PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN DI KABUPATEN NUNUKAN KALIMANTAN TIMUR ANTARA MASYARAKAT DENGAN
PERUSAHAAN PERKEBUNAN DIHUBUNGKAN DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR
Dara Hapsari Nastiti 110111090024
Tanah sebagai salah satu sumber daya agraria harus dimanfaatkan dan dikelola secara optimal dalam rangka mewujudkan kemakmuran bagi rakyat. Namun, tanah di beberapa wilayah masih banyak dalam kondisi terindikasi terlantar, salah satunya tanah HGU di Kabupaten Nunukan atas nama pemegang hak PT. BSI, sehingga masyarakat melakukan penggarapan tanpa sepengetahuan perusahaan. Akibatnya, timbul perselisihan di antara kedua belah pihak yang saling mengklaim kepemilikan lahan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji status hak atas tanah yang menjadi objek konflik, disertai kendala dan upaya penyelesaiannya.
Metode penelitian yang dipergunakan di dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan yang ditunjang dengan penelitian lapangan. Teknik pengumpulan data sekunder dengan studi kepustakaan dan di dukung dengan data primer dengan wawancara yang selanjutnya di analisis dengan metode kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari penulisan ini disimpulkan bahwa status hak atas tanah yang menjadi objek konflik antara masyarakat dan PT. BSI yaitu tanah HGU yang terindikasi terlantar dan sedang dalam status quo. Masyarakat yang menguasai lahan HGU adalah melanggar hukum karena tidak dilandasi alas hak yang sah dan tanpa izin dari pemegang HGU berdasarkan UU No. 51 Prp. Tahun 1960. Fungsi sosial tidak boleh dijadikan alasan pembenar untuk menduduki lahan secara tanpa izin karena tanah yang terindikasi terlantar harus ditertibkan berdasarkan PP No. 11 Tahun 2010 jo. Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010. Kendala penyelesaian konflik antara masyarakat dengan PT. BSI yaitu adanya sikap dan pola pikir masyarakat yang mengarah pada tindakan okupasi berdasarkan pemikiran hukum adat, serta keterlambatan Seksi Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat BPN Kabupaten Nunukan dalam identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar. Upaya penyelesaian konflik antara masyarakat dengan PT. BSI diantaranya adalah pemberian uang kerahiman/santunan, kemitraan usaha perkebunan, dan penetapan tanah terlantar. Kemitraan pola inti-plasma merupakan upaya yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Segera diterbitkan Keputusan Tanah Terlantar agar terciptanya kepastian hukum status hak atas tanah sehingga tanah dapat diretribusikan kepada penggarap.