• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "NILAI-NILAI MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM (Kajian Tentang Kiai Sebagai Aktor dalam Pengembangan Nilai-Nilai Multikultural di

Pondok Pesantren Amanatul Ummah Pacet Mojokerto

DISERTASI

Diajukan Kepada:

Pascasarjana Universitas Islam Malang untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan

Program Doktor Pendidikan Agama Islam Multikultural

S A I F U D D I N NPM: 21503011006

PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTURAL

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM MALANG

2020

(2)

ABSTRAK

Judul Disertasi: Nilai-Nilai Multikultural dalam Pendidikan Keagamaan Islam: Kajian tentang Kiai Sebagai Aktor dalam Pengembangan Nilai-Nilai Multikultural di Pondok Pesantren Amanatul Ummah Pacet, Mojokerto. Promotor: Prof. Dr. Yaqub Cikusin, M.Si. Co-Promotor: Dr. Hasan Busri, M.Pd.

Kata Kunci: Kiai, Pondok Pesantren, Nilai-nilai Multikultural

Islam sering muncul ke permukaan dengan wajah yang tidak ramah dan terkesan berseberangan dengan multikulturalisme. Padahal sesungguhnya, Multikulturalisme merupakan bagian penting dari ajaran Islam. Nilai-nilai multicultural berjalan beriringan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Implementasi dan praktik multikulturalisme di dunia pendidikan Islam telah berjalan dalam kehidupan alamiah masyarakat pesantren.

Disertasi ini hendak mendeskripsikan, menganalisa, dan menginterpretasi fenomena kehidupan sosial-kultural seorang kiai dan masyarakat pesantren berdasarkan data empirik yang diperoleh di lapangan tentang: i) Nilai-nilai Multikultural dalam Pesantren, ii) Desain Pengembangan Nilai-nilai Multikultural yang dilakukan Kiai, iii) Model Pengembangkan Nilai- nilai Multikultural di Pondok Pesantren Amanatul Ummah Pacet yang dilakukan Kiai, Mojokerto.

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan jenis fenomenologi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, baik observasi partisipan maupun persisten, wawancara mendalam serta dokumentasi. Penentuan sumber data dilakukan dengan natural dan dinamis menggunakan pola snowball sampling (bola salju). Sedangkan teknik analisis data menggunakan model Miles dan Huberman yaitu; kondensasi data, display data dan terakhir menarik kesimpulan atau verifikasi.

Adapun hasil penelitian ini adalah pertama, menemukan sejumlah nilai multicultural yang berkembang di Pondok Pesantren Amanatul Ummah; Nilai Kebersamaan; Nilai Toleransi dalam Keragaman; Nilai Kerjasama; Nilai Kasih Sayang; Nilai Musyawarah; Nilai Keadilan; Nilai Demokrasi; Nilai Menghilangkan Kecurigaan (prejudice reduction); dan Nilai Kesetaraan. Kedua, Sosok kiai menjadi desainer dalam pengembangan nilai-nilai multikultural di pesantren dengan cara mempertahankan spiritualitas yang menjadi ciri khas pesantren serta mengembangkan jejaring pendidikan dengan konsep pendidikan maju dan progresif, sehingga interaksi santri dan dunia luar terjalin dengan dinamis. ketiga, model pengembangan nilai-nilai multikultural kiai;

terdapat sebuah pola, yaitu: membentuk komunitas multikultural—menghindari konflik sektarian—menangkal ideologi radikal. Dari model pengembangan nilai-nilai multikultural kiai ini akan dimunculkan teori tentang “Kiai Multikultural”

Hasil penelitian ini diharapkan memperkaya khazanah pendidikan Islam terutama tentang pengembangan Pendidikan Islam Multikultural ditinjau dari sudut pandang institusi kepemimpinan tradisional kiai, sehingga wacana tentang multikulturalisme dalam Islam akan terus berkembang. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi acuan bagi instansi terkait, baik Kementerian Agama (KEMENAG) atau Badan Nasional Penggulangan Terorisme (BNPT) dalam mengembangkan pendidikan yang toleran serta menangkal radikalisme.

(3)

Title: Multicultural values in Islamic education: a study on the role of Kiai in cultivating multicultural values at Pesantren Amanatul Ummah Pacet, Mojokerto. Advisor: Prof. Dr. Yaqub Cikusin, M.Si. Co-Advisor: Dr. Hasan Busri, M.Pd.

Key Words: Kiai, Pesantren, Muticultural Value

__________________________________________________

Islam is usually appear in the surface as an unkind religion and deemed as an opposite of multiculturalism. However, multiculturalism is essentially an important part of basic Islamic values. The implementation and practice of multicultural in Islamic education has been running in its natural setting, pesantren environtment.

This dissertation describes, analyses, and interprets socio-cultural life phenomenon of a Kiai and pesantren community based on empirical data gathered from the field about: i) multicultural values in pesantren, ii) Kiai’s design in developing multicultural values, iii) Kiai’s model in developing multicultural values at Pondok Pesantren Amanatul Ummah Pacet, Mojokerto.

This qualitative research was carried out using phenomenology method. The data were collected by observation through participating or persistent observation, in-depth interview and documentation. To determine the source of data, the researcher used snowball sampling. The collected data were analyzed using Miles and Huberman model which covers; data condensatiton, data display, and drawing conclusion or verification.

The findings from this research are as follows: first, finding out several multicultural values which are developed at Pondok Pesantren Amanatul Ummah; togetherness, tolerance; cooperation, caring; consensus; fairness; democracy; prejudice reduction; and equality. Secondly, the figure of a Kiai becomes the designer in developing multicultural values at pesantren through maintaining spirituality which has been the identity and its ability to build education network realizing the concept of developed and progressive education. It leads to a dynamic interaction between the students and outside world. Third, the Kiai’s models of multicultural development: there is a pattern such as: building multicultural community-avoiding sectarian conflicts-combating radical ideologies. From this multicultural values development, a theory on “Multicultural Kiai” is formulated.

Findings from this research are sought to enrich the knowledge of Islamic education especially related to multicultural Islamic education development from traditional leadership point of view.

Hence, the discourse about multiculturalism in Islam will continue to grow. The results from this research could also be used as a guideline from related institutions such as ministry of Religious Affairs and National Counterterrorism Body in creating education that promotes tolerance and prevent radicalism.

(4)

BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar

Bagian awal penelitian ini akan dimulai dengan pendahuluan yang merupakan bagian penting dari penelitian. Pendahuluan merupakan pintu masuk guna mendapatkan pemahaman utuh dan global tentang subyek penelitian. Bab ini memuat pembahasan tentang; pengantar, konteks penelitian, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan penegasan istilah.

Penjelasan dari masing-masing bagian adalah: pertama pengantar, yaitu bagian yang menggambarkan tentang penjelasan alur penelitian. kedua, konteks penelitian, yaitu bagian yang menjelaskan tentang setting lokasi penelitian dimana fenomena-fenomena dikonstruksi sesuai dengan fokus penelitian. Dalam konteks penelitian, problem-problem empiris (empirical problem) dijabarkan sedemikian runtut guna memperoleh landasan yang kokoh dalam menentukan fokus. Ketiga, fokus penelitian, yaitu bagian yang menjadi inti dari penelitian ini dimana fokus penelitian dirangkai dalam kalimat pertanyaan. Arah penelitian ini secara keseluruhan adalah dalam rangka mencari jawaban dari fokus penelitian. Keempat, tujuan penelitian, yaitu bagian yang menjelaskan tujuan penelitian ini tentang deskripsi, analisa dan interpretasi dari masing-masing fokus penelitian. Kelima, kegunaan penelitian baik secara teoritis maupun praktis. Dan keenam memuat tentang penegasan istilah yaitu penjelasan istilah-istilah yang digunakan dalam penulisan disertasi ini yang disesuaikan dengan arah penelitian.

B. Konteks Penelitian

(5)

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Sepanjang sejarah bangsa ini pondok pesantren telah memberikan kontribusi signifikan bagi kemajuan dan pembangunan, baik sejak era kolonial hingga pasca-kemerdekaan. pada mulanya Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional yang menitikberatkan pada pendidikan agama, namun pada perkembangan berikutnya pendidikan pondok pesantren telah bermetamorfosa menjadi lembaga pendidikan modern dengan segala dinamika yang mengiringinya.

Pondok Pesantren Amanatul Ummah yang menjadi lokasi penelitian ini berada di Desa Kembang Belor, Mojokerto, tepatnya di kawasan Pacet, dikenal sebagai daerah pariwisata dengan kontur tanah berbukit dengan area persawahan yang mengelilingi lokasinya. Keberadaan pesantren ini di area pedesaan yang jauh dari hingar bingar dan kebisingan kota justru menjadikan lembaga pendidikan ini cukup produktif dalam menghasilkan santri berkualitas dengan torehan prestasi yang mengagumkan. Produktifitas tinggi dalam meningkatkan mutu pendidikan pesantren tidak lepas dari tangan dingin sang pengasuh, KH. Asep Saifuddin Chalim.

Amanatul Ummah sendiri bukanlah Pondok Pesantren berusia tua.

Sejarahnya dimulai pada tahun 1998. Awalnya, lembaga ini adalah Pondok Pesantren sederhana yang dirintis pada saat bangsa Indonesia mengalami gejolak dengan tumbangnya rezim Orde Baru setelah selama tiga dasawarsa berkuasa.

Sebelumnya, Pondok Pesantren Amanatul Ummah berdiri di kota Surabaya, tepatnya di daerah Siwalankerto. Pada saat itu, keberlangsunganya diawali dengan kesederhanaan dan keterbatasan. Bahkan bangunan pondok terbuat dari gedheg

(6)

(anyaman bambu yang banyak digunakan sebagai bangunan tempat tinggal), berawal dari kesederhanaan dan keterbatasan itu, dengan usia yang relatif muda telah berkembang pesat (AU/W/I/AD/21716).

Pendidikan pesantren di tangan KH. Asep menunjukkan indikasi perkembangan yang cukup signifikan. Terutama peluang tumbuh berkembangnya pendidikan multikultural menyusul berdirinya Institut Agama Islam yakni Institut KH. Abdul Chalim. Kendati masih berumur jagung, Institut KH. Abdul Chalim mulai dilirik mahasiswa dari berbagai propinsi di Indonesia. Perguruan Tinggi di Mojokerto ini diresmikan pada hari Rabu, 9 September 2015 sudah mencatat sesuatu yang luar biasa. Dari sekitar 300 mahasiswa baru yang diterima, ada sekitar 84 mahasiswa berasal dari 27 propinsi di Indonesia. Selain itu ada 19 mahasiswa dari dari enam negara asing, Afghanistan, Kazakstan, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Malaysia (AU/O/V/24916).

Dalam pengamatan awal peneliti, pengasuh adalah sosok unik yang memiliki kecerdikan, kegigihan dan keuletan dalam mengembangkan lembaga pendidikan yang ia pimpin. Sejak awal pendirian lembaga pendidikan ini, kiai sepenuhnya menyadari bahwa setiap langkah yang ditempuh dalam mewujudkan harapan besarnya tidak dapat ditempuh dengan cara yang biasa-biasa saja. Jika ingin membangun sebuah lembaga pendidikan yang besar dan berkualitas harus menggunakan cara yang “luar biasa”. Bukan cara biasa yang lazim digunakan orang lain, tetapi cara berfikir dan bertindak di luar pakem (out of the box). Sebuah lembaga pendidikan hanya akan menjadi luar biasa apabila ditangani dengan cara yang luar biasa pula. Jika lembaga pada umumnya menyelenggarakan kegiatan

(7)

belajar mengajar (KBM) 7 sampai 8 jam, maka lembaga pendidikan ini menerapkan sistem layanan pendidikan 24 jam (AU/O/IV/22916).

Para santri yang belajar di pesantren ini terdiri dari latar belakang yang berbeda. Misalnya GK, ia berasal dari Kazakstan. Ia dilahirkan dari seorang ayah guru matematika, fisika dan permesinan. Dia memperoleh informasi tentang beasiswa institut yang baru dibuka di Pacet ini dari seorang bibinya yang tinggal di Malaysia. Sang bibi memberitahu orangtuanya dan Gulim pun segera setuju tawaran beasiswa tersebut.“Saya ingin belajar di sini karena banyak kaum muslimnya. “Saya ingin tahu Islam lebih banyak, selain ingin belajar bahasa asing lebih banyak lagi,” kata GK. Ia menguasai bahasa Rusia dan Inggris, selain bahasa Kazaks. Seperti halnya Gulim, Ai juga fasih berbahasa Inggris dan Rusia. Dia juga mendengar adanya tawaran belajar di Indonesia dari Malaysia dan dia pun langsung senang. “Kesempatan belajar di sini adalah peluang untuk belajar banyak bahasa asing, budaya dan tradisi bangsa dan negara lain,” kata Aisha.

(AU/W/V/GK/25916).

Selain GK, Abdul Waleed dan Saddam Husein adalah sebagian santri dari luar negeri. Keduanya berasal dari Afghanistan, sebuah negeri berpenduduk mayoritas muslim yang mengalami pertikaian antar warganya akibat perselisihan politik yang tidak kunjung usai. Keduanya adalah wajah dari kehidupan multikultural yang terjadi di Amanatul Ummah. Sebagai seorang santri yang berasal dari negeri lain, tentu bukan persoalan mudah bagi keduanya menjalani kehidupan sebagai minoritas. Beratnya perjuangan dirasakan betul oleh keduanya terutama pada saat-saat awal beradaptasi dengan santri dan warga Indonesia. Hal pertama yang mereka alami adalah kendala bahasa. Waleed dan Husein sebelum berangkat

(8)

ke Indonesia memang sudah mempersiapkan bahasa, terutama bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa percakapan internasional. Namun pada kenyataannya, mereka harus berkomunikasi dengan mayoritas santri asal Indonesia dan sebagian dari Negara lain yang tidak lancar penggunaan bahasa percakapan internasionalnya.

Lambat laun, kendala perbedaan bahasa sedikit demi sedikit teratasi, karena santri Amanatul Ummah sangat ditekankan untuk menggunakan bahasa Internasional dalam percakapan sehari-hari. (AU.07/W/XXI/AW/091217)

Faktor bahasa adalah kendala yang dialami santri luar negeri, selain itu kendala lain adalah makanan. Sebagai santri dari Afghanistan yang kebiasaan sehari-hari di negaranya mengkomsumsi roti sebagai asupan karbohidratnya, Waleed dan Husein kini dihadapkan dengan kebiasaan cara makan orang Indonesia yang tiga kali dalam sehari makan nasi. Keduanya menuturkan selama di negaranya, mereka makan nasi dua kali atau tiga kali dalam seminggu. Sementara di Indonesia, jadwal makan setiap hari tiga kali, sedangkan menu makan yang terhidang hanya nasi. Dari pengakuan Waleed dan Husein, membiasakan pola makan dengan mengikuti kebiasaan orang Indonesia adalah upaya yang sangat berat. Namun seiring berjalannya waktu, keduanya mulai beradaptasi dengan pola makan. Bahkan kini meraka sudah mulai terbiasa dengan cita rasa masakan Indonesia yang secara natural mempunyai lidah yang berbeda dalam merasa. Santri dari luar negeri, menurut hemat peneliti memiliki berbagai perbedaan dengan santri dari Indonesia. Perbedaan ini jika tidak dikelola dengan baik akan memunculkan problem-problem yang mencederai nilai multikultural. Informan AU.08 menandaskan:

“kami merasa baik-baik saja di sini. Kami merasa diperlakukan dengan sangat baik.

Orang Indonesia baik, mereka menyambut kami dengan baik. Pada awalnya sulit

(9)

beradaptasi karena kendala bahasa dan makanan. Tapi lama-lama saya merasa orang Indonesia sangat suka bercanda. Apa lagi santri-santri di sini ramah, mereka selalu menyapa kami dengan salam ramah. Santri-santri di sini senang bila bertemu dengan kami, karena mereka bisa latihan bicara bahasa Inggris. Saya juga sebenarnya begitu, pada awalnya Bahasa Inggris saya biasa-biasa saja, tapi di sini saya bisa latihan bicara bahasa Inggris setiap hari, sekarang jadi lancar. Saya awalnya hanya bicara bahasa local saya di Afghanistan, yaitu Bahasa Pasthun dan sedikit bahasa Arab. Jadi saya sudah merasa diterima dengan baik di sini. Tidak dibeda-bedakan dengan santri lain dari Indonesia. Kami merasa sudah setara dengan lainnya walaupun kami berasal dari Negara yang berbeda”.

(AU.07/W/XXI/AW/091217)

Wajah multikultural di Amanatul Ummah juga bisa terlihat dari suasana belajar. Santri-santri dari luar negeri berada dalam satu kelas belajar yang membaur dengan santri dari dalam negeri. Dari penjelasan Waleed dan Husein, dalam mengikuti pelajaran di kelas, keduanya pertama-tama mendapatkan bekal pendalaman Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam penyampaian pelajaran di kelas. Dari penuturan keduanya juga, terkadang perkuliahan disampaikan dengan pengantar bahasa Inggris, dengan mempertimbangkan santri- santri dari luar negeri.

Nilai-nilai multikultural berjalan beriringan dengan kehidupan multikultural di Pondok Pesantren. Ketika mengunjungi asrama santri, peneliti merasakan betul keberagaman latar belakang budaya dan bahasa para santri. Santri baru dari luar negeri, masih belum fasih berbahasa Indonesia, sehingga dalam komunikasi menggunakan bahasa Arab dan Inggris. Karena alasan proses adaptasi, pengurus pondok pesantren ini mengeluarkan kebijakan pemisahan asrama antara santri yang berasal dari dalam dan luar negeri. Proses pemisahan semacam ini bukanlah bertujuan untuk melakukan pemisahan (segregasi) berdasarkan ras dan asal negara, tetapi bertujuan untuk lebih memudahkan sistem control. Santri luar negeri, pada semester awal mendapat matrikulasi bahasa Indonesia. Ke depan, apabila kendala

(10)

bahasa sudah diatasi, maka pemisahan asrama tidak diperlukan lagi (AU/O/VII/25916)

Nilai multikultural terlihat dari kebersamaan santri yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Kebersamaan pada saat makan sehari-hari; baik makan pagi, siang maupun makan malam santri Amanatul Ummah selalu makan secara bersama-sama. Makan bersama yang dilakukan di antara para santri diatur dengan cara menggunakan nampan berukuran agak besar. Para santri menikmati hidangan makanan berkelompok dengan satu nampan yang berisi nasi dan lauk digunakan makan bersama-sama oleh tujuh hingga sembilan orang santri. Setiap kamar yang jumlah anggota kamarnya berkisar antara 17 santri mendapat 2 buah nampan berukuran agak besar. Kebersamaan yang terjalin diantara para santri ketika makan sesungguhnya adalah fenomena multikultural yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari santri.

Fenomena di atas, merupakan hasil wawancara serta pengamatan peneliti di lapangan. Kompleksitas cultural background dari para santri yang meliputi perbedaan budaya dan bahasa kemudian memberikan satu pilihan bagi pengelola pondok pesantren; yaitu agar nilai-nilai multikultural dapat tumbuh dan berkembang.

Sebagai pendiri dan pengelola lembaga pendidikan pesantren, kiai menawarkan desain pendidikan pesantren yang dapat menumbuhkan nilai-nilai multikultural. Kiai Asep mempunyai harapan dan cita-cita besar terkait Islam dan dunia pendidikan. Islam di Indonesia—menurut Kiai—sangat layak untuk dipromosikan dan disajikan di dunia internasional. Kekuatan kita adalah nilai-nilai moderasi dan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin yang mana, nilai-nilai tersebut

(11)

semakin hilang dari wajah Islam dunia. Jadi kita harus mulai merancang sebuah sistem pendidikan yang bercirikan Islam Indonesia (rahmatan lil ‘alamin) yang mampu berkontribusi dan dipersembahkan kepada dunia internasional. Untuk itu lembaga pendidikan yang dipimpinnya perlu untuk mendatangkan santri (mahasiswa) dari berbagai latar belakang Negara. Dengan tujuan selain membesarkan lembaga, pendidikan ini akan semakin mempertegas nilai tawar Indonesia sebagai Negara Islam yang moderat (AU/W/II/AHS/24916).

Hal senada juga peneliti dapatkan dari hasil sebuah wawancara. Bahwa Amanatul Ummah sedang gencar mempromosikan “Islam Indonesia” di luar negeri melalui jalur pendidikan. Yaitu dengan cara membalik paradigma lama, di mana pelajar Indonesia belajar ke luar negeri, diganti dengan pelajar luar negeri yang belajar Islam di Indonesia. Dunia Islam yang selama ini berkiblat pada Timur Tengah, di mana kita disuguhi fakta tentang peperangan dan perpecahan bahkan Negara-negara di sana berpotensi menjadi Negara gagal (failed state), sudah saatnya berganti kepada Islam yang lebih damai versi Indonesia. Sebagai salah satu lembaga pendidikan Pesantren yang berafiliasi dengan Organisasi Masyarakat keagamaan Nahdlatul Ulama’, Amanatul Ummah mempunyai impian untuk memberikan kontribusi bangsa dan peradaban dunia melalui jalur pendidikan.

(AU/W/III/AHS/25916).

Karena afiliasinya dengan Nahdlatul Ulama, Amanatul Ummah menjalankan pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Aswaja (aswaja an- Nahdliyah). Nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja yang diyakini oleh Nahdlatul Ulama, dalam beberapa aspek, berjalan beriringan dengan nilai-nilai multikultural. Dengan demikian, bukanlah suatu hal yang mustahil dalam lembaga

(12)

pendidikan Islam akan tumbuh dan berkembang pendidikan multikultural. Dalam titik tertentu, akan muncul Pendidikan Islam Multikultural. Terkait dengan hal ini, peneliti membincangkan dengan salah satu pengurus Pondok Pesantren Amanatul Ummah. Peneliti menanyakan apakah nilai-nilai multikultural dapat dikembangkan di lembaga pendidikan pesantren? Dengan penuh keyakinan ia menjawab “saya tidak tau banyak apa itu pendidikan multikultural, hanya sekilas saja saya tau.

Tapi, jika sebuah lembaga pendidikan seperti Amanatul Ummah yang para santrinya terdiri dari latar belakang budaya, bahasa, dan bahkan Negara yang berbeda maka sangat memungkinkan ini adalah pendidikan multikultural”.

(AU/W/IV/AD/25916).

Beberapa upaya kiai mengindikasikan adanya pendidikan multikultural dalam lembaga pendidikan yang ia pimpin. Dalam tahun ajaran baru 2016-2017, kiai menginstruksikan bahwa persiapan dilakukan untuk menarik lebih banyak lagi mahasiswa asing. Dengan bantuan jaringan NU di luar negeri, mahasiswa asing tertarik mengikuti kuliah dengan beasiswa. Beasiswa yang diberikan meliputi biaya perkuliahan, biaya asrama dan makan. Khusus untuk mahasiswa dari luar negeri diberikan pula biaya transportasi. Sementara ini sedang dicanangkan pada tahun- tahun mendatang Institut KH. Abdul Chalim akan menerima ribuan mahasiswa baik dalam negeri maupun luar negeri (AU/O/VI/24916).

Pengasuh sekaligus konseptor dari lembaga pendidikan ini membayangkan Desa Kembang Belor dan sekitarnya kelak akan menjadi barometer pendidikan yang diperhitungkan di Indonesia. Sebuah harapan yang luar biasa mengingat sepuluh tahun terakhir eksistensi Pondok Pesantren Amanatul Ummah telah terbukti mampu merubah wajah desa terpencil ini dengan berbagai perubahan, baik

(13)

dari segi bangunan gedung maupun infrastruktur jalan dan sekaligus lampu penerangannya. Kembang Belor berubah menjadi kampung pendidikan yang hidup.

Harapan seperti ini bukanlah isapan jempol belaka. Beberapa prestasi telah diukir oleh Pondok Pesantren yang masih berusia muda ini. Dari pengamatan peneliti, lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan Pondok Pesantren Amanatul Ummah terakreditasi A (AU/O/III/22916).

Dari beberapa konteks penelitian di atas, serta kaitannya dengan judul yang penulis angkat, yaitu tentang pendidikan Islam multikultural dan ketokohan kiai sebagai aktor dalam pengembangannya, penulis merasa terdapat peluang yang besar bagi tumbuh dan berkembangnya pendidikan multikultural di pesantren.

Sosok kiai, walaupun dalam beberapa penelitian terdahulu telah mengalami

“penurunan kharisma”, seiring dengan model manajemen yang semakin modern, namun kharisma ketokohannya tidak sepenuhnya memudar. Dalam penelitian yang akan penulis lakukan ini, berdasarkan pengamatan awal, peneliti memfokuskan penelitian pada sesosok kiai inspiratif yang menjadi aktor utama dalam mengambangkan pendidikan pesantren, terutama pendidikan Islam multikultural yang dilakukan di Pondok Pesantren Amanatul Ummah Pacet Mojokerto.

C. Fokus Penelitian

Berdasarkan konteks penelitian di atas, penelitian ini akan mengambil fokus tentang seorang pemimpin pondok pesantren yang mempunyai kontribusi besar dalam mengembangkan nilai-nilai multikultural dalam pendidikan pesantren.

Secara umum nilai-nilai multikultural banyak terkandung dalam ajaran Islam, namun sosok kiai dengan kewenangan dan kepemimpinannya dalam pesantren adalah figure yang amat tepat dalam mengejawantahkan nilai dan prinsip

(14)

multikultural dalam dunia pendidikan pesantren. Untuk itu fokus penelitian ini adalah:

1. Nilai-nilai multikultural apa saja yang terkandung dalam pendidikan di Pondok Pesantren?

2. Bagaimana desain pengembangan nilai-nilai multikultural yang dilakukan kiai selaku aktor pendidikan pesantren?

3. Bagaimana model pengembangan nilai-nilai multikultural yang dilakukan oleh kiai?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah;

1. Untuk mendeskripsikan, menganalisa dan menginterpretasikan nilai-nilai multikultural yang terkandung dalam sistem pendidikan pesantren.

2. Untuk mendeskripsikan, menganalisa dan menginterpretasikan desain pengembangan nilai-nilai multikultural yang dilakukan kiai.

3. Untuk mendeskripsikan, menganalisa dan menginterpretasikan model pengembangan nilai-nilai multikultural yang dilakukan kiai.

E. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini diharapkan akan menambah dan memperluas wacana tentang diskursus kiai dan kepemimpinan di pondok pesantren terkait dengan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural sendiri merupakan alternative jawaban dari fenomena yang dihadapi bangsa Indonesia dengan heterogenitas baik agama maupun budaya. Keragaman yang dimiliki oleh bangsa ini adalah anugerah—selain juga merupakan sunnatullah, sehingga dengan keragaman akan tercipta suatu harmoni kehidupan. Namun anugerah yang dimiliki

(15)

bisa menjadi bencana bila tidak dikelola dengan baik yang pada ujungnya kita sebagai bangsa akan terjebak dalam disintegritas yang berkepanjangan. Dengan begitu kesadaran multikultural perlu untuk terus digaungkan, dunia pendidikan, terutama pendidikan pesantren yang mempunyai akar budaya yang kuat di masyarakat, menjadi sarana yang cukup efektif bagi penanaman kesadaran multikultural.

Penelitian ini diharapakan memberikan sumbangsih yang nyata bagi para pengelola pondok pesantren dalam mengembangkan pendidikan multikultural.

Kegunaan dari penelitian ini selain bersifat teoritis juga praktis.

1. Teoritis

Penelitian ini akan memberikan warna baru secara teoritis bagi dunia pesantren terutama bagi para kiai sebagai pengelola dan pemimpin bahwa kiai mempunyai peran yang cukup strategis dalam mengembangkan pendidikan multikultural. Kewenangan besar dan sentralitas kekuasaan yang dimiliki kiai secara cultural menjadi modal utama yang cukup berharga dalam mendesain pendidikan multikultural di pesantren.

2. Praktis

Kegunaan praktis dari penelitian ini, pertama, bagi Pondok Pesantren Amanatul Ummah bisa menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan visi dan misi lembaga terutama dalam mengembangkan pendidikan multikultural.

Kedua, bagi pemangku kebijakan atau pemerintah. Penelitian ini dapat dijadikan acuan tentang arah pengembangan pendidikan multikultural di pesantren.

Dan ketiga, kegunaan bagi penelitian berikutnya. Studi tentang kiai bisa dilihat dari

(16)

sudut pandang lain, sehingga akan terus memperkaya diskursus kiai sebagai aktor dan kepemimpinan pondok pesantren bagi kemajuan pesantren berikutnya.

F. Penegasan Istilah

Penegasan istilah adalah penjelasan mendalam tentang istilah-istilah yang digunakan dalam tema penelitian ini. Penegasan istilah penting untuk dilakukan guna menghindari kesalahan pengertian sekaligus memudahkan pemahaman serta dalam istilah-istilah yang digunakan. Atas dasar itu peneliti perlu memberikan penegasan atau penjelasan beberapa istilah sebagai berikut:

1. Nilai-Nilai Multikultural dalam Pendidikan

Dalam Pendidikan Multikultural sendiri terdapat nilai-nilai yang bersumber dari prinsip atau nilai Islam yang terdapat dalam Alquran dan Hadis.

Menurut Aly, ada tiga nilai inti dari pendidikan multikultural, yaitu: pertama, nilai demokrasi, kesetaraan, dan keadilan; kedua nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian; ketiga sikap sosial, yaitu: pengakuan, penerimaan, dan penghargaan kepada orang lain. (Aly, 2015: 78). Nilai Demokrasi, Kesetaraan dan Keadilan terdapat dalam Alquran surat al-Baqarah [2]: 256

ٓاَل

ٓيِفَٓها َر ۡكِإ ٓ

ٓ ِنيِ دلٱ

َٓنَّيَبَّتٓدَق ٓ

ٓ د ۡش ُّرلٱ

َٓن ِم ٓ

ٓ ِ يَغۡلٱ

ِٓبٓ ۡر ف ۡكَيٓنَمَف ٓ

ٓ َّطلٱ

ِٓتو غ

ِٓبٓ ۢنِم ۡؤ ي َو ٓ

ِٓهَّللٱ

ِٓدَقَف ٓ

ََََٓ ۡمَتَ ٓۡسٱ

ِٓٓب

ِٓة َو ۡر عۡلٱ

ٓ

ٓ ىَقۡث وۡلٱ

ٓ

َٓماَصِفنٱ ٓ َل

َٓوٓۗاَهَل ٓ

ٓ هَّللٱ

ٌٓميِلَعٌٓعيِمَس ٓ

ٓ .

ٓ

Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS: al-Baqarah: 256).

Dalam surat al-Kafirun [109]: 1-6:

(17)

ٓۡل ق

ٓاَهُّيَأا َي ٓ

َٓنو رِف َكۡلٱ

ٓ ۡم تَنَأٓا َل َوٓ ۡمُّتدَبَعٓاَّمٓ ٞدِباَعٓ۠اَنَأٓا َل َوٓ د ب ۡعَأٓااَمٓ َنو دِب َعٓ ۡم تَنَأٓا َل َوٓ َنو د بۡعَتٓاَمٓ د ب ۡعَأٓا َل ٓ

ِٓنيِدَٓيِل َوٓ ۡم ك نيِدٓ ۡم كَلٓ د ب ۡعَأٓااَمَٓنو دِب َع

ٓ .

ٓ

Artinya: Katidakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku". (QS. Al-Kafirun: 1-6)

Nilai Kemanusiaan, Kebersamaan, dan Kedamaian ditemukan dalam Alquran Surat al-Hujurat [49]: 13:

اَهُّيَأا َي

ٓ ساَّنلٱ ٓ

ٓااَبَق َوٓاٗبو ع شٓۡم ك َنۡلَعَج َوٓ ىَثن أ َوٓ ٖرَكَذٓنِ مٓم ك َنۡقَلَخٓاَّنِإ ٓ

َٓدنِعٓ ۡم كَم َر ۡكَأَّٓنِإٓ ا او ف َراَعَتَِلَٓلِئ

ِٓهَّلل ٱ

ٓ ۡم ك ىَقۡتَأ ٓ

َّٓنِإ

َٓهَّللٱ

ٓ ٞريِبَخٌٓميِلَع ٓ

ٓ

Artinya; Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling tidakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al- Hujurat: 13)

Dengan doktrin saling mengenal (ta’aruf) dan saling menolong (ta’awun) untuk membangun hubungan sosial yang baik. Ketiga nilai Sikap Mengakui, Menerima, dan Menghargai Keragaman QS. An-Nahl [16]:125:

ٓ عۡدٱ

ِٓبٓ ََِ ب َرِٓليِبَسٓ ىَلِإ ٓ

ِٓةَم ۡك ِحۡلٱ

َٓو ٓ

ِٓةَظِع ۡوَمۡلٱ

ٓ ِةَنَََحۡلٱ ٓ

ِٓبٓم هۡلِد َج َو ٓ يِتََّلٱ

ٓنَمِبٓ مَل ۡعَأٓ َو هٓ َََّب َرَّٓنِإٓ نََ ۡحَأَٓيِه ٓ

ِٓهِليِبَسٓنَعَّٓلَض ۦ

ِٓبٓ مَل ۡعَأٓ َو ه َو ٓ

َٓنيِدَتَ ۡه مۡلٱ

ٓ

ٓ

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan

(18)

Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An- Nahl: 125)

Dan QS. Fushshilat [41]:34:

َٓل َو

ٓيِوَتَ ََۡت ٓ

ٓ ةَنَََحۡلٱ

ٓ َل َو ٓ

ٓ ةَئِ يََّلٱ

ٓ

ٓۡعَفۡدٱ

ِٓٓب يِتََّلٱ

ٓاَذِإَفٓ نََ ۡحَأَٓيِه ٓ يِذَّلٱ

ٓ هَن ۡيَب َوَََٓنۡيَب ٓ

َّٓنَأَكٓٞة َو َدَع ۥٓ

ٓ هۥ

ٓ ٞميِمَحٌّٓيِل َو ٓ

ٓ

Artinya: Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS.

Fushshilat: 34).

Ayat-ayat tersebut memperkenalkan penolakan terhadap sikap hidup yang diskriminatif. Atas dasar ayat-ayat tersebut pendidikan multikultural mendapat legitimasi yang sangat kuat dalam Islam.

Sementara itu Murniati menjelaskan bahwa diantara nilai-nilai pendidikan multikultural adalah toleransi, solidaritas, empati, musyawarah, egaliter, keterbukaan, keadilan, kerjasama, kasih sayang, nasionalisme, prasangka baik, saling percaya, percaya diri, tanggung jawab, kejujuran, ketulusan, dan amanah.

(Murniati, 2016:186). Sedangkan Baidhowi mengatakan nilai-nilai pendidikan multikultural perspektif Islam meliputi belajar hidup dalam perbedaan, saling percaya, saling pengertian, saling menghargai, terbuka dalam berpikir, apresiasi dan interdependensi resolusi konflik dan rekonsiliasi tanpa kekerasan (Baidhawy, 2005:78).

Dalam kaitannya dengan konteks penelitian ini, pondok pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional telah melangkah jauh berperan aktif dalam menciptakan harmoni social yang berlandaskan nilai-nilai luhur ajaran agama.

2. Pendidikan Keagamaan

(19)

Konsep dasar Negara Indonesia memang sudah final, yaitu bahwa Indonesia bukanlah Negara Agama dalam arti dasar Negara ini tidak dilandaskan pada salah satu agama tertentu. Akan tetapi meskipun bukan Negara agama, Indonesia sebagai bangsa sangat memperhatikan agama yang dianut oleh masyarakatnya. Tidak terkecuali dalam masalah pendidikan, undang-undang yang ada telah dengan jelas mengatur bagaimana pendidikan keagamaan yang ada. Hal ini adalah dalam rangka mengakomodir agama-agama yang telah secara resmi diakui oleh pemerintah, juga sebagai bentuk penjaminan Negara terhadap hak individu setiap warga negara dalam melaksanakan dan mengekspresikan agama yang dianut.

Terkait dengan Negara dan pendidikan agama, sebenarnya telah diatur dengan rinci oleh pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Demikian juga penelitian dengan tema pondok pesantren ini didasari oleh peraturan pemerintah tersebut, sebagaimana yang tertuang dalam BAB I Ketentuan Umum Pasal I bahwa

“pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya”. Dalam konteks penelitian ini, nilai-nilai multikultural dalam pendidikan pesantren menjadi bagian integral dalam sikap dan kepribadian peserta didik. Peraturan pemerintah tersebut juga menjelaskan bahwa “pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.” (PP. No. 5 Tahun 2007).

(20)

Dalam penelitian ini istilah “Pendidikan Keagamaan” yang peneliti cantumkan dalam judul adalah merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2007.

3. Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural pada dasarnya didasari oleh filsafat atau faham multikulturalisme. Terdapat tiga komponen dalam multikulturalisme, yakni;

pertama, konsep ini terkait dengan kebudayaan; kedua, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan; dan ketiga, konsep ini mengandung cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh sebab itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatis, melainkan sebagai cara pandang atau semacam ideologi dalam kehidupan manusia. Hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan – artinya perbedaan menjadi asasnya –dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme sebagai ideologi itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara dengan mengutamakan kesetaraan dan saling menghargai (Syaifudin, 2006: 5-6).

Sejarah kelahiran multikulturalisme, tidak terlepas dari dua pemikiran Rawls dan Taylor (Tilaar, 2004: 75-76). Rawls mengemukakan konsep keadilannya sebagai satu konsep yang netral. Menurut Rawls, untuk mewujudkan satu masyarakat yang teratur, maka prinsip-prinsip keadilan yang dilaksanakan harus bersifat fair. Prinsip keadilan tersebut harus menguntungkan setiap orang dan berdasarkan kesepakatan dari semua orang. Sedangkan Taylor memperluas pemikiran politik multikulturalisme dengan memperjelas multikulturalisme itu sebagai bentuk dorongan kepentingan politik kaum minoritas atau kelompok-

(21)

kelompok subaltern atau kelompok kelas kedua (hak untuk menentukan diri sebagai minoritas/kelompok yang terpinggirkan. Hal tersebut ditambah lagi dengan adanya arus globalisasi dan abad informasi yang cenderung menghilangkan batas- batas (borderless) geografi dan budaya juga berperan penting mempercepat adanya budaya multikulturalisme (Akhyar, 2000: Makalah).

Multikulturalisme sendiri dibedakan menjadi multikulturalisme deskriptif dan multikulturalisme normatif. Multikultural deskriptif menganggap kenyataan sosial sebagai kenyataan pluralistic. Suatu kebenaran adalah yang dianggap benar oleh masyarakat. Dengan demikian yang benar tidak mendahului yang baik atau dengan kata lain tidak ada kebenaran absolut dalam multikulturalisme. Sedangkan multikuralisme normatif merujuk pada dasar moral, artinya terdapat ikatan moral untuk melakukan sesuatu. Sehingga dalam multikultual normatif suatu komunitas dapat bersepakat untuk membangun kebudayaaan yang mengikat kelompok- kelompok plural untuk tetap menghormati keragaman kultur yang berbeda (Reich, 2000: 13). Multikulturalisme dalam perkembangannya kemudian masuk dalam ranah pendidikan.

Selanjutnya, prinsip-prinsip pendidikan multikultural secara rinci dijelaskan oleh Baker sebagai berikut.

a. Pendidikan multikultural adalah suatu proses, sehingga pengembangan pendidikan multikultural pada dasarnya dilakukan dalam periode waktu yang cukup lama.

b. Pengembangan pendekatan multikultural dalam pendidikan hendaknya komprehensif, lengkap, melibatkan semua partisipan dalam komunitas sekolah, serta dalam lingkungan yang kondusif dan mendukung.

(22)

c. Pelatihan dan pendidikan bagi para staf, guru-guru, orang tua murid, dan komunitas pimpinan merupakan hal yang esensial.

d. Pendidikan multikultural diawali dengan memperhatikan secara sungguh- sungguh tentang latar belakang murid yang terlibat dalam proses.

e. Komponen pembelajaran pendidikan multikultural harus diintegrasikan secara teliti dalam kurikulum. (Baker, 1994: 31).

Berikutnya adalah bagaimana bentuk, penerapan dan landasan pendidikan multikultural dalam agama Islam. Terkait dengan hal ini, terdapat beberapa prinsip yang antara lain;

a. Islam adalah agama yang universal, Islam bukan diperuntukkan sebagai salah satu suku bangsa dan tertentu atau golongan tertentu seperti dalam surat al-Anbiya ayat ke-107:

ٓااَم َو نيِمَل َعۡلِ لٓٗةَم ۡح َرٓ َّلِإٓ ََ َنۡلَس ۡرَأ ٓ

Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya: 107)

b. Islam menghargai agama-agama dan kepercayaan agama lain seperti dalam Surat al-Maidah ayat ke-48. Islam juga mengajarkan tidak ada pemaksaan dalam beragama al-Baqarah ayat ke-256:

ٓاَل

ٓيِفَٓها َر ۡكِإ ٓ

ٓ ِنيِ دلٱ

َٓنَّيَبَّتٓدَق ٓ

ٓ د ۡش ُّرلٱ

َٓن ِم ٓ

ٓ ِ يَغۡلٱ

ِٓبٓ ۡر ف ۡكَيٓنَمَف ٓ

ِٓتو غ َّطلٱ

ِٓبٓ ۢنِم ۡؤ ي َو ٓ

ِٓهَّللٱ

ِٓدَق َٓٓف

ٓۡمَتَ ۡسٱ

ََََٓ

ٓ

ِٓب

ِٓة َو ۡر عۡلٱ

ٓ ىَقۡث وۡلٱ ٓ

ٓ

َٓماَصِفنٱ ٓ َل

َٓوٓۗاَهَل ٓ

ٓ هَّللٱ

ٌٓميِلَعٌٓعيِمَس ٓ

ٓ

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);

sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.

Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat

(23)

kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256).

c. Islam merupakan agama yang terbuka untuk diuji kebenarannya al-Baqarah ayat ke-23:

نِإ َو

ِٓهِلۡثِ مٓنِ مٖٓة َرو َِبٓ او تۡأَفٓاَنِدۡبَعٓ ىَلَعٓاَنۡل َّزَنٓاَّمِ مٖٓبۡي َرٓيِفٓ ۡم تَن ك ٓ ۦ

َٓو ٓ

ٓ او عۡدٱ نِ مٓم كَءااَدَه ش ٓ

ِٓنو د ٓ

ِٓهَّللٱ

َٓنيِقِد َصٓ ۡم تَن كٓنِإ ٓ

ٓ

Artinya: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QA. Al-Baqarah: 23).

d. Islam menegaskan bahwa keanekaragaman dalam kehidupan umat manusia adalah alamiah perbedaan itu mulai dari jenis kelamin suku dan bangsa yang beraneka ragam justru dari perbedaan itu yang melahirkan sikap saling mengenal (Sulalah, 2012: 55-56).

4. Pondok Pesantren

Pondok pesantren sesungguhnya telah lama didefinisikan oleh para ahli.

Pondok berasal dari kata Arab "funduq "yang berarti hotel atau asrama, sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang dengan awalan "pe" dan akhiran “an"

berarti tempat tinggal para santri (Dhofir, 1985: 18). Pondok juga berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok merupakan tempat penampungan sederhana bagi pelajar yang jauh tempat tinggalnya, sementxdbvara pesantren berasal dari kata santri yaitu gabungan dari kata sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga pondok pesantren adalah tempat pendidikan bagi manusia- manusia baik (Ziemek, 1986: 99).

(24)

Keduanya mempunyai konotasi yang sama, yakni menunjuk pada suatu tempat kediaman dan belajar para santri. Dengan demikian pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan yang dilaksanakan dengan sistem asrama (pondok) dan dengan kyai sebagai sentra utama serta masjid sebagai pusat lembaganya, Sedangkan menurut Abdulloh dalam Arifin, kata pesantren berasal dari kata santra, yaitu san yang berarti orang baik,dan tra yang berarti suka menolong, sehingga santra artinya orang yang suka menolong (Arifin, 2010: 13).

Beberapa pemerhati masalah pendidikan Islam di Indonesia mencoba untuk menjelaskan pondok pesantren sekaligus melacak akar sejarahnya. Steenbring (1986) mengatakan bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang diadopsi dari India. Pasca menyebarnya Islam di Nusantara, terdapat banyak persamaan antara pendidikan Hindu di India dan pesantren di Indonesia. Persamaan itu diantaranya: pendidikan bersifat keagamaan, guru yang mengajar tanpa gaji, penghormatan kepada guru, bangunan pesantren biasanya dibangun di luar area perkotaan. Persamaan juga terlihat dari bagaimana perhatian Negara yang menyerahkan tanah untuk kepentingan pendidikan baik dalam tradisi Hindu maupun Pesantren (Steenbring, 1986: 20-21).

Sedangkan Bruinessen mengungkapkan pendapat yang senada, yaitu terdapat indikasi yang kuat bahwa pendidikan pesantren berasal dari luar. Namun berbeda dengan Steenbring yang mengatakan pesantren dari India, Bruinessen berangggapan pesantren tidak bias dilepaskan dari Arab sebagai pusat orientasi umat Islam. Ia mencontohkan tradisi pembelajaran kitab kuning yang begitu kuat dan mengakar di pesantren. Kitab kuning yang berbahasa Arab merupakan bukti bahwa pesantren tidak bias dilepaskan dari tradisi Arab. Selain kitab kuning,

(25)

indikasi lain bahwa pesantren erat kaitannya dengan Arab adalah sistem pendidikannya itu sendiri. Ia berpendapat, pola pendidikan pesantren menyerupai pola pendidikan yang berkembang di Timur Tengah yaitu madrasah dan zawiyah.

Di samping itu banyak di antara Ulama-ulama yang menyebarkan Islam di nusantara melalui jalur pesantren mengenyam pendidikan di tanah Arab (Bruinessen, 1995: 22).

Pondok pesantren tidak akan pernah bisa dipisahkan dengan keberadaan santri atau pelajar yang tinggal di dalamnya. Karena adanya santri inilah sebuah lembaga pendidikan dinamakan pondok pesantren. Santri belajar menimba ilmu, khususnya ilmu-ilmu agama kepada seorang kiai di pondok pesantren, ia secara penuh berada di bawah pengawasan kiai karena ia telah meninggalkan tempat tinggal di kampung halamannya masing-masing. Secara sederhana dan secara teknis pondok pesantren adalah “a place where santri (student) live. Yang berarti bahwa pesantren adalah suatu lembaga di mana santri atau murid tinggal.

Senada dengan penjelasan di atas, Bawani (1983: 129) menambahkan pondok (asrama santri) adalah bukti tradisional pondok pesantren. Pondok pesantren disebut lembaga pendidikan Islam tradisional jika memiliki pondok atau asrama santri yang berstatus mukim. Bawani juga menjelaskan bahwa kecenderungan untuk berkelana menuntut ilmu dan menetap di suatu tempat di mana seorang guru berada, adalah juga tradisi yang menyatu dengan ulama masa lalu. Pendidikan pesantren dengan segala karakteristiknya, memiliki sejarah panjang. Sebagai pendidikan tradisional, pendidikan pesantren telah mampu berdialog dengan zamannya serta mampu untuk melewati berbagai pasang surut perubahan zaman dan tantangannya. Di saat pendidikan Islam tradisional di

(26)

berbagai penjuru dunia telah tergilas oleh laju perubahan zaman, justru pendidikan pesantren sebagai representasi pendidikan Islam tradisional di Indonesia tetap eksis dan bertahan hingga kini. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Azra (2012: 107-116), bahwa “pesantren merupakan pendidikan Islam tradisional di dunia yang mampu bertahan hingga kini karena karakter pesantren yang akomodatif, mampu menyesuaikan diri dan berakulturasi dengan budaya setempat”.

5. Kiai

Secara umum gelar kiai diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama atau tokoh agama Islam yang memimpin pondok pesantren. Dalam pengertiannya yang paling luas di Indonesia, gelar Kiai disematkan kepada para pendiri dan pemimpin pondok pesantren, sebagai muslim terpelajar, menguasai ilmu-ilmu agama dan membaktikan hidupnya untuk memperdalam dan menyebarluaskan ajaran-ajaran agama Islam melalui kegiatan pendidikan (Ziemek, 1986), (Geertz, 1981), Kiai disebut sebagai emerging leader, pemimpin non-formal yang diangkat oleh masyarakat, serta actual leader, seorang pemimpin yang diakui masyarakat karena kharisma yang dimilikinya. Legitimasi tersebut diperoleh dari masyarakat karena keahlian-keahlian tertentu.

Kiai mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam masyarakat, karena kewibawaan dan kharisma yang melekat pada diri seorang kiai. Hal ini menunjukkan bahwa kiai mempunyai kharisma tersendiri bagi masyarakat pesantren atau lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Menurut Horikoshi (1987), ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang diakui sebagai seorang kiai; pertama, sifat-sifat yang dimiliki kiai harus sesuai dengan nilai-nilai ideal

(27)

yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dalam konteks budaya yang spesifik. Kedua, kemampuan yang tinggii itu dipandang oleh kelompok sekuler sesuatu yang sangat sulit dicapai atau dipertahankan. Gagasan tentang sifat yang tidak mudah dicapai oleh masyarakat umum inilah yang kelihatan luar biasa. Kiai adalah teladan yang patut untuk dicontoh dan ditaati.

Istilah kiai berbeda dengan terminology pondok pesantren yang terindikasi berasal dari luar yakni Arab atau India, istilah kiai berasal dari bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa, istilah kiai mempunyai cakupan makna yang amat luas. Kiai mempunyai makna sesuatu yang agung, keramat dan dituahkan. Julukan kiai tidak hanya diberikan kepada manusia, namun benda-benda yang dalam tradisi Jawa dianggap keramat dan bertuah juga disebut kiai misalnya keris, tombak, gerobak dan benda-benda lain (Arifin, 1992: 48).

Walaupun sebutan istilah kiai muncul dalam tradisi jawa, namun masyarakat di Jawa Barat mempunyai istilah lain; yaitu Ajengan. Perbedaan istilah tidak lantas menjadikan peran fungsi social keagamaan seorang kiai menjadi berbeda. Perbedaan istilah ini juga terdapat pada daerah-daerah lain. Di Madura, ada istilah Mak Kyiae, Bendara atau Nun. Di Nusa Tenggara Barat ada istilah Tuan Guru. Di Aceh ada Ulema. Sementara di daratan Sumatera teradapat istilah Buya (Arifin, 2010: 31).

(28)

BAB VI PENUTUP A. PENGANTAR

Bab ini adalah bab penutup yang merupakan akhir dari disertasi ini. Pada bab penutup ini akan disajikan tiga hal utama, yaitu; pengantar, kesimpulan dan implikasi hasil penelitian yang meliputi implikasi teoritis dan implikasi praktis.

B. KESIMPULAN

Berdasarkan temuan dan pembahasan pada penelitian di Pondok Pesantren Amanatul Ummah ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan:

1) Dalam penelitian ini, penelusuran tentang nilai-nilai multikultural, mengungkap beberapa nilai yang berkembang di Pondok Pesantren Amanatul Ummah, yaitu: (i) Nilai Kebersamaan; (ii) Nilai Toleransi dalam Keragaman;

(iii) Nilai Kerjasama; (iv) Nilai Kasih Sayang; (v) Nilai Musyawarah; (vi) Nilai Keadilan; (vii) Nilai Demokrasi; (viii) Nilai Menghilangkan Kecurigaan (prejudice reduction); dan (ix) Nilai Kesetaraan. Pondok pesantren adalah lahan yang subur bagi tersemainya benih-benih multikultural yang responsif- adaptif terhadap perkembangan dunia pendidikan serta dinamika konstelasi geopolitik baik nasional maupun dalam skala internasional. Pondok pesantren turut berperan aktif dalam menyebarkan gagasan tentang nilai-nilai multikultural, di saat gejala tentang eksklusivisme dan radikalisme agama dalam Islam sedang mengalami trend peningkatan. Sehingga berangkat dari teori besar ajaran Alquran tentang keniscayaan kemajemukan masyarakat,

(29)

suku, warna kulit, bahasa, agama dan lain sebagainya dalam konstruksi multikulturalisme, penelitian ini mengungkap nilai-nilai multikultural yang ada di lembaga pendidikan pesantren. Nilai-nilai multikultural yang terdapat pada kehidupan sehari-hari para santri ketika santri belajar, di asrama, mengaji, ketika santri makan, shalat, membaca wirid dan sebagainya

2) Desain pengembangan nilai-nilai multikultural kiai tidak lepas dari karakter dasar pesantren yang dinamis. Desain pengembangan nilai-nilai multikultural di Pondok Pesantren Amanatul Ummah terdapat tiga temuan: Pertama, meneguhkan spirit keagamaan. Yaitu kiai membekali para santri dengan nilai- nilai spiritual yang dalam bahasa santri disebut dengan riyadloh. Dalam hal ini, kiai menjadi pengawal pesantren dalam menjaga tradisi-tradisi yang selama ini melekat dengan jati diri pesantren. Riyadloh menjadi kekuatan tersendiri bagi kaum santri dalam memenangkan “medan jihad” yaitu merumuskan konsep pendidikan maju yang berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan.

Kedua, meneguhkan identitas santri dengan prestasi. Yaitu kiai menerapkan disiplin belajar ketat dengan menuntut dedikasi tinggi dari guru. Guru menjadi episentrum pendidikan di Amanatul Ummah dengan menjadi pelopor bagi prestasi yang dicanangkan oleh pesantren. Sehingga hasilnya adalah torehan prestasi yang dihasilkan para santri. Sedangkan desain Ketiga, membangun peradaban dari pesantren. Yaitu Kiai menjadi instrumen paling utama perihal tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai multikultural di pondok pesantren.

(30)

Masyarakat pesantren yang merupakan sub-kultur masyarakat—

terminologi yang diperkenalkan Gus Dur dalam membaca realitas masyarakat pesantren, mempunyai orisinalitas cara hidup sendiri dalam menentukan sikap menghadapi segala bentuk perubahan. Dibawah asuhan seorang kiai, pondok pesantren mempunyai watak dinamis, sebagaimana teori Gus Dur, yaitu mampu menjadi bagian integral dari proses perubahan, namun di sisi lain, pesantren masih tetap memegang teguh jati diri dan identitasnya sebagai lembaga tradisional keagamaan dengan segala ciri khas dan keuinikannya. Sikap pesantren dalam merespon perubahan tidak bisa lepas dari kerangka acuan almuhafadhah ‘alal qodimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah. Dalam penelitian ini diungkapkan ketika pondok pesantren Amanatul Ummah bertekad membenahi kualitas pendidikan pesantren dengan cara—salah satunya—mengirim santri untuk melanjutkan pendidikan tinggi terbaik di dalam ataupun di luar negeri, sesungguhnya pondok pesantren sedang mengirimkan duta-duta multikultural, karena sebelumnya para santri telah hidup dalam komunitas masyarakat multikultural di pesantren. Rentang waktu para santri belajar di pondok pesantren menjadi sarana untuk membekali santri dengan kesadaran multikultural.

3) Model pengembangan nilai-nilai multicultural kiai dalam masyarakat pesantren dicapai melalui tiga hal; pertama, membentuk komunitas multikultural; yaitu keadaan dimana santri Amanatul Ummah berasal dari berbagai latar belakang sosial dan budaya, serta kebijakan kiai yang mendatangkan santri dari luar

(31)

negeri menjadikan Pondok Pesantren ini rumah bagi keragaman. Kedua, menghindari bangkitnya isu sektarianisme; yaitu kiai menghindari perilaku eksklusif dengan bersikap menutup diri dari kelompok dan faham keagamaan yang berbeda dengan yang dianutnya. Kiai terbuka menerima santri di luar NU serta melarang eksklusifisme di lembaganya. Ketiga, menumbuhkan pemahaman Islam moderat di kalangan santri; yaitu penolakan kiai terhadap ideology radikal dalam bentuk organisasi yang hendak merubah dasar Negara untuk memasuki lembaga pesantren. Sebagaimana teori Horikoshi tentang kiai dan perubahan sosial, dalam konteks penelitian ini, kiai menjadi aktor utama dalam mengemas pondok pesantren menjadi lebih ramah, toleran dan terbuka dalam koridor multikulturalisme, dengan cara membuka ruang-ruang multicultural serta membatasi ruang gerak nilai-nilai anti-multikultural. Kiai menjadi inisiator pengembangan nilai-nilai multicultural melalui terobosan- terobosan besar tentang agenda pendidikan. Penelitian ini menunjukkan bahwa mengembangkan pendidikan pesantren adalah sekaligus mengembangkan nilai-nilai multikultural.

C. Implikasi Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini berimplikasi pada dua hal; yaitu implikasi teoritik dan implikasi praktis.

1. Implikasi Teoritis

(32)

Penelitian ini menunjukkan bahwa multikulturalisme adalah soal pergumulan nilai-nilai yang diterapkan dalam kehidupan, aktor yang terlibat di dalamnya serta instrumen bagi berkembangnya nilai multikultural. Lembaga pendidikan Islam pondok pesantren menjadi tempat yang tepat bagi pembumian dan gagasan multikulturalisme sebagai sebuah sistem nilai. Penelitian ini semakin mempertegas bahwa multikulturalisme tidak bertentangan dengan ajaran Islam pada umumnya dan tidak pula bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat pesantren pada khususnya. Multikulturalisme secara jasmani lahir dalam tradisi masyarakat Barat, namun ruhnya telah ada beriringan dengan sejarah lahirnya ajaran Islam.

Penelitian ini memperkuat sekaligus melengkapi teori Horikoshi tentang kiai dan perubahan social. Studi tentang kiai yang dilakukan Horikoshi mengambil tempat di pedalaman Jawa Barat beberapa dasa warsa yang lalu. Konteks masyarakat ketika Horikoshi melakukan penelitian adalah sosok Kiai Yusuf Tajri yang tetap konsisten membimbing masyarakatnya di tengah menguatnya disintegrasi bangsa akibat pemberontidakan DI/TI. Penelitian ini juga mengambil setting kiai pondok pesantren yang berupaya menawarkan agenda perubahan pada masyarakatnya, namun dilatarbelakangi oleh konteks masyarakat yang berbeda ketika Horikoshi meneliti Kiai Yusuf Tajri. Konteks masyarakat yang dihadapi oleh Kiai Asep tidak berupa disintegrasi dan pemberontidakan, tetapi tentang pembentengan pondok pesantren terhadap nilai-nilai yang bisa merusak kohesi social (social cohesion) yang sudah terjalin dengan baik. Oleh sebab itu nilai multikultural harus dikedepankan sebelum nilai anti-multikultural menyebar luas.

(33)

Penelitian ini berimplikasi secara teoritik bahwa nilai-nilai multikultural sangat perlu untuk terus menerus disuarakan sebagai perumusan anti-tesis terhadap gejala semakin menguatnya arus eksklusivisme beragama. Menyuarakan multikulturalisme menjadi tanggung jawab moral bagi siapa saja—termasuk kalangan akademisi—demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis dan menghindari konflik serta perpecahan. Konflik dan perpecahan telah banyak memporakporandakan bangsa di belahan bumi lain yang berujung pada penderitaan tiada tara bagi segenap warga negaranya, maka belajar dari pengalaman pahit bangsa lain, kita bisa menggaungkan multikulturalisme sebagai upaya menghindari konflik dan perpecahan. Pada akhirnya kita bisa mengupayakan untuk menyemaikan benih multikulturalisme di kalangan pesantren tanpa perasaan ragu, sebab multikulturalisme mempunyai landasan kokoh dalam Alquran sebagaimana banyak diulas dalam penelitian ini.

Implikasi teoritik dalam penelitian ini mencakup tiga hal utama sesuai dengan fokus penelitian, yaitu teori tentang nilai-nilai multikultural dalam Alquran, teori tentang Kiai dan perubahan social, dan teori tentang pesantren sebagai sub-kultur.

Pertama, nilai-nilai multikultural dalam Alquran. Sebagai teks suci yang diyakini oleh umat Islam, Alquran menawarkan panduan dan pedoman umat manusia dalam menghadapi masalah kehidupan berikut jalan keluarnya. Diantara panduan dan pedoman Alquran terdapat banyak sekali ayat, baik secara jelas (eksplisit) maupun secara secara samar (implisit), membahas tentang keniscayaan multikulturalisme.

Alquran menegaskan bahwa multikulturalisme adalah sunnatullah yang tidak bisa dihindari, sekaligus menekankan agar diantara umat manusia yang beragama itu saling

(34)

menghargai dan menghormati. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam diri manusia menurut Alquran tidak lantas menjadikan satu manusia atau kelompok manusia lebih baik dibanding lainnya.

Penelitian ini berangkat dari ayat-ayat multikultural dalam Alquran dan hadis untuk melihat fenomena tentang nilai-nilai multikultural yang terjadi dalam kehidupan sehari-sehari masyarakat pesantren. Peneliti merasa perlu untuk mengupas ayat-ayat dan hadis multikultural untuk lebih memperkuat kesadaran multikultural, sekaligus menggaungkan pesan Alquran yang bertemakan persatuan dalam bingkai masyarakat multikultural; semisal isu tentang kesetaraan, saling menghormati, tidak saling mencurigai, menghindari perpecahan dan lain sebagainya. Karena yang merebak di masyarakat kita sekarang adalah begitu banyaknya ayat Alquran yang terkesan menampakkan wajah eksklusif Islam yang tidak ramah terhadap kelompok agama lain.

Misalnya tentang kecurigaan terhadap kaum Yahudi dan Nasrani, klaim keselamatan hanya milik orang Islam, serta ayat-ayat perang (ayatul qital) yang dipahami secara serampangan. Ayat-ayat semacam ini justru mendapat mimbar karena terus menerus digaungkan oleh sebagian kelompok dalam Islam, sehingga wajah Islam yang kurang ramah terhadap kelompok lain yang berbeda menjadi semakin nyata.

Maka dari itu menggali kembali ayat-ayat multikultural dalam Alquran menjadi semakin penting untuk terus-menerus dilakukan, untuk mengimbangi semakin menguatnya arus eksklusivisme dalam beragama serta agar tidak terjebak pada pemahaman Alquran yang parsial. Sebagai sebuah nilai, multikultural bisa ditemukan di mana saja. Nilai-nilai multikultural di pondok pesantren, sebagaimana tema besar

(35)

penelitian ini, adalah bagian dari pendidikan multikultural di sebuah lembaga pendidikan Islam. Karena lembaga pendidikan pesantren merupakan sarana efektif dalam menyemaikan dan menyebarkan benih-benih multikulturalisme yang mempunyai landasan kokoh dalam Alquran baik secara teoritis maupun secara teoritis.

Sebagaimana Sembilan nilai multikultural di Pondok Pesantren Amanatul Ummah yang diungkap dalam penelitian ini.

Kedua, Kiai mempunyai posisi tawar (bargaining position) yang sangat strategis dalam mengembangkan nilai-nilai multikultural di pondok pesantren.

Penelitian ini secara substansi sangat mendukung teori Horikoshi tentang kiai dan perubahan sosial yang menekankan pada diri seorang kiai yang mampu untuk memelopori perubahan dalam pesantrennya. Dalam menawarkan agenda perubahan pada masyarakat pesantren, kiai mempunyai peran kreatif dengan jalan, cara dan kewenangan yang dimilikinya. Kiai menawarkan agenda perubahan nyata yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, karena ia adalah seorang pemimpin. Dalam konteks penelitian ini, Kiai Asep adalah lokomotif yang menggerakkan gerbong masyarakat pesantren menuju pada tatanan masyarakat multikultural. Perubahan yang ditawarkan oleh kiai adalah menjadikan masyarakat yang dipimpinnya (masyarakat pesantren) menjadi masyarakat multikultural dan terbuka. Sebagaimana dalam temuan penelitian yaitu: membentuk komunitas multikultural; menghindari bangkitnya isu sektarianisme;

dan, meminimalisir benih radikalisme di kalangan santri.

Teori Horikoshi yang diperkuat dengan temuan dan hasil dari penelitian ini semakin mempertegas bahwa kiai sebagai institusi kepemimpinan tradisional masih

(36)

relevan menjawab tantangan zaman. Hal ini sekaligus membantah bahwa kepemimpinan kiai telah memudar karena telah ber-evolusi menjadi lembaga kepemimpinan kolektif. Kiai masih mempunyai kharisma yang cukup untuk menawarkan sebuah agenda. Tawaran agenda perubahan oleh kiai dalam hal mengembangkan nilai-nilai multikultural di pondok pesantren tentu berawal dari pembacaan cermat tentang perkembangan isu-isu kontemporer terutama tentang menguatnya propaganda Islam eksklusif.

Penelitian ini erat kaitannya secara teoritis dengan teori Horikoshi. Di mana agenda perubahan yang dibawa oleh kiai adalah perubahan dengan membawa dan semakin mempertegas nilai-nilai multikultural dalam kehidupan masyarakat pesantren. Teori Horikoshi sesungguhnya adalah kelanjutan, atau dalam bahasa lain, adalah koreksi terhadap teori Cultural Broker Clifford Geertz. Dalam pandangan Geertz, kiai berperan menyaring setiap informasi yang masuk, sehingga dalam titik tertentu apabila arus informasi sedemikian kuat maka kiai akan kehilangan fungsinya.

Dari sinilah Horikoshi memperbaiki teori Geertz, sehingga kiai tidak kehilangan fungsi strategis dalam masyarakat pesantren.

Ketiga, teori tentang rasionalitas tokoh agama yang digagas oleh pakar sosiologi agama Scharf. Teori Scharf menemukan basis pijakan pada sosok kiai yang menjadi subyek dari penelitian ini, yaitu Kiai Asep. Rasionalitas seorang pemimpin agama dalam alur konstruksi pemikiran Scharf terwujud dalam interpretasi gagasan maupun sepak terjang seorang kiai. Interpretasi yang dimaksud adalah interpretasi tentang ajaran atau laku spiritual, yang dapat terlacak dari ajaran atau laku riyadloh

(37)

yang dilakukan kiai dan diinstruksikan kepada para santrinya secara massif. Selain interpretasi spiritual, ada juga interpretasi tujuan dari kiai. Dalam interpretasi tujuan terlihat dari cara kiai mengelola lembaga pendidikan pesantren besutannya. Berkat tangan dingin Kiai Asep, lembaga pendidikan tradisional menjelma menjadi lembaga pendidikan unggulan yang menekankan pada prestasi dan globalisasi santri.

Keempat, teori tentang pesantren sebagai sub-kultur. Teori ini diperkenalkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), meskipun Gus Dur sendiri menyadari bahwa istilah pesantren sebagai sub-kultur tidaklah sepenuhnya menggambarkan keunikan masyarakat pesantren. Istilah tersebut digunakan karena tidak terdapat istilah lain yang lebih tepat merefleksikan eksistensi pesantren. Pesantren sebagai sub-kultur adalah upaya untuk membaca realitas masyarakat pesantren yang mempunyai cara hidup sendiri dalam menentukan sikap menghadapi segala bentuk perubahan. Dibawah asuhan seorang kiai, pondok pesantren mempunyai watak dinamis, sebagaimana teori Gus Dur, yaitu mampu menjadi bagian integral dari proses perubahan, namun di sisi lain, pesantren masih tetap memegang teguh jati diri dan identitasnya sebagai lembaga tradisional keagamaan dengan segala ciri khas dan keuinikannya. Dalam penelitian ini diungkapkan ketika pondok pesantren Amanatul Ummah bertekad membenahi kualitas pendidikan pesantren dengan cara—salah satunya—mengirim santri untuk melanjutkan pendidikan tinggi terbaik di dalam ataupun di luar negeri, sesungguhnya pondok pesantren sedang mengirimkan duta-duta multikultural, karena sebelumnya para santri telah hidup dalam komunitas masyarakat multikultural di pesantren.

(38)

Rentang waktu para santri belajar di pondok pesantren menjadi sarana untuk membekali santri agar berkesadaran multikultural.

Kajian tentang kiai dan pondok pesantren akan terus mengalami dinamika perkembangan yang berkesinambungan. Pondok pesantren akan terus ber-evolusi mencari bentuk terbaiknya menyesuaikan dengan perubahan zaman. Sebagaimana pernyataan Gus Dur bahwa pondok pesantren dalam fase awal tahapan sejarahnya adalah surau atau langgar dalam tradisi masyarakat Jawa yang menjadi tempat menjalankan ritual beribadah sehari-sehari sekaligus sebagai tempat seorang kiai mengajari ilmu-ilmu dasar agama kepada pada murid-murid yang biasanya berasal dari kampung sekitar. Namun seiring perjalanan sejarah, sedikit demi sedikit surau yang menjadi tempat beribadah dan belajar ilmu agama menyesuaikan dengan perkembangan dunia pendidikan. Sehingga kita sekarang menyaksikan pondok pesantren berkembang pesat menjadi lembaga pendidikan yang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan umum di luar pesantren.

Kajian tentang pendidikan pesantren sekaligus sosok kiai yang menaunginya akan terus berkembang seiring dengan berkembangnya pendidikan pondok pesantren.

Hal ini dikarenakan kemampuan naluri pesantren untuk selalu bertahan (survival instinc) sudah teruji selama berabad-abad lamanya. Naluri bertahan pesantren terhadap serbuan kemajuan zaman ditopang oleh kemampuan alamiahnya dalam merespons setiap perubahan. Jika perubahan itu baik, maka pesantren akan mengambilnya, namun jika tidak baik maka pesantren akan tetap menggunakan cara lama tanpa tergesa-gesa memutuskannya. Sudah barang tentu sosok kiai menjadi sangat utama peran dan

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Pemberian Isoflavon Terhadap Jumlah Eritrosit Dan Aktivitas Enzim Katalase Tikus Yang Dipapar Sinar Ultraviolet.. Uji Aktivitas Senyawa Flavonoid Total Dari

Ektrak daun binahong diperoleh dari maserasi daun binahong dengan pelarut metanol dan dipartisi dengan menggunakan pelarut etil asetat, kemudian dilakukan uji

(1) Kreditur pemegang hipotek atau pemegang gadai dimaksud dalam pasal yang latu, wajib melaksanakan tuntutannya sebelum lewat waktu dua bulan, terhitung dari

Jenis Cymodocea rotundata merupakan satu-satunya spesies yang ditemukan di kedua Stasiun (Gambar 6), memperlihatkan nilai biomassa bawah untuk Stasiun 1 (Terbuka) 6,045 gbk/m 2

Banyak faktor mempengaruhi minat siswa sekolah mengenah atas Negeri 1 Kamal untuk meneruskan perguruan tinggi yang rendah diantaranya salah satu faktor rendahnya

Dari hasil perhitungan dan data yang ada diperoleh nilai prediksi sebesar 0.908607561 atau 91% dan nilai akurasi terhadap PAK sebesar 96% sehingga dapat

Buku ini berjudul Waktu dan Djidwal (Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan dan Matahari) merupakan karya yang terbit pada tahun 1952 M.. Kajian

disimpulkan bahwa bahan pengencer BTS yang dikombinasi dengan krioprotektan DMA lebih baik dalam mempertahankan kualitas semen beku babi dibandingkan dengan