ABSTRAK
Keakraban dengan dunia fotografi, serta kecintaan pada isu-isu seputar perempuan dan tubuhnya adalah salah satu alasan mengapa saya menulis tesis ini. Sepanjang pengetahuan saya, fotografi adalah medium yang lahir dari rahim budaya patriarki. Oleh karena itu amat wajar jika medium ini memiliki mata maskulin. Dengan matanya itu iatelah berhasil merevolusi kebudayaan manusia.Salah satunya adalah tentang bagaimana perempuan mengartikulasi tubuhnya. Medium yang dikembangkan oleh para pebisnis ini, diciptakan mengikuti logika pasar. Dengan logika ini pula, fotografi akhirnya menjadi salah satu medium yang murah dan begitu terjangkau. Dengan keterjangkauannya itu, gambar-gambar fotografis –sekarang ini- telah membombardir ruang hidup masyarakat pendukungnya. Tak pelak lagi, gambar-gambar ini akhirnya menjadi sebuah realitas, yang pada satu titik tertentu, dianggap sebagai sebuah kebenaran. Sebuah realitas yang terkonstruk oleh budaya yang menghegemoni medium ini beserta masyarakat pendukungya.
Mengamati fenomena itu, saya akhirnya tertarik untuk membaca sebuah karya foto yang secara personal amat menarik, serta amat relevan untuk menjawab asumsi saya di atas. Karya foto ini berjudul Nine Months garapan Diah Kusumawardani Wijayanti. Karya foto ini berbicara mengenai perempuan hamil di tri semester terakhir. Saya pun merumuskan dua buah pertanyaan yang menjadi benang merah dari tulisan ini. Yang pertama adalah bagaimana tubuh perempuan diartikulasi dalam seri Nine Months, serta bagaimanakah dunia fotografi yang dianggap maskulin, mempengaruhi citra-citra tubuh perempuan dalam seri ini, sehingga akhirnya menjadi realitas tubuh yang maskulin? Untuk membantu saya menjawab dua rumusan masalah itu saya menggunakan metode pembacaan foto milik Barthes serta pisau analisis milik Susan Sontag dan Naomi Wolf.
Lewat metode pembacaan foto milik Barthes, dengan melihat studium dari seri foto ini, serta mendapati punctum atau titik luka dari foto-foto ini, saya kemudian memahami bahwa Nine Months adalah salah satu karya fotografis yang memang menjadi pembentuk realitas maskulin itu. Gambar-gambar fotografis tentang perempuan hamil itu jelas telah turut mengkonstruk realitas tentang tubuh perempuan serta tentang keperempuanan itu sendiri.Nine Months, akhirnya berhasil mencipta kode-kode visual yang membuat masyarakat dengan cara pandang fotografis ini, menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang harus dimaknai dan bahkan dirayakan.Nine Months telah mencipta dan mereproduksi sebuahiron maiden bagi perempuan. Dan ironisnya, masyarakat ini menganggap imaji-imaji tentang ‘peti besi’ itu harus dirayakan bersama. Sebuah fenomena dalam masyarakat yang tidak bisa hidup tanpa gambar. Masyarakat pecandu gambar atau image junkies society.
ABSTRACT
My interest in photography and women’s issues were one of the reason
why I choose this theme as my thesis writing project. As far as I know, photography has a masculine ‘eyes’. With its ‘eyes’, photography has revolutionized human culture. One of the output is the way women articulating their bodies. Many historical sources said that photography was developed by businessmen. It was developed based on market logic. Then, that logic made photography became popular and reachable. Nowadays,photography and its product -photographic images- attack people’s living space. Finally, those images
become reality and considered as ‘the truth’. The truth which is constructed by the hegemonic culture, patriarchy. This, it becomes ‘masculine reality’.
One of the work that applied the reality is Nine Month. Nine Months is a
photo series about women’s pregnancy in the last third semester. The series really
attract me, especially the way the photographer described the women’s personality through picture. Because of it, I decided to read the series as my case study. To helped me writing, I summarized two basic question that connect all the dots. The first one is, how Nine Months articulating the female body and how the
photography world, which is considered as masculine world, influenced women’s
body images on this series?Borrowing the method from Barthes, I tried to read the photo series by searching and analysing the studium and the punctum of the series, then I combined all the elements and analyse it using the theory and concept from Susan Sontag and Naomi Wolf.
From the Barthes’s photo reading method and all the concpet and theory
from Sontag and Wolf, I acknowledged that through 21 images ofNine Months,
the reality about women’s body and the femaleness were constructed. Nine Months finally succeeded creating the visual codes which celebrated by the people. In the end, Nine Months createsan ‘iron maiden’ and ironically, peopleconsidered the ‘iron maiden’as a casual thing and together they celebrate it. A phenomenoncelebrated in the society that cannot live without photographic images, an ‘images junkies’ society.
MENGARTIKULASI TUBUH PEREMPUAN DALAM FOTO
(STUDI PADA SERI FOTO NINE MONTHS
KARYA DIAH KUSUMAWARDANI WIJAYANTI)
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Oleh Lucia Dianawuri
096322007
Program Magister IlmuReligidanBudaya UniversitasSanata Dharma
KATA PENGANTAR
Kecintaan saya pada fotografi serta isu-isu seputar perempuan lah yang
membuat saya berjibaku selama kurang lebih empat semester dalam tesis ini.
Waktu yang tidak sebentar. Melelahkan,namun –pada akhirnya- jadi sangat menyenangkan. Banyak pembelajaran dan keriaan-keriaan yang belum tentu bisa
saya dapatkan di luar kampus Ilmu Religi Budaya (IRB) ini. Oleh karena itu,
bolehlah saya berucap banyak terimakasih kepada Semesta Raya, mentor, guru,
sahabat serta kawan-kawan yang membuat rentang waktu 2009 hingga 2014 ini
begitu menyenangkan.
Kepada Guru saya Bapak St. Sunardi, terimakasih banyak atas waktu,
energi, inspirasi dan diskusi-diskusi singkatnya, serta memperbolehkan saya
mencuri–banyak sekali- ilmunya. Untuk Bapak Supratiknya, mbak Katrin Bandel, Romo Budi Subanar, Romo Baskara, Romo Haryatmoko, terimakasih atas segala
inspirasi dan diskusi-diskusi cerdas dan cergasnyadi ruang-ruang kelas atau ketika
berada di selasar jurusan ketika kita tidak sengaja berjumpa. Kepada Ibu Sri
Mulyani yang sudah menyediakan waktu dan energinya untuk menjadi salah satu
penguji tesis saya, terimakasih tak terhingga Bu. Juga tidak lupa kepada Pak
Budiawan serta Pak George yang sempat menjadi dosen pengampu saya di IRB
selama beberapa semester, terimakasih banyak atas waktu dan pertemuan singkat
yang begitu bermakna.
Untuk Mbak Dessy, terimakasih atas segala bantuannya, baik administrasi
terimakasih atas kopi hitam yang selalu membuat saya tetap terjaga. Juga untuk
mbak Henky yang sempat membantu saya pada semester-semester awal di IRB.
Untuk teman dan sahabat IRB 2009, Elly, Leo, Titus, Mbak Lulud, Anes,
Fairuz, Herlin, Abed, Mas Probo, Agus, Mei, Rhino, Vita dan Iwanterimakasih
atas waktu-waktu di kelas, kantin, perpustakaan, kos, atau di perempatan jalan
serta pertemuan-pertemuan tak terduga kita. Juga untuk teman-teman lintas
angkatan IRB, luar lingkaran IRB, teman-teman Warung Kopi Lidah
Ibu,teman-teman Sanata Dharma, Ibu,teman-teman-Ibu,teman-teman Universitas Indonesia jurusan Antropologi,
teman-teman Kelas Pagi Yogyakarta, teman-teman Cephas Photo
Forum,teman-teman Galeri ANTARA terutama untuk mbak Diah yang memperbolehkan saya
membaca karyanya secara personal, teman-teman Kantor Berita FOTO
ANTARA, sahabat-sahabat ku terkasih yang membuatku selalu merasa beruntung,
Ninin, Nisa, Bang Sihol, Bude Novi, Oscar, Demus, Berto dan Juno. Juga kepada
METALLICA, karena musik kalian saya lebih fokus menulis \m/.I love you guys.
Terakhir untuk keluargaku tercinta, Bapak, Ibu, Mas Anton, dan Mbak
Ateh, terimakasih untuk dukungan moral serta finansial yang tak terhitung lagi.
Terimakasih banyak. Semoga tesis yang sederhana dan jauh dari sempurna ini
bermanfaat bagi khalayak pembaca sekalian.
ABSTRAK
Keakraban dengan dunia fotografi, serta kecintaan pada isu-isu seputar perempuan dan tubuhnya adalah salah satu alasan mengapa saya menulis tesis ini. Sepanjang pengetahuan saya, fotografi adalah medium yang lahir dari rahim budaya patriarki. Oleh karena itu amat wajar jika medium ini memiliki mata maskulin. Dengan matanya itu iatelah berhasil merevolusi kebudayaan manusia.Salah satunya adalah tentang bagaimana perempuan mengartikulasi tubuhnya. Medium yang dikembangkan oleh para pebisnis ini, diciptakan mengikuti logika pasar. Dengan logika ini pula, fotografi akhirnya menjadi salah satu medium yang murah dan begitu terjangkau. Dengan keterjangkauannya itu, gambar-gambar fotografis –sekarang ini- telah membombardir ruang hidup masyarakat pendukungnya. Tak pelak lagi, gambar-gambar ini akhirnya menjadi sebuah realitas, yang pada satu titik tertentu, dianggap sebagai sebuah kebenaran. Sebuah realitas yang terkonstruk oleh budaya yang menghegemoni medium ini beserta masyarakat pendukungya.
Mengamati fenomena itu, saya akhirnya tertarik untuk membaca sebuah karya foto yang secara personal amat menarik, serta amat relevan untuk menjawab asumsi saya di atas. Karya foto ini berjudul Nine Months garapan Diah Kusumawardani Wijayanti. Karya foto ini berbicara mengenai perempuan hamil di tri semester terakhir. Saya pun merumuskan dua buah pertanyaan yang menjadi benang merah dari tulisan ini. Yang pertama adalah bagaimana tubuh perempuan diartikulasi dalam seri Nine Months, serta bagaimanakah dunia fotografi yang dianggap maskulin, mempengaruhi citra-citra tubuh perempuan dalam seri ini, sehingga akhirnya menjadi realitas tubuh yang maskulin? Untuk membantu saya menjawab dua rumusan masalah itu saya menggunakan metode pembacaan foto milik Barthes serta pisau analisis milik Susan Sontag dan Naomi Wolf.
Lewat metode pembacaan foto milik Barthes, dengan melihat studium dari seri foto ini, serta mendapati punctum atau titik luka dari foto-foto ini, saya kemudian memahami bahwa Nine Months adalah salah satu karya fotografis yang memang menjadi pembentuk realitas maskulin itu. Gambar-gambar fotografis tentang perempuan hamil itu jelas telah turut mengkonstruk realitas tentang tubuh perempuan serta tentang keperempuanan itu sendiri.Nine Months, akhirnya berhasil mencipta kode-kode visual yang membuat masyarakat dengan cara pandang fotografis ini, menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang harus dimaknai dan bahkan dirayakan.Nine Months telah mencipta dan mereproduksi sebuahiron maiden bagi perempuan. Dan ironisnya, masyarakat ini menganggap imaji-imaji tentang ‘peti besi’ itu harus dirayakan bersama. Sebuah fenomena dalam masyarakat yang tidak bisa hidup tanpa gambar. Masyarakat pecandu gambar atau image junkies society.
ABSTRACT
My interest in photography and women’s issues were one of the reason
why I choose this theme as my thesis writing project. As far as I know, photography has a masculine ‘eyes’. With its ‘eyes’, photography has revolutionized human culture. One of the output is the way women articulating their bodies. Many historical sources said that photography was developed by businessmen. It was developed based on market logic. Then, that logic made photography became popular and reachable. Nowadays,photography and its product -photographic images- attack people’s living space. Finally, those images
become reality and considered as ‘the truth’. The truth which is constructed by the hegemonic culture, patriarchy. This, it becomes ‘masculine reality’.
One of the work that applied the reality is Nine Month. Nine Months is a
photo series about women’s pregnancy in the last third semester. The series really
attract me, especially the way the photographer described the women’s personality through picture. Because of it, I decided to read the series as my case study. To helped me writing, I summarized two basic question that connect all the dots. The first one is, how Nine Months articulating the female body and how the
photography world, which is considered as masculine world, influenced women’s
body images on this series?Borrowing the method from Barthes, I tried to read the photo series by searching and analysing the studium and the punctum of the series, then I combined all the elements and analyse it using the theory and concept from Susan Sontag and Naomi Wolf.
From the Barthes’s photo reading method and all the concpet and theory
from Sontag and Wolf, I acknowledged that through 21 images ofNine Months,
the reality about women’s body and the femaleness were constructed. Nine Months finally succeeded creating the visual codes which celebrated by the people. In the end, Nine Months createsan ‘iron maiden’ and ironically, peopleconsidered the ‘iron maiden’as a casual thing and together they celebrate it. A phenomenoncelebrated in the society that cannot live without photographic images, an ‘images junkies’ society.
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL...i
LEMBAR PERSETUJUAN...ii
LEMBAR PENGESAHAN...iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS...iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA...v
KATA PENGANTAR...vi
ABSTRAK...viii
ABSTRACT...ix
DAFTAR ISI...x
BAB I PENDAHULUAN...1
A. LATAR BELAKANG...1
B. TEMA PENELITIAN...5
C. RUMUSAN MASALAH...5
D. TUJUAN PENELITIAN...6
E. PENTINGNYA PENELITIAN...6
F. TINJAUAN PUSTAKA...7
G. KERANGKA TEORITIS...11
1. Teori Foto...11
2. Teori Tentang Perempuan...15
H. METODE PENELITIAN...18
2. Teknik Pengumpulan Data...19
3. Teknik Pengolahan Data...19
a. Membaca foto dengan metode fenomenologi sinis Barthes...19
b. Menganalisa dengan teori milik Susan Sontag serta teori milikNaomi Wolf...20
c. Meramu hasil pembacaan dan analisa dengan gambaran dunia fotografi di Indonesia...21
I. SKEMA PENULISAN...21
BAB II GAMBARAN DUNIA FOTOGRAFI DI INDONESIA...23
A. DARI LUKISAN CAHAYA HINGGA KODAK...23
B. GAMBARAN DUNIA FOTOGRAFI DI INDONESIA...27
1. Kedatangan Fotografi...27
2. Perkembangan Dunia Fotografi di Indonesia...30
a. Fotojurnalistik di Indonesia...31
b. Fotografi Komersil dan Amatir di Indonesia...34
C. IMAJI TUBUH PEREMPUAN DALAM RANAH FOTOGRAFI DI INDONESIA...39
1. Imaji Tubuh Cantik Sempurna...39
2. Imaji Tubuh Cantik Tidak Sempurna Ketika Hamil...47
BAB III IMAJI TUBUH PEREMPUAN DALAM SERI FOTO NINEMONTHS...53
A. DI BELAKANG LENSA NINE MONTHS...53
B. MEMAMERKAN KEHAMILAN DI MAL...56
1. Aktif Juga Sehat...63
2. Funky, Keren, Menyenangkan...65
3. Mandiri dan Berkelas...69
D. HAMIL DAN PERAN IBU...72
E. HAMIL DAN TUBUH...76
F. HAMIL DAN SENSUALITAS...82
BAB IV MENGARTIKULASI TUBUH CANTIK...86
A. FOTOGRAFI SEBAGAI PEMBENTUK REALITAS YANG MASKULIN...87
1. Nine Months yang Komersil...87
2. Nine MonthsSebagaiRealitasMaskulin...92
B. MENGARTIKULASI TUBUH PEREMPUAN...96
1. Tubuh yang Paradoks...96
2. Tubuh Perempuan yang Tidak Nyata...101
3. Tubuh Hamil yang Kudus...105
C. LAUTAN SAMPAH VISUAL...108
1. Memaknai Sampah Visual...110
2. Merayakan Sampah Visual...114
BAB V PENUTUP...121
DAFTAR PUSTAKA...127
B
BAABBII P
PEENNDDAAHHUULLUUAANN
A. LATAR BELAKANG
Seingat saya, semenjak kecil ada dua dunia yang sudah sangat akrab
dengan saya. Hingga saya dewasa pun, dunia itu masih begitu dekat. Dunia itu
adalah dunia perempuan serta dunia fotografi.
Saya menjadi begitu akrab dengan dunia perempuan, salah satunya karena
saya terlahir dengan alat kelamin perempuan. Identifikasi alat kelamin itulah yang
membuat kedua orang tua saya secara sosial dan budaya, memperkenalkan,
membiasakan serta mendidik saya menjadi perempuan. Misalnya saja, saya diberi
nama perempuan, baju-baju yang saya kenakan dari bayi adalah baju-baju khas
perempuan serta segala nasihat akan konstruk diri dan dunia yang ditransfer
kepada saya adalah segala yang berhubungan dengan perempuan.
Sementara untuk dunia fotografi, keakraban saya dimulai sejak Bapak
memotret momen saya mulai tengkurap. Bapak yang kebetulan seorang pehobi
fotografi, gemar sekali mengabadikan tiap momen dalam keluarga. Foto-foto yang
dipotret oleh Bapak itu adalah salah satu referensi awal saya mengartikulasikan
dunia. Misalnya saja, foto-foto Bapak tentang Simbah (Kakek), Bulik (adik
perempuan Bapak), Pakde (kakak laki-laki Bapak) atau sepupu saya yang tinggal
di Playen, Gunungkidul. Foto-foto itu seperti memberi gambaran tentang asal-usul
Bapak, latar belakang hidupnya, serta bagaimana Bapak bisa sampai merantau ke
Selain akrab dengan foto-foto hasil karya Bapak, ketika tumbuh remaja
saya pun mulai memotret sendiri. Kamera pertama saya adalah sebuah kamera
pocket bermerk Fuji. Baru ketika memasuki bangku kuliah dan bergabung dalam
sebuah klub visual di jurusan, saya memiliki sebuah kamera SLR (Single Lens
Reflect) analog. Semenjak itu, fotografi jadi semacam media ekspresi untuk
mengartikulasikan isi dunia di sekitar saya.
Keakraban saya dengan dunia fotografi itu membuat saya lebih sensitif
pada gambar-gambar fotografis yang sudah membombardir dunia sekarang ini.
Seperti “hantu”, gambar-gambar itu bergentayangan dimana-mana, televisi, media
cetak ataupun online, selebaran hingga bilboard-bilboard besar yang berdiri di
pinggir jalan.
Dan, konsekuensi logis dari bombardir gambar-gambar fotografis itu
adalah masuknya citra-citra itu dalam ranah pikir serta pengetahuan. Akibatnya,
secara perlahan, gambar-gambar fotografis itu dianggap sebagai realitas. Lewat
gambar-gambar itu pun saya mengartikulasikan dunia, dan diri saya sendiri.
Karena saya begitu tertarik dan makin lama makin kritis pada dunia
perempuan yang melingkupi saya, dari sekian banyak gambar fotografis yang ada
di dalam dunia saya, ada satu tipe gambar fotografis yang seringkali
memunculkan kegelisahan. Kegelisahan itu timbul karena secara tidak langsung
telah mempengaruhi cara saya melihat diri, serta mengartikulasi diri sebagai
perempuan.
Kegelisahan yang tidak muncul baru-baru saja itu, mulai merasuki saya
perlahan ketika saya mulai beranjak remaja. Ketika itu saya sempat berlangganan
berusia antara 12 sampai 17 tahun itu selalu menampilkan citra-citra perempuan
remaja yang, kurang lebih, memiliki kesamaan. Bertubuh langsing, tinggi, berkulit
putih, dan berambut hitam lurus. Ketika itu, saya pun mengartikulasikan sendiri,
bahwa perempuan yang cantik dan menarik itu adalah perempuan-perempuan
dengan tipologi seperti itu. Sementara itu, untuk tipe perempuan seperti saya1,
tidak masuk golongan cantik dan menarik.
Pengetahuan itu pun terus terbawa sampai saya beranjak dewasa sampai
saya mulai berkenalan dengan buku-buku serta pengetahuan tentang isu-isu
perempuan, seks, seksualitas dan gender. Saya pun mulai mempertanyakan
tentang konstruk perempuan cantik, dan makin kritis mengamati dunia perempuan
di seputar kehidupan saya. Apalagi, bukan hanya majalah Gadis yang
menampilkan citra tubuh perempuan seperti itu. Sepanjang pengalaman saya,
selama remaja hingga dewasa, majalah-majalah perempuan dewasa, serta
majalah-majalah khusus pria, televisi ataupun berbagai foto fashion dari sejumlah
fotografer, seringkali menampilkan citra tubuh yang serupa.
Dari pengamatan saya, ternyata memang ada persepsi umum bahwa foto
perempuan yang menarik perhatian khalayak adalah yang menampilkan
perempuan dengan tampilan tubuh serupa itu. Salah satu yang cukup representatif
untuk menggambarkan foto-foto perempuan di ranah fotografi Indonesia adalah
situs komunitas fotografi terbesar di negeri ini, juga Asia Tenggara,
www.fotografer.net. Dalam situs ini, khususnya pada kategori „model‟, banyak
sekali ditampilkan foto-foto perempuan dengan citra-citra demikian.
1
Budaya patriarki2 yang mewarnai ruang hidup fotografi secara dominan,
semakin menguatkan asumsi bahwa fotografi adalah dunia laki-laki. Asumsi itu
mungkin saja berangkat dari fakta bahwa fotografi awalnya memang diciptakan
oleh laki-laki3 dan mayoritas para penggelutnya (fotografernya), khususnya di
Indonesia, adalah laki-laki4.
Erik Prasetya5, salah seorang fotografer senior Indonesia, sempat
mengatakan bahwa dalam pengamatan sekilas memang tampak bahwa pekerjaan
fotografi di Indonesia didominasi oleh pekerja pria. Dan ini tidak hanya kelihatan
di kantor koran atau majalah, tetapi juga di studio foto. Bukan berarti di Indonesia
tidak ada fotografer perempuan, tetapi, sepertinya banyak perusahaan media yang
lebih menyukai fotografer laki-laki atau setidaknya visi fotografer laki-laki6.
Dalam sebuah forum diskusi7 pada situs fotografer.net, terjadi
pembicaraan yang secara eksplisit menggambarkan bahwa memotret adalah
2
Subordinasi perempuan secara struktural yang secara konseptual memiliki konotasi bahwa laki-laki secara struktural memiliki kedudukan yang lebih tinggi atau superior. (Barker, 281)
3
Fotografi pertama kali dikembangkan oleh para ilmuwan Barat yang melakukan berbagai percobaan dengan cahaya, dan bahan-bahan kimia. Ilmuwan pengembang ilmu fotografi, ketika itu (sekitar abad 19) dimonopoli oleh kaum lelaki, diantaranya adalah Joseph Nicephore Niepce serta Louis Daguerre. Lebih jelasnya bisa dibaca pada Bab II.
4
Sedikit gambaran mengenai dominasi laki-laki dalam dunia fotojurnalistik dapat dilihat pada sebuah acara penganugerahan yang diselenggarakan oleh organisasi Pewarta Foto Indonesia (PFI). Penganugerahan PFI pertama yang dilaksanakan pada bulan Februari tahun 2010, hanya diikuti oleh sedikit fotografer perempuan. Dari seluruh peserta, hanya ada 20 persen fotografer perempuan yang menjadi peserta. Dari 20 persen peserta perempuan itu, hanya satu fotografer perempuan yang memenangkan beberapa kategori penghargaan PFI. Fotografer itu adalah Lasti Kurnia dari Harian Kompas. Selain dari jumlah peserta, hanya ada satu juri perempuan yang menjadi dewan penilai penganugerahan. Ia adalah Enny Nuraheni, seorang editor foto senior di Kantor Berita Reuters perwakilan Indonesia. Sedangkan keempat juri lainnya adalah laki-laki. Mereka adalah Kemal Jufri, Oscar Motuloh, Julian Sihombing serta Seno Gumira Ajidarma. 5
Lahir di Padang, Sumatera Barat, 15 Febuari 1958. 1977-1984 belajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) Jawa Barat, Jurusan Teknik Pertambangan. 1985-sekarang, fotografer freelance untuk media massa lokal dan asing, iklan, produksi film dan pameran kelompok. Salah seorang penggerak komunitas Salihara, Jakarta.
6
Disampaikan oleh Erik saat menjadi kurator untuk pameran „Mata Perempuan, Seharusnya‟, yang berlangsung di Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 27 Mei-8 Juni 2007.
7
pekerjaan laki-laki, sementara perempuan lebih suka dipotret. Berikut dua buah
kutipannya:
“Kebanyakan perempuan demennya ngumpulin resep dan masak sih, dan kebanyakan fotografi dianggap sebuah kegiatan gak penting dan ngabis-ngabisin „anggaran belanja negara.”
Salah seorang peserta diskusi berkelamin perempuan juga berkata:
“Btw, gue jadi inget kata-kata adik gue yang cewek, „mbak-mbak, ngapain sih beli lensa lagi lensa lagi, kamera lagi kamera lagi, kalo aku sih duitnya mending buat shopping atau ke salon‟, kalo kata ibu
gue „hah..tripod kaya gini harganya 4 jeti? Mendingan beli berlian
deh. Ngomong-ngomong hobby fotografi itu cocok buat cewek-cewek yang belum punya anak. Lah kalo punya anak nanti hunting-hunting pergi melulu, trus anaknya gimana? Kalo laki-laki si enak
aja, kan tinggal pergi.‟ Sekali lagi kodrat berbicara kenapa fotografer
perempuan masih sedikit jumlahnya.”
Berbagai hal tersebut diatas itulah yang memunculkan asumsi, bahwa
foto-foto yang banyak mengeksploitasi tubuh perempuan itu berhubungan dengan
dunia fotografi di Indonesia yang didominasi oleh laki-laki.
Untuk membuktikan asumsi itu, saya mencoba melakukan pembacaan
karya foto salah satu fotografer Indonesia, dia adalah Diah Kusumawardani
Wijayanti dengan seri fotonya, Nine Months.
B. TEMA PENELITIAN
Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah tentang bagaimana tubuh
perempuan diartikulasikan dalam sebuah karya foto.
C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah tubuh perempuan diartikulasikan dalam seri Nine Months
karya Diah Kusumawardani Wijayanti ?
2. Bagaimanakah dunia fotografi yang dianggap maskulin, mempengaruhi
citra-citra tubuh perempuan dalam seri Nine Months, sehingga akhirnya
menjadi realitas tubuh yang maskulin ?
D. TUJUAN PENELITIAN
1. Membaca foto perempuan, terutama tentang tubuh perempuan, lewat teori
foto Barthesian serta Susan Sontag.
2. Menganalisa dan memetakan hasil pembacaan, kemudian meramunya
dengan konsep dan teori tentang perempuan serta realitas fotografi yang
ada di Indonesia.
E. PENTINGNYA PENELITIAN
1. Pentingnya penelitian bagi Kajian Ilmu Budaya dan Humaniora,
khususnya di Indonesia, yaitu menambah wacana mengenai perempuan
dan fotografi.
2. Pentingnya penelitian bagi Kajian Perempuan, khususnya di Indonesia,
yaitu dapat menambah sumbangan wacana tentang bagaimana
perempuan atau imaji soal perempuan dikonstruk lewat media fotografi.
3. Pentingnya penelitian ini bagi masyarakat foto ataupun penikmat foto
Indonesia, yaitu dapat menjadi sumbangan kritis bagi dunia fotografi
Indonesia, sehingga kedepannya makin banyak lagi karya foto yang
4. Pentingnya penelitian ini bagi masyarakat secara umum, yaitu dapat
menjadi semacam media refleksi yang tidak hanya reflektif tetapi juga
informatif.
F. TINJAUAN PUSTAKA
Sejumlah pustaka sempat mengangkat tema, yang kurang lebih, memiliki
ide besar sama dengan penelitian yang saya lakukan ini. Diantaranya adalah
artikel berjudul “Tubuh: Sejarah Perkembangan dan Berbagai Masalahnya.”8
Artikel yang dimuat dalam Jurnal Perempuan edisi 15 dengan tema besar
„Wacana Tubuh Perempuan‟ ini berbicara mengenai bagaimana citra publik tubuh
perempuan selama ini telah dikonstruk oleh ideologi patriarkal. Akibatnya,
citra-citra publik itu tersosialisasi dan tertanam kuat dalam masyarakat yang akhirnya
membuat ideologi patriarkal menjadi standar dalam menilai tubuh perempuan.
Dalam artikel ini digambarkan bagaimana tubuh perempuan secara
struktural telah disubordinasi. Disubordinasi oleh sejarah manusia, dalam bidang
kesenian, dalam industri kecantikan dan pakaian, serta dalam teknologi.
Seksualitas perempuan juga turut dikonstruksi oleh ideologi patriarkal, dan oleh
ideologi ini, seksualitas perempuan dikebiri untuk tidak menjadi miliknya sendiri.
Esai yang ditulis Aquarini Priyatna Prabasmoro berjudul “Penubuhan
Kehamilan: Narasi, Subjektivitas dan Tantangan Patriarka”l9 adalah salah satu
pustaka yang juga berbicara tentang tubuh perempuan, khususnya tubuh
perempuan yang hamil. Aquarini menceritakan pengalaman kehamilannya dan
berkisah bahwa kehamilan bukan semata peristiwa natural biologis. Kehamilan
8
Miranti Hidajadi, Tubuh Sejarah Perkembangan dan Berbagai Masalahnya, Jurnal Perempuan Edisi 15.
9
adalah sebuah peristiwa sosial budaya, sekaligus sebuah narasi yang memiliki
berbagai konsep di dalamnya. Aquarini menunjukkan bahwa penubuhan
kehamilan mengganggu gagasan mengenai individualitas sebagai „individu yang
tidak dapat dibagi‟. Pada tubuh yang hamil gagasan individualitas dapat
dipertanyakan karena dalam tubuh yang hamil, seseorang tidak dapat
membedakan dirinya sebagai dirinya sendiri atau sebagai „liyan‟ .
Artikel berjudul “Imajinasi Perempuan Hamil dalam Obyek Fotografi”10
oleh Mohammad Mahpur adalah artikel yang kurang lebih memiliki jiwa yang
sama dengan penelitian saya. Dalam artikel ini dikatakan bahwa, dalam
masyarakat kita perempuan yang cantik adalah perempuan yang memiliki tubuh
semampai, bertubuh langsing, serta memiliki keseimbangan berat badan.
Konstruksi ini akhirnya membuat sejumlah perempuan menjadi cemas ketika
tubuhnya mengalami perubahan, apalagi jika berat badannya bertambah.
Saat kehamilan tiba, imajinasi tubuh seksi dan langsing mulai pudar dan
menggerogoti situasi mental perempuan. Banyak perempuan yang membayangkan
bahwa kehamilan adalah akhir dari kelangsingan. Mereka juga berharap, tubuhnya
akan kembali langsing pasca melahirkan. Sebagian yang lain akhirnya pasrah,
karena pasca melahirkan tubuh berubah bentuk dan sulit untuk benar-benar
kembali ke bentuk semula. Pengalaman ini tampaknya, sudah menjadi
kegelisahan umum banyak perempuan.
Namun dalam ranah fotografi, objek perempuan hamil bisa menjadi begitu
menarik dan mitos seputar kehamilan bisa ditanggalkan. Sejumlah foto
perempuan hamil telah mendaur ulang mitos-mitos itu. Ketakutan perempuan
10
bahwa ketika hamil ia tidak lagi sensual dan akan terkungkung dalam
fungsi-fungsi maternal, serta ikon-ikon sensualitas tubuh perempuan, seperti payudara,
pinggang atau pinggul akan mengalami perubahan signifkan, bisa digeser menjadi
imajinasi yang sensual. Imajinasi sensualitas yang baru dari perempuan hamil,
serta imajinasi keindahan baru dari tubuh perempuan hamil, bisa dikreasi dan
dimunculkan dalam sebuah karya fotografi.
Menurut Mohammad, sensualitas sebagai makna baru dalam eksistensi
perempuan hamil tidak semata pada seksualitas erotik tetapi lebih kaya dari itu. Ia
membangun imajinasi tentang makna baru keindahan tubuh, kebahagiaan,
proyeksi masa depan dan beragam tafsir tentang daya tarik dan kegairahan
kehidupan.
Berbagai hal yang disebutkan di atas itulah yang menjadi premis dasar
berpikir saya, bahwa citra publik perempuan adalah hasil konstruksi sebuah
budaya yang telah menghegemoni. Fotografi yang lahir dan tumbuh dalam budaya
itu, adalah salah satu medium penting yang bertanggung jawab membentuk
citraan-citraan publik perempuan.
Asumsi saya tentang fotografi yang lahir dalam dunia maskulin ini
dipertegas oleh artikel “Women and Photography”11 yang ditulis oleh Edna R.
Bennet. Artikel ini memberi gambaran bahwa dunia fotografi adalah dunia
maskulin karena bidang ini adalah sebuah profesi yang belum terlalu diminati
oleh perempuan.
Dalam artikel ini, Edna memberi gambaran bahwa perempuan dan
laki-laki sama-sama terkonstruksi oleh budaya patriarki. Edna menggambarkan
11
keheranannya akan keengganan perempuan bergelut di dunia fotografi. Bagi
Edna, fotografi adalah sebuah lapangan pekerjaan yang amat pas dengan
bakat-bakat yang dimiliki oleh perempuan. Menurut Edna, kemampuan untuk berbicara
secara alami dengan berbagai jenis manusia, kemampuan untuk mengurusi bahan
tekstil, kemampuan untuk mengatur buah dan bunga, kemampuan untuk membaca
berbagai ekspresi dan karakter, melihat berita spot, merespon kecantikan dari
sebuah desain dan struktur adalah berbagai kelebihan yang dimiliki oleh
perempuan serta dapat digunakan untuk mengembangkan dunia fotografi.
Penjelasan yang amat patriarkis ini memberi gambaran mengenai kondisi
dunia fotografi pada saat itu. Menurut dia, perempuan memiliki berbagai
ketidakuntungan untuk bergerak dalam bisnis fotografi, karena banyak laki-laki
yang masih menganggap perempuan tidak bisa bekerja dalam bidang yang
membutuhkan pengetahuan teknik. Selain itu juga ada anggapan di masyarakat,
bahwa kebanyakan perempuan tidak akan menyelesaikan pekerjaannya dengan
tuntas.
Selain Edna R. Bennet, Linda Nochlin dalam artikelnya yang berjudul
“Why Have There Been No Great Women Artist”12, mengatakan bahwa tampak
sangat jelas bagi perempuan yang ingin berkarir -paling tidak dalam dunia seni-
harus mampu mengadopsi atribut-atribut maskulin serta menyerap ide-ide
maskulin agar perempuan dapat sukses serta terus sukses dalam dunia seni.
Ucapan Nochlin itu merupakan gambaran yang sangat eksplisit, bahwa “dunia ini
adalah dunia laki-laki”. Fotografi sebagai salah satu media untuk
12
mengekspresikan rasa seni itu, tampaknya juga amat sulit untuk melepaskan diri
dari ide-ide maskulin itu.
G. KERANGKA TEORITIS
Dalam penelitian ini saya membagi kerangka teori yang saya gunakan
menjadi dua bilah pisau analisis yang akan membantu saya melakukan analisa.
Yang pertama adalah teori tentang foto untuk membantu saya melakukan
pembacaan foto milik Diah, serta yang kedua adalah teori tentang perempuan
untuk membantu saya menganalisa hasil pembacaan dari foto-foto tersebut.
1. Teori Foto
Teori foto yang saya gunakan adalah milik Roland Barthes serta Susan
Sontag. Dalam buku Camera Lucida, Barthes mengatakan bahwa sebuah foto
akan bermakna jika dihadapkan pada saya atau pembaca.
“Such a desire really meant that beyond the evidence provided by technology and usage, and despite its tremendous contemporary
expansion, I wasn‟t sure that Photography existed, that it had a “genious” of its own”13
.
Sebagai seorang pembaca, kita dapat mengatakan apa saja tentang apa
yang kita lihat. Bagi Barthes, rasa tertarik pada gambar atau foto adalah hal
penting yang membantu kita menentukan kode atau satuan-satuan bermakna,
karena perasaan itu yang membuat kita terpancang pada satuan-satuan tertentu.
Ada lima alasan mengapa Barthes menyenangi gambar tertentu, yaitu memberi
informasi (to inform), menunjuk (to signify), melukiskan (to paint), mengejutkan
(to suprise), dan membangkitkan gairah (to waken desire).
13
Menurut pengalaman Barthes, ada tiga tahap pengalaman dalam
merefleksikan foto: pengalaman memilih atau memperhatikan foto-foto tertentu
dari lautan foto yang kita jumpai setiap hari dalam media atau kita simpan dalam
album keluarga kita, pengalaman tertarik pada unsur-unsur tertentu dalam foto,
dan pengalaman terpaku pada satu titik paling penting dalam foto.
“I observed that photograph can be the object of three practices (or of
three emotions, or of three intentions): to do, to undergo, to look. The operator is the Photographer, The spectator is ourselves, all of us who glance through collections of photographs-in magazines and
newspaper, in books, albums, archives....”14 .
Barthes menamakan pendekatannya dengan nama fenomenologi sinis.
“In this investigation of photography, I borrowed something from phenomenology‟s project and something from its language. But it
was a vague, casual, even cynical phenomenology, so readily did it agree to distort or to evade its principles according to the whim of my
analysis.”15
Pendekatan fenomenologi dipilih Barthes karena lebih sesuai untuk
melakukan advonturir yang dimulai dari rasa tertarik saya pada sebuah foto
menuju esensi foto itu sendiri dan kemudian kembali lagi ke saya.
The photograph itself is in no way animated (I do not believe in
“lifelike” photographs), but it animates me; this is what creates every adventure.16
Disebut fenomenologi karena pendekatan ini berangkat dari fenomena
pengalaman saya/pembaca) atas foto untuk mencari noeme („that has been‟) foto
tersebut.
“As Spectator I was interested in Photography only for “sentimental”
reasons; I wanted to explore it not as a question (a theme) but as a
wound: I see, I feel, hence I notice, I observe, and I think.”17
14
Ibidem hal 9. 15
Ibidem hal 20. 16
Ibidem hal 20. 17
Satu elemen yang tidak bisa dilepaskan oleh Barthes saat melakukan pembacaan
foto adalah pose dari objek yang ada di dalam foto itu. Dalam Camera Lucida
Barthes mengatakan bahwa pose adalah salah satu sifat paling dasar dan natural
dari sebuah foto.
“I might put this differently: what founds the nature of Photograpy is
the pose.”18
Pose ini artinya, bukan hanya bagaimana objek foto manusia bertingkah
laku di depan kamera.
“...for the pose is not, here, the attitude of the target or even a
technique of the Operator, but the term of an “intention” of reading: looking at a photograph, I inevitably include in my scrutiny the thought of that instant, however brief, in which a real thing happened
to be motionless in front of the eye.” 19
Mengenai foto, Susan Sontag20 menuliskan sejumlah esai yang termaktub
dalam buku On Photography. Pada salah satu esainya yang berjudul “In Plato’s
Cave”, Sontag mengatakan bahwafotografi telah merubah cara kita melihat dan
mengartikulasikan dunia di sekitar kita.
In teaching us a new visual code, photography alter and enlarge our notions of what is worth looking and what we have a right to observe. They are a grammar and, even more importantly, an ethics of seeing21.
Saat memotret pun, fotografer tidak bisa melepaskan diri dari selera serta
kesadarannya.
18
Ibidem hal 78. 19
Ibidem hal 78. 20
Susan Sontag adalah seorang penulis, serta filsuf asal Amerika Serikat. Lahir pada 16 Desember 1933 dan meninggal pada 28 Desember 2004. Sontag juga dikenal sebagai seorang pengamat budaya populer. Bukunya On Photography, yang mengupas serta membedah habis tentang dunia fotografi, terutama dalam konteks kultur di Amerika telah menjadi semacam tolok ukur bagi banyak praktisi foto serta pemikir fotografi untuk lebih kritis melihat dunia fotografi juga segala elemennya.
21
In deciding how a picture should look, in prefering one exposure to another, photographer are always imposing standards on their subjects.22
Sehingga, walau sepertinya yang dilakukan oleh kamera adalah
menangkap realita, namun sebenarnya fotografi adalah sebuah interpretasi
terhadap dunia, karena ada fotografer di belakangnya.
Lewat foto, dunia menjadi sebuah cerita berseri yang saling tidak
berhubungan, partikel yang berdiri sendiri dengan bebas, serta sebuah sejarah,
masa lalu, serta masa sekarang. Setiap foto juga memiliki makna yang beragam.
Melihat sesuatu dalam bentuk foto adalah memasuki objek-objek yang amat
menarik dan memiliki kebijaksanannya sendiri.
Dan menurut Sontag, fotografi telah menjadi candu bagi banyak orang. Ia
telah menjadi semacam realitas serta pengalaman estetik yang konsumtif.
Masyarakat industri telah merubah warganya menjadi image junkies.
Dalam esay “America, Seen Through Photographs, Darkly”, Sontag juga
mengatakan bahwa pada dekade awal kemunculan fotografi, karya-karya yang
diharapkan muncul adalah gambar-gambar yang „ideal‟. Artinya, standart ideal
yang sesuai dengan konstruksi budaya yang ada.
This is still the aim of most amateur photographers, for whom a beautiful photograph is a photograph of something beautiful, like a woman, a sunset.23
Pada beberapa dekade ini, fotografi telah berhasil melakukan revisi
tentang apa yang disebut cantik atau apa yang disebut jelek. Fotografi telah
berhasil merekonstruksi ide-ide tentang apa yang seharusnya ditampilkan,
utamanya di depan publik. Ia telah berhasil mencipta realitas itu sendiri. Dengan
22
Ibidem hal 6. 23
medium fotografi, tidak ada objek yang tidak dapat dibuat menjadi cantik serta
dibuat menjadi begitu penting bagi konsumsi publik
To photograph is to confer importance. There is probably no subject that cannot be beautified; moreover, there is no way to suppress the tendency inherent in all photographs to accord value their subjects. In the mansions of pre-democratic culture, someone who gets photographed is a celebrity.24
Dalam esai “The Heroism of Vision”, dibicarakan tentang bagaimana
suksesnya kamera menciptakan standar-standar kecantikan yang dianggap baku.
So successful has been the camera‟s role in beautifying the world that photographs, rather than the world, have become the standard of the beautiful.25
Foto tanpa kita sadari, telah menjadi norma dari bagaimana sesuatu
seharusnya tampak. Hal inilah yang kemudian mengubah ide dasar dari realita itu
sendiri. Hal ini makin menegaskan bahwa bukan hanya „sebuah aktifitas melihat‟,
tetapi yang terjadi adalah „melihat secara fotografis‟ (photographic seeing).
Dimana, aktifitas ini adalah merupakan cara baru setiap orang untuk melihat serta
cara baru bagi setiap orang untuk bertingkah laku.
2. Teori Tentang Perempuan
Menurut Naomi Wolf, kini kita berada dalam sebuah era dimana
imaji-imaji perempuan cantik digunakan sebagai senjata politik untuk melawan
perkembangan perempuan. Era itu adalah, era dimana kecantikan menjadi mitos.
“Mitos kecantikan” adalah sebuah respon dari berbagai fenomena sosial di
masyarakat yang muncul sejak Revolusi Industri.
The beauty myth tells a story: The quality called “beauty” objectively
and universally exists. Women must want to embody it and men must want to possess women who embody it. This embodiment is an imperative for women and not for men, which situation is necessary
24
Ibidem hal 28. 25
and natural because it is biological, sexual, and evolutionary: Strong men battle for beautiful women, and beautiful women are more reproductively successful.26
Dan pada dasarnya, mitos kecantikan bukan tentang perempuan sama
sekali. Mitos ini sejatinya berbicara tentang institusi laki-laki dan kekuasaan yang
sudah ajeg.
Competition between women has been made part of the myth so that women will be divided from one another. Youth and (until recently)
virginity have been “beautiful” in women since they stand for
experiential and sexual ignorance.27
Menurut Naomi, mitos kecantikan sebenarnya sudah ada semenjak konsep
patriarki ada, namun dalam bentuk yang modern, mitos kecantikan sejatinya
adalah sebuah penemuan baru.
The myth flourishes when material constraints on women are dangerously loosened. Before the Industrial Revolution, the average
woman could not have had the same feelings about “beauty” that
modern women do who experience the myth as continual comparison to a mass-disseminated physical ideal.28
Sebelum perkembangan teknologi, terutama yang berhubungan dengan
produksi massal –seperti penemuan fotografi– perempuan tidak terbiasa melihat
imaji-imaji tentang perempuan. Ketika itu, saat keluarga adalah sebuah unit
produksi dan perempuan membantu kerja laki-laki, para perempuan yang bukan
berasal dari golongan aristokrat, dinilai dari kemampuan kerja, mengatur
ekonomi, kekuatan fisik serta kesuburannya.
Physical attraction, obviously, played its part; but “beauty” as we
understand it was not, for ordinary women, a serious issue in the marriage marketplace.29
26
Wolf, Beauty Myth, hal 12. 27
Ibidem hal 14. 28
Ibidem hal 14. 29
Namun, dalam bentuknya yang modern, mitos kecantikan, mendapatkan
pijakannya setelah era industrialisasi berkembang pesat. Ketika itu, imaji-imaji
tentang bagaimana perempuan „seharusnya‟ tampil mulai bermunculan.
Tahun 1840 an muncul foto telanjang seorang perempuan pekerja seks, di
pertengahan abad itu, muncul juga iklan-iklan yang menggunakan perempuan
„cantik‟ sebagai modelnya. Berbagai gambar perempuan yang ada di barang
-barang seni, kartu pos, serta berbagai -barang yang persebarannya di sekitar
perempuan-perempuan kelas menengah mulai memenuhi dunia saat itu. Perlahan
tapi pasti imaji-imaji itu mulai menjadi sebuah Iron Maiden (baju besi).
The resulting hallucination materializes, for women, as something all too real. No longer just an idea, it becomes three-dimensional, incorporating within itself how women live and how they do not live: It becomes the Iron Maiden. 30
Iron Maiden awalnya adalah sebuah alat penyiksaan yang berasal dari
Jerman abad pertengahan. Iron Maiden adalah sebuah peti berbentuk tubuh
manusia. Seseorang yang dimasukan dalam benda ini mustahil untuk bisa
bergerak dan keluar lagi. Ia pelan-pelan akan mati, tertikam duri-duri tajam yang
ada di dalam tubuh baju besi ini.
Lalu dalam konteks mitos kecantikan, menurut Naomi, perempuan yang
terjebak atau menjebak dirinya dalam halusinasi kecantikan itu, juga telah masuk
ke dalam Iron Maiden. Pelan-pelan ia akan mengalami hal-hal seperti seseorang
yang telah memasuki baju besi itu.
Budaya kita, membuat diri, wajah serta tubuh asli perempuan dalam baju
besi itu hilang dan digantikan bentuk sempurna dari Iron Maiden yang tidak akan
berubah sepanjang jaman. Para pembuat peti besi itu pun tidak akan pernah peduli
30
bahwa perempuan di dalam peti besi itu telah tersiksa, mati, lalu akhirnya
benar-benar hilang.
H. METODE PENELITIAN 1. Sumber Data
Sumber data primer dari penelitian ini adalah seri foto karya fotografer
Diah Kusumawardani Wijayanti berjudul Nine Months.31 Diah yang bergerak
pada jalur komersil ini memamerkan karya foto Nine Months nya di Plaza
Semanggi. Dalam karya foto itu ditampilkan sejumlah perempuan dari berbagai
usia serta profesi yang sedang hamil 9 bulan. Karya foto Diah, Nine Months,
dipilih karena karya foto ini, menurut saya, adalah salah satu karya tentang
perempuan yang cukup berbeda, yang pernah dikerjakan oleh fotografer
Indonesia.
Selain itu, kehamilan adalah salah satu tanda biologis paling purba dari
sifat keperempuanan. Secara biologis, hanya perempuan yang memiliki rahim dan
rahimlah yang memungkinkan seseorang untuk hamil. Pada saat itu, tubuh
perempuan secara natural mengalami perubahan, dari yang semula proporsional
menjadi semakin besar di sana-sini.
Dari foto-foto yang menampakkan salah satu tanda keperempuanan yang
paling purba itu, saya ingin melihat bagaimana tubuh perempuan diartikulasikan
dalam sebuah karya fotografi. Lewat kameranya, Diah memperlihatkan karakter
para perempuan itu.
31
Tubuh-tubuh hamil pun ditampilkan dengan cukup „vulgar‟. Vulgar
artinya, perut yang membuncit dengan garis-garis perut yang terbentuk secara
natural, benar-benar diekspos oleh Diah. Foto-foto yang diambil dengan teknik
studio ini memperlihatkan bagaimana Diah secara terang-terangan mengatur pose,
tata cahaya, busana, serta segi artistik dari foto ini. Dari foto yang terkesan tidak
natural ini, dapat dilihat bagaimana sebenarnya si pembidik membaca tubuh
perempuan yang hamil, lalu mengartikulasikannya dalam sebuah karya foto.
Dari studi atas karya foto Nine Months ini, saya berharap, bisa melihat
gambaran umum tentang bagaimana tubuh perempuan diartikulasikan dalam
ranah fotografi. Sebuah ranah yang sedang berkembang pesat di Indonesia, serta
cukup bertanggungjawab terhadap konstruksi akan citra perempuan beserta
tubuhnya.
Selain data primer, penelitian ini juga membutuhkan data sekunder berupa
kajian-kajian pustaka yang dapat digunakan sebagai rujukan serta berbagai data
literatur yang dapat menggambarkan tentang realitas fotografi dunia, khususnya
Indonesia.
2. Teknik Pengumpulan Data
Data primer didapat dari katalog pameran serta mengunduh dari dunia
maya. Untuk data sekunder, didapat dari perpustakaan, dunia maya, serta media
massa baik cetak ataupun online.
3. Teknik Pengolahan Data
a. Membaca foto dengan metode fenomenologi sinis Barthes.
Untuk melakukan pembacaan terhadap foto dengan teori Barthesian ini
satori. Studium adalah saat meraba-raba, mengeksplorasi unsur-unsur yang ada
dalam foto. Fase ini adalah saat kita menyesuaikan indera serta pengetahuan
kultural dengan objek yang ada dalam foto. Punctum adalah saat kita mulai
bergerak dan berhenti pada suatu titik karena titik itu mengesankan kita.
Mengesankan artinya titik pada foto itu mampu menimbulkan mourning atau
desire yang mendalam pada diri kita. Sedangkan satori adalah saat kita secara
personal telah melihat sesuatu yang ada pada foto itu that has been menjadi that
has there. Saat satori adalah saat dimana kita telah benar-benar „mengalami‟ foto
secara personal. Seperti ada sebuah pandangan (look) yang memancar dari foto.
Studium selalu memiliki kode, sementara punctum tidak. Melihat foto
adalah sebuah perjalanan dari studium ke punctum untuk memulihkan foto yang
mengancam kita. Menurut Barthes, ketika mencapai momen satori, kita telah
mencapai sebuah kegilaan foto.
b. Menganalisa dengan teori milik Susan Sontag serta teori milik Naomi Wolf.
Setelah meminjam metode fenomenologi sinis milik Barthes, foto yang
menimbulkan titik luka itu dianalisa dengan teori foto Sontag yang amat
signifikan membeberkan bagaimana fotografi bisa menjadi media pencipta realita.
Selanjutnya, agar pembacaan terhadap foto-foto ini tidak lepas dari
konten, maka perlu diramu dengan teori tentang perempuan bahwa tubuh
perempuan dikonstruksi serta diartikulasi oleh ideologi patriarkal. Sehingga
perempuan terperangkap dalam mitos-mitos kecantikan yang diibaratkan seperti
c. Meramu hasil pembacaan dan analisa dengan gambaran dunia fotografi di Indonesia.
Setelah melakukan pembacaan foto, dan menganalisanya dengan teori
milik Sontag dan Naomi Wolf, perlu dilakukan analisa lanjutan agar foto yang
dibaca tidak lepas dari konteks. Analisa ini bertujuan membuktikan asumsi dasar
dari seluruh penelitian ini, bahwa dunia fotografi Indonesia yang maskulin
mempengaruhi bagaimana tubuh perempuan diartikulasikan dalam sebuah karya
foto. Analisa ini dilakukan dengan menggunakan berbagai gambaran dunia
fotografi di dunia serta Indonesia pada khususnya.
I. SKEMA PENULISAN
Hasil penelitian ini akan disusun dalam lima bab. Bab pertama adalah
Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tema penelitian, rumusan masalah,
tujuan penelitan, pentingnya peneltian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis serta
metode penelitian.
Bab kedua adalah Gambaran Umum atau konteks dari objek penelitian ini.
Dalam penelitian dengan objek foto perempuan hamil sembilan bulan ini, maka
konteks yang digambarkan adalah tentang sejarah fotografi secara umum, serta
Indonesia pada khususnya. Selain itu, dalam bab ini juga akan digambarkan
tentang bagaimana tubuh perempuan dicitrakan serta dikonstruk untuk menjadi
„cantik yang sempurna‟ dalam dunia fotografi di Indonesia.
Bab ketiga adalah bagian yang berisi data-data pokok dalam penelitian ini.
karya Diah Kusumawardani. Singkatnya, bab ini akan berbicara mengenai
studium dari seri Nine Months.
Bab keempat adalah jawaban dari rumusan masalah yang telah saya
paparkan di atas. Bab ini akan menjabarkan tentang bagaimana fotografi menjadi
medium pembentuk realitas yang maskulin serta tentang bagaimana fotografi
menjadi medium yang mengartikulasikan tubuh perempuan. Penjabaran tersebut
akan dilakukan melalui titik-titik yang telah mulukai saya (punctum) dalam seri
Nine Months itu. Dalam bab ini juga akan berisi satu titik refleksi penulis yang
melihat bahwa sekarang ini gambar-gambar fotografis telah menjadi semacam
sampah visual, yang ironisnya –malah- dirayakan bersama-sama.
Bab kelima adalah Penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh penelitian
BAB II
GAMBARAN DUNIA FOTOGRAFI DI INDONESIA
Bab II akan membahas konteks dari tulisan ini, yaitu dunia fotografi di
Indonesia. Berbagai hal yang memberi gambaran tentang konteks dari penelitian
ini akan dijabarkan dalam sejumlah sub bab. Pada sub bab pertama akan dibahas
secara singkat tentang bagaimana fotografi mulai ditemukan, sub bab kedua akan
membahas tentang bagaimana medium ini masuk dan berkembang di Indonesia.
Sub bab ketiga akan membahas tentang imaji tubuh perempuan –baik yang
dikonstruk cantik ataupun tidak sempurna- dalam dunia fotografi di Indonesia.
A. DARI LUKISAN CAHAYA HINGGA KODAK
Menurut Focal Encyclopedia of Photography, secara literal istilah
fotografi diambil dari kata photos dan graphos yang berarti lukisan cahaya.
Kamera obscura adalah prinsip dasar dan paling awal dari fotografi yang
berhubungan dengan elemen cahaya ini.32 Kemudian menurut Encyclopedia of
Twentieth-Century Photography, kamera obscura, hadir jauh sebelum fotografi
benar-benar ada. Tanpa keberadaannya tidak mungkin ada fotografi.
32
Gambar 1.
Kamera obscura dari tahun 1817.33
Kamera obscura berarti “kamar gelap”. Ia berfungsi untuk memerangkap
cahaya yang masuk ke dalam. Prinsip kerjanya amat sederhana, cahaya yang
masuk ke ruang gelap lewat sebuah lubang kecil akan memproyeksikan gambar
terbalik. Gambar terbalik itu adalah realitas yang ada di luar kamera obscura.
Hasil rekam gambar kamera obscura baru tercapai pada tahun 1826 ketika
Joseph Nicephore Niepce, seorang bangsawan Prancis, melakukan berbagai
percobaan kimia dan memproduksi “heliograf” (tulisan matahari). Citra pertama
dari lukisan cahaya yang permanen itu terkenal dengan sebutan Le Grass. Le
Grass adalah nama apartemen Niepce, tempat ia membekukan plat heliografnya
yang menghasilkan citra lanskap dari jendela apartemennya.34
Lalu dalam artikel Fotografi dan Budaya Visual,35 Alexander Supartono
menyebutkan bahwa Louis Jacques Mande Daguerre lah yang melakuan
terobosoan yang akhirnya tercatat dalam sejarah fotografi. Setelah mengontak
Niepche, Daguerre berhasil membuat fotografi menjadi lebih praktis. Dalam
Focal Encyclopedia of Photography disebutkan bahwa pada 1826, Louis Jacques
33
Diunduh dari http://brightbytes.com/cosite/what.html. 34
Michael R. Peres, Focal Encyclopedia of Photography, hal 28 35
Mande Daguerre mengontak Niepche untuk bersama-sama mengembangkan
penemuan mereka. Lalu baru tiga tahun sesudahnya, Niepche dan Daguerre
berpartner untuk mencipta sebuah alat yang bisa merekam realitas. Akhirnya pada
1839, daguerreotype dipatenkan dan diumumkan secara besar-besaran ke dunia
[image:39.595.85.515.199.634.2]sebagai kamera pertama.
Gambar 2.
Alat dan sejumlah elemen untuk membuat daguerreotype dari sebuah iklan thn 1843.36
Kemudian setelah daguerreotype, serta penemuan negatif film oleh Talbot,
perkembangan dunia fotografi tak terbendung. Berbagai cara dilakukan agar
teknologinya dapat lebih praktis serta terjangkau oleh berbagai kalangan. Sebuah
tuntutan dunia industri yang sangat masuk akal.
George Eastman adalah salah satu pebisnis yang berhasil membuat
teknologi fotografi menjadi lebih praktis. Lewat Eastman Dry Plate Company
pada pertengahan 1880-an, Eastman memperkenalkan strip film. Strip film itu
dibuat dengan mengaplikasikan senyawa kimia emulsi silver bromide gelatin pada
kertas yang sudah dilapisi oleh lapisan tipis soluble gelatin. Lalu pada 1888,
Estman Dry Plate and Film Company memperkenalkan kamera Kodak dengan rol
film transparan di dalamnya.37
36
Diunduh dari http://www.photohistory-sussex.co.uk/dagprocess.htm
37
Inilah kemudian salah satu titik yang merevolusi dunia fotografi. Dari
yang hanya mampu diraih oleh kalangan tertentu, menjadi medium yang
terjangkau dan massal. Dengan tagline „You press the button, we do the rest’,
fotografi menjadi medium yang tidak hanya bisa dijangkau oleh para profesional,
[image:40.595.92.514.212.621.2]tetapi juga publik dari berbagai kalangan.
Gambar 3.
Kamera Kodak yang pertama.38
Sesudah penemuan Kodak, perkembangan teknologi fotografi seperti tidak
terbendung lagi. Tahun 1925, Leica–Jerman, mengeluarkan kamera 35 mm
pertama, yang menjadi kamera standar saat ini. Tidak mau kalah, Kodak kembali
menyusul dengan memperkenalkan film berwarna pada tahun 1935. Kemudian
foto langsung jadi, Polaroid, pun diluncurkan tahun 1947. Akhirnya pada tahun
1957, era digital mulai pelan-pelan memasuki dunia fotografi. Ketika itu citra
digital pertama yang dibuat dengan komputer diciptakan oleh Russel Kirsch di
U.S National Bureau of Standards (sekarang bernama National Institute of
38
Standards and Technology, NIST). Dan akhirnya pada tahun 1996, kamera digital
mulai dijual ke pasaran.39
Setelah era digital datang, fotografi seperti menjadi tidak terbatas. Setiap
saat, teknologi fotografi rasanya selalu berkembang. Fitur-fitur yang 10 tahun lalu
tidak terbayangkan, saat ini menjadi begitu riil. Begitu juga berbagai narasi,
wacana, maupun perdebatan, berkelindan di seputar konsep, simbol serta
teknologi fotografi itu sendiri.
B. GAMBARAN DUNIA FOTOGRAFI DI INDONESIA
Dalam sub-bab ini akan dibahas gambaran dunia fotografi di Indonesia
secara umum. Mulai dari masuknya medium fotografi ke Nusantara hingga
perkembangan selanjutnya. Data-data yang tertera dalam sub-bab ini dikumpulkan
dari berbagai sumber, baik tertulis maupun online.
1. Kedatangan Fotografi
Sejumlah peneliti dan penulis telah mencatat bagaimana medium fotografi
ini datang dan akhirnya diterima di bumi Indonesia. Diantaranya adalah Karren
Strassler dalam bukunya berjudul Refracted Visions.40 Dalam bukunya yang
berkisah tentang modernitas yang masuk ke tanah Jawa lewat fotografi, ditulis
secara singkat tentang bagaimana fotografi pertama kali masuk ke Indonesia.
Strassler menulis bahwa pada tahun 1840 pihak administratur VOC
membentuk sebuah komisi fotografi yang bertujuan menguji alat foto yang baru
setahun sebelumnya, 1839, diumumkan ke publik. Teknologi baru itu diuji
ketahanan serta kekuatannya di daerah tropis.Lalu setahun kemudian, 1841, pihak
39
Alexander Supartono, Fotografi dan Budaya Visual, Jurnal Kalam no 23, 2007. 40
kolonial membentuk kembali sebuah komisi fotografi, untuk melakukan survey
serta mengumpulkan data di Hindia-Belanda. Dengan alat foto itu, komisi ini
mengumpulkan data gambar berupa kekayaan alam, budaya serta berbagai hal
yang dianggap menarik serta bisa mendatangkan keuntungan.
Menurut Strassler, pada masa kolonial, fotografi memang digunakan
sebagai alat oleh penguasa untuk mensurvei berbagai potensi yang dimiliki daerah
jajahan. Hasil survei ini kemudian akan dirangkai dalam sebuah katalog sehingga
kekayaan yang dimiliki oleh daerah jajahan dapat dipetakan dan dipromosikan
kepada warga mereka sendiri.
Semasa kolonial itu pun, fotografi komersial mulai berkembang di bumi
Nusantara. Para Noni Belanda serta Tuan Belanda banyak yang mengabadikan
dirinya dalam sebuah potret. Mereka mencitrakan diri sebagai bagian dari
golongan Borjuis Eropa yang begitu menikmati kehidupan kolonial saat itu. Para
bangsawan serta golongan elit Jawa pun seringkali membuat potret diri yang
menegaskan kebangsawanan mereka.
Perkembangan fotografi komersial itu, akhirnya membuat dunia fotografi
makin digemari serta bisnis fotografi makin maju. Lalu pada akhir 1800-an,
fotografi pun makin populer diantara sejumlah kalangan elit di daerah jajahan
Hindia-Belanda. Namun, fotografi masih dimonopoli oleh kalangan elit Belanda,
etnis Cina golongan menengah, serta kalangan bangsawan lokal, khususnya para
kaum laki-laki.41
Yudhi Soerjoatmodjo dalam esai The Chalenge of Space: Photography in
Indonesia 1841-1999 mencatat sejumlah orang atau sekelompok orang yang
41
sempat menorehkan karya fotografinya di awal-awal kedatangan medium ini ke
bumi Nusantara. Salah satu studio yang tercatat paling penting di Nusantara ketika
itu adalah studio Woodbury & Page yang didirikan oleh sepasang warga negara
Inggris bernama sama dengan studio mereka. Kedua orang Inggris ini sebelumnya
merantau ke Australia untuk mencari emas yang tidak menguntungkan mereka
sama sekali. Lalu pada 1857 mereka memutuskan untuk pindah ke Hinda-Belanda
dan berusaha dalam bidang fotografi. Usaha studio mereka berlangsung hingga
[image:43.595.93.512.245.634.2]awal 1900-an.
Gambar 4.
Dua buah foto hasil karya Woodbury and Page.42
Di tengah kesukseskan sejumlah fotografer Eropa itu, seorang Jawa
kelahiran Yogyakarta berhasil berkiprah menggunakan medium fotografi. Dalam
esainya The Chalenge of Space, Yudhi Soerjoatmodjo menyebut bahwa sejarah
mencatat Kassian Cephas (1845-1912) adalah fotografer lokal pertama di
Indonesia. Pada 1870-an Cephas juga pernah mengabdi pada Keraton Yogyakarta
Hadiningrat.
42
Hasil karya Kassian Cephas banyak digunakan oleh pemerintah kolonial
Hindia-Belanda, karena ia juga bekerja pada komisi fotografi di pemerintahan
kolonial. Cephas banyak memotret lokalitas tempatnya tinggal, seperti reruntuhan
candi-candi Hindu-Budha (Borobudur-Prambanan), berbagai tarian sakral Kraton
Yogyakarta, upacara-upacara tradisional di daerah Kesultanan Yogyakarta, juga
berbagai motif batik yang merupakan karya khas Yogyakarta.43 Lewat Cephas,
Indonesia (khususnya Jawa) direpresentasikan dengan wajah lokal. Ia bisa
dikatakan sebagai salah satu titik penting, awal dimana fotografi benar-benar
mulai menyentuh Indonesia yang sebenar-benarnya (mata lokal dengan
[image:44.595.85.513.234.611.2]representasi lokal).
Gambar 5.
Kassian Cephas 1905.44
2. Perkembangan Dunia Fotografi di Indonesia
Dalam sub-bab ini akan dibahas perkembangan fotografi di Indonesia,
ditilik dari genre-genre fotografi yang berkembang pesat di Indonesia. Data-data
dikompilasi dari buku Refracted Vissions oleh Karen Strassler, esai The Chalenge
of Space: Photography in Indonesia 1841-1999 oleh Yudhi Soerjoatmodjo, esai
Selintas Sejarah Fotografi Indonesia oleh Alexander Supartono, Tesis
43
Yudhi Soerjoatmodjo, The Chalenge of Space: Photography in Indonesia 1841-1999. 44
Pascasarjana ISI Yogyakarta oleh Irwandi, buku Cephas, Yogyakarta :
Photography in the Service of the Sultan oleh Gerrit Knap serta data-data online.
a. Fotojurnalistik di Indonesia
Menurut Yudhi Soerjoatmodjo dalam esai The Chalenge of Space:
Photography in Indonesia 1841-1999,45 foto pertama tentang Indonesia46 yang
dibidik oleh orang Indonesia sendiri adalah foto momen ikonik Indonesia pada 17
Agustus 1945. Ketika itu Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya.
Dua bersaudara, Frans dan Alex Mendur bersama-sama mengabadikan duo
Proklamator Indonesia (Soekarno-Hatta) mengumandangkan proklamasi
kemerdekaan. Ketika itu sekitar pukul 10.00 di Jalan Pegangsaan Raya.
[image:45.595.85.512.250.548.2]Gambar 6.
Detik-detik Proklamasi Indonesia 17Agustus’45. Foto oleh Frans Mendur.47
45
Yudhi Soerjoatmodjo adalah seorang fotografer yang disebut juga oleh sejumlah pengamat fotografi sebagai eseis foto. Yudhi lahir di Solo pada 1963. Ia belajar fotografi di Parsons School of Design di Paris, Perancis, pada tahun 1986 memulai karirnya sebagai fotografer lepas di majalah Jakarta-Jakarta. Pada 1991-1992 ia bekerja di majalah Tempo dimana ia menghasilkan sejumlah seni foto tentang imigran Afrika di Perancis dan keruntuhan komunis di Polandia, Cekoslowakia, Hongaria, Rumania dan Uni Soviet. Pada 1990 ia menerima beasiswa dari pemerintah Inggris untuk mendalami fotografi di sekolah ternama School of Photodocumentary di Wales, Inggris. Ia menjadi fotografer pada photo agency ETNODATA, dan bekerja sebagai redaktur dan konsultan antara lain di majalah Matra dan Harian Republika serta redaktur foto untuk antologi sastra Indonesia dalam terjemahan Inggris,Managarie yang diterbitkan Yayasan Lontar. Yudhi sempat juga bekerja pada Galeri Fotografi Jurnalistik Antara sebagai kurator. (sumber www.jakarta.go.id)
46
Setelah Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, saat konsep tentang kesatuan bangsa Indonesia dikumandangkan, Indonesia baru benar-benar memproklamirkan keberadaannya sebagai satu bangsa yang merdeka dan berdaulat saat Proklamasi Kemerdekaan di Jalan Pegangsaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
47
Momen ikonik yang terabadikan dalam gambar itu, sekaligus menjadi titik
tombak sejarah fotojurnalistik di Indonesia. Saat dimana, wajah Indonesia yang
sebenar-benarnya mampu direkam dalam gambar dan direpresentasikan dalam
bentuknya yang lebih nyata. Wajah-wajah Indonesia itu tidak lagi menjadi objek
eksotisme visual, tetapi sudah menjadi subjek yang sejajar dengan bangsa lain.
Yudhi juga