• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI. FAKTOR RISIKO TERJADINYA BATU EMPEDU DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR Made Agus Dwianthara Sueta, Warsinggih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DAFTAR ISI. FAKTOR RISIKO TERJADINYA BATU EMPEDU DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR Made Agus Dwianthara Sueta, Warsinggih"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Jurnal Bedah Nasional

Program Studi Ilmu Bedah FK Universitas Udayana dan IKABI cabang Bali ● ISSN: 2548-5962

DAFTAR ISI

Halaman VALIDITAS RASIO NEUTROFIL LIMFOSIT PADA APENDISITIS

KOMPLIKATA DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Dewi Prima Christian, I Gede Suwedagatha, Nyoman Golden, I Ketut Wiargitha

1-6

PENATALAKSANAAN BATU GINJAL DENGAN STONE BURDEN LEBIH DARI DUA SENTIMETER DI RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SUBROTO TAHUN 2011-2014

Octoveryal Aslim, Nugroho Budi Utomo, Nindra Prasidja, Robertus Bebet Prasetyo

7-14

VALIDITAS NEW INJURY SEVERITY SCORE (NISS) DALAM MENDETEKSI TERJADINYA KOAGULOPATI PADA PASIEN MULTIPLE TRAUMA

I Komang Yose Antara, I Ketut Wiargitha, Tjokorda G.B. Mahadewa

15-19

FAKTOR RISIKO TERJADINYA BATU EMPEDU DI RSUP DR.

WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR Made Agus Dwianthara Sueta, Warsinggih

20-26

EVALUASI URETEROSKOPI DENGAN LASER HOLMIUM:

YTTRIUM-ALUMINUM-GARNET UNTUK PENATALAKSANAAN BATU URETER DI RUMAH SAKIT PERSEKUTUAN GEREJA INDONESIA CIKINI TAHUN 2010-2012

Octoveryal Aslim, Pande Made Wisnu Tirtayasa, Adi Bachtiar Tambah, Frendy Wihono, Winner, Egi Edward Manuputty, David Manuputty

27-33

(4)

ORIGINAL ARTICLE

1 | Jurnal Bedah Nasional

VALIDITAS RASIO NEUTROFIL LIMFOSIT PADA APENDISITIS KOMPLIKATA DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Dewi Prima Christian1, I Gede Suwedagatha2, Nyoman Golden3, I Ketut Wiargitha2

1Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Indonesia.

Korespondensi: oniel_od@yahoo.com

2Subbagian Bedah Trauma dan Bedah Akut, Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Indonesia.

3Subbagian Bedah Saraf, Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Indonesia.

ABSTRAK

Tujuan: untuk mengetahui validitas rasio neutrofil limfosit (RNL) pada apendisitis komplikata.

Metode: penelitian dilakukan secara observasional analitik dengan menggunakan desain studi kohort dengan mengambil sampel penderita apendisitis akut yang menjalani apendisektomi di RSUP Sanglah Denpasar, periode Oktober-Desember 2015. Data dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu RNL dengan cut of point >5 dan RNL dengan cut of point ≤5 dan kemudian disesuaikan dengan temuan pemeriksaan histopatologi anatomi sebagai standar baku emas, komplikata dan non-komplikata. Data tersebut kemudian dianalisis dengan analisis statistik deskriptif, analisis kurva ROC, dan uji diagnostik.

Hasil: pada penelitian ini diperoleh 62 sampel, dengan median umur 23 tahun, 32 orang penderita laki- laki, 30 orang penderita perempuan, 28 apendisitis non-komplikata, dan 34 apendisitis komplikata. Dari area under curve ROC 0,6229 dengan 95% CI didapatkan cut of point RNL >5 pada apendisitis komplikata, RNL ≤5 pada apendisitis non-komplikata. Uji diagnostik didapatkan nilai sensitivitas 85,3%, spesifisitas 39,3%, dan tingkat akurasi 64,5%. Simpulan: RNL merupakan tolak ukur sederhana yang lebih baik untuk meramalkan apendisitis akut dibandingkan dengan penilaian Alvarado Score dan USG abdomen serta valid untuk membedakan apendisitis komplikata dan non-komplikata melalui cut of point RNL.

Kata kunci: apendisitis akut, apendisitis komplikata, apendisitis non-komplikata, rasio neutrofil limfosit (RNL).

THE VALIDITY NEUTROPHIL LYMPHOCYTE RATIO OF COMPLICATED APPENDICITIS IN SANGLAH GENERAL HOSPITAL DENPASAR

Dewi Prima Christian1, I Gede Suwedagatha2, Nyoman Golden3, I Ketut Wiargitha2

1Genaral Surgery Training Programme, Faculty of Medicine, Udayana University, Sanglah General Hospital, Denpasar, Indonesia.

2Trauma and Acute Care Surgery Division, Surgery Department, Faculty of Medicine Udayana University, Sanglah General Hospital, Denpasar, Indonesia.

3Neurosurgery Division, Surgery Department, Faculty of Medicine Udayana University, Sanglah General Hospital, Denpasar, Indonesia.

ABSTRACT

Objective: The purpose of this study is to know the validity neutrophil lymphocyte ratio (NLR) of complicated appendicitis. Methods: A cohort study with observational analytic was performed on patients whom diagnosed for acute appendicitis those undergoing appendectomy from October - December 2015. The data were into two grouped according to cut of point NLR >5 and NLR ≤5. This group was associated with postoperative histopathological examination as a gold standard, complicated

(5)

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Validitas Rasio Neutrofil Limfosit

2 and uncomplicated appendicitis. This study was analysed with descriptive analysis, ROC curve and diagnostic test. Results: from total 62 sample, median age 23 years old, 32 males, 30 females, 28 uncomplicated appendicitis, 34 complicated appendicitis. The area under curve ROC 0.6229 with 95%

CI got the cut of point NLR were >5 associated with complicated appendicitis and NLR ≤5 assosiated with uncomplicated appendicitis. The results were sensitivity 85.3%, spesificity 39.3%, and accuracy rate 64.5%. Conclusion: Based on this study it can be concluded, that NLR is the better marker and simple for diagnosis rather than Alvarado Score and USG, and valid to differentiate between complicated and uncomplicated appendicitis through cut of point NLR.

Keywords: acute appendicitis, complicated appendicitis, uncomplicated appendicitis, neutrophil lymphocyte ratio (NLR).

PENDAHULUAN

Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan kasus pembedahan darurat nyeri perut akut sekitar 10% terbanyak, terjadi pada semua golongan usia terutama usia 20-30 tahun dengan angka insiden paling banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan 1,4: 1.1 Di Amerika Serikat angka insiden apendisitis akut adalah 1 per 1000 orang. Risiko seseorang terkena apendisitis akut sepanjang hidupnya adalah sekitar 6-9%.2

Kasus apendisitis akut memerlukan penanganan yang tepat serta penegakan diagnosis yang cepat. Keterlambatan diagnosis akan berdampak pada komplikasi yang akan terjadi, seperti gangrenosa, perforasi bahkan dapat terjadi peritonitis generalisata. Morbiditas dan mortalitas akan meningkat sesuai dengan peningkatan komplikasi yang ditemukan.3 Apendisitis komplikata dapat terjadi oleh karena beberapa faktor baik dalam kecepatan penegakan diagnosa atau keterlambatan pasien akibat kurangnya pengetahuan.

Beberapa pasien yang menunjukkan gejala dan tanda apendisitis yang tidak khas dapat menyebabkan kesalahan dalam diagnosis dan keterlambatan dalam hal penanganannya. Beberapa pasien yang datang dengan gejala dan tanda apendisitis

yang tidak khas akan dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti USG abdomen yang akan memakan waktu lebih lama dalam penegakan diagnosis serta memerlukan biaya yang lebih mahal.

Pemeriksaan dengan USG memiliki kelemahan, yakni masih bersifat subjektif (operator dependent), tidak banyak memberikan informasi yang akurat serta tidak dapat membedakan apendisitis komplikata dan non-komplikata.

Pemeriksaan lainnya yaitu menilai Alvarado Score, namun sistem skoring ini pun masih memiliki kelemahan yaitu bersifat subyektif dan tidak bisa membedakan apendisitis non-komplikata dan komplikata.4

Salah satu pemeriksaan lainnya pada pasien apendisitis adalah pemeriksaan laboratorium dengan menilai leukosit dan juga neutrofil. Pemeriksaan ini merupakan tes yang sensitif untuk apendisitis tetapi memiliki sensitivitas yang rendah untuk diagnostik apendisitis dan belum bisa dipakai untuk membedakan apendisitis komplikata dan non-komplikata. Adapun pemeriksaan lainnya yang terbukti memiliki sensitivitas lebih tinggi untuk mendiagnosis apendisitis yaitu menilai angka neutrofil dan limfosit kemudian dirasiokan. Hasil rasio neutrofil limfosit

(6)

Dewi Prima Christian Jurnal Bedah Nasional

3

yang tinggi akan menunjukkan inflamasi yang berat seperti apendisitis komplikata.5

Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai validitas dari rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata.

Keuntungan dari pemeriksaan ini yaitu pemeriksaan bersifat obyektif, murah, cepat dan tersedia di semua rumah sakit.

Penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya di RSUP Sanglah Denpasar dan selama ini parameter pemeriksaan lanjutan pada apendisitis akut di RSUP Sanglah Denpasar hanya dengan berdasarkan hasil labotarorium rutin, Alvarado Score, dan USG abdomen.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian uji diagnostik observasional analitik dengan menggunakan desain studi kohort. Subyek penelitian saat awal dipisahkan berdasarkan cut of point neutrofil limfosit >5 dan ≤5 yang diadopsi dari penelitian Kahramanca.4 Penilaian neutrofil limfosit tersebut diambil dari sampel darah penderita. Kemudian dari hasil tersebut di observasi melalui operasi apakah hasil tersebut merupakan apendisitis komplikata atau non- komplikata. Tempat penelitian adalah di instalasi rawat darurat (IRD) bedah RSUP Sanglah Denpasar Bali. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember tahun 2015. Adapun kriteria inklusi adalah semua pasien apendisitis akut yang datang ke IRD bedah RSUP Sanglah Denpasar dari bulan Oktober sampai Desember tahun 2015 dan menjalani operasi. Kriteria eksklusi diantaranya penderita menolak ikut serta dalam penelitian, penderita dengan komorbid diabetes melitus, infeksi kronis, keganasan, dan imunokompromise, pasien yang sudah mendapatkan terapi antibiotik

dan analgetik sebelumnya, dan pasien dengan kehamilan.

HASIL

Telah dilakukan uji diagnostik rasio neutrofil limfosit terhadap 62 sampel penderita apendisitis akut dan telah menjalani operasi apendisektomi selama bulan Oktober hingga Desember 2015 dengan hasil histopatologi sebagai standar baku emas.

Dari 62 penderita apendisitis akut tersebut, berdasarkan umur didapatkan nilai median 23 tahun dan interquartile range (IQR) 15 tahun, yang mana umur minimal yang didapatkan pada usia 14 tahun dan maksimal pada usia 69 tahun.

Berdasarkan variabel jenis kelamin, dari 62 penderita tersebut didapatkan penderita laki-laki lebih banyak dengan jumlah 32 penderita (51,6%) sedangkan pada perempuan didapatkan 30 penderita (48,4%).

Gambaran nilai rasio neutrofil limfosit pada penderita apendisitis akut didapatkan nilai median (IQR) 7,9% (5,4%), dimana rasio neutrofil limfosit minimal yang didapatkan pada nilai 2,0% dan maksimal pada nilai 27,4%.

Berdasarkan diagnosis histopatologi anatomi dari 62 sampel penderita tersebut didapatkan 34 (54,84%) penderita dengan hasil histopatologi apendisitis komplikata dan 28 (45,16%) penderita dengan hasil histopatologi apendisitis non-komplikata.

Berikut di bawah ini data analisa hasil pemeriksaan tersebut berupa tabel 1.

Kurva ROC (receiver operating characteristic) bertujuan untuk mengetahui kemampuan dari rasio neutrofil limfosit dalam mendiagnosis apendisitis komplikata dengan hasil histopatologi anatomi sebagai baku emas serta untuk mencari titik potong terbaik dari rasio neutrofil limfosit untuk

(7)

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Validitas Rasio Neutrofil Limfosit

4 dinyatakan positif negatif. Dari 62

penderita, didapatkan area under curve ROC 0,6229 dengan interval kepercayaan (CI) 95% dan titik potong terbaik dari rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata adalah >5 (gambar 1).

Tabel 1. Gambaran Karakteristik Subjek dan Variabel Penelitian

Variabel n = 62

Umur

Median (IQR) Min-Max

23 (15) 14-69 Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

32 (51,6%) 30 (48,4%) Rasio neutrofil / limfosit

Median (IQR) Min-Max

7,9 (5,4%) 2,0-27,4 Diagnosis

Non-komplikata Komplikata

28 (45,2%) 34 (54,8%)

Gambar 1. Kurva ROC kemampuan rasio neutrofil limfosit dalam memprediksi apendisitis komplikata dengan hasil histopatologi anatomi sebagai baku emas

Pada uji validitas rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata bertujuan untuk mencari sensitivitas dan spesifisitas serta akurasi dengan menggunakan tabel 2x2 seperti dibawah ini (tabel 2).

Tabel 2. Uji Validitas Rasio Neutrofil Limfosit dan Hasil Histopatologi Sampel Penderita Apendisitis Akut di RSUP Sanglah Bulan Oktober-Desember Tahun 2015

RNL

Histopatologi

Total Apendisitis

Komplikata

Apendisitis Non- Komplikata

> 5 29 17 46

≤ 5 5 11 16

Total 34 28 62

Keterangan:

Sensitivitas29/(29+5)x100% = 85,3%

Spesifisitas11/(11+17)x100% = 39,3%

Accuracy Rate29+11/(29+17+5+11)x100% = 64,5%

Positive Predictive Value29/(29+17)x100% = 63%

Negative Predictive Value11/(5+11)x100% = 68,8%

DISKUSI

Pada hasil penelitian ini, ratio neutrofil limfosit dapat dijadikan tolak ukur atau parameter yang lebih baik, lebih cepat dan lebih murah untuk mendiagnosis apendisitis akut dibandingkan dengan menggunakan parameter yang sebelumnya seperti Alvarado Score dan USG abdomen.

Kelebihan rasio neutrofil limfosit ini juga dapat membedakan apendisitis komplikata dan non-komplikata. Kelemahan Alvarado Score adalah bersifat subjektif dimana skor yang dihasilkan akan tergantung dari penilaian pemeriksa, tidak mudah digunakan untuk menilai pada pasien dengan gejala yang tidak khas, dan tidak bisa membedakan apendisitis komplikata dan non-komplikata. Sedangkan kelemahan USG abdomen yaitu bersifat subjektif, memiliki tingkat akurasi yang rendah, biaya lebih mahal, penilaian tergantung operator, dan tidak dapat membedakan apendisitis komplikata atau non-komplikata.

Berdasarkan hasil uji diagnostik rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata di RSUP Sanglah Denpasar,

(8)

Dewi Prima Christian Jurnal Bedah Nasional

5

didapatkan nilai sensitivitas sebesar 85,3%, nilai spesifisitas 39,3%, dan tingkat akurasi 64,5%, artinya bahwa hasil ini memiliki kemampuan mendeteksi dini diagnosis apendisitis komplikata. Hasil pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian dari Kahramanca yang mendapatkan hasil lebih rendah yaitu sensitivitas 70,8%, spesifisitas 48,5% dan tingkat akurasi 52%. Dari hasil yang berbeda ini, peneliti memiliki beberapa argumentasi mengapa penelitian ini mendapatkan hasil yang lebih tinggi, yaitu sampel yang dipilih adalah penderita yang benar-benar menderita apendisitis akut dengan tanda klinis yang jelas tanpa disertai penyakit infeksi lainnya. Keluhan terbanyak saat pasien datang adalah dengan nyeri perut kanan bawah yang khas disertai demam ≥380C dan muntah, tampak dari laboratorium nilai neutrofil meningkat tajam dan nilai limfosit menurun dan saat dirasiokan nilainya tinggi sesuai dengan gejala klinis apendisitis komplikata.

Terbukti pada hasil histopatologi anatomi bahwa semua penderita benar terdiagnosa paling banyak apendisitis komplikata (54,8%) dan apendisitis non-komplikata (45,2%). Berbeda dengan penelitian dari Kahramanca, sampel yang diambil adalah semua pasien yang telah menjalani operasi apendisektomi dengan diagnosis yang belum pasti penyakit tersebut murni apendisitis akut. Berdasarkan data tersebut, keluhan pasien yang datang paling banyak dengan nyeri perut dan tidak semua memiliki riwayat klinis yang khas menunjukkan apendisitis.4

Pada penelitian ini menggunakan desain studi kohort prospektif sehingga data yang didapatkan dari sampel lebih akurat.

Berbeda dengan penelitian Kahramanca yang menggunakan desain penelitian retrospektif sehingga data yang didapatkan

kurang akurat karena sampel yang diambil tidak ter-screening dengan baik saat awal.

Terbukti pada hasil histopatologi, banyak pasien didapatkan dengan negative apendisitis serta didapatkan penderita ternyata disertai riwayat infeksi lain dalam perjalanan perawatan paska operasi.

Peneliti menyimpulkan bahwa nilai sensitivitas, spesifisitas dan tingkat akurasi sangat dipengaruhi oleh cara pengambilan sampel yang benar dan desain penelitian.

Pada hasil penelitian ini didapatkan nilai cut of point rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata adalah >5 dan non- komplikata ≤5 berdasarkan kurva ROC dengan nilai area under curve ROC 0,6229 dan 95% CI. Hasil ini termasuk tingkat sedang untuk screening diagnosa apendisitis komplikata dan non-komplikata melalui cut of point. Namun hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya Kahramanca, mendapatkan nilai area under curve ROC sebesar 0,609 dan 95% CI.

Peneliti menyadari bahwa pada hasil penelitian ini masih terdapat beberapa kelemahan dimana faktor-faktor risiko yang mempengaruhi nilai rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata tidak diteliti lebih lanjut sehingga mempengaruhi nilai validitas yang didapatkan pada penelitian ini. Faktor-faktor risiko tersebut berupa usia, batasan waktu pasien menderita apendisitis hingga dilakukan apendisektomi, batasan pengambilan sampel darah yang berhubungan dengan nilai neutrofil, dan follow up pasien setelah dilakukan operasi. Faktor-faktor ini juga berhubungan dengan tindakan approach apendisektomi (insisi Gridiron/

laparatomi), risiko morbiditas, mortalitas serta prognosis pasien apendisitis akut.

Parameter RNL pada apendisitis komplikata akan lebih berguna apabila

(9)

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Validitas Rasio Neutrofil Limfosit

6 penelitian ini dilanjutkan sehingga

kedepannya prognosis pasien apendisitis akan lebih baik.

SIMPULAN

Sensitifitas rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata adalah 85,3%.

Spesifitas rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata adalah 39,3%.

Akurasi rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata adalah 64,5%. Nilai prediksi positif rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata adalah 63%. Nilai prediksi negatif rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata adalah 68,8%. Cut of point rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata adalah >5. Cut of point rasio neutrofil limfosit pada apendisitis non komplikata adalah ≤5.

Rasio neutrofil limfosit pada apendisitis akut ini dapat digunakan sebagai tolak ukur yang lebih baik untuk screening diagnosis apendisitis komplikata dan non komplikata dibandingkan dengan penilaian berdasarkan Alvarado score ataupun USG abdomen saja.

DAFTAR PUSTAKA

1. Froggatt P, Harmston C. Acute Appendicitis. In: Cosse, C., editor.

Intestinal Surgery II. Oxford:

Elsevier;2011.p.372-6.

2. Humes DJ, Simpson J. Clinical Presentation of Acute appendicitis:

Clinical Sign-Laboratory Finding- Clinical Scores, Alvarado Score and Derivate Scores. In: Keyzer C, Gevenois PA, editors. Imaging of Acute Appendicitis in Adults and Children.

United Kingdom: Springer;2011.p.13- 21.

3. Simpson J, Scholefield J. Acute Appendicitis. In: Scholefield J, editor.

Emergency Surgery. United Kingdom:

Elsevier;2008.p.108-12.

4. Kahramanca S, Özgehan G, Şeker D, et al. Neutrophil-To-Lymphocyte Ratio As A Predictor Of Acute Appendicitis. Ulus Travma Acil Cerrahi Derg. 2014;20:19- 22.

5. Nasution A. “ Hubungan Antara Jumlah Leukosit Dengan Apendisitis Akut Dan Apendisitis Perforasi” (tesis). Pontianak:

RSU Dokter Soedarso;2011.

(10)

ORIGINAL ARTICLE

7 | Jurnal Bedah Nasional

PENATALAKSANAAN BATU GINJAL DENGAN STONE BURDEN LEBIH DARI DUA SENTIMETER DI RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SUBROTO TAHUN 2011-2014

Octoveryal Aslim1, Nugroho Budi Utomo2, Nindra Prasidja2, Robertus Bebet Prasetyo2

1Departemen Urologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Pusat Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Korespondensi: octoaslim@gmail.com

2Divisi Urologi, Departemen Bedah, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta.

ABSTRAK

Tujuan: untuk mengetahui perbandingan lama operasi, lama perawatan paska operasi, jumlah perdarahan, komplikasi, angka bebas batu, dan hubungan antara komponen tersebut pada operasi percutaneous nephrolithotomy (PCNL) dan operasi terbuka baik, pyelolithotomy maupun extended pyelolithotomy sebagai penatalaksanaan batu ginjal dengan stone burden lebih dari 2 cm. Metode:

pengumpulan data dilakukan secara retrospektif yang diambil dari rekam medis pasien batu ginjal yang menjalani PCNL dan operasi terbuka di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto sepanjang tahun 2011 hingga tahun 2014. Hasil: dari 116 pasien dengan usia antara 22-73 tahun, mayoritas laki-laki, didapatkan hasil perbedaan yang bermakna secara statistik pada lama operasi (p=0,001), lama rawat paska operasi (p=0,011), dan komplikasi demam paska operasi (p=0,048), antara PCNL dan operasi terbuka. Sedangkan untuk parameter angka bebas batu dan jumlah perdarahan, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p=0,245 dan p=0,154). Pada kelompok PCNL dan operasi terbuka, terdapat hubungan yang bermakna pada lama operasi dengan stone burden (p=0,004 dan p=0,02) maupun letak batu (p<0,001 dan p=0,011). PCNL memerlukan lama operasi dan lama rawat paska operasi yang lebih singkat, serta komplikasi demam paska operasi yang lebih sedikit, dibandingkan operasi terbuka. Namun demikian, untuk angka bebas batu dan jumlah perdarahan, tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik pada lama operasi dengan stone burden dan letak batu pada kedua kelompok. Simpulan: PCNL merupakan prosedur minimal invasif yang efektif dan aman dalam tatalaksana batu ginjal lebih besar dari 2 cm atau batu ginjal kompleks.

Kata kunci: percutaneous nephrolithotomy, pyelolithotomy, extended pyelolithotomy, batu pielum, angka bebas batu.

TREATMENT OF KIDNEY STONE WITH STONE BURDEN MORE THAN TWO CENTIMETERS IN GATOT SOEBROTO INDONESIA ARMY CENTRAL HOSPITAL IN 2011-2014

Octoveryal Aslim1, Nugroho Budi Utomo2, Nindra Prasidja2, Robertus Bebet Prasetyo2

1Department of Urology, Faculty of Medicine Indonesia University/Cipto Mangunkusumo Central Hospital, Jakarta.

2Urology Division, Department of Surgery, Gatot Soebroto Indonesia Army Central Hospital, Jakarta.

ABSTRACT

Objective: to determine the association between length of operation, post operative length of stay, amount of bleeding, complication, stone free rate, and the association between these factors as in patients who undergo percutaneous nephrolithotomy (PCNL) or open surgery for kidney stone with stone burden more than 2 cm. Methods: the data was collected retrospectively from medical record of

(11)

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Penatalaksanaan Batu Ginjal dengan

8 patients with kidney stones with stone burden >2cm who undergo PCNL or open surgery in Gatot Soebroto Indonesia Army Central Hospital from 2011 until 2014. Results: one hundred sixteen patients were included in this study with the range of age was 22-73 years old and the majority of patients were man. Our study found statistically significant association between length of operation (p=0.001), postoperative length of stay (p=0.011), and postoperative complication (p=0.048) between PCNL and open surgery. However, no statistically significant association on stone free rate (p=0.245), amount of bleeding (p=0.154) between the two groups. We also found that there was a statistically significant association between lengths of operation with stone burden (p=0.004 and p=0.02) and stone location (p<0.001 and p=0.011) in both of them. PCNL had shorter length of operation and postoperative length of stay, fewer postoperative complication compared with open surgery. However, no difference between PCNL and open surgery in stone free rate and amount of bleeding outcome. There was statistically significant association between length of operation and stone burden in two groups of patients. Conclusion: PCNL is effective and safely minimal invasive procedure to treat kidney stone more than 2 cm or complex kidney stones.

Keywords: percutaneous nephrolithotomy, pyelolithotomy, extended pyelolithotomy, pyelum stone, stone free rate.

PENDAHULUAN

Peningkatan prevalensi global batu saluran kemih berhubungan dengan membaiknya sistem pemeliharaan kesehatan negara industri dan menurunnya kesenjangan sosial dalam masyarakat dunia.1 Prevalensi batu saluran kemih di Amerika Serikat menjadi dua kali lipat dibanding pada tahun 1960.2-5

Penyakit batu saluran kemih masih merupakan penyakit dengan porsi terbesar dari jumlah pasien urologi di Indonesia.

Selama kurun waktu 1997 hingga 2002 terdapat 2439 penderita batu ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto mangunkusumo (RSCM) dengan jumlah tindakan yang dilakukan sebanyak 3.165 tindakan. Prevalensi penyakit antara laki- laki dan perempuan diperkirakan 3 berbanding 1, dengan puncak usia dekade keempat dan kelima.6

Perkembangan teknologi di bidang kedokteran telah mengubah pendekatan intervensi bedah pada kasus batu ginjal (khususnya batu ginjal dengan stone burden

>2cm), dari operasi terbuka menjadi

operasi endoskopi. Sebelumnya, Gil- Vernet pada tahun 1965 mempelopori teknik operasi terbuka extended pyelolithotomy, yang kemudian menjadi prosedur pilihan dalam tatalaksana batu ginjal. Akses perkutan kedalam sistem pelviokalises pertama kali diperkenalkan pada tahun 1955 oleh Willard Goodwin, lalu menjadi rutin dilakukan sejak awal dekade 1980-an dan hingga kini menjadi pilihan utama tatalaksana batu ginjal.7-10

Tujuan utama dari tatalaksana bedah batu ginjal adalah mencapai angka bebas batu maksimal dengan morbiditas yang minimal dan tetap mempertahankan fungsi ginjal.11 Prosedur atau pilihan tindakan untuk batu ginjal antara lain extracorporeal shockwave lithotripsy (ESWL), ureterorenoscopy (URS) flexible, percutaneous nephrolithotomy (PCNL), dan tindakan operasi terbuka.11,12

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan lama operasi, lama perawatan paska operasi, jumlah perdarahan, komplikasi dan angka bebas batu antara PCNL dan operasi terbuka pada

(12)

Octoveryal Aslim Jurnal Bedah Nasional

9

batu ginjal yang memiliki stone burden >2 cm. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber referensi bagi pemilihan tindakan untuk operasi batu ginjal dengan stone burden >2 cm.

METODE

Data diambil secara retrospektif dari rekam medis pasien penderita batu ginjal di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta sejak tahun 2011 hingga tahun 2014. Didapatkan data 116 pasien, sebanyak 69 pasien menjalani operasi PCNL dan 47 pasien menjalani operasi terbuka.

Data yang dikumpulkan meliputi jenis kelamin, usia, stone burden, letak batu, lama operasi, lama rawat paska operasi, jumlah perdarahan, komplikasi demam paska operasi, transfusi paska operasi, dan angka bebas batu.

Kriteria inklusi meliputi seluruh pasien batu ginjal dengan stone burden lebih dari 2 cm, meliputi batu pielum, batu multipel pielum dan kaliks, dan batu cetak ginjal.

Kriteria eksklusi adalah seluruh kasus yang tidak termasuk kriteria inklusi dan pasien dengan data yang tidak lengkap.

Data kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS untuk Mac versi 20.0.

Analisis bivariat menggunakan uji hipotesis Kolmogorov-Smirnov untuk data numerik, dan uji Chi-Square, Fisher exact, Kruskal- Wallis serta post hoc Mann-Whitney U untuk data kategorik.

Definisi stone burden atau ukuran batu adalah jumlah ukuran linier diameter terpanjang.11,13 Batu cetak ginjal adalah batu ginjal yang mengisi pielum hingga satu atau lebih kaliks ginjal. Dimana ukuran batu cetak diukur berdasarkan ukuran diameter linier terpanjang.11,13 Angka bebas batu adalah kondisi dimana tidak ditemukan adanya batu sisa paska operasi.11 Batu sisa paska operasi dinilai dengan

menggunakan foto polos abdomen dan atau USG. Pecutaneous nephrolithotomy (PCNL) merupakan salah satu tindakan minimal invasif di bidang urologi yang bertujuan mengangkat batu ginjal dengan menggunakan akses perkutan untuk mencapai sistem pelviokalises.11

HASIL

Terdapat 116 pasien yang menjalani operasi batu ginjal dengan stone burden lebih dari 2 cm, dimana 47 pasien menjalani operasi terbuka dan 69 pasien menjalani PCNL. Profil pasien tersebut di atas, dengan berbagai parameter dan analisisnya secara statistik, dapat dilihat pada tabel 1.

Pada penelitian ini terdapat 116 pasien dengan rentang usia antara 22 hingga 73 tahun dan jenis kelamin pria lebih banyak dibanding wanita, yakni 68 pria dan 48 wanita.

Stone burden lebih besar pada pasien PCNL. Lama operasi dan lama rawat paska operasi juga lebih singkat pada pasien yang menjalani PCNL, keduanya bermakna secara statistik. Sebenarnya jumlah perdarahan dan angka bebas batu juga lebih baik pada PCNL, namun demikian perbedaan keduanya tidak bermakna secara statistik. Angka kejadian demam paska operasi lebih banyak pada pasien operasi terbuka.

Pada tabel 2, 3, 4, dan 5 ditampilkan pengkajian hubungan antara stone burden dengan perdarahan dan batu sisa. Dari hasil di atas diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara parameter- parameter tersebut baik pada kelompok PCNL maupun pada kelompok operasi terbuka (p>0,05).

(13)

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Penatalaksanaan Batu Ginjal dengan

10 Tabel 1. Profil Pasien dan Perbandingan

tindakan PCNL dengan Operasi Terbuka PCNL Operasi

terbuka p

Total Kasus 69 47

Jenis kelamin Pria

Wanita

38 (55%)

31 (44,9%)

30 (63,8%)

17 (36,2%) Median usia

(rentang)

52 (22-73)

50

(22-73) 0,362a Lama operasi

(menit)

150 (100-210)

190

(120-300) <0,001a Lama rawat

paska operasi (hari)

5 (3-13)

6

(4-24) 0,011a Perdarahan

(mL)

<100 100-200

>200

29 (42%) 29 (42%) 11 (15,9%)

23 (48,9%) 12 (25,5%) 12 (25,5%)

0,154b

Stone burden

<3 cm 3-5 cm

>5 cm

3 (4,3%) 19 (27,5%) 47 (68,1%)

0 5 (10,6%) 42 (89,4%)

0,007c

Letak batu Batu Staghorn Batu Multipel Batu Pielum

34 (49,3%) 15 (21,7%) 20 (29,0%)

31 (66,0%) 7 (14,9%) 9 (19,1%)

0,206d

Batu sisa Ya Tidak

18 (26,1%) 51 (73,9%)

17 (36,2%) 30 (63,8%)

0,339b

Transfusi darah 9 (13%) 8 (17%) 0,743b Demam paska

operasi

3 (4,3%) 8 (17%)

0,048d

aKolmogorov-Smirnov, bChi-Square, cMann- Whitney U, dFischer-exact

Pada tabel 6 dan 7 ditampilkan pengkajian hubungan antara stone burden dengan lama operasi. Dari hasil diatas diperoleh hubungan bermakna antara stone burden dengan lama operasi pada kelompok PCNL dan kelompok operasi terbuka (p<0,05) terutama pada stone burden 3-5 cm dan >5 cm.

Tabel 2. Analisis hubungan antara Stone Burden terhadap Jumlah Perdarahan pada PCNL

Stone Burden

Perdarahan (ml)

p

<100 n (%)

100-200 n (%)

>200 n (%)

< 3 cm 2 (66,7) 1 (33,3) 0 (0)

0,519*

3-5 cm 9 (47,4) 7 (36,8) 3 (15,8)

> 5 cm 18 (38,3) 21 (44,7) 8 (17,0) Total 29 (42) 29 (42) 11 (15,9)

*Uji Kruskal-Wallis

Tabel 3. Analisis hubungan antara Stone Burden terhadap Jumlah Perdarahan pada Operasi Terbuka

Stone Burden

Perdarahan (ml)

p

<100 n (%)

100-200 n (%)

>200 n (%)

< 3 cm 0 (0) 0 (0) 0 (0)

0,866*

3-5 cm 2 (40) 2 (40) 1 (20.0)

> 5 cm 21 (50) 10 (23,8) 11 (26.2) Total 23 (48,9) 12 (25,5) 12 (25.5)

*Uji Kruskal-Wallis

Tabel 4. Analisis hubungan antara Stone Burden terhadap Batu Sisa pada PCNL

Stone Burden

Batu Sisa Ya Tidak p

< 3 cm 0 (0) 3 (100)

0,445*

3-5 cm 4 (21,1) 15 (78,9)

> 5 cm 14 (29,8) 33 (70,2) Total 18 (26,1) 51 (73,9)

*Uji Kruskal-Wallis

Tabel 5. Analisis hubungan antara Stone Burden terhadap Batu Sisa pada Operasi Terbuka

Stone Burden

Batu Sisa Ya Tidak p

< 3 cm 0 (0) 0 (0)

0,852*

3-5 cm 2 (40) 3 (60)

> 5 cm 15 (35,7) 27 (64,3) Total 17 (36,2) 30 (63,8)

*Uji Kruskal-Wallis

(14)

Octoveryal Aslim Jurnal Bedah Nasional

11

Tabel 6. Analisis hubungan antara Stone Burden terhadap Lama Operasi pada PCNL

Stone

Burden n Durasi Operasi (median) menit p

< 3 cm 3 150 (120-150)

0,004*

3-5 cm 19 140 (100-210)

>5cm 47 150 (110-210)

*Uji Kruskal-Wallis. Uji post hoc Mann- Whitney U: 3-5cm vs >5cm (p=0,002); <3cm vs 3-5cm; <3cm vs >5cm (p>0,05). Data disajikan dalam Median (Min-Max)

Tabel 7. Analisis hubungan antara Stone Burden terhadap Lama Operasi pada Operasi Terbuka

Stone

Burden n Durasi Operasi (median) menit p 3-5 cm 5 170 (120-190) 0,02*

>5cm 42 200 (150-300)

*Uji Kruskal-Wallis. Uji post hoc Mann- Whitney U: 3-5cm vs >5cm (p=0,02). Data disajikan dalam Median (Min-Max)

Tabel 8. Analisis hubungan antara Letak Batu terhadap Jumlah Perdarahan pada PCNL

Letak Batu

Perdarahan (ml)

p

<100 n (%)

100-200 n (%)

>200 n (%) Staghorn 12 (35,3) 19 (55,9) 3 (8,8)

0,648*

Multipel 6 (40) 5 (33,3) 4 (26,7) Pielum 11 (55) 5 (25) 4 (20)

Total 29 (42) 29 (42) 11 (16)

*Uji Kruskal-Wallis

Tabel 9. Analisis hubungan antara Letak Batu terhadap Jumlah Perdarahan pada Operasi Terbuka

Letak Batu

Perdarahan (ml)

<100 p n (%)

100-200 n (%)

>200 n (%) Staghorn 16 (51,6) 8 (25,8) 7 (22,6)

0,058*

Multipel 1 (14,3) 2 (28,6) 4 (57,1) Pielum 6 (66,7) 2 (22,2) 1 (11,1) Total 23 (49) 12 (25,5) 12 (25,5)

*Uji Kruskal-Wallis

Tabel 10. Analisis hubungan antara Letak Batu terhadap Batu Sisa pada PCNL

Letak Batu

Batu Sisa Ya Tidak p Staghorn 9 (26,5) 25 (73,5)

0,672*

Multipel 5 (33,3) 10 (66,7) Pielum 4 (20) 16 (80)

Total 18 (26,1) 51 (73,9)

*Uji Chi-Square

Tabel 11. Analisis hubungan antara Letak Batu terhadap Batu Sisa pada Operasi Terbuka

Letak Batu

Batu Sisa Ya Tidak p Staghorn 15 (48,4) 16 (51,6)

0,056*

Multipel 1 (14,3) 6 (85,7) Pielum 1 (11,1) 8 (88,9) Total 17 (36,2) 30 (63,8)

*Uji Kruskal-Wallis

Pada tabel 8, 9, 10, dan 11 ditampilkan pengkajian hubungan antara letak batu dengan perdarahan dan batu sisa. Dari hasil di atas diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara parameter- parameter tersebut baik pada kelompok PCNL maupun pada kelompok operasi terbuka (p>0,05).

Tabel 12. Analisis hubungan antara Letak Batu terhadap Lama Operasi pada PCNL

Letak

Batu n Durasi Operasi (median) menit p Staghorn 34 160 (100-210)

0,001*

Multipel 15 150 (100-200) Pielum 20 130 (100-190)

*Uji Kruskal-Wallis. Uji post hoc Mann Whitney U: staghorn vs pielum (p<0,001);

staghorn vs multipel; pielum vs mutipel. Data disajikan dalam Median (min-max)

(15)

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Penatalaksanaan Batu Ginjal dengan

12 Tabel 13. Analisis hubungan antara Letak

Batu terhadap Lama Operasi pada Operasi Terbuka

Letak

Batu n Durasi Operasi (median) menit p Staghorn 31 200 (120-300)

0,038*

Multipel 7 200 (150-280) Pielum 9 180 (150-210)

*Uji Kruskal-Wallis. Uji post hoc Mann Whitney U: staghorn vs pielum (p<0,011);

staghorn vs multipel; pielum vs mutipel. Data disajikan dalam Median (min-max)

Pada tabel 12 dan 13 ditampilkan pengkajian hubungan antara letak batu dengan lama operasi. Dari hasil diatas diperoleh hubungan bermakna antara letak batu dengan lama operasi pada kelompok PCNL dan kelompok operasi terbuka (p<0,05) terutama pada batu staghorn dan batu pielum.

DISKUSI

Pada penelitian ini, data diambil dari prosedur PCNL dan operasi terbuka pada batu dengan stone burden lebih dari 2 cm.

Hal ini sesuai dengan EAU (European Association of Urology) guideline 2014.

Berdasarkan EAU guideline 2014, PCNL merupakan lini pertama tindakan pada batu ginjal berukuran lebih dari 20 mm. Pada batu berukuran 10-20 mm di kaliks inferior, PCNL merupakan pilihan apabila tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan ESWL, yakni sudut infundibulopelvis yang tajam, tinggi kaliks lebih dari 10 mm, dan lebar infundibulum kurang dari 5 mm.

Sedangkan indikasi operasi terbuka pada batu ginjal antara lain stone burden yang kompleks, gagal ESWL, PCNL, atau RIRS (retrograde intrarenal surgery), adanya abnormalitas anatomi, obesitas, deformitas skeletal, komorbiditas, bersamaan dengan operasi terbuka lainnya, gagal ginjal,

pilihan pasien, dan batu pada ginjal ektopik, yang mana ESWL dan akses perkutan sulit dilakukan.11-13

Berdasarkan hasil studi Al-Kohlany et al, PCNL dan operasi terbuka memiliki angka bebas batu yang sedikit berbeda yakni 49% dan 66% secara berurutan terhadap batu cetak ginjal.14 Siavash Falahatkar pada tahun 2009 pada penilitiannya menyatakan angka bebas batu pada PCNL dan operasi terbuka sebanyak 81,9% dan 91,6% secara berurutan.15 Namun pada penelitian ini ditemukan hasil yang tidak berbeda bermakna terhadap angka bebas batu pada kedua kelompok tersebut, yakni PCNL 73,9% dan operasi terbuka 63,8% (p>0,05). Dengan kata lain, PCNL dapat menyaingi efektivitas operasi terbuka dalam bersihan batu. Hal ini dapat dipengaruhi beberapa faktor, meliputi stone burden, letak maupun kompleksitas batu pada pasien yang menjalani operasi terbuka lebih kompleks daripada pasien PCNL.

Dalam hal komplikasi intraoperatif, angka kejadian perdarahan tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok secara keseluruhan, walaupun pada kelompok operasi terbuka memiliki jumlah persentase perdarahan lebih dari 200 mL yang lebih besar daripada kelompok PCNL. Demikian juga halnya dengan transfusi yang tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok.

Padahal, pada studi sebelumnya diperoleh data bahwa insidensi komplikasi pada PCNL lebih kecil daripada operasi terbuka (p<0,05).14,15 Komplikasi yang dimaksud antara lain perdarahan, termasuk yang membutuhkan transfusi darah, cedera pleura, cedera ureter, cedera kolon, demam paska operasi, dan sepsis paska operasi.14,15,17,18 Pada tindakan PCNL maupun operasi terbuka di RSPAD Gatot Soebroto tidak ditemukan adanya cedera pleura, cedera ureter, maupun cedera kolon.

(16)

Octoveryal Aslim Jurnal Bedah Nasional

13

Komplikasi yang terjadi pada penelitian kami berupa demam paska operasi yang memiliki perbedaan bermakna antara PCNL dan operasi terbuka.

Pada penelitian ini PCNL memiliki waktu operasi yang lebih singkat secara bermakna daripada operasi terbuka. Hal ini didukung oleh hasil studi yang menunjukkan perbedaan serupa pada PCNL dan operasi terbuka (127+30 dan 204+31 menit; p<0,05).14

Pada penelitian ini terbukti bahwa lama rawat paska operasi PCNL lebih pendek daripada operasi terbuka. Hasil yang diperoleh secara bermakna ini didukung oleh studi sebelumnya dengan lama rawat PCNL lebih pendek daripada operasi terbuka (6,4+4,2 dan 10+4,2 hari;

p<0,001).14

Baik kelompok PCNL maupun kelompok operasi terbuka menunjukkan tidak terdapat hubungan antara stone burden dan letak batu terhadap perdarahan maupun batu sisa. Terdapat hubungan yang bermakna pada stone burden dan letak batu terhadap lama operasi pada kedua kelompok tersebut (p<0,05). Padahal menurut literatur, stone burden dan kompleksitas maupun letak batu merupakan salah satu faktor utama penentu komplikasi dan efektifitas tindakan operasi batu ginjal.10,11,15-17

Secara keseluruhan, PCNL memiliki kesamaan dengan operasi terbuka dalam hal stone free rate dan risiko perdarahan.

Sedangkan dalam parameter lama rawat paska operasi dan waktu operasi, PCNL memiliki keunggulan daripada operasi terbuka karena dengan waktu yang lebih singkat, kemungkinan adanya infeksi dan risiko komplikasi paska operasi lainnya dapat lebih minimal.14-19

SIMPULAN

PCNL memerlukan lama operasi dan lama rawat paska operasi yang lebih singkat, serta komplikasi demam paska operasi yang lebih sedikit, dibandingkan operasi terbuka. Namun demikian, untuk angka bebas batu dan jumlah perdarahan, tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik pada lama operasi dengan stone burden dan letak batu pada kedua kelompok.

Sehingga dapat dikatakan bahwa PCNL merupakan prosedur minimal invasif yang efektif dan aman dalam tatalaksana batu ginjal lebih besar dari 2 cm atau pada kasus batu ginjal kompleks.

DAFTAR PUSTAKA

1. Romero V, Akpinar H, Assimos DG.

Kidney Stones: A Global Picture of Prevalence, Incidence, and Associated Risk Factors. Rev Urol. 2010;12:e86- 96.

2. Curhan GC, Rimm EB, Willett WC, et al. Regional Variation in Nephrolithiasis Incidence and Prevalence Among United States Men.

J Urol. 1994;151:838-41.

3. Stamatelou KK, Francis ME, Jones CA, et al. Time Trends in Reported Prevalence of Kidney Stones in the United States: 1976-1994. Kidney Int.

2003;63:1817-23.

4. Soucie JM, Thun MJ, Coates RJ, et al.

Demographic and Geographic Variability of Kidney Stones in the United States. Kidney Int. 1994;46:893- 9.

5. Hiatt RA, Dales LG, Friedman GD, et al. Frequency of Urolithiasis in a Prepaid Medical Care Program. Am J Epidemiol. 1982;115:255-65.

(17)

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Penatalaksanaan Batu Ginjal dengan

14 6. Rahardjo D, Hamid R. Perkembangan

Penatalaksanaan Batu Ginjal di RSCM tahun 1997-2002. J I Bedah Indones.

2004;32:58-63.

7. Ogg CS, Saxton HM, Cameron JS.

Percutaneous Needle Nephrostomy. Br Med J 1969;4:657-60.

8. Fernström I, Johansson B. Percutaneous Pyelolithotomy. A New Extraction Technique. Scand J Urol Nephrol.

1976;10:257-9.

9. Badlani G, Eshghi M, Smith AD.

Percutaneous Surgery for Ureteropelvic Junction Obstruction (endopyelotomy):

Technique and Early Results. J Urol.

1986;135:26-8.

10. Wolf JS. Percutaneous Approach to the Upper Collecting System. Campbell Walsh Urology 10th ed. Philadelphia:

WB Saunders Co; 2012.p.1324-56.

11. Matlaga BR, Lingeman JE. Surgical Management of Upper Urinary Tract Calculi. Campbell Walsh Urology 10th ed. Philadelphia: WB Saunders Co;

2012.p.1357-410.

12. Turk C, Knoll T, Petrik A, et al.

Guidelines on Urolithiasis. European Association of Urology Guidelines.

2014.

13. Preminger GM, Assimos DG, Lingeman JE, et al. Chapter 1: AUA Guideline on Management of Staghorn Calculi: Diagnosis and Treatment Recommendations. J Urol.

2005;173:1991-2000.

14. Al-Kohlany KM, Shokeir AA, Mosbah A, et al. Treatment of Complete Staghorn Stones: A Prospective Randomized Comparison of Open Surgery versus Percutaneous Nephrolithotomy. J Urol.

2005;173:469-73.

15. Falahatkar S. Percutaneous Nephrolithotomy Versus Open Surgery

for Patients with Renal Staghorn Stones. Uro Today Int J. 2009;2.

16. Khalaf I, Salih E, El-Mallah E, et al.

The Outcome of Open Renal Stone Surgery Calls for Limitation of its use:

A single Institution experience. African J Urol. 2013;19:58-65.

17. Aghamir SM, Mojtahedzadeh M, Meysamie A, et al. Comparison of Stress Responses Between PCNL and Open Nephrolithotomy. J Endourol.

2008;22:2495-500.

18. Taylor E, Miller J, Chi T, et al.

Complication associated with percutaneous nephrolithotomy. Transl Androl Urol. 2012;1:223-28.

19. Vicentini FC, Gomes CM, Danilovic A, et al. Percutaneous nephrolithotomy:

current concepts. Indian J Urol.

2009;25:4-10.

(18)

ORIGINAL ARTICLE

15 | Jurnal Bedah Nasional

VALIDITAS NEW INJURY SEVERITY SCORE (NISS) DALAM MENDETEKSI TERJADINYA KOAGULOPATI PADA PASIEN MULTIPLE TRAUMA

I Komang Yose Antara1, I Ketut Wiargitha2, Tjokorda G.B. Mahadewa3

1Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Indonesia.

Korespondensi: yose_ant@yahoo.com

2Subbagian Bedah Trauma dan Bedah Akut, Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Indonesia.

3Subbagian Bedah Saraf, Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Indonesia.

ABSTRAK

Tujuan: untuk mencari validitas new injury severity score (NISS) dalam mendeteksi koagulopati akut pada pasien multiple trauma. Metode: penelitian ini adalah uji diagnostik dengan rancangan cross sectional, dilakukan untuk mencari validitas NISS dalam mendeteksi terjadinya koagulopati akut pada 61 pasien multiple trauma dengan ISS >16. Penelitian dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar sejak bulan Januari 2014 hingga November 2015. Data dianalisis dengan menggunakan kurva ROC dan uji diagnostik tabel 2x2 sehingga didapatkan area under curve, cut off point, sensitifitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif, rasio kemungkinan positif, dan rasio kemungkinan negatif. Hasil: didapatkan cut off point NISS 41 dengan AUC 0,8851 (>0,7).

Sensitifitas dan spesifisitas NISS cukup baik dalam mendeteksi terjadinya koagulopati akut pada pasien multiple trauma yaitu sebesar 79,2% dan 91,8% (CI 95%: 0,78-0,98). Hasil nilai prediksi positif 86,4%, nilai prediksi negatif 87,2%, rasio kemungkinan positif 9,76 dan rasio kemungkinan negatif 0,227 mendukung bahwa nilai diagnostik NISS cukup baik. Simpulan: validitas NISS cukup baik dalam mendeteksi terjadinya koagulopati akut pada pasien multiple trauma.

Kata kunci: multiple trauma, koagulopati akut, NISS, ROC, uji diagnostik.

VALIDITY OF NEW INJURY SEVERITY SCORE (NISS) TO DETERMINE COAGULOPATHY IN MULTIPLE TRAUMA PATIENTS

I Komang Yose Antara1, I Ketut Wiargitha2, Tjokorda G.B. Mahadewa3

1Genaral Surgery Training Programme, Faculty of Medicine, Udayana University, Sanglah General Hospital, Denpasar, Indonesia.

2Trauma and Acute Care Surgery Division, Surgery Department, Faculty of Medicine Udayana University, Sanglah General Hospital, Denpasar, Indonesia.

3Neurosurgery Division, Surgery Department, Faculty of Medicine Udayana University, Sanglah General Hospital, Denpasar, Indonesia.

ABSTRACT

Objective: to find validity of new injury severity score (NISS) in detecting acute coagulopathy in multiple trauma patients. Methods: this study is diagnostic test with cross sectional design to find validity of NISS to determine coagulopathy of 61 multiple trauma patients with ISS >16. The study was conducted in Sanglah Public Hospital since January 2014 until November 2015. The data were processed with ROC curve and diagnostic test 2x2 table with the result area under curve, cut off point, sensitifity, spesificity, positive predictive value, negative predictive value, positive likehood ratio, and negative likehood ratio. Results: cut off point NISS 41 with AUC 0.8851 (>0.7). NISS sensitifity

(19)

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Validitas New Injury Severity Score

16 79.2% and spesifisity 91.8% (CI 95%: 0.78-0.98) is good enough to determine acute coagulopathy in multiple trauma patients. Positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio, and negative likelihood ratio were 86.4%, 87.2%, 9.76, 0.227, respectively. This result showed that the diagnostic test of NISS is good enough. Conclusion: validity of NISS is good enough to determine acute coagulopathy in multiple trauma patients.

Keywords: multiple trauma, acute coagulopathy, NISS, ROC, diagnostic test.

PENDAHULUAN

Permasalahan pada multiple trauma yang sering dihadapai saat ini adalah trias kematian yaitu asidosis, hipotermia, dan koagulopati. ACoTS (acute coagulopaty of trauma shock) menyebabkan peningkatan mortalitas empat kali lebih besar dibandingkan bila koagulopati akut tidak terjadi.1-5 Multiple trauma merupakan pasien dengan injury severity score (ISS) lebih dari 16 poin. ISS dan new injury severity score (NISS) menunjukkan beratnya trauma berdasarkan anatomi dan secara tidak langsung menunjukkan besarnya kerusakan jaringan yang terjadi pada pasien. Kerusakan jaringan akan menyebabkan rangsangan pada proses koagulasi sehingga akan menyebabkan terjadinya koagulopati konsumtif. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa pasien trauma dengan ISS sekitar 40 poin dan NISS sekitar 50 poin meninggal saat datang.6 Semakin besar ISS dan NISS semakin cepat pasien meninggal. Deteksi awal komplikasi yang terjadi pada trauma seperti ACoTS sangat penting untuk mencegah meningkatnya mortalitas.6

Penelitian menunjukkan bahwa NISS memiliki akurasi yang lebih tinggi daripada ISS dalam menilai beratnya trauma jaringan sebagai prediktor adanya kegagalan multi organ pada post trauma.

Hal ini disebabkan karena perhitungan skor pada ISS berdasarkan tiga bagian tubuh yang mengalami trauma terberat.

Hal ini dapat menimbulkan underscoring jika pada satu bagian tubuh terdapat lebih dari satu organ yang mengalami trauma.7,8

Penelitian tentang validitas NISS untuk mendeteksi adanya koagulopati akut pada pasien trauma belum pernah dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari validitas NISS dalam mendeteksi terjadinya koagulopati akut pada pasien multiple trauma.

METODE

Penelitian uji diagnostik dengan rancangan penelitian cross sectional dilakukan pada Januari 2014 hingga November 2015 dengan cara studi rekam medis dan pemeriksaan langsung pada pasien multiple trauma yang datang di instalasi gawat darurat RSUP Sanglah Denpasar. Subyek dipilih secara acak sistematis, dihitung dengan rumus perhitungan sampel menggunakan tabel perhitungan besar sampel untuk penelitian diagnostik dengan keluaran area under curve (AUC). Nilai AUC INR (international normalized ratio) pada penelitian sebelumnya sebesar 0,82,9 sehingga diperlukan sebanyak 60 subyek.

Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah pasien yang berumur ≥16 tahun dengan multiple trauma yang memiliki ISS

>16 dan setuju untuk diikutkan dalam penelitian. Kriteria eksklusi adalah pasien menolak menjadi sampel penelitian. Pada sampel akan dilakukan penghitungan NISS

(20)

I Komang Yose Antara Jurnal Bedah Nasional

17

dan pengambilan sampel darah sebanyak 5ml untuk pemeriksaan kadar INR yang merupakan baku emas dalam penelitian ini. INR positif koagulopati jika nilainya

≥1,2. INR negatif koagulopati jika nilainya

<1,2.

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk narasi dan tabel, dilakukan analisis dengan kurva ROC untuk menentukan cut of point dari NISS. Dari data yang terkumpul akan dihitung sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif (NPP), nilai prediksi negatif (NPN), rasio kemungkinan positif (RK+), rasio kemungkinan negative (RK-), serta post- test probabilitynya.

HASIL

Selama rentang waktu Januari 2014 sampai Nopember 2015 didapatkan 61 pasien multiple trauma yang memenuhi kriteria inklusi. Karakteristik sampel dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Gambaran karakteristik dan variabel penelitian

Karakteristik Sampel (n = 61) Umur (tahun)

Mean Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan

35 + SD 41 (67,2%) 20 (32,8%) ISS

Mean NISS

Mean INR

Mean

28 SD 34 + SD 1,14 + SD Koagulopati

Ya Tidak

24 (39,3%) 37 (60,7%)

Pada analisis kurva ROC didapatkan area under ROC curve sebesar 0,8851 dengan nilai sensitifitas dan spesifisitas terbaik pada cut off point NISS 41. Dengan demikian nilai NISS ≥41 dinyatakan koagulopati dan NISS <41 tidak koagulopati (gambar 1).

Gambar 1. Kurva ROC kemampuan NISS dalam mendeteksi terjadinya koagulopati akut pada pasien multiple trauma.

Dari 61 sampel, didapatkan 24 sampel yang mengalami koagulapati akut berdasarkan nilai INR dan 22 sampel berdasarkan NISS. Sebanyak 37 sampel yang tidak mengalami koagulopati akut berdasarkan nilai INR dan 39 berdasarkan NISS (tabel 2). Sensitifitas dan spesifisitas NISS dalam mendeteksi terjadinya ACoTS pada pasien multiple trauma sebesar 79,2%

dan 91,8% (CI 95%) dengan NPP 86,4%

(65,1-97,1%), NPN 87,2% (72,6-95,7%), RKP 9,76 (3,24–29,4), dan RKN 0,227 (0,103-0,497).

Tabel 2. Hasil uji diagnostik NISS dalam mendeteksi terjadinya koagulopati pada pasien multiple trauma

INR

NISS

Koagulopati

Total Ya

(INR

≥1,2)

Tidak (INR

<1,2) Koagulopati

Ya (≥41) 19 3 22

(21)

Volume 1 ● Number 1 ● Januari 2017 Validitas New Injury Severity Score

18 Tidak (<41) 5 34 39

Total 24 37 61

DISKUSI

Penelitian ini menemukan bahwa laki- laki lebih banyak mengalami multiple trauma dengan mean usia 35 tahun. Hal ini sesuai data dari WHO (World Health Organization) 2006 yang menyebutkan bahwa multiple trauma lebih banyak terjadi pada laki-laki yaitu 78,6% dengan mean umur pasien 32,5 tahun. Hal ini disebabkan karena mayoritas multiple trauma terjadi pada laki-laki usia muda yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.10

Perbedaan nilai median ISS 27 dan NISS 34 pada penelitian ini disebabkan karena adanya underscoring pada ISS.

Pada ISS hanya diperhitungkan AIS dari bagian tubuh tanpa memperhitungkan organ sedangkan NISS memperhitungkan AIS dari setiap organ yang mengalami trauma.7 Sistem skoring trauma dengan NISS memperkirakan besarnya kerusakan jaringan secara anatomi. Kerusakan jaringan pada trauma berhubungan erat dengan inflamasi, konsumsi faktor-faktor koagulasi, perdarahan, adanya syok, hemodilusi, hipotermia dan asidosis.

Keseluruhan akibat dari kerusakan jaringan ini berakhir pada komplikasi koagulopati akut.11 Dengan demikian, semakin besar nilai NISS, semakin besar pula kemungkinan terjadinya koagulopati akut.

Penelitian retrospektif yang dilakukan.

Maegele menyebutkan 34% pasien mengalami koagulopati akut saat datang akibat trauma tumpul. Hal ini menunjukkan bahwa satu dari tiga pasien trauma yang datang mengalami ACoTS.1,3,4 Hasil yang tidak berbeda jauh didapatkan

pada penelitian ini dimana didapatkan 39,3% pasien multiple trauma mengalami koagulopati akut saat datang di instalasi gawat darurat. Mortalitas pada pasien multiple trauma dengan ACoTS pada penelitian ini sebesar 33,3% (8 pasien).

Penelitian yang dilakukan Brohi pada tahun 2007 didapatkan sebesar sebesar 62% sedangkan Maegele pada tahun 2007 sebesar 28%. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena jumlah sampel dan lokasi yang diteliti berbeda pada setiap penelitian.3,12

Pada analisis kurva ROC didapatkan cut off point terbaik pada nilai NISS 41. Nilai NISS ≥41 memberikan nilai sensitifitas dan spesifisitas terbaik dalam mendeteksi terjadinya koagulopati akut pada pasien multiple trauma. Penelitian yang dilakukan Maegele pada tahun 2007 hanya menyebutkan mean ISS 24 dengan persentase ACoTS pada trauma sebesar 34%.3,11 Penelitian ini lebih spesifik dan lebih baik karena memberikan hasil uji diagnostik NISS dalam mendeteksi terjadinya koagulopati akut pada pasien multiple trauma. Selain itu seperti yang disebutkan pada penelitian-penelitian sebelumnya bahwa NISS memiliki nilai prediksi yang lebih baik daripada ISS.7

Pemeriksaan baku emas untuk koagulopati akut pada pasien multiple trauma dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium darah yaitu pemeriksaan INR. Pada kondisi trauma, setiap pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya koagulopati akut membutuhkan waktu sedangkan ketika hasil laboratorium keluar, pasien mungkin sudah dalam keadaan ACoTS yang irreversibel. Penelitian ini dapat direkomendasikan sebagai alternatif dalam mendeteksi terjadinya koagulopati akut pada pasien multiple trauma.13 NISS

Gambar

Tabel  1.  Gambaran  Karakteristik  Subjek  dan Variabel Penelitian
Tabel  2.  Analisis  hubungan  antara  Stone  Burden  terhadap  Jumlah  Perdarahan  pada  PCNL  Stone  Burden  Perdarahan (ml)  p &lt;100  n (%)  100-200 n (%)  &gt;200  n (%)  &lt; 3 cm  2 (66,7)  1 (33,3)  0 (0)  0,519* 3-5 cm 9 (47,4)  7 (36,8)  3 (15,8
Tabel  1.  Gambaran  karakteristik  dan  variabel penelitian  Karakteristik  Sampel (n = 61)  Umur (tahun)  Mean   Jenis Kelamin  Laki-laki  Perempuan  35 + SD  41 (67,2%) 20 (32,8%)  ISS  Mean  NISS  Mean  INR  Mean  28 SD  34 + SD  1,14 + SD  Koagulopati

Referensi

Dokumen terkait

Sejarah yang cukup panjang dari misi Kristen baik yang Katolik maupun Protestan menjadikan proses ini meninggalkan banyak cerita dan kisah. Tidak hanya kisah ini menarik

Perpaduan bentuk bangunan kolonial Belanda dengan rumah tradisional Bugis pada Villa Yuliana tersebut oleh Van de Wall dan Parmono Atmadi disebut sebagai bangunan

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara intensitas pencahayaan dengan gejala kelelahan mata pada

Hasil penelitian ramuan formula jamu aprodisiaka yang terdiri dari infusa rimpang temulawak 15 gram, buah cabe jawa 3 gram, herba pegagan 9 gram, buah krangean 3

Dalam Manajemen Konstruksi terdapat metode untuk mengelola proyek, didalam pengelolaan mempunyai tahapan – tahapan yang harus dilakukan dalam proses pembangunannya,

Selain itu, Para Teradu juga telah melanggar ketentuan Pasal 42 ayat (4) yang menyatakan “Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur oleh Partai

hiperresponsif dari saluran nafas sehingga menimbulkan gejala berupa batuk, sesak nafas, terasa berat di dada dan mengi yang episodik terutama malam dan pagi hari.. Gejala asma

• Orang yang terkena dampak yang dipindahkan oleh proyek dapat memilih untuk menerima kompensasi tunai atau pilihan lain seperti dijelaskan diparagraf g). •