• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Teori Hukum Alam a. Pengertian Hukum Alam

Hukum alam adalah hukum yang ditemukan pada alam dimana hukum tersebut sesuai dan bersinergi dengan alam.

Teori hukum alam memiliki kekhasan yaitu tidak dapat dipisahkannya secara tegas antara hukum dengan moral.

(Lutfi, 2014).

b. Sumber Hukum Alam

1) Hukum alam yang bersumber dari Tuhan

Sumber hukum alam adalah kitab suci, manusia dikuasai oleh hukum alam dan adat kebiasaan. Hukum alam adalah hukum yang lahir bersamaan dengan terciptanya manusia dan tidak berubah sepanjang zaman (kodrat). Tokoh pada aliran ini adalah Thomas Aquinas.

2) Hukum alam yang bersumber dari rasio manusia

Hukum alam muncul dar pikiran manusia tentang apa yang baik, benar, atau buruk. Hukum alam merupakan hukumyang universal dan abadi. Tokoh aliran ini adalah Hugo de Groot yang berpendapat bahwa hukum alam merupakan hukum yang muncul sesuai kodrat manusia yang tidak ungkin dapat diubah oleh Tuhan sekalipun karena hukum alam diperoleh manusia dari akalnya tetapi Tuhanlah yang memberi kekuatan mengikat.

3) Hukum alam yang bersumber dari panca indera manusia Kelompok ini berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal melainkan diperoleh dari panca indera manusia.

(2)

Tokoh pada aliran in adaah John Locke dan Thomas Hobbes.

(https://sites.google.com/a/unida.ac.id/gelardwi/pengantar- ilmu-hukum/mazhab-hukum-alam, diakses pada 10 Juni 2020 Pukul 16.10 WIB).

2. Tinjauan Tentang Teori Keadilan a. Pengertian Keadilan

Keadilan diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang tidak sewenang-wenang, tidak memihak, serta tidak berat sebelah.

b. Teori Keadilan menurut para ahli (Nasution, 2014) :

1) Keadilan menurut Plato menekankan pada harmoni atau keselarasan. Keadilan terwujud dalam suatu masyarakat bilamana setiap orang melakukan secara baik menurut kemampuannya yang sesuai dan selaras.

2) Keadilan menurut Aristoteles menekankan pada perimbangan atau proporsi bahwa kesamaan hak haruslah sama diantara orang-orang yang sama. Teori keadilan Aristoteles berdasar pada prinsip persamaan.

3) Keadilan menurut John Rawls bahwa keadilan adalah fairness (justice as fairness).

4) Keadilan menurut Thomas Hobbes bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati. Keadilan baru dapat tercapai saat adanya kesepakatan antara dua pihak yang saling berjanji.

5) Keadilan menurut Roscoe Pound menekankan pada hasil konkrit yang dapat diberikan kepada masyarakat. Hasil konkrit ini berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan sekecil- kecilnya.

(3)

3. Tinjauan Tentang Perkawinan a. Pengertian Perkawinan

Perkawinan berasal dari kata kawin merupakan terjemahan dari bahasa arab nikah yang mengandung dua pengertian yaitu dalam arti yang sebenarnya berarti berkumpul dan arti yang bukan sebenarnya (kiasan) berarti aqad atau mengadakan perjanjian. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP), perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan menurut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI), perkawinan adalah akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan apabila melaksanakannya merupakan ibadah.

Islam menganut pengertian perkawinan yang berarti aqad yang suci antara laki-laki dengan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami istri dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih sayang, kebajikan (sakinah) (Sudarsono, 2005:2). Dibawah ini pengertian perkawinan menurut beberapa ahli :

1) Menurut Subekti, perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

2) Menurut Soetandyo Prawirohamidjojo, perkawinan adalah persekutuan hidup yang terjadi antara seorang pria dan

(4)

wanita yang disahkan secara formal dengan undang- undang dan umumnya bersifat religius.

3) Menurut Paul Scholten, perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal dan diakui oleh negara (Prawirohamidjojo, 1982, hal. 31)

b. Unsur-unsur Perkawinan

Unsur-unsur yang terkandung dalam perkawinan yaitu (Wasman, 2011, hal. 31):

1) Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin, artinya secara formal (lahiriyah) calon pasangan suami istri benar memiliki niat (batiniah) untuk membentuk keluarga melalui perkawinan.

2) Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, artinya bahwa undang-undang menganut asas monogami meskipun tidak bersifat mutlak.

3) Bertujuan membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, artinya perkawinan hendaknya berlangsung dalam waktu yang lama sehingga perceraian hendaknya dihindari walaupun tidak menutup kemungkinan akan terjadinya perceraian.

4) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya dalam peraturan tentang perkawinan dan menjalankan perkawinan harus berpijak pada norma agama dan kepercayaan yang dianut.

c. Syarat Perkawinan

Untuk bisa melaksanakan perkawinan harus memenuhi syarat perkawinan. Syarat perkawinan merupakan sesuatu yang

(5)

harus ada dalam perkawinan dan apabila tidak ada maka perkawinan dianggap tidak sah. Syarat perkawinan dibagi dua, syarat sah perkawinan dan syarat perkawinan. Syarat perkawinan dibagi menjadi dua, syarat materiil dan syarat formil.

Syarat sah perkawinan adalah perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Syarat materiil terdiri dari adanya persetujuan kedua calon mempelai, dilaksanakan jika pria sudah mencapai usia 19 tahun dan wanita mencapai 19 tahun (sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), mendapat izin dari orang tua atau wali apabila kedua calon mempelai berusia kurang dari 21 tahun, bukan termasuk dalam perkawinan yang dilarang, serta tidak dalam waktu tunggu bagi janda (Pasal 6-11 UUP).

Syarat formil perkawinan mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan (Pasal 12 UUP). Syarat formil perkawinan terdiri atas pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan, pengumuman untuk melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan yang bertujuan untuk memenuhi asas publisitas, serta pelaksanaan perkawinan.

d. Asas Perkawinan

Perkawinan dalam UUP terdiri atas beberapa asas, yaitu asas perkawinan kekal, asas perkawinan didasarkan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing, asas

(6)

perkawinan terdaftar, asas monogami, asas poligami sebagai pengecualian, asas perkawinan didasarkan kesukarelaan (kebebasan berkehendak), dan asas keseimbangan kedudukan suami istri. Asas perkawinan dalam KHI terdiri atas asas membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, asas keabsahan perkawinan yang didasarkan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing pihak, asas monogami terbuka, asas calon suami dan istri matang jiwa dan raga untuk dapat melangsungkan perkawinan, asas mempersulit perceraian, asas keseimbangan hak dan kewajiban suami istri, dan asas pencatatan perkawinan (Zainuddin Ali, 2014:7).

Sejatinya dalam Pasal 3 ayat (1) UUP mengatakan bahwa pada asasnya perkawinan hanya boleh dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita (asas monogami), akan tetapi dikecualikan oleh Pasal 3 ayat (2) UUP bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada suami apabila ingin beristri lebih dari seorang. Dengan demikian asas monogami tidak berlaku secara mutlak dan dapat dikecualikan.

e. Akibat Perkawinan

Dilakukannya perkawinan secara sah pasti akan menimbulkan beberapa akibat, baik terhadap pasangan suami istri sendiri, anak, maupun harta (J. Satrio, 1991).

1) Akibat perkawinan terhadap suami istri, diantaranya : a) Suami istri memikul tanggungjawab untuk bisa

menegakkan rumah tangga (Pasal 30 UUP)

b) Kedudukan suami dan istri adalah seimbang (Pasal 31 ayat (1) UUP)

2) Akibat perkawinan terhadap anak, diantaranya :

a) Anak yang dilahirkan dari perkawinan adalah anak sah

(7)

b) Orang tua wajib mendidik, memelihara anak- anaknya (Pasal 45 UUP)

3) Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan

Harta adalah barang-barang (uang) dan sebagainya yang menjadi kekayaan (Poerwadarminta, 2005). Dalam UUP, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama sehingga suami istri bisa melakukan perbuatan hukum terhadapnya dan harta bawaan masing-masing suami istri berada di bawah penguasaan masing-masing pihak sepanjang tidak di tentukan lain. Menurut KHI, adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri. Pasal 1 huruf f KHI mengatakan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh baik sendiri maupun secara bersama dalam ikatan perkawinan tanpa mempermasalahkan harta tersebut terdaftar atasnama siapa. Di bawah ini beberapa akibat dilakukannya perkawinan terhadap harta kekayaan :

a) Timbul harta bawaan dan harta masing-masing;

b) Suami atau istri memiliki hak terhadap harta bawaan masing-masing untuk melakukan perbuatan hukum apapun;

c) Antara suami istri selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama.

f. Harta Perkawinan

Harta memiliki arti yang penting bagi seseorang karena dengan harta dapat memenuhi kebutuhan hidup secara wajar dan

(8)

mendapat status sosial yang baik dalam masyarakat. Batasan harta bersama dalam Pasal 35 UUP menyatakan bahwa:

1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

2) Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

UUP pada prinsipnya menganut paham bahwa:

1) Suami atau istri masing-masing memiliki hak atas harta pribadinya atau harta bawaannya

2) Suami atau istri masing-masing menguasai dan mengelola secara penuh harta pribadi atau harta bawaannya

KHI menganut paham bahwa :

1) Pada dasarnya tidak ada percampuran harta suami dan harta istri karena perkawinan

2) Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, begitu pula dengan harta suami

Menurut UUP dan KHI, kelompok harta yang mungkin terbentuk yaitu:

a. Harta bersama b. Harta pribadi

1) Harta bawaan suami a) Harta hibah atau b) Warisan suami 2) Harta bawaan istri

a) Harta hibah atau b) Warisan istri

g. Perjanjian Perkawinan

1) Pengertian Perjanjian Perkawinan

(9)

Perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan akan mengikat kedua pihak (suami-istri) setelah perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka (Prawirohamidjojo, 1986, hal. 57). Di bawah ini pengertian perjanjian perkawinan menurut beberapa ahli : a) Perjanjian perkawinan menurut R. Subekti adalah

perjanjian tentang harta benda suami istri selama perkawinan mereka yang ditetapkan oleh undang- undang (R Subekti, 1978, hal. 51).

b) Menurut Komar Andasasmita, perjanjian perkawinan adalah perjanjian oleh calon suami istri untuk mengatur harta benda atau kekayaan akibat dari perkawinan yang diadakan (Andasasmita, 1990, hal. 5).

c) Perjanjian perkawinan menurut UUP adalah perjanjian yang dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan atas persetujuan bersama yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang mulai berlaku sejak perkawinan tersebut berlangsung.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XIII/2015 tentang Perjanjian Perkawinan yang berbunyi

“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau notaris setelah mana isinya juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang pihak

(10)

ketiga tersangkut” telah memperluas makna perjanjian perkawinan yakni bahwa setelah keluarnya putusan ini, yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan tidak hanya perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan, tetapi juga perjanjian yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan menurut UUP dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis dan dapat dibuat pada waktu perkawinan atau sebelum perkawinan dilangsungkan, begitu pula pada KHI.

2) Beberapa hal yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan menurut beberapa pendapat ahli hukum (Wahyono Darmabrata, 2004, hal. 80):

a) Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa perjanjian perkawinan memuat apa saja baik mengenai hubungan antara suami istri, maupun mengenai harta benda dalam perkawinan.

b) Menurut R. Sadjono, perjanjian perkawinan memuat tentang hak-hak yang berkaitan dengan hukum kekayaan.

c) Menurut Nurnazly Soetarno, perjanjian perkawinan memuat tentang hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan, khususnya yang menyangkut mengenai harta pribadi suami istri yang dibawa masuk ke dalam perkawinan.

3) Alasan Pembuatan Perjanjian Perkawinan

Pada umumnya perjanjian perkawinan dibuat apabila (Faradz, 2008) :

a) Terdapat harta kekayaan yang berjumlah lebih besar yang dimiliki oleh salah satu pihak

(11)

b) Harta kekayaan yang dimiliki kedua belah pihak sama sama berjumlah besar

c) Terdapat hutang yang terjadi sebelum perkawinan berlangsung

d) Adanya usaha atau usaha-usaha yang dimiliki oleh masing-masing pihak dalam hal ini suami dan istri yangmana apabila salah satu usaha mengalami kebangkrutan atau terjadi pailit, usaha yang lain tidak tersangkut

4) Hal-hal yang Perlu diperhatikan dalam Pembuatan Perjanjian Perkawinan

Pertimbangan yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian perkawinan diantaranya :

a) Kerelaan. Pihak-pihak yang akan membuat perjajian perkawinan harus setuju bahwa perjanjian perkawinan ini dibuat atas dasar sukarela dan tanpa paksaan.

b) Keterbukaan. Keterbukaan yang dimaksud adalah mengenai harta yang dimiliki baik sebelum perkawinan berlangsung maupun sesudah perkawinan. Bisa juga mengenai kondisi keuangan pada saat sebelum maupun sesudah perkawinan berlangsung, potensi-potensi untuk meningkatnya kekayaan misalnya karena warisan, hutang bawaan masing-masing pihak, potensi bertambahnya hutang setelah perkawinan berlangsung, serta bagaimana dan siapa yang bertanggungjawab. Hal ini bertujuan supaya jelas diketahui apa yang akan diterima dan apa yang akan dikorbankan jika terjadi sesuatu hal dengan perkawinan tersebut sehingga tidak ada yang di rugikan.

(12)

c) Notariil. Perjanjian perkawinan sebaiknya dibuat tidak di bawah tangan dan disahkan oleh notaris serta Pegawai Pencatat Perkawinan. Pada perkawinan antara orang yang beragama Islam maka perjanjian perkawinan dicatatkan di Kantor Urusan Agama, sedangkan bagi perkawinan di luar agama Islam maka perjanjian perkawinan dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil.

4. Tinjauan Tentang Poligami a. Pengertian Poligami

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani Polus dan Gamos. Polus memiliki arti banyak, sedangkan Gamos memiliki arti perkawinan. Menurut istilah, poligami adalah ikatan perkawinan suami mengawini istri lebih dari satu pada waktu yang sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Secara khusus atau lebih spesifiknya, laki-laki yang memiliki pasangan dalam hal ini istri lebih dari satu disebut dengan poligini, sedangkan perempuan yang memiliki suami lebih dari satu disebut dengan poliandri (Ilyas, 2006:140).

Dalam kamus ilmiah bahasa Indonesia, poligami merupakan perkawinan antara seorang laki-laki atau perempuan dengan dua orang atau lebih. Hanya saja dalam prakteknya, poligami cenderung diartikan sebagai perkawinan antara seorang suami dengan dua orang istri atau lebih (41-65).

(13)

b. Jenis Poligami

1) Poligini merupakan kondisi seorang pria yang memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu bersamaan.

Contoh negara yang menerapkan poligini adalah Libya, Mesir, Arab Saudi, dan Kenya;

2) Poliandri merupakan kondisi seorang wanita yang memiliki beberapa pria sebagai suaminya dalam waktu bersamaan. Contoh suku yang menerapkan poliandri adalah Suku Toda di India, Suku Maasai di Kenya, Suku Mosuo di China, dan Suku Tebet di China;

3) Pernikahan kelompok merupakan kombinasi poligini dan poliandri (beberapa pria dengan beberapa wanita). Hal seperti ini sangat jarang dijumpai dan hanya ditemukan di daerah Caingang, Brazil (britannica.com/topic/group- marriage, diakses pada 3 April 2020 pukul 17.14 WIB).

c. Syarat-syarat poligami

1) Syarat alternatif merupakan syarat yang apabila salah satunya telah terpenuhi maka seorang suami sudah dapat mengajukan permohonan poligami. Yang termasuk dalam syarat alternatif poligami (Pasal 4 ayat (2) UUP) yaitu:

a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya

b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang sulit disembuhkan

c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan

2) Syarat kumulatif merupakan syarat yang harus dipenuhi semuanya. Ketika salah satu syarat tidak terpenuhi maka permohonan poligami ditolak oleh pengadilan. Syarat kumulatif (Pasal 5 ayat (1) UUP) terdiri atas:

a) Adanya persetujuan dari istri

(14)

b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya

c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya.

Pasal 40 dan 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa apabila seorang suami ingin melakukan poligami atau ingin beristri lebih dari satu maka harus dilakukan melalui permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Setelah permohonan masuk ke pengadilan, pengadilan akan memeriksa beberapa hal di antaranya :

1) Ada tidaknya alasan bagi suami untuk memiliki istri kembali, yaitu:

a) Bahwa istri tidak melakukan kewajibannya sebagai seorang istri

b) Bahwa istri memiliki cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c) Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan

2) Ada tidaknya persetujuan dari istri. Persetujuan dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan yang diucapkan dihadapan sidang pengadilan. Bentuk persetujuan tertulis dibuat dan ditandatangani oleh istri selaku termohon kemudian nantinya tetap harus dipertegas secara lisan dalam persidangan di hadapan majelis hakim. Hal ini bertujuan supaya hakim dapat melihat serta mendengar secara langsung ada atau tidaknya kerelaan dari istri untuk menyetujui suami berpoligami.

3) Ada tidaknya kemampuan suami untuk menjamin segala kebutuhan serta keperluan istri-istri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan :

(15)

a) Surat keterangan penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat dimana suami bekerja dan apabila suami bekerja sebagai wirausaha maka surat penghasilannya ditandatangani oleh kepala desa setempat; atau

b) Surat keterangan pajak penghasilan; atau

c) Surat lain yang dapat diterima oleh pengadilan contohnya bukti rekening koran suami (pemohon) 4) Ada tidaknya jaminan oleh suami untuk dapat berlaku adil

terhadap istri-istri serta anak-anaknya. Jaminan berlaku adil harus berupa pernyataan dari suami untuk berlaku adil yang dibuat dalam persidangan di hadapan Majelis Hakim.

5. Tinjauan Tentang Putusnya Perkawinan

Putusnya suatu perkawinan memiliki arti bahwa tali perkawinan tidak tersambung lagi sehingga hubungan suami dan istri telah berakhir. Putusnya perkawinan menurut Pasal 38 UUP disebabkan karena kematian, perceraian, dan keputusan pengadilan.

a. Kematian

Kematian dalam hal perkawinan merupakan peristiwa meninggalnya salah satu pihak dalam perkawinan baik suami maupun istri ataupun suami dan istri secara bersamaan.

Putusnya perkawinan karena kematian berada di luar kuasa para pihak dalam perkawinan dan sepenuhnya merupakan kehendak Tuhan. Putusnya perkawinan karena kematian menimbulkan terbukanya hak mewarisi antara suami dan istri.

b. Perceraian

1) Pengertian Perceraian

Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling

(16)

meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri (Djamil Latif .H.M., 1982, hal. 93).

2) Alasan-alasan Perceraian

Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan seperti di bawah ini (Pasal 39 UUP dan Pasal 116 KHI) :

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pamadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sulit untuk disembuhkan;

b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah;

c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara minimal lima tahun atau lebih berat selama perkawinan berlangsung;

d) Salah satu pihak melakukan penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkannya tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai suami atau istri;

f) Terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami istri dan sulit untuk rukun kembali;

g) Suami melanggar taklik talak;

h) Murtad

c. Keputusan Pengadilan

Pengertian mengenai putusnya perkawinan karena putusan pengadilan tidak ditemukan di dalam UUP, KHI, maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

(17)

UUP. Putusnya perkawinan atas keputusan pengadilan terjadi karena adanya permohonan dari salah satu pihak suami atau istri atau para anggota keluarga.

6. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum

Teori perlindungan hukum bersumber dari teori hukum alam.

Aliran hukum alam mengatakan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat.

a. Pengertian Perlindungan Hukum

Dibawah ini beberapa pengertian perlindungan hukum menurut beberapa ahli :

1) Satjipto Raharjo, perlindungan hukum merupakan upaya untuk mengorganisasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat supaya tidak terjadi tumbukan antar kepentingan dan dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum (Raharjo, 2000, hal. 53)

2) Phillipus M Hadjon, perlindungan hukum adalah perlindungan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya (Hadjon, 1987, hal. 25)

3) Setiono, perlindungan hukum merupakan upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum untuk mewujudkan ketertiban (Setiono, 2004, hal. 3)

(18)

b. Jenis Perlindungan Hukum

1) Perlindungan hukum preventif, yaitu perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa yang mengarah kepada tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan (Hadjon, 1987, hal. 2)

2) Perlindungan hukum represif, yaitu perlindungan hukum yang untuk menyelesaikan sengketa atau permasalahan.

B. Kerangka Pemikiran

Bagan 1

Istri 1 Suami Istri 2-4

Suami Istri Pasal 30-34

UUP

Anak Pasal 42-49

UUP

Harta Pasal 35-37

UUP

Harta Pasal 35-37

UUP

Anak Pasal 42-49

UUP

Suami Istri Pasal 30-34

UUP Poligami

Pasal 3-5 UUP, Pasal 55-59 KHI, Pasal 40 dan 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

tentang Peraturan Pelaksanaan UUP

Pengaturan Pembagian Harta Bersama Perkawinan

Poligami

Perlindungan Hukum Istri atau Istri-Istri dalam Perkawinan

Poligami Terjadi problematika mengenai pembagian harta bersama antara perkawinan pertama dengan perkawinan kedua dan selanjutnya

(19)

Keterangan :

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Secara kodrati manusia memiliki keinginan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dilihat dari pengertian perkawinan diatas, sejatinya prinsip perkawinan adalah membentuk keluarga yang kekal dan bahagia dimana ukuran kebahagiaan terletak pada harta. Apabila dalam perkawinan suami istri dikemudian hari suami menikah kembali dengan perempuan lain tanpa menceraikan istri pertama, terjadilah yang disebut dengan poligami. Dengan terjadinya perkawinan maka akan berakibat terhadap hubungan suami istri itu sendiri, anak, dan harta kekayaan. Permasalahan muncul apabila terjadi perselisihan salah satunya mengenai pembagian harta bersama dalam perkawinan pertama dengan perkawinan kedua dan selanjutnya yang pasti menimbulkan kebingungan akibat percampuran harta bersama dari masing- masing perkawinan. Oleh karena itu penulis akan mengkaji lebih dalam mengenai pengaturan pembagian harta bersama serta perlindungan hukum bagi istri dalam perkawinan poligami.

Referensi

Dokumen terkait

Terjemahan: Iaitu, sesungguhnya Dia Yang Maha Tinggi mencipta tempat, maka [ini bermakna] Dia telah wujud sebelum tempat itu, berdasarkan kepada [analogi:] sesungguhnya

Berdasarkan kepada hasil estimasi maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa terdapat kaitan antara produktifitas (kelahiran pertama), prestasi peternak penerima

Kepraktisan media juga dapat dilihat dari analisis deskriptif terhadap respon mahasiswa melalui kuesioner dengan rincian sebagai berikut: (1) perasaan mereka terhadap

Al hilo de los productos comentados para la gestión de los riesgos de tipos de interés, se podría iniciar un debate sobre el papel de la innovación financiera (con productos como

Bapak Karmawan S.E., M.Sc selaku Ketua Jurusan Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung serta sebagai dosen Pembimbing pendamping yang telah berkenan

Dari karakteristik responden penelitian ini dapat diketahui bahwa banyak sopir bus yang berusia 36-45 tahun dan sudah lama bekerja memiliki beberapa kebiasaan

Penciptaan karya seni grafis yang bersumber dari ekspresi wajah manusia, diciptakan tidak hanya memenuhi fungsi estetik, akan tetapi juga mengandung makna, pesan

Berikut perhitungan validitas pertanyaan no 1, untuk pertanyaan nomor yang lain dihitung dengan cara yang sama.. Perhitungan Reliabilitas Soal Tes Pemahaman Mata Pelajaran