5 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Inflasi
Menurut Sukirno (2012) inflasi adalah ketika terjadinya kenaikkan harga barang yang berlaku di perekonomian. Inflasi dapat terjadi ketika tiga sektor : (1) ekspor-impor, (2) tabungan dan investasi, serta (3) penerimaan dan pengeluaran tidak seimbang. Penyebab inflasi dapat dikategorikan menjadi dua yaitu pemerintah dan swasta. Inflasi akan timbul pada sektor pemerintah jika pengeluaran pemerintah lebih besar daripada penerimaannya, sedangkan pada swasta, inflasi akan muncul bila bank mengeluarkan kredit yang besar untuk memenuhi pinjaman swasta untuk investasi maupun non investasi (Bank Indonesia, 2007). Dalam teori ekonomi makro jenis inflasi ada dua yaitu : (1) demand pull inflation dan (2) cost push inflation.
Demand pull inflation adalah inflasi yang terjadi karena meningkatnya permintaan agregat (barang dan jasa) sedangkan supply relatif tetap. Menurut Totonchi (2011), ketika nilai permintaan agregat melebihi nilai penawaran agregat pada titik full employment, maka inflasi muncul. Semakin besar kesenjangan antara permintaan agregat dan penawaran agregat, semakin cepat pula inflasi.
Cost push inflation terjadi karena adanya kenaikan biaya produksi suatu barang sehingga industri menaikkan harga-harga barang yang dijual. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi inflasi ini yaitu : (1) biaya seperti upah, (2) produktivitas rendah, (3) kebijakan fiskal yang keliru, dan (4) kenaikan inflasi impor. Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan inflasi tersebut terjadi karena adanya peningkatan tingkat kegiatan ekonomi dalam masyarakat (Hussain & Malik, 2011).
Secara umum cara menghitung inflasi ada dua acara yaitu dengan melihat Indeks Harga Konsumen dan GDP Deflator. Menurut Badan Pusat Statistik (2019) cara menghitung IHK adalah dengan rumus sebagai berikut :
𝐼𝐻𝐾 ∶𝑃𝑛
𝑃𝑜× 100 Keterangan :
Pn : harga saat ini Po : harga tahun dasar
Dengan perhitungan di atas maka akan terlihat besar inflasi secara indeks harga konsumen artinya ketika harga barang-barang bahan pokok saat ini lebih besar dibanding tahun
6 sebelumnya maka dapat dikatakan terjadi inflasi. Sedangkan untuk mengetahui laju IHK dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
𝐼𝑛 ∶
∑ 𝑃 𝑛𝑖
𝑃 (𝑛 − 1)𝑖
𝑘𝑖=1 𝑃(𝑛 − 1)𝑖 . 𝑄 𝑜, 1
∑𝑘𝑖=1𝑃 𝑜, 𝑖 . 𝑄 𝑜, 𝑖 × 100
Di mana :
In = Indeks periode ke-n
𝑃𝑛𝑖 = Harga barang ke-i pada periode ke-n P(n-1)i = Harga jenis barang ke-i periode ke-(n-1)
Pn,,iQi = Nilai konsumsi jenis barang ke-i pada periode ke-n P(n-1),iQi = Nilai konsumsi jenis barang ke-i pada periode ke-(n-1) K = Jumlah jenis barang paket komoditi.
IHK Indonesia tersebut disusun berdasarkan indeks bulanan sehingga inflasi bulanan didefinisikan sebagai perbandingan IHK pada bulan periode tertentu dengan IHK bulan sebelumnya (Suseno & Aisyah, 2009).
Lalu untuk menghitung inflasi dengan cara melihat GDP Deflator dapat digunakan rumus sebagai berikut (Mankiw, 2016) :
𝐺𝐷𝑃 𝐷𝑒𝑓𝑙𝑎𝑡𝑜𝑟 ∶ 𝐺𝐷𝑃 𝑛𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑙
𝐺𝐷𝑃 𝑅𝑖𝑖𝑙 × 100
di mana nilai GDP nominal merupakan nilai harga pasar yang berlaku pada saat itu dibandingkan dengan nilai harga konstan, maka akan terlihat nilai inflasi (GDP deflator) nya.
Selanjutnya untuk mengetahui besaran inflasi dengan melihat IHK, dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 ∶ 𝐼𝐻𝐾𝑡 − 𝐼𝐻𝐾(𝑡 − 1)
𝐼𝐻𝐾(𝑡 − 1) × 100 di mana :
IHK t = Indeks Harga Konsumen pada tahun sekarang IHK (t-1) = Indek Harga Konsumen pada tahun sebelumnya
Perhitungan inflasi dengan metode di atas merupakan perhitungan yang biasanya dilakukan secara umum untuk mengetahui besaran inflasi pada tahun sekarang (Mankiw, 2016).
7 2.2 Pertumbuhan Ekonomi
Pada dasarnya pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari adanya kenaikkan jumlah kapasitas produksi yang berujung pada adanya kenaikkan pendapatan suatu negara. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai perubahan output nasional dari tahun ke tahun mengalami peningkatan atau penurunan (Ma’ruf & Wihastuti, 2008). Menurut Todaro & Smith (2015) pertumbuhan ekonomi bergantung pada tiga faktor penentu utama yaitu : (1) total modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan sumber daya manusia, (2) pertumbuhan penduduk dan jumlah angkatan kerja serta (3) kemajuan teknologi.
Menurut Mankiw (2016), Produk Domestik Bruto adalah jumlah nilai total produk barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam waktu satu tahun tanpa membedakan kewarganegaraan. GDP dapat mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi dari waktu ke waktu.
GDP yang dihitung dengan harga konstan dapat menggambarkan keseluruhan produksi barang dan jasa di suatu negara pada periode tertentu, dengan perhitungan pada tahun dasar akan mengurangi biaya input menengah dan dihitung juga dalam harga yang konstan (World Bank, 2017). Pertumbuhan ekonomi erat hubungannya dengan produktivitas. Suatu negara dapat dikatakan mengalami perkembangan ekonomi jika masyarakatnya produktif. Menurut teori pertumbuhan ekonomi oleh Robert Solow, pertumbuhan total faktor produktivitas dipengaruhi oleh input dan kemajuan teknologi dengan model sebagai berikut :
Y = A.F(K,L)
Y adalah pendapatan, K adalah modal fisik, L adalah tenaga kerja, dan A merupakan teknologi.
Y akan meningkat ketika input (K atau L, atau keduanya) meningkat. Penyebab kenaikkan modal fisik adalah investasi. Y juga akan meningkat jika terjadi perkembangan dalam kemajuan teknologi yang ditunjukkan dari kenaikan A (Siregar & Wahyuni, 2007).
Perhitungan PDB secara umum dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, secara nominal maupun riil. PDB nominal digunakan untuk mengukur nilai output pada tahun itu dengan harga yang berlaku pada tahun tersebut (Santoso, 2017). Perhitungan PDB nominal dapat dilakukan dengan rumus yang sederhana, sebagai berikut :
𝑃𝐷𝐵 𝑛𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑙 ∶ 𝑃 × 𝑄 Dimana :
P = Harga pada tahun tersebut Q = Jumlah output yang dihasilkan
Sedangkan secara riil perhitungan PDB dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
8 𝑃𝐷𝐵 𝑟𝑖𝑖𝑙 ∶ 𝑁𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑙 𝐺𝐷𝑃
𝐺𝐷𝑃 𝐷𝑒𝑓𝑙𝑎𝑡𝑜𝑟 × 100
Perhitungan PDB nominal lebih cenderung kepada nilai PDB tanpa memperhatikan pengaruh harga. Sedangkan PDB riil lebih mengoreksi angka PDB nominal dengan memasukkan pengaruh dari harga (Wayan & Akbar, 2016).
Baeti (2013) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi menggambarkan adanya kenaikan produktivitas perekonomian suatu daerah. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi menunjukkan semakin berkembangnya produktivitas ekonomi daerah tersebut, Secara umum perhitungan untuk mengukur laju pertumbuhan ekonomi dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
𝐺 ∶𝑃𝐷𝐵𝑡 − 𝑃𝐷𝐵(𝑡 − 1)
𝑃𝐷𝐵(𝑡 − 1) × 100 Dimana :
G = Pertumbuhan ekonomi.
PDBt = Produk domestik bruto (PDB) tahun sekarang.
PDBt-1 = Produk domestik bruto (PDB) tahun sebelumnya.
2.3 Hubungan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Keterkaitan antara inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi memang sudah menjadi pembahasan yang menarik sejak dulu. Keduanya mempunyai hubungan yang tidak bisa dipisahkan dalam perekonomian suatu negara. Hal ini dibuktikan dari beberapa teori-teori yang menjelaskan hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai berikut :
2.3.1 Teori Keynes
Menurut teori ini, dalam jangka pendek, kurva (AS) miring ke atas dan bukan vertikal.
Jika kurva AS vertikal, perubahan pada sisi permintaan ekonomi akan mempengaruhi harga.
Namun, jika miring ke atas, perubahan dalam AD mempengaruhi harga dan output (Dornbusch 2011). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa banyak faktor yang mendorong laju inflasi dan tingkat output dalam jangka pendek. Hal tersebut akan menyebabkan perubahan dalam angkatan kerja, harga faktor produksi, dan kebijakan fiskal moneter.
2.3.2 Teori Moneter (Moneterism Theory)
Teori moneter diperkenalkan oleh Milton Friedman, Teori ini juga berhubungan dengan teori kuantitas uang dan netralitas uang. Teori kuantitas uang merupakan dasar dari terbentuknya teori moneter ini. Beberapa prinsipnya yaitu: dalam jangka panjang peningkatan stok uang akan berpengaruh pada peningkatan tingkat harga umum, dan tidak berpengaruh
9 pada konsumsi. Lalu dalam jangka pendek peningkatan stok uang memiliki pengaruh sementara pada PDB dan lapangan kerja (Jahan & Papageorgiou, 2014). Teori kuantitas uang terkenal karena persamaan sebagai berikut :
M × V = P × T Dimana :
M = uang
V = kecepatan uang beredar P = harga
T = jumlah barang
Persamaan tersebut menjelaskan ketika jumlah uang beredar semakin cepat, maka tingkat harga akan mengalami kenaikan. Sedangkan netralitas uang akan terjadi jika variabel riil tidak berpengaruh terhadap jumlah uang beredar atau dengan kata lain jumlah uang beredar hanya berpengaruh pada variabel nominal (Gokal & Hanif, 2004). Monetarism berpendapat bahwa inflasi adalah produk dari peningkatan penawaran atau perputaran uang pada tingkat yang lebih besar daripada tingkat pertumbuhan ekonomi (Totonchi, 2011).
Teori ini pada intinya berbicara bahwa pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh perubahan jumlah uang yang beredar. Menurut teori ini inflasi akan meningkat dengan cepat apabila pertumbuhan jumlah uang beredar lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan nasional. Peningkatan jumlah uang beredar yang lebih cepat ini akan menyebabkan inflasi (Sattarov, 2011).
2.3.3 Teori Mundell dan Tobin
Teori ini menjelaskan hubungan inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi yang didasari oleh teori pertumbuhan neoklasik. Mundell berpendapat bahwa terjadinya inflasi akan menyebabkan naiknya tingkat bunga sehingga membuat investasi lebih disukai daripada konsumsi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan modal yang akan mengarah pada pertumbuhan ekonomi (Mundell dalam Bittencourt, 2012). Teori ini juga memprediksi hubungan positif antara tingkat inflasi dengan tingkat akumulasi modal yang nantinya akan berpengaruh positif pada tingkat pertumbuhan ekonomi ( Risso & Carrera, 2009).
2.4 Penelitian Terdahulu
Sims (1972) hasil penelitiannya menemukan bahwa ada hubungan kausalitas satu arah dari uang terhadap pendapatan dengan metode Sims. Hasil penelitian Ahmed (2005) di Bangladesh dengan rentang waktu 1981-2005 menggunakan metode ko-integrasi dan error correction model menunjukkan hasil jika inflasi terjadi di atas 6 persen maka pertumbuhan ekonomi akan melemah dan terjadi hubungan jangka panjang satu arah secara negatif dari
10 inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Beberapa tahun berikutnya temuan Erbaykal &
Okuyan (2008) di Turki periode 1987-2006 dengan pendekatan Toda-Yamamoto menemukan tidak adanya hubungan kausalitas satu arah dari pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi, melainkan ada hubungan kausalitas satu arah dari inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Di Nigeria, Omoke (2010) penelitiannya menggunakan rentang waktu 1970-2005 dengan metode vector auto regression menemukan bahwa ada hubungan satu arah jangka pendek dari inflasi ke pertumbuhan ekonomi. Hasil tersebut juga serupa dengan penemuan Datta & Kumar (2011) di Malaysia pada rentang waktu 1971-2007 dengan menggunakan metode vector auto regression yang menyatakan adanya hubungan jangka pendek satu arah dari inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Tetapi dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi inflasi. Hubungan kausalitas satu arah positif dari inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi dengan metode error correction model juga ditemukan oleh Hussain & Malik (2011) di Pakistan dengan periode waktu 1960-2006.
Penelitian yang dilakukan oleh Mamo (2012) di 13 negara Sub Sahara Africa (SSA) rentang waktu 1969-2009 dengan menggunakan metode panel granger causality test menyebutkan bahwa inflasi memiliki hubungan satu arah, berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada tahun yang sama penelitian Bittencourt (2012) di 4 negara Amerika Latin periode 1970-2007 dengan menggunakan data panel menyimpulkan inflasi memberikan dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi di Amerika Latin.
Hasil temuan Barro (2013) pada 100 negara dari tahun 1960-1990 menggunakan metode regresi, menemukan adanya hubungan satu arah secara negatif dari inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Di Tanzania, Kasidi dan Mwakanemela (2013) dengan rentang waktu 1990-2011 menggunakan metode analisis regresi menemukan bahwa setiap kenaikkan inflasi sebesar 1 persen maka akan terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 18,3 persen, dan dalam jangka pendek terdapat hubungan satu arah dari inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi tidak ada hubungan jangka panjang antara keduanya.
Lubis (2014) di Indonesia periode waktu 1968-2012 menggunakan metode Granger menemukan adanya korelasi negatif antara inflasi dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3 persen. Terjadi hubungan kausalitas satu arah dari Produk Domestik Bruto terhadap Indeks Harga Konsumen. Sebaliknya, hubungan kausalitas satu arah dari Indeks Harga Konsumen terhadap Produk Domestik Bruto tidak terjadi di Indonesia dalam tahun 1968-2012.
Penelitan Azifah (2014) di Bahrain pada periode 1981-2013 dengan uji kausalitas Granger menemukan ternyata tidak adanya hubungan kausalitas dua arah dalam satu waktu, Tetapi dalam jangka panjang inflasi mempunyai pengaruh secara tidak langsung terhadap
11 pertumbuhan ekonomi. Huruta (2017) di Indonesia dengan rentang waktu 1965-2013 dengan metode Granger juga menemukan hasil di mana tidak adanya hubungan kausalitas antara inflasi dengan pertumbuhan ekonomi.
2.5 Model Penelitian
Inflasi GDP