• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Niat Ayah atau Ibu Remaja Menikahkan Anak secara Dini

1. Pengertian Niat Ayah atau Ibu Remaja Menikahkan Anak secara Dini Pengertian dari niat ayah atau ibu remaja menikahkan anak secara dini akan dijelaskan terpisah menjadi pengertian pernikahan dini, niat, dan ayah atau ibu remaja. Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia No.16 Tahun 2019 tentang perkawinan, pernikahan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun, sehingga pernikahan yang dilaksanakan oleh pasangan suami istri yang keduanya masih berumur di bawah 19 tahun disebut dengan pernikahan dini (Kementrian Sekretariat Negara Republik Indonesia, 2019).

Niat menurut Azjen (1991) dalam Theory of Planned Behavior dijelaskan bahwa niat merupakan tingkat kepastian tentang praktik perilaku atau berfungsi sebagai prediktor utama dalam menentukan perilaku seseorang. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012) menjelaskan bahwa niat adalah maksud atau tujuan dari suatu perbuatan. Sementara ayah atau ibu remaja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ayah atau ibu kandung dari anak gadis remaja jika keduanya atau salah satu masih hidup.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud niat ayah atau ibu remaja menikahkan anak secara dini adalah suatu keinginan ayah atau ibu remaja untuk segera menikahkan anak gadisnya yang masih berusia di bawah 19 tahun atau telah mengalami menstruasi pertama.

a. Aspek-aspek niat

Niat terbentuk dari beberapa aspek niat yang kemudian diturunkan menjadi beberapa komponen niat. Aspek-aspek niat ayah atau ibu remaja menikahkan anak secara dini akan dijelaskan dengan memadukan aspek-aspek dari niat dan aspek- aspek dari pernikahan dini dikarenakan belum adanya teori secara khusus yang menjadi aspek-aspek niat ayah atau ibu remaja menikahkan anak secara dini.

Aspek-aspek niat diuraikan sebagai berikut.

commit to user

(2)

1. Perilaku (behaviour), yaitu perilaku yang spesifik yang nantinya akan diwujudkan.

2. Sasaran (target), yaitu objek sasaran perilaku.

3. Situasi (situation), yaitu situasi pendukung dilakukannya perilaku.

4. Waktu (time), yaitu meliputi waktu tertentu, dalam satu periode. atau tidak terbatas (hari tertentu, tanggal tertentu, jam tertentu), periode tertentu (bulan tertentu), dan waktu yang tidak terbatas.

Berdasarkan uraian di atas, maka perilaku yang akan diwujudkan, adanya sasaran perilaku, situasi yang mendukung terjadinya perilaku, serta waktu untuk berperilaku merupakan aspek-aspek dari niat.

b. Aspek-aspek niat ayah atau ibu remaja menikahkan anak secara dini 1) Perilaku dari ayah atau ibu remaja. Ayah atau ibu remaja tidak

memperdulikan pendidikan anak gadisnya. Ayah atau ibu remaja mendapatkan dorongan dari tetangga dan warga sekitar untuk segera menikahkan anaknya karena banyak manfaat yang diperoleh dengan menikahkan anak gadis secara dini seperti mengurangi biaya perawatan dan makan untuk anak gadis. Ayah atau ibu remaja mengamati tetangga yang telah menikahkan anak gadisnya tidak mempunyai masalah.

2) Sasaran yang akan dinikahkan dengan anak gadis. Ayah atau ibu remaja yang akan menikahkan anak secara dini sudah membidik pihak yang akan dinikahkan dengan anak gadisnya beberapa waktu sebelumnya. Sasaran yang dibidik oleh ayah atau ibu remaja adalah laki-laki yang umurnya lebih tua daripada anak gadis, mempunyai pekerjaan, dan dianggap mampu untuk menyejahterakan anak gadis di kemudian hari. Selain itu, juga membidik laki-laki yang mau untuk memberikan mahar pernikahan yang tinggi dan bersedia untuk membantu perekonomian keluarga gadis yang akan dinikahkan.

3) Situasi yang menuntut segera menikahkan anak secara dini. Ayah atau ibu remaja ingin menikahkan anak gadis secara dini karena dipengaruhi oleh situasi atau keadaan di lingkungan sekitar pesisir meliputi banyaknya terjadi pernikahan dini yang telah terjadi. Selain itu, terdapat kondisi keluarga dengan sosial ekonomi yang rendah dan tuntutan kebutuhan commit to user

(3)

hidup yang semakin hari semakin tinggi. Ayah atau ibu remaja beranggapan bahwa harus menikahkan anak gadis sebelum berusia 16 tahun karena jika tidak segera menikah maka akan dianggap sebagai perawan tua oleh masyarakat sekitar.

4) Waktu yang tepat untuk menikahkan anak secara dini. Setelah pihak laki- laki yang dibidik telah setuju untuk menikahi anak gadis dari suatu keluarga, maka ayah atau ibu gadis remaja akan segera menggelar acara pernikahan tidak lebih dari satu bulan karena khawatir akan ada gadis lain yang meminta untuk dinikahi oleh pihak laki-laki tersebut. Acara pernikahan yang akan dilaksanakan biasanya tanpa persiapan yang matang dan bahkan dapat dikatakan seadanya (Fifin, 2017).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa definisi dari niat menikahkan anak secara dini adalah keinginan ayah atau ibu remaja untuk menikahkan anak secara dini yang mencakup aspek dari perilaku ayah atau ibu remaja yang lebih percaya bahwa menikahkan anak secara dini akan mendatangkan manfaat, selain itu juga terdapat aspek bahwa yang akan menjadi sasaran ayah atau ibu remaja untuk menikahi anak gadis adalah seseorang yang mampu secara ekonomi. Aspek lain dari niat ayah atau ibu remaja menikahkan anak secara dini adalah karena anak gadis berada dalam situasi yang tidak aman karena akan berusia 16 tahun, sehingga mendorong munculnya aspek lain yaitu ingin segera menikahkan anak dalam waktu singkat karena rasa takut terhadap orang yang menjadi sasaran akan memilih anak gadis dari orang lain.

2. Teori-teori yang relevan dengan niat a. Theory Planned Behaviour (TPB)

1) Keterkaitan faktor determinan niat dan hubungannya dengan perilaku menurut Theory Planned Behaviour (TPB) (Azjen, 1991).

Sikap terhadap perilaku ditentukan oleh keyakinan mengenai konsekuensi dari suatu perilaku. Keyakinan dikaitan dengan penilaian subjektif individu pada lingkungan sekitarnya, pemahaman mengenai diri serta lingkungan individu dengan cara menghubungkan perilaku tertentu dengan manfaat atau kerugian yang akan diperoleh apabila individu melakukan atau tidak. Keyakinan memperkuat sikap terhadap perilaku yang commit to user

(4)

berdasarkan evaluasi individu, diperoleh data bahwa perilaku tersebut memberikan keuntungan baginya.

Sama halnya dengan sikap, subjective norm dipengaruhi keyakinan.

Subjective norm merupakan fungsi dari keyakinan individu, diperoleh dari pandangan orang lain terhadap objek sikap individu. Seseorang akan memiliki keinginan terhadap perilaku apabila terpengaruh oleh masyarakat di sekitarnya untuk melakukannya sehingga yakin bahwa lingkungan atau masyarakat sekitar mendukung terhadap apa yang dilakukan. Keyakinan merupakan pandangan pihak lain yang dianggap penting oleh individu yang menyarankan untuk melakukan atau tidak perilaku tertentu dan motivasi kesediaan individu melaksanakan atau tidak pendapat dan pikiran pihak lain yang dianggap penting. Persepsi individu tentang mudah atau tidaknya melakukan tingkah laku merupakan refleksi pengalaman sebelumnya.

Selain sikap dan subjective norm, juga terdapat kontrol yang dirasakan yang merupakan pusat kendali berkaitan dengan keyakinan individu yang relatif stabil dalam segala situasi. Kontrol yang dirasakan akan mampu untuk berubah sesuai dengan situasi serta perilaku yang akan dilakukan tersebut. Pusat kendali berhubungan dengan keyakinan individu akan keberhasilan melakukan segala sesuatu yang bergantung kepada usaha itu sendiri atau faktor lain. Individu yang mampu memiliki kontrol tinggi akan terus terdorong serta berusaha berhasil karena meyakini adanya sebuah kesempatan dan kesulitan dapat diatasi.

Skema TPB menurut Ajzen (1991):

Gambar 1. Theory of Planned Behavior (TPB) Ajzen (1991)

Attitude toward the behaviour

Intention Behavior

Subjective norm

Perceived behavioral control

commit to user

(5)

b. Transtheoretical Model (TTM)

Transtheoretical Model (TTM) merupakan model teoritis tentang perubahan perilaku dengan intervensi mempromosikan perubahan perilaku kesehatan.

Transtheoretical Model adalah teori perubahan perilaku berdasarkan pengambilan keputusan disengaja (Prochaska, 1983), yang terdiri dari tahap precontemplation ketika seseorang tidak berniat melakukan perubahan perilaku, tahap contemplation ketika seseorang mulai mempertimbangkan mengubah perilaku, tahap preparation ketika mulai melakukan perubahan kecil, tahap action ketika telah benar-benar meninggalkan perilaku lama dan beralih ke perilaku baru, tahap maintenance ketika sudah berperilaku baru dalam waktu lama. Pada tahapan perubahan perilaku TTM terdapat relaps yaitu kekambuhan. Seseorang yang telah melewati tahap precontemplation sampai dengan maintenance dapat mengalami relaps jika tidak mendapat dukungan positif dari lingkungan di sekitarnya. Tahapan perubahan berguna dalam menjelaskan kapan terjadinya perubahan dalam kognitif, emosi, dan perilaku (Prochaska, 1983)

Gambar 2. Tahapan Perubahan Perilaku Menurut Prochaska (1979).

Termination (Optimal Recovery)

Stage of change ……

commit to user

(6)

Sesuai dengan uraian tentang acuan penjelasan tahap perubahan perilaku menurut Prochaska (1979), maka di bawah ini akan dijelaskan tahap perubahan niat menikahkan anak secara dini sesuai dengan Transtheoretical Model (TTM).

1) Precontemplation niat menikahkan anak secara dini

Precontemplation niat menikahkan anak secara dini adalah tahap ketika ayah atau ibu remaja tidak berpikir untuk menunda menikahkan anak mereka secara dini. Ayah atau ibu remaja tidak menyadari bahwa dengan menikah dini akan menimbulkan masalah sehingga belum berfikir untuk berubah. Ayah atau ibu remaja masih merasa nyaman dengan niat tersebut dan sama sekali tidak ingin untuk melakukan perubahan. Kemungkinan pada tahap ini karena tidak diberitahu atau kurang informasi tentang konsekuensi dari niat yang dimiliki.

2) Contemplation niat menikahkan anak secara dini

Contemplation niat menikahkan anak secara dini adalah tahap ketika ayah atau ibu remaja berpikir untuk menunda menikahkan anak secara dini dalam 6 bulan ke depan. Ayah atau ibu remaja mulai mempertimbangkan bahwa dengan menikahkan anak secara dini maka akan menimbulkan banyak masalah, namun ayah atau ibu remaja belum siap untuk melakukannya.

3) Preparation niat menikahkan anak secara dini

Preparation niat menikahkan anak secara dini adalah tahap ketika ayah atau ibu remaja berpikir untuk menunda menikahkan anak dalam 30 hari. Ayah atau ibu remaja sudah mulai melakukan perubahan-perubahan kecil namun belum benar-benar meninggalkan niat untuk menikahkan anak secara dini, meskipun pada tahapan ini ayah atau ibu remaja sudah berniat untuk menunda menikahkan anak secara dini dan biasanya pada tahap ini sudah siap untuk mulai mengubah niat mereka dalam waktu 1 bulan atau 30 hari ke depan.

4) Action niat menikahkan anak secara dini

Action niat menikahkan anak secara dini merupakan suatu tahap ketika ayah atau ibu remaja berpikir untuk tidak menikahkan anak dalam 30 hari. Ayah atau ibu remaja sudah benar-benar melakukan perubahan niat menikahkan anak secara dini. Niat lama sudah mulai ditinggalkan dan menggantinya dengan niat yang baru dan biasanya telah mengubah niat selama enam bulan terakhir.

5) Maintenance niat menikahkan anak secara dini commit to user

(7)

Maintenance niat menikahkan anak secara dini adalah tahap ketika ayah atau ibu remaja tidak akan menikahkan anak lebih dari 6 bulan. Ayah atau ibu remaja sudah meninggalkan niat lama dalam beberapa waktu dan menjadikan niat yang baru sebagai sebuah kebiasaan. Keadaan ini ditandai dengan niat yang baru sudah dilakukan dalam waktu yang relatif lama dan diukur dengan mengubah niat mereka lebih dari enam bulan yang lalu.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengubah niat menikahkan anak secara dini, maka ayah atau ibu remaja harus melalui tahapan yang dimulai dari tahap precontemplation yang merupakan tahap ketika ayah atau ibu remaja tetap ingin menikahkan anak secara dini karena kurangnya informasi tentang dampak pernikahan dini, tahap countemplation yaitu tahap ketika mulai mempertimbangkan dampak pernikahan dini, tahap preparation yaitu ketika telah mulai meninggalkan niat lama dengan perubahan kecil, tahap action yaitu ketika benar-benar meninggalkan niat lama, dan tahap maintenance yaitu ketika ayah atau ibu remaja telah menjadikan niat baru sebagai kebiasaan dan akan diterapkan dalam waktu lebih dari enam bulan.

Penelitian saat ini hanya sampai pada tahap maintenance dan tidak mengikutsertakan tahapan relaps. Keputusan ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Bombrowski, Snelling and Kalicki (2014), yang menginformasikan bahwa seseorang yang telah berada dalam tahapan maintenance, maka dia telah menjadikan niat baru tersebut sebagai suatu hal yang melekat pada dirinya, menjadi kebiasaan dan akan tetap dipertahankan serta dicegah untuk kembali kepada niat awal dengan kata lain niat yang telah melekat tersebut menjadi permanen (Bombrowski, Snelling and Kalicki (2014).

Peran dari TTM dalam penelitian ini adalah sebagai faktor tambahan yang menjelaskan proses terjadinya perubahan niat, sehingga dalam kerangka teori nanti akan bersama-sama dengan tiga faktor determinat niat dari TPB, yakni attitude toward behavior, subjective norms, dan perceived control dalam menjelaskan niat untuk melakukan suatu tindakan.

Secara umum, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi niat orang tua untuk menikahkan anak secara dini yaitu meliputi faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal dan faktor eksternal tersebut telah terlebih dahulu ditemukan oleh commit to user

(8)

peneliti-peneliti sebelumnya. Menurut hasil penelitian dari Bezie and Addisu (2019), Montazeri, Gharacheh, Mohammadi, Ran and Ardabili (2016), Alem et al (2020), Lowe, Joof and Rojas (2020), Tessema (2020), Hakim (2019), Khakim dan Thobroni (2019), Rofika dan Hariastuti (2020), Samsi (2020), Hanifa, Dhamayanti, Akbar, Rusmil dan Sunjaya (2020), Nurwia, Muharam dan Rudin (2020), Febriawati, Wati dan Arlina (2020), Febriawati, Wati dan Arlina (2020, Prihartini dan Rosidah (2020), dan Kurniawati dan Sari (2020) menginformasikan bahwa faktor eksternal penyebab pernikahan dini karena faktor sosiodemografi orang tua. Selain faktor eksternal, terdapat faktor internal penyebab terjadinya pernikahan dini. Hasil penelitian dari Lowe, Joof and Rojas (2020), dan Tessema (2020), menginformasikan bahwa terjadinya pernikahan dini karena faktor internal yaitu keinginan yang berasal dari anak itu sendiri.

Selain adanya faktor penyebab pernikahan dini secara umum yang terdiri dari faktor eksternal dan internal, terdapat faktor determinan yang mempengaruhi niat sesuai dengan Theory Planned Behavior (TPB) (Azjen, 1991) yaitu sebagai berikut.

a. Sikap

Menurut Notoadmodjo (2003), yang dimaksud dengan sikap merupakan reaksi seseorang kepada objek tertentu. Menurut Eagle dan Chaiken (1993), sikap merupakan ekspresi terhadap suatu objek yang ditunjukkan melalui kognitif, afektif (emosi) serta konasi.

b. Keyakinan

Menurut Bandura (1986), keyakinan merupakan kemampuan individu berperilaku tertentu. Menurut Smett (1994), keyakinan merupakan perasaan individu tentang kemampuannya untuk membentuk perilaku tertentu yang sesuai dengan keadaan yang tidak bisa diramalkan sehingga menimbulkan stress.

c. Kontrol perilaku

Menurut (Wikamorys & Rochmach, 2017), kontrol perilaku adalah keyakinan bahwa suatu individu dapat melakukan tindakan yang didukung sumber daya internal mapun eksternal.

commit to user

(9)

Uraian tersebut memberi kesimpulan bahwa terjadinya niat dipengaruhi oleh faktor determinan yaitu adanya sikap, keyakinan, dan kontrol perilaku dari individu itu sendiri.

Sesuai dengan faktor determinan yang mempengaruhi niat, menurut Azjen (1991), maka di bawah ini akan diuraikan faktor determinan penyebab orang tua menikahkan anak secara dini.

a. Sikap terhadap niat menikahkan anak secara dini

Sikap terhadap niat menikahkan anak secara dini yaitu tanggapan dari ayah atau ibu remaja untuk mendukung atau menolak pernikahan dini. Komponen sikap meliputi kognitif yakni pengetahuan tentang pernikahan dini, dampak, dan penyebab dari pernikahan dini. Komponen kedua yaitu afektif, menyangkut menyukai atau tidak menyukai dengan kenyataan tentang pernikahan dini.

Komponen ketiga yaitu konasi yang merupakan arah perilaku yang menunjukkan kecenderungan mendukung pernikahan dini, menganggap bahwa menikah secara dini merupakan hal yang biasa. Menikah secara dini tidak akan menimbulkan masalah untuk masyarakat pesisir pantai Kabupaten Probolinggo baik untuk pelaku pernikahan dini maupun keluarga pelaku. Hal ini dibuktikan dengan mayoritas keluarga ayah atau ibu remaja juga melakukan pernikahan dini, akan tetapi kehidupan tetap harmonis (Sary, 2019).

b. Norma subjektif terhadap niat menikahkan anak secara dini

Aspek dari norma subjektif yang pertama adalah persepsi ayah atau ibu remaja dalam menilai pernikahan dini. Norma subjektif memiliki tingkat kesulitan yang akan dialami oleh orang tua remaja terhadap keyakinan bahwa menikah dini merupakan warisan dari nenek moyang atau leluhur yang harus dilestarikan.

Anggapan lain dari masyarakat yaitu dengan menikah dini maka akan membantu perekonomian keluarga dengan harapan bahwa calon mempelai pria akan memberikan mahar yang tinggi kepada keluarga wanita. Aspek kedua adalah kekuatan yang membuat ayah atau ibu remaja yakin untuk mampu menghadapi gunjingan dari masyarakat jika anak perempuan tidak menikah sampai berumur 16 tahun dan disebut sebagai perawan tua (Sary, 2019).

c. Kontrol perilaku terhadap niat menikahkan anak secara dini commit to user

(10)

Kontrol perilaku terhadap niat menikahkan anak secara dini yaitu kemampuan ayah atau ibu remaja untuk mengendalikan dorongan dari dalam diri sendiri atau dari luar agar dapat menghasilkan sesuatu yang diinginkan dari pernikahan dini dan menghindari akibat yang tidak diinginkan dari pernikahan dini. Kontrol perilaku terhadap niat menikahkan anak secara dini terdiri dari aspek membuka diri, yaitu kemampuan ayah atau ibu remaja untuk dapat menerima informasi atau masukan tentang mencegah pernikahan dini. Aspek kedua adalah keputusan, yaitu pilihan ayah atau ibu remaja untuk menikahkan anak secara dini.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa faktor determinan yang mempengaruhi niat ayah atau ibu remaja menikahkan anak secara dini pada masyarakat pesisir antara lain sikap ayah atau ibu remaja terhadap niat menikahkan anak secara dini yaitu menganggap menikah dini adalah hal biasa, keyakinan ayah atau ibu remaja terhadap niat menikahkan anak secara dini yaitu menganggap bahwa menikah dini adalah salah satu cara melestarikan warisan nenek moyang, dan kontrol perilaku terhadap niat menikahkan anak secara dini yaitu yakin jika anak perempuan yang terlambat menikah disebut sebagai perawan tua.

Faktor-faktor yang mempengaruhi niat orang tua menikahkan anak secara dini tersebut dapat diperkecil atau dikurangi dengan keberadaan kader kesehatan yang berada di tengah-tengah masyarakat. Peran kader kesehatan dalam faktor sosiodemografi ayah atau ibu remaja yaitu memberikan informasi tentang dampak pernikahan dini. Kader kesehatan yang akan berhasil berperan adalah kader kesehatan yang kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan yang baik tentang Undang-Undang perkawinan dan ruang lingkup pernikahan dini, serta memiliki ketrampilan komunikasi yang baik untuk menyampaikan pendidikan kesehatan.

B. Model Pencegahan Pernikahan Dini dengan Modul Cegah Pernikahan Remaja (CENIKMA) Melalui Kader Kesehatan

1. Pengertian Model Pencegahan Pernikahan Dini Anak Melalui Modul CENIKMA

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), model pencegahan adalah proses atau cara menahan agar tidak terjadi. Pencegahan identik dengan perilaku. commit to user

(11)

Menurut Notoadmodjo (2003), model pencegahan merupakan suatu respon terhadap stimulus berkaitan sistem pelayanan kesehatan. Batasan tersebut mempunyai dua unsur yaitu respon dan stimulus atau rangsangan.

Menurut Leavel dan Clark (2006) yang disebut model pencegahan merupakan segala kegiatan langsung maupun tidak langsung mencegah masalah kesehatan.

Model pencegahan berhubungan dengan masalah kesehatan yang merupakan perilaku menghindar (Notoatmodjo, 2007). Model pencegahan pernikahan dini anak melalui Modul CENIKMA adalah cara menahan agar tidak terjadi pernikahan secara dini pada anak dengan menggunakan Modul CENIKMA.

Menurut Leavel dan Clark terdapat lima (5) jenis model pencegahan meliputi:

(1) health promotion pelayanan kesehatan kepada masyarakat, (2) specific protection pencegahan terhadap penyakit, (3) early diagnosis and promotion yang pencarian kasus secara dini, (4) dissability limitation perbaikan fasilitas kesehatan, (5) rehabilitation pengembangan lembaga masyarakat yang mengikutsertakan masyarakat melalui penyuluhan, pelatihan serta konseling.

Penelitian ini merujuk pada model pencegahan rehabilitation yaitu memberikan kesadaran kepada masyarakat melalui pelatihan dengan materi yang ada pada Modul CENIKMA. Sasaran dari model pencegahan ini adalah ayah atau ibu remaja di daerah pesisir pantai.

2. Perkembangan Model-Model Pencegahan Pernikahan Dini Anak

Usaha-usaha untuk mencegah pernikahan dini telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, baik di negara lain maupun di Indonesia.

a) Support the Empowerment of Girls “RISE” (Zulu et al, 2018). Model ini dikembangkan di Zambia dalam bentuk layanan pendidikan kesehatan bersifat ramah kepada remaja. Kelebihan dari intervensi ini adalah melibatkan orang tua, sekolah, dan masyarakat dengan materi kesehatan reproduksi, resiko penularan HIV/AIDS, meningkatkan penggunaan kondom, relawan pekerja kesehatan masyarakat. Keterbatasan dari intervensi ini adalah tidak tersedia panduan sehingga responden hanya menerima materi yang dipersentasikan dan diberikan selebaran.

commit to user

(12)

b) SAMATA (Beatie et al, 2015). Model ini dikembangkan di India dalam bentuk pendidikan kesehatan. Kelebihan dari intervensi ini adalah melibatkan remaja perempuan dan keluarganya, remaja laki-laki, masyarakat desa, guru sekolah menengah, dan komite sekolah, pemerintah desa setempat dengan materi menurunkan angka pernikahan dini, menurunkan resiko penularan HIV/AIDS dan infeksi menular seksual. Keterbatasan dari intervensi ini adalah hanya dilakukan satu hari sehingga responden mudah lupa karena informasi yang diberikan tidak diulang-ulang.

c) Women Empowerment (Luseno et al, 2017). Model ini dikembangkan di Zimbabwe dalam bentuk intervensi untuk mengurangi angka pernikahan dini dan putus sekolah dengan materi resiko terpapar HIV AIDS, kesehatan reproduksi dan kontrasepsi. Keterbatasan dari intervensi ini hanya melibatkan remaja perempuan yatim atau piatu.

d) Model Rencana Kebijakan dan Rencana Aksi Berbasis Integrated Policy And Action (Hanafi and Arikah, 2014). Model ini dikembangkan di Indonesia dalam bentuk intervensi pencegahan perkawinan anak di bawah umur.

Kelebihan dari intervensi ini pemerintah dapat melakukan reformasi undang- undang perkawinan, antara lain dengan menghapus institusi dispensasi nikah, rekonsepsi perwalian untuk menghindari kawin paksa (ijbar), serta menetapkan usia menikah minimal bagi anak laki-laki dan perempuan (secara sama dan lebih tinggi dari sebelumnya), yakni 18 tahun. Keterbatasan dari intervensi ini adalah dianggap tidak humanis.

e) Buku Panduan “Klinik Dana” (Noor dkk, 2018). Model ini dikembangkan di Indonesia sebagai upaya pencegahan pernikahan dini. Kelebihan dari intervensi ini dipergunakan untuk masyarakat luas. Keterbatasan dari intervensi ini adalah tidak ada petunjuk teknis dari buku panduan ini sehingga pembaca dimungkinkan akan mengartikan secara bias materi yang ada di dalamnya.

f) Pencegahan pernikahan dini pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Gondomanan Yogyakarta Tahun 2014-2015 (Rahmawati and Aina, 2019).

Model ini dikembangkan di Indonesia dalam bentuk penyuluhan. Kelebihan dari intervensi ini adalah mampu mengurangi jumlah pernikahan dini. commit to user

(13)

Keterbatasan dari intervensi ini adalah tingkat kesadaran rendah, keterbatasan dana operasional, partisipasi peserta dalam kegiatan minim, dan kurangnya petugas penyuluh.

g) Instrumen hukum di Kec. Blangkejeren Kab.Gayo Lues (Nurlina, 2018).

Model ini dikembangkan di Indonesia dalam bentuk intervensi pelaksanaan instrumen hukum. Kelebihan dari intervensi mampu mengurangi angka penikahan dini di KUA. Keterbatasan dari intervensi ini adalah masyarakat tetap melakukan pernikahan secara siri sehingga angkanya tidak tercatat di KUA setempat.

h) Modul pendidikan penyadaran hukum (Hanafi, 2015). Model ini dikembangkan di Indonesia dalam bentuk pengendalian perkawinan dini melalui pengembangan modul. Kelebihan dari intervensi ini terdapat materi tentang hukum tentang perkawinan. Keterbatasan dari intervensi ini adalah masyarakat tetap melakukan tradisi menikahkan anak secara dini meskipun membaca modul ini.

Berbagai intervensi dari dalam dan luar negeri tersebut mempunyai keterbatasan karena materi yang disampaikan pada pendidikan kesehatan merupakan pencegahan pernikahan dini dengan mempergunakan kondom sehingga kurang sesuai dengan remaja yang ada di Indonesia. Intervensi yang telah dilakukan di Indonesia telah melibatkan orang tua remaja, akan tetapi belum melibatkan orang yang dipercaya oleh orang tua remaja untuk menyampaikan materi atau informasi tentang pencegahan pernikahan dini seperti kader kesehatan yang selama ini perannya sudah tidak diragukan lagi di tengah masyarakat pesisir.

Keterbatasan tersebut menjadikan kemungkinan program dari intervensi yang telah ada tidak berlanjut hingga penelitian selesai. Alasan tersebut menjadikan peneliti perlu untuk mengembangan Modul CENIKMA yang materinya disesuaikan dengan analisis kebutuhan ayah atau ibu remaja, kemuadian akan disampaikan oleh kader kesehatan yang dipercaya masyarakat kepada ayah atau ibu remaja. Pemilihan sasaran ayah atau ibu remaja karena ayah atau ibu remaja merupakan pengambil keputusan utama menikahkan anak gadis.

commit to user

(14)

3. Aspek-Aspek atau Komponen dalam Penyusunan Modul CENIKMA Aspek-aspek secara teori menjadi acuan bagi pengembangan modul yaitu sebagai berikut.

a. Sasaran. Sasaran dari pengembangan Modul CENIKMA ini adalah kader kesehatan dan ayah atau ibu remaja.

b. Materi. Materi di dalam Modul CENIKMA yaitu:

1) tumbuh kembang remaja, 2) gizi remaja,

3) kesehatan reproduksi remaja, 4) pernikahan dan pernikahan dini, 5) dampak pernikahan dini remaja.

Pernikahan dini pada gadis remaja menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang dan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar seperti perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial (Presiden RI, 2019). Pentingnya pencegahan pernikahan dini remaja karena berdampak negatif baik dari segi edukasi, fisik dan kesehatan, ekonomi, sosial, dan psikologis dari remaja akibat pernikahan dini.

a. Dampak terhadap Pendidikan

Pernikahan dini berhubungan dengan tingkat pendidikan rendah karena dengan pernikahan dini maka gadis remaja cenderung tidak melanjutkan pendidikannya (Blum et al., 2019). Menurut penelitian Rosyidah (2019), pernikahan dini menyebabkan peningkatan buta huruf sehingga menghambat kesejahteraan masyarakat jangka pendek maupun panjang.

b. Dampak Fisik dan Kesehatan

Dampak untuk kesehatan dari pernikahan dini antara lain komplikasi selama kehamilan dan persalinan, hipertensi selama kehamilan, anemia, diabetes selama kehamilan, berat badan lahir rendah, dan kematian pada bayi yang dilahirkan (Sychareun et al., 2018). Selain itu, dampak lain untuk kesehatan adalah terjadinya penularan penyakit menular seksual dan kanker servik (Kohno et al., 2020).

commit to user

(15)

c. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) secara Fisik

Menurut penelitian Rosyidah (2019), KDRT fisik terhadap perempuan adalah mengalami sakit fisik akibat dari perlakuan suami terhadap istri yang dapat berupa memar karena pukulan di seluruh bagian tubuh istri. Kesimpulan dari pernyataan tersebut adalah kekerasan fisik dalam rumah tangga dapat berupa pemukulan kepada pasangan yang mengakibatkan kondisi tubuhnya lemah dan tidak berdaya.

d. Dampak Ekonomi

Menurut penelitian Fatmariza (2019), remaja yang memilih untuk menikah di usia dini sebagian besar berasal dari latar belakang status ekonomi rendah. Status ekonomi yang rendah akan menimbulkan masalah ekonomi dalam keluarga yang baru saja terbentuk karena pernikahan dini. Remaja dengan bekal pendidikan rendah tidak dapat mendapatkan pekerjaan yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka dan pasangan sehari-hari. Biaya hidup sebelum dan setelah menikah sangat jauh berbeda. Ketidaksiapan dan ketidakmampuan ekonomi pada pasangan muda mendorong remaja untuk berkeinginan bekerja di luar negeri yang justru akan menimbulkan masalah baru seperti perselingkuhan untuk pihak yang ditinggal bahkan terjadi perceraian.

e. Dampak terhadap Laju Pertumbuhan Penduduk

Menurut Badan Kependudukan dan Keluraga Berencana Nasional Pusat (2017), pernikahan dini yang tidak terkendali berpotensi memicu tingginya kelahiran dan laju pertumbuhan penduduk.

f. Dampak Sosial

Lingkungan sosial merupakan salah satu cara masyarakat melakukan perubahan. Lingkungan sosial berkaitan dengan hubungan bermasyarakat.

Lingkungan sosial yang baik akan membawa perubahan prilaku yang baik pula, tetapi jika lingkungan sosial yang tidak baik akan memberi kehancuran. Menurut peneltian Djamilah (2014), remaja yang melakukan pernikahan dini tidak mampu menjalin hubungan yang baik dengan lingkungan sosialnya. Pernikahan karena hamil di luar nikah menyebabkan remaja kurang diterima oleh keluarga sendiri maupun lingkungan sosialnya. Remaja yang melakukan pernikahan dini sering dikucilkan dan menjadi pembicaraan warga sehingga membuat remaja yang menikah karena hamil di luar nikah merasa tidak percaya diri untuk berhubungan commit to user

(16)

dengan masyarakat, sehingga mereka sering menutup diri karena takut jika ditanya perihal pernikahannya.

g. Dampak terhadap Pola Asuh Anak

Menurut penelitian Cahyono (2018), keberhasilan dalam mendidik atau mengasuh anak merupakan harapan dari setiap pasangan suami istri yang melangsungkan pernikahan. Kehadiran anak sangat dinanti oleh pasangan suami istri bahkan menjadi salah satu sumber kebahagiaan dalam rumah tangga. Namun seiring dengan perkembangan zaman, tidak semua pasangan suami istri mampu menciptakan keharmonisan keluarga dan mampu mendidik anaknya dengan baik.

Salah satu penyebabnya adalah kurang siapnya pasangan suami istri dalam menghadapi bahtera rumah tangga. Hal itu dipengaruhi oleh usia pasangan yang masih terlalu muda saat menikah. Ketidakstabilan emosi serta kurangnya pengetahuan pasangan yang menikah muda terkait pola pengasuhan anak, menyebabkan umumnya mendidik dan merawat anak-anak dengan pola asuh yang tidak baik seperti sering menelantarkan, memarahi, membentak, bahkan memperlakukan secara kasar seperti mencubit bahkan memukul anaknya ketika berperilaku yang tidak disukai atau sebaliknya justru terlalu memanjakan anaknya. Kesimpulan dari pernyataan tersebut adalah remaja yang melakukan pernikahan dini dan mempunyai anak tidak memiliki pengetahuan yang baik dalam mengasuh anak hasil dari pernikahan.

h. Dampak Psikologis

1) Ketidakmampuan Penyesuaian Diri dalam Perkawinan

Penelitian Nasution (2019) menjelaskan bahwa dalam kehidupan perkawinan, perubahan-perubahan dalam diri pasangan suami istri membutuhkan penyesuaian.

Konflik dan pertengkaran yang terjadi pada pasangan suami istri banyak bersumber dari adanya perbedaan-perbedaan dan perubahan-perubahan yang terjadi pada pasangan suami istri. Penyesuaian diri dalam pernikahan meliputi empat hal, yaitu penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan keluarga pasangan. Periode awal perkawinan merupakan masa penyesuaian diri dan krisis muncul saat pertama kali memasuki jenjang pernikahan.

commit to user

(17)

2) Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) secara Psikologis

Hal yang ditimbulkan oleh perkawinan usia dini adalah kekerasan psikologis dalam rumah tangga (KDRT) akibat dari kematangan diri seorang remaja yang belum tercapai sehingga mendorong terjadinya perselisihan antara pasangan suami istri. Dampak psikologis penganiayaan bagi perempuan lebih parah dibanding dampak fisik. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan.

Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan (Wulandari and Astutik, 2019).

3) Neoritis Depresi atau Depresi Berat

Neoritis depresi terjadi pada pasangan suami istri yang berusia remaja dengan kepribadian berbeda. Pribadi introvert (tertutup) akan membuat remaja menarik diri dari pergaulan. Remaja tersebut akan menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi schizophrenia, sedangkan depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, remaja terdorong melakukan hal negatif untuk melampiaskan amarahnya (Wulandari and Astutik, 2019).

4) Keharmonisan Keluarga

Keputusan yang diambil oleh ayah atau ibu remaja untuk segera menikahkan anak gadis, menyebabkan terjadinya ketidakharmonisan dalam keluarga anak gadisnya kelak (Kohno et al., 2020). Ketidakharmonisan keluarga disebabkan karena remaja yang menjadi pasangan suami istri sering mengabaikan prinsip tolong menolong yang merupakan kewajiban bersama antara suami istri secara timbal balik sehingga banyak menuntut suami istri agar memenuhi keinginannya masing-masing untuk memuaskan diri sendiri. Jarang terpikirkan oleh pasangan remaja untuk berusaha membahagiakan pasangan (Kunratih, 2019).

5) Perselingkuhan

Kecenderungan remaja awal masih menginginkan hal yang baru dan masih ingin coba-coba. Kondisi masih labilnya pikiran dan keinginan menjadi pemicu terjadinya perselingkuhan di kalangan pasangan muda. Kejadian seperti ini memang tidak bisa serta merta menjadi kesalahan sang anak, ayah atau ibu remaja juga mempunyai andil yang cukup besar sehingga terjadi hal tersebut. Sinergitas visi dan misi hidup berkeluarga sangat diperlukan maka dalam kasus perjodohan commit to user

(18)

anak kandung ayah atau ibu tidak memperhatikannya sehingga hasilnya perselingkuhan yang terjadi karena sebuah pelampiasan hati (Kunratih, 2019).

6) Perceraian

Gadis remaja yang menikah dini rentan terhadap kekerasan oleh pasangan.

Perceraian terjadi akibat gadis remaja sudah tidak sanggup untuk hidup dengan pasangan. Setelah bercerai, tidak sedikit yang memutuskan untuk menikah lagi, bahkan menjadi istri kedua dari pria yang sudah beristri karena faktor ekonomi dan mendambakan untuk memperoleh kehidupan yang layak setelah bercerai dari suami sebelumnya (Sychareun et al., 2018).

c. Prosedur

Prosedur dalam pengembangan Modul CENIKMA (Borg and Gahl,1983) antara lain:

1) analisis potensi dan masalah

2) pengumpulan informasi dan studi pustaka 3) desain produk

4) validasi desain 5) perbaikan desain 6) uji coba produk 7) revisi produk 8) uji coba pemakaian 9) revisi produk 10) produk massal

4. Peran Kader Kesehatan dalam Mencegah Pernikahan Dini

a. Pengertian Kader Kesehatan dan Syarat Menjadi Kader Kesehatan yang Kompeten

Menurut Kemenkes RI (2011), yang dimaksud dengan kader kesehatan secara umum adalah anggota masyarakat yang bersedia, mampu dan memiliki waktu untuk membantu kelancaran pelayanan kesehatan. Menurut Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2011), syarat menjadi kader kesehatan secara umum antara lain dapat membaca dan menulis, berjiwa sosial, mau bekerja secara sukarelawan, mengetahui adat istiadat serta commit to user

(19)

kebiasaan masyarakat, mempunyai waktu yang cukup, bertempat tinggal di desa setempat, berpenampilan ramah dan simpatik, mengikuti pelatihan sebelum menjadi kader kesehatan. Kader kesehatan yang ada di Indonesia dibagi menjadi kader kesehatan ibu dan balita, kader kesehatan lanjut usia, dan kader kesehatan remaja yang mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda.

Selain persyaratan menjadi kesehatan secara umum, seorang kader kesehatan baik kader kesehatan ibu dan balita, kader kesehatan lansia, maupun kader kesehatan remaja, juga harus kompeten dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya. Menurut Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (2003), seorang kader kesehatan harus memiliki kompetensi yang berupa pengetahuan dan keterampilan komunikasi dengan kriteria baik dalam menjalankan tugasnya.

Penelitian Sary (2015) juga menginformasikan bahwa seseorang dapat menjadi kader kesehatan kompeten apabila memenuhi syarat menjadi kader kesehatan yaitu kompeten yang meliputi mempunyai pengetahuan dan keterampilan komunikasi yang baik pula. Hal ini selaras dengan ketentuan BKKBN (2010) tentang kader kesehatan kompeten yaitu kader kesehatan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan komunikasi baik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013), kompeten merupakan keterampilan untuk mengkomunikasikan hal-hal yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya serta memiliki pengetahuan yang memadai dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya tersebut.

Berikut adalah uraian tentang kompetensi yang berupa pengetahuan dan keterampilan komunikasi kader kesehatan.

Uraian tersebut menyatakan bahwa kader kasehatan merupakan anggota masyarakat yang mampu membantu kelancaran pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Selain terdapat syarat secara umum yang harus dipenuhi, seorang kader kesehatan juga harus kompeten di bidangnya yaitu memiliki pengetahuan dan keterampilan komunikasi baik.

b. Macam-Macam Kader di Bidang Kesehatan

Terdapat beberapa macam kader di bidang kesehatan di Indonesia yaitu kader kesehatan balita, kader kesehatan lanjut usia, dan kader kesehatan remaja. Semua kader tersebut memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda. Salah satu tugas commit to user

(20)

dan tanggung jawab kader kesehatan remaja adalah mendukung perilaku sehat remaja, termasuk perilaku seksual remaja baik sebelum pernikahan maupun pencegahan pernikahan dini. Kader kesehatan remaja dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya harus memiliki kompetensi yang terdiri dari pengetahuan tentang pernikahan dini dan memiliki keterampilan komunikasi. Berikut ini akan diuraikan aspek pengetahuan kader kesehatan remaja tentang pernikahan dini.

Tabel 2. Aspek pengetahuan kader kesehatan tentang pernikahan dini yang akan diukur adalah sebagai berikut:

Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan

Remaja dan tumbuh kembangnya a. Pengertian remaja

b. Perubahan pada masa remaja

c. Perilaku berisiko yang dapat dilakukan remaja

Kebutuhan gizi remaja a. Zat gizi yang diperlukan remaja b. Akibat kekurangan zat gizi pada

remaja

Kesehatan reproduksi remaja a. Pengertian kesehatan reproduksi b. Hak-hak kesehatan reproduksi c. Masalah reproduksi pada remaja Pernikahan dan pernikahan dini a. Syarat menikah menurut UU No.1

Tahun 2019

b. Penyebab terjadinya pernikahan dini Dampak pernikahan dini a. Dampak pada pendidikan

b. Dampak pada kesehatan c. Dampak pada ekonomi

d. Dampak pada laju pertumbuhan penduduk

e. Dampak pada kelangsungan rumah tangga

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pengetahuan kader kesehatan tentang pernikahan dini adalah segala sesuatu yang diketahui kader kesehatan tentang definisi remaja dan tumbuh kembangnya, kebutuhan gizi remaja, kesehatan reproduksi remaja, pernikahan, dan pernikahan dini, serta dampak dari pernikahan dini.

commit to user

(21)

Selain pengetahuan kader kesehatan tentang pernikahan dini, penelitian ini juga akan mengukur keterampilan komunikasi kader kesehatan dengan aspek yang akan dinilai sebagai berikut.

Tabel 3. Aspek keterampilan komunikasi kader kesehatan yang diukur adalah sebagai berikut.

Tahapan Indikator Perilaku

Prapelatihan a. Mempersiapkan peserta

b. Persamaan persepsi Kegiatan Inti Pelatihan a. Penguasaan materi

b. Menghubungkan dengan pengetahuan lain yang relevan Pendekatan atau strategi Pelatihan a. Penyampaian materi secara runtut

b. Penguasaan tempat pelatihan c. Menciptakan kebiasaan baru

Pemanfaatan Media Pembelajaran a. Penggunaan power point, LCD, laptop, papan tulis, spidol

b. Memberikan pesan menarik

c. Melibatkan peserta dalam penggunaan media

Memicu Keterlibatan Peserta a. Menumbuhkan partisipasi aktif peserta

b. Terbuka terhadap respon peserta Penggunaan Bahasa a. Menggunakan bahasa lisan dengan

jelas, baik, dan benar

Penutup a. Melaksanakan refleksi dan membuat

kesimpulan

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat disimpulkan yang dimaksud dengan keterampilan komunikasi kader kesehatan adalah kemampuan kader kesehatan untuk melakukan persiapan prapelatihan, melakukan kegiatan inti pelatihan, melakukan pendekatan atau strategi pelatihan, memanfaatkan media pembelajaran, memicu keterlibatan peserta pelatihan, menggunakan bahasa yang dimengerti peserta pelatihan dan menutup pelatihan.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka yang dimaksud dengan kader kesehatan remaja yang kompeten adalah kader kesehatan remaja yang memiliki pengetahuan tentang pernikahan dini meliputi remaja dan tumbuh kembangnya, kebutuhan gizi remaja, kesehatan reproduksi remaja, pernikahan, dan pernikahan commit to user

(22)

dini, serta dampak dari pernikahan dini tersebut. Selain memiliki pengetahuan tentang pernikahan dini, kader kesehatan yang kompeten juga harus memiliki keterampilan komunikasi yang baik meliputi kemampuan untuk mengadakan pelatihan yang meliputi kemampuan untuk mempersiapkan keperluan sebelum pelatihan, melaksanakan kegiatan utama pelatihan dengan baik, mempunyai cara untuk melakukan pendekatan dengan peserta pelatihan agar mereka aktif dalam pelatihan, mampu mempergunakan media pendukung kegiatan pelatihan yang terdiri dari LCD, laptop, power point dan alat pendukung lainnya sehingga menghasilkan pesan yang menarik, mampu menerjemahkan bahasa lokal ke dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar atau sebaliknya sehingga pesan isi pelatihan tersampaikan kepada peserta secara maksimal dan mampu menyimpulkan isi materi yang telah disampaikan di dalam pelatihan.

c. Peran Kader Kesehatan dalam Mencegah Pernikahan Dini Remaja Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (2011), kader kesehatan memiliki peran penting dalam progam pencegahan pernikahan dini. Peran tersebut yaitu sebagai berikut.

1) Melakukan kegiatan kesehatan setiap bulan

2) Menggerakkan masyarakat sehingga bersedia menghadiri dan ikut serta kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan langsung ke tengah masyarakat melalui tokoh masyarakat, pemuka agama, dan tokoh adat

3) Membantu petugas kesehatan dalam pendataan, penyuluhan dan berbagai usaha kesehatan masyarakat lainnya berupa informasi, edukasi, motivasi kesehatan.

Seorang kader kesehatan yang mampu berperan dalam mencegah pernikahan remaja harus mampu mengadakan kegiatan setiap bulan dengan menjalin kerja sama dengan tokoh masyarakat serta membantu petugas kesehatan dalam keberlangsungan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

d. Aspek-Aspek Pengembangan Alat Ukur Pengetahuan dan Keterampilan Komunikasi Kader Kesehatan

Uraian tentang aspek-aspek pengembangan alat ukur pengetahuan dan keterampilan komunikasi akan dijelaskan pada uraian berikut.

1) Pengetahuan commit to user

(23)

Menurut Notoadmodjo (2004), yang dimaksud dengan pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Domain kognitif pengetahuan terdiri dari enam tingkatan, yaitu sebagai berikut.

a) Tahu (know), yaitu mengingat materi yang pernah didapatkan.

b) Memahami (comprehension), yaitu mampu menjelaskan dengan benar objek yang diketahui.

c) Aplikasi (application), yaitu mampu menerapkan materi yang didapat pada kondisi nyata.

d) Analisis (analysis), yaitu mampu menjabarkan materi ke dalam objek lain yang masih ada hubungannya dengan materi tersebut.

e) Sintesis (synthesis), yaitu mampu menghubungkan ke dalam satu bentuk keseluruhan.

f) Evaluasi (evaluation), yaitu mampu menilai suatu materi atau objek.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah hasil tahu seseorang terhadap suatu objek yang mempunyai domain tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.

2) Keterampilan komunikasi

Menurut Cangara (1998), yang dimaksud dengan keterampilan komunikasi adalah kemampuan menyampaikan pesan pada khalayak umum. Menurut Nevizond Chatab (2007), keterampilan komunikasi merupakan kemampuan mengadakan hubungan lewat saluran komunikasi atau media, sehingga informasi tersebut dapat dipahami oleh orang lain dengan baik. Keterampilan komunikasi bukan merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir dan tidak muncul secara tiba-tiba, akan tetapi keterampilan yang perlu untuk dipelajari dan dilatih (Supratiknya, 2003). Keterampilan komunikasi ada tiga macam, yaitu sebagai berikut.

a) Keterampilan komunikasi lisan, yaitu kemampuan seseorang dalam berkomunikasi melalui berbicara dan memotivasi orang lain untuk memberikan umpan balik (feedback) secara langsung (Djoko Purwanto, 2006).

commit to user

(24)

b) Keterampilan komunikasi tulisan, yaitu kemampuan seseorang membuat pesan tertulis dalam berbagai bentuk (Djoko Purwanto, 2006).

c) Keterampilan komunikasi visual, yaitu kemampuan seseorang dalam mengomunikasikan informasi dengan pembaca melalui berbagai kekuatan visual, seperti tipografi, ilustrasi, warna, garis, dan lain sebagainya dengan bantuan teknologi (Supriyono, 2010).

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan keterampilan komunikasi adalah kemampuan mengadakan hubungan lewat saluran komunikasi manusia atau media, sehingga informasinya dapat dipahami dengan baik. Macam dari keterampilan komunikasi adalah keterampilan komunikasi lisan, tulisan dan visual.

Sesuai dengan penjelasan tentang kompetensi yang terdiri dari pengetahuan dan keterampilan komunikasi, maka akan dijabarkan tentang kompetensi kader kesehatan yang meliputi pengetahuan dan keterampilan komunikasi kader kesehatan sebagai berikut.

a. Pengetahuan kader kesehatan mengenai pernikahan dini

Pengetahuan kader kesehatan mengenai pernikahan dini adalah hasil tahu kader kesehatan tentang pernikahan dini yang diterima, melalui indra mata dengan melihat dan telinga dengan mendengarkan, meliputi definisi remaja dan tumbuh kembangnya, kebutuhan gizi remaja, kesehatan reproduksi remaja, pernikahan, dan pernikahan dini, serta dampak dari pernikahan dini. Domain kognitif pengetahuan kader kesehatan tentang pernikahan dini yang akan diukur pada penelitian ini hanya sampai pada tingkat tahu (know), yaitu mengingat materi tentang pernikahan dini yang pernah didapatkan.

b. Keterampilan komunikasi kader kesehatan mengenai pernikahan dini

Keterampilan komunikasi kader kesehatan untuk pernikahan dini adalah kemampuan kader kesehatan dalam mengadakan hubungan lewat saluran komunikasi manusia atau media, sehingga informasinya dapat dipahami dengan baik. Keterampilan komunikasi yang akan diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

commit to user

(25)

1) Keterampilan komunikasi lisan kader kesehatan, yaitu kemampuan kader kesehatan menyampaikan pesan kesehatan dan memotivasi ayah atau ibu remaja memberikan umpan balik (feedback) diberikan secara langsung.

2) Keterampilan komunikasi tulisan kader kesehatan, yaitu kemampuan kader kesehatan dalam membuat pesan tertulis yang dapat dimengerti ayah atau ibu remaja.

3) Keterampilan komunikasi visual kader kesehatan, yaitu kemampuan kader kesehatan dalam memberikan informasi kepada peserta pelatihan dengan berbagai kekuatan visual, ilustrasi, warna dengan bantuan teknologi.

C. Proses Pengembangan Modul CENIKMA

Pengembangan Modul dilakukan melalui langkah-langkah Research and Development (Borg dan Gall, 1989), yang terdiri dari sepuluh (10) langkah yang diuraikan dalam gambar sebagai berikut.

Gambar 3. Tahap RnD Borg dan Gahl (1989)

Uraian langkah-langkah Research and Development yaitu langkah pertama adalah potensi dan masalah yang merupakan analisis masalah yang terjadi di masyarakat. Langkah kedua adalah pengumpulan informasi dan studi pustaka, yaitu pengumpulan data dari masyarakat tentang masalah yang terjadi dan pencarian sumber pustaka sebagai bahan dalam pembuatan materi produk.

Langkah ketiga adalah membuat desain produk, yaitu pembuatan desain baik dari cover maupun bagian dalam dari produk. Langkah keempat yaitu validasi dari expert judgement, yaitu validasi yang dilakukan oleh pakar terkait dengan isi dan

Potensi dan masalah

Pengumpulan data

Desain produk

Revisi produk Uji coba

pemakaian

Revisi produk Produk massal

Validasi produk

Uji coba produk

Revisi produk

commit to user

(26)

desain dari produk. Langkah kelima yaitu revisi produk yang merupakan tahap perbaikan dari hasil validasi expert judgement. Langkah keenam adalah uji coba produk yang merupakan pengujian terhadap produk kepada responden di lain tempat, yang mempunyai kriteria sama dengan responden yang akan diuji untuk pemakaian produk. Langkah ketujuh yaitu revisi produk yang merupakan tahap perbaikan apabila pada tahap uji coba terdapat hal-hal yang perlu diperbaiki karena tidak dimengerti oleh responden. Langkah kedelapan adalah uji pemakaian, yaitu pengujian produk kepada responden yang sesungguhnya.

Langkah kesembilan adalah revisi produk yang merupakan tahap yang harus dilakukan dengan perbaikan apabila ada suatu hal yang kurang mampu untuk dimengerti oleh responden yang sesungguhnya. Langkah kesepuluh adalah produk massal yang merupakan produksi dari produk dalam jumlah banyak dan siap diedarkan kepada masyarakat (Borg dan Gall, 1989)

Langkah pertama dari pengembangan Modul CENIKMA dilakukan sesuai tahap Research and Development yaitu potensi dan masalah yang merupakan analisis masalah yang terjadi di masyarakat. Penggalian potensi dan masalah yang dilakukan dengan tahap kualitatif dengan melakukan wawancara kepada Kepala Desa Daerah Pesisir, Ketua Rukun Tetangga, Ketua PKK, dan Bidan Desa Daerah Pesisir tentang permasalahan yang terjadi di pesisir berkaitan dengan pernikahan dini. Langkah kedua adalah pengumpulan informasi dan studi pustaka, yaitu pengumpulan data dari masyarakat tentang terjadinya pernikahan dini dan pencarian sumber pustaka dari buku, jurnal, koran dan majalah sebagai bahan dalam pembuatan materi produk Modul CENIKMA. Langkah ketiga adalah membuat desain produk Modul CENIKMA, yaitu pembuatan desain baik dari cover, bagian isi dari Modul CENIKMA, warna yang dipakai sebagai dasar, pemilihan huruf dan gambar yang disesuaikan dengan tema pernikahan dini.

Langkah keempat yaitu validasi dari expert judgement, yaitu validasi yang dilakukan oleh pakar terkait dengan isi dan desain dari produk. Langkah kelima yaitu revisi produk yang merupakan tahap perbaikan dari hasil validasi expert judgement, yang terdiri dari pakar Informasi dan Teknologi yang memvalidasi tampilan dari Modul CENIKMA, pakar Spesialis anak dan pakar Ilmu Kebidanan yang akan memvalidasi isi dari materi yang ada pada Modul CENIKMA. Langkah commit to user

(27)

keenam adalah uji coba produk Modul CENIKMA akan dilakukan di Kabupaten Situbondo kepada responden yang mempunyai kriteria sama dengan responden yang akan diuji untuk pemakaian produk di Kabupaten Probolinggo. Langkah ketujuh yaitu revisi produk Modul CENIKMA jika ternyata pada tahap uji coba tersebut terdapat hal-hal yang perlu diperbaiki karena tidak dimengerti oleh responden. Langkah kedelapan adalah uji pemakaian yaitu pengujian produk Modul CENIKMA kepada responden yang berada di Kabupaten Probolinggo.

Langkah kesembilan adalah revisi produk jika ada suatu hal yang kurang dimengerti oleh responden pada tahap uji pemakaian. Langkah kesepuluh adalah produk massal, yaitu dengan memasukkan Modul CENIKMA yang valid dan telah melalui uji coba ke editor untuk melalui proses editing agar bisa mendapatkan nomor ISBN dan HKI sehingga dapat diproduksi dalam jumlah banyak dan dapat diedarkan kepada masyarakat luas.

D. Pengaruh Pelatihan dengan Modul CENIKMA dalam Meningkatkan Kompetensi Kader Kesehatan

Pelatihan berkontribusi memberikan berbagai informasi tentang apa, bagaimana dan mengapa suatu hal terjadi sehingga dapat dimanfaatkan untuk menghadapi tugas atau tanggung jawab yang harus dilaksanakan (Denyer, 1991). Pelatihan dengan Modul CENIKMA yang telah melalui proses pengembangan, memberikan kontribusi berupa pengetahuan tentang pernikahan dini yang meliputi definisi dari remaja dan tumbuh kembangnya, berapa banyak asupan nutrisi yang diperlukan oleh remaja, pentingnya kesehatan reproduksi remaja, pengertian dari pernikahan, dan yang dimaksud dengan pernikahan dini, serta apa saja yang memberi dampak dari pernikahan dini. Materi-materi tersebut akan mampu meningkatkan pengetahuan kader kesehatan jika disampaikan sesuai dengan petunjuk teknis yang telah tersedia, yaitu dengan melakukan pre-test untuk menganalisis pengetahuan tentang pernikahan dini yang dimiliki oleh kader kesehatan sebelum dilakukan intervensi, kemudian memberikan intervensi berupa pelatihan kader kesehatan dengan Modul CENIKMA selama tiga hari dan melakukan post-test yang bertujuan untuk menganalisis ada tidaknya peningkatan pengetahuan kader

kesehatan. commit to user

(28)

Selain berkontribusi meningkatkan pengetahuan, pelatihan juga berkontribusi dalam meningkatkan keterampilan komunikasi dengan mengembangkan keterampilan komunikasi tersebut ke arah yang lebih baik dalam menyelesaikan suatu pekerjaan (Denyer, 1991). Pelatihan dengan Modul CENIKMA juga dapat meningkatkan kemampuan berupa keterampilan komunikasi bagi kader kesehatan remaja karena disusun lengkap dengan petunjuk teknis yang akan mempermudah kader kesehatan remaja dalam mengikuti pelatihan sehingga kader kesehatan remaja akan memahami bagaimana mengadakan pelatihan dan memberikan pelatihan sesuai dengan petunjuk teknis sehingga akan menghasilkan kader kesehatan remaja yang kompeten.

Kader kesehatan remaja kompeten yang dihasilkan melalui pelatihan dengan Modul CENIKMA akan mampu menjadi pelatih yang kompeten dalam memberikan pelatihan untuk ayah atau ibu remaja yang mempunyai niat menikahkan anak secara dini sehingga akan mampu berkontribusi menurunkan niat ayah atau ibu remaja untuk menikahkan anak secara dini di daerah pesisir.

E. Dinamika Penurunan Niat Ayah atau Ibu Remaja Menikahkan Anak secara Dini pada Masyarakat Pesisir Melalui CENIKMA.

Fenomena tingginya kejadian pernikahan dini pada masyarakat pesisir dikarenakan tingginya niat ayah atau ibu remaja menikahkan anak secara dini yang disebabkan oleh faktor sosiodemografi ayah atau ibu remaja, faktor sosial budaya, dan faktor ekonomi yang didukung dengan anggapan bahwa pernikahan dini tidak akan menimbulkan masalah seperti dalam temuan Sary (2019).

Tingginya niat ayah atau ibu remaja untuk menikahkan anak secara dini dapat diturunkan dengan adanya pemberian pengetahuan seperti yang dipaparkan oleh Juniata (2016) dalam penelitiannya yang menginformasikan bahwa sesuai dengan TPB, niat dapat berubah karena dipengaruhi adanya pemberian pengetahuan melalui paparan informasi tentang dampak negatif pada pernikahan dini sehingga orang tua memiliki keyakinan untuk mengambil keputusan untuk tidak menikahkan anak gadisnya secara dini. Hasil penelitian Kartikawati, Pujiastuti dan Masini (2020) juga menginformasikan bahwa niat dapat ditingkatkan atau diturunkan dengan pemberian pendidikan kesehatan. commit to user

(29)

Menurut Prochaska (1973) yang dirangkum dalam TTM, menyebutkan bahwa terdapat tahapan yang mendukung terbentuknya niat yang ada di dalam TTM yang mulai dari tahap precontemplation, contemplation, preparation, action dan maintenance.

Tahapan pada TTM dimulai dengan tahap precontemplation yang merupakan rentang waktu dimana ayah atau ibu remaja mengganggap keinginan untuk menikahkan anak gadis secara dini adalah hal wajar dan tidak menyadari dampak yang akan diakibatkan dari pernikahan dini, sehingga ingin tetap menikahkan anaknya secara dini. Tahap selanjutnya adalah contemplation yang merupakan tahap ketika ayah atau ibu remaja mulai berpikir dan menimbang apabila dampak pernikahan dini menimpa anak gadis, maka keluarga juga akan terkena dampak tersebut. Setelah ayah atau ibu remaja mulai menyadari bahwa dampak pernikahan dini mungkin saja akan menimpa anak gadis, maka ayah atau ibu remaja mulai mencari informasi tentang pernikahan dini mulai dengan bertanya kepada tenaga kesehatan yang ada di sekitar rumah, bertanya kepada tetangga yang telah menikahkan anaknya secara dini, mencari sumber informasi di internet dan surat kabar, inilah yang disebut dengan tahap preparation. Setelah meyakini kebenaran tentang dampak negatif dari pernikahan dini, maka ayah atau ibu remaja akan menuju ke tahap action, yaitu rentang waktu dimana ayah atau ibu remaja mulai meninggalkan niatnya untuk menikahkan anak gadisnya secara dini dalam jangka panjang. Ayah atau ibu remaja berusaha untuk menghindari orang- orang yang dianggapnya mampu untuk mempengaruhi kembali kepada niat semula untuk menikahkan anak secara dini. Ayah atau ibu remaja yang bertahan dengan niat barunya yaitu menunda menikahkan anak secara dini dalam rentang waktu lima bulan, dia dikatakan lolos pada tahap maintenance. Ayah atau ibu remaja yang telah berada di tahap maintenance dan pada bulan berikutnya tetap tidak tergoda untuk kembali ke niat awal yaitu menikahkan anak secara dini, maka orang tua lolos tahap relaps, akan tetapi apabila di tahap ini orang tua kembali ke niat awal ingin menikahkan anak secara dini, maka orang tua dinyatakan gagal dan harus melewati tahap awal TTM yaitu precontemplation, contemplation, preparation, action dan maintenance sebagai pembentukan niat awal (Snelling,

2014). commit to user

(30)

Perubahan niat pada TPB yang akan dilakukan menurut proses tahapan pada TTM akan diimplementasikan dengan pemberian pelatihan dengan materi pada Modul CENIKMA kepada kader kesehatan terlebih dahulu untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan komunikasi kader kesehatan sehingga ditemukan kader kesehatan yang kompeten. Kader kesehatan kompeten akan mendukung keberhasilan intervensi selanjutnya dengan memberikan pelatihan kepada orang tua remaja sehingga proses pemberian intervensi pada penelitian ini disebut berjenjang. Pemberian intervensi disebut berjenjang karena diawali dengan pemberian pelatihan kepada kader kesehatan oleh peneliti untuk mencari kader kesehatan yang kompeten kemudian dilanjutkan dengan kader kesehatan kompeten memberikan pelatihan kepada ayah atau ibu remaja.

F. Proses Perubahan Niat Transtheoritical Model (TTM) Mempengaruhi Niat Orang Tua Menikahkan Anak secara Dini

Proses dari Transtheoritical Model (TTM) (1979) terdiri dari precontemplation, contemplation, preparation, action, maintenance dan bersama- sama dengan komponen yang ada pada Theory Planned Behavior (TPB) yang terdiri dari attitude toward behavior, subjective norms, dan perceived control behavior mengubah niat seseorang.

Ayah atau ibu remaja yang berniat menikahkan anak secara dini harus melalui proses perubahan niat TTM yang pada akhirnya terbentuk sikap terhadap niat menikahkan anak secara dini, keyakinan terhadap niat menikahkan anak secara dini, dan kontrol perilaku yang dirasakan terhadap niat menikahkan anak secara dini.

commit to user

(31)

G. Kerangka Teori

Faktor Individu:

umur, jenis kelamin pendidikan, penghasilan kepribadian

suasana hati, emosi, intelijen,

nilai stereotip, pengetahuan

Faktor Sosial:

agama ras, etnis

kebudayaan, hukum ekonomi

geografi media intervensi

Attitude toward behaviour

Norms Subjektif

Intention Perceived Control

Transtheoritical Model:

precontemplation contemplation preparation action maintenance

Behavior

Gambar 4. Kerangka Konsep

commit to user

(32)

H. Kerangka Konsep

INPUT PROSES OUTPUT

Sikap terhadap niat menikahkan anak secara dini Penerapan Modul CENIKMA pada

Ayah atau Ibu Remaja sebagai Model Pencegahanan Pernikahan Dini Tingginya pernikahan dini

Penurunan niat menikahkan orang tua untuk menikahkan anak secara dini Norma subjektif

terhadap niat menikahkan anak secara dini Peningkatan Kompetensi

Kader Kesehatan

Kontrol yang dirasakan terhadap niat menikahkan anak secara dini Kebutuhan materi dalam

bentuk panduan Masyarakat

pesisir

Penerapan Modul CENIKMA pada Kader Kesehatan

Proses perubahan niat berdasar Transtheoritical Model

Pre contemplation Contemplation Preparation Action

5. Maintenance

Belum adanya

keterlibatan orang tua dan kader kesehatan

dalam upaya

pencegahan pernikahan dini

Modul CENIKMA sebagai Model Pencehanan Pernikahan Dini Anak

Gambar 5. Kerangka Konsep

commit to user

(33)

Keterangan gambar :

: Hipotesis 1

: Hipotesis 2

: Hipotesis 3

I. Pertanyaan Penelitian dan Hipotesis

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan tersebut, maka secara keseluruhan penelitian ini akan dilakukan dalam tiga studi. Studi pertama bertujuan untuk menjawab masalah yang pertama dari penelitian ini yang diturunkan dalam dua pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Materi apa yang dibutuhkan oleh ayah atau ibu remaja untuk mencegah pernikahan dini di masyarakat pesisir?

2. Model intervensi seperti apa yang dibutuhkan oleh kader kesehatan untuk mencegah niat ayah atau ibu remaja menikahkan anak secara dini?

Hasil temuan dari studi pertama tersebut akan digunakan untuk menguji efektivitas modul pada studi kedua dengan hipotesis sebagai berikut.

1. Ada peningkatan kompetensi kader kesehatan yang terdiri dari pengetahuan dan keterampilan komunikasi setelah mengikuti pelatihan dengan Modul CENIKMA.

2. Ada penurunan niat ayah atau ibu untuk menikahkan anak secara dini setelah mengikuti pelatihan dengan Modul CENIKMA yang disampaikan oleh kader kesehatan.

Selain hipotesis pertama dan kedua tersebut, penelitian ini juga akan mengajukan hipotesis ketiga sebagai jawaban sementara bagi rumusan masalah penelitian ketiga. Hipotesis tersebut yaitu proses perubahan niat dalam perspektif dalam Transtheoritical Model (TTM) bersama-sama dengan sikap, norma subjektif, dan kontrol yang dirasakan mempengaruhi niat ayah atau ibu remaja untuk menikahkan anak secara dini.

commit to user

Referensi

Dokumen terkait

yang dilarang kawin oleh undang-undang, atau salah satu pihak atau kedua-duanya ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain. Anak ini disebut anak zina. Dari kedua

Menurut Penjelasan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, menyebutkan: “ Dengan Persetujuan DPR RI, Pemerintah telah menetapkan Undang-undang Nomor

Terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Terhadap Dispensasi Nikah bahwa

Masa tunggu yang diatur dalam Pasal 11 Undang-undang perkawinan dapat dimohonkan dispensasi nikah oleh hakim atau pejabat tertentu dalam perkawinanmerupakan

Jika program ini sesuai dengan undang-undang perburuhan yang berlaku seperti batas gaji/upah minimum maka intervensi pemerintah dapat terhindar. Dari uraian diatas

Sebagai tindak lanjut Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 khususnya dalam pengaturan alokasi dana desa Pemerintah Kabupaten

a) Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya.. b) Pemungutan pajak

Kelebihan dari metode FFQ yaitu mudah dalam mengumpulkan data, tidak membebani responden, dapat diisi sendiri oleh responden atau pewawancara, pengolahan data mudah dilakukan, dapat