• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Aset berharga dalam organisasi ialah Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, karena sangat berguna bagi pengendalian perusahaan menghadapi perubahan zaman (Fadhilah, 2014). Dalam menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tentunya pendidikan mempunyai peran yang besar dalam hal tersebut. Pendidikan diselenggarakan menjadi usaha dalam mewujudkan salah satu cita-cita nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa (Zuriyani, 2018). Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1 ).

Perubahan lingkungan yang kompetitif dan kompleks membuat sistem pendidikan harus melakukan reorganisasi agar dapat menghadapinya (Miller, 2002).

Apabila suatu bangsa dapat menciptakan pendidikan yang baik, maka negara dapat berharap masyarakatnya berkontribusi terhadap segala pembangunan yang ada.

Terdapat beberapa fasilitas pendidikan yang disediakan oleh pemerintah untuk mendukung program pendidikan dilaksanakan di Indonesia, salah satunya ialah

(2)

sekolah. Sekolah merupakan lembaga yang didesain untuk pengajaran siswa/murid yang diawasi oleh guru. Sekolah sebagai lembaga dapat bersifat formal, nonformal, dan informal. Tujuan pendidikan di sekolah dapat mencapai keberhasilan tergantung pada sumber daya manusia yang berada di sekolah, seperti kepala sekolah, guru, siswa, dan tenaga pendidikan lainnya. Diantara sumber daya manusia yang terdapat di sekolah tersebut, eksistensi peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor penting dan mempunyai peran sentral dalam menentukan hasil pendidikan. Terkait dengan peran sentral guru dengan tugasnya sebagai pengajar ataupun pendidik untuk menyalurkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik (Sidi, 2001). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Berdasarkan laman statistik yang didapati pada laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, jumlah guru di Indonesial pada tahun ajaran 2019/2020 mencapai 2.698.103 orang, sedangkan jumlah peserta didik mencapai 45.534.371 orang. Sesuai data yang ada dapat disimpulkan bahwa jumlah guru hanya sekitar 6 persen dari total peserta didik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) ataupun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Berdasarkan Data Pokok Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2021), total guru di Provinsi Kepulauan Riau semester 2020/2021 mencapai 27.771 orang, sedangkan untuk Kota Tanjungpinang sendiri mencapai 2.992

(3)

orang, khususnya terdapat 1.240 orang guru Sekolah Dasar (SD).

Berdasarkan data di atas, perbandingan guru dan siswa sangat jauh. Sebagai pendidik profesional guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani serta rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Seorang guru profesional dituntut untuk memiliki sejumlah persyaratan, antara lain memiliki kualifikasi pendidikan profesi, memiliki kompetensi keilmuan, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja tinggi, komitmen terhadap profesinya, melakukan pengembangan diri secara terus-menerus dan berkontribusi dalam mewujudkan tujuan sekolah (Suriyani, 2018).

Guru juga harus memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan yang sesuai, memiliki kompetensi yang diperlukan dan memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan (Suparman, 2017). Guru adalah pihak yang memiliki interaksi paling intensif dengan peserta didik, sehingga perannya banyak memberikan dampak terhadap cara berpikir, bersikap, dan berperilaku peserta didik. Guru juga memiliki peran lain dalam pengelolaan secara internal dan eksternal organisasi sekolah.

Pentingnya peran guru tersebut menyebabkan guru memiliki tanggung jawab besar dalam usahanya mewujudkan tujuan organisasi sekolah, peran penting tersebut terkait dengan eksistensi guru sebagai salah satu faktor yang ikut menentukan tinggi rendahnya mutu pendidikan.

Guru memiliki tugas yang harus dijalankan, yaitu sebagai pengajar dan

(4)

pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri. Selain itu terdapat kegiatan lain yang harus dijalankan misalnya menjadi anggota panitia kegiatan sekolah, menjalankan tugas sebagai ’ibu’ disekolah bagi siswa, menghadapi masalah kenakalan anak-anak dan lain sebagainya. Seringkali pekerjaan harus dilakukan diluar jam kerja, yang berarti pula bahwa pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang kompleks. Hal tersebut cukup membuktikan bahwa guru mempunyai peran yang sangat besar, Perilaku ekstra peran tersebut dikenal dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) (Rahmi, 2013).

Harmalina (2019) dalam penelitiannya membuktikan bahwa guru PNS kurang memiliki kesediaan untuk melakukan pekerjaan yang bersifat extra-role atau diluar dari kewajiban tugas. Fitriana, Yusuf, dan Anggraini (2020) pada penelitiannya menyatakan bahwa tidak adanya perbedaan Organizational Citizenship Behavior pada guru PNS maupun guru honorer sekolah dasar. Fiftyana dan Sawitri (2018) juga pada penelitiannya pada guru SD ditemukan OCB guru yang belum optimal dimana masih ada guru yang belum terlibat aktif dalam kegiatan sekolah, kurang memahami etika pembelajaran, belum mempunyai inisiatif dan ide untuk mengembangkan potensinya (masih menunggu perintah dari kepala sekolah), guru juga tidak memanfaatkan waktu secara efektif dan sering mengeluh dengan keterbatasan sarana prasarana yang kurang di sekolah, hal ini menunjukkan bahwa guru PNS memiliki OCB yang rendah. Hal tersebut tidak sejalan dengan apa yang seharusnya terjadi. Menurut survei yang

(5)

dilakukan oleh Regiawan (2016) ditemukan fakta yang menunjukkan bahwa kualitas guru masih tergolong rendah. Pertama, guru tidak berinisiatif untuk menggantikan guru lain yang berhalangan hadir sehingga kelas tidak ada aktivitas belajar mengajar dan beberapa siswa memilih untuk pulang sebelum waktunya. Kedua, ada beberapa guru yang kurang menghormati setiap kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan sekolah.

Ketiga, adanya guru yang cuek terhadap rekan kerjanya dalam memberikan nasehat atau masukan yang membangun, karena menganggap mereka sudah dewasa dan sudah bukan waktunya lagi untuk mendapat nasehat dari rekan sekerjanya.

Dinamisme dunia kerja juga membuat perusahaan mengutamakan individu yang mampu bekerja secara fleksibel dan mampu bekerja dalam tim, maka dari itu diperlukan individu yang memiliki perilaku yang mampu meringankan pekerjaan anggota tim lain, berminat melakukan pekerjaan lebih, menghindari konflik dengan rekan kerja, mematuhi peraturan, dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap gangguan yang mungkin terjadi dalam lokasi kerja (Robbins & Judge, 2008). Pendapat tersebut sejalan dengan jenis perilaku yang diartikan sebagai Organizational Citizenship Behavior (OCB) yang dijelaskan oleh Organ (2006) sebagai perilaku sukarela yang ditunjukkan karyawan yang dapat dilihat dalam bentuk: Membantu satu sama lain dalam pekerjaan yang relevan dalam organisasi; menciptakan hasil kerja yang lebih tinggi dari yang diminta perusahaan; mampu bertoleransi terhadap gangguan yang terjadi di tempat kerja; menjaga diri dari terjadinya masalah yang dapat terjadi di tempat kerja; dan turut ikut serta dalam menjaga kelangsungan hidup perusahaan.

(6)

Organ (2006) mengatakan bahwa perilaku OCB dapat dilihat melalui 5 dimensi berikut : berinisiatif membantu individu lain dalam tim (Altruism), mengajukan diri dengan sukarela untuk melakukan kerja ekstra (Counscientiousness), memberi toleransi dan tidak mengeluh dalam menghadapi permasalahan (Sportmanship), menghindari konflik yang tidak perlu dengan rekan kerja (Courtesy), dan memiliki kepedulian terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam organisasi (Civic Virtue).

Peneliti melakukan wawancara pada hari Sabtu, 9 April 2022, sampai hari Kamis 15 April 2022 pada lima orang guru SD di Kota Tanjungpinang. Berdasarkan hasil wawancara tersebut diperoleh hasil bahwa guru SD memiliki evaluasi yang berbeda-beda disetiap dimensinya. Pada dimensi siap menolong (Altruism), 4 dari 5 guru merasa keberatan untuk membantu guru lain khususnya saat rekan kerja berhalangan untuk hadir, maka guru tampak keberatan untuk menggantikannya dengan keterangan bahwa masing-masing guru telah mendapatkan jatah kelas dan mata pelajarannya masing-masing, selain itu guru akan fokus pada siswa kelasnya sendiri sehingga jika ada siswa dari kelas lain yang meminta bantuan akan dialihkan kepada guru kelasnya masing-masing. Pada dimensi berbudi baik (Courtesy), 5 guru tersebut mengakui bahwa masih sering datang terlambat ke sekolah terlebih saat mempunyai urusan lain diwaktu bekerja maka guru kerap kali akan datang terlambat atau pulang cepat. Pada dimensi rasa keanggotaan (Civic Virtue), 3 dari 5 guru mengaku enggan untuk menjadi panitia dalam kegiatan atau acara yang diselenggarakan sekolah, juga guru mengaku pasif dalam menyampaikan ide-ide terkait pengembangan sekolah, dan

(7)

juga mereka enggan untuk mengikuti pelatihan dengan keinginan sendiri melainkan menunggu ditugaskan oleh atasan saja. Pada dimensi toleransi (Sportsmanship), 4 dari 5 guru mengaku jika terjadi pertikaian antar guru, guru mengaku bahwa jika mereka tidak bersangkutan dan akan membiarkan hal tersebut akan selesai dengan sendirinya.

Lalu pada dimensi Hati Nurani (Conscientiousness), guru mengaku bahwa mereka enggan untuk lembur, guru hanya hanya mau mengajar sesuai dengan jam yang telah ditentukan dan akan bersedia melakukan tambahan jika terdapat permintaan dari pihak sekolah.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut maka dapat disimpulkan bahwa guru SD yang menjadi subjek wawancara ini memiliki OCB yang rendah, seharusnya sebagai seorang guru harusnya bersedia memberikan yang terbaik bagi para siswanya dengan tujuan untuk menciptakannya sumber daya manusia yang cerdas dan berkualitas di masa mendatang. Dalam dunia kerja yang dinamis seperti saat ini, di mana tugas semakin sering dikerjakan dalam tim dan fleksibilitas sangatlah penting, organisasi membutuhkan karyawan yang memperlihatkan perilaku OCB, seperti membantu individu lain dalam tim, mengajukan diri untuk melakukan pekerjaan ekstra, menghindari konflik yang tidak perlu, menghormati semangat dan isi peraturan, serta dengan besar hati mentoleransi kerugian dan gangguan terkait pekerjaan yang kadang terjadi. Akan tetapi, saat ini masih ditemukan hal-hal yang tidak mencerminkan perilaku OCB sebagaimana yang digambarkan di atas.

Menurut Wirawan (2014), faktor-faktor yang mempengaruhi OCB diantaranya antara lain kepribadian, budaya organisasi, iklim organisasi, kepuasan kerja, komitmen

(8)

organisasi, kepemimpinan transformasional & servant leadership, tanggung jawab sosial pegawai, umur pegawai, keterlibatan kerja, kolektivisme serta keadilan organisasi. OCB merupakan perilaku output yang terlahir karena pengaruh banyak faktor sebagaimana yang disebutkan diatas, dimana salah satu faktornya dijelaskan oleh Patnaik dan Biswas (2005), seorang karyawan akan mulai menunjukkan perilaku OCB ketika telah menganggap dirinya sendiri sebagai bagian daripada organisasi, dan atas sebab itu menganggap keuntungan yang datang pada organisasinya sebagai keuntungan yang juga datang bagi dirinya sendiri. Pernyataan tersebut selaras dengan penjelasan Bass dan Riggio (2006) yang menjelaskan perilaku karyawan yang terekspos pada Transformational Leadership (Kepemimpinan Transformasional):

Karyawan tersebut akan termotivasi dan berkomitmen untuk mengejar kepentingan organisasinya.

Dalam hal untuk mewujudkan tujuan perusahaan, maka dibutuhkan seseorang yang mampu untuk mengarahkan semua sumber daya manusia yang ada dalam perusahaan yang disebut dengan pemimpin. Seorang pemimpin yang baik juga mampu memperhatikan dan mempengaruhi perilaku orang lain terutama bawahannya untuk dapat bekerja sesuai dengan peraturan yang ada di dalam perusahaan tersebut (Aisyah, 2014). Disini pemimpin berperan merumuskan atau membuat strategi atau visi, misi dan tujuan perusahaan, ini menunjukkan bahwa pentingnya peran dari seorang pemimpin. Dapat dikatakan sukses atau tidaknya sebuah perusahaan dalam mencapai tujuannya dapat dilihat dari kualitas seorang pemimpin, seorang pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang mampu meningkatkan semangat kerja karyawan dan

(9)

menanamkan rasa percaya diri serta tanggung jawab pada bawahannya untuk melaksanakan tugas-tugas penuh guna mencapai produktivitas perusahaan (Ismail, 2011).

Efektifitas kepemimpinan yang dilakukan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan organisasi. Dalam konteks Organization citizenship behavior (OCB), kepemimpinan transformasional akan mendorong tumbuhnya perilaku saling menolong dan membantu secara sukarela diantara karyawan di luar kewajiban pribadinya. Hal ini terjadi karena dalam kepemimpinan transformasional, pemimpin selalu mendorong bawahannya untuk bertindak melebihi kepentingan pribadinya (Jahangir, 2004). Bawahan didorong untuk bekerja secara tim, dan saling menghargai, dan menolong karyawan yang lainnya baik yang berhubungan dengan tanggung jawabnya maupun pekerjaan yang bukan menjadi tanggung jawabnya.

Sementara Podsakoff (2000) menuliskan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki manfaat dalam meningkatkan efektivitas organisasi melalui komitmen kolektif individual dan OCB. Menurut Dvir (2002), kepemimpinan transformasional juga mengedepankan pengembangan potensi dan kemampuan pengikutnya, dalam konteks perusahaan adalah karyawan-karyawan, untuk mencapai bahkan melampaui tujuan organisasi. Hal ini sejalan dengan salah satu faktor yang mempengaruhi OCB, yaitu Conscientiousness. Dan berbasis dari pendapat tersebut, bisa dilihat jika faktor Transformational Leadership berpotensi menjadi stimulus bagi karyawan untuk memunculkan perilaku OCB.

Gaya kepemimpinan transformasional merupakan gaya kepemimpinan yang

(10)

diterapkan dengan cara yang dapat menginspirasi bawahannya dalam mencapai hasil yang luar biasa. Organ & Ryan (2006) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh signifikan terhadap perilaku extra-role.

Perilaku pegawai dapat lebih ditingkatkan karena mencapai hasil yang lebih besar daripada yang direncanakan sebelumnya. Setiap individu akan merasa termotivasi dan lebih giat dalam bekerja, sehingga dalam bekerja mereka tidak hanya bekerja pada apa yang menjadi tugas pokoknya saja (in-role) tetapi diharapkan juga mampu menyelesaikan pekerjaan secara berkelompok (extra-role) sehingga jalinan kerjasama tim semakin kuat dan dapat bekerja secara optimal untuk memajukan organisasi atau perusahaan. Hal ini juga didukung oleh pendapat Yukl (2009) yang menyatakan bahwa dengan kepemimpinan transformasional, para pengikut merasakan kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan penghormatan terhadap pemimpin, serta mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang diharapkan dari mereka.

Menurut Zabihi dan Hashemzehi (2012) organizational citizenship behavior dapat mengikat para pemimpin dan karyawan secara tidak langsung, sehingga dapat membangun sikap dan perilaku sesuai dengan visi, misi dan strategi perusahaan.

Pemimpin dapat menetapkan mekanisme untuk mempertahankan, mengembangkan atau mengubah organizational citizenship behavior yang ada. Mekanisme organizational citizenship behavior yang diajarkan oleh seorang pemimpin kemudian akan diadaptasi oleh para pengikutnya melalui proses sosialisasi. Proses sosialisasi untuk mengirimkan visi dan misi dari seorang pemimpin ke organisasi melalui organizational citizenship behavior memerlukan kepemimpinan yang tepat, sehingga

(11)

dapat meningkatkan perilaku kewarganegaraan organisasi yang kuat. Jika karyawan telah mendapatkan pemimpin yang tepat, hal tersebut akan kembali ke diri karyawan yang harusnya mempunyai pandangan positif atau negatif akan pekerjaannya. Hal tersebut sejalan dengan salah satu faktor OCB yang lainnya yaitu Subjective Well- Being.

Jex dan Britt (2008) menjelaskan bahwa tujuan perusahaan akan lebih mudah tercapai jika dilandasi oleh OCB yang dimiliki karyawan. Kemunculan OCB disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu seberapa sering karyawan merasakan afek positif atau istilah psikologisnya yaitu tingkat Subjective Well-Being (SWB). Kemauan untuk membantu orang lain dan melakukan hal positif lainnya didorong oleh afek positif yang dirasakan oleh masing-masing individu.

Hasil penelitian dari Ramadhani, Ancok, dan Andrianson (2017) menemukan bahwa organizational citizenship behavior dipengaruhi secara signifikan oleh faktor afektif, baik afek positif maupun afek negatif. Sedangkan hasil penelitian dari Liqwiyanti dan Jangkung (2016) juga menemukan bahwa kepuasan hidup memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan organizational citizenship behavior.

Kepuasan hidup, afek negatif dan afek positif merupakan aspek subjective well-being (SWB) menurut Diener, Lucas, dan Oishi (2002). Sehingga dapat disimpulkan bahwa subjective well-being memiliki korelasi terhadap organizational citizenship behavior.

Subjective Well-being (SWB) adalah kebahagiaan yang mengacu pada kepuasan hidup dan keseimbangan afeksi (Linley & Joseph, 2004). Myers dan Diener (2004), juga menjelaskan bahwa afeksi merupakan penunjukkan adanya

(12)

afek positif yang lebih besar dari pada afek negatif. Lucas (dalam Eid & Larsen, 2008), menyatakan bahwa SWB merupakan domain menyeluruh yang merupakan sekumpulan sikap yang berhubungan dengan evaluasi subjektif individu terhadap kualitas hidupnya. Evaluasi tersebut meliputi reaksi emosional terhadap peristiwa serta penilaian kepuasan kognitif dan pemenuhan. Hal tersebut didukung oleh pendapat Diener (2009), bahwa SWB adalah proses penilaian individu terhadap hidupnya, meliputi penilaian secara kognitif dan secara afektif yang merupakan salah satu prediktor kualitas hidup individu. Individu dikatakan mempunyai SWB yang tinggi apabila mereka lebih banyak merasakan emosi yang menyenangkan daripada emosi yang tidak menyenangkan, ketika terlibat dalam kegiatan yang menarik, ketika mengalami banyak rasa senang dan sedikit rasa sakit, dan ketika telah merasa puas akan kehidupan mereka (Diener, 2009)

Secara sederhana definisi dari subjective well-being adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman hidupnya yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afeksi terhadap hidup dan mempresentasikan dalam kesejahteraan psikologis (Mujamiasih, 2013).

Subjective well-being adalah situasi yang mengacu pada kenyataan bahwa individu secara subyektif percaya bahwa kehidupannya adalah sesuatu yang diinginkan, menyenangkan dan baik (Diener, 2000). Karyawan dengan subjective well-being yang tinggi akan merasa sejahtera karena dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga ia akan dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik.

Diener (2009),menyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi SWB, yaitu:kepuasan subjektif, pendapatan, faktor demografis yang terdiri dari: usia,

(13)

pekerjaan, pendidikan, keyakinan, pernikahan dan keluarga, kepribadian. Kemajuan sebuah perusahaan dipengaruhi oleh kinerja karyawannya. Karyawan yang memiliki Subjective well-being (SWB) yang tinggi akan memberikan kontribusi bagi orang lain dan organisasi, perilakunya akan diperkuat karena saat melakukan kebaikan ia akan merasalebih baik dan senang (Jex & Britt, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Arianti (2010), dijelaskan bahwa individu dengan SWB yang tinggi maka akan memunculkan kontribusi yang lebih dari karyawan bagi organisasi sehingga senantiasa mengembangkan perilaku positif yaitu OCB.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa karyawan yang bahagia akan lebih peka terhadap lingkungan sekitar tempat kerjanya sehingga karyawan akan memiliki inisiatif dalam membantu perusahaan (Rao, 2010). Spector (2008), menjelaskan karyawan yang lebih puas memiliki tingkat ketidak hadiran yang rendah, tepat waktu, suka menolong orang karyawan lain. Tingginya emosi positif yang dirasakan di lingkungan kerja diasosiasikan berhubungan dengan OCB yang lebih tinggi (Diener, 2009).

Berdasarkan uraian diatas, maka apakah terdapat hubungan antara transformational leadership dengan organizational citizenship behavior pada guru Sekolah Dasar (SD) di Kota Tanjungpinang ? apakah terdapat hubungan antara subjective well being dengan organizational citizenship behavior pada guru Sekolah Dasar (SD) di Kota Tanjungpinang ?

B. Tujuan Penelitian

(14)

1. Untuk mengetahui hubungan antara transformational leadership dengan organizational citizenship behavior pada guru SD di Kota Tanjungpinang

2. Untuk mengetahui hubungan antara subjective well being dengan organizational citizenship behavior pada guru SD di Kota Tanjungpinang

(15)

C. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran dan pengaplikasian ilmu di bidang psikologi khususnya dibidang industry dan organisasi serta sebagai wacana baru mengenai transformational leadership (gaya kepemimpinan transformasional) dan subjective well being (kesejahteraan subjektif) yang dikaitkan dengan organizational citizenship behavior (OCB)

b. Manfaat Praktis

Secara paktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna dalam bidang industry bagi pihak perusahaan atau organisasi, baik pimpinan maupun karyawan terutama tentang transformational leadership dan subjective well being yang sejatinya mampu mempengaruhi sikap loyalitas karyawan untuk organisasi atau organizational citizenship behavior (OCB) sehingga para pemimpin dalam organisasi dapat menentukan sikap yang tepat agar para karyawan merasa nyaman dan mampu melaksanakan pekerjaannya dengan penuh tanggungjawab serta berdedikasi tinggi terhadap organisasi sehingga tercapainya tujuan organisasi/ perusahaan.

Referensi

Dokumen terkait

Pemikiran Abu Hanifah dalam akad salam yang berbeda dengan Imam lainnya adalah empat syarat yang diwajibkan oleh Abu Hanifah guna melindungi pelaku ekonomi dari segala

Praktik jual beli makanan ringan yang tidak mencantumkan tanggal kadalursa ini masih ada penjual yang belum memenihu hak-hak konsumen dalam pasal 4 nomor 8

suasana komunikasi yang hangat/ kekeluargaan. Berbeda dengan kelompok KUBe Sapta Mekar, kelompok PKM Ternak Kambing belum dapat menye- lenggarakan pertemuan rutin secara berkala. Para

(4) Pengangkatan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan apabila dewan direksi yang bersangkutan terbukti mampu meningkatkan kinerja Lembaga Penyiaran

Pernyataan dari LUP sendiri dengan adanya ketentuan tersebut tidak membuat orang lain atau yang tidak mempunyai dasar tersebut lantas tidak bisa masuk ke kesenian

Singh dan Bhalodiya (2004) di India meneliti pemeriksaan kultur jamur yang berasal dari sinus paranasal pada 251 penderita rinosinusitis maksila kronis didapatkan 201 sampel kultur

Serangan Hama Ulat Pitama Hermesalis pada Tanaman Penghasil Gaharu di Kandangan Kalimantan Selatan (Prosiding Seminar Hasil Hutan Bukan Kayu Balai Penelitian Kehutanan Mataram,

radias iasi i gel gelomb ombang ang ele elektr ktroma omagnet gnetik ik yan yang g dapa dapat t did didete eteksi ksi mat mata a man manusi usia. Difraksi cahaya