• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Pengetahuan Dasar Perpajakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2.1 Pengetahuan Dasar Perpajakan"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

2.1 Pengetahuan Dasar Perpajakan 2.1.1 Pengertian Pajak

Pengertian atau definisi pajak ada berbagai macam, namun dalam Karya Akhir ini tidak akan diuraikan pengertian manakah diantara yang berbagai macam itu yang lebih tepat daripada yang lain. Akan lebih bermanfaat kiranya bila dilakukan peninjauan dan uraian terhadap hal-hal penting yang dirumuskan dalam beberapa diantara pengertian pajak, yang salah satu pengertian itu dinyatakan oleh Adriani yang berbunyi sebagai berikut:

5

“ Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan- peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”

Dalam definisi ini titik berat diletakkan pada fungsi budgetair dari pajak, sedangkan pajak masih mempunyai fungsi mengatur. Dalam pengertian diatas yang dimaksud dengan tidak mendapat prestasi kembali dari negara ialah prestasi khusus yang erat hubungannya dengan pembayaran iuran itu. Prestasi dari negara, seperti hak untuk mempergunakan jalan-jalan umum, perlindungan dan penjagaan dari polisi atau tentara, sudah barang tentu diperoleh oleh para pembayar pajak itu, tetapi hal tersebut diperoleh tidak secara individual dan tidak ada hubungannya langsung dengan pembayaran itu. Bukti dari pernyataan tersebut adalah orang yang tidak membayar pajak pun dapat pula menikmati fasilitas yang disediakan oleh negara.

Sebagai suatu perbandingan akan diuraikan pengertian pajak menurut Soemitro

6

adalah sebagai berikut:

5 Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, B andung, P T E resco, 1988 halaman. 2.

6 Ibid, halaman. 5.

(2)

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang- undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

Pengertian pajak yang kemudian dipertahankan (sebagai koreksi dari bagian pertama dari pengertian semula) dapat disimpulkan dari uraian dalam bukunya yang berjudul Pajak dan Pembangunan, pengertian tersebut kurang lebih berbunyi sebagai berikut:

Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplus-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pajak adalah:

a. dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya;

b. bersifat dapat dipaksakan, sehingga pelanggaran atas peraturan perpajakan dapat dikenakan sanksi. Artinya jika Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak, maka pemerintah dapat melakukan upaya paksa dengan mengeluarkan surat paksa bagi Wajib Pajak agar melunasi utang pajaknya;

c. atas pembayarannya tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah;

d. dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Penghasilan negara dari pajak ini akan dipertanggungjawabkan kepada rakyat, melalui mekanisme kontrol setiap tahun, yang dikenal dengan nama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), karenanya pungutan pajak tidak boleh dilakukan oleh pihak swasta yang berorientasi mendapat keuntungan;

e. pajak akan digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah,

serta digunakan untuk membiayai public investment jika masih

terdapat surplus setelah digunakan untuk membiayai pengeluaran

pemerintah.

(3)

2.1.2 Kriteria Dalam Pemilihan Struktur Pajak

Di abad delapanbelas, Smith

7

mengidentifikasi aturan perpajakan (canons of taxation) dalam bukunya, “An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations”, yang turut dipertimbangkan saat mengevaluasi struktur pajak tertentu, yaitu:

a. Equality on Taxation, mensyaratkan bahwa hukum pajak haruslah adil, merata, dan tidak diskriminasi dalam menetapkan objek pajak, dan pembebanan kepada masing-masing subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuannya. Dalam perkembangannya prinsip keadilan dalam suatu sistem pajak diukur berdasar prinsip manfaat (benefit principle) yang diterima oleh masyarakat Wajib Pajak (ability to pay principle).

Berdasar kedua prinsip keadilan dalam pembebanan pajak tersebut, keadilan pajak diperinci lebih lanjut menjadi keadilan horizontal (horizontal equity) dan keadilan vertikal (vertical equity). Keadilan horizontal menganjurkan bahwa terhadap objek pajak yang sama dan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan yang sama harus dibebani pajak yang sama pula, sedangkan keadilan vertikal memandang suatu pembebanan pajak yang adil bilamana terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kekayaan dan kemampuan lebih besar harus dibebani pajak lebih daripada Wajib Pajak pada umumnya. Proporsi keadilan pajak yang pertama menghasilkan kebijakan tarif proporsional (single flat rate), dan proporsi keadilan pajak yang kedua menghasilkan tarif pajak progresif (differential-progresive rate).

b. Certainty on Taxation, asas kepastian hukum dalam perpajakan sebenarnya berlaku pula secara universal dalam bidang hukum lainnya.

Aturan hukum pajak harus secara jelas dan pasti mengatur tentang apa yang menjadi objek pajak, siapa yang menjadi subjek pajak, berapa tarif yang berlaku, bagaimana cara menghitung dan membayarnya, kapan batas waktu jatuh tempo pembayaran dan pelaporannya, dan regulasi lain yang diperlukan, sehingga tidak ada celah dan peluang untuk mengelakkan diri dari pajak, menyelundupkan pajak, serta tidak mengenal kompromi.

Masalah kepastian hukum dan transparansi dalam regulasi perpajakan

7 Sudjarwadi, Djangkung, “Implikasi Kebijakan Pajak dan Retribusi Daerah Untuk Menunjang Pelaksanaan Otonomi Daerah” , Majalah Berita Pajak, edisi 1496, 2003, halaman. 39.

(4)

menjadi sangat penting bagi seluruh pelaku ekonomi sesuai dengan prinsip self-assessment dalam perpajakan, dan meningkatkan daya saing pengusaha nasional dalam forum ekonomi global.

c. Convenient of Payment, menyarankan agar pembayaran pajak dipungut pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat, yang paling sesuai dan menyenangkan bagi Wajib Pajak pada umumnya. Dalam perkembangan praktek administrasi perpajakan, baik di negara maju maupun di negara berkembang dengan aspek jaminan pengamanan keuangan negara, dikenal sistem Witholding Tax, Pay as You Earn (PAYE), Pay as You Go, dan berbagai sistem pengenaan pajak secara final.

d. Efficient of Collection, menyatakan bahwa pemungutan pajak harus dilakukan dengan cara efisien, dengan biaya administrasi yang hemat bagi aparat pajak, dan biaya kepatuhan yang murah bagi Wajib Pajak. Prinsip efisiensi ini juga berlaku umum bagi semua kegiatan pemerintah untuk pelayanan publik, terlebih lagi untuk para pelaku ekonomi di semua lapisan dan semua sektor.

Sebagai pengembangan dari asas-asas pemungutan pajak yang dikanonkan oleh Adam Smith, seorang pakar ilmu keuangan negara, Musgrave

8

, memberikan beberapa kriteria tambahan yang melengkapi The Four Maxims-nya Adam Smith, setelah memperoleh data kajian empiris dari berbagai sistem keuangan negara modern yang berasaskan negara kesejahteraan (welfare state), mensyaratkan adanya tujuh kriteria struktur pajak yang baik, yaitu:

a. Hasil penerimaan pajak yang harus cukup besar

Kriteria pemilihan suatu pajak yang dipungut oleh suatu negara di berbagai tingkat pemerintah harus mampu menghasilkan penerimaan pajak (tax

8 Musgrave A. Richard & Musgrave B. Peggy , Public Finance in Theory and Practice.

Singapore, McGraw-Hill Book Company. 1989

(5)

yield) yang cukup besar. Hal ini adalah logis bahwa fungsi utama pajak adalah fungsi budgeter, untuk menghasilkan uang bagi negara.

b. Distribusi beban pajak harus adil

Penentuan suatu jenis pajak harus mempertimbangkan struktur pajak yang ada dalam suatu negara secara keseluruhan, merupakan satu kesatuan sistem yang saling melengkapi sehingga terhindar dari pembebanan pajak berganda dan juga mampu mengenakan pajak pada setiap warga negara sesuai dengan kemampuannya.

c. Tax incidence harus tepat

Pemilihan suatu jenis pajak yang baik tidak hanya mengatur subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan perbuatan, transaksi, keadaan, atau peristiwa apa yang menimbulkan utang pajak (taatsbestand), tetapi yang lebih utama adalah menentukan siapa sebenarnya yang paling material menanggung beban pajak (tax incidence). Pajak yang baik adalah seminimal mungkin membebani masyarakat berpenghasilan rendah dan lebih banyak memberikan beban pajak kepada golongan masyarakat yang lebih kaya.

d. Tidak memberikan efek distorsi pada aktivitas ekonomi.

Suatu pajak yang baik dapat menghindarkan atau meminimalkan distorsi terhadap keputusan dalam aktivitas ekonomi, sehingga dapat menunjang pasar yang efisien. Sifat non distorsi dari suatu pajak selain pemilihan objek pengenaan pajaknya harus memperhitungkan tingkat elastisitas dari transaksi kena pajak atau peritiwa kena pajak, juga dengan penentuan tarif nominal yang sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan dead weight loss.

e. Menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi

Penerapan suatu pajak yang baik tidak membebani terhadap capital

investment, sehingga mendorong kegiatan investasi langsung baik dari

dalam maupun luar negeri. Pajak atas konsumsi harus diterapkan

sedemikian rupa agar dapat dicegah “lock in effect” dan menunjang

peningkatan transaksi perdagangan semua komoditas yang seimbang

(6)

antara konsumsi dalam negeri dengan transaksi untuk ekspor. Begitu pula tarif pajak diupayakan tidak mengurangi minat pemilik modal untuk menyimpan uang di bank dan berinvestasi di bursa atau reksadana.

f. Regulasi yang jelas, sederhana, dan mudah dipahami Wajib Pajak

Penyederhanaan peraturan perundang-undangan perpajakan telah menjadi kecederungan bagi reformasi perpajakan di seluruh dunia, utamanya di negara-negara yang sedang berkembang. Peraturan pajak yang sederhana dan jelas akan mudah dipahami oleh Wajib Pajak dan diharapkan Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik, sekaligus dapat mencegah terjadinya korupsi dan kolusi dengan aparat pajak dan pihak ketiga lainnya, sehingga penerimaan pajak dapat berjalan baik karena mendapat dukungan sukarela masyarakat.

g. Biaya administrasi seefisien mungkin

Dengan peraturan yang jelas dan sederhana, disediakannya seluruh informasi peraturan perpajakan secara transparan dan dapat diakses oleh publik akan memungkinkan pelaksanaan pembayaran pajak dengan biaya minimum.

2.1.3 Pengelompokan Pajak

9

a. Menurut golongannya

1). Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Secara administrasi, pajak ini berkohir dan dikenakan secara berulang-ulang pada waktu tertentu (periodik) misalnya setiap tahun. Contoh pajak langsung ini adalah Pajak Penghasilan dan Pajak Bumi dan Bangunan.

2). Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Secara administrasi, pajak ini tidak berkohir dan tidak dikenakan secara periodik (berulang-ulang), tetapi dikenakan hanya bila terjadi hal-

9 Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta , PT. Andi, 2003 halaman. 5-6

(7)

hal atau peristiwa yang dikenakan pajak. Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah.

b. Menurut sifatnya

1). Pajak Subjektif, yaitu pajak yang memperhatikan pertama-tama keadaan pribadi Wajib Pajak untuk menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan-alasan yang objektif yang berhubungan dengan keadaan materialnya, yaitu yang disebut daya pikulnya. Contoh pajak ini adalah Pajak Penghasilan. Hubungan antara pajak dan Wajib Pajak (subjek pajak) adalah langsung oleh karenanya besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar tergantung kepada daya pikulnya, pada pajak-pajak subjektif ini keadaan pribadi Wajib Pajak sangat mempengaruhi besar kecilnya jumlah pajak yang terutang. Contohnya adalah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

2). Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah.

c. Menurut lembaga pemungutnya

1). Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contohnya adalah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.

2). Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah

dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak

daerah terdiri dari pajak propinsi seperti Pajak Kendaraan

Bermotor, Pajak Kendaraan di atas Air, Pajak Bahan Bakar

Kendaraan Bermotor dan pajak kabupaten/kota seperti Pajak

Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak

Penerangan Jalan.

(8)

2.1.4 Teori-teori yang Mendukung Pemungutan Pajak

10

Atas dasar apakah negara mempunyai hak untuk memungut pajak?

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah:

a. Teori Asuransi

Menurut teori ini negara berhak memungut pajak karena negara bertugas untuk melindungi orang dan segala kepentingannya, keselamatan, dan keamanan jiwa juga harta bendanya. Pembayaran disamakan dengan pembayaran premi, seperti halnya perjanjian asuransi, maka untuk perlindungan diperlukan pembayaran berupa premi. Namun perbandingan dengan perusahaan asuransi ini dirasa tidak tepat karena dalam hal timbul kerugian, tidak ada suatu penggantian dari negara dan antara pembayaran pajak dengan jasa yang diberikan oleh negara tidak terdapat hubungan yang langsung. Teori ini tetap dipertahankan sekadar untuk memberi dasar hukum kepada pemungutan pajak saja, tetapi karena pincangnya persamaan tersebut akhirnya menimbulkan ketidakpuasan ditambah ajaran bahwa pajak bukanlah retribusi, sehingga lambat laun teori ini mulai berkurang penganutnya.

b. Teori Kepentingan

Menurut teori ini negara memungut pajak karena negara melindungi kepentingan jiwa dan harta benda warganya. Teori ini memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduk.

Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan orang masing- masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa beserta harta bendanya, maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya dibebankan kepada Wajib Pajak.

Terhadap teori ini banyak yang menyanggah karena dalam ajarannya pajak dikacaukan dengan retribusi. Untuk kepentingan yang lebih besar terhadap harta benda yang lebih banyak harganya daripada harta si miskin harus

10 Sofiandi, Materi Pokok Pengantar Hukum Pajak, Departemen Keuangan RI, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perpajakan, Jakarta, 2003 halaman 38-40.

(9)

membayar pajak lebih besar, padahal mungkin si miskin mempunyai kepentingan yang lebih besar dalam hal tertentu, misalnya dalam perlindungan yang termasuk jaminan sosial, sehingga sebagai konsekuensinya harus membayar pajak lebih banyak, dan inilah suatu hal yang bertentangan dengan kenyataan. Untuk mengambil tingkat kepentingan seseorang dalam usaha pemerintah sebagai ukuran, sejak dahulu belum ada alat pengukurnya, sehingga sulit sekali dapat ditentukan dengan tegas. Makin lama teori inipun ditinggalkan.

c. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti

Teori ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer, diajarkan bahwa justru karena sifat negara inilah maka timbullah hak mutlak untuk memungut pajak. Orang-orang tidaklah berdiri sendiri tetapi membentuk persekutuan dan persekutuan itu menjelma menjadi negara serta berhak atas satu dan lainnya. Sejak berabad-abad hak ini telah diakui dan orang- orang selalu menyadarinya sebagai kewajiban untuk membuktikan tanda baktinya terhadap negara dalam bentuk pembayaran pajak.

d. Teori Asas Daya Beli

Teori ini tidak mempersoalkan asal mula negara memungut pajak, namun hanya melihat kepada efeknya dan dapat memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini fungsi pemungutan pajak dapat disamakan dengan pompa yang mengambil daya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu.

e. Teori Daya Pikul

Teori ini menganut bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada

jasa-jasa yang diberikan negara pada warganya, yaitu perlindungan atas

jiwa dan harta benda. Untuk keperluan ini diperlukan biaya-biaya yang

dipikul oleh orang-orang yang menikmati perlindungan itu berupa pajak.

(10)

Pokok pangkal teori ini adalah asas keadilan, yaitu tekanan pajak harus sama berat untuk setiap orang. Pajak harus dipikul menurut daya pikulnya dan sebagai ukuran dapat dipergunakan selain besarnya penghasilan dan kekayaan juga pengeluaran atau pembelanjaan seseorang. Selain itu, kekuatan untuk menyerahkan uang kepada negara baru ada setelah dikurangi dengan kebutuhan minimum yang diperlukan untuk kehidupannya.

2.1.5 Kedudukan Hukum Pajak

11

Hukum Pajak mempunyai kedudukan diantara hukum-hukum sebagai berikut :

a. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya

b. Hukum Publik , mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut:

• Hukum Tata Negara

• Hukum Tata Usaha / Hukum Administrtatif

• Hukum Pajak

• Hukum Pidana

Dari pengertian tersebut, kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik.

Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak, ada dua macam hukum pajak

12

yaitu :

• Hukum Pajak Materiil, memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (obyek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subyek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan/tarif, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak.

11 Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, B andung, P T E resco, 1988 halaman 10-11

12Waluyo dan Wirawan B. Illyas, Perpajakan Indonesia, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, halaman 6

(11)

Contoh : Undang Undang Pajak Penghasilan, Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai, Undang Undang Pajak Bumi dan Bangunan dan lainnya

• Hukum Pajak Formil, memuat bentuk/tata-cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan. Hukum ini memuat antara lain:

a). Tata cara penyelenggaraan /prosedur penetapan suatu utang pajak

b). Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.

c). Kewajiban Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan, pencatatan, pelaporan, sedangkan hak Wajib Pajak mengajukan permohonan keberatan, pengurangan sanksi administrasi dan banding.

Contoh : Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

2.2 Pajak Atas Konsumsi

Sebelum dikenal istilah Pajak Pertambahan Nilai, terlebih dahulu dikenal istilah Pajak Penjualan. Menurut Musgrave ada persamaan antara pajak penjualan dan pajak penghasilan, yaitu

13

:

“Bahwa keduanya dikenakan terhadap arus yang dihasilkan dalam output produksi saat itu. Tetapi Pajak Penghasilan dikenakan pada sisi penjual pada transaksi faktor produksi, sementara pajak penjualan dikenakan disisi penjual dari transaksi produk atau barang/jasa”

Berdasarkan pendapat di atas perbedaan pajak penjualan dengan pajak penghasilan adalah pada pembebanannya, sama-sama dikenakan pada seorang

13 Musgrave A. Richard & Musgrave B. Peggy , Public Finance in Theory and Practice.

Singapore, McGraw-Hill Book Company. 1989, page 423

(12)

Wajib Pajak tetapi dari sisi yang berbeda. Pajak Penghasilan pada saat diperolehnya pcnghasilan dari tansaksi faktor produksi dan pajak pcnjualan pada transaksi barang dan jasa.

Pakar lain yang menyumbangkan pendapatnya adalah Due yang membedakan pajak atas konsumsi menurut sudut pendekatannya menjadi dua, yaitu

14

:

a. Pendekatan Langsung - pajak atas pengeluaran (expenditure tax), yaitu pajak yang berlaku bagi seluruh pengeluaran untuk konsumsi yang merupakan hasil penjumlahan seluruh penghasilan dikurangi pengeluaran untuk tabungan dan pembelian aktiva.

b. Pendekatan Tidak Langsung atau pendekatan pajak komoditi, yaitu pajak yang dikenakan atas penjualan komoditi yang dipungut terhadap pengusaha yang melakukan penjualan. Pajak ini kemudian dialihkan kepada pembeli selaku pemikul beban pajak.

Berdasarkan tingkat pengenaannya, pajak atas konsumsi, khususnya pajak penjualan, pajak peredaran dan Pajak Pertambahan Nilai, menurut Terra dapat dibedakan ke dalam dua tingkat pengenaan, yaitu

15

: Single Stage Tax dan Multi Stage Tax, yang masih dapat dibedakan menjadi dua lagi, yaitu a dual stage tax dan an all stage tax. Single Stage Tax, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang pengenaannya dilakukan hanya pada salah satu mata rantai jalur produksi atau jalur distribusi. Distribusi dari suatu barang dilakukan dengan tiga tahap hingga sampai ke tangan konsumen, yaitu pabrikan, pedagang besar, dan pcdagang eceran. Dalam hal ini pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (sesuai dengan kebijakan pemerintah dan peraturannya) dilakukan hanya satu mata rantai saja, yaitu dapat di pabrikan saja, di pedagang besar saja, atau di pedagang eceran saja.

Multi Stage Tax, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang pengenaannya dilakukan beberapa kali sepanjang mata rantai jalur distribusi (pabrikan,

14 Due, John F., and Friedlaender, Ann F., Government Finance. 7th Edition., Richard D.Irwin, Inc., New York, 1981, page-332

15Terra Ben. Sales Taxation, The Case of Value Added Tax in The European Community, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988 page-29.

(13)

pedagang besar, dan pedagang eceran). Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dalam beberapa tahap (Multi Stage Tax) menyebabkan terjadinya perhitungan nilai tambah sebagai dasar pengenaan pajak di setiap tahap distribusi. Sesuai dengan mekanisme yang berlaku, setiap pembelian atau perolehan barang yang digunakan untuk kegiatan perusahaan, Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan akan merupakan Pajak masukan (input tax), sedangkan atas barang yang dijual Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan merupakan Pajak Keluaran (output tax). Untuk menghindari cascade efftets dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang bersumber dari nilai tambah, Pajak Keluaran dikurangi dengan Pajak Masukan.

2.3 Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah suatu jenis pajak tidak langsung yang dikenakan atas nilai tambah(added value) dari suatu barang atau jasa yang ditransaksikan atau diserahkan. Dalam Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai praktis tidak dijumpai mengenai apa yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai, yang ada hanyalah menegani tatacara pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Hakekat dan pengertian Pajak Pertambahan Nilai dapat dijumpai pada literatur-literatur tentang Pajak Pertambahan Nilai menurut pengertian yang diberikan oleh para penulisnya, antara lain :

a. Alan A Tait

“ A tax on Value Added is, briefly, a tax levied on business on the value they add to their purchases of raw materials and goods and services

16

dalam bukunya yang lain menyatakan :

“ Value added is the value that a producer (Whether a manufacturer, distributor, advertising agent, hairdresser, farmer, race horse trainer, or circus owner) adds to his raw materials or purchase (other than labour) before selling the new or improved product or services. That is the input (the raw materials, transport, rent, advertasing, and so on) are bought, people are paid wages to work on

16Tait, A Alan , Value Added Tax,Mc, Graw-Hill Company(UK) Limities, Maidenhead Berkshire, England, 1972.page-2

(14)

these input and, when the final good or services is sold, some profits left

17

b. Henry J. Aaron

“ Value Added is the differnce between the value of firm’s sales and the value of the purchased material inputs used in producing goods sold.Value adde is also equal to the sum of the wages and salaries, interest payment, and profit before tax earned by a firm

18

c. Michael Veseth

“ Nilai Tambah adalah ukuaran dari hasil kegiatan ekonom dan penghasilan. Ini digambarkan oleh perbedaan antara nilai pembelian dengan penjualan

19

d. Ben Terra

“ Sales taxation can be levied in various ways, for example, in a direct way, or in indirect way as a retail sales tax or as a value added tax

20

2.4 Metode Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

Dari pengertian diatas terlihat bahwa nilai tambahan bersumber dari adanya kegiatan ekonomi seperti terjadinya transaksi jual beli barang dan jasa, sewa menyewa dan lainnya. Dimana hasil akhir dari transaksi tersebut secara kumulatif akan diperoleh nilai tambah (added value). Secara umum nilai tambah dapat dirumuskan dengan persamaan yaitu

21

:

1. value added = wages + profits 2. value added = output - input

Dalam persaman (1) tersebut terlihat komponen nilai tambah dari sisi penjumlahan (additive), yaitu upah (wages) dan keuntungan (profits). Dalam

17Tait, Alan A., Value Added Tax International Practice and Problems, IMF, Washington D.C 1988 page-4.

18Aron Henry., VAT-Experinces of some European Countries, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1982, page-14.

19Veseth, Michael, Public Finance, Reston Publishing Company, Virginia, 1994 page-287.

20Terra Ben. Sales Taxation, The Case of Value Added Tax in The European Community, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988 page-4.

21 Rosiana, Haula dan T arigan, Rasin, P erpajakan T eori dan A plikasinya . P T . Raja G raf indo P ersada, Jakart a , 2005 hlm 215

(15)

suatu perusahaan besarnya komponen nilai tambah umunya telah dapat diperkirakan, ketika perusahaan hendak menyusun rencana kegiatan dalam satu tahun akan ditetapkan besarnya upah begi karyawan dan buruh (misalnya mengikuti dengan upah yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam Upah Minimum Regional atau juga yang telah ditetapkan dilan Rapat Umum Pemegang Saham). Hal yang sama juga telah dilakukan atas tingkat keuntungan (profit margin) yang diharapkan oleh perusahaan akan diperoleh dalam kurun waktu yang dimaksud, sehingga dalam jangka waktu satu tahun dapat diprediksi besarnya nilai tambah yang akan dicapai, yang pada akhirnya mempengaruhi harga jual barang dan jasa.

Didalam persamaan (2) tidak terlihat komponen yang ada dalam nilai tambah melainkan cukup dengan mengurangkan (substractive) harga akhir (output) terhadap harga perolehan (input). Untuk memperoleh angka input dan output ini harus didukung dengan ketersediaan dan tersajinya dokumen penjualan (output) dan dokumen pembelian/perolehan (input) secara lengkap untuk setiap kurun waktu

Berdasarkan formula tersebut yang dikaitkan dengan besarnya tarif pajak yang berlaku, maka terdapat variasi formula dasar untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai, yaitu

22

:

a. The Additive Method

Dengan cara menghitung pertambahan nilai beli barang/jasa, sedangkan pencatatan atau pembukuan yang dibutuhkan adalah mengenai gaji/upah (wages) serta keuntungan /laba (profit) dan biaya.

Untuk metode ini dapat dihitung dengan 2 (dua) macam cara:

1. The Additive Direct/ Account Method

Pengenaan pajak dihitung langsung dari penambahan nilainya.

Rumus : Pajak Pertambahan Nilai = tarif (upah + keuntungan)

2. The Additive Indirect Method

22 Tait, A Alan , Value Added Tax,Mc, Graw-Hill Company(UK) Limities, Maidenhead Berkshire, England, 1972.page-4

(16)

Pengenaan pajak dihitung bukan langsung dari penambahan nilainya tetapi dari komponen pertambahan nilai.

Rumus : Pajak Pertambahan Nilai = tarif (upah) + tarif (keuntungan)

b. The Substractive Method

Dengan cara mengurangkan nilai beli barang/jasa terhadap nilai jual barang/jasa yang komponennya berasal dari barang/jasa tersebut, sedangkan pencatatan atau pembukuan yang dibutuhkan adalah mengenai pembelian, penjualan dan persediaan dari barang/jasa.

Untuk metode ini dapat dihitung dengan 2 (dua) macam cara:

1. The Substractive Direct Method

Pengenaan pajak dihitung langsung dari selisih nilai jual terhadap nilai beli. Disebut direct karena masih berdasarkan pembukuan atau catatan.

Rumus : Pajak Pertambahan Nilai = tarif (output - input)

2. The Substractive Indirect Method/ Invoice Method/Credit Method Pengenaan pajak dihitung dari selisih pajak nilai jual terhadap pajak nilai beli. Dikatakan substractive indirect method karena penghitungannya tidak lagi berdasarkan pembukuan atau catatan melainkan berdasarkan faktur, sehingga disebut juga invoice method. Jadi indirect menjelaskan penghitungan pertambahan nilai terjadi secara tidak langsung yaitu dengan mengurangkan nilai faktur pembelian terhadap nilai faktur penjualan secara berkesinambungan dari suatu periode berikutnya.

Selain itu dikenal dengan nama credit method karena di dalamnya terdapat mekanisme pengkreditan pajak.

Rumus: Pajak Pertambahan Nilai = tarif (output) – tarif (input)

2.5Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai

Dibanyak negara Pajak Pertambahan Niali (PPN) terpilih sebagai penggati pajak Penjualan karena memiliki beberapa karekteristik positif. Terra mengemukakan bahwa :

“ Karakteristik Pajak Pertambahn Nilai secara umu antara lain

(17)

adalah General Tax On Consumption, Indirect Method, Neural, dan Non Cumulative

23

Apabila dikaitkan dengan karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang berIaku di Indonesia, maka karakteristik positif tersebut diatas dapat dijabarkan lebih lanjut dengan penjelasan sebagai berikut:

A. General Tax on Consumption

Tujuan akhir Pajak Pertamhahan Nilai sebagai pajak atas konsumsi adalah mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun oleh badan baik swasta maupun badan Pemerintah.

Konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pastilah akan mengkonsumsi barang dan jasa, karena dua hal ini merupakan alat pemuas kebutuhan manusia.

Maka dapatlah dipastikan bahwa Pajak Pertambahan Nilai akan dikenakan pada setiap kegiatan mengkonsumsi baik konsumsi atas barang maupun jasa. Hal ini menjelaskan satu hal bahwa Pajak Pertambahan Nilai merupakan pemajakan pada setiap kegiatan konsumsi tanpa memandang perbedaan barang dan jasa.

B.Indirect Tax

Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung. Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban akhir pajak (destinataris pajak) dengan pcnanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas negara berada pada pihak yang berbeda. Pcmikul beban pajak adalah pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak, sedangkan penanggung jawab atas pembayar pajak ke Kas Negara adalah Pengusaha Kena Pajak yang bertindak selaku penjual Barang Kena Pajak (BKP) atau Pengusaha Jasa Kena Pajak (JKP). Apabila terjadi penyimpangan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, fiskus akan meminta pertanggungjawaban kepada penjual Barang Kena Pajak atau Pengusaha Jasa Kena Pajak tersebut, bukan kepada pembeli, walaupun pembeli kemungkinan juga berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Sebagai Pajak Tidak Langsung, pengertian Pajak Pertambahan Nilai dapat dirumuskan berdasarkan dua sudut pandang menurut pendapat Sukardji

23Terra, Ben. Sales Taxation, The Case of Value Added Tax in The European Community, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988 page-19.

(18)

sebagai berikut

24

:

1) Sudut pandang ekonomi, yaitu bahwa beban pajak dialihkan kepada pihak lain, dalam hal ini pihak yang akan mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek pajak;

2) Sudut pandang yuridis, yaitu bahwa tanggung jawab pembayaran pajak kepada kas negara tidak berada di tangan pihak yang memikul beban pajak, dengan kata lain bahwa dalam Pajak Tidak Langsung apabila pembeli atau penerima jasa telah membayar pajak yang terutang kepada penjual atau pengusaha jasa, pada hakikatnya sama dengan telah membayar pajak kepada kas negara.

C. Neutral

Netralitas Pajak Pertambahan Nilai dibentuk oleh 2 faktor utama yang berperan dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:

1)Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi barang ataupun jasa;

2)Dalam pemungutannya Pajak Pertambahan Nilai mengandung prinsip tempat tujuan.

Dalam mekanisme pemungutannya, Pajak Pertambahan Nilai mengenal 2 prinsip pemungutan, yaitu :

1) Prinsip tempat asal (origin)

2) Prinsip tempat tujuan (destination principle)

Prinsip tempat asal mengandung pengertian bahwa Pajak Pertambahan Nilai dipungut di tempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi.

Berdasarkan prinsip tempat tujuan, Pajak Pertambahan Nilai dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi. Pajak Pertambahan Nilai dapat dipandang memiliki sifat netral terlihat dalam hal perdagangan intemasional. Sebagaimana kita ketahui dalam perdagangan intemasional, komoditi impor akan menanggung beban pajak yang sama dengan barang yang diproduksi di dalam negeri.

Mengingat barang komoditi impor dan barang yang diproduksi di dalam negeri

24S uk ardji, Unt ung, P ajak P ert ambahan Nilai E disi Revisi 2005 , , P T . Raja wali P ers, Jakart a 2005, halaman 20.

(19)

tersebut akan dikonsumsi di dalam negeri, maka akan dikenakan pajak dengan beban yang sama. Sebaliknya, barang yang diproduksi di dalam negeri dan akan diekspor tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai di dalam negeri karena akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai di negara tempat tujuan barang yaitu tempat barang terscbut dikonsumsi. Mengatasi hal demikian, terhadap barang produksi dalam negeri yang akan diekspor bukanlah tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sama sekali, melainkan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0%. Hal tersebut menunjukkan adanya sifat netral dari Pajak Pertambahan Nilai.

D.Non Cumulative

Karakter ini menunjukkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai menghindari kemungkinan terjadinya pengenaan pajak berganda seperti yang terjadi dalam pemungutan Pajak Penjualan. Hal ini karena Pajak Pertambahan Nilai dipungut hanya atas nilai tambah saja, dan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar kepada pemasok pada mata rantai sebelumnya dapat diperhitungkan dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dari mata rantai jalur distribusi berikutnya.

Dengan sistem tersebut maka pajak atas konsumsi yang dipungut pada mata rantai sebelumnya tidak dikalkulasikan ke dalam harga jual sehingga harga barang yang dibayar oleh konsumen akan menjadi lebih rendah bila dibandingkan apabila atas penyerahan ini dikenakan pajak dengan sifat kumulatif.

Selain karakteristik tersebut diatas, bila diperhatikan lebih jauh, maka terlihat bahwa Pajak Pertambahan Nilai ini masih menunjukkan beberapa karakter tersendiri bila dibandingkan dengan jenis - lainnya yaitu:

1. Pajak Objektif

Suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh

faktor objektif, yaitu adanya keadaan, atau peristiwa, atau perbuatan hukum yang

dapat dikenakan pajak yang disebut juga dengan nama obyek pajak. Sebagai

(20)

pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai ditentukan oleh adanya objek pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak ikut menentukan. Pajak Pertambahan Nilai tidak membedakan antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan berpenghasilan rendah. Sepanjang konsumen mengkonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, konsumen tersebut diperlakukan sama.

2. Multi Stage Tax

Multi Stage Tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai mulai dari tingkat pabrikan kemudian di tingkat pedagang besar dalam berbagai bentuk atau nama sampai dcngan tingkat pedagang pengecer dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

2.6 Keunggulan substractive indirect method/invoice method/credit method dibandingkan dengan sistem lain

Adapun keunggulan substractive indirect method/invoice method/credit method dibandingkan dengan sistem lain, menurut Tait

25

.

a. Faktur pajak mengkaitkan pajak terutang dengan transaksi yang menyebabkan timbulnya hutang pajak

Hal ini menjadikan metode ini paling unggul dibandingkan dengan yang lain baik dari sudut yuridis maupun dari teknis pemungutan. Kedudukan Faktur Pajak menjadi sangat penting karena selain sebagai bukti adanya suatu transaksi, juga sebagai bukti adanya pembayaran pajak yang terhutang.

b. Menciptakan audit trail atau jejak lacak

Faktur pajak menciptakan suatu audit trail atau “jejak lacak” yang baik bagi fiskus. Memudahkan untuk melakukan pemeriksaan, karena adanya invoice yang dapat menjadi jejak (audit trail) adanya transaksi pembelian dan

25 Tait, A Alan , Value Added Tax,Mc, Graw-Hill Company(UK) Limities, Maidenhead Berkshire, England, 1972.page-5

(21)

penjualan. Hal ini memaksa tidak saja penjual melainkan juga pembeli untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik. Selain itu merangsang Pengusaha Kena Pajak untuk melakukan pembukuan dengan tertib, baik dan benar. Bila tidak dilakukan maka Pengusaha Kena Pajak akan mengalami berbagai kendala sehubungan dengan pengkreditan Pajak Masukan atas Pajak Keluaran sebab Faktur Pajak Masukan merupakan bukti sah atas pajak yang telah dibayar.

c. Memberikan informasi besarnya pajak pada mata rantai sebelumnya

Dalam sistem yang lain yaitu additive method dan substractive direct method secara teknik tidak mampu memberikan informasi besarnya pajak pada mata rantai produksi dan distribusi sebelumnya dan apakah sudah dibayar.

d. Tidak perlu menghitung keuntungan terlebih dahulu

Untuk menghitung pajak tidak perlu menghitung keuntungan terlebih dahulu, karena penghitungan pajak dilakukan dengan mengurangkan nilai pajak hasil penjualan terhadap pajak hasil pembelian, sedangkan bila penggunaan additive direct method (atau account method) dan additive indirect method, pengusaha harus menghitung dulu jumlah keuntungan. Hal ini tidak mudah.

Itupun pengusaha didalam pembukuannya harus memilah-milah kategori produk sesuai dengan tarif Pajak Pertambahan Nilainya, serta inputnya sesuai dengan jumlah pajak yang terhutang.

e. Dalam substractive direct method dihitung dulu pertambahan nilai yang terjadi.

Dalam substractive direct method atau business transfer tax, terlebih dahulu

harus dihitung pertambahan nilai yang terjadi. Ini dilakukan dengan cara

mengurangkan input terhadap output-nya. Dalam prakteknya para

pengusaha akan kurang menyukai cara ini bila dilakukan setiap bulan, karena

pembelian, penjualan maupun persediaan dalam sebulan dapat berfluktuasi

dengan signifikan. Penggunaan metode ini idealnya menggunakan periode

tahunan. Disamping itu, tarif pajak yang sebaiknya digunakan adalah tarif

tunggal.

(22)

f. Periode penghitungan besarnya pajak lebih fleksibel

Periode penghitungan besarnya pajak yang terhutang tidak saja dapat dihitung setahun sekali, melainkan triwulan, bulanan, bahkan kalau dikehendaki seminggu sekali.

g. Tarif pajak yang digunakan tidak saja tarif tunggal, melainkan multi tarif

Lebih fleksibel bila tarifnya berbeda-beda, karena bertumpu pada invoice.

Untuk additive method hanya dapat dipakai untuk tarif tunggal, sedangkan untuk substractive direct method akan sulit bila tarifnya berbeda-beda karena mensyaratkan adanya pemisahan pembukuan atau catatan untuk komoditi yang tarif pajaknya berbeda-beda.

2.7 Tipe Pajak Pertambahan Nilai

Berdasarkan perlakuan terhadap perolehan barang mdal, Pajak Pertambahan Nilai (Valu Added Tax) dapat dibedakan ke dalam tiga tipe yaitu

26

:

A. Consumption Type VAT

Dalam Consumption Type VAT, semua pembelian yang digunakan untuk produksi termasuk pembelian barang modal dikurangkan dari perhitungan nilai tambah. Dasar pengenaan pajaknya terbatas pada pembelian untuk kepentingan konsumsi, sedangkan pembelian barang-barang produksi dan barang modal dikeluarkan, karena pembelian barang modal dikeluarkan dari dasar pengenaan pajak, maka tidak terjadi pengenaan pajak lebih dari satu kali terhadap barang modal. Hal ini memberi sifat netral Pajak Pertambahan ilai terhadap pola produksi. Dalam hal penghitungan pajak menggunakan credit method, maka seluruh Pajak Masukan yang dibayar atas pembelian Barang Modal dan bahan boleh dikreditkan. Pajak Pertambahan Nilai Tipe Konsumsi ini memiliki beberapa nilai positif, yaitu:

1)Membantu likuiditas perusahaan, karena seluruh Pajak Masukan atas pcmbelian Barang Kena Pajak yang digunakan dalam proses produksi dapat segera dikreditkan;

2)Menunjang iklim investasi yang sehat;

26Terra Ben. Sales Taxation, The Case of Value Added Tax in The European Community, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988 page-32.

(23)

3)Mendorong pengusaha secara berkala melakukan regenerasl alat produksi barang modal tidak dikenakan pajak lebih dari satu kali;

4)Tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda.

B. Net Income Type VAT

Dalam Net Income type VAT, pengurangan pembelian barang modal dari dasar pengenaan Pajak tidak dimungkinkan. Pembelian barang modal hanya boleh dikurangkan sebesar persentase penyusutan yang ditentukan pada waktu menghitung hasil bersih dalam rangka penghitungan Pajak Penghasilan, sehingga Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai akan sama dengan Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan. Sistem ini akan berakibat pengenaan pajak dua kali terhadap barang modal dan menuntut adanya suatu sistem pembukuan yang rapi dan teliti dari para pengusaha.

C. Gross Product Type VAT

Dalam Gross Product Type VAT, pembelian barang modal sama sekali tidak boleh dikurangkan dari dasar pengenaan Pajak. Hal ini mengakibatkan barang modal dikenakan Pajak dua kali, yaitu pada saat dibeli, kemudian pemajakan dilakukan melalui hasil produksi yang dijual kepada konsumen.

Beberapa segi negatif yang dimiliki oleh gross product type VAT menurut Sukardji adalah sebagai berikut

27

:

1) Barang modal menanggung beban pajak yang cukup berat karena dipajaki lebih dari satu kali.

2) Menghambat minat pcngusaha mengadakan regenerasi alat-alat produksi.

Pengusaha cenderung memanfaatkan alat produksi yang ada semaksimal mungkin sehingga menghambat laju perkembangan produksi.

3) Tidak menunjang iklim investasi yang baik.

4) Pengusaha berusaha sedapat mungkin mengurangi pembelian barang modal.

27S uk ardji, Unt ung, P ajak P ert ambahan Nilai E disi Revisi 2005 , , P T . Raja wali P ers, Jakart a 2005, halaman 37.

(24)

2.8 Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai

Dalam credit method, dikenal adanya pajak yang dibayar pada saat perolehan dan pajak yang dipungut pada saat penjualan barang / jasa kena pajak. Pajak yang dibayar pada saat memperoleh barang atau jasa kena pajak dinamakan Pajak Masukan (input tax) apabila barang / jasa kena pajak tersebut merupakan masukan (input) untuk kegiatan usaha, dan Pajak yang dipungut pada penyerahan barang atau jasa kena pajak (output) dari penjual kepada pembeli disebut Pajak Keluaran (output tax)

Setiap pemungutan pajak pertambahan nilai, pengusaha kena pajak penjual wajib membuat faktur pajak sebagai tanda bukti pemungutan yang disebut sebagai Faktur Pajak Keluaran, dan pengusaha kena pajak pembeli yang menerima faktur tersebut Faktur Pajak Masukan.

Sesuai dengan sistem pungutan pajak yang berlaku di Indonesia yaitu Self assessment system, pengusaha kena pajak dalams setiap Masa Pajak wajib menghitung jumlah pajak yang terutang, dimana didalam credit method maka yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak adalah menghitung selisih antara pajak keluaran yang dipungut dengan pajak masukan yang telah dibayar.

2.9 Faktur Pajak

Faktur Pajak merupakan dokumen yang sangat penting dalam pengawasan Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal ini Tait mengemukan hal sebagai berikut:

“The invoice is the crusial control document of the ussual VAT. it esteblishes the tax liability of supplier and entitlement of the purchaser to a deduction for the VAT charged. Invoice must be carrefully comploted and kept as records.

28

Tait juga berpendapat seharusnya ditentukana adanya standar bentuk dan data- data yang harus ada dalam satu faktur pajak. Data tersebut antara lain adalah :

29

• nama dan alamat Wajib Pajak yang menerbitkan faktur pajak.

nomor pengukuhan ( VAT registrasion number)

28Tait, A Alan , Value Added Tax,Mc, Graw-Hill Company(UK) Limities, Maidenhead Berkshire, England, 1972.page -279.

29 ibid, page-280

(25)

• nomor seri faktur pajak

• tanggal faktur pajak

• tanggal penyerahan barang atau jasa ( bila berbeda dengan tanggal penerbitan faktur)

• uraian tentang barang dan jasa yang diserahkan

• nilai tagihan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai

• tarif dan jumlah Pajak Pertambahan Nilai

• nama dan alamat penerima barang dan jasa

Fungsi Faktur Pajak

Pembuatan Faktur Pajak bersifat wajib bagi Pengusaha Kena Pajak, karena Faktur Pajak adalah bukti yang menjadi sarana pelaksanaan cara kerja/mekanisme pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai. Orang Pribadi atau Badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak, ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari pemungutan pajak yang tidak semestinya.

Faktur Pajak berfungsi sebagai:

a) Bukti pungutan bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajakdan bagi Direktorat Jenderal Bea Cukai karena impor Barang Kena Pajak;

b) Bukti pembayaran pajak, ditinjau dari sisi pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atau orang pribadi atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak;

c) Sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan

Ditinjau dari fungsinya, yang dapat dikatakan bahwa Faktur Pajak memegang posisi sentral dalam mekanisme Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai.

Faktur Pajak yang dapat digunakan sebagai bukti pungutan pajak dan

sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan disebut dengan Faktur

Pajak Standar. Faktur Pajak Standar harus benar secara formal maupun

material. Faktur Pajak Standar harus diisi secara lengkap, jelas , benar dan

ditandatangani oleh pejabat perusahaan yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena

Pajak untuk menandatanganinya. Faktur Pajak Standar yang tidak sesuai

(26)

dengan ketentuan dapat mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum didalamnya tidak dapat dikreditkan.

2.10Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai

Adapun fungsi Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak

30

, adalah:

• Sarana melapor dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang;

• Melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;

• Melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan dan/atau melalui pihak lain dalam suatu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

2.11 Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak

Peradilan administrasi dibutuhkan dalam pajak. Hal ini dapat dimengerti, karena dalam bidang pajak pemerintah mendapat demikian besarnya kekuasaan untuk melakukan pengawasan secara yudikatif.

31

Peradilan administrasi pajak yaitu penyelesaian semua macam mengenai pajak-pajak.

32

dalam pelaksanaannya terdapat aparatur pemerintah yang menentukan bahwa suatu peradilan dapat disebut peradilan administrasi pajak ialah sifat dari para pihak yang berselisih dan sifat perselisihannya.

33

Peradilan pajak diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam penyelesaian sengketa pajak yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana.

Peradilan administrasi pajak umumnya melibatkan minimal dua pihak yaitu pihak Wajib Pajak dan pihak aparat pajak (fiskus). Peradilan administrasi pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu peradilan administrasi tidak murni dan peradilan administrasi murni.

Peradilan administrasi yang pertama disebut sebagai peradilan administrasi tidak murni karena dalam peradilan administrasi ini hanya melibatkan dua pihak yaitu Wajib Pajak dan pihak fiskus tanpa melibatkan pihak

30Waluyo dan Wirawan, Perpajakan Indonesia , Salemba Empat, Jakarta, 1999, hlm 19

31Soemitro ,Rochmat, Masalah Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia, PT Eresco, Bandung 1965, hal. 202.

32S.H Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Rajawali Press, Jakarta, 1993, hal. 134

33ibid, hal. 48

(27)

ketiga yang independen. Fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus menjadi pihak yang mengambil keputusan dalam perselisihan pajak yang bersangkutan

34

Jenis peradilan administrasi yang kedua adalah peradilan administrasi murni. Peradilan ini disebut sebagai peradilan administrasi murni karena dalam peradilan administrasi ini terdapat tiga pihak, yaitu Wajib Pajak, fiskus, dan Hakim.

Wajib Pajak dan fiskus adalah pihak yang bersengketa, sedangkan Hakim atau Majelis Hakim adalah pihak yang akan memutuskan sengketa tersebut.

35

Ciri khas suatu peradilan murni adalah suatu hubungan segitiga antara pihak dan badan atau pejabat yang mengadili. Badan atau pejabat yang mengadili perkara merupakan badan pejabat tertentu dan terpisah. Tertentu

36

berarti bahwa badan atau pejabat tersebut ditentukan oleh undang-undang atau peraturan lain yang mempunyai tingkatan sama dengan suatu undang-undang, dan diberi wewenang untuk mengadili suatu perselisihan adrninistrasi. Terpisah

37

artinya bahwa badan atau pejabat yang melakukan pengadilan itu, tidak merupakan juga salah satu pihak atau termasuk dalam salah satu pihak, maupun dibawah pengaruh salah satu pihak, sehingga badan atau pejabat yang mengadili perkara berada di atas para pihak.

Peradilan administrasi murni. memiliki syarat sebagai berikut:

38

a. Merupakan hukum publik;

b. Sengketa hukum yang konkret;

c. Dua belah pihak yang bersengketa;

d. Aparatur yang melakukan peradilan administrasi.

34Suandy, Erly. Hukum Pajak. Salemba Empat, Jakarta, 2002, halaman. 84

35Ibid halaman 85

36Sunindhia, Y.W., Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi., Rinek a Cipt a, 1992 halaman 143.

37ibid halaman 143

38Muhsin, Muslih, "Badan Penyelesaian Sengketa Pajak Setelah Berubah Menjadi Pengadilan Pajak:, makalah disampaikan pada Sosialisasi Undang-undang Pengadilan Pajak sebagai Pengganti Undangundang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak., Jak art a, A pril 2002 hal.5.

(28)

Basah mempunyai pendapat bahwa Peradilan administrasi murni, disamping harus memenuhi unsur-unsur peradilan dan unsur-unsur khusus, juga wajib memiliki ciri khas berupa

39

:

a. Hubungan segitiga antara para pihak dan badan atau pejabat yang mengadili.

b. Badan atau pejabat yang mengadili perkara merupakan badan atau pejabat tertentu dan terpisah.

2.12Asas-asas Peradilan Administrasi Pajak

Asas bukanlah merupakan peraturan yang konkret yang berlaku, melainkan suatu hal teoritis yang merupakan sesuatu yang melandasi, mendasari, serta mendukung suatu peraturan, baik berupa falsafah, prinsip, atau dasar.

40

Asas inilah yang memberi warna pada suatu hal, khususnya dalam bidang hukum pajak. Asas-asas peradilan pajak yang dihimpun oleh Tim Kerja Proyek Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional pada tahun 1987,antara lain terdiri dari:

41

a. Asas kebebasan mencari keadilan:

Bahwa setiap orang sesuai dengan hak asasinya, mempunyai hak seluas-luasnya untuk mencari keadilan. Jadi apabila terjadi Wajib Pajak merasa diperlakukan tidak baik atau tidak adil, ia selalu mempunyai hak untuk mencari keadilan melalui saluran-saluran hukum yang khusus disediakan oleh undang-undang.

b.Asas kesamaan di hadapan pengadilan:

Bahwa setiap Wajib Pajak yang bersengketa di pengadian mempunyai kedudukan yang sama. Pengadilan tidak boleh memperlakukan para pihak secara berlainan, walaupun salah satu pihaknya adalah negara, yang diwakili oleh pemerintah (Direktur Jenderal Pajak) sebagai fiskus.

c.Asas perlindungan para pihak:

39Sunindhia, Y.W., Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi., Rinek a Cipt a, 1992 halaman. 142.

40Soemitro ,Rochmat , Asas-asas Hukum Perpajakan, BPHN Departemen Kehakiman (Bandung: Rineka Cipta, I991), hal. ix.

41Ibid hal. 41-60

(29)

Para pihak yang bersengketa harus diberikan perlindungan yang sama, jika para pihak kurang mengerti akan hak-haknya, maka pihak-pihak yang berkepentingan harus diberi tahu mengenai hal itu. Kalau salah satu pihak haknya dilanggar oleh pihak lain, hal ini juga harus diberitahukan. Jadi dalam pengadilan yang sifatnya kekeluargaan, pengadilan harus bertindak aktif.

d.Asas netralitas, tidak berat sebelah:

Hakim merupakan pejabat negara yang harus berdiri di atas para pihak, artinya Hakim tidak boleh memihak kepada salah satu pihak dan juga Hakim harus tidak setingkat dengan para pihak melainkan, karena ilmu yang dimilikinya, Hakim lebih tinggi dari para pihak, ditinjau dari segi ilmu penyelesaian sengketa. Hal tersebut memberikan kepercayaan kepada para pihak, bahwa perkara akan dapat diselesaikan secara tuntas.

e. Asas masalah bersifat hukum:

Masalah-masalah yang dibawa ke muka pengadilan (pajak) murni ialah masalah yang bersifat hukum, yang tunduk pada hukum tertentu hingga dapat diselesaikan (rechtsvragen).

f. Asas kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam Pemutusan sengketa;

Pada dasarnya banyak aengketa yang tidak perlu diselesaikan di pengadilan. Dalam perpajakan dikenal adanya lembaga Keberatan yang termasuk dalam administrasi pajak, yang tidak hanya mempermasalahkan aspek. hukumnya tapi juga aspek kebijakannya. Lembaga ini bersifat non- formal, sehingga banyak hal dapat diselesaikan berdasarkan kekeluargaan, berdasarkan saling pengertian dan kepercayaan .

g.Asas objektivitas penilaian;

Penilaian oleh Hakim harus diadakan secara konsekuen, netral dalam

bertindak, objektif, tidak dipengaruhi oleh sifat-sifat subjektif yang mudah

dipengaruhi dari luar atau pun pihak-pihak lain.

(30)

h. Asas keterbukaan untuk umum (openbaarheid);

Setiap pengadilan, termasuk Badan Peradilan Pajak pada asasnya mempunyai sifat terbuka bagi setiap orang, dalam arti bahwa sidang tidak tertutup inelainkan terbuka bagi setiap orang, dan dapat dihadiri oleh siapa pun. Maksud keterbukaan ini ialah untuk lebih mendorong kenetralan Hakim, abjektivitas Hakim, dan juga mendorong Hakim bersikap lebih hati-hati dalam penilaian dan pengambilan putusan.

i. Asas mengikat para pihak;

Putusan Badan Peradilan Pajak mempunyai daya mengikat para pihak yaitu waijb pajak dan Direktur Jenderal Pajak. Putusan harus dilaksanakan sesuai dengan cara yang lazim bahkan bila perlu dapat dipaksakan.

j. Asas beban bukti;

Lazimnya dalam peradilan berlaku adagium "Siapa yang mendakwa, wajib membuktikan". Jadi, kalau Wajib Pajak yang menuntut supaya pajaknya diturunkan maka ia harus membuktikan, apa sebabnya pajaknya harus diturunkan. Tetapi adagium ini tidak selalu berlaku karena Hakim sering memutuskan bahwa yang harus membuktikan ialah pihak yang lebih mudah memberikan bukti, disebut de meest gerede partij. Dalam pajak berlaku ketentuan bahwa apabila Wajib Pajak memenuhi segala kewajibannya, yaitu:

1. memasukkan surat pemberitahuan dengan benar,

2. memberi keterangan tentang surat pemberitahuannya apabila diminta, 3. mengadakan pembukuan yang diharuskan,

4. menunjukkan bukti-bukti yang diminta.

Dan ternyata kemudian Direktur Jenderal Pajak menetapkan pajak bagi

Wajib Pajak yang terutang, menyimpang dari data yang dimasukkan dalam

surat pemberitahuan Wajib Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala

Inspeksi Pajak wajib membuktikan bahwa data yang diberitahukan oleh Wajib

Pajak tidak benar, dan yang benar ialah ketetapan yang dikeluarkan oleh

Direktur Jenderal Pajak. Akan tetapi jika ternyata bahwa Wajib Pajak tidak

memenuhi salah satu dari kewajibannya di atas, maka Wajib Pajaklah yang

harus membuktikan bahwa ketetapan yang dikeluarkan Direktur Jenderal

(31)

Pajak (yang menyimpang dari data yang diberikan oleh Wajib Pajak) itulah yang salah, dan bahwa utang pajak yang dihitung oleh Wajib Pajak sendiri itulah yang benar.

k.Asas motivasi/ beralasan putusan;

Setiap putusan pengadilan harus memberikan landasan hukum yang kuat dan harus beralasan. Maksudnya adalah agar pihak yang merasa belum puas atas putusan itu, dapat membantah alasan yang digunakan untuk menolak permohonan/ tuntutan.

l. Asas patuh putusan:

Putusan Badan Peradilan Pajak merupakan sarana untuk mengakhiri sengketa pajak. Tidak akan ada artinya jika putusan tidak mempunyai daya ikat. Menjadi suatu kewajiban bagi para pihak untuk mematuhi putusan Hakim kecuali jika masih ada saluran hukum lanjutan yang dapat digunakan untuk menentang putusan Hakim yang bersangkutan.

m. Asas naik banding;

Banding dalam pajak dilaksanakan oleh Badan 'Peradilan Pajak, yang pada hakekatnya merupakan penyelesaian tingkat pertama dari sengketa pajak, yang setaraf denqan pengadilan tingkat pertama pada pengadilan umum.

n. Asas ne b.is in idem;

asas ini terdapat dalam pengadilan pada umumnya, 'berlaku juga terhadap sengketa pajak.

o. Asas presumption of innocence.

bahwa penyelidikan dan penyidikan perpajakan serta pemeriksaan

persidangan haruslah menjunjung tinggi praduga tak bersalah serta itikad baik

dari Wajib Pajak dalam melakukan penghitungan, pengisian dan pembayaran

pajaknya. Asas ini penting karena Wajib Pajak di satu sisi adalah pihak lemah

yang ingin mencari keadilan.

(32)

2.13 Penafsiran dalam Hukum Pajak

42

Didalam memahami suatu ketentuan Undang-undang, agar jelas diperlukan suatu penafsiran. Penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya menerang, menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas ataupun membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada dalam rangka penggunaanya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi.

Cara-cara penafsiran hanya merupakan alat untuk mencoba mengetahui dan menyalami arti kaedah-kaedah hukum.

Macam-macam penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum

• penafsiran subjektif dilakukan dengan cara mengusut apa yang dimaksud dengan kaidah hukum yang diucapkan dengan cara menyelidiki sejarahnya.

• penafsiran objektif dilakukan dengan menelaah arti kaidah itu menurut pemakaian bahasa yang lazim dipergunakannya, jadi terlepas dari maksud yang dikandung oleh pembuatnya haruslah dicari gambaran- gambaran yang didapat pada obyek yang terkena kaidah hukum.

• penafsiran secara historis yaitu mengetahui maksud dan pembuat undang- undang.

• penafsiran menurut ilmu tata bahasa yaitu mengadakan kupasan berdasarkan bunyi kata undang-undang itu.

• penafsiran secara sistematis yaitu dilakukan dengan melihat adanya hubungan antara masing masing Pasal , maupun antara undang-uandang yang satu dengan undang yang lain. Jadi penafsiran ini ialah suatu cara yang berdasarkan atas kenyataan bahwa undang-undang merupakan suatu sistem.

• penafsiran secara sosiologis dilakukan dengan mempelajari hubungannya dengan masyarakat yang melingkupinya, serta perkembangan dinamis didalm masyrakat tersebut.

• penafsiran menurut analogi, penafsiran ini hampir sama dengan penafsiran secara ekstensif (luas), yaitu mencari penyelesaian dengan menetapkan terlebih dahulu rasio suatu peraturan hukum, barulah

42 Sofiandi, D.S, Pengantar Hukum Pajak , Salemba Empat, Jakarta, 2003, hlm 19-21

(33)

memperlakukan pokok asas yang merupakan intisarinya terhadap suatu perkara baru. Cara penafsiran menurut kiasan ini menyatakan cara berlakunya suatu kaidah hukum atas suatu perkara, yang sebetulnya tidak diliputi oleh kaidah itu, dan berada diluarnya. Adapun caranya dimulai dengan memasukkan suatu aturan ke dalam aturan umum, dan dari peraturan umum itu kemudian ditarik lagi kesimpulannya, hingga sampai pada perkara khusus itu.

Scholten dalam bukunya Hanleiding tot de Boefeing van het Ned. Burgerijk Recht : Algemen Dell menjelaskan bahwa dalam penafsiran undang- undang pajak ada beberapa cara yaitu

43

:

• Umum

setelah diuraikan berbagai macam penafsiran hukum demikian pula dengan penafsiran pada hukum pajak. Dalam kenyataannya perbedaan penafsiran itu terjadi karena adanya corak dalam pemungutan pajak.

Orang-orang yang yang sebagai individu harus membayar pajak maka akan mengganggap pajak sebagai beban karena merupakan suatu pengurangan dalam kebebasan mempergunakan haknya masing-masing.

sedangkan pihak aparat pajak (fiskus) terhadap peraturan-peraturan pajak tentunya akan mempergunakan segala penafsiran yang diperkenankan.

• Analogi

Para Sarjana hingga saat ini masih bersengketa tentang penafsiran menurut analogi dalam hukum pajak, sekalipun pada waktu- waktu akhir ini kebanyakan di antara para sarjana banyak yang berpendapat bahwa interpretasi semacam ini harus tidak dipergunakan bagi undang-undang pajak. Hal ini terkait dengan Pasal 23 (2) UUD 1945 dimana tidaklah sekali-kali diperkenankan memungut pajak, bea dan cukai untuk keperluan kas negara selain berdasarkan undang-undang.

• Penafsiran otentik

43 Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, B andung, P T E resco, 1988 halaman 152

Gambar

Gambar 2.2 Proses Analisis Data

Referensi

Dokumen terkait

misalnya dengan konversi biomassa menjadi bioetanol. Bioetanol adalah etanol sederhana yang merupakan sumber energi terbarukan dan dihasilkan dari fermentasi komponen

1) Marcellina Rasemi W,. SST, M.Pd selaku dosen pembimbing 1 yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam mengerjakan

IMPLEMENTASI STRATEGI PEMBELAJARAN INTERTEKSTUAL D ENGAN PROCESS ORIENTED GUIDED INQUIRY LEARNING (POGIL) PAD A KONSEP TINGKAT KEJENUHAN LARUTAN.. Universitas Pendidikan Indonesia

[r]

Perubahan kecil bagi jumlah luas permukaan apabila panjang sisi tapak menyusut dari 5 ke 4.99 cm... Rajah 3 menunjukkan graf

Hasil LOMBA HUT RI ke 70 dan para pemenang lomba diputuskan oleh masing-masing Dewan Juri dan ditetapkan oleh Panitia melalui Surat Keputusan yang ditandatangani oleh Ketua

Pos Indonesia (Persero) Cabang Sinjai diaksanakan oleh bagian-bagian yang terkait.Misalnya pemantauan untuk kegiatan penerimaan dan pengeluaran serta pencatatan kas

Dalam upaya menganalisis akuntansi pertanggungjawaban dalam hal pemberian Imbalan Kerja maka teknik analisis yang digunakan adalah mengetahui struktur organisasi