata alam yang ada di Indonesia yang berdasarkan ekosistem, sudah ada sejak lama. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah. Sekarang di Indonesia beragam jenis tempat wisata yang mengusung tema tentang keindahan alam.
Dari hasil penelitian di lapangan dapat disimpulkan ada beberapa masukan yang sudah dijelaskan untuk mendapatkan keterangan yang lebih detail mengenai potensi dan praktek pengembangan ekowisata yang berbasis kearifan lokal yang ada di tempat. Hasil dari informasi tersebut dapat dilihat pada (Tabel 1) dibawah ini:
Tabel 1. Objek ekowisata berbasis kearifan lokal yang ada di jalur lingkar luar Danau Toba ruas Aek Nauli-Merek
No. Komponen Pariwisata Tangible Intangible Keterangan Tekstual Bangunan Benda
Cagar Budaya 1. -Attraction
Terdapat atraksi wisata budaya, yaitu rumah adat tradisional suku Batak Karo (Rumah Siwaluh Jabu) yang berusia 250 tahun, juga terdapat natural recources berupa bentang alam.
-Accessibility
Terdapat akses transportasi yang memadai untuk menuju objek ekowisata tersebut.
-Amenities
Terdapat toilet umum, diperbolehkannya wisatawan untuk melihat bahkan menginap untuk sementara waktu didalam rumah adat.
-Ancillary Service Terdapat kantor kepala desa yang dapat menjadi sumber informasi terkait dengan objek wisata tersebut.
Sampai saat
ini rumah adat tersebut tersisa 5 rumah dikarenakan sudah
banyak yang roboh dan tidak
dilakukan pemugaran.
2. -Attraction
Terdapat atraksi wisata budaya, yaitu ritual Penusur Sira, juga terdapat bentang alam di Desa Dokan
-Accessibility
Terdapat akses transportasi yang memadai untuk menuju objek ekowisata tersebut.
-Amenities
Terdapat toilet umum, rumah makan, tempat
Ritual
tersebut dilaksanakan 28 tahun yang lalu dan dilaksanakan kembali dalam rangka Dokan Arts Festival 3 pada tahun 2017.
No. Komponen Pariwisata Tangible Intangible Keterangan Tekstual Bangunan Benda
Cagar Budaya penginapan sebagai
sarana akomodasi.
-Ancillary Service Terdapat kantor kepala desa yang dapat dijadikan sumber informasi terkait dengan ritual penusur sira tersebut.
3. -Attraction
Terdapat atraksi wisata budaya berupa situs arkeologi yaitu Joroh- joroh (Patung nenek moyang) dan natural resources berupa mata air.
-Accessibility
Akses untuk menuju objek ekowisata tersebut agak susah dikarenakan jalan yang cukup terjal dan hanya bisa dilalui oleh sepeda motor.
-Amenities
Terdapat fasilitas untuk membeli makanan dan minuman, dan sudah terdapat tempat penginapan
-Ancillary Service Terdapat kantor kepala Desa yang dapat dijadikan sumber informasi terkait objek wisata tersebut dan tempat untuk melapor kepada Kepala Desa sebelum langsung datang ke objek wisata tersebut.
Objek wisata
Joroh-joroh (Patung nenek moyang) yang berada di Desa Kodon- Kodon.
Banyak masyarakat Kabupaten Karo ataupun wisatawan dari luar daerah datang ke objek wisata tersebut untuk sekedar melihat bahkan melakukan ritual. Dan dibawah objek
tersebut juga terdapat mata air keramat.
Potensi ekowisata berbasis kearifan lokal di jalur lingkar luar Danau Toba ruas Aek Nauli-Merek
Identitas sebuah kota dapat kita lihat dari sesuatu yang sangat terkenal (familiar) dari kota tersebut, dan dapat dimengerti secara meluas melalui
penelusuran ciri-ciri jati diri dari kota tersebut, baik elemen fisik (tangible) maupun psikis (intangible). Suatu wilayah dikatakan memiliki jiwa dan karakter apabila wilayah tersebut masih mempertahankan nilai-nilai kebudayaan, serta aspek lingkungan (fisik). Kapabilitas suatu wilayah dapat menonjolkan karakter dan identitas wilayahnya, juga mempengaruhi wilayah dan daerah disekitarnya dikenal dengan local genius.
Di Kecamatan Merek, potensi ekowisata yang berbasis kearifan lokal sebagian besar masih terjaga dan masih eksis, seperti objek wisata Rumah Adat Dokan yang ada di Desa Budaya Dokan walaupun ada beberapa objek ekowisata yang berbasis kearifan lokal tidak terjaga dan terawat lagi, seperti objek wisata joroh-joroh. Hal ini dikarenakan masyarakat tidak menganggap hal itu penting, padahal itu bisa menjadi identitas atau branding bagi suatu tempat, namun alasan lain objek ekowisata tersebut tidak terawat lagi karena pandemi COVID-19, yang berdampak salah satunya pada sektor pariwisata, semua objek wisata ditutup dan mulai dibuka lagi beberapa bulan belakangan ini namun pengunjung juga belum mengalami peningkatan yang signifikan. Itu sebabnya masyarakat membiarkan begitu saja objek ekowisata tersebut terbengkalai.
Sumatera Utara merupakan satu dari beberapa provinsi di Indonesia yang mempunyai potensi pariwisata, salah satunya di sektor alam dan juga sektor budaya. Sektor wisata menjadi sangat utama saat kapasitas pariwisata yang masih ada menjadi sektor yang bisa dioptimalkan untuk menjadi sesuatu yang berharga bagi suatu negara, wilayah serta bagi masyarakat sekitar. Keanekaragaman budaya yang masih bertahan dapat menjadi ciri khas atau kekhasan bagi setiap daerah adalah objek pariwisata yang tidak boleh dilupakan begitu saja.
Objek ekowisata berbasis kearifan lokal di Kecamatan Merek 1) Rumah adat Karo di Desa Budaya Dokan
Desa Budaya Dokan berada di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, jaraknya sekitar 20 kilometer dari kota Kabanjahe. Jarak dari Kota Berastagi ke Desa Dokan adalah sekitar 23 kilometer. Jika dari Kota Medan jaraknya kira-kira 95 kilometer. Desa Budaya Dokan mempunyai suasana yang menenangkan dan tidak banyak wisatawan yang mengunjungi mengingat wabah COVID-19 yang semakin parah dan dikhawatirkan akan menimbulkan cluster penyebaran baru
maka tetap diberlakukan protokol kesehatan. Desa Budaya Dokan merupakan desa yang cukup strategis yang letaknya diantara Kota Berastagi dan Danau Toba.
Keadaan topografi (hamparan wilayah) Desa Dokan secara umum adalah merupakan daerah dataran tinggi. Yang mempunyai iklim kemarau dan musim hujan, dapat disimpulkan, iklim juga dapat mempengaruhi sistem bercocok tanam dimana masyarakat Desa Dokan sebagian besar mayoritas mata pencahariannya adalah sebagai petani.
Masyarakat Kecamatan Merek sudah mengenal desa Dokan menjadi tujuan wisata yang ada di Kabupaten Karo. Adapun sebab Desa Budaya Dokan menjadi tujuan wisata yang ada di Kabupaten Karo menjadi desa yang menonjol dibandingkan dari dua desa yang lain yang mewakili keberadaan dan peninggalan yang ada di Kabupaten Karo, sedangkan desa yang lainnya adalah Desa Lingga dan Desa Peceran. Dalam hal ini, dapat kita lihat masih adanya peninggalan rumah adat suku Karo siwaluh jabu, rumah adat Karo yang umurnya sudah sangat lama yang menggambarkan akan kemakmuran dan kejayaan masyarakat sekitar, seperti yang dapat dilihat pada (Gambar 2).
Gambar 2. Rumah adat Karo yang terdapat di Desa Budaya Dokan
Disebut rumah adat siwaluh jabu karena didalam rumah tersebut tinggallah 8 kepala rumah tangga (jabu) yang hidupnya berdampingan dengan harmonis. Dari segi bangunannya, rumah adat Karo terbuat dari kayu bulat, papan, bambu, yang semuanya diperoleh dari hasil hutan dan atap rumahnya terbuat dari ijuk tanpa ada sentuhan bahan yang terbuat dari paku atau kawat yang metode pengerjaannya masih menggunakan metode masa lalu. Warisan yang ditinggalkan budaya suku Karo berupa rumah adat Karo yang merupakan lambang
berdirinya sebuah desa. Selain dari segi bahan yang digunakan masih sangat alami, sesuai dengan aturan yang ada rumah adat dibangun mengikuti tata cara yang telah ada. Bila sudah ada tapak rumah, maka pembuatan rumah akan ditentukan oleh sesepuh desa atau orang yang dihormati di desa tersebut, kapan waktu yang telah disepakati dalam pembuatan sebuah rumah. Kemudian dalam mengambil bahan-bahan bangunannya yang ada di hutan, bahan tersebut tidak dapat dibawa pulang begitu saja, melainkan ada persyaratan yang harus dikerjakan melalui acara-acara adat yang dipimpin oleh ketua adat.
Dalam proses mendirikan rumah adat juga ada yang perlu ditaati, misalnya posisi keberadaan sungai yang ada disekitarnya. Adapun alasan mengapa rumah adat Karo masih mengikuti aturan-aturan tersebut karena dalam prosesnya mereka masih mengikuti aturan-aturan yang ada, disebabkan mereka masih berpegang teguh atas ajaran pendahulunya yang masih mempercayai hal-hal yang gaib yang dapat berpengaruh buruk terhadap mereka, inilah sebab mereka selalu mentaati peraturan yang ada.
Rumah adat Karo mempunyai simbol seorang wanita yang sedang bersila dengan kedua tangan menangkup seolah seperti sedang menyembah Tuhan.
Sedangkan pintunya melambangkan bentuk rahim wanita. Pintu melambangkan makna siklus hidup. Selain makna rahim, dulunya pintu juga dijadikan tempat wanita yang akan melahirkan sebagai pegangan pintu dibagian luar rumah.
Adapun keunikan rumah adat Karo bisa dilihat dari segi bangunannya yang sudah cukup tua yang memiliki beberapa tingkatan atap. Adapun ukuran rumah yang paling besar yaitu 10x30 meter, dibandingkan rumah suku batak yang lain, dan dapat menampung sampai 12 kepala rumah tangga dengan kapasitas 60 jiwa.
Adapun maksud dibuatnya rumah berbentuk panggung, bertujuan untuk menghindari ancaman yang datang dari hewan-hewan yang ada disekitarnya yang mengganggu kenyaman mereka. Sementara bagian bawah rumah, dijadikan tempat ternak dan ranting-ranting kayu yang digunakan untuk memasak.
Hal inilah yang menjadi salah satu potensi yang dimiliki Desa Dokan menjadi objek para pengunjung yang ada di Kabupaten Karo. Keunikan yang ada di Desa Dokan bukan hanya mengutamakan fungsi sebuah rumah saja, tetapi merupakan sarana untuk menjalin rasa kebersamaan, dan nilai-nilai persaudaraan.
Beberapa hal yang dapat kita petik dari kehidupan mereka, bahwa mereka hidup dalam satu atap, tanpa adanya perselisihan, walaupun dalam satu atap tidak hanya satu kepala keluarga, melainkan lebih dari itu. Rumah adat Karo dulunya berjumlah 18 rumah, tetapi kurangnya perawatan dan pelestariannya, sekarang rumahnya tersisa 5 rumah saja, yang terdiri dari 4 rumah siwaluh jabu (yang isinya 8 kepala keluarga), seperti yang dapat dilihat pada (Gambar 3a, Gambar 3b, Gambar 3c, dan Gambar 3d), dan satu rumah siempat jabu (empat kepala keluarga), seperti yang dapat dilihat pada (Gambar 3e), yang masih dihuni oleh masyarakat setempat. Jadi, dapat didefinisikan bahwa rumah adat karo merupakan identitas bagi masyarakat suku Karo. Dimana dalam pembuatan rumah tersebut dikerjakan secara bersama-sama dan rela tidak mendapat bayaran ataupun upah.
(Gambar 3a. Rumah siwaluh jabu) (Gambar 3b. Rumah siwaluh jabu)
(Gambar 3c. Rumah siwaluh jabu) (Gambar 3d. Rumah adat siwaluh jabu)
(Gambar 3e. Rumah siempat jabu)
Sejak zaman dulu, sikap saling kerjasama sudah sangat melekat di kehidupan masyarakat Dokan. Setiap ada pekerjaan yang ada di desa tersebut, mereka selalu mengerjakannya bersama-sama, adapun nama lain dari ini adalah
“Aron”. Aron dalam artinya adalah kumpulan atau sekelompok orang yang berjumlah 1-5 orang. Diantara orang-orang tersebut, diantaranya sebagai pemimpin atau ketua dan yang sisanya lagi sebagai anggota. Pada masa itu, Aron ini merupakan kumpulan beberapa orang yang bila ada satu pekerjaan mereka selalu mengerjakannya secara bersama-sama. Adapun cara kerja mereka selalu berpindah-pindah tempat dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Didalam aron ini juga mempunyai aturan atau ketetapan yang harus dipatuhi, misalnya dengan makan bersama-sama. Makanan yang harus disajikan ataupun dihidangkan adalah makanan khas suku karo, yang sering disebut cimpa. Apabila ada salah satu dari Aron ada yang berbuat kesalahan, maka akan dikenakan hukuman atau peringatan. Seiring perkembangan zaman dan perkembangan ekonomi dan kebutuhan hidup, kelompok Aron saat ini sudah sulit dijumpai, bahkan bisa dikatakan sudah tidak ada lagi.
Di Desa Dokan, selain rumah adat masih ada beberapa peninggalan yang lain, misalnya alat untuk menumbuk padi yang biasa disebut dengan lesung dimana para wanita biasa untuk menumbuk padi beramai-ramai. Nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat di rumah adat yang berada di Desa Budaya Dokan adalah sikap kebersamaan (kegotongroyongan), juga sikap keramahtamahan, hal ini tampak pada sikap warga desa yang ramah kepada wisatawan yang datang berkunjung, dan juga wisatawan diperbolehkan untuk menginap bahkan tinggal bersama warga yang tinggal di rumah adat tersebut, begitu juga dengan aktivitas
yang lain seperti menumbuk padi dengan lesung, mengambil air di sungai, dan pelaksanaan ritual, semua mereka lakukan secara bersama-sama (gotong royong).
Hal tersebut semakin jelas menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang hidupnya saling ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya. Ini membuktikan bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian dan saling membutuhkan. Nilai kearifan lokal yang lain yang terdapat di Desa Dokan adalah sikap kepedulian mereka terhadap kelestarian dan keberadaan hutan, karena mereka juga masih bergantung terhadap hutan.
2) Ritual penusur sira di Desa Dokan
Keunikan lain dari Desa Dokan adalah tentang ritual yang ada di desa tersebut. Adapun ritualnya pada masa itu ialah Penusur Sira. Ritual tersebut bermakna untuk mengetahui kejadian-kejadian ataupun hal-hal yang mengenai baik dan buruknya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Untuk melihat hal-hal tersebut, masyarakat ini menggunakan sebuah media berupa garam atau disebut juga sira. Sira tersebut dinamakan Sira Sendawa, adapun maksud dari sira tersebut, masyarakat menganggap sebagai penangkal atau jimat untuk melindungi desa mereka. Media sira atau garam ini diletakkan khusus di rumah adat karo.
Media Sira ini terbuat dari tanah liat yang berbentuk seperti guci, biasanya masyarakat Karo menyebutnya dengan nama tabu-tabu, yang diletakkan diatas langit-langit rumah adat tradisional Karo. Masyarakat Desa Dokan mengadakan ritual Penusur Sira sebagai upacara keagamaan. Itu sebabnya ritual ini jarang dilakukan. Sebab hanya bila diperlukan saja dengan alasan ataupun dengan tujuan tertentu. Bila masalah di desa tersebut tidak dapat diselesaikan ataupun sudah tidak ada jalan keluarnya lagi, barulah ritual ini dilakukan.
Inti dari ritual Penusur Sira ini adalah menyelesaikan suatu masalah ataupun untuk mencari keputusan terakhir yang sulit untuk diselesaikan ataupun dipecahkan, untuk itulah ritual ini dilakukan. Didalam satu lingkungan masyarakat, setiap desa mempunyai aturan atau yang disebut juga adat istiadat yang mana peraturan tersebut haruslah dilaksanakan atau dijalankan oleh masyarakat setempat, misalnya di suatu desa ada suatu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan secara pribadi, maka akan diadakan suatu ritual untuk memecahkan masalah tersebut. Setiap permasalahan atau musibah yang menimpa
desa tersebut, maka ritual yang dijalankan pun akan berbeda cara penyelesaiannya, misalnya terjadi gagal panen di desa tersebut, terjadi wabah penyakit. Masyarakat setempat juga tokoh adat pasti mengambil langkah untuk melaksanakan ritual, misalnya di Desa Dokan, Kecamatan Merek, terdapat ritual penusur sira.
Dalam ritual penusur sira juga terkandung makna yang merupakan kearifan lokal berupa kemakmuran dan kesejahteraan. Adapun dasar dari ritual ini dilakukan masyarakat Desa Dokan semata-mata untuk ketentraman desa tersebut, dalam ritual Penusur Sira, masih ada nilai kearifan lokal berupa kesopansantunan, ini dapat terlihat pada saat ketua adat memasuki rumah adat mbelin siwaluh jabu, disambut dengan iringan dan alunan musik sebagai tanda penyambutan. Dalam ritual Penusur Sira, ada terkandung makna kearifan lokal yang dapat kita lihat, seperti kesopansantunan. Ketika garam (sira) yang ada dibagian langit-langit rumah diturunkan, semua orang yang berada di sekitar rumah adat Karo mengucapkan: ”Nusur kam nini, nusur kam sira sendawa, nusur kam nini, nusur kam sira sendawa.” Perkataan tersebut mengandung makna untuk menyambut roh nenek moyang yang ada di Desa Dokan dan masyarakat Desa Dokan mempercayai roh nenek moyang tersebut adalah jelmaan dari garam (sira) tersebut dan bersedia untuk dipanggil. Dan pada saat sira tersebut diturunkan, maka diharapkan roh nenek moyang memberikan pandangan yang baik terhadap desa tersebut.
Pada ritual penusur sira juga terdapat nilai kreativitas dan nilai pelestarian budaya. Hal tersebut terlihat saat ritual tersebut selesai dilaksanakan, maka sudah timbul nilai pelestarian budaya didalamnya. Dalam ritual tersebut juga terkandung makna kearifan lokal berupa pendidikan. Pelaksanaan ini dapat terlihat pada saat ritual ini dilangsungkan, para generasi muda dapat mengambil pelajaran dalam ritual tersebut. Namun saat ini, ritual tersebut sudah tidak dilaksanakan lagi, maka genesrasi muda saat ini hanya bisa mendengar cerita tentang ritual penusur sira dari orangtua atau tokoh adat yang masih ada di Desa tersebut.
Pada saat ini, zaman semakin berkembang , maka terjadilah perubahan- perubahan yang ada disuatu daerah, misalnya Penusur sira yang biasa dilakukan oleh masyarakat Desa Dokan ini sudah tidak dilakukan lagi sejak agama dan