BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Beban Kerja
2.1.1 Pengertian Beban Kerja
Menurut (Menpan, 2010) beban kerja adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu. Beban kerja adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan (Marquis and Houston, 2010).
Menurut Pudjirahardjo et al (2010) beban kerja adalah jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh sekelompok atau seseorang dalam waktu tertentu. Beban kerja dapat dilihat dalam dua sudut pandang yaitu secara objektif dan secara subjektif.
Beban kerja merupakan keadaan dimana seseorang melakukan suatu usaha yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk memenuhi permintaan dan untuk menyelesaikan banyaknya pekerjaan yang diberikan yang harus diselesaikan dalam batas waktu tertentu (Supardi, 2010).
Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan. Beban kerja adalah jumlah total waktu keperawatan baik secara langsung atau tidak langsung dalam memberikan pelayanan keperawatan yang diperlukan oleh pasien dan jumlah perawat yang diperlukan untuk memberikan pelayanan tersebut (Kurniadi, 2012).
11
Beban kerja meliputi beban kerja fisik maupun mental, beban kerja yang terlalu berat atau kemampuan fisik yang terlalu lemah dapat mengakibatkan seorang pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat kerja (Efendi, 2009).
Dengan demikian pengertian beban kerja adalah sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugas suatu pekerjaan atau kelompok jabatan yang dilaksanakan dalam keadaan normal dalam suatu jangka waktu tertentu.
2.1.2 Jenis Beban Kerja
Beban kerja meliputi 2 (dua) jenis, sebagai mana dikemukakan oleh Munandar (dalam Saribu, 2012) yaitu beban kerja kuantitatif (quantitative overload) dan beban kerja seara kualitatif (qualitative overload) :
2.1.2.1 Beban kerja kualitatif meliputi :
a. Harus melaksanakan observasi pasien secara ketat selama jam bekerja.
b. Banyak pekerjaan dan beragamnya pekerjaan yang harus dikerjakan.
c. Kontak langsung perawat dengan pasien secara terus- menerus selama jam kerja.
d. Rasio perawat dan pasien.
2.1.2.2 Beban kerja kuantitatif meliputi :
a. Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki perawat tidak/
kurang mampu mengimbangi sulitnya pekerjaan dirumah sakit.
b. Tanggung jawab yang tinggi terhadap asuhan keperawatan pasien.
c. Harapan pemimpin rumah sakit terhadap pelayanan yang berkualitas.
d. Tuntutan keluarga pasien terhadap keselamatan pasien.
e. Setiap saat dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tepat.
f. Tugas memberikan obat secara intensif.
g. Menghadapi pasien dengan karakteristik tidak berdaya, koma dan kondisi terminal.
2.1.3 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Beban Kerja
Tarwaka, dkk (2010) menyatakan bahwa beban kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut :
2.1.3.1 Faktor-faktor eksternal yaitu beban yang berasal dari luar tubuh perkerja, seperti :
a. Tugas-tugas yang dilakukan yang bersifat fisik seperti stasiun kerja, tata ruang, tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja, sedangkan tugas-tugas yang bersifat mental seperti kompleksitas pekerjaan, tingkat kesulitan pekerjaan, tanggung jawab pekerjaan.
b. Organisasi kerja seperti lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem pengupahan, model struktur organisasi, pelimpahan tugas dan wewenang.
c. Lingkungan kerja
1) Lingkungan kerja fisik seperti : mikroklimat ( suhu udara, kelembapan udara, kecepatan aliran udara, suhu,
radiasi), intensitas penerangan, intensitas kebisingan, dan tekanan udara.
2) Lingkungan kerja kimiawi seperti : debu, gag-gas pencemaran udara, uap logam dan lain-lain.
3) Lingkungan kerja biologis seperti : bakteri, virus, dan parasit, jamur serangga dan lain-lain.
4) lingkungan kerja psikologis seperti: pemilihan dan penempatan tenaga kerja, hubungan antara pekerjaan dengan pekerjaan, pekerjaan dengan atasan, pekerjaaan dengan keluarga dan pekerjaan dengan lingkungan sosial yang berdampak kepada performasi kerja ditempat kerja.
2.1.3.2 Faktor-Faktor Internal
Faktor internal beban kerja merupakan faktor yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri akibat dari reaksi beban kerja eksternal.
Reaksi tubuh disebut strain, berat ringannya strain dapat dinilai baik secara obyektif maupun subyektif. Penilaian secara objektif yaitu melalui perubahan reaksi fisiologis, sedangkan penilaian subjektif dapat dilakukan melalui perubahan reaksi fisiologis dan perubahn perilaku. Karena itu strain secara subjektif berkaitan dengan harapan, keiginan, kepuasan dan penilaian subjektif lainnya.
Secara lebih ringkas faktor internal meliputi :
a. Faktor somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, kondisi kesehatan)
b. Faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan dan kepuasan).
Menurut Tarwaka (2010), standar penilaian beban kerja objektif berdasarkan waktu efektif :
a. Bila waktu kerja prokduktif > 90 % maka tergantung beban kerja tinggi.
b. Bila waktu beban kerja produktif ≥ 85-95% maka tergolong beban kerja ideal
c. Bila waktu kerja produktif < 85% maka tergolong beban kerja rendah.
Menurut Thomas dalam Kurniadi (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja perawat adalah sebagai berikut : a. Pengelompokkan perawat dan alokasi pasien khusus b. Alokasi pekerjaan perawat
c. Pengorganisasian tugas
d. Tanggung jawab kepada pasien e. Tanggung jawab dalam pencatatan
f. Penghubung mediator dengan staf perawat dan dokter.
Faktor-faktor internal yang mempengaruhi beban kerja perawat antara lain :
a. Jumlah pasien yang dirawat tiap hari, tiap bulan, tiap tahun.
b. Kondisi atau tingkat ketergantungan pasien.
c. Rata-rata hari perawatan tiap pasien.
d. Pengukuran tindakan keperawatan langsung dan tidak langsung.
e. Frekuensi tindakan keperawatan yang dibutuhkan.
f. Rata-rata waktu keperawatan langsung dan tidak lagsung.
Adapun faktor-faktor yang eksternal yang bisa mempengaruhi beban kerja perawat antara lain :
a. Masalah komunitas yaitu situasi yang ada di masyarakat saat ini seperti jumlah penduduk yang padat atau berlebih, lingkungan kurang bersih, kebiasaan kurang sehat dan sebagainya.
b. Disaster yaitu kondisi bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tsunami wabah penyakit dan sebagainya. Hal ini akan mempengaruhi kebijakan rumah sakit karena rumah sakit harus menyediakan tenaga keperawatan cadangan.
c. Hukum/ undang-undang dan kebijakan yaitu situasi hukum perundang-undangan yang bisa mempengaruhi kinerja rumah sakit/ ketenagaan keperawatan seperti undang- undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen serta undang-undang keperawatan sebagai pedoman utama praktik keperawatan.
d. Politik atau kebijakan pemerintah yang berkuasa atau oposisi yang bisa mempengaruhi kondisi kinerja rumah sakit seperti banyaknya pasien karena kecelakaan akibat demonstrasi, kekerasan politik lain. Kecendrungan partai politik dalam memandang tenaga keperawatan dan sebagainya.
e. Pengaruh cuaca yaitu akibat perubahan cuaca bisa mempengaruhi jenis penyakit sehingga mempengaruhi jumlah tenaga keperawatan.
f. Ekonomi yaitu situasi ekonomi yang ada saat ini seperti adanya krisis ekonomi mengakibatkan pendapatan menurun sehingga pendapatan rumah sakit menurun.
g. Pendidikan konsumen yaitu tingkat pendidikan masyarakat sudah semakin tinggi sahingga tenaga perawat harus profesional atau dengan kata lain semakin banyak tenaga perawat yang dibutuhkan satu tingkat lebih tinggi dari pendididkan masyarakat disbanding tingkat lebih rendah dari masyarakat.
h. Kemajuan ilmu dan teknologi yaitu kemajuan ilmu dan teknologi termasuk bahasa harus diikuti oleh semua perawat, karena kalau tidak bisa mengikuti maka otomatis tidak akan bisa masuk bursa kerja ( Kurniadi, 2012).
2.1.4 Pendekatan Menghitung Beban Kerja
Menurut Nursalam (2012) ada 3 cara yang dapat digunakan untuk menghitung beban kerja secara personel antara lain sebagai berikut:
2.1.4.1 Work sampling
Teknik ini dikembangkan pada dunia industry untuk melihat beban kerja yang dipangku oleh personel pada suatu unit, bidang maupun tenaga tertentu. Pada metode work sampling diamati hal-hal spesifik tentang pekerjaan antara lain:
a. Aktivitas apa yang sedang dilakukan personel pada waktu jam kerja.
b. Apakah aktivitas personel berkaitan dengan fungsi dan tugasnya pada waktu jam kerja.
c. Proporsi waktu kerja yang digunakan untuk kegiatan prodiktif atau tidak produktif.
d. Pola beban kerja personel dikaitkan dengan waktu dan jam kerja.
Untuk mengetahui hal-hal tersebut perlu dilakukan survei tentang kerja personel dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Menentukan jenis personel yang akan disurvei.
2) Bila jumlah personel banyak perlu dilakukan pemilihan sampel sebagai subjek personel yang akan diamati dengan menggunakan metode simple random sampling untuk mendapatkan sampel yang representative.
3) Membuat formulir kegiatan perawat yang dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan produktif dan tidak produktif dapat juga dikatagorikan sebagai kegiatan langsung dan tidak langsung.
4) Melatih pelaksana peneliti tentang cara pengamatan kerja dengan menggunakan work sampling.
5) pengamatan kegiatan personel dilakukan dengan interval 2- 15 menit tergantung karakteristik pekerjaan yang dilakukan.
2.1.4.2 Time and motion study
Pada teknik ini kita mengamati dan mengikuti dengan cermat tentang kegiatan yang dilakukan oleh personel yang sedang kita amati. Melalui teknik ini akan didapatkan beban kerja personel dan kualitas kerjanya.
Langkah-langkah untuk melakukan teknik ini yaitu:
a. Menentukan personel yang akan diamati untuk menjadi sampel dengan metode purposive sampling.
b. Membuat formulir daftar kegiatan yang dilakukan oleh setiap personel.
c. Daftar kegiatan tersebut kemudian diklasifikasikan seberapa banyak personel yang melakukan kegiatan- kegiatan tersebut secara baik dan rutin selama dilakukan pengamatan.
d. Membuat klasifikasi atas kegiatan yang telah dilakukan tersebut menjadi kegiatan medis, kegiatan keperawatan dan kegiatan administrasi.
e. Menghitung waktu objektif yang diperlukan oleh personel dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
2.1.4.3 Daily log
Daily log atau pencatatan kegiatan sendiri merupakan bentuk sederhada dari work sampling yaitu pencatan dilakukan sendiri oleh personel yang diamati. Pencatatan meliputi kegiatan yang dilakukan dan waktu yang diperlukan untuk melakukan kegiatan tersebut. Penggunaan ini tergantung kerjasama dan kejujuran dari personel yang diamati. Pendekatan ini relative lebih sederhana dan biaya yang murah. Peneliti biasanya membuat pedoman dan formulir isian yang dapat dipelajari sendiri oleh informan. Sebelum dilakukan pencatatan kegiatan peneliti menjelaskan tujuan dan cara pengisian formulir kepada subjek personel yang diteliti, tekankan pada personel yang diteliti yang terpenting adalah jenis kegiatan, waktu dan lama kegiatan, sedangkan konfirmasi personel tetap menjadi rahasia dan tidak akan dicantumkan pada laporan penelitian. Menuliskan secara rincian keberhasilan dari pengamatan dengan daily log.
2.1.4.4 Metode lainnya
Metode lainnya untuk perhitungan beban kerja dengan menggunakan :
a. Metode teknik analitik
Metode ini adalah metode ilmiah dengan menggunakan pengukuran waktu yang diteliti melalui pengamatan langsung.
b. Metode praktis empiris
Metode didasarkan pada pengalaman perorangan atau pemegang jabatan.
c. Metode identifikasi beban kerja
Metode ini dilakukan dengan mengidentifikasi beban kerja melalui hasil kerja, objek kerja, peralatan kerja, dan tugas per tugas jabatan.
2.1.5 Pengukuran Beban Kerja
Menurut Tarwaka (2011, 131) pengukuran beban kerja bisa dilakukan melalui pengukuran kerja mental secara subjektif (subjective methode) salah satunya menggunakan teknik beban kerja subjektif ( Subjective Workload Assesment Technique (SWAT)) dalam metode SWAT performasi kerja manusia terdiri dari 3 dimensi ukuran beban kerja yang dihubungkan dengan performasi, yaitu masalah-masalah yang muncul menurut Dwi Wahyunita dan Fitrah (2010), yaitu :
2.1.5.1 Beban waktu ( time load )
Menurut jumlah waktu yang tersedia dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring tugas atau kerja.
2.1.5.2 Beban usaha mental ( mental effort load )
Yaitu berarti banyaknya usaha mental dalam melaksanakan suatu pekerjaan.
2.1.5.3 Beban kerja tekanan psikologis ( psychological stress load ) Yang menunjukkan tingkat resiko pekerjaan, kebingungan dan frustasi.
Metode Subjective Workload Assesment Technique (SWAT) pertama kali dikembangkan oleh Gary Reid dari Divisi Human Engineering pada Armstrong Laboratory, Ohio USA digunakan analisis beban kerja yang
dihadapi oleh seseorang yang harus melakukan aktivitas baik yang merupakan beban kerja fisik maupun mental yang bermacam-macam dan muncul akibat meningkatnya kebutuhan akan pengukuran subjektif yang dapat digunakan dalam lingkungan yang sebenarnya (real world environment). Dalam penerapannya SWAT akan memberikan penskalaan subjektif yang sederhana dan mudah dilakukan untuk mengkuantitatifkan beban kerja dari aktivitas yang harus dilakukan oleh pekerja. SWAT akan menggambarkan sistem kerja sebagai model multi dimensional dari beban kerja, yang terdiri atas tiga dimensi atau faktor yaitu beban waktu (time load), beban mental (mental effort load), dan beban psikologis (psychological stress load) yaitu sebagai berikut :
a. Time Load (Beban Waktu)
Time Load atau beban waktu yang menunjukkan jumlah waktu yang tersedia dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring tugas.
Dimensi beban waktu ini tergantung dari ketersediaan waktu dan kemampuan melangkahi (overlap) dalam menjalankan suatu aktivitas.
Hal ini berkaitan erat dengan analisis batas waktu (timeline analysis) yang merupakan metode primer untuk mengetahui apakah subyek dapat menyelesaikan tugas dalam batas-batas waktu yang diberikan.
Tiga tingkatan dalam SWAT adalah sebagai berikut:
1. Selalu memiliki waktu luang, interupsi dan melakukan aktivitas secara bersamaan atau aktivitas yang terlalu overload diantara aktivitas yang tidak terjadi atau aktivitas yang jarang terjadi.
2. Waktu luang yang dimiliki sangat hanya sedikit atau jarang adanya waktu luang, interupsi dan melakukan secara bersamaan diantara aktivitas yang sering terjadi.
3. Tidak mempunyai waktu luang, interupsi dan melakukan aktivitas secara bersamaan diantara aktivitas yang sering terjadi.
b. Mental Effort Load (Beban Kerja Mental)
Mental Effort Load atau beban kerja mental merupakan suatu perkiraan yang digunakan untuk menduga atau memperkirakan seberapa banyak usaha mental dalam perencanaan yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas Dimensi beban usaha mental merupakan indikator besarnya kebutuhan mental dan perhatian yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu aktivitas. Semakin meningkatnya beban ini, maka konsentrasi dan perhatian yang dibutuhkan meningkat pula. Peningkatan ini sejalan dengan tingkat kerumitan pekerjaan dan jumlah informasi yang diproses oleh subyek untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Aktivitas seperti perhitungan, pembuat keputusan, mengingat informasi dan penyelesaian masalah merupakan contoh usaha mental. Deskriptor yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Kebutuhan konsentrasi dan usaha mental sangat kecil, sedangkan aktivitas yang dilakukan hampir otomatis dan tidak membutuhkan perhatian.
2. Kebutuhan konsentras dan usaha mental sering atau masih batas normal. Kerumitan aktivitas sedang hingga tinggi sejalan dengan ketidakpastian, sedangkan ketidak mampuan memprediksi dan ketidak kenalan perhatian tambahan dibutuhkan.
3. Kebutuhan konsentrasi dan usaha mental sangat besar dan diperlukan sekali, sedangkan aktivitas yang sangat kompleks dan membutuhkan perhatian total.
c. Psychologycal Stress Load (Beban Tekanan Psikologi)
Psychological Stress Load atau beban tekanan psikolog digunakan untuk mengukur jumlah risiko, kebingungan, frustasi yang dihubungkan dengan performansi atau penampilan tugas. Dimensi ini berkaitan dengan kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya
kebingungan, frustasi dan ketakutan selama melaksanakan suatu pekerjaan. Pada keadaan stress rendah manusia cenderung merasa santai. Namun sejalan dengan meningkatnya stress, maka akan terjadi pengacauan konsentrasi yang disebabkan oleh faktor individual subyek antara lain motivasi, kelelahan, ketakutan, tingkat keahlian, suhu, kebisingan, getaran dan kenyamanan. Sebagian besar dari faktor- faktor tersebut mempengaruhi performansi subyek secara langsung apabila pada tingkatan yang tinggi. Tingkat spesifik dari beban ini adalah:
1. Kebingungan, risiko dan kegelisahan dapat diatasi dengan mudah.
2. Stress yang muncul dan berkaitan dengan kebingungan, frustasi dan kegelishan menambah beba kerja yang dialami. Kompesasi tambahan perlu dilakukan untuk menjaga performansi .
3. Stress yang tinggi dan intens berkaitan dengan kebingungan, frustasi dan kegelisahan. Membutuhkan pengendalian diri yang besar.
Berikut tabel skala/ rating pengukuran beban kerja melalui pengukuran beban kerja melalui pengukuran dengan menggunakan metode Subjective Workload Assesment Technique (SWAT).
Tabel 2.1
Subjective Workload Assesment Technique
1. Beban waktu (time load)
a. Sering mempunyai waktu luang, interupsi, kelebihan aktivitas tidak sering terjadi atau tidak sama sekali
b. Kadang-kadang mempunyai waktu luang, interupsi atau overlap diantara aktivitas tidak sering terjadi.
c. Hampir tidak pernah ada waktu luang, overlap diantara aktivitas sering terjadi atau terjadi pada semua waktu kerja.
2. Beban usaha mental (Mental efford load)
a. Sangat sedikit diperlukan usaha secara mental dengan penuh kesadaran atau sangat sedikit diperlukan konsentrasi.
Aktivitas hampir seluruhnya otomatis, memerlukan sedikit perhatian atau sama sekali tidak ada perhatian.
b. Cukup diperlukan usaha secara mental dengan kesadaran atau diperlukan cukup konsentrasi. Kompleksitas (uncertainty), ketidak persahabatan (unfamiliarty) hal yang tidak dapat diprediksi (unprcdictability). Diberikan suatu pertimbangan untuk diberikan perhatian.
c. Sangat diperlukan usaha mental dan konsentrasi tinggi.
Aktivitas yang sangat kompleks sehingga memerlukan perhatian penuh.
3. Beban tekanan psikologis (psychological stress load)
a. Sedikit kebingungan, risiko, frustasi, kegelisahan atau dengan secara diakomodasikan.
b. Stres dengan tingkat tinggi akibat kebingungan, risiko, frustasi atau kegelisahan sebagai beban tambahan. Diperlukan konpensasi secara signifikan untuk mempertahankan performasi yang baik.
c. Stres dengan tingkat tinggi akibat kebingungan, risiko, frustasi atau kegelisahan. Diperlukan determinasi dan pengendalian diri yang tinggi.
Sumber : Tarwaka (2011)
2.1.6 Dimensi Beban Kerja
Menurut Carayon dan Alvarado (dalam Prawitasari,2017) beban kerja perawat mempunyai 6 dimensi:
2.1.6.1 Beban kerja fisik (physical workload)
Beban kerja fisik yang dilakukan oleh perawat bukan hanya terdiri dari tindakan keperawatan langsung seperti mengangkat, memindah dan memandikan pasien, tetapi juga tindakan keperawatan tak langsung seperti mengambil dan mengirim alat-alat medis kebagian lain, repetisi perjalanan keunit lain akibat adanya peralatan yang hilang atau tidak berfungsi, atau bukan perjalanan kebagian yang sangat jauh dari unit tempat ia bekerja (seperti pusat sterilisasi alat medis atau ruang rawat lain) yang mana hal ini meningkatkan aktifitas berjalan (fisik) dari perawat.
Selain itu, tatanan ruang secara ergonomik dan fisik dari ruang sering kali menambah beban kerja perawat. Keterbatasan luas ruang rawat dan tempat penyimpanan alat sering kali menimbulkan masalah. Kesibukan dan keterbatasan waktu menyebabkan banyak perawat lebih memilih untuk melakukan pekerjaan tersebut sendirian daripada meminta bantuan kepada perawat atau tenaga lain.
2.1.6.2 Beban kerja kognitif (cognitive workload)
Beban kerja kognitif berhubungan denga kebutuhan para perawat untuk memproses informasi yang sering kali terjadi dalam waktu singkat. Banyak situasi tertentu yang mengharuskan perawat mengambil keputusan secara cepat yang mana ini berarti perawat harus cepat pula melakukan penyesuaian kognitif terhadap pasien sepanjang pasien yang
dirawat, baik yang terencana (misalnya perubahan jadwal dinas) maupun yang tidak terencana (perubahan kondisi pasien secara tiba-tiba). Selain itu perawat secara terus menerus tetap melakukan tugas-tugas kognitifnya selama melakukan lainnya (misal pemberian obat, mengambil alat-alat yang diperlukan pasien).
2.1.6.3 Tekanan waktu (time pressure)
Tekanan waktu berhubungan dengan hal-hal yang harus dilakukan secara cepat dan dalam waktu yang sangat terbatas.
Tugas yang dilakukan oleh perawat sangat banyak, yang dilakukan sesuai dengan waktu yang bersifat reguler atau kekerapannya (misal memberikan obat, mengkaji, mengukur hasil, mendokumentasikan). Adanya gangguan pada tugas yang telah terpola ini menimbulkan peningkatan terhadap waktu yang ada.
2.1.6.4 Beban kerja emosional (emotional workload)
Beban kerja emosional lazim terjadi pada lingkungan kerja.
Terkadang persepsi perawat dengan keluarga sering kali tidak sama yang mana hal ini menimbukan konflik dan masasalah.
2.1.6.5 Variasi beban kerja (workload variability)
Variasi beban kerja adalah perubahan beban kerja yang berkesinambungan pada waktu tertentu. Situasi genting adalah contoh lain dari variasi beban kerja dimana pada keadaan ini tiba-tiba beban kerja meningkat sebagai konsekuensi adanya situasi gawat pada pasien, sehingga mereka harus berkonsentrasi menghadapi kondisi pasien yang tidak stabil.
Kelima dimensi diatas tidaklah berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan, dimana dimensi yang satu mempengaruhi yang lain.
2.2 Konsep Kinerja
2.2.1 Pengertian Kinerja
Kinerja adalah melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakan sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan (Widodo, 2012) .
Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategi organisasi, keputusan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi (Arif yusuf hambali, 2016).
Sedangkan menurut Bangun (2012) bahwa kinerja adalah hasil pekerjaan yang dicapai seseorang berdasarkan persyaratan-persyaratan pekerjaan.
Kinerja adalah keberhasilan dalam menyelsaikan tugas atau memenuhi target yang ditetapkan,hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang perawat dalam melaksanaka tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Nursalam, 2013).Penilaian kinerja merupakan alat yang paling dapat dipercaya oleh manajer perawat dalam mengontrol sumber daya manusia dan produktifitasnya.
Proses penilaian kinerja dapat dilakukan secara efektif dalam mengarahkan perilaku pegawai dalam rangka menghasilkan jasa keperawatan dalam kualitas dan volume yang tinggi.
Kinerja perawat adalah aktivitas perawat dalam mengimplementasikan sebaik-baiknya suatu wewenang, tugas dan tanggung jawabnya dalam
rangka pencapaian tujuan tugas pokok profesi dan terwujudnya tujuan dan sasaran unit organisasi. Ukuran pengawasan yang digunakan oleh manajer perawat guna mencapai hasil organisasi adalah sistem penilaian pelaksanaan kerja perawat.
Melalui evaluasi reguler dari setiap pelaksanaan kerja pegawai, manajer harus dapat mencapai beberapa tujuan. Hal ini berguna untuk membantu kepuasaan perawat dan untuk memperbaiki pelaksanaan kerja mereka, memberitahu perawat bahwa kerja mereka kurang memuaskan serta mempromosikan jabatan dan kenaikan gaji, mengenal pegawai yang memenuhi syarat penugasan khusus, memperbaiki komunikasi antara atasan dan bawahan serta menentukan pelatihan dasar untuk pelatihan karyawan yang memerlukan bimbingan khusus.
2.2.2 Prinsip-Prinsip Penilaian
Menurut Gillies (2016), manajer sebaiknya mengamati prinsip-prinsip tertentu untuk mengevaluasi bawahan secara tepat dan adil. Prinsip tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
2.2.2 Evaluasi pekerja sebaiknya didasarkan pada standar pelaksanaan kerja dan orientasi tingkah laku untuk posisi yang ditempati (Romber, 2005 dikutip Gillies 2016). Deskripsi dan standar pelaksanaan kerja diberikan ke pegawai selama masa orientasi sebagai tujuan yang harus diusahakan. Pelaksanaan kerja sebaiknya di evaluasi berkenaan dengan sasaran-sasaran yang sama.
2.2.3 Sampel tingkah laku perawat yang cukup representatif sebaiknya diamati dalam rangka evaluasi pelaksanaan kerja.
Perhatian harus diberikan untuk mengevaluasi tingkah laku
umum atau tingkah laku konsistennya untuk menghindari hal- hal yang tidak diinginkan.
2.2.4 Perawat sebaiknya diberi salinan deskripsi kerja, standar pelaksanaan kerja dan bentuk evaluasi untuk peninjauan ulang sebelum pertemuan evaluasi. Dengan demikian, baik perawat maupun’ supervisor dapat mendiskusikan evaluasi dari kerangka kerja yang sama.
2.2.5 Penilaian pelaksanaan kerja pegawai sebaiknya menunjukkan hal-hal yang sudah memuaskan dan menunjukkan hal yang perlu diperbaiki oleh pegawai. Supervisor sebaiknya merujuk pada contoh-contoh khusus mengenai tingkah laku yang memuaskan maupun yang tidak memuaskan supaya dapat menjelaskan dasar-dasar komentar yang bersifat evaluatif.
2.2.6 Jika diperlukan, manajer sebaiknya menjelaskan area mana yang akan diprioritaskan seiring dengan usaha perawat untuk meningkatkan pelaksanaan kerja.
2.2.7 Pertemuan evaluasi sebaiknya dilakukan pada waktu yang cocok bagi perawat dan manajer sehingga diskusi evaluasi terjadi dalam waktu yang cukuo bagi keduanya
2.2.8 Laporan evaluasi maupun pertemuan sebaiknya disusun secara terencana, sehingga perawat tidak menyadari bahwa pelaksanaan kerjanya sedang dianalisis. Seorang pegawai dapat bertahan dari kecaman seorang manajer yang menunjukkan empati atas perasaannya serta menawarkan bantuan untuk meningkatkan pelaksanaan kerjanya.
2.1.2 Standar Kinerja
Standar pekerjaan adalah sejumlah kriteria yang menjadi ukuran dalam penilaian kinerja, yang digunakan sebagai pembanding cara dan hasil pelaksanaan tugas-tugas dari suatu pekerjaan/ jabatan (Nawawi, 2011).
Standar kinerja dapat dibuat untuk setiap individu dengan berpedoman pada uraian jabatan. Proses penulisan standar dimulai ketika pengawas dan pegawai mendiskusikan pekerjaan. Langkah pertama meliputi penulisan semua tugas dan tanggung jawab karyawan. pegawai juga mempertimbangkan pemahamannya tentang harapan-harapan utama yang mungkin dimilikimpengawas. Setelah menyelesaikan proses penulisan, penyuntingan dan integrasi, standar kinerja yang disepakati untuk dituliskan dan dapat dikuantifikasikan atau diukur dan dicapai (Usman, 2011).
2.1.3 Standar Instrumen Penilaian Kerja Perawat Dalam Melakasankan Asuhan Keperawatan Kepada Klien
Dalam penilaian kualitas pelayanan keperawatan kepada klien digunakan standar praktik keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keparawatan. Standar praktik keperawatan oleh PPNI (2000) dikutip oleh Nursalam (2012) yang mengacu dalam tahapan proses keperawatan, yang meliputi: (1) pengkajian, (2) diagnosa keperawatan, (3) perencanaan, (4) implementasi, (5) evaluasi.
2.1.3.1 Standar I: Pengkajian Keperawatan
Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat dan berkesinambungan.Kriteria pengkajian keperawatan:
a. Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesa, observasi, pemeriksaan fisik serta dari pemerikasaan penunjang.
b. Sumber data adalah klien, keluarga, atau orang yang yang terkait, tim kesehatan, rekam medis dan catatan lain.
c. Data yang dikumpulkan, difokuskan untuk mengidentifikasi 1) Status kesehatan klien masa lalu
2) Status kesehatan saat ini
3) Status biologis-psikologis-sosial-spiritual 4) Respon terhadap terapi
5) Harapan terhadap tingkat kesehatan yang optimal 6) Risiko-risiko tingkat masalah.
2.1.3.2 Standar II: Diagnose Keperawatan.
Perawat menganalisa data pengkajian untuk merumuskan diagnose keperawatan.
Adapun kriteria proses:
a. Proses diagnose terdiri dari analisis, interpretasi data, identifikasi masalah klien dan perumusan diagnose keperawatan.
b. Diagnosa keperawatan terdiri dari: masalah (P), penyebab (E) dan tanda atau gejala (S), atau terdiri dari masalah dan penyebab (PE).
c. Bekerja sama dengan klien dan petugas keseshatan lain untuk memvalidasi diagnosa keperawatan.
d. Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosa berdasarkan data terbaru.
2.1.3.3 Standar III: Perencanaan Keperawatan
Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kesehatan klien.
Kriteria prosesnya meliputi:
a. Perencanaan terdiri dari penetapan prioritas masalah, tujuan dan rencana tindakan keperawatan.
b. Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan.
c. Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien.
d. Mendokumentasi rencana keperawatan.
2.1.3.4 Standar IV:Implementasi
Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam rencana asuhan keperawatan.
Kriteria proses meliputi:
a. Bekerjasama dengan klien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
b. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain.
c. Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi kesehatan klien.
d. Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai konsep, keterampilan asuhan diri serta membantu klien memodifikasi lingkunngan yang digunakan.
e. Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan respon klien.
2.1.3.5 Standar V: Evaluasi Keperawatan
Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan keperawatan dalam pencapaian tujuan dan merevisi data dasar dan perencanaan.
Adapun kriteria prosesnya:
a. Menyusun perencanaan evaluasi hasil dari intervensi secara komprehensif, tepat waktu dan terus menerus.
b. Menggunakan data dasar dan respon klien dalam mengukur perkembangan kearah pencapaian tujuan.
c. Memvalidasi dan menganalisis data baru dengan teman sejawat.
d. Bekerjasama dengan klien keluarga untuk memodifikasi perencanaan.
Dengan standar asuhan keperawatan tersebut, maka pelayanan keperawatan menjadi lebih terarah. Standar adalah pernyataan deskriptif mengenai tingkat penampilan yang diinginkan dan kualitas struktur, proses, atau hasil yang dapat dinilai.
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruh Kinerja
Kinerja perawat merupakan hasil yang bersinergi dari sejumlah faktor.
Ada tiga hal yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja yaitu faktor individu, organisasi dan psikologis, menurut Ilyas, 2001 (dalam Kurniadi A, 2013).
a. Faktor Individu
Faktor individu adalah faktor internal dalam diri pekerja, termasuk dalam faktor ini adalah faktor yang dibawa sejak lahir dan faktor yang didapat saat tumbuh kembang. Faktor-faktor bawaan seperti sifat pribadi, bakat, juga kondisi jasmani dan faktor kejiwaan.
Sementara itu, beberapa faktor yang didapat, seperti pengetahuan, etos kerja, keterampilan dan pengalaman kerja. Faktor internal perawat inilah yang nantinya besar pengaruhnya terhadap penentukan kinerja perawat. Dimana dalam penelitian ini, faktor individu yang diteliti adalah kompetensi perawat dalam variabel kompetensi.
b. Faktor Psikologis
Faktor psikologis meliputi sikap, kepribadian, belajar motivasi dan persepsi perawat terhadap pekerjaannya. Faktor ini merupakan peristiwa, situasi atau keadaan di lingkungan luar institusi yang berpengaruh kepada kinerja perawat. Salah satu faktor tersebut adalah motivasi kerja, yang dalam penelitian ini peneliti jadikan variabel pengaruh kedua.
c. Faktor Organisasi
Dukungan organisasi sangat diperlukan oleh perawat dalam melaksanakan tugasnya, hal ini sangat berpengaruh terhadap kinerja perawat. Seperti halnya juga sistem penghargaan dan suasana kerja institusi yang buruk, maka dapat diasumsikan bahwa kinerja perawat pun menjadi tidak baik. Selain faktor tersebut, factor organisasi lainnya yang berhubungan dengan kinerja adalah strategi, dukungan sumber daya, dan sistem manajemen serta kompensasi.
2.1.5 Penilaian Kinerja Perawat
Penilaian kinerja merupakan kegiatan mengevaluasi hasil kerja perawat dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sesuai sasaran kerja dengan menggunakan suatu alat atau pedoman penilaian. Pelayanan keperawatan sangat ditentukan oleh kinerja para perawat itu sendiri.
Oleh sebab itu, evaluasi terhadap kinerja perawat perlu dan harus dilaksanakan melalui suatu sistem yang terstandar sehingga hasil dari evaluasi dapat lebih objektif (Wijaya G, 2012).
Penilaian kinerja adalah cara mengevaluasi kualitas dan kuantitas pekerjaan perawat dibandingkan pedoman standar kerja (SAK/SOP) yang ditetapkan dalam kurun waktu tertentu (Kurniadi A, 2013).
Penilaian Kinerja disebut juga sebagai performance evaluation, development review, performance appraisal, performance review and development. Keberhasilan maupun kegagalan tugas dari pegawai dapat dinilai dengan cara penilaian Kinerja yang didalamnya terdapat pedoman-pedoman dan ukuran yang telah disepakati dalam standar kerja. (Usman, 2011).
2.1.6 Prinsip-Prinsip Penilaian
Menurut Gillies (2016), manajer sebaiknya mengamati prinsip-prinsip tertentu untuk mengevaluasi bawahan secara tepat dan adil. Prinsip tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
2.2.5 Evaluasi pekerja sebaiknya didasarkan pada standar pelaksanaan kerja dan orientasi tingkah laku untuk posisi yang ditempati (Romber, 2005 dikutip Gillies 2016). Deskripsi dan standar pelaksanaan kerja diberikan ke pegawai selama masa orientasi sebagai tujuan yang harus diusahakan. Pelaksanaan kerja sebaiknya di evaluasi berkenaan dengan sasaran-sasaran yang sama.
2.3.5 Sampel tingkah laku perawat yang cukup representatif sebaiknya diamati dalam rangka evaluasi pelaksanaan kerja.
Perhatian harus diberikan untuk mengevaluasi tingkah laku umum atau tingkah laku konsistennya untuk menghindari hal- hal yang tidak diinginkan.
2.4.5 Perawat sebaiknya diberi salinan deskripsi kerja, standar pelaksanaan kerja dan bentuk evaluasi untuk peninjauan ulang sebelum pertemuan evaluasi. Dengan demikian, baik perawat maupun supervisor dapat mendiskusikan evaluasi dari kerangka kerja yang sama.
2.5.5 Penilaian pelaksanaan kerja pegawai sebaiknya menunjukkan hal-hal yang sudah memuaskan dan menunjukkan hal yang perlu diperbaiki oleh pegawai. Supervisor sebaiknya merujuk pada contoh-contoh khusus mengenai tingkah laku yang memuaskan maupun yang tidak memuaskan supaya dapat menjelaskan dasar-dasar komentar yang bersifat evaluatif.
2.6.5 Jika diperlukan, manajer sebaiknya menjelaskan area mana yang akan diprioritaskan seiring dengan usaha perawat untuk meningkatkan pelaksanaan kerja.
2.7.5 Pertemuan evaluasi sebaiknya dilakukan pada waktu yang cocok bagi perawat dan manajer sehingga diskusi evaluasi terjadi dalam waktu yang cukuo bagi keduanya
2.8.5 Laporan evaluasi maupun pertemuan sebaiknya disusun secara terencana, sehingga perawat tidak menyadari bahwa pelaksanaan kerjanya sedang dianalisis. Seorang pegawai dapat bertahan dari kecaman seorang manajer yang menunjukkan empati atas perasaannya serta menawarkan bantuan untuk meningkatkan pelaksanaan kerjanya.
2.1.7 Pengukuran Kinerja
Barnadin (1995) dalam Nursalam (2013) mengemukakan 6 kriteria primer yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja pekerja adalah sebagai berikut:
2.1.7.1 Quality, merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksana kegiatan yang mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan.
2.1.7.2 Quantity, merupakan jumlah yang dihasilkan, misalnya jumlah rupiah, jumlah unit, jumlah siklus kegiatan yang diselesaikan.
2.1.7.3 Timeliness, merupakan lamanya kegiatan diselesaikan pada waktu yang dikehendaki, dengan memperhatikan jumlah output lain serta waktu yang tersedia untuk kegiatan yang lain.
2.1.7.4 Cost effectiveness, besarnya penggunaan sumber daya organisasi untuk mencapai hasil yang maksimal atau pengukuran kerugian dari satiap unit penggunaan sumber daya.
2.1.7.5 Need for supervision, kemampuan seorang pekerja untuk melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seorang supervisor untuk mencegah tindakan yang kurang diinginkan.
2.1.7.6 Interpersonal impact, kemampuan seorang pegawai untuk memelihara harga diri, nama baik dan kemampuan bekerjasama diantara rekan kerja dan bawahan.
2.3 Konsep Dekubitus
2.3.1 Pengertian Dekubitus
Dekubitus merupakan kondisi dimana terjadi kerusakan atau kematian kulit sampai jeringan dibawahnya bahkan dapat nebenbus otot sampai mengenai tulang. Menurut Al Kharabsheh et.al (2014), dekubitus terjadi sebagai akibat adanya penekanan pada suatu area sacara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat.
Dekubitus adalah Klien dengan penurunan kemampuan mobilisasi, nutrisi yang tidak adekuat, kelembaban kulit yang berlebih, penurunan fungsi persepsi sensori, atau penurunan aktifitas merupakan faktor risiko pengembangan luka dekubitus ( Potter et al, 2011).
Dekubitus merupakan kerusakan kulit pada suatu area dan dasar jaringan yang disebabkan oleh tulang yang menonjol, sebagai akibat dari tekanan, pergeseran, gesekan atau kombinasi dari beberapa hal tersebut (NPUAP, 2014). Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan dari luar yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu yang biasa, gangguan ini terjadi pada individu yang berada diatas kursi atau diatas tempat tidur, seringkali pada inkontinensia, malnutrisi, ataupun individu yang mengalami kesulitan makan sendiri, serta mengalami gangguan tingkat kesadaran. Sedangkan menurut Perry et al, (2012) dekubitus adalah luka pada kulit dan atau jaringan dibawahnya, biasanya disebabkan oleh adanya penonjolan tulang, sebagai akibat dari tekanan atau kombinasi tekanan dengan gaya geser dan atau gesekan.
Pencegahan dekubitus dapat dilakukan dengan berbagai upaya.
Heineman (2010) menjelaskan prosedur pencegahan dekubitus dengan mengutip panduan praktik klinik America Health of Care Plan Resources (AHCPR) bahwa intervensi yang dapat digunakan untuk mencegah dekubitus terdiri dari tiga kategori. Intervensi pertama ialah perawatan kulit dan penanganan dini meliputi mengkaji risiko klien terkena dekubitus, perbaikan keadaan umum penderita, pemeliharaan, perawatan kulit yang baik, pencegahan terjadinya luka dengan perubahan posisi tirah baring dan masase tubuh. Intervensi kedua yaitu meminimalisasi tekanan dengan matras atau alas tempat tidur yang baik.
Intervensi yang ketiga yaitu edukasi pada klien dan support system
Iskemia jaringan, penurunan aliran darah ke jaringan yang berakhir dengan kematian jaringan, terjadi ketika aliran darah kapiler terhambat seperti pada kondisi tertekan. Ketika tekanan dihingkan dalam waktu
yang relative singkat, akan terjadi fenomena yang disebut hiperemia reaktif ( Potter et al, 2011). Hiperemia aktif normal adalah kemerahan pada kulit akibat dilatasi pembuluh darah kapiler superfisial. Reaksi hiperemia aktif akan menghilang dalam waktu kurang dari 1 jam.
Respon terhadap tekanan berupa vasodilatasi yang berlebih merupakan kelainan hiperemia reaktif. Kulit tampak berwarna merah muda terang sampai merah. Indurasi adalah edema lokal dibawah kulit. Kelainan hyperemia reaktif dapat hilang dalam waktu antara lebih dari satu jam hingga dua minggu setelah tekanan diatasi (Potter dan Perry, 2012).
Berat badan akan berpindah pada lokasi penonjolan tulang, saat klien dalam posisi berbaring atau duduk. Semakin lama durasi tekanan diberikan, semakin besar risiko kerusakan kulit. Tekanan mengakibatkan suplai darah menuju jaringan menurun yang berakhir dengan iskemia. Jika tekanan diatasi segera akan terdapat periode hiperemia aktif sebagai respon konpensasi dan hanya efektif jika tekanan dihilangkan sebelum ada nekrosis atau kerusakan ( Potter dan Perry ).
2.3.2 Klasifikasi Dekubitus
Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) 2014 membagi derajat dekubitus menjadi enam dengan karakteristik sebagai berikut :
2.3.2.1 Derajat I : Nonblanchable Erythema
Derajat I ditunjukkan dengan adanya kulit yang masih utuh dengan tanda-tanda akan terjadi luka. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut : perubahan temperatur kulit (lebih dingin atau lebih hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak), dan perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit putih luka akan kelihatan sebagai kemerahan
yang menetap, sedangkan pada orang kulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap, biru atau ungu.
Cara untuk menentukan derajat I adalah dengan menekan daerah kulit yang merah (erytema) dengan jari selama tiga detik, apabila kulitnya tetap berwarna merah dan apabila jari diangkat juga kulitnya tetap berwarna merah.
2.3.2.2 Derajat II : Partial Thickness Skin Loss
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya adalah lukanya superfisial dengan warna dasar luka merah-pink, abrasi, melepuh, atau membentuk lubang yang dangkal.
Derajat I dan II masih bersifat refersibel.
2.3.2.3 Derajat III : Full Thickness Skin Loss atau nekrosis dari jaringan subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fasia. Luka terlihat seperti lubang yang dalam. Disebut sebagai
“typical decubitus” yang ditunjukkan dengan adanya kehilangan bagian dalam kulit hingga subkutan, namun tidak termasuk tendon dan tulang. Slough mungkin tampak dan mungkin meliputi undermining dan tunneling.
2.3.2.4 Derajat IV : Full Thickness Tissue Loss Kehilangan jaringan secara penuh sampai dengan terkena tulang, tendon atau otot.
Slough atau jaringan mati (eschar) mungkin ditemukan pada beberapa bagian dasar luka (wound bed) dan sering juga ada undermining dan tunneling. Kedalaman derajat IV dekubitus bervariasi berdasarkan lokasi anatomi, rongga hidung, telinga, oksiput dan malleolar tidak memiliki jaringan subkutan dan lukanya dangkal. Derajat IV dapat meluas ke dalam otot dan atau struktur yang mendukung (misalnya pada fasia, tendon atau sendi) dan memungkinkan terjadinya osteomyelitis.
Tulang dan tendon yang terkena bisa terlihat atau teraba langsung.
2.3.2.5 Unstageable : Depth Unknown
Kehilangan jaringan secara penuh dimana dasar luka (wound bed) ditutupi oleh slough dengan warna kuning, cokelat, abu- abu, hijau, dan atau jaringan mati (eschar) yang berwarna coklat atau hitam didasar luka. slough dan atau eschar dihilangkan sampai cukup untuk melihat (mengexpose) dasar luka, kedalaman luka yang benar, dan oleh karena itu derajat ini tidak dapat ditentukan.
2.3.2.6 Suspected Deep Tissue Injury : Depth Unknown
Berubah warna menjadi ungu atau merah pada bagian yang terkena luka secara terlokalisir atau kulit tetap utuh atau adanya blister (melepuh) yang berisi darah karena kerusakan yang mendasari jaringan lunak dari tekanan dan atau adanya gaya geser. Lokasi atau tempat luka mungkin didahului oleh jaringan yang terasa sakit, tegas, lembek, berisi cairan, hangat atau lebih dingin dibandingkan dengan jaringan yang ada di dekatnya. Cidera pada jaringan dalam mungkin sulit untuk di deteksi pada individu dengan warna kulit gelap. Perkembangan dapat mencakup blister tipis diatas dasar luka (wound bed) yang berkulit gelap. Luka mungkin terus berkembang tertutup oleh eschar yang tipis. Dari derajat dekubitus diatas, dekubitus berkembang dari permukaan luar kulit ke lapisan dalam (top- down), namun menurut hasil penelitian saat ini, dekubitus juga dapat berkembang dari jaringan bagian dalam seperti fascia dan otot walapun tanpa adanya adanya. kerusakan pada permukaan kulit. Ini dikenal dengan istilah injury jaringan bagian dalam (Deep Tissue Injury). Hal ini disebabkan karena jaringan otot
dan jaringan subkutan lebih sensitif terhadap iskemia daripada permukaan kulit.
Katagori/ derajat luka dekubitus a. Dicurigai cedera jaringan dalam
Tampak keunguaan atau merah maroon yang terlokalisasi pada kulit yang utuh atau darah diisi bliter karena kerusakan akibat penekanan pada jaringan lunak. Daerah tersebut didahului dengan jaringan terasa nyeri, keras, lembek, lebih hangat, atau dingin dibandingkan dengan jaringan lain yang berdekatan. Cedera pada jaringan dalam sulit dideteksi pada klien dengan warna kulit gelap.
b. Derajat I
Eritema atau kemerahan tidak pucat pada kulit yang utuh secara lokal pada bagian kulit dengan penonjolan tulang.
Pigmentasi kulit menjadi gelap meungkin tidak terlihat pucat, namun warna tersebut tampak berbeda dengan daerah lain disekitarnya. Daerah kulit tersebut mugkin terasa nyeri, keras, lembek, lebih hangat atau dingin dari jaringan lainnya. Luka dekubitus darajat I sulit dideteksi pada klien dengan warna kulit gelap.
c. Derajat II
Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan/
dermis yang menghasilkan luka dangkal terbuka dengan warna luka merah muda tanpa adanya lubang yang dalam atau slaugh. Mungkin juga didapatkan kerusakan, rupture atau terbukanya serum. Ulkus superfisial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal.
d. Derajat III
Hilangnya sekuruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan yang rusak atau nekrotik yang mungkin melebar kebawah, namun tidak sampai mengenai tulang, otot, atau tendon. Ulkus secara klinis terlihat seperti lukla yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. Dapat ditemukan juga luka goa (tunnel).
e. Derajat IV
Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis jaringan atau kerusakan mengenai otot, tulang, atau struktur penyangga (misalnya tendon, sendi dan lain-lain). Termasuk ditemukan adanya kerusakan yang dalam dan adanya tunnel.
f. Tidak terklasifikasi
Kehilangan jaringan secara menyeluruh dimana dasar luka atau ulkus tertutupi oleh slough( coklat, abu-abu, kuning, atau hijau) atau eschar (coklat atau hitam) pada dasar luka.
Derajat ini tidak dapart ditentukan karena harus membuang cukup slough dan eschar sehingga terlihat dasar luka dan kedalam luka yang sebenarnya untuk dapat diketahui derajat yang sebenarnya ( National Pressure Ulcer Advisory Panel National, 2007).
2.3.3 Faktor Risiko Dekubitus
Ada beberapa faktor predisposisi yang dapat menyebabkan timbulnya luka dekubitus pada klien, yaitu :
a. Gangguan input sensori
Klien berisiko tinggi mengalami gangguan integritas kulit jika terjadi perubahan atau gangguan pada fungsi persepsi sensorinya, terutama
dalam merasakan nyeri dan tekanan. Klien yang persepsi sensorinya masih normal akan bereaksi dan akan mengetahui jika salah satu anggota tubuhnya mengalami tekanan yang berlebih atau nyeri, sehingga klien akan berespon untuk mengubah posisinya atau meminta bantuan untuk mengubah posisinya (Potter & Perry, 2012).
b. Gangguan fungsi motorik
Klien yang tidak mampu mengganti posisi secara mandiri berisiko tinggi mengalami dekubitus nyeri dan tekan dapat dirasakan oleh pasien, namun tidak dapat mengubah posisi secara mandiri untuk menurunkan tekanan tersebut. Kondisi ini menjadi peluang terjadinya pembentukan luka dekubitus (Potter & Perry, 2012).
c. Perubahan tingkat kesadaran
Perubahan tingkat kesadaran yang dialami oleh klien mengakibatkan ketidak mampuan klien untuk melindungi dirinya sendiri dari dekubitus. Klien dengan bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, namun tidak mampu mengerti cara untuk menghilangkan tekanan tersebut. Klien koma tidak bisa merasakan tekanan dan tidak mampu mengganti posisisnya untuk mengurangi tekanan (Potter & Perry, 2012).
d. Gips,traksi, alat ortotik danperalatan lain
Gips dan traksi mengakibatkan penurunan tingkat mobilisasi klien dengan gerakan ekstrimitasnya. Gaya fiksi atau tarikan eksternal mekanik dari permukaan gips akan menggesek lapisan kulit bawahnya. Hal ini, meningkatkan resiko kerusakan integritas pada kulit pasien. Selain itu, tekanan yang ditimbulkan oleh gips pada kulit karena terlalu ketat saat dikeringkan atau jika ekstrimitas yang bersangkutan mengalami bengkak menjadi gaya mekanik yang dapat melukai kulit dan menyebabkan dekubitus.
Klien yang mengalami fraktur tulang servikal bagian atas akan menggunakan alat ortotik seperti collar neck atau penyangga leher untuk pengobatannya. Beberapa penyangga leher dapat menekan aliran kapiler di bagian servikal, yang berisiko menimbulkan dekubitus. Semua peralatan yang memberikan tekanan pada kulit klien berisiko menimbulkan dekubitus, seperti selang oksigen dan naso gastric tube (NGT) (Potter & Perry, 2012).
2.3.4 Faktor Mempengaruhi Pembentukan Dekubitus a. Gaya gesekan
Gaya gesekan atau geser merupakan gaya yang bekerja pada kulit ketika kulit dalam posisi diam sedangkan struktur tulang bergerak.
pembuluh darah yang berada dibawah jaringan akan tertekan dan terbebani, serta aliran darah yang menuju kejaringan lebih dalam terhamabat. Akhirnya, akan terjadi perdaran dan nekrosis pada lapisan jaringan. Akhirnya pada kulit akan terbentuk suatu saluran sebagai ruang drainase dari area nekrosis (Potter et al, 2011).
b. Friksi
Friksi merupakan cedera pada kulit yang memiliki penampilan abrasi. Abrasi merupakan hilangnya lapisan atas kulit, yaitu epidermis. Friksi dihasilkan oleh dua permukaan yang saling bergesekan satu sama lain. Bagian tubuh yang paling berisiko mengalami friksi adalah siku dan tumit. Hal ini dikarenakan saat reposisi kedua bagian tersebut mengalami gesekan dengan alas dibawahnya yang menyebabkan terjadinya abrasi. Kerusakan kulit yang diakibatkan oleh friksi tampak seperti abrasi (Bryant dan Clark, 2007 dalam Potter etal., 2011)
c. Nutrisi
Nutrisi kurang, khususnya kekurangan protein menyebabkan jaringan yang lunak menjadi rentan terjadi kerusakan. Tingkat protein yang rendah menyebabkan edema atau pembengkakan yang berkontribusi mengganggu aliran oksigen serta nutrisi (Pieper, 2007 dalam Potter et al., 2011).
d. Infeksi
Infeksi diakibatkan adanya pathogen didalam tubuh. Klien dengan infeksi biasanya mengalami demam. Infeksi dan demam akanmeningkatkan kebutuhan metabolik tubuh, membuat jaringan yang hipoksia semakinrentan mengalami cidera karena iskemi.
Selain itu, demam mengakibatkan diaphoresis dan meningkatkan kelembaban kulit yang menjadi predisposisi rusaknya jaringan kulit klien ( Potter et al., 2011).
e. Usia
Struktur kulit berubah seiring dengan usia, penyebab hilangnya lapisan dermal dan meningkatkan risiko kerusakan kulit. lansia memiliki risiko tertinggi terjadikan pembentukan luka tekan, 60%- 90% luka dekubitus terjadi pada klien yang berusia diatas 65 tahun , Neonatus dan balita juga berisiko tinggi mengalami luka dekubitus (Noonan, Quigley dan Curly 2006; WOCN, 2003 dalam Potter et al., 2011).
2.3.5 Pengkajian Risiko Dekubitus
Terdapat empat instrument yang dapat digunakan untuk mengakaji risiko terjadinya dekubitus yang hasilnya dapat secara langsung mengidentifikasi klien yang berisiko tinggi. Masing-masing instrument pengkajian memiliki faktor risiko yang berbeda (5-6 jenis) diurutkan berdasarkan angka. Nilai pengkajian risiko klien didapat dengan cara
menjumlahkan tiap angka yang diberikan untuk masing-masing faktor risiko.
Interpretasi dari nilai numerik berbeda pada setiap sklala.
a. Skala Norton
Skala pertama yang dilaporkan dalam literatur adalah skala norton (1962). Skala Norton menilai lima faktor risiko, yaitu : kondisi fisik, kondisi mmental, aktivitas, mobilisasi, dan inkontinensia. Jumlah nilai berada di rentang 5-20; jumlah nilai rendah mengindikasikan risiko tinggi dan begitu sebaliknya. Saat ini nilsi 16 dianggap sebagai nilai yang berisiko ( Norton, 1989 dalam Potter 7 Perry, 2012) b. Skala Gosnell
Skala Gosnell pertama kali ditemukan pada tahun 1973, skala ini mengacu pada skala Norton, namun pada skala ini juga ada beberapa point penilaian yang digantikan seperti : kondisi fisik menjadi nutrisi, dan inkontinensia dirubah menjadi kontinensia. Pada skala Gosnell terdapat lima faktor yang dinilai, yaitu: status mental, inkontensia, mobilisasi, aktivitas, dan nutrisi. Pada skala Gosnell terdapat tambahan berupa data demografi, hal-hal lain yang bersifat klinik dan pedoman kriteria narasi. Total nilai berada pada kisaran 5-20, dengan total nilai tinggi mengindikasikan risiko dekubitus ( Gosnell, 1987 dalam Potter & Perry, 2012).
c. Skala Knoll
Pengkajian skala Knoll didapat dari hasil pengembangan faktor risiko klien yang berada pada ruang perawatan akut rumah sakit besar. Terdapat 8 faktor risiko yang dinilai dalam skala Knoll, yaitu:
status kesehatan umum, status mental, aktivitas, mobilisasi, inkontinensia, asupan nutrisi melalui oral, dan penyakit yang menjadi faktor predisposisi. Total nilai berada dalam rentang 0-33 dengan
interpretasi total nilai tinggi menunjukkan risiko tinggi terjadinya dekubitus. Nilai risiko berada pada total 12 atau lebih (Potter &
Perry, 2012).
d. Skala Braden
Skala Braden dikembangkan berdasarkan faktor risiko pada populasi perawat dirumah ( Bergstrom dkk, 1987 dalam Potter & Perry, 2012).
Skala Braden terdiri dari 6 subskala, yaitu : persepsi sensori, kelembapan, aktivitas, mobilisasi, nutrisi,friksi, dan gesekan (Petter
& Perry, 2012). interpretasi dari hasil total nilai pekerjaan, yaitu : skor 15-18 adalah berisiko, skala 13-14 adalah risiko sedang, skor 10-12 adalah berisiko, dan skor ≤ 9 adalah sangat berisiko tinggi mengalami dekubitus.
2.3.6 Pencegahan Dekubitus
2.3.6.1 Mengurangi/ menghilangkan friksi dan gesekan
Mengurangi friksi dan gaya gesekan dapat dilakukan dengan tindakan seperti :
a. Mengangkat tubuh pasien ketika akan dipindahkan. Hindari memindah pasien dengan cara digeser baik deri tempat tidur maupun kursi roda.
b. Hindari mengangkat bagian kepala pasien lebih dari 30 derajat kecuali terdapat kontraindikasi untuk dielevasi.
Posisi 90 derajat ketika pasien dalam kondisi duduk baik kursi roda maupun kursi biasa untuk mengurangi friksi dan gaya gesekan.
c. Gunakan perangkat untuk transfer pasien seprti lift, kasur dorong, dan lain-lain.
d. Gunakan alas antara kulit dengan kulit atau kulit dengan peralatan yang saling bergesekan.
e. Sering berikan minyak yang hipoalergi, krim atau lotion yang dapat menurunkan ketegangan pada permukaan kulit dan mengurangi gaya gesekan ( Reddy, 2006 dalam Perry et al.,2012).
f. Gunakan transfaran film, balutan hidrokoloid atau balutan kulit pada bagian penonjolan tulang untuk mengurangi friksi.
g. Jaga kondisi hidrasi kulit tetap baik dan lembab.
h. Lumasi pispot terlebih dahulu sebelum digunakan.
Gulingkan pasien ke samping untuk menempatkan pispot bukan dengan menarik dan mendorong pispot.
i. Lindungi kulit dari kelembapan. Kondisi kulit yang terlalu lembab akan menurunkan integritas kulit dan merusak lapisan lipid bagian luar. Oleh karena itu, menurutnya kemampuan mobilisasi berperan dalam pembentukan luka dan penyebab luka terbuka (Baronoski, 2004 dalam Perry et al., 2012).
2.3.6.2 Minimalisir Tekanan
Toleransi jaringan adalah kemampuan kulit dan struktur pendukungnya untuk menahan efek akibat tekanan yang dapat merugikan kondisi klien (Braden, 1987 dalam Perrt et al., 2012). Imobilisasi merupakan faktor risiko yang paling signifikan untuk terjadi pembentukan ulkus decubitus. Latihan gerak pasif dapat dilakukan sebagai pencegahan, pengobatan kontraktur sendi dan rujukan kepada fisioterapi dapt menjadi pilihan sebagai perawatan tambahan. Pasien dengan imobilisasi dengan derajat apapun perlu mendapatkan pengawasan terhadap perkembangan ulkus dekubitus.
Pasien memiliki intensitas tekanan lebih besar terhadap penonjolan tulang ketika duduk dikursi, karena distribusi berat badan tidak terdistribusi merata. Seiring dengan peningkatan berat badan pada penonjolan tulang, terdapat kecenderungan tubuh untuk meluncur dalam gerakan kebawah,menyebabkan adanya gaya gesek yang dapat merusak jaringan lunak yang lebih tipis pada area penonjolan tulang. Posisi duduk termasuk duduk diatas tempat tidur dengan elevasi kepada lebih 30 derajat. Ketika dalam posisi ini, penting bagi pasienuntuk mengubah posisinya atau sekedar menggeser tubuhnya setiap 15 menit jika klien dapat melakukannya secara mandiri. jika pasien tidak mampu berganti posisi secara mandiri, maka posisinya harus diubah dengan bantuan penyediaan perawatan tiap jam (Baronoski, 2004 dalam Perry et al., 2012).
2.3.6.3 Alas Pendukung ( Kasur dan tempat tidur)
Untuk mengurangi bahaya akibat imobilisasi pada sistem kulit dan muskuluskletas telah dibuat berbagai alas pendukung, termasuk kasur dan tempat tidur khusus. Perbedaan antara alas pendukung yang dapat menghilangkan tekanan penting untuk dipahami. Alat yang dapat menghilangkan tekanan dapat mengurangi tekanan antara permukaan (tekanan antara tubuh dengan alas pendukung) dibawah 32 mmHg (Tekanan yang menutupi kapiler). Alat untuk mengurangi tekanan juga mengurangi tekanan antar permukaan, tetapi tidak dibawah besar tekanan yang menutupi kapiler (AHCPR, 1994 dalam Potter & Perry, 2012).
2.3.6.4 Mengelola Kelembapan
Mengelola kelembapan dari keringat, drainase luka dan inkontinensia merupakan faktor-faktor yang penting dalam
pencegahan luka dekubitus. Kelembapan yang disebabkan oleh inkontensia dapt menjadi pemicu perkembangan luka dekubitus dengan maserasi kulit dan peningkatan friksi (Ratliff, 1999 dalam Perry et al., 2012). Tindakan yang dapat dilakukan:
a. Evaluasi tipe inkontinensia klien, urin atau fekal atau keduanya dan faktor yang berkontribusi lainya. Hilangkan jika memungkinkan.
b. Lakukan jadwal toileting atau program bawel/ badder secara tepat.
c. Cek kondisi inkontinensia minimal tiap 2 jam dan sesuai kebutuhan.
d. Bersihkan kulit setelah periode inkontensia dengan air.
Hindari menggosok atau friksi yang berlebih karena dapat melukai kulit (jeter, 1996 dalam Perry et al., 2012).
e. Gunakan pelembab perlindungan kuliit (mis: krim, salep) sesuai kebutuhan untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan kulit, atau merawat kulit yang sudah luka.
f. Pilih underpad dan elana yang memiliki daya serap tinggi terhadap inkontensia untuk mencegah kelembapan yang menjadi pengebab maserasi.
g. Kaji adanya candidiasis dan obati secara tepat (Evans, 2003 dalam Perry et al., 2012).
h. Tampung dan bersihkan drainase luka.
i. Hindari adanya lipatan kulit, ganti pakaian klien sesuai kebutuhan (Wound, Ostomy, and Continence Nurse Society, 2003 dalam Perry et al., 2012).
j. Ganti linen atau sperai secara berkala untuk menghindari keringat yang berlebih.
2.3.6.5 Pertahanan Asupan Nutrisi dan Cairan yang Adekuat
Intervensi pengelolaan nutrisi dan pengembangan rencana perawatan nutrisi dapt mengidentifikasi dan mengatasi masalah nutrisi yang terjadi. Nutrisi yang tidak adekuat dapat menjadi faktor risiko reversible untuk luka dekubitus. Tindakan : Lengkapi pengkajian untuk mencegah atau pengobatan luka dekubitus, meliputi:
a. Pengkajian kebutuhan nutrisi, protein, kalori, cairan, vitamin dan mineral (Keast, 2007 dalam Perry et al., 2012).
b. Kecukupan asupan oral, baik riwayat terdahulu maupun aktual saat ini ( Dorner, 2004 dalam Perry et al., 2012).
c. Hambatan menerima nutrisi yang optimal, meliputi kemampuan menelan, mengunyak, dan implikasi sosial (Dorner, 2004 dalam Perry et al., 2012).
d. Fungsi kognitif, termasuk kemampuan makan secara mandiri (Dorner, 2004 dalam Perry et al., 2012).
e. Review kondisi kesehatan pasien dan penyakit kronis yang menyertai, meliputi: control diabetes dan penyakit ginjal (European Pressure Ulcer Advisory Panel, 2009 dalam Perry et al., 2012).
f. Catat riwayat berat badan dan kehilangan berat badan.
g. Tingkat aktifitas.
Nutrisi untuk pencegahan dan pengibatan terhadap lika dekubitus harus secara individu dan menyatakan pertisipasi pasien dalam perencanaanya. Intervensi nutrisi perlu mempertimbangkan hal-hal berikut :
1. Pengkajian kebutuhan
2. Kecukupan gizi saat ini dan sejauh mana kekurangan nutrisi serta cairan.
3. Hambatan dalam memcapai nutrisi yang optimal.
4. Status penyakit 5. Antropometri
6. Indikator biokimia dan klinis status gizi
7. Pertimbangan yang berkaitan dengan hidup bersama
8. Tujuan dan harapan pasien ( Keast, 2007 dalam Perry et al., 2012)
9. Edukasi kepada klien/ pemberi perawatan
Edukasi kepada pasien bagian penting dalam pencegahan dan pengobatan luka dekubitus. Pasien, keluaga dan pemberian perawatan merupakan kunci untuk mencegah, memenejemen dan mengobati luka dekubitus. Topik edukasi yang harus diberikan meliputi :
a. Penyebab luka dekubitus
b. Cara pencegahan luka dekubitus c. Kebutuhan nutrisi dan
d. Pengaturan posisi
(Perry D, Borchert K, Burke S, Chick K, Johnson K, Kraft W, Patel B, 2012)
2.4 Konsep Dasar Rawat Inap 2.4.1 Pengertian Rawat Inap
Menurut Kementerian Kesehatan RI (1992) dalam Hestiningsih (2004), pelayanan rawat inap adalah pelayanan kepada pasien masuk rumah sakit yang menempati tempat tidur untuk keperluan observasi, diagnose, terapi, rehab medis dan atau pelayanan medis lainnya.
Rawat inap merupakan suatu bentuk perawatan, dimana pasien dirawat dan tinggal di rumah sakit untuk jangka waktu tertentu. Selama pasien dirawar, rumah sakit harus memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien (Posma, 2001 yang dikutip Anggraini,2008).
Rawat inap (opname) adalah istilah yang berarti proses perawatan pasien oleh tenaga kesehatan professional akibat penyakit tertentu, dimana pasien diharapkan di suatu ruangan rumah sakit. Perawatan rawat inap adalah perawatan pasien yang kondisinya memerlukan rawat inap. Kemajuan dalam pengobatan modern dan munculnya klinik rawat komprehensif memastikan bahwa pasien hanya dirawat di rumah sakit ketika mereka betul-betul sakit, telah mengalami kecelakaan, pasien yang perlu perawatan intensif atau observasi ketat karena penyakitnya.
Ruang rawat inap adalah ruang tempat pasien dirawat. Ruangan ini dulunya sering hanya berupa bangsal yang dihuni oleh banyak orang sekaligus. Saat ini ruang rawat inap rumah sakit kebanyakan sudah mirip dengan kamar hotel. Pasien yang berobat jalan di unit rawat jalan, akan mendapatkan surat rawat inap dari dokter yang merawatnya, bila pasien tersebut memerlukan perawatan didalam rumah sakit, atau menginap di rumah sakit.
2.4.2 Tujuan Pelayanan Rawat Inap
Adapun tujuan pelayanan rawat inap yaitu:
2.4.2.1 Membantu penderita memenuhi kebutuhannya sehari-hari sehubungan dengan penyembuhan penyakitnya.
2.4.2.2 Mengembangkan hubungan kerja sama yang produktif baik atara unit maupun antara profesi.
2.4.2.3 Menyediakan tempat/latihan praktik bagi siswa(i) perawat.
2.4.2.4 Memberikan kesempatan kepada tenaga perawat untuk meningkatkan keterampilannya dalam hal keperawatan.
2.4.2.5 Meningkatkan suasana yang memungkinkan timbul dan berkembangnya gagasan yang kreatif.
2.4.2.6 Mengandalkan evaluasi yang terus-menerus mengenai metode keperawatan yang dipergunakan untuk usaha peningkatan.
2.4.2.7 Memanfaatkan hasil evaluasi sebagai alat peningkatan atau perbaikan praktik keperawatan dipergunakan.
2.4.3 Klasifikasi Rawat Inap Di Rumah Sakit
Klasifikasi rawat inap di rumah sakit yaitu sebagai berikut:
2.4.3.1 Klasifikasi perawatan rumah sakit telah ditetapkan berdasarkan tingkat fasilitas pelayanan yang disediakan oleh rumah sakit, yaitu seperti berikut:
a. Kelas utama (VIP) b. Kelas I (satu) c. Kelas II (dua) d. Kelas III (tiga)
2.4.3.2 Klasifikasi pasien berdasarkan kedatangannya a. Pasien lama
b. Pasien baru
2.4.3.3 Klasifikasi pasien berdasarkan pengirimannya a. Dikirim oleh dokter rumah sakit
b. Dikirim oleh dokter luar
c. Rujukan dari puskesmas dan rumah sakit lain d. Datang atas kemauan sendiri
2.4.4 Alur dan Prosedur Pelayanan Rawat Inap Di Rumah Sakit
Alur proses pelayanan pasien unit rawat inap akan mengikuti alur sebagai berikut:
2.4.4.1 Bagian penerimaan pasien (Admission Departement).
2.4.4.2 Ruang perawatan.
2.4.4.3 Bagian administrasi dan keuangan.
2.4.4.4 Pasien yang membutuhkan perawatan inap atas sesuai indikasi medis akan mendapatkan surat perintah rawat inap dari dokter spesialis RS atau dari UGD.
2.4.4.5 Surat perintah rawat inap akan ditindak lanjuti dengan mendatangani bagian pendaftaran untuk konfimasi ruangan sesuai hak peserta dengan membawa KTP asli dan fotocopy sehingga peserta bisa langsung dirawat.
2.4.4.6 Bila ruang perawatan sesuai hak peserta penuh, maka yang bersangkutan berhak dirawat 1 (satu) kelas diatas/dibawah haknya. Selanjutnya peserta dapat pindah menempati kamar sesuai haknya dan bila terdapat selisih biaya yang timbul maka peserta membayar selisih biaya perawatan.
2.4.4.7 Bagian pendaftaran rawat inap di RS akan menerbitkan surat keterangan perawatan RS dan selanjutnya akan diteruskan ke kantor cabang PT Jamsostek (Persero) dapat melalui faksimil agar segera dapat diterbitkan surat jaminan rawat inap.
2.4.4.8 Bidang pelayanan atau bidang pelayanan JPK kantor cabang PT Jamsostek akan menerbitkan surat jaminan rawat inap berdasarkan surat keterangan perawatan RS akan dikirim melalui faksimil ke RS. Surat jaminan harus sudah diurus selambat-lambatnya 2x24jam terhutung peserta rawat inap di rumah sakit.
2.4.4.9 Bila pasien membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik lanjutan atau tindakan medis, maka yang bersangkutan harus mendatangani surat bukti pemeriksaan dan tindakan setiap kali dilakukan.