• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRAKTEK PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PRAKTEK PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

63

PRAKTEK PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

Murni Yanti, Imran,Hendra Surya

Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Al- Aziziyah Sabang Email: murniyanti66@gmail.com, manziliyya@gmail.com,

hendrasurya.mih@gmail.com Abstract

According to Islamic law, what is meant by marriage is a contract that justifies association and limits rights and obligations as well as mutual assistance between a man and a woman who are not between the two of them. "The purpose of marriage is to form a happy and eternal family, for that husband and wife need to help and complement each other, so that each can develop his personality to help and achieve spiritual and material welfare. stipulated age.

That is, ideally legally, marriage can take place if the age of the bride and groom has met the requirements of the legislation. The results of the study show that: (1) According to law number 16 of 2019 marriage is only permitted if the male and female parties have reached the age of 19 years (Nineteen years).

Islamic law, in this case the Qur'an and hadith do not specifically mention the minimum age for marriage. The general requirements that are commonly known are that they are mature, have common sense, are able to distinguish between good and bad so that they can give their consent to marry. established in the Republic of Indonesia. The impact of education, underage marriage is a factor that hinders the process of education and learning. The psychological impact, from a social perspective, underage marriage can reduce family harmonization. This is caused by emotions that are still unstable, the turmoil of young blood and an immature way of thinking. Biological impact, where the child's reproductive organs are biologically still in the process of reaching maturity so that they are not ready to have sex with the opposite sex, especially if they become pregnant and then give birth. Health impact, women who marry at an early age of less than 15 years have many risks, even though she has experienced menstruation or menstruation.

Keywords: Islamic Marriage Law in Indonesia, Underage Marriage, Impact.

Abstrak

Menurut hukum Islam yang dimaksud dengan perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong- tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. “Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil, berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, persyaratan dalam melakukan perkawinan adalah memenuhi ketentuan umur yang ditetapkan. Artinya,

(2)

64

idealnya secara hukum perkawinan dapat dilangsungkan bila umur kedua mempelai telah memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Menurut undang undang nomor 16 tahun 2019 Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria d a n w a n i t a sudah mencapai usia 19 tahun (Sembilan belas tahun). Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah.(2) Dampak yang ditimbulkan dari praktek pekawinan dibawah umur seperti Dampak terhadap Hukum, terjadinya pelanggaran terhadap Undang- undang yang telah ditetapkan di negara Republik Indonesia. Dampak pendidikan, perkawinan di bawah umur merupakan faktor menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran. Dampak pysikologis, ditinjau dari sisi sosial perkawinan di bawah umur dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Dampak biologis, di mana Anak secara biologis alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Dampak kesehatan, perempuan yang menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak resiko, sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid.

Kata Kunci: Hukum Perkawinan Islam diIndonesia, Perkawinan di Bawah Umur, Dampak.

(3)

65 A. Pendahuluan

Menurut hukum Islam yang dimaksud dengan perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong- tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. “Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil”.1

Agama Islam sebagai agama yang sah di Indonesia, menjelaskan bahwa Allah SWT, menciptakan makhluk hidup secara berpasangan. Hal ini difirmankan dalam” (QS. Yaasiin (36) : 36)





























Artinya : ‘’Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (QS. Yaasiin 36 : 36)

Perintah untuk menjalin hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan untuk mendapat keturunan dalam pelaksanaannya terdapat persyaratan yang harus dipenuhi, salah satunya adalah persyaratan usia. Berdasarkan Undang- Undang Perkawinan pada Pasal 7 dicantumkan bahwa usia minimal yang diperkenankan menikah bagi laki laki dan perempuan 19 tahun (Sembilan belas tahun).2 Demikian juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 15 ayat 1 dan ayat 2 sebagai berikut;

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang

1 Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, (Medan : Universitas Al-Azhar, 2010), h. 4.

2 Salinan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tetang perubahan atas Undang undang no 1 tahun 1974.h.2

(4)

66

ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No.16 tahun 2019 yakni calon suami dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 19 tahun;

(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat 2, 3, 4 dan ayat 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.3

Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, persyaratan dalam melakukan perkawinan adalah memenuhi ketentuan umur yang ditetapkan.

Artinya, idealnya secara hukum perkawinan dapat dilangsungkan bila umur kedua mempelai telah memenuhi persyaratan peraturan perundang- undangan yaitu yakni calon suami dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 19 tahun. Apabila calon mempelai belum memenuhi persyaratan umur yang telah ditetapkan maka calon mempelai harus mendapat ijin dari Pengadilan Agama untuk memperoleh dispensasi.

Tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk melestarikan kelangsungan hidup manusia dengan berketurunan. Dalam kompilasi hukum Islam disebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan di bawah umur, sulit untuk mewujudkan tujuan perkawinan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mukson, yang menyatakan bahwa pernikahan dalam usia dini sering disebut sebagai salah satu hal yang menghalangi pasangan pengantin mewujudkan impain-impian indahnya. Mengapa demikian? Karena menikah dalam usia dini biasanya tidak dibarengi dengan kematangan ekonomi, kematangan mental, dan bahkan dalam hal-hal tertentu, kematangan fisik.

Kondisi demikian tentu cukup rentan konfik dan mudah terjebak dalam disharmoni.4

3 Kompilasi Hukum Islam, Direktorat pembinaan peradilan agama islam ditjen Pembinaan kelembagaan islam departemen agama,2001. h. 3

4 Moh Mukson, “Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo Kabupaten Rembang (Sebuah Refeksi Kehidupan Masyarakat Pedesaan)”. Jurnal Bimas Islam, Vol. 6. No.1 (2013).h.4.

(5)

67

Terjadinya perkawinan di bawah umur pada akhirnya membawa akibat dari perkawinan itu sendiri, baik akibat baik maupun akibat buruk. Akibat baiknya adalah terbinanya rumah tangga sebagaimana tujuan perkawinan, sedangkan akibat buruknya berdampak pada kualitas anak, keluarga, keharmonisan keluarga, dan perceraian. Karena pada masa masa tersebut ego remaja masih tinggi. Perkawinan di bawah umur, melibatkan pasangan mempelai yang secara fisik maupun psikologis belum siap. Umur pada saat menikah berhubungan erat dengan pola rumah tangga yang akan dijalankan oleh pasangan suami istri. Perkawinan yang dijalani oleh pasangan yang belum matang atau belum semestinya dari sisi umur dan pasangan yang telah matang, tentu sangat berbeda. Kematangan umur secara umum berkait pula dengan kematangan secara mental dan pengalaman. Kematangan usia biasanya juga berkaitan dengan kematangan ekonomi. Kematangan ekonomi ini erat kaitannya dengan kemampuan mencari nafkah. 5

Perkawinan di bawah umur memaparkan kenyataan bahwa sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia yang makin kompleks, muncul suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, lunturnya moral value atau nilai-nilai akhlak yaitu pergaulan bebas di kalangan remaja dan Perkawinan di bawah umur memaparkan kenyataan bahwa sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia yang makin kompleks, muncul hubungan zina menjadi hal biasa sehingga terjadi kehamilan di luar nikah.

Akibatnya, orangtua menutupi aib tersebut dengan menikahkan anaknya tanpa mempertimbangkan lagi usia dan masa depan anaknya.6

Kasus pernikahan di bawah umur, berdasarkan data awal dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sukakarya yang terjadi di bulan agustus pada tahun 2018 ada 1 (satu) kasus dan dari Kecamatan Sukajaya ada 5 (lima)

5 Bagya Agung Prabowo, “Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Dispensasi Perkawinan Dini Akibat Hamil di Luar Nikah Pada Pengadilan Agama Bantul,” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM No 2 Vol. (April, 2013), h. 7.

6 Ahadan Solehin,. “Pengaruh Perkawinan di Bawah Umur Terhadap Perceraian (Studi di Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah”, Jurnal Ilmiah, (2013),h.13.

(6)

68

kasus.7 Artinya, pernikahan di bawah umur berdasarkan data yang disampaikan ada terjadi pada masyarakat di Kota Sabang. Kejadian ini terjadi, bukan karena pemerintah kurang aktif dalam mensosialisasikan peraturan perundang-undangan, dan juga bukan karena masyarakat tidak paham atas peraturan perundangan-undangan tersebut. disampaikan oleh pemerintah dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA) melalui kegiatan perkawinan itu sendiri, diantaranya dicantumkan dalam buku nikah maupun Acara tausiah dalam upacara pernikahan. Hal ini menunjukkan bahwa, ketika peraturan jelas-jelas menentukan pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan harus memenuhi umur yang telah ditentukan, namun kenyataanya tidak berjalan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pernikahan di bawah umur biasanya berkaitan dengan dampak psikologis, sosial dan angka kelahiran. Dampak psikologis pernikahan di bawah umur menyebabkan depresi dimana bisa membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul bahkan bisa menyebabkan kegilaan pada pasangan usia muda karena belum bisa membedakan apakah remaja laki- laki atau remaja perempuan yang biasanya tidak bisa mengendalikan emosi. Keadaan emosi mereka jelas labil, sulit kembali pada keadaan normal. Dampak psikologis ini berkaitan dengan keadaan fisik pasangan pernikahan di bawah umur dimana pasangan tersebut belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan fisik untuk mendatangkan penghasilan dan bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya merupakan faktor yang berperan dalam mewujudkan dalam kesejahteraan dankebahagiaan rumah tangga. Jika kesejahteraan dan kebahagiaan didalam pernikahan tidak ada maka akan menyebabkan keretakan rumah tangga. 8

7 Wawancara dengan tgk. Firdaus, S.Ag. Selaku kepala kantor Urusan Agama (KUA) Sukakarya Kota Sabang, Tanggal 26 Agustus 2019, Pukul 11.00 Wib.

8 Moh Mukson, “Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo Kabupaten Rembang (Sebuah Refeksi Kehidupan Masyarakat Pedesaan”, Jurnal Bimas Islam, Op., Cit Moh Mukson, h.4

(7)

69

B. Kedudukan Hukum terhadap Pernikahan di Bawah Umur menurut Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

Pengaturan hukum tentang perkawinan telah berlaku sama terhadap semua warga Negara oleh karena itu, setiap warga negara harus patuh terhadap hukum yang berlaku, termasuk terhadap undang-undang perkawinan yang menjadi landasan untuk menciptakan kepastian hukum, baik dari sudut hukum keluarga,harta, bendadan akibat hukum suatu perkawinan.”9

Perkawinan adalah ikatan lahir batin atara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhana Yang Maha Esa”.10 Suatu ikatan lahir batin adalah ikatan yag dapat di lihat”.11 Dalam hukum perdata unsur usia memiliki peranan penting karena dikaitkan dengan kecakapan dalam bertindak dan lahirnya hak-hak tertentu”.12

Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah. Menurut Imam Syafi’i apabila sesorang anak telah mencapai usia 15 tahun ia telah dinamakan baligh.13 Menurut Imam Hanafi dapat dikatakan baligh bagi seorang laki-laki apabila talah ihtilam yaitu bermimpi nikmat sehingga keluar mani dan bagi seorang wanita jika sudah mengeluarkan darah haid. Terkadang umur 12 tahun sudah mengalami

9 K. Wajik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982), h.3

10 Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, LN. Nomor 12 Tahun 1975, TLN nomor 3050, Pasal 1.

11 Ibid, , h. 14

12 J. Satrio, Hukum Kepribadian Bagian I Persoon Almiah cet 2, (Jakarta: Grasindo, 1998), h. 12 13 Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqh, Al-Islam wa-Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.423.

(8)

70

mimpi basah bagi laki-laki dan umur 9 tahun seorang perempuan sudah mengeluarkan darah haid.

Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Iman Hambali menyatakan tumbuhnya bulu- bulu ketiak merupakan bukti baligh seseorang. Mereka juga menyatakan usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan lima belas tahun.

Sedangkan Imam Hanafi menolak bulu-bulu ketiak sebagai bukti baligh seseorang, sebab bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Imam Hanafi menetapkan batas maksimal usia baligh anak laki-laki adalah delapan belas tahun dan minimalnya dua belas tahun, sedangkan usia baligh anak perempuan maksimal tujuh belas tahun dan minimalnya sembilan tahun.14

Al-Qur’an secara konkrit tidak menentukan batas usia bagi pihak yang akan melangsungkan pernikahan. Batasan hanya diberikan berdasarkan kualitas yang harus dinikahi oleh mereka sebagaimana dalam surat An-Nisa ayat 6 yang artinya:

“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka hartanya, harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

Demikian juga dalam hukum adat tidak ada ketentuan batas umur untuk melakukan pernikahan, namun biasanya kedewasaan seseorang dalam hukum adat diukur dengan tanda-tanda bagian tubuh, apabila anak wanita sudah haid (datang bulan), buah dada sudah menonjol berarti sudah dewasa.

14 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Penerbit Lentera, Cetakan 27, 2011), h. 22

(9)

71

Bagi laki-laki ukurannya dilihat dari perubahan suara, postur tubuh dan sudah mengeluarkan air mani atau sudah mempunyai nafsu seks”.15

Sejak di undangkan Hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah matang jiwa dan raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan. Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Bab II Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”.16 Dari adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur.

Secara mendasar, Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan mendorong lebih luas terjadinya perkawinan anak terutama dengan menggunakan frasa penyimpangan tanpa ada penjelasan yang lebih rigid terhadap penyimpangan tersebut. Argument terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan sudah dijelaskan dengan baik, untuk itu perlu pengetatan terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (2) terutama pengetatan frasa penyimpangan dan penghapusan frasa pejabat lain. Selain itu Ketentuan pengetatan ini diadakan ialah untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan, dan karena itu dipandang perlu diterangkan batas umur untuk perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan.”17 Salah satu asas atau prinsip

15 Hilman Hadikusumah, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.. 53.

16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Op. Cit., ,h. 3

17 CST. Kansil, Pengertian Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), h.. 230

(10)

72

perkawinan yang Dengan demikian dapat mencegah terjadinya perkawinan anak dibawah umur”.18

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang disebarluaskan melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 memuat perihal yang kurang lebih sama. Pada pasal 15, KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, namun dengan tambahan alasan: untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Dalam hal ini dapat dilihat bunyi pasal yang menyangkut dengan Pasal 15 ayat (1) “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Sedangkan bunyi dari ayat (2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, izin orang tua wajar karena mereka yang belum berumur 21 dianggap belum dewasa menurut hukum.19

C. Dampak yang di timbulkan dari Praktek Perkawinan di bawah Umur Sebagaimana telah diuraikan tentang perkawinan di bawah umur seseorang yang melakukan perkawinan terutama pada usia yang masih muda, tentu akan membawa berbagai macam dampak, seperti dampak hukum, pendidikan, kesehatan, pysikologis, biologis, perilaku seksual, dan dampak sosial.20

1. Dampak terhadap Hukum, terjadinya pelanggaran terhadap Undang- undang yang telah ditetapkan di negara Republik Indonesia ini seperti:

a. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

18 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, cet. III , (Jakarta : Rineka Cipta, 2005), h. 7 19 Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit., h. 3.

20 Zulfiani, ‘’ Kajian Hukum Terhadap Perkawinan dibawah umur menurut undang undang no 1 Tahun 1974’’. Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol12,No.2,(2017), h.9

(11)

73

Pasal 6 ayat (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

b. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan; mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak- anak.

2. Dampak pendidikan, bahwa seseorang yang melakukan perkawinan terutama pada usia yang masih di bawah umur,.

keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi tidak akan tercapai atau tidak akan terwujud. Hal tersebut dapat terjadi karena motivasi belajar yang dimiliki seseorang tersebut akan mulai mengendur karena banyaknya tugas yang harus mereka lakukan setelah menikah. Dengan kata lain, perkawinan di bawah umur merupakan faktor menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran.

3. Dampak pysikologis, ditinjau dari sisi sosial perkawinan di bawah umur dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat perkawinan dibawah umur dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Oleh karenanya, dalam hukum perdata telah diatur bahwa pernikahan seseorang harus diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Memang perkawinan dibawah umur

(12)

74

28

dipandang oleh sebagian orang lebih banyak memberikan dampak negative.

4. Dampak biologis, di mana Anak secara biologis alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak.

5. Dampak kesehatan, perempuan yang menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak resiko, sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid. Ada dua dampak medis yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini ini, yakni dampak pada kandungan dan kebidanannya. Penyakit kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini, antara lain infeksi pada kandungan dan kanker mulut rahim. Hal ini terjadi karena terjadinya masa peralihan sel anak- anak ke sel dewasa yang terlalu cepat. Padahal, pada umumnya pertumbuhan sel yang tumbuh pada anak-anak baru akan berakhir pada usia 19 tahun.

6. Dampak sosial, Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.

Dari uraian tersebut jelas bahwa perkawinan dibawah umur (anak) lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan atau mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak.

(13)

75 C. Penutup

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang p r a k t ek p e r k a w i n a n d i b aw a h u m u r m e n u r u t menurut hukum perkawinan Islam di Indonesia diperoleh kesimpulan sebagai berikut.

1. Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah. Demikian juga dalam hukum adat tidak ada ketentuan batas umur untuk melakukan pernikahan. Menurut undang undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7, yakni perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun.

2. Dampak yang ditimbulkan dari praktek pekawinan dibawah umur seperti Dampak terhadap hukum, terjadinya pelanggaran terhadap Undang- undang yang telah ditetapkan di negara Republik Indonesia.

Dampak pendidikan, perkawinan di bawah umur merupakan faktor menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran. Dampak pysikologis, ditinjau dari sisi sosial perkawinan di bawah umur dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang.

Dampak biologis, di mana Anak secara biologis alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Dampak kesehatan, perempuan yang menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak resiko, sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid. Dampak sosial, Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja.

(14)

76

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Hadikusumah, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 1990.

Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, (Medan: Universitas Al-Azhar, 2010).

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Madju, 1990).

Kansil, CST, Pengertian Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:

Balai Pustaka, 1989.

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Penerbit Lentera, Cetakan 27, 2011).

Satrio J., Hukum Kepribadian Bagian I Persoon Almiah cet 2, Jakarta: Grasindo, 1998.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, cet. III, Jakarta: Rineka Cipta, 2005 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta,

2010.

Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqh, Al-Islam wa-Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011).

Wajik Saleh, K., Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

B. Jurnal

Ahadan Solehin,. “Pengaruh Perkawinan di Bawah Umur Terhadap Perceraian (Studi di Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah”, Jurnal Ilmiah, 2013.

Bagya Agung Prabowo, “Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Dispensasi Perkawinan Dini Akibat Hamil di Luar Nikah Pada Pengadilan Agama Bantul,”

Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM No 2 Vol. April, 2013.

(15)

77

Moh Mukson, “Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo Kabupaten Rembang (Sebuah Refeksi Kehidupan Masyarakat Pedesaan”, Jurnal Bimas Islam, Vol.6. No.1 2013.

Zulfiani, ‘’ Kajian Hukum Terhadap Perkawinan dibawah umur menurut undang undang no 1 Tahun 1974’’. Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol12,No.2,(2017).

C. Peraturan Perundang undangan

Kompilasi Hukum Islam Direktorat pembinaan peradilan agama islam ditjen pembinaan kelembagaan islam departemen agama,2001

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tentang diversi dengan suatu penelitian yang berjudul: “ PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK

a) Globalisasi teknologi dan informasi adalah kemajuan teknologi dan informari diseluruh dunia, sehingga menempatakan suatu bangsa pada kedudukan sejauh mana bangsa

menyalurkannya dalam bentuk kredit pada masyarakat setempat, dengan prosedur mudah dan cepat.Dalam rangka mewujudkan hal tersebut diatas, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta

[r]

Potensi dan Kontribusi Sektor Industri Sebagai Sektor Unggulan Terhadap Perekonomian.. Hal ini terkait dengan menentukan sektor-sektor riil yang

These include the Seville Agreement and Supplementary Measures , the Sphere Humanitarian Charter and Minimum Standards in Disaster Response , the Code of Conduct for the

Kesimpulan dari teori motivasi kerja Herzberg’s Two Factors Motivation Theory adalah fokus teori motivasi ini lebih menekankan bagaimana memotivasi karyawan di

Counter-pressure sangat berperan dalam menurunkan tingkat nyeri persalinan, Metode Counter-pressure tidak mempengaruhi perubahan kadar PG-E