• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Sebelum peneliti melakukan penelitian tentang bentuk pola asuh musyrifah dalam meningkatkan kemandirian santri, maka hal ini akan dipaparkan oleh peneliti mengenai penelitian-penelitian yang berkenaan dengan pembahasan penelitian tersebut. Setelah peneliti temukan, hasil penelitian terdahulu tidak didapatkan oleh peneliti, namun terdapat beberapa penelitian yang membahas tentang kemandirian diantaranya sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Naufal dari IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2011 dengan judul “Penerapan pola asuh demokratis orangtua dalam menumbuhkan minat belajar anak terhadap Pendidikan Agama Islam di SMKN 9 Surabaya”. Dalam hal ini peneliti menemukan bahwa pola asuh orangtua yang diterapkan oleh orangtua dari siswa SMKN 9 Surabaya adalah pola asuh demokratis. Sehingga dalam pola asuh demokratis ini memberikan dampak yang baik pada minat belajar anak yang tercermin dalam wadah organisasi Sie Kerohanian Islam. Minat belajar siswa ini tercermin dalam minat anggotanya untuk aktif belajar Pendidikan Agama Islam.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Winarti dari UIN Syarif Hidayatullah tahun 2011 dengan judul, “Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Pembentukan Akhlak Anak Usia 7-12 Tahun di Ketapang Tangerang”.

Berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti adalah

(2)

11

pengaruh pola asuh orang tua (demokratis, permisif, otoriter, dan penelantar) berpengaruh positif terhadap pembentukan akhlak anak usia 7- 12 tahun di RT.02 RW.06 Ketapang Tangerang.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Najanuddin, Mahasiswa Jurusan Kependidikan Islam. Skripsi dengan judul “Pendidikan Kemandirian Berbasis Pesantren (Studi Terhadap Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari Yogyakarta 2003-2006)”. Berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti adalah dalam penelitian ini penulis mengkaji masalah pendidikan kemandirian berbasis pesantren dimana dalam penelitian ini, melalui metode dan strategi pembelajaran santri mahasiswa dilatih untuk hidup mandiri sesuai dengan bakat dan minatnya melalui program- program pesantren yang mampu mengakomodasi segenap potensi dan keunikan tiap-tiap santri meliputi divisi pengembangan potensi, seperti divisi penerbitan, divisi laundry, divisi angkringan, divisi peternakan dan perkebunan. Hingga akhirnya santri mampu mencapai kemandirian hidup sesuai minat dan bakat yang dimiliki (Najanuddin, 2013).

4. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Saputra, Mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam. Skripsi dengan judul “Peran Konselor dalam Membentuk Sikap Kemandirian Santri di Panti Asuhan Nurul Haq Banguntapan, Bantul, Yogyakarta”. Berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti adalah peran yang dimaksud dalam judul penelitian tersebut merujuk pada 3 peran yaitu pertama, peran konselor sebagai pembimbing atau pembinaan akhlak, melalui kegiatan mengaji, belajar bersama, kegiatan ubudiyah, kegiatan kebersihan panti, kegiatan

(3)

12

belajar bersama, dan program kegiatan keagamaan. Kedua, peran konselor sebagai motivator dalam program tahfidz, kegiatan hadroh, dan belajar berpidato. Ketiga, peran konselor sebagai sahabat yaitu dalam bidang pembuatan bakpia dan potil, bidang olahraga dan mujahadah. (Saputra, 2018)

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dari beberapa peneliti terdapat perbedaan dan persamaan yaitu pada penelitian terdahulu pertama dan kedua, perbedaanya terletak pada subjek yang melakukan. Sedangkan penelitian terdahulu ketiga dan keempat perbedaannya terletak pada konsep peningkatan kemandirian, dalam penelitian ini peningkatan kemandirian dilakukan melalui pendidikan di pesantren sehingga yang dibahas oleh penelitian tersebut lebih merujuk pada hal yang umum begitu pula dengan penelitian terdahulu keempat konsep peningkatan kemandirian dilakukan melalui subjek yang tidak berada di pesantren yaitu melalui konselor. Tetapi dalam hal penelitian terdahulu ini semua terletak pada objek yang diteliti yaitu peningkatan kemandirian pada santri, siswa ataupun anak.

B. Konsep Pola Asuh

Menurut Baumrind (Mualifah, 2009) pola asuh pada prinsipnya merupakan parental control yakni: “Bagaimana orangtua membimbing, mendidik, dan

mengontrol anak sampai ia menuju pada tahap pendewasaan”.

Adapun menurut Baumrind (1967) ahli psikologi perkembangan membagi pola asuh orang tua menjadi 3 yakni : otoriter, permisif, dan demokratis.

(4)

13 1. Pola asuh otoriter

Ciri-ciri dari pola asuh otoriter adalah anak harus menaati segala peraturan yang diberikan oleh orangtua. Sehingga hal ini anak tidak dapat mengontrol apa yang dilakukan orangtua, karena dalam hal ini, anak seolah-olah menjadi robot, anak menjadi kurang inisiatif, merasa tidak percaya diri, pencemas, tidak percaya diri, minder dan merasa rendah diri dalam pergaulan. Tetapi disisi lain, anak bisa memberontak, nakal, atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya dengan narkoba. Dari segi positifnya, anak yang dididik dalam pola asuh ini, cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Sedangkan Menurut Baumrind (Desmita, 2012), terdapat tiga tipe pola asuh yang dikaitkan dengan aspek- aspek yang berbeda dalam tingkah laku anak, yaitu:

a. Pola asuh otoritatif adalah pola asuh yang menunjukkan pengawasan intensif dari orangtua terhadap tingkah laku anak, tetapi dalam hal pengawasan yang intensif ini orangtua tetap bersikap menghargai, menghormati pemikiran dan perasaan anak serta memberikan kesempatan anak untuk menyampaikan pendapat ketika adanya sebuah keputusan yang didiskusikan.

b. Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah dari orang tua.

c. Pola asuh permisif (permissive parenting). Pola asuh permisif dibedakan dalam dua bentuk, yaitu:

1) Pola asuh permissive-indulgent yaitu suatu bentuk pola asuh dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak, tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali atas mereka.

(5)

14

2) Pola asuh permissive-different yaitu suatu gaya pengasuhan dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak

2. Pola asuh permisif

Ciri-ciri dari pola asuh permissive adalah segala peraturan dan ketetapan keluarga berada di tangan anak. Dalam konsep pola asuh ini, anak cenderung diberikan kebebasan dalam bertindak dan melalukan sebuah hal yang diinginkan, apa yang diinginkan anak selalu dituruti orangtua. Dari sisi negative pola asuh ini adalah anak menjadi kurang disiplin jika anak tidak dapat menggunakan kebebasan yang diberika orangtua dengan penuh tanggungjawab. Jika anak mampu memanfaatkan kebebasan tersebut dengan baik, maka anak akan tercipta pribadi yang mandiri, kreatif dan mampu menunjukkan potensinya lebih baik.

3. Pola asuh demokratis

Ciri-ciri pola asuh demokratis adalah orangtua dan anak saling memiliki kedudukan yang sejajar, dimana sebuah keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Orangtua memberikan kebebasan yang bertanggung jawab pada anak, artinya pengawasan akan tetap diberikan oleh orangtua melalui segala sikap dan perbuatan yang dilakukan anak. Sehingga apa yang dilakukan anak dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Akibat negatif dari bentuk pola asuh ini, anak akan cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, jika segala sesuatu harus dipertimbangkan antara anak-anak dan orang tua.

Sedangkan akibat positif dari pola asuh ini, anak akan menjadi seorang

(6)

15

individu yang mempercayai orang lain, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya, tidak munafik, dan jujur.

C. Konsep Musyrifah

Musyrif atau pendamping masuk tenaga pendidik, seperti halnya menurut UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 6 tentang sistem Pendidikan nasional, bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan tingkat kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dapat disimpulkan bahwa musyrif adalah pendamping/pembimbing. Menurut Zubaedi (2012) Pendamping dalam ruang lingkup asrama atau atau pondok pesantren yang memiliki peran yang bertugas membimbing., mendampingi, mengontrol, dan mengawasi para santri. Musyrif dalam pelaksanaannya tugasnya, diberikan amanah dan ditunjuk langsung dari pimpinan/kiai pondok pesantren. Dalam pemberian amanah tersebut, pimpinan/kiai memberikan standar khusus dalam memilih seorang pendamping/musyrif di antaranya :

1. Senioritas dari para santri

2. Penguasaan bidang ilmu tertentu dan

3. Mengedepankan keikhlasan dalam pengabdian.

Menurut Nizar (2013) dalam setiap aktivitas sehari-harinya, antara musyrif santri memerlukan suatu hubungan yang baik, Prof. Dr Syamsul Nizar memberikan beberapa pendapat di antaranya :

1. Antara musyrif, dan santri memiliki hubungan akrab, di mana musyrif sangat memperhatikan segala aktivitas santri

(7)

16

2. Musyrif dituntut untuk dapat memberikan contoh/teladan yang baik terhadap santri baik dari perilaku ibadah maupun budi pekerti, 3. Memiliki tingkat kolektivitas yang kuat. Hal ini dapat dilihat dari segi

ibadah dan pekerjaan lainnya

4. Memiliki pola disiplin yang diterapkan. Hal ini dapat dilihat dari pola pembiasaan santri bangun tepat waktu, shalat berjamaah, tadarus bersama dan kegiatan belajar

5. Memiliki kesabaran dalam mengatasi segala kesulitan dan permasalahan santri.

D. Konsep Kemandirian

1. Pengertian Kemandirian

Istilah kemandirian berasal dari kata dasar diri yang mendapatkan awalan ke dana khiranan yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar diri, pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai konsep perkembangan dari anak itu sendiri.

Menurut Chaplin (2002), konsep yang disebut dengan kemandirian atau sebutan yang berdekatan dengan kemandirian adalah otonomi. Yang disebut dengan otonomi disini adalah :

“The ability to govern and regulate one‟s own thoughts, feelings, and actions freely and responssibility while evercoming feelings of shame and doubt”.

Menurut Desmita (2012) menyebutkan bahwa kemandirian adalah kemampuan dalam mengatur dan mengendalikan pikiran, perasaan, tindakannya dan dirinya sendiri secara bebas untuk mengatasi perasaan- perasaan malu dan keragu-raguan. Dalam menjelaskan atau menjabarkan

(8)

17

kemandirian serta proses perkembangannya, terdapat beberapa sudut pandang yang dikemukaan oleh para ahli. Menurut Durkheim (Sunaryo, 1988) berpendirian bahwa kemandirian adalah elemen esensial ketiga dari moralitas yang bersumber pada kehidupan masyarakat. Selain pendirian tersebut, Durkheim juga berpendapat bahwa kemandirian tumbuh dan berkembang karena dua faktor yang menjadi prasyarat bagi kemandirian, yaitu:

a. Disiplin, yaitu adanya aturan bertindak dengan penguasaan penuh yang mampu dilakukan, dan

b. Adanya komitmen terhadap kelompok.

Menurut Ali dan Asrori (2002) mendefinisikan perkembangan kemandirian adalah proses yang menyangkut unsur-unsur penilaian, yang mengandung makna bahwa kemandirian adalah proses yang terarah karena sejalan dengan eksistensi manusia, dimana arah perkembangan tersebut harus sejalan dengan berlandaskantujuan hidup manusia. Berbeda menurut Erikson, yang dimaksud dengan kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada orangtua ataupun dari orang lain. Dalam hal ini memberikan maksud untuk menemukan dirinya sendiri melalui proses pencarian identitas ego diri sendiri serta penentuan nasib sendiri dengan usaha yang kreatif dalam mengantur tingkah laku dengan penuh tanggungjawab dan menahan diri dari ketergantungan kepada orang lain. Sedangkan menurut Desmita (2012), dengan adanya perilaku atau sikap kemandirian tersebut, seorang anak atau siswa dapat

(9)

18

bertanggungjawab dengan dirinya sendiri. Berikut konsep kesimpulan kemandirian dikelompokkan dalam beberapa poin :

a. Suatu keadaan atau kondisi dimana seseorang memiliki keinginan untuk bersaing maju demi kebaikan dirinya sendiri

b. Seseorang mampu mengambil keputusan dengan penuh inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi

c. Seseorang memiliki kepercayaan diri dalam melaksanakan tugas- tugasnya

d. Serta seseorang mampu bertanggungjawab dengan apa yang dilakukannya

Dalam beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan kemandirian adalah kemampuan yang penuh dengan tanggungjawab dalam dalam tindakannya yang matang, dewasa serta adanya potensi yang dapat dilihat secara menyeluruh.

2. Tipologi Kemandirian

Menurut Havighurst (1972) membedakan kemandirian dalam beberapa bentuk yaitu :

a. Kemandirian emosional, adalah kemampuan dalam mengelola emosinya sendiri dan tidak bergantung pada kebutuhan emosi dari orang lain

b. Kemandirian ekonomi, adalah kemampuan dalam mengatur ekonominya sendiri dan tidak bergantungnya kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.

(10)

19

c. Kemandirian inteletual, adalah kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Baik masalah dalam dirinya ataupun masalah dalam lingkungannya

d. Kemandirian social, adalah kemampuan dalam memulai interaksi dengan orang lain serta tidak bergantungnya terhadap aksi orang lain

Berbeda dengan pendapat dari Steiberg, tipologi kemandirian dikelompokkan dalam tiga bentuk yaitu :

a. Kemandirian emosional (emotional autonomy), yakni aspek kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu, sepertihalnya hubungan emosional seorang siswa dengan guru ataupun orangtuanya.

b. Kemandirian tingkah laku (behavioral autonomy), yakni sebuah kemampuan yang penuh dengan tanggungjawab dalam membuat keputusan-keputusan tanpabergantung dengan orang lain

c. Kemandirian nilai (value autonomy), yakni sebuah kemampuan dalam memaknai kehidupan baik penilaian yang baik ataupun yang buruk. Sehingga dalam hal ini seseorang mampu membedakan manakah yang baik dan penting untuk dilakukan dan manakah aspek yang buruk dan tidak penting untuk tidak dilakukan.

(11)

20 3. Ciri-ciri Kemandirian

Menurut Desmita (2007) mengklasifikasikan kemandirian dengan mengambil dari beberapa gambaran ahli pakar aspek kemandirian yaitu:

a. Tanggung jawab, berarti memiliki tugas untuk menyelesaikan sesuatu dan diminta pertanggung-jawaban atas hasil kerjanya.

b. Independensi, adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak tergantung kepada otoritas dan tidak membutuhkan arahan.

Independensi juga mencakup ide adanya kemampuan mengurus diri sendiri dan menyelesaikan masalah diri sendiri.

c. Otonomi dan kebebasan untuk menentukan keputusan sendiri, yaitu kemampuan menentukan arah sendiri (self- determination) yang berarti mampu mengendalikan atau mempengaruhi apa yang akan terjadi kepada dirinya sendiri.

d. Keterampilan memecahkan masalah, dengan dukungan dan arahan yang memadai, individu akan terdorong untuk mencapai jalan keluar bagi persoalan-persoalan praktis relasional mereka sendiri.

e. Mampu berpikir berbuat untuk dirinya sendiri, dengan aktif dan penuh kreatif serta berkompeten dan tidak bergantung pada orang lain dalam melakukan sesuatu.

f. Memiliki kepercayaan terhadap penilaian sendiri, sehinga tidak banyak bertanya ataupun terlalu sering meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

(12)

21

g. Memiliki kecenderungan kemampuan dalam mengatasi masalah, sehingga selalu berusaha mencari cara untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi

h. Memiliki keyakinan terhadap dirinya dan tidak merasakan ketakutan dalam mengambil resiko dengan mempertimbangkan baik buruknya ketika menentukan pilihan dan keputusan

i. Memiliki kontrol diri yang kuat dan lebih baik dalam menyikapi hidupnya sehingga ia mampu mengendalikan tindakan, mengatasi masalah dan mampu mempengaruhi lingkungan atas usahanya sendiri

E. Konsep Santri

Menurut Majid (1997) menyatakan latar belakang kata santri terdapat dua pendapat yang dijadikan sebagai rujukan. Yaitu yang pertama, santri berasal dari kata atau bahasa sang sekerta yang artinya adalah melek huruf.

Sedangkan pendapat yang kedua adalah, santri berasal dari bahasa jawa yaitu cantrik yang artinya seorang murid yang mengikuti kemanapun gurunya pergi ataupun menetap dengan maksud agar mendapat ilmu pengetahuan serta belajar dari gurunya. Dalam dunia pesantren, santri dikelompokkan dalam dua aspek yaitu :

1. Santri Mukim

Santri mukim adalah seorang santri yang menimba ilmu dan bertempat tinggal dalam lingkungan pesantren, biasanya mereka akan tinggal dalam satu lingkungan yang berbentuk ruang-ruang atau kamar-kamar.

2. Santri Kalong

(13)

22

Santri kalong adalah santri yang tinggal di luar lingkungan pesantren.

Santri kalong disini adalah santri yang bertempat tinggal di rumah sendiri maupun di rumah-rumah masyarakat di sekitar pesantren, ketika di lingkup pesantren terdapat sebuah pengajian atau terdapat pembelajaran lain-lainnya. Maka santri ini datang ke pesantren untuk mengikuti waktu-waktu adanya pembelajaran, sehingga dalam hal ini santri pulang-pergi dari rumah untuk menimba ilmu (Suismanto, 2004) Dalam hal ini santri dan siswa dibedakan terhadap jumlah waktu dalam proses ppembelajaran. Jika santri maka proses pembelajaran terdapat di pesantren dan selama 24 jam. Sedangkan siswa proses pembelajaran hanya ketika di sekolah selebihnya siswa di rumah bersama orang tua. Dalam penyebutan kepada guru atau pengajar juga terdapat perbedaan, dimana seorang santri akan memanggil guru atau pengajarnya dengan panggilan ustadz, ustadza, kyai ataupun nyai. Sedangkan siswa memanggil pengajarnya dengan sebutan Bu Guru atau Pak Guru.

F. Konsep Boarding School

1. Pengertian Boarding School

Menurut Zamarkasih (1994) ada beberapa definisi tentang Boarding School diantaranya adalah Pendidikan Pondok pesantren atau Pendidikan

kepesantrenan (Boarding School) adalah sebutan bagi sebuah Lembaga yang di dalamnya terjadi kegiatan pendidikan yang melibatkan peserta didik dan para pendidiknya bisa berinteraksi dalam waktu 24 jam setiap harinya.

(14)

23

Menurut Kholidah (2011) Pendidikan kepesantrenan (Boarding School) lebih dikenal di Indonesia dengan nama pondok pesantren. Boarding school merupakan kata dalam bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata

yaitu Boarding dan School, Boarding berarti menumpang dan School berarti sekolah, kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi sekolah berasrama. Asrama adalah rumah pemondokan untuk para peserta didik, pegawai dan sebagainya, sedang berasrama yaitu tinggal bersama- sama di dalam suatu bangunan atau komplek.

Menurut Maksudin (2010) Boarding School adalah lembaga pendidikan dimana para siswa tidak hanya belajar, tetapi mereka bertempat tinggal dan hidup menyatu di lembaga tersebut. Boarding School mengkombinasikan tempat tinggal para siswa di institusi sekolah

yang jauh dari rumah dan keluarga mereka dengan diajarkan agama serta pembelajaran beberapa mata pelajaran. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Sistem Boarding School adalah himpunan komponen yang saling berkaitan dalam suatu lembaga yang di dalamnya tidak hanya memberikan pengajaran, akan tetapi menyatukan antara tempat tinggal dengan sekolah.

Menurut Hendriyanti (2014) Boarding School dapat diartikan sebagai sekolah yang menyediakan asrama untuk tempat tinggal sekaligus tempat mendidik siswa-siswanya selama kurun waktu tertentu. Suatu sekolah yang memiliki manajemen sekolah berasrama biasanya mewajibkan kepada siswa-siswanya untuk tinggal dan dididik di asrama sesuai dengan waktu yang ditentukan. Boarding School yang diterapkan tentu memiliki

(15)

24

nilai plus dan minusnya atau keunggulan dan kekurangannya. Juga terdapat beberapa problematika yang harus dicarikan solusi atau jalan keluarnya.

Menurut Maksudin (2013) Pendidikan pada umumnya dapat menerima tujuan sistem Boarding School, melalui sistem itu sekolah berupaya memperkenalkan misinya secara tegas, yaitu tidak hanya mendidik siswa didalam kelas, tetapi juga membantu mereka menjadi individual yang berorientasi secara lebih baik. Pada umumnya, sekolah dengan sistem itu, melakukan pendidikan bidang akademik lebih baik dan dengan cara yang lebih baik pula daripada pendidikan bidang akademik yang diselengarakan di sekolah-sekolah pada umumnya.

2. Faktor-faktor Pendukung Berkembangnya Boarding School Latar belakang adanya sebuah konsep Boarding School adalah suatu resiko yang cukup logis dengan seiring perubahan lingkungan social dan kondisi ekonomi serta pola berfikir tingakt religiusitas masyarakat. Dalam hal ini beberapa factor pendukung berkembangnya Boarding School dijelaskan sebagai berikut :

a. Lingkungan sosial yang kini telah banyak berubah, hal ini terutama terjadi di kota-kota besar. Dimana sebagian besar penduduk yang tidak tinggal dalam suasana masyarakat yang kekeluargaan atau homogeny atau kebiasaan lama yang bertempat tinggal berdasarkan marga keluarga atau kerukunan dengan masyarakat, kini bergeser pada lingkungan masyarakat yang heterogen atau banyaknya dunia persaingan dengan beberapa kelompok sosial. Sehingga dalam hal

(16)

25

ini mendorong adanya keinginan orangtua agar anak mampu mendapatkan sebuah nilai-nilai kehidupan yang baik untuk perkembangan anak di era selanjutnya. Terutama berhubungan dengan lingkungan sosial yang terjadi saat ini.

b. Keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik seiring berjalannya waktu dan semakin meningkatnya penghasilan masyarakat dalam bekerja. Sehingga dalam hal ini adanya keinginan untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan seperti kesehatan dan pendidikan yang baik. Hal ini terutama untuk penghasilan ekonomi menengah ke atas yang baru-baru ini muncul dikarenakan tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi. Sehingga hal ini mendorong orangtua untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak dengan melebihi pendidikan yang pernah diterima oleh orangtuanya.

c. Cara pandang religiusitas masyarakat dengan seiring berkembangnya pengaruh lingkungan. Dimana hal ini memberikan sebuah gambaran bahwa adanya kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan ke arah yang leih religious. Beberapa ciri atau indikatornya terlihat dari semangat dan semaraknya kajian dan berbagai kegiatan religius di perkotaan. Sehingga dalam hal ini orangtua menginginkan agar anaknya mampu mendapatkan sebuah pendidikan atau kebutuhan berupa jasmani dan ruhani. Dan adanya sebuah pesantren atau asrama yang dengan beberapa fasilitas yang baik untuk anak-anak mampu menjadikan anak semangat dalam belajar agama ataupun pendidikan berbasis akademik.

(17)

26

3. Keunggulan Sistem Boarding School

Menurut Subhan (2006) banyak petualangan dalam sekolah berasrama karena waktu yang panjang berada dalam lembaga pendidikan memungkinkan siswa untuk dapat mengekspresikan apa yang diinginkannya di sekolah. Ada beberapa keunggulan Boarding School jika dibandingkan dengan sekolah regular yaitu:

a. Program Pendidikan Paripurna

Umumnya sekolah-sekolah regular terkonsentrasi pada kegiatan- kegiatan akademis sehingga banyak aspek kehidupan anak yang tidak tersentuh. Hal ini terjadi karena keterbatasan waktu yang ada dalam pengelolaan program pendidikan pada sekolah regular.

Sebaliknya, sekolah berasrama dapat merancang program pendidikan yang komprehensif-holistic dari program pendidikan keagamaan, academic development, life skill (soft skill dan hard skill) sampai membangun wawasan global. Bahkan pembelajaran tidak hanya sampai pada tataran teoritis, tapi juga implementasi baik dalam konteks belajar ilmu ataupun belajar hidup.

b. Fasilitas yang Lengkap

Sekolah berasrama mempunyai fasilitas yang lengkap; mulai dari fasilitas sekolah yaitu kelas belajar yang baik (AC, 24 siswa, smart board, mini library, camera), laboratorium, klinik, sarana olah raga semua cabang olah raga, Perpustakaan, kebun dan taman hijau.

Sementara di asrama fasilitasnya adalah kamar (telepon, TV, AC, Pengering Rambut, tempat handuk, karpet diseluruh ruangan, tempat

(18)

27

cuci tangan, lemari kamar mandi, gantungan pakaian dan lemari cuci, area belajar pribadi, lemari es, detector kebakaran, jam dinding, lampu meja, cermin besar, rak-rak yang luas, pintu darurat dengan pintu otomatis. Sedangkan fasilitas dapur terdiri dari: meja dan kursi yang besar, perlengkapan makan dan pecah belah yang lengkap, microwape, lemari es, ketel otomatis, pembuat roti sandwich, dua toaster listrik, tempat sampah, perlengkapan masak memasak lengkap, dan kursi yang nyaman.

c. Guru yang Berkualitas

Sekolah-sekolah berasrama umumnya menentukan persyaratan kualitas guru yang lebih jika dibandingkan dengan sekolah konvensional. Kecerdasan intellectual, social, spiritual, dan kemampuan paedagogis metodologis serta adanya ruh mudarris pada setiap guru di sekolah berasrama. Ditambah lagi kemampuan bahasa asing: Inggris, Arab, Mandarin, dan lain-lain. Sampai saat ini dalam penilaian saya sekolah-sekolah berasrama(Boarding School) belum mampu mengintegrasikan guru sekolah dengan guru asrama. Masih terdapat dua kutub yang sangat ekstrim antara kegiatan pendidikan dengan kegiatan pengasuhan. Pendidikan dilakukan oleh guru sekolah dan pengasuhan dilakukan oleh guru asrama.

d. Lingkungan yang Kondusif

Dalam sekolah berasrama semua elemen yang ada dalam komplek sekolah terlibat dalam proses pendidikan. Aktornya tidak hanya guru atau bisa dibalik gurunya bukan hanya guru mata pelajaran, tapi

(19)

28

semua orang dewasa yang ada di Boarding School adalah guru.

Siswa tidak bisa lagi diajarkan bahasa-bahasa langit, tapi siswa melihat langsung praktek kehidupan dalam berbagai aspek. Guru tidak hanya dilihatnya di dalam kelas, tapi juga kehidupan kesehariannya. Sehingga ketika kita mengajarkan tertib bahasa asing misalnya maka semuanya dari mulai tukang sapu sampai principal berbahasa asing. Begitu juga dalam membangun religius society, maka semua elemen yang terlibat mengimplementasikan agama secara baik.

e. Siswa yang heterogen

Sekolah berasrama mampu menampung siswa dari berbagai latar belakang yang tingkat heteroginitasnya tinggi. Siswa berasal dari berbagai daerah yang mempunyai latar belakang sosial, budaya, tingkat kecerdasan, kempuan akademik yang sangat beragam.

Kondisi ini sangat kondusif untuk membangun wawasan nasional dan siswa terbiasa berinteraksi dengan teman-temannya yang berbeda sehingga sangat baik bagi anak untuk melatih wisdom anak dan menghargai pluralitas.

f. Jaminan Keamanan

Sekolah berasrama berupaya secara total untuk menjaga keamanan siswa-siswinya. Makanya, banyak sekolah asrama yang mengadop pola pendidikan militer untuk menjaga keamanan siswa-siswinya.

Tata tertib dibuat sangat rigid lengkap dengan sangsi-sangsi bagi pelanggarnya. Daftar “dosa” dilist sedemikan rupa dari dosa kecil,

(20)

29

sedang sampai dosa yang berat. Jaminan keamanan diberikan pihak sekolah berasrama mulai dari jaminan kesehatan (tidak terkena penyakit menular), tidak narkoba, terhindari dari pergaulan bebas, jaminan keamanan melalui aspek fisik (tawuran dan pembullyan) serta jaminan pengaruh kejahatan dari dunia maya.

g. Jaminan yang berkualitas

Sekolah dengan konsep berasrama, kelengkapan fasilitas yang dimiliki sekolah, lingkungan yang kondusif dan terkontrol serta adanya guru yang berkualitas. Sehingga dalam hal ini akan memberikan dampak kepada anak seiring berkembangnya kuliatas pendidikan yang diterima anak. Dimana selama 24 jam anak bersama guru dan Pembina selama di pesantren. Dengan beberapa fasilitas yang diterima seorang peserta didik ataupun siswa sekolah berasrama diharapkan mampu mengembangkan potensi minat bakat seorang siswa untuk mencapai tingkat prestasi yang diharapkan dari seorang guru, orangtua, Pembina di asrama ataupun dari seorang siswa itu sendiri.

4. Karakteristik Sistem Boarding School

Menurut Rofiq (2003) beberapa kolaborasi atau bentuk kerjasama Pendidikan Formal dan Boarding School dirancang dengan paradigma, konsep dan system pendidikan yang berorientasi pada pembentukan empat karakteristik unggulan yaitu :

a. Islami, dengan keseluruhan karakteristiknya sebagai agam yang bersumber pada Allah Pencipta Alam Semesta, universal, intergral,

(21)

30

seimbang, permanen dan fleksibel serta penuh relistik dan manusiawi.

b. Terpadu, baik dalam system pembelajaran maupun kurikulumnya.

Keterpaduan atau integrase ini diperlukan untuk menghilangkan oposisi atau polaritas antara Islam dan kehidupan, kepentingan akhirat dan dunia, termasuk dalam pemahaman dan penghargaan kemampuan peserta didik melaui aspek kecerdasan.

c. Unggul, dengan bekal yang kompetensi, kemampuan atau skill dan keterampilan hidup dalam bersaing untuk menyikapi tantangn kehidupan di masa yang akan datang.

d. Internasional, dengan kompetensi dan wawasan ataupun pengetahuan internasional sebagai bentuk antisipasi memasuki dunia persaingan global khususnya dalam meraih peluang pendidikan untuk melanjutkan di Universitas Internasional baik sebagai seorang muslim, da’I ataupun seorang professional dan professor untuk pemimpin di masa depan.

5. Tujuan Pendidikan Boarding School

Menurut Faturrohman dan Sulistyorini (2012) menyatakan Boarding School yang juga disebut dengan sekolah berasrama atau pondok pesantren

memiliki beberapa tujuan pendidikan yaitu :

a. Pencetakan generasi muda yang religius atau Islami, dimana anak ataupun santri tidak hanya mendapatkan pelajaran agama yang memadai, melainkan dilengkapi dengan pelajaran umum.

(22)

31

b. Proses pembentukan kedisiplinan santri, dimana konsep Boarding School ini terdapat peraturan tertulis yang mengatur segala aktivitas

santri dari bangun tidur sampai tidur kembali. Dan semua peraturan yang dibuat harus dipatuhi oleh seluruh santri, serta adanya sebuah konsekuensi atau sanksi bagi yang tidak patuh dengan peraturan yang dibuat oleh pihak pesantren atau pengurus pesantren.

c. Serta pembentukan generasi yang memiliki akhlak baik atau berakhlaqul karimah. Dimana seorang siswa atau santri diharapkan tidak hanya cerdas dalam intelektualnya, namun memiliki ketanggapan sikap bertindak untuk menyelesaikan resiko kebijakan yang dihadapi.

Jadi dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Boarding School adalah sebuah sekolah berasrama. Dimana peserta didik, santri, guru atau ustadz, karyawan dan staff sebagai tenaga kependidikan serta stakeholder atau pengelola sekolah bertempat tinggal dalam lingkungan pendidikan yang sama yaitu dalam sebuah pesantren. Dalam konsep pembelajaran Boarding School ini anak atau peserta didik mendapatkan pendidikan regular atau

akademik dari pagi sampai menjelang sore. Dan untuk pagi dari setelah subuh sampai pukul enam pagi serta sore hari, peserta didik mendapatkan pendidikan keagamaan. Sedangkan untuk malam hari peserta didik mendapatkan pendidikan berupa pembentukan karakter seorang anak dengan segala peraturan aktivitas yang telah dibentuk atau dibuat oleh pihak pesantren. Sehingga dalam kurun waktu 24 jam peserta didik dibawah kontrol dan pengawasan dri guru atau Pembina di pesantren.

(23)

32

Dalam hal pengontrolan dari guru ini peran Pembina di pesantren sangat berpengaruh dengan seiring perkembangan santri, baik dari segi intelektual, spiritual dan akhlaq seorang santri ataupun peserta didik agar terciptanya nilai-nilai moral yang baik.

Referensi

Dokumen terkait

Kesenian yang dimiliki Kabupaten Gunungkidul bermacam – macam jenis kesenian yang ada di Gunungkidul khususnya di desa Kemadang masih banyak dari tabel dibawah merupakan

kelompok dan bukan individunya. Alasan penulis menggunakan kelas VIII C sebagai kelompok eksperiment dan kelas VIII B sebagai kelompok kontrol didasarkan pada

2. Menyelenggarakan penyertaan pendidikan kejuruan telekomunikasi tingkat menengah dan penyediaan tenaga kerja terampil tingkat menengah bidang

Tujuan yang ingin dicapai pada praktikum Perkembangan Sel Betina adala Tujuan yang ingin dicapai pada praktikum Perkembangan Sel Betina adala untuk memlelajari perkembangan katak

Dari proses produksi dapat dikatakan usaha kecil memiliki proses yang sederhana dan menggunakan tenaga kerja dengan tingkat akademisi tidak terlalu tinggi sehingga

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta kesempatan dan kesehatan hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi

DOSEN PEMBIMBING MAGANG : EKO RIAL NUGROHO, S.H., M.H ASISTEN DOSEN : DAVIED IBEN JAUHARI, S.H., M.H..

34 Tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara Untuk Kebutuhan Dalam Negeri..  Pencegahan eksploitasi berlebihan di bidang pertambangan yang dapat