• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. HASIL dan PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 4. HASIL dan PEMBAHASAN"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 4

HASIL dan PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Perusahaan dan Profil Responden

Sub bab ini akan memberikan gambaran umum perusahaan PT. Matahari Putra Prima, Tbk. dan profil responden penelitian ini.

4.1.1 Profil Responden

Responden yang menjadi unit analisis penelitian ini adalah perusahaan PT. Matahari Putra Prima, Tbk dengan studi kasus di Matahari Department Store Mal Ciputra, untuk pengumpulan data sekunder, dan para pengunjung Matahari Department Store Mal Ciputra yang pernah melakukan pembelian di MDS Mal Ciputra dalam enam bulan terakhir, untuk pengumpulan data primer.

4.1.2 Profil Perusahaan

PT. Matahari Putra Prima, Tbk adalah salah satu peritel besar di Indonesia dengan jumlah toko yang sangat banyak, yakni 83 Matahari Department Store, 28 Hypermaket, 37 Supermarket (Foodmart), 9 Kids2Kids, 36 Boston Pharmacy, dan 110 TimeZone yang tercatat beroperasi hingga Agustus 2007 di lebih dari 50 kota di seluruh Indonesia. Segmen yang dibidiknya adalah konsumen kalangan menengah atas. Masyarakat menengah yang dituju adalah keluarga dengan jumlah pengeluaran bulanannya berkisar antara Rp. 1.750.000,- hingga Rp. 2.500.000.-. Kemudian untuk supermarket, sasaran konsumennya adalah yang memiliki pengeluaran bulanan sekitar Rp. 1.250.000,- (Visidata Riset Indonesia, 2003).

(2)

Sesuai dengan visinya untuk menjadi perusahaan ritel berkelas internasional dan misinya menjadikan perusahaan ritel Indonesia yang dominan dan modern serta berwawasan global, perusahaan ini juga telah mengembangkan sayapnya di dunia internasional dengan membuka cabangdepartment store pertama di Shenzhen, China, pada bulan Oktober 2005.

Matahari bermula dari sebuah toko kecil di Pasar Baru, yang merupakan shopping center bergengsi di Jakarta kala itu. Pada tahun 1958, seorang businessman bernama Hari Dharmawan membeli “The Sun”, sebuah toko yang menjual bermacam-macam barang, dan mengubah namanya menjadi “Matahari”. Pada saat dibuka, ruangan yang digunakan masih sederhana, hanya satu lantai dan hanya berfokus pada penjualan pakaian dan kosmetik.

Selanjutnya, pada tahun 1972 terjadi kemajuan yang menggembirakan yang mana omset toko Matahari mengalami kenaikan secara signifikan sehingga Hari Dharmawan memutuskan untuk memperluas tempat usahanya. Jumlah dan jenis barang yang dijual semakin beragam, tidak hanya fashion saja, tetapi juga makanan, minuman, peralatan rumah tangga, dan peralatan elektronik. Pada tahun yang sama, Matahari mengukuhkan dirinya sebagai pionir konsepDepartment Store pertama di Indonesia.

Beberapa tahun selanjutnya Matahari mulai membuka beberapa cabang, seperti di Blok M, Pasar Senen, dan bahkan pada tahun 1980 dilakukan ekspansi hingga ke luar Jakarta untuk pertama kalinya, yakni di Bogor, dengan nama “Sinar Matahari Bogor”. Lima belas tahun kemudian, pihak manajemen Matahari memantapkan diri untuk fokus pada bisnis Supermarket sebagai bagian dari bisnis ritel yang menjual kebutuhan sehari-hari dengan harga bersaing.

Tahun 1998 adalah tahun yang berat bagi Matahari yang disebabkan terjadinya kerusuhan massa di Indonesia. Pada saat itu, 11 toko milik Matahari mengalami penjarahan ataupun hancur terbakar oleh para perusuh. Namun, Matahari mampu untuk segera bangkit

(3)

kembali yang terbukti dari perkembangan-perkembangan yang semakin pesat di tahun-tahun selanjutnya.

Pada tahun 1999, PT. Matahari Putra Prima Tbk. menciptakanPrivate Brand. Private Brand tersebut merupakan suatu kumpulan produk unggulan yang bertujuan untuk menyatakan bahwa Matahari Department Store memiliki merek yang tidak dimiliki oleh department store lain, sehingga memberikan daya tarik tersendiri bagi konsumen dan membangun loyalitas terhadap toko.

Semakin menyadari pentingnya loyalitas pengunjung terhadap tokonya, pada tahun 2000 diluncurkanlah kartu pelanggan yang akan memberikan banyak manfaat bagi pemiliknya, yakni MatahariClub Card (MCC). Hal ini disambut gembira oleh para konsumen, terbukti dengan banyaknya pengunjung yang segera mendaftarkan diri untuk mendapatkan kartu MCC. Saat ini anggota MCC mencapai 4 juta member.

Semenjak Matahari Group beralih kepemilikan ke tangan Lippo Group pada tahun 1997 dengan kepemilikan saham sebesar 50,1%, Matahari terlihat berjalan kurang lancar.

Untuk mengantisipasi kemungkinan yang lebih buruk di tahun-tahun mendatang, pihak Lippo membentuk tim manajemen yang baru. Dari susunan manajemen baru nampak para petinggi Lippo banyak menggantikan manajemen lama. Bersamaan dengan itu pula masuk beberapa tenaga ahli asing. Dengan manajemen baru tersebut, strategi Matahari banyak mengalami perubahan mendasar. Setelah pemisahan manajemen department store dan supermarket, Matahari kembali ke core business-nya yaitu mengelola bisnis eceran untuk konsumen kelas menengah atas dengan satu nama, yakni Matahari. Hal itu dilakukan lewat konsep one-stop shopping yang menggabungkan bisnis department store dan supermarket dalam satu atap.

Ini berarti Matahari meninggalkan bisnis lainnya seperti Galeria yang membidik segmen atas, Mega M yang mengembangkan konsep Hypermarket, dan Super Ekonomi yang membidik

(4)

menengah bawah. Kemudian, pada tahun 2003 Matahari meluncurkan Market Place di Mal Kelapa Gading Center.

Tahun 2004 Matahari meluncurkan konsepHypermart yang disusul dengan ekspansi agresif pada tahun 2005. Kesuksesan tersebut membawa Matahari masuk dalam Retail Asia Top 500 Gold Awards sebagai peritel terbaik di Indonesia selama tiga tahun berturut-turut, yakni tahun 2004 s/d tahun 2006. Penghargaan tersebut merupakan penghargaan tahunan yang diselenggarakan oleh Retail Asia, sebuah majalah bisnis ritel yang terkemuka di Asia, yang bekerja sama dengan perusahaan riset global, Euromonitor International, sebagai sumber penyedia data, dan KPMG yang merupakan salah satu dari empat perusahaan auditor terbesar (Big Four Auditor).

Sejak akhir Mei 2007, dilakukan perubahan nama 38 gerai Matahari Supermarket menjadi Foodmart. Perubahan nama ini dilakukan untuk mendongkrak omzet bisnis supermarket dan menjadikan gerai supermarket lebih independen dari Matahari Department Store. Bersamaan dengan itu, grup Matahari sedang mempersiapkan pembukaan Parisian Department Store yang pertama di Indonesia.

4.1.3 Kondisi Perusahaan

Matahari memiliki tingkat penjualan yang terus meningkat dan bahkan pada kuartal ke-3 tahun 2006, YTD (Year-To-Date) September 2006 menunjukkan peningkatan sebesar 25,3% dengan total net sales mencapai Rp. 5,7 triliun, meningkat dari nilai tahun lalu sebesar Rp. 4,5 triliun. Pertumbuhan net sales tersebut terutama berasal dari peningkatan sebesar 7,2% pada divisi department store dengan total net sales mencapai Rp. 2,9 triliun dan 57,6% peningkatan pada total net sales divisi supermarket/hypermarket yang mencapai Rp. 2,5 triliun. Hypemarket memberikan kontribusi yang besar pada peningkatan pada total net sales divisi supermarket/hypermarket (MSM). Matahari Department Store Mal Ciputra

(5)

sendiri pada tahun 2006 memberikan kontribusi net sales sebesar 16,2% dari total net sales MatahariDepartment Store (MDS) keseluruhan.

PT Matahari Putra Prima Tbk., tahun ini telah menyediakan dana sebesar Rp. 1,1 triliun untuk pembukaan gerai baru, renovasi, dan investasi di teknologi informasi.

Sementara dalam 3-5 tahun ke depan, dana sebesar 600 miliar telah disediakan untuk membangun 50hypermarket di Jabodetabek dan kota-kota lainnya.

Renovasi sedang dan telah dilakukan di seluruh gerai Matahari Department Store, termasuk di MDS Mal Ciputra. Pada saat tulisan ini dibuat, sedang berlangsung realisasi dari sebuah konsep baru untuk divisi Department Store bernama “Parisian” yang mana sedang dilaksanakan di lokasi yang sebelumnya merupakan lokasi Galeria Department Store di Mal Taman Anggrek.

4.1.4 Analisis Industri

Analisis struktur industri dapat dilihat melalui 5-forces Porter yang merupakan lima kekuatan dalam persaingan industri di bawah ini :

4.1.4.1 Ancaman Pendatang Baru

Pendatang baru dalam industri akan memberi dampak pada bertambah ketatnya tingkat persaingan dalam industri. Namun demikian pemain baru tidak dapat begitu saja masuk dalam industri, tetapi perlu memperhitungkan hambatan-hambatan yang ada untuk masuk ke dalam industri sebagaimana berikut ini:

a.) Skala Ekonomis

(6)

Skala ekonomis tidak mudah dicapai dalam industri department store mengingat dibutuhkannya modal yang sangat besar serta biaya operasi yang tinggi.

Sebagai gambaran, Ramayana akan membangun 10—15 gerai baru dengan belanja modal 2007 sekitar Rp 300 - 400 miliar (wartaekonomi.com). Hal ini berarti untuk membangun 1 gerai saja akan membutuhkan modal sekitar Rp. 30-40 miliar.

Kemudian, berdasarkan data biaya operasional MDS Mal Ciputra tahun 2000-2006, dapat diperkirakan biaya rata-rata operasional per gerai adalah Rp. 6,2 miliar per tahun.

b.) Akses ke Saluran Distribusi

Pusat perbelanjaan pada umumnya terbagi menjadi dua jenis pengembangan fisik, yaitutrade centers dan shopping mall. Pada umumnya, status kepemilikan trade centers adalah strata-title dimana unit kios-kios yang tersedia adalah untuk dijual, bukan untuk disewa sepertishopping mall pada umumnya.

Pasokan pusat perbelanjaan di Jabotabek memperlihatkan pertumbuhan yang sangat pesat. Pembangunan shopping mall dan trade centers di Jakarta dan sekitarnya akan terus membanjiri pasokan ruang perbelanjaan hingga tahun 2007 dengan 34 proyek (Tabel lampiran 5), baik pembangunan baru maupun ekspansi, dengan total area keseluruhan 2.565.300 m2. Distribusinya adalah 759.000 m2 (29%) untuk trade centers dan 1.805.400 m2 (71%) untuk shopping mall (Info Properti, 2005, p5). Menurut riset Procon Indah, jumlah total kumulatif pasokan ruang ritel di Jakarta sampai pertengahan September 2004 adalah mencapai 1,78 juta m2, sedangkan total pasokan pusat perbelanjaan dengan sistem sewa di Jakarta saat ini sebesar 1,46 juta m2 (Info Properti, 2005, p5). Namun, dengan adanya dua mal premium yang dibuka tahun 2007 ini, yakni Grand Indonesia dan

(7)

One Pacific Place, maka dalam waktu yang nyaris bersamaan akan ada tambahan pasokan ruang ritel sebesar 213.000 m2.

Service charge untuk shopping centers di Jakarta pada umumnya masih stabil. Untuk shopping mall kelas A, seperti Plaza Senayan dan Plaza Indonesia misalnya, service chargenya adalah Rp. 45.000 hingga Rp. 75.000 per m2, sedangkan untuk mal-mal menengah di bawahnya, seperti Plaza Semanggi, service charge yang berlaku adalah Rp. 27.500 hingga Rp. 45.000 per m2. Adanya tabiat pengembang yang ikut-ikutan membangun pusat-pusat perbelanjaan pada saat sub-sektor ritel ini booming di Jakarta sehingga menghasilkan tambahan pasokan ruang ritel yang besar, membuat harga sewa sedikit merosot. Hal ini memang menguntungkan untuk para pengusaha ritel. Saat ini, mal-mal kelas atas dan premium memasang tarif sewa Rp. 500.000 – Rp. 850.000 per m2 per bulan.

Beberapa bulan lalu, sebelum kemunculan Grand Indonesia dan One Pacific Place, terdapat tarif sewa ruang ritel hingga Rp. 1 juta per m2 per bulan. Tidak berhenti hingga bantingan tarif sewa, menurut Utami Prastiana selaku Manajer Senior PT.

Procon Indah, saat ini beberapa mal baru bahkan menawarkan program promosi berbentukjoint profit.

Keberadaan hypermarket dan department store sendiri pada umumnya merupakan anchor-tenant yang biasanya dipertimbangkan oleh pengelola gedung sebagai pihak yang dapat mendatangkan keramaian (traffic) tinggi. Karena sifat istimewa tersebut, pada umumnya anchor ini menikmati rent-rate dan service charge yang lebih rendah dari tenant lain pada umumnya. Sebagai contoh adalah PT. Mitra Adiperkasa (pewaralaba Sogo Department Store) yang pernah mendominasi saleable area lantai dasar di Plaza Indonesia secara gratis pada saat krisis 1997-2001 lalu. Ini dilakukan pihak manajemen Plaza Indonesia supaya Sogo

(8)

Department Store tidak pindah ke gedung lain dan dengan demikian masih menjadi magnet traffic yang diandalkan untuk Plaza Indonesia. Dengan kondisi dan fasilitas tersebut, cukup memudahkan akses ke saluran distribusi bagi para pendatang baru di industri department store, namun umumnya hanya pengusaha ritel dengan merek-merek terkenal yang bisa menikmati fasilitas ini.

c.) Identitas Merek

Perusahaan yang sudah lama bermain di pasar relatif lebih mudah diterima konsumen, sehingga tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk membangun kepercayaan dan brand image pada konsumen. Sebaliknya, bagi pemain baru yang akan masuk ke pasar dengan menggunakan merek baru dan dilakukan oleh perusahaan baru akan membutuhkan upaya yang lebih besar untuk masuk ke pasar, membangun kepercayaan, danbrand image pada para konsumen.

d.) Peraturan-peraturan Pemerintah

Pemerintah mendukung terciptanya persaingan yang sehat baik sesama peritel modern dengan peritel tradisional. Ini terlihat dari aturan sistem zoning yang mengatur jarak ritel modern dengan pasar tradisional. Bahkan peraturan ini cenderung merupakan upaya memelihara pasar-pasar tradisional dari gempuran ritel-ritel modern, baik lokal maupun asing.

Namun demikian, perkembangan bisnis ritel modern yang semakin kompleks sekarang ini cenderung sudah tidak terakomodasi oleh peraturan yang ada. Ini bisa terlihat dari kasus benturan yang terjadi antaraminimarket dengan ritel-ritel kecil di berbagai pelosok kota dan pemukiman. Karena kasus benturan ini, Indomaret

(9)

diperingati Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk tidak membuka gerai di wilayah Jabotabek terutama yang berhadapan dengan warung-warung kecil.

Terdapat pula kekhawatiran sebagian besar peritel lokal atas ekspansi Carrefour yang berhasil membuka sepuluh gerai hypermarketnya dalam waktu singkat meski masih di wilayah Jakarta. Kekhawatiran ini disebabkan peraturan zoning yang ada tidak memadai untuk dipakai saat ini. Oleh sebab itu, Aprindo mengusulkan sistemzoning ritel yang bertitik tolak dari pusat kota atau pusat pasar tradisional, sehingga ritel modern yang memliki ruang yang lebih luas harus berada di pinggiran kota, dan seterusnya.

Di samping peraturannya yang sudah tidak relevan lagi, peraturan pemerintah sudah sejak lama selalu dapat diperdaya oleh ritel modern. Seperti ketika bisnis ritel modern ini masih dalam kerangka daftar negatif investasi (DNI), sehingga peritel lokal masih terlindungi dari intervensi asing. Namun, kenyataannya beberapa ritel modern asing, seperti Yaohan, Walmart, dan Seibu bisa masuk dengan dalih waralaba dengan pengusaha lokal. Sekarang dengan ketentuan ini seperti yang tertuang dalam SK Meneg Investasi/ Kepala BKPM No. 29/SK/1998 tertanggal 29 September 1998, bisnis ritel di Indonesia boleh dimasuki oleh investor asing secara langsung. Ketentuan tersebut diberlakukan bersamaan dengan masuknya bantuan finansial IMF kepada Pemerintah Indonesia yang mana bantuan tersebut diberikan dalam rangka memulihkan perekonomian Indonesia yang jatuh akibat krisis ekonomi.

Ketentuan baru tersebut ternyata sangat ditunggu-tunggu oleh para investor mancanegara. Dua riteler raksasa Perancis, Continent dan Carrefour, juga masuk bersamaan dengan diberlakukannya ketentuan tersebut.

Belakangan ini, sedang dipersiapkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pembinaan pasar tradisional dan penataan pusat perbelanjaan dan toko modern saat

(10)

ini yang masih dalam tahap harmonisasi redaksional oleh para pakar hukum.

Pengesahan Perpres ini dipastikan tidak sampai Oktober 2007 seperti yang ditargetkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2007. Dalam Perpres Pasar Modern terdapat tiga poin penting yang diatur untuk melindungi pedagang kecil. Tiga poin tersebut antara lain pengaturan persyaratan perdagangan (trading term) antara ritel modern dan pemasok, pengaturan zonasi untuk ritel modern, serta kemitraan dengan usaha kecil.

Seperti yang tertulis di Jurnal Nasional bulan Juni 2007, pengaturan untuk trading term dalam draft Perpres Pasar Modern antara lain peritel pasar modern dilarang mengembalikan barang yang sudah dibeli. Selain itu, pembayaran barang dilakukan dalam waktu yang disepakati oleh kedua pihak. Peritel modern juga dilarang menjual produk di bawah harga beli yang tertulis dalam faktur, kecuali produk spesifik yang memiliki karakteristik tertentu. Sedangkan peritel besar dilarang melakukan praktek diskriminasi terhadap pemasok dan praktik lain yang mengakibatkan terjadinya monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Terkait dengan kemitraan UMKM, bentuk pengaturan di dalam rancangan Perpres tersebut adalah larangan memungut biaya pendaftaran dan pembayaran kepada pemasok UMKM.

Lebih lanjut, pada November 2007 diumumkan bahwa telah dilakukan revisi Perpres DNI (Daftar Negatif Investasi) yang menyatakan bahwa pemerintah mengizinkan investasi asing masuk di bidang usaha ritel, khususnya untuk pendirian supermarket berukuran lebih dari 1.200 meter persegi dan department store berukuran lebih dari 2.000 meter persegi. Keputusan tersebut merupakan hasil sinkronisasi dan harmonisasi antara Peraturan Presiden tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Toko, dan Pasar Modern (Perpres Pasar Modern)

(11)

dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Bersyarat (Perpres Daftar Negatif Investasi/DNI).

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ancaman masuknya pendatang baru cukup rendah, mengingat besarnya biaya-biaya yang diperlukan untuk memulai industri ini, dan ketatnya persaingan untuk mendapatkan lokasi strategis. Namun, untuk pendatang baru asing yang memiliki modal sangat besar serta memiliki merek yang bonafit di industri department store, ancamannya cukup besar mengingat telah dibukanya kesempatan penuh bagi investasi asing untuk mendirikan department store berukuran besar di Indonesia, dan telah diberlakukannya kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA).

Organisasi perdagangan dunia (WTO) juga tidak memberikan toleransi hanya karena SDM kita belum siap.

4.1.4.2 Ancaman Subtitusi

Subtitusi department store merupakan ritel lain yang dapat memberikan manfaat yang sama tetapi denganfeature atau tampilan yang berbeda.

a.) Kesamaan Manfaat

Beberapa jenis ritel merupakan subsitusi department store bila dilihat dari kesamaan produk yang dijual dan manfaat fungsional yang diperoleh konsumen.

Hypermarket dan factory outlet merupakan substitusi dari department store jika dilihat dari tersedianya produk department store yang juga dijual oleh kedua tipe outlet tersebut.

(12)

Hypermarket secara fisik merupakan sebuah toko yang cukup besar dengan luas minimal 4.000 m2. Jadi jika dibandingkan dengan ritel modern lainnya, seperti minimarket, supermarket maupun department store, hypermarket adalah toko paling besar dan luas. Sementara item barang yang dijual di hypermarket berkisar antara 60 ribu jenis hingga 75 ribu jenis barang. Adapun jenis barang yang dijajakan meliputi kelompok makanan dan non-makanan. Jadi dalam hal ini hypermarket adalah memadukan antarasupermarket dan department store menjadi satu kegiatan besar. Keberadaan hypermarket ini di Indonesia merupakan pesaing berat bagi peritel lokal. Yang menjadi sumber masalah adalah harga murah yang ditawarkan olehhypermarket tersebut. Sebaliknya, justru konsumen yang mengalami penurunan daya beli akibat krisis justru sangat diuntungkan oleh kehadiran hypermarket ini.

Kenyataan di lapangan menunjukkan sejak dibukanya Continent dan Carrefour hingga kini selalu dipenuhi oleh konsumen untuk membeli barang-barang kebutuhannya. Bahkan sebagian konsumen Matahari ikut tersedot, hal ini terlihat dari menurunnya omzet Matahari sekitar 40% saat kemunculan pertama Continent pada Maret 1999 (Visidata Riset Indonesia, 2002, pp121-122).

Factory Outlet (FO) biasanya diidentikkan dengan suatu tempat yang menjual pakaian sisa ekspor dengan harga miring atau relatif murah. Belakangan ini keberadaan FO yang semula hanya di Bandung, kini telah menyebar ke kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Menurut beberapa pengamat ritel, keberadaan FO itu meniru dari luar negeri, namun lokasinya berada di luar kota, dan tidak di sekitar pertokoan atau di tengah kota seperti yang ada di Indonesia. Selain itu produk-produkfashion yang dijual merupakan sisa ekspor yang memangreject dan memang dimiliki pabrikan, bukan pedagang.

(13)

Meski demikian, kedua tipe outlet tersebut tidak dipersepsi sekuat department store oleh konsumen sebagai tempat menjual kebutuhan sandang sebagaimana ditunjukkan hasil riset oleh TNS, 2002, p15. Hypermarket oleh penduduk Jabotabek dipersepsikan sebagai tempat menjual perkakas, perlengkapan kendaraan, barang elektronik, dan barang-barang kebutuhan sehari-hari rumah tangga. Sementara, persepsi konsumen terhadap factory outlet adalah tempat menjual pakaian dewasa, anak dan bayi, serta kosmetik, sepatu dan tas.

Prilaku belanja konsumen Jabotabek dalam berbelanja di kedua jenisoutlet tersebut masih rendah. Hasil riset di Jabotabek menunjukkan adanya 4% konsumen yang belanja ke factory outlet secara teratur, dengan frekuensi lebih jarang dari satu bulan sekali. Sedangkan untuk pembelanja hypermarket ada sebanyak 29%

dengan frekuensi satu kali dalam sebulan (TNS, 2002, p16).

b.) Kecenderungan Harga

Trisrianto dalam Koran Tempo mengatakan bahwa produk yang dijual di factory outlet kebanyakan adalah barang sisa ekspor, dengan komposisi 80% produk ekspor dan sisanya lokal. Produk dengan merek terkenal seperti GAP dan Calvin Klein dijual dengan harga 20%-30% lebih murah dari aslinya. Namun demikian belakangan ini karena tingginya persainganfactory outlet dan menurunnya kapasitas produksi dari pemasok lokal, menyebabkan komposisi produk ekspor yang dijual berkurang menjadi sekitar 50%. Selain itu, beberapa pemain yang mulai menjual produk sisa ekspor palsu membuat minat konsumen berkurang (2002).

Hypermarket memberikan harga yang lebih murah dibandingkan ritel modern lainnya. Menurut pengamatan Aprindo, harga tersebut lebih rendah dari harga pasokan. Atau dengan kata lain hypermarket melakukan praktek jual rugi.

(14)

Indikasi praktek jual rugi tersebut terlihat dari pemberian diskon secara besar- besaran dan terus menerus. Sementara itu diskon biasanya dilakukan pada event- event tertentu dalam waktu yang relatif pendek (Visidata Riset Indonesia, 2002, p122).

c.) Identitas Produk

Produk substitusi dapat menjadi kuat di pasar jika produk tersebut berhasil membangun identitas dengan memiliki merek yang kuat dan memiliki karakter yang berbeda dengan produk yang sudah ada di dalam industri. Hasil riset prilaku belanja konsumen di Jabotabek belum menunjukkan adanya kesadaran yang tinggi terhadap merekfactory outlet.

Kesimpulan uraian di atas adalah ancaman factory outlet sebagai produk substitusi masih rendah, begitupun halnya denganhypermarket, yang mana masih tidak dipersepsikan sekuatdepartment store sebagai tempat menjual kebutuhan sandang, khususnya fashion.

4.1.4.3 Daya Tawar Pembeli

Pembeli dalam industri department store adalah konsumen akhir yang mengkonsumsi langsung produk yang ditawarkan daridepartment store.

a.) Pembeli Dalam Industri Department Store

Konsumen pembeli produk industridepartment store adalah individu-individu dalam masyarakat di Jabotabek. Besarnya pasar industri department store di Jabotabek tahun 2001 mencapai Rp. 7,6 triliun, dengan jumlah populasi pada tahun

(15)

2005 mencapai 18,5 juta orang. Dari penghuninya, diperkirakan sebesar 8,8 juta orang tinggal di Jakarta, 3,7 juta orang tinggal di Bekasi, 3,4 juta orang di Tangerang, dan 2,6 juta orang di Bogor. Pemerintah Indonesia memproyeksikan bahwa populasi Jabotabek akan mencapai 32 juta orang pada tahun 2016. Menurut statistik tsb, Jakarta akan memiliki 12 juta orang, dan kota-kota penyangganya memiliki 20 juta orang (id.wikipedia.org). Pasar ini terbagi atas tiga kelompok, yang mana kelompok kelas atas (SES di atas Rp. 4 juta per bulan, menurut AC Nielsen) sebanyak sekitar 365.000 orang atau hanya 2% dari total populasi Jabotabek yang mencapai 19,3 juta orang (Marketing, Mei 2006, p11). Sedangkan 98% sisanya, yakni sekitar 18,93 juta orang merupakan kelompok kalangan menengah dan kelompok kalangan bawah.

Berdasarkan penelitian MRI (2001), prilaku penduduk Jabotabek dalam memenuhi kebutuhan sandang dilakukan dengan cara membeli pakaian jadi sebanyak 89,5 % dan sebanyak 10,5% menjahitkan. Secara ekonomis membeli pakaian jadi relatif lebih murah dibandingkan dengan membeli bahan kemudian menjahitkan. Pemenuhan dengan cara menjahitkan biasanya dilakukan untuk membeli pakaian jadi, kebanyakan membelinya di department store 85,3%, dan selebihnya membeli di kios, pedagang keliling atau di pertokoan.

Menurut data riset Frontier 2005 terhadap responden di kota-kota besar di Jawa menyebutkan, 62,14% responden masih melakukan pembayaran secara tunai.

Sisanya, 37,86% menggunakan kartu kredit dan debit (Marketing, Juli 2006, p.24).

Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel lampiran 7.

b.) Diferensiasi

(16)

Diferensiasi department store menurut konsumen di Jabotabek tampak terbagi atas tiga kelompok besar, yaitudepartment store bagi kelompok kelas atas, kelasa menengah, dan kelas bawah. Hal ini sejalan dengan kelompok konsumennya yang secara ekonomi juga terbagi atas kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Atribut yang mengikuti diferensiasi department store adalah harga barang yang dijual, kualitas produk, kenyamanan suasana dan pelayanan oleh pelaku dalam industridepartment store.

c.) Switching Cost

Pembeli relatif tidak memerlukan biaya yang besar untuk beralih dari satu department store ke department store lainnya. Hal ini disebabkan banyaknya pilihan department store yang ada, sehingga mereka bebas berpindah kapan saja mereka ingin berbelanja. Hasil penelitian MRI menunjukkan bahwa kunjungan konsumen ke department store pada kunjungan lima terakhir memperlihatkan adanya sebanyak 2,85 kali belanja kedepartment store langganan, dan sebanyak 1,31 kali pindah ke department store lain, dan 0,84 kali pindah ke tempat lainnya. Kecenderungan pembeli untuk beralih ke department store lain pada kunjungan yang akan datang ada sebanyak 19% yang menjawab pasti dan mungkin akan pindah ke department store lain.

Beberapa pemain dalam industri ini telah membuat biaya beralih dengan memberikan manfaat lebih bagi pelanggan loyalnya. Matahari misalnya, memberikan manfaat lebih bagi pelanggannya dengan membentuk Matahari Club Card, demikian juga halnya dengan Metro yang menerbitkan Metro Card.

d.) Integrasi Balik

(17)

Pada saat ini, upaya konsumen untuk melakukan integrasi balik cenderung kecil. Hal ini dikarenakan pengadaan kebutuhan sandang dengan alternatif lain menjadi lebih sulit dan tidak ekonomis. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, data menunjukkan bahwa kebiasaan konsumen dalam membeli pakaian yang sudah jadi lebih besar (89,5%) dibandingkan dengan yang menjahit (10,5%) sendiri maupun oleh pihak lain. Konsumen yang membeli pakaian jadi kebanyakan lebih memilih membeli didepartment store (85,3%).

Melihat uraian di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa daya tawar pembeli dalam industri department store relatif rendah. Hal ini diakibatkan oleh jumlah pembeli yang banyak dan bersifat individu memperkecil daya tawar pembeli dalam menghadapi department store. Beberapa pelaku industri telah menawarkan manfaat lebih bagi pelanggannya. Akibatnya akan ada switching cost yang timbul, berupa hilangnya manfaat lebih bila berpindah kedepartment store lain. Selain itu, diferensiasi department store yang sejalan dengan jenis pembeli, memperkecil pilihan pembeli dalam mencaridepartment store pengganti.

4.1.4.4 Daya Tawar Pemasok

Dalam struktur usaha ritel modern, pemasok merupakan ujung tombak dan bagian yang cukup penting bagi peritel. Persaingan yang cukup sengit di tingkat bisnis ritel modern belakangan ini sedikit banyaknya berdampak kepada hubungan antara peritel dan pemasoknya. Hubungan peritel dan pemasok kini sudah tidak bersifat tradisional lagi.

Pemasok tidak bisa lagi mengandalkan hanya hubungan baik, tetapi harus professional dengan didasarkan kepada angka-angka kinerja dari produk pemasok.

(18)

Pemasok dalam industri department store adalah produsen garment yang memproduksi pakaian pria, pakaian wanita, pakaian anak-anak, dan barang tekstil lainnya.

Perusahaan besargarment yang berorientasi ekspor menikmati keuntungan akibat depresiasi rupiah, sebaliknya cukup banyak perusahaan yang tidak mampu melanjutkan usahanya dan mereka ini umumnya perusahaan yang berorientasi hanya pada pasar di dalam negeri.

a.) Pemasok

Kinerja industri pakaian jadi (garmen) nasional pada kuartal I tahun 2006, diperkirakan mengalami penurunan rata-rata sekira 40 persen (Pikiran Rakyat, 2006). Hal itu diduga akibat lesunya ekonomi di dalam negeri dan turunnya daya beli masyarakat. Penurunan itu juga diperparah oleh banyak beredarnya produk impor dengan harga murah yang sulit disaingi produsen dalam negeri. Berdasarkan data APGI, jumlah industri garmen pada 2001 mencapai 860 perusahaan, turun menjadi 849 perusahaan pada 2002, dan menjadi 855 perusahaan pada 2003.

Perusahaan garment dapat dipisahkan menjadi tiga kelompok berdasarkan jumlah mesin jahit terpasang. Perusahaan besar adalah perusahaan dengan jumlah mesin jahit minimal sebanyak 1000 unit ada sebanyak 100 perusahaan. Perusahaan garment berskala menengah ada sebanyak 500 perusahaan, sedangkan perusahaan garment berskala kecil dan home industry jumlahnya ada sebanyak 600 perusahaan.

Angka tersebut merupakan angka perkiraan dari hasil penelitian yang dilakukan Indotextile.

Penyediaan pakaian jadi selain produksi lokal ada pula perusahaan importir yang menyediakan pakaian impor. Akan tetapi jumlah penyediaan pakaian impor ini sangat kecil dibandingkan dengan produksi lokal. Penyediaan pasokan pakaian jadi

(19)

untuk pasar lokal mulai tumbuh kembali sejak tahun 2000, dan pasokan tahun 2001 mencapai 728,206 ton. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel lampiran 8.

Menurut Benny, ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), yang terlibat di dalam industri garmen untuk pasar dalam negeri umumnya adalah pengusaha usaha kecil dan menengah (UKM). Sesuai dengan catatan Kompas, setidaknya ada sekitar 98.000 UKM yang menekuni industri tekstil dan produk tekstil (TTP).

b.) Switching Cost

Switching cost bagi pemain department store untuk berganti pemasok relatif tidak ada, ini disebabkan adanya jumlah pemasok yang banyak dan kekuatan beli department store terhadap pemasok sangat besar. Sebaliknya, bagi pemasok skala menengah dan kecil, untuk masuk sebagai pemasok dalam industri harus mendaftarkan diri sebagai pemasok dan bersedia memenuhi persyaratan untuk menjamin kesinambungan pemasokan barang, dan kualitas produk. Kesinambungan penyediaan barang yang berkualitas sangat dipentingkan oleh pemain industri department store, karena pembelian yang dilakukan secara terpusat dan dalam jumlah besar akan sulit dicarikan pengganti bila ada pemasok yang mendadak gagal memenuhi permintan.

c.) Ancaman Integrasi ke Hilir

Integrasi ke hilir dalam batas waktu tertentu dilakukan oleh pemasok, terutama yang telah memiliki brand name yang kuat. Pemasok yang demikian seringkali membuka showroom di dalam mal atau plaza. Walaupun demikian, showroom tersebut tidak terlalu besar dan lebih ditujukan untuk display produk, terutama untuk membangun citra eksklusif. Lagipula, traffic yang tinggi di dalam

(20)

department store merupakan hal utama yang akan membuat produk pemasok lebih memiliki kemungkinan yang tinggi untuk dilihat dan menarik pengunjung untuk membeli. Benefit tersebut tidak dimiliki oleh sebuahshowroom.

Hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa daya tawar pemasok relatif lemah, terutama pada pemasok berskala menengah dan kecil. Pemasok dalam industri pada dasarnya memproduksi barang lebih berdasarkan pada permintaan dari ritel dan pengecer lainnya.

4.1.4.5 Intensitas Persaingan

Industri adalah kumpulan perusahaan yang bergerak dalam bidang yang sama.

Maka, persaingan dalam industri adalah persaingan di antara perusahaan-perusahaan dalam bidang yang sama yang berupaya mendapatkan posisi terbaik di pasar dengan menggunakan strategi tertentu.

a.) Jumlah Pemain

Jumlah pemain dalam industri ritel department store ada sekitar 16 pemain, baik berupa perusahaan ritel skala besar, menengah, maupun skala kecil, dengan jumlah gerai sebanyak 379 buah yang tersebar di seluruh Indonesia yang tercatat hingga bulan Juni tahun 2002 (Tabel lampiran 1).

Matahari Group masih merupakan yang terbesar dibandingkan dengan kelompok department store lainnya di Indonesia, baik dalam jumlah gerai maupun luas lantainya. Hingga pertengahan tahun 2002, gerainya bertambah dari 81 gerai di tahun 2001 menjadi sekitar 83 gerai department store yang tersebar di beberapa

(21)

propinsi di seluruh Indonesia. Luas lantai 83 gerai tersebut diperkirakan mencapai sekitar 433.000 m2. Kelompok kedua terbesar setelah Matahari Group adalah Ramayana Group, yang hingga pertengahan tahun 2002 telah memiliki 88 gerai.

Kelompok Yogya Dept. Store yang berkantor pusat di Bandung juga tergolong besar, yakni sekitar 31 gerai dengan luas sekitar 87.000 m2pada tahun 2002.

Sedangkan untuk Jabotabek, hingga awal tahun 2003 terdapat sepuluh pemain dari perusahaan ritel skala besar dan menengah yang mendominasi sebagian besar ruang ritel department store di Jabotabek. Dengan memperhitungkan pemain yang memiliki luas ruang lebih kecil, maka secara keseluruhan terdapat 147 gerai perusahaan ritel skala besar dan menengah yang tersebar di seluruh wilayah Jabotabek (Tabel lampiran 2).

Jumlah gerai terbanyak di Jabotabek adalah Ramayana sebanyak 41 buah diikuti Pojok Busana sebanyak 36 buah, kemudian Matahari sebanyak 28 buah.

Untuk luas lantai terbesar dimiliki oleh Matahari dengan luas 247.940 m2 diikuti oleh Ramayana sebesar 203.303 m2. Persaingan antara Ramayana dan Matahari tidak hanya dari jumlah dan luasan toko yang dimiliki, tetapi dari sebaran outlet juga terlihat bahwa kedua department store ini tersebar di sembilan wilayah Jabotabek.

Sampai akhir 2007, Matahari akan membuka lima department store baru.

Sedangkan Ramayana yang hingga kuartal pertama 2007 memiliki 97 gerai -- termasuk OrangeMart, Robinson, dan Cahaya Department Store, menargetkan memiliki 103 gerai hingga akhir tahun 2007. Namun, mereka akan memfokuskan ekspansinya ke luar Jawa (Warta Ekonomi, Agustus 2007). Selain itu, di Jakarta kerap bermunculan pemain-pemain baru dalam industri department store, tidak hanya lokal, tetapi juga dari luar negeri (Tabel lampiran 3). Trend ini menunjukkan jumlah gerai department store akan terus bertambah, sebagai upaya para pemain

(22)

untuk memperbesar pasar. Hal ini mengakibatkan persaingan dalam industri akan semakin ketat.

Lebih jauh lagi persaingan department store di Jabotabek bila dilihat dari wilayah Jakarta Barat (Tabel lampiran 4), tampak bahwa di wilayah tersebut terdapat delapan pemain dengan total 12 gerai yang tersebar seluruh wilayah Jakarta Barat.

Melihat tabel tersebut, MDS Mal Ciputra yang terletak di wilayah Jakarta Barat memiliki enam pesaing department store lain dengan total gerai delapan buah, dan dua pesaing dari sesama department store milik Matahari Group, yakni MDS di Mal Daan Mogot dan Lokasari Plaza serta Parisian di Mal Taman Anggrek, dengan total gerai tiga buah.

b.) Pertumbuhan Industri

Industri ritel di Indonesia memiliki pertumbuhan yang positif. Pada 2005, misalnya, kapitalisasi bisnis ritel di Nusantara masih berada di kisaran Rp. 40 triliun.

Namun, tahun lalu, angkanya melonjak menjadi Rp. 50 triliun. Bahkan di tahun ini, menurut Handaka Santosa (Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo), nilainya bisa mencapai Rp. 58,5 triliun. Aprindo memperkirakan pertumbuhan bisnis ritel di tahun ini sekitar 17%. Sebagian besar gerai ritel modern, baik yang lokal maupun asing, yang kecil atau besar, berada di Jakarta dan sekitarnya. Pada 2006, di Jakarta ada 3.384 gerai ritel atau 38,1% dari total gerai di tanah air (Majalah Trust, Juli 2007).

Laporan yang dibuat oleh Visidata Riset Indonesia pada Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa omzet department store di Indonesia pada tahun 2001 mencapai Rp. 10,84 triliun dari Rp. 5,072 triliun pada tahun 1997 dengan

(23)

pertumbuhan rata-rata sebesar 21,2%. Sedangkan, khusus di Jabotabek, omsetnya mencapai Rp. 7,6 triliun pada tahun 2001.

Data dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia-Aprindo (2006) memperlihatkan pada tahun 2005 omzet ritel modern di Indonesia telah mencapai Rp. 140 triliun. Lembaga riset Euromonitor (Bisnis Indonesia, 2002, p21) memperkirakan pertumbuhan industri ritel di Indonesia masih sekitar 19% per tahun dalam lima tahun ke depan. Sejalan dengan hal tersebut, Danareksa Research

Institut (SWA, 2003, p36) menyatakan bahwa pertumbuhan pasar department store tahun 2002 dan 2003 berturut-turut adalah 16,31% dan 12,78%. Berdasar angka pertumbuhan tersebut dapat dilihat bahwa peluang industri department store masih besar.

Tabel 4.1 Perkiraan Perkembangan Omzet Department Store di Indonesia, 1997-2001

Tahun Omzet (Rp milyar) Pertumbuhan (%)

1997 5.072 -

1998 5.862 15,6

1999 6.430 9,7

2000 8.327 29,5

2001 10.840 30,2

Pertumbuhan rata-rata 21,2

Sumber :Visidata Riset Indonesia, 2003, “Studi Tentang Perkembangan Bisnis Ritel Modern di Indonesia (Hypermarket, Department Store, Supermarket, dan Minimarket)”, p78.

c.) Besarnya Modal

Pemain dalam industri department store membutuhkan modal yang tidak sedikit. Besarnya modal yang digunakan untuk mengembangkan perusahaan

(24)

mengakibatkan perusahaan yang memiliki akses modal lebih besar akan mempengaruhi kondisi persaingan dalam industri. Ramayanadepartment store pada pembukaan outletnya yang ke-83 dengan luas 12.000 m2 menghabiskan investasi sebesar Rp. 37 miliar (Sijori Pos, 2002, p1). Selanjutnya, menurut Kojongian, investasi yang dikeluarkan Matahari pada tahun 2003 adalah sebesar Rp. 350 miliar, yang mana Rp. 80 miliar untuk renovasi 11 toko dan sisanya Rp. 270 miliar untuk membuka delapan toko baru (RUPS Matahari tahun 2003).

d.) Hambatan Keluar

Industri department store merupakan industri yang relatif rendah hambatan bagi pelaku untuk keluar dari industri. Terlebih lagi apabila lokasi gerai yang dimiliki berada pada tempat yang strategis. Kecenderungan pemain industri ritel bila akan keluar dari industri adalah dengan menawarkan asset yang dimiliki kepada pemain lain dalam industri. Sebagai contoh, department store Cahaya ketika keluar dari industri menawarkan asetnya dan sekarang dimiliki oleh Ramayana Group. Contoh lain adalah Alfa Supermarket dan Alfa Gudang Rabat yang dijual oleh pihak PT. Alfa Retalilindo Tbk. karena daya saingnya yang terus merosot dan akhirnya diakuisisi oleh PT. Ramayana Lestari Sentosa Tbk. (Warta Ekonomi, 2007, p23). Proses akuisisi tersebut telah berlangsung sejak akhir Juni 2007 dan direncanakan akan selesai dalam tiga sampai empat bulan setelahnya.

Kesimpulan dari uraian di atas adalah terdapat kecenderungan bahwa intensitas persaingan dalam industri pada masa depan akan tinggi, yang ditunjukkan oleh banyaknya pesaing dan pertumbuhan gerai yang terus berlanjut, akibat daya tarik industri yang memiliki

(25)

pertumbuhan tinggi. Begitupun untuk wilayah Jakarta Barat, MDS Mal Ciputra berada di dalam persaingan dengan intensitas yang tinggi.

Sebagai penutup dari analisis industri, dapat disimpulkan bahwa industri department store masih menarik, karena :

1. Pertumbuhan industri semakin tinggi yang didukung dengan tingginya pertumbuhan mal-mal ataupun pusat-pusat perbelanjaan lain yang merupakan saluran distribusi utamanya. Namun akibatnya intensitas persaingan di masa mendatang cenderung semakin ketat.

2. Ancaman pendatang baru relatif rendah, akibat tingginya biaya untuk masuk ke dalam industri dan ketatnya persaingan untuk mendapatkan lokasi strategis. Namun tetap perlu diwaspadai munculnya pendatang-pendatang asing, karena kekuatan modal mereka yang besar dan nama merek yang terkenal.

3. Ancaman produk substitusi di masa depan masih rendah, karena awareness dan prilaku belanja konsumen untuk kebutuhan sandang, khususnya fashion, di factory outlet maupun di hypermarket masih rendah.

4. Daya tawar pembeli dalam industri rendah. Walaupunswitching cost bagi konsumen rendah, tetapi faktor atribut pelaku industri lebih mempengaruhi loyalitas konsumen.

5. Daya tawar pemasok juga rendah, karena pemasok tidak menguasai informasi tentang konsumen dan cenderung memproduksi barang berdasarkan permintaan pelaku industri.

Kesimpulan lain yang dapat diambil dari analisis di atas adalah bahwa MDS Mal Ciputra walaupun masih berdaya saing tinggi di lingkungan internal Mal Ciputra sendiri, tetapi memiliki posisi yang rentan terhadap persaingan industri, khususnya di sektor Jakarta

(26)

Barat. Wilayah Jakarta Barat yang sering disebut sebagai daerah “mulut naga” memiliki pertumbuhan yang amat pesat. Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya kompleks perumahan maupun pusat perbelanjaan. Kondisi tersebut memberikan daya tarik yang tinggi bagi pemain-pemain department store lain untuk mendapatkan lokasi di wilayah Jakarta Barat.

Mengingat peraturan pemerintah yang ada saat ini belum memadai untuk mengantisipasi persaingan tidak seimbang karena pengaturan lokasi berdirinya pusat-pusat perbelanjaan yang tidak ketat dan perijinan yang cenderung dimudahkan bagi pengembang pusat-pusat perbelanjaan yang memiliki modal besar, serta telah diberlakukannya AFTA, maka MDS Mal Ciputra berada pada kondisi waspada.

4.1.5 Struktur Organisasi dan Uraian Pekerjaan

Pada sub-bab ini akan diberikan gambaran struktur organisasi PT. Matahari Putra Prima, Tbk. dengan uraian pekerjaan untuk masing-masing jabatan dalam struktur organisasi, baik yang di perusahaan secara keseluruhan, maupun di cabang-cabang toko.

4.1.5.1 Perusahaan

1. Board of Commisioner

Pemegang tertinggi perusahaan dan mempunyai pengaruh besar dalam hal pemberian modal perusahaan. Komisaris juga pemilik saham terbesar perusahaan selain dari public. Tugas utama adalah mengawasi pekerjaan Direktur dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan visi dan misi yang diemban perusahaan. Komisaris terdiri dari :

- Presiden Komisaris - Komisaris

(27)

- Komisaris independen

2. Board of Director (BOD)

Pimpinan tertinggi dalam hal operasional perusahaan. BOD tunduk pada ketentuan- ketentuan global yang telah digariskan oleh RUPS dan Komisaris Perusahaan. BOD adalah ujung tombak dari pelaksanaan bisnis dan langsung memimpin para manajer dansenior manager untuk mencapai tujuan perusahaan. BOD terdiri dari :

- Presiden Direktur - Direktur 1 - Direktur 2 - Direktur 3

3. Business Unit of Director (BUD)

Bekerja sama dengan BOD dalam menentukan pelaksanaan bisnis dan perusahaan, khususnya dalam pengembangan Department Store dan Supermarket. Bagian ini terdiri dari :

- CEODepartment Store - CEOSupermarket

4. Corporate Senior Management (CSM)

Tugas utamanya adalah membina hubungan baik dengan para investor yang telah ada maupun dengan calon investor yang telah ada maupun dengan calon investor, serta berusaha mengembangkan, dan membuka bisnis-bisnis baru perusahaan. CSM terdiri dari :

- Investor Relation & Public Director

(28)

- Business Development Director

4.1.5.2 Cabang-cabang Toko 1. Store Manager

Setingkat dengan kepala cabang di suatu tempat. Store manager adalah pimpinan tertinggi dalam suatu cabang di Department Store atau Supermarket. Ia bertanggung jawab dalam memimpin, mengarahkan, dan melaksanakan semua kebijakan pusat terhadap pelaksanaan bisnis di Department Store tersebut. Ia mempunyai target terhadap pemasukan atau omset sejumlah sekian rupiah per bulan dan per tahun, tingkat shrinkage atau angka kehilangan, dan bertanggung jawab langsung kepada Regional Manager. Store manager dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari dibantu oleh Asisten Store Manager, Supervisor Area, Supervisor EDP & Finance, Supervisor Teknisi, dan Supervisor VM.

2. AsistenManager

MembantuStore Manager dalam memberikan saran dan pendapat dalam operasional toko dan bertanggung jawab atas toko bila Store Manager tidak ada di tempat.

Selain itu, Asisten Manager bertanggung jawab atas administrasi harian baik penjualan, pengeluaran kas,customer service, dan penampilan toko. Untuk tipe toko A+, terdapat dua Asisten Manager dengan pertimbangan adanya beban kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan tipe-tipe toko A,B, dan C.

3. Supervisor Area

Bertanggung jawab atas area yang dipimpinnya baik dalam segi penjualan tiap konter, Visual Merchandising, shrinkage area atau angka kehilangan, nilai inventory,

(29)

dan standar grooming dari para pramuniaganya, dan yang paling utama adalah terhadap merchandising atau barang, yaitu memantau atas barang new arrival dan barangaging.

Sumber : PT. Matahari Putra Prima, Tbk.

Gambar 4.1. Struktur Organisasi PT. Matahari Putra Prima, Tbk – Kantor Pusat

4. Supervisor EDP dan Finance

Bertanggung jawab atas operasional kasir dan EDP, yang mana mencatat dan mengatur sistem rotasi kasir, laporan penjualan harian dan bulanan, penerimaan dan pengeluaran kas, penyediaan uang kecil.

5. Supervisor Ekspedisi

Bertanggung jawab atas inventory merchandising atau persediaan barang, penerimaan barang, dan retur barang.

RUPS

Komisaris Presiden Komisaris Manager Komisaris

Presiden Direktur Corporate Secretary

Direktur 1,2,3 Bisnis Unit Direktur Corporate Senior

Manager Spv

Manager Regional Manager

Manager

Staf Store Manager Staf

(30)

6. Supervisor Teknisi dan Keamanan

Bertanggung jawab atas operasional toko yang berkaitan atas supply listrik, AC, dan mesin kassa. Selain itu juga bertanggung jawab kepada Store Manager atas biaya operasional dari hal tersebut di atas. Selain itu juga membawahi keamanan yang mana mengatur rotasi dan target, sistem dari keamanan.

7. Supervisor Visual Merchandising dan Promosi

Bertanggung jawab atas acara promosi yang sedang berlangsung dan sistem penataan, pemajangan barang dan POP dari tiap konter, dan yang paling utama adalah penampilan toko.

Sumber : PT. Matahari Putra Prima, Tbk.

Gambar 4.2. Struktur Organisasi PT. Matahari Putra Prima, Tbk – Cabang Toko Staf kasir

& EDP VM

Artis Teknisi

&

Keamanan EkspedisiStaf

PramuniagaStaf Koordinator

Area Supervisor

Area

Ass. Store Manager Store Manager

Supervisor EDP &

Finance

Supervisor Visual Merchandising

& Promosi Supervisor

Teknisi &

Keamanan Supervisor

Ekspedisi

(31)

4.2 Analisis Hasil Pengambilan Data

Dalam sub-bab ini, akan dipaparkan hasil pengambilan data beserta analisisnya.

Tahapan pembahasan dilakukan berdasarkan urutan tujuan-tujuan dari penelitian ini.

4.2.1 Suasana Toko, Lokasi Toko, Variasi Merchandise, Tingkat Loyalitas Toko, dan Tingkat Penjualan MDS Mal Ciputra

Berikut ini akan dijelaskan bagaimana pertimbangan-pertimbangan dalam pengaturan suasana toko dan variasi merchandise, alasan penempatan lokasi toko MDS di Mal Ciputra serta tingkat loyalitas pengunjung terhadap toko MDS Mal Ciputra dan tingkat penjualan MDS Mal Ciputra selama ini.

4.2.1.1 Pengaturan Suasana Toko

Pengaturan suasana toko adalah menyangkut pengaturan elemen-elemen dalam lingkungan toko dengan tujuan mempengaruhi kondisi emosi, kognisi, dan perilaku pengunjung. Elemen-elemen tersebut di antaranya adalah disain toko, pengaturan layout/

perencanaan toko, dan pengaturan visual merchandising (VM). Di dalam pengaturan tokonya, MDS menggunakan istilah “World” dalam membagi-bagi wilayah produk yang dijual.

Penataan barang di Matahari ditangani oleh Bagian Pengembangan Toko (Store Development Division). Bagian ini selain menangani penataan barang, juga desain toko baik dalam maupun luar, penataan lampu, warna hingga pengawasan konstruksi dan negosiasi dengan kontraktor. Bagian Pengembangan Toko ini langsung di bawah pengawasan Presiden Direktur yang dibantu oleh tim khusus yang terdiri dari para manajemen senior.

Penataan produk fashion dikelompokkan berdasarkan jenis barang dan merek.

Seperti kelompok pakaian pria dengan berbagai mereknya, juga kelompok celana pria

(32)

dengan berbagai mereknya. Kemudian kelompok yang tergolong besar yaitu sepatu, tas, dan kelompok kosmetika.

Matahari melakukan pengaturan tersebut berdasarkan konsep disain Family Tree.

Oleh karenanya, suasana yang ingin dibentuk adalah bernuansa family yang dibentuk oleh penataan toko, penempatan produk, perancangan area promosi, dan pengaturan visual merchandising yang mendukung. Di samping itu, diperhatikan pula efisiensi ruang, sehingga daya tampung ruang terhadap produk yang dipajang menjadi maksimal, dan tidak menghambat lalu lintas di dalam toko. Kesemuanya itu dilakukan dengan melalui tahap- tahap seperti yang ditunjukkan oleh diagram alur pada Gambar 4.3.

Pertimbangan-pertimbangan dalam pengaturan suasana toko tersebut didasari akan sales contribution dari masing-masing merek dan kondisi market. Berikut penjelasannya :

a. Sales Contribution

Jika sebuah merek tidak dapat memberikan kontribusi penjualan yang seimbang dengan persentase ruang yang dihuninya di dalam sebuah MDS, maka MDS akan mempertimbangkan kembali bagaimana pengaturan ruang untuk merek tersebut.

Misalnya, merek A menghasilkan kontribusi penjualan sebesar 12%, sementara persentase ruang yang dihuninya di dalam sebuah MDS adalah 20%, maka MDS berhak mengusulkan untuk memperkecil ruang merek A tersebut dan memberikan lebihnya ke merek yang memang memiliki kontribusi yang baik.

b. KondisiMarket

Kondisi pasar selalu berubah, dan merupakan tugas penting bagi toko untuk terus mengikuti perkembangan terbaru dari kondisi pasar. Demi hal tersebut, maka MDS terus melakukan renovasi untuk memberikan suasana yang lebih menarik dan sesuai dengan keinginan pasarnya. Renovasi yang dilakukan tergantung pada kebutuhan

(33)

masing-masing toko (MDS). Hal itu dilakukan dengan melihat apakah kondisi toko tersebut sudah tidak layak (terdapat kerusakan), adanya market yang menuntut disain yang lebih menarik, dan banyaknya dana yang tersedia. Selain itu, perubahan- perubahan dari pesaing juga menjadi bahan pertimbangan.

Kondisi market tersebut berhubungan langsung dengan sales contribution dari merek-merek yang ada. Selera pasar di masing-masing toko MDS pasti memiliki perbedaan. Misalnya, MDS di Mal Ciputra yang lokasinya dekat dengan universitas-universitas menyebabkan merek- merek pakaian kasual dan denim memiliki kontribusi penjualan yang besar dibandingkan pakaian-pakaian formal. Sementara di MDS Daan Mogot, celana bermuda (celana pendek) memiliki tingkat penjualan yang sangat hebat karena lokasinya yang dekat dengan perumahan. Hal itu tercermin pula dari para pengunjungnya yang banyak menggunakan celana pendek ketika berbelanja di MDS Daan Mogot. Dengan demikian, walaupun pada dasarnya pengaturanlayout di setiap MDS adalah sama dan memiliki jenis-jenis merek yang sama, namun pengalokasian ruang untuk setiap merek atau jenis produknya akan berbeda, tergantung dari kondisimarket di masing-masing lokasi MDS.

Lebih lanjut, renovasi yang dilakukan dalam hal Visual Merchandising di MDS dilakukan berdasarkan event-event tertentu, seperti Valentine’s Day, Back to School, Hari Kemerdekaan 17 Agustus, Lebaran, Natal, dan event-event tertentu lainnya. Secara teknis, pengaturanVisual Merchandising antara lain :

a. penyusunan berdasarkan warna (colour story) yang lebih menyentuh konsumen, misalnya memadukan warna oranye dengan kuning;

b. menetapkan standard display untuk masing-masing “World”, setiap merek mempunyai desain counter tersendiri yang satu sama lain berbeda. Meski demikian, satu sama lain juga memperhatikan keharmonisan ruang secara keseluruhan;

(34)

Gambar 4.3. Proses Pengaturan Suasana Toko MDS Store Concept

Koordinasi pihakproject

dan toko Soft Design

Pusat MDS

Renovasi perlu dilakukan?

Ya

Tidak melakukan

renovasi Tidak

Pengaturan layout

Penempatan brands

Grouping sesuaiworld

Usulan renovasi

Sales Contribution

³

space contribution?

Ya

Tidak

Confirm ke pemimpinpara

Evaluasi oleh pusat

(35)

c. berkomunikasi dengan pihak supplier—apakah ada acara, launching product, ataupun new arrival yang mau diperkenalkan, dalam penempatan titik-titik promosi yang setiap bulannya diatur bergantian sesuai denganevent yang ada;

d. memperhatikan penampilan Show Window yang menampilkan manekin yang mewakili brand yang dijual. Dengan melihat show window tersebut, diharapkan konsumen akan dapat merasa tertarik dengan merek yang dikenakan oleh manekin- manekin tersebut dan memutuskan untuk masuk dan membeli produk tersebut ataupun produk-produk lain yang dijual di MDS.

4.2.1.2 Pengaturan Variasi Merchandise

MDS memiliki keragaman produk yang dalam dan lebar, dengan memiliki banyak variasi kategori produk dan variasi pilihan dalam kategori produk. Seperti yang telah dibahas pada sub-bab sebelumnya, pembagian kategori produk di MDS dilakukan berdasarkan

“World”. MDS memiliki 10 World, yakni:

1. Men’s 2. Shoes 3. Youth Boy 4. Youth Girl 5. Ladies 6. Cosmetic

7. Bag & Accessories 8. Intimatte

9. Home 10. Children

(36)

Sementara itu, produk yang dijual di MDS terbagi atas dua kategori, yakniDirect Purchase (DP) dan Konsinyasi (CV). DP adalah produk-produk yang pembeliannya dikelola langsung oleh pihak Merchandiser (MD) di pusat. Sementara CV merupakan produk-produk yang dititipkan oleh pihak suppliers di MDS. Adapun komposisi produk yang ada di MDS tergantung dari tipe dari sebuah toko MDS. Komposisi produk dari segi tipe sebuah toko MDS adalah sbb :

1. Tipe Toko A+

Merupakan toko MDS dengan total nilai penjualan per tahun sebesar > Rp. 100 miliar, dengan komposisi produk 70% produk CV dan 30% produkPrivate Brand.

2. Tipe Toko A

Merupakan toko MDS dengan total nilai penjualan per tahun sebesar > Rp. 50 miliar, dengan komposisi produk 70% produk CV dan 30% produkPrivate Brand.

3. Tipe Toko B

Merupakan toko MDS dengan total nilai penjualan per tahun sebesar > Rp. 50 miliar, dengan komposisi produk 60% produk CV dan 40% produkPrivate Brand.

4. Tipe Toko C

Merupakan toko MDS dengan total nilai penjualan per tahun sebesar > Rp. 50 miliar, dengan komposisi produk 50% produk CV dan 50% produkPrivate Brand.

MDS Mal Ciputra termasuk tipe toko A+, dengan omset per tahun sebesar lebih dari Rp. 100 miliar dan komposisi DP sebesar 36% dan CV 64%. Komposisi produknya berdasarkan kategori produk dan world untuk periode Januari – Juni 2007 adalah sebagai berikut (Tabel 4.2) :

(37)

Tabel 4.2. Kontribusiby World dan Kategori Produk ( DP dan CV )

World Contribution Space (%)

Men’s 14

Shoes 11

Youth Boy 10

Youth Girl 11

Ladies 12

Cosmetic 7

Bag & Accessories 4

Intimatte 5

Home 12

Children 14

Total 100

Contribution Space (%) DP : 36 CV : 64

Sumber : MDS Mal Ciputra

Di dalam prosesnya, pemilihan model atau pembelian produk yang akan dijual di MDS untuk produk DP ditentukan dan dilakukan sepenuhnya oleh pihak Merchandiser (MD) dari kantor pusat di Jakarta berdasarkan volume yang dibagi secara proporsional untuk masing-masing toko MDS. MD tersebut bertanggung jawab dalam menentukan jenis serta jumlah barang yang akan dijual di setiap toko, melakukan negosiasi harga pembelian dengan pemasok, serta menentukan harga penjualan yang tepat agar dapat mencapai marjin laba kotor yang diharapkan dari tingkat penjualan bulanan dan tahunan yang ditargetkan.

Sementara tugas pihak toko MDS Ciputra adalah menerima produk DP yang dikirim dari

Gambar

Tabel 4.1 Perkiraan Perkembangan Omzet Department Store di Indonesia,                     1997-2001
Gambar 4.1. Struktur Organisasi PT. Matahari Putra Prima, Tbk – Kantor Pusat
Gambar 4.2. Struktur Organisasi PT. Matahari Putra Prima, Tbk – Cabang TokoStaf kasir& EDP VM ArtisTeknisi&KeamananEkspedisiStafPramuniagaStafKoordinatorAreaSupervisorArea
Gambar 4.3. Proses Pengaturan Suasana Toko MDSStore ConceptKoordinasipihakprojectdan tokoSoft DesignPusatMDSRenovasiperludilakukan?YaTidak melakukanrenovasiTidak Pengaturanlayout PenempatanbrandsGroupingsesuaiworldUsulanrenovasiSales Contribution³ space co
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu upaya yang dilakukan oleh Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Kabupaten Bengkalis dalam optimalisasi peran koperasi di Kecamatan Bengkalis adalah

Promosi sebenarnya merupakan suatu komunikasi informasi penjual dan pembeli yang bertujuan untuk mengubah sikap dan tingkah laku pembeli, yang tadinya tidak mengenal

Dari pengertian yang dipaparkan di atas, terdapat hubungan pendidikan IPS yang berkonsisten mengkaji ilmu sosial dan nilai-nilai sosial dengan tujuan memberikan

dada terjadi, proses penyakit, penilaian tehnik relaksasi dan perilaku mencari sumber kesehatan • Mampu menyatakan penghentian rencana perawatan, medikasi, dan interaksi

Mengawali Warta Jemaat Minggu tanggal 14 Februari 2021, Majelis GKPO Halim Perdanakusuma mengucapkan terima kasih dan Salam Sukacita atas kehadiran jemaat melalui Ibadah

Tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk menganalisis penerapan biaya relevan dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan atas menerima atau

Salah satu model pembelajaran yang diduga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik adalah model pembelajaran berbasis proyek atau.. biasa dikenal dengan