Avicenna marinna
SKRIPSI
Oleh :
SIDHARTA RENDRA RIYADI
NPM : 0633010007
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JATIM
SURABAYA
Alhamdulillahirobbil alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan
semesta alam yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya selama
pelaksanaan penyusunan skripsi dengan judul “ Pengurangan Kadar Sianida dan
Tannin Dalam Proses Pembuatan Tepung Mangrove Avicenna Marinna ” hingga
terselesaikannya pembuatan laporan skripsi ini. Skripsi ini merupakan tugas akhir
sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan.
Kemudahan dan kelancaran pelaksanaan skripsi serta penyusunan laporan
ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk itu pada
kesempatan ini dengan penuh rasa hormat dan rendah hati, penulis ingin
menyampaikan rasa terimakasih kepada :
1. Bapak Ir. Sutiyono, MT selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UPN
“Veteran” Jatim.
2. Ibu Ir. Sudaryati HP, MP selaku Ketua Jurusan Teknologi Pangan UPN
“Veteran” Jatim.
3. Ibu Ir. Ulya Sarofah , MM.,selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak
memberikan pengarahan dan bimbingan serta memberikan saran dalam
penulisan skripsi ini.
4. Ibu Dra. Jariyah, MP selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
memberikan pengarahan dan bimbingan serta memberikan saran dalam
penulisan skripsi ini.
pengarahan dan bimbingan serta memberikan saran dalam penulisan skripsi
ini.
6. Seluruh Dosen dan Staf di Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi
Industri UPN “Veteran” Jatim.
7. Keluargaku Tercinta Abib ku dan Mama ku, Leonard ku, dan seluruh keluarga
atas segala dorongan, kesabaran, dukungan material dan spiritual yang
diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
8. Buat teman-teman seperjuangan mas. Nanda, mas. Okik, bu. Patokah, bu.
Yatno, pak sonny , pak. Sandi, (specialy thank’s to atika who becoming my
inspiration), dan angkatan 2006, 2005, 2004,2007, terimakasih atas semangat
yang diberikan selama ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa di
Jurusan Teknologi Pangan pada khususnya dan bagi pihak-pihak yang
memerlukan pada umumnya. Skripsi ini masihlah jauh dari sempurna serta banyak
kekurangannya, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat obyektif dan membangun guna kesempurnaan skripsi ini.
Penulis
Halaman
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 4
C. Manfaat Peneltian ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Api-api (Avicenna Marinna) ... 5
B. Penepungan Biji-bijian ... 6
C. Absorbsi ………. 8
C. Komponen racun biji-bijian ... 9
a. Enzim Lipoksigenase ………...9
b. Sianida ……….11
c. Senyawa Alkaloid ………12
d. Tannin ……….17
e. Soda abu (abu dapur/abu sekam padi) ……….18
f. Blancing ………...21
g. Proses pembuatan tepung mangrove Avicenna marinna …….22
D. Analisis Keputusan ... 29
E. Analisa Finansial ... 29
F. Landasan Teori ... 33
G. Hipotesa………36
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31
D. Metode Penelitian ... 32
E. Peubah tetap yang digunakan ... 35
F. Parameter yang diamati ………... 35
G. Prosedur Penelitian……….. 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik biji mangrove Avicenna Marinna ... 39
B. Hasil pengamatan bahan baku terhadap sianida dan tannin selama proses perendaman dan blancing ... 40
C. Hasil pengamatan terhadap tepung mangrove Avicenna Marinna.43 1. Kadar Air ... 43
2. Kadar Sianida ... 45
3. Kadar Tannin ... 47
D. Kadar Pati ………... 50
E. Rendemen ……… ... 51
F. Derajat Putih ... 54
G. Hasil pengamatan terhadap uji organoleptik tepung mangrove Avicenna Marinna ... 56
H. Analisa keputusan………..60
J. Analisis Finansial………61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 66
B. Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Halaman Tabel 1. Nilai kandungan mineral abu sekam padi ... 20 Tabel 2. Perbandingan karakteristik kimia biji mangrove Avicenna, sp dengan
burguera, sp... 39
Tabel 3. Perbandingan penurunan sianida pada mangrove Avicenna marinna selama proses perendaman dan blancing ... 40 Tabel 4. Perbandingan penurunan tannin pada mangrove Avicenna marinna
selama proses perendaman dan blancing ... 42 Tabel 5. Nilai rata-rata penurunan kadar air tepung mangrove Avicenna Marinna
dari perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman ... 43 Tabel 6. Nilai rata-rata penurunan sianida tepung mangrove Avicenna Marinna
dari perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman ... 45 Tabel 7. Nilai rata-rata penurunan tannin tepung mangrove Avicenna Marinna
dari perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman ... 48
Tabel 8. Nilai rata-rata kadar pati tepung mangrove Avicenna Marinna dari perlakuan konsentrasi abu sekam ... 50
Tabel 9. Nilai rata-rata kadar pati tepung mangrove Avicenna Marinna dari perlakuan lama pemeraman... 51
Tabel 10. Nilai rata-rata rendemen tepung mangrove Avicenna Marinna dari perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama
pemeraman...………….. 52
Tabel 11. Nilai rata-rata derajat putih tepung mangrove Avicenna Marinna dari perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman...54
Tabel 12. Nilai rata-rata uji organoleptik aroma tepung mangrove Avicenna
Marinna dari perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama
pemeraman...………... 56
Tabel 14. Hasil analisis keseluruhan pada produk tepung mangrove Avicenna
marinna………...……….……. 61
vii
Halaman
Gambar 1. Avicenna, sp………... 6
Gambar 2. Struktur senyawa dioskorin... 14
Gambar 3. Struktur senyawa dioscein………... 16
Gambar 4. Sttruktur senyawa diosgenin ... 16
Gambar 5. Struktur Tannin... 17
Gambar 6. Struktur kimia abu dapur... 21
Gambar 7. Diagram alir proses pembuatan tepung mangrove Avicenna, sp………... 38
Gambar 8. Hubungan antara proses perlakuan konsentrasi abu sekam dengan pemeraman terhadap penurunan kadar air pada tepung mangrove Avicenna marinna………... 44
Gambar 9. Hubungan antara proses perlakuan konsentrasi abu sekam dengan pemeraman terhadap penurunan kadar sianida pada tepung mangrove Avicenna marinna... 46
Gambar 10. Hubungan antara proses perlakuan konsentrasi abu sekam dengan pemeraman terhadap penurunan kadar tannin pada tepung mangrove Avicenna marinna...………. 49
Gambar 11. Hubungan antara proses perlakuan konsentrasi abu sekam dengan pemeraman terhadap rendemen pada tepung mangrove Avicenna marinna...……….…. 53
Gambar 12. Hubungan antara proses perlakuan konsentrasi abu sekam dengan pemeraman terhadap derajat putih pada tepung mangrove Avicenna marinna...…. 55
SIDHARTA RENDRA RIYADI NPM: 0633010007
INTISARI
Tanaman mangrove mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi sumber pangan yang potensial, oleh karena adanya racun pada biji dan belum ada penelitian terhadap cara penghilangan atau pengurangan racun dari bahan ini maka perlu dilakukan penelitian yang dapat meningkatkan potensi dari tanaman mangrove tersebut. Diduga racun yang ada adalah tanin dan sianida. Penggunaan abu sekam padi dapat mengikat racun dengan jalan absorbsi. Absorbsi terhadap zat alkaloid dioskorin yang sebagai pre-kursor sianida akan sangat menekan terbentuknya racun sianida dan juga tannin.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola factorial yang terdiri dari 2 faktor dengan 3 kali ulangan, faktor I adalah konsentrasi abu sekam padi (25, 50 dan 75 gr b/b) dan faktor II adalah lama pemeraman abu sekam padi (2,5; 5; dan 7,5 menit)
Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi abu sekam padi 75gr (v/v) dengan lama pemeraman 5 menit menghasilkan tepung mangrove Avicenna
marinna dengan kadar sianida 1,313ppm, kadar tannin 0,133%, kadar pati
A. Latar belakang
Ada beberapa jenis biji mangrove, yang dapat dimakan atau sudah
dikonsumsi oleh masyarakat, termasuk jenis Avicenna, sp. Menurut informasi,
masyarakat pantai Cilincing Jakarta Utara masih ada yang memanfaatkan daun
tumbuhan Avicenna, sp yang masih muda sebagai bahan sayur urap, demikian
pula masyarakat pantai di Jawa Timur (Anonymus, 2009).
Avicennia ( buah berbentuk seperti kacang ), aegiceras ( buah silindris )
dan nypa membentuk tipe buah yang dikenal sebagai kriptovivipari, dimana biji
telah berkecambah tetapi tidak terlindungi oleh kulit buah ( perikarp ) sebelum
lepas dari pohon induk. Zona Avicenna sp, merupakan zona yang letaknya diluar
hutan bakau, memiliki tanah yang berlumpur, lembek dan sedikit mengandung
humus (Badrudin, 1993). Daerah penyebaran hutan mangrove pada batas pantai
yang mengarah ke laut didominasi oleh Avicenna sp, yaitu jenis bakau yang
mempunyai akar gantung (aerial root), selanjutnya pohon bakau merah
Rhyzophora (Hutabarat dan Evans, 1985).
Pada saat ini peningkatan dan pengembangan sumber-sumber pangan
potensial selain beras dan juga gandum perlu diupayakan. Tanaman mangrove
mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi sumber pangan yang potensial.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang dapat meningkatkan nilai
ekonomi dari tanaman mangrove tersebut.
Semakin meningkatnya keanekaragaman hayati, terutama pengolahan
makanan yang dalam hal ini dititik beratkan pada pengolahan tumbuhan
mangrove. Maka perlu dilakukan pengidentifikasian terhadap sifat kimia dan fisik
bahan yaitu dari jenis Avicenna marina. Pada dasarnya pengidentifikasian ini
dilakukan dengan meneliti kandungan dan juga karakteristik dari bahan ini yang
sebelumnya akan dijadikan tepung terlebih dahulu. Hal tersebut dilakukan supaya
dapat digunakan menjadi acuan untuk pengembangan produk olahan yang
berbahan dasar mangrove Avicenna marinna.
Kendala yang dihadapi dalam pembuatan tepung mangrove Avicenna
marinna ini adalah terdapatnya racun yang ada pada biji mangrove Avicenna
marinna tersebebut. Racun yang terdapat pada bahan tersebut dapat menyebabkan
rasa pahit pada bahan dan dapat menyebabkan keracunan seperti pusing, mual dan
muntah. Diduga racun yang ada adalah tanin dan sianida. Selain itu terdapatnya
bau langu yang terdapat pada pembuatan tepung ini disebabkan karena enzim
lipoksigenase yang terdapat pada bahan (Mohson, 2006).
Pengolahan dengan menggunakan perendaman abu gosok atau abu dapur (
soda ash ) adalah salah satu cara yang dapat dilakukan. Karena abu gosok tersebut
dapat menghambat laju oksidasi racun dan menetralkan asam yang bersifat
karsinogenik pada bahan tersebut yang terbukti pada gadung (Pembayun, 2000).
Semakin berkembangnya teknologi pangan, maka salah satu cara dalam
mengatasi kendala tersebut adalah menjadikan biji tanaman mangrove ( Avicenna
marinna ) menjadi tepung. Tepung mangrove ( Avicenna marinna ) sebagai salah
diaplikasikan sebagai bahan substitusi pada pengolahan produk-produk seperti
biskuit, crackers dan produk pangan lainnya sehingga dapat meningkatkan
penganekaragaman pangan.
Pengolahan untuk menghilangkan racun selama ini dilakukan adalah
dengan melakukan beberapa metode seperti pemanasan, perendaman dengan
larutan garam dan penggunaan abu dapur. Pemanasan dengan 30 menit dan
perendaman dalam larutan garam dengan konsentrasi 8% selama 3 hari mampu
menurunkan kadar sianida dengan residu yang terbentuk 10 ppm pada gadung
(Pembayun, 2000). Pemakaian abu khususnya abu sekam dapat menurunkan
sianida pada bahan karena abu sekam mempunyai kemampuan menyerap cairan
sel dalam jaringan bahan keluar dari umbi sehingga mempermudah keluarnya
alkaloid dioskorin pada bahan gadung (Mulyani,1990).
B. Tujuan penelitian
1. Mempelajari penurunan kadar racun pada pengolahan tepung mangrove
Avicenna marinna.
2. Mengetahui karakteristik kimia dan fisik tepung Avicenna marinna.
C. Manfaat penelitian
1. Diharapkan dapat memberikan informasi penurunan kadar racun sianida
dan tannin pada tepung mangrove Avicenna Marinna.
2. Dapat memberikan informasi tingkat kualitas dari tepung mangrove
4 A. Mangrove Api – api (Avicenna, sp)
Hutan mangrove memiliki persyaratan tumbuh yang berbeda dengan
tanah kering. Berdasarkan tempat tumbuhnya hutan mangrove dapat dibedakan
pada empat zone, salah satunya adalah zona Avicenna sp, merupakan zona yang
letaknya diluar hutan bakau, memiliki tanah yang berlumpur, lembek dan sedikit
mengandung humus (Badrudin, 1993). Daerah penyebaran hutan mangrove pada
batas pantai yang mengarah ke laut didominasi oleh Avicenna sp, yaitu jenis
bakau yang mempunyai akar gantung (aerial root), selanjutnya pohon bakau
merah Rhyzophora (Hutabarat dan Evans, 1985). Morfologi buah mangrove terdiri
dari silinder, bola (bulat), kacang-kacangan, bentuk lain (Mohson, 2006).
Hutan mangrove saat ini mengalami perkembangan yang sangat
meningkat. Hal tersebut sangat terbukti dengan di selenggarakan penanaman
seribu pohon yang dititik beratkan untuk tanaman tepi pantai. Peningkatan
ekosistem mangrove yang melimpah akan memberikan peranan penting untuk
peningkatan manfaat penanamanya, baik untuk penangkalan arus laut tetapi juga
untuk peningkatan sumber daya alam untuk pangan manusia (Mohson, 2006).
Potensi mangrove sangat tinggi untuk meningkatkan diversivikasi pangan
untuk masyarakat. Mengingat saat ini banyak sekali potonsi mangrove seperti
Sebagai contoh untuk Burguera, sp yang sudah digunakan untuk bahan pengganti
beras oleh masyarakat pesisir pantai (Murni, 2008).
Mangrove di Indonesia mempunyai keragaman jenis yang tinggi yaitu
mempunyai 89 jenis tumbuhan yang terdiri dari 35 pohon, 5 jenis terna, 9 jenis
perdu, 9 jenis liana, 29 jenis efifit, dan 5 jenis parasit ( Nontji, 1987).
Ada beberapa jenis biji mangrove, yang dapat dimakan atau sudah
dikonsumsi oleh masyarakat, termasuk jenis Avicenna, sp.
Menurut informasi, masyarakat pantai Cilincing Jakarta Utara masih ada
yang memanfaatkan daun tumbuhan Avicenna, sp yang masih muda sebagai bahan
sayur urap, demikian pula masyarakat pantai di Jawa Timur (Anonymus, 2009).
Avicennia ( buah berbentuk seperti kacang ), aegiceras ( buah silindris )
dan nypa membentuk tipe buah yang dikenal sebagai kriptovivipari, dimana biji
telah berkecambah tetapi tidak terlindungi oleh kulit buah ( perikarp ) sebelum
lepas dari pohon induk. Zona Avicenna sp, merupakan zona yang letaknya diluar
hutan bakau, memiliki tanah yang berlumpur, lembek dan sedikit mengandung
humus (Badrudin, 1993). Daerah penyebaran hutan mangrove pada batas pantai
yang mengarah ke laut didominasi oleh Avicenna sp, yaitu jenis bakau yang
mempunyai akar gantung (aerial root), selanjutnya pohon bakau merah
Rhyzophora (Hutabarat dan Evans, 1985).
Pada saat ini peningkatan dan pengembangan sumber-sumber pangan
potensial selain beras dan juga gandum perlu diupayakan. Tanaman mangrove
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang dapat meningkatkan nilai
ekonomi dari tanaman mangrove tersebut.
Jenis tanaman api – api atau Avicenna, sp yang telah dijadikan /
dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan adalah Avicenna marinna dan
Avicenna afficinalis. Jenis tanaman ini tersebar disebagian besar pantai di
Indonesia termasuk mangrove sejati ( pada zona terdepan ) cepat dan mudah
tumbuh serta permulaan alminya sangat cepat, tanaman ini berumur 18-24 bulan
sudah berbuah ( Mohson, 2006 ).
Menurut informasi, masyarakat pantai Cilincing Jakarta Utara masih ada
yang memanfaatkan daun tumbuhan api-api yang masih muda sebagai bahan
sayur urap, demikian pula masyarakat pantai di Jawa Timur (Anonymus, 2009).
Gambar 1: Avicenna sp. ( sumber: Mohson, 2006 )
Bentuk fisik biji Avicenna, sp adalah mempunyai bentuk ujung agak bulat dan
secara keseluruhan biji berbentuk oval.
Buah mangrove jenis lindur (Bruquiera gymnorrhiza) yang secara
tradisional diolah menjadi kue, cake, dicampur dengan nasi atau dimakan
karbohidrat yang cukup tinggi, bahkan melampaui berbagai jenis pangan sumber
karbohidrat yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti beras, jagung singkong
atau sagu. Buah Lindur mempunyai rata-rata panjang 27 cm dengan rata-rata berat
45 g. Hasil analisis kimia buah lindur adalah kadar air 73.756%, kadar lemak
1.246%, protein 1.128%, karbohidrat 23.528% dan kadar abu sebesar 0.342%.
Sedangkan kandungan anti gizinya HCN sebesar 6.8559 mg dan tannin sebesar
34.105 mg. Buah Lindur mempunyai rata-rata panjang 27 cm dengan rata-rata
berat 45 g. Hasil analisis kimia buah lindur adalah kadar air 73.756%, kadar
lemak 1.246%, protein 1.128%, karbohidrat 23.528% dan kadar abu sebesar
0.342%. Sedangkan kandungan anti gizinya HCN sebesar 6.8559 mg dan tannin
sebesar 34.105 mg.
B. Penepungan Biji - bijian
Pengolahan produk setengah jadi merupakan salah satu cara pengawetan
hasil panen, terutama untuk komoditas yang berkadar air tinggi, seperti aneka
umbi dan buah. Keuntungan lain dari pengolahan produk setengah jadi yaitu,
sebagai bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman
dalam distribusi, serta menghemat nuangan dan biaya penyimpanan. Teknologi ini
mencakup teknik pembuatan sawut/chip/granula/grits, teknik pembuatan tepung,
teknik separasi atau ekstraksi, dan pembuatan pati.
Tepung digolongkan menjadi dua, yaitu tepung tunggal adalah tepung
yang dibuat dari satu jenis bahan pangan, misalnya tepung beras, tepung kasava,
tepung ubi jalar dsb, dan tepung komposit yaitu tepung yang dibuat dari dua atau
Pada dasarnya pengolahan tepung adalah mengeringkan seluruh bahan
yang hendak ditepungkan, diayak sehingga diperoleh bubuk. Langkah pertama
yang biasa dilakukan adalah blanching atau pengukusan, tujuanya adalah untuk
inaktivasi enzim, dan melunakan bahan sehingga mudah pada waktu pengecilan
ukuran. Pengecilan ukuran ini tujuanya adalah untuk memperluas permukaan
sehingga mempercepat proses pengeringanya ( Uliyanti, 2010 ).
Dehidrasi akan menurunkan tingkat aktivitas air (water activity / aw)
yaitu jumlah air yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan
dan perkembangbiakannya, berat dan volume pangan. Prinsip utama dari
dehidrasi adalah penurunan kadar air untuk mencegah aktivitas mikroorganisme.
Pada banyak produk, seperti sayuran, terlebih dahulu dilakukan proses pengecilan
ukuran (misalnya diiris) sebelum dikeringkan. Pengecilan ukuran akan
meningkatkan luas permukaan bahan sehingga akan mempercepat proses
pengeluaran air. Sebelum dikeringkan, bahan pangan sebaiknya diblancing untuk
menginaktifkan enzim yang dapat menyebabkan perubahan warna pangan
menjadi coklat (Anonimous, 2006).
Pengeringan dengan cara penjemuran dibawah sinar matahari merupakan
suatu metode pengeringan tertua. Proses penguapan air berjalan lambat, sehingga
pengeringan dengan cara penjemuran hanya dilakukan didaerah yang iklimnya
panas dan kering. Bahan yang dijemur mudah terkontaminasi melalui polusi dan
binatang seperti tikus dan lalat. Metode pengeringan lainnya telah dikembangkan
oleh industri pangan, dan biasanya cocok untuk digunakan pada produk pangan
Tepung mangrove adalah produk olahan mangrove yang terbuat dari biji
mangrove yang telah dikeringkan terlebih dahulu. Sifat fisik tepung mangrove
sangat dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia bahan. Sebagai contoh mangrove
jenis Soneratia, sp yang mempunyai sifat kimia yang mempunyai warna coklat
yaitu tannin tetapi tidak beracun ( Mohson, 2006 ). Sedangkan untuk mangrove
jenis Burguera, sp dan Avicennia, sp mempunyai kandungan racun yang akan
berbahaya jika dikonsumsi secara berlebihan ( Anonymus, 2009 ).
C. Absorbsi
Absorbsi atau penyerapan dalam kimia adalah suatu fenomena fisik atau
kimiawi atau proses sewaktu atom, molekul, atau ion memasuki suatu fase limbak
( bulk ) lain yang bisa berupa gas, cairan, ataupun padatan. Proses ini berbeda
dengan adsorbsi karena pengikatan molekul dilakukan melalui volume dan bukan
permukaan ( Anonimous, 2009). Adsorbsi atau penyerapan adalah suatu proses
yang terjadi ketika suatu fluida, cairan, maupun gas, terikat dengan suatu padatan
atau cairan (zat penyerap, adsorben) dan akhirnya membentuk suatu lapisan tipis
atau film (zat terserap, adsorbat) pada permukaanya. Berbeda dengan adsorbsi
yang merupakan penyerapan fluida oleh fluida lainya yang membentuk suatu
larutan (Anonimous, 2010).
Adsorbsi di bedakan menjadi dua jenis, yaitu adsorbs kimia fisika
(disebabkan oleh gaya Van Der Waals (penyebab terjadinya kondensasi gas untuk
membentuk cairan) yang ada pada permukaan adsorben) dan adsorbsi kimia
teradsorbsi tergantung pada sifat khas zat padatnya yang merupakan fungsi
tekanan atau suhu (Atkins, 1997).
Adsorben yang paling banyak dipakai untuk menyerap zat – zat dalam
larutan adalah arang. Zat ini banyak dipakai di pabrik untuk menghilangkan zat
warna dalam larutan. Penyerapan yang bersifat sselektif, yang diserap hanya zat
terlarut atau pelarut sangat mirip dengan penyerapan gas oleh padatan (Brady,
1999).
Besar kecilnya absorbsi dipengaruhi macam absorben, macam zat yang
terabsorbsi, konsentrasi absorben dan zat, luas permukaan, temperature dan
tekanan zat yang terabsorbsi. Fungsi dari absorbsi adalah untuk meningkatkan
nilai guna dari suatu zat dengan cara merubah fasenya (Atkins, 1997).
Absorbsi kimia dapat juga berlangsung di daerah yang hampir stagnan
disamping penangkapan dinamik. Pemilihan penyerap biasanya didasarkan pada
efektivitas penyerapannya, mudahnya penyerap diregenerasi, dan faktor lain
seperti toksisitas dan korosifitas
( Anonimous, 2009).
D. Komponen Racun Pada Biji - bijian
a. Enzim Lipoksigenase
Rasa langu ( beany flavor ) disebabkan oleh kerja enzim lipoksigenase
yang terdapat pada biji buah tersebut. Enzim tersebut bereaksi dengan lemak
sewaktu dinding sel pecah oleh penggilingan terutama jika penggilingan
dilakukan secara basah dengan suhu dingin. Enzim lipoksigenase mudah rusak
dengan cara menggunakan air panas dengan suhu 800 – 1000 C saat penggilingan
dengan blancing (Koeswara, 1995).
Dalam suhu tinggi enzim lipoksigenase menjadi tidak aktif. Enzim
lipoksigenase merupakan salah satu senyawa yang dapat memicu reaksi oksidasi
lemak atau minyak. Terjadinya oksidasi lemak atau minyak dapat merusak protein
atau menimbulkan bau dan cita rasa yang tidak disukai ( santosa dkk, 1986 ).
Enzim dapat menyebabkan bau langu (beany flavor) pada pengolahan produk
mangrove yang timbul terutama pada waktu pengolahan yaitu setelah
tercampurnya lipoksigenase dengan lemak dalam biji suatu dinding sel pecah oleh
suatu penggilingan. Bau langu ini dihasilkan dari reaksi oksidasi asam linoleat
dimana oksidasi yang menimbulkan bau tersebut adalah Cis dan Tran -2-U-
penthenyl foran ( Astanto dkk, 1993 ). Hasil reaksi tersebut menghasilkan paling
sedikit delapan senyawa folatil ( mudah menguap ) dimana senyawa yang paling
banyak menghasilkan rasa dan bau langu adalah etil – fenil – keton ( Koswara,
1995 ).
Disamping itu menurut Santosa, dkk (1986) rasa dan bau langu, factor
penyebab off flavor yang lain rasa pahit & rasa kapur yang disebabkan oleh
adanya senyawa – senyawa glikosida dalam biji. Senyawa glikosida tersebut
dapat dihilangkan dengan perendaman, pengupasan kulit, perlakuan panas, dan
pengaturan pH ( kurang dari 3,5 atau lebih dari 9,0 ).
b. Sianida
Kandungan senyawa sianida pada suatu bahan pangan dapat dibedakan
Potensial sianogenik merupakan senyawa yang berpotensi menghasilkan sianida,
terbagi menjadi glikosidik sianogenik dan non glikosidik sianogenik. Glikosidik
sianogenik merupakan senyawa yang berpotensi menghasilkan senyawa sianida
dan memiliki ikatan glikosidik misalnya linamarin dan liostraulin yang terdapat
pada ubi kayu. Sedangkan non glikosidik sianogenik merupakan senyawa yang
tidak berikatan glukosidik tetapi berpotensi menghasilkan sianida. Senyawa ini
dapat diukur dengan metode analisa tanpa adanya tahapan perlakuan secara
enzimatis maupun penambahan asam kuat. Sianida merupakan produk akhir dari
pemecahan senyawa potensial sianida diatas, biasanya disebut dengan asam
sianida (HCN). Sedangkan total sianida merupakan jumlah keseluruhan jenis
sianida yang terkandung dalam suatu bahan baik itu berupa potensial sianida
maupun sianida bebasnya (Dawson et al, 2006). Bila dilihat dari jenisnya sianida
yang ada, maka pada bahan senyawa dioskorin berarti merupakan non-glikosidik
sianogenik karena bila terpecah sempurna bisa berpotensi menghilangkan sianida
bebas (HCN).
Detoksifikasi pada varietas misalnya ubi kayu dapat tercapai melalui
proses degradasi secara enzimatis terhadap glukosida sianogenik dan sianohidrin.
Enzim linamarase terletak pada dinding sel dari bahan, enzim ini mengkatalisasi
pemecahan awal dari sitoplasma glikosida sianogenik berupa linamarin dan
lotaustralin, dan hasilnya merupakan tesbebasnya sianohidrin. Sianohidrin ini
relative stabil pada pH rendah, tetapi terdekomposisi pada kondisi dengan suhu
tinggi dan pH tinggi (pH > 5) menghilngkan keton dan HCN. Proses
pada bahan, dimana enzim β- glukosiodase terbuksi membukti linamarase selama
degradasi pada proses fermentasi (Roffle, 2007).
HCN yang telah dibebaskan dapat dihilangkan dengan evaporasi
(penguapan).proses degradasi secara sempurna terhadap sianohidrin dan
kombinasi aktifitas linamarase dan enzim pemecah sianohidrin, diikuti dengan
proses penguapan HCN yang terbentuk, menyebabkan keengganan masyarakan
dalam pengolahan bahan yang termasuk varietas pahit, dikarenakan bahaya yang
dapat ditimbulkan atau tingkat HCN yang menguap selama proses memanggang
rasa pemasakan dengan suhu tinggi (Roffle, 2007).
Buah Lindur mempunyai rata-rata panjang 27 cm dengan rata-rata berat 45
g. Hasil analisis kimia buah lindur adalah kadar air 73.756%, kadar lemak
1.246%, protein 1.128%, karbohidrat 23.528% dan kadar abu sebesar 0.342%.
Sedangkan kandungan anti gizinya HCN sebesar 6.8559 mg dan tannin sebesar
34.105 mg. Selain cara diatas penurunan kadar sianida juga bisa dilakukan dengan
fermentasi dan Perendaman. Beberapa cara telah diterapkan untuk mengurangi
senyawa racun itu, seperti perebusan, pemanasan, pengukusan, pencucian, dan
pengeringan. Cara pencucian tergolong efektif untuk mengurangi racun sianida
karena asam sianida mudah terlepas ke dalam air rendaman. Sementara cara
pengeringan dapat menguapkan senyawa itu. Hal terpenting untuk diperhatikan
dalam menghidangkan aneka macam makanan dari bahan singkong yang aman
dari racun ini adalah memilih umbi singkong dari jenis singkong manis dan
melakukan proses pencucian seperti yang dianjurkan. Kadar asam sianida yang
kesehatan, dan berasa manis. Sedikit saja singkong memiliki rasa pahit, maka
singkong tersebut telah mengandung kadar asam sianida di atas 50 mg/kg umbi
segar atau 50–80 mg/kg umbi segar. Sementara itu, singkong menjadi
membahayakan kesehatan bahkan dapat mematikan bila kandungan asam
sianidanya lebih dari 100 mg/kg umbi segar. Selain cara diatas penurunan kadar
sianida juga bisa dilakukan dengan fermentasi dan perendaman.
Beberapa cara telah diterapkan untuk mengurangi senyawa racun itu,
seperti perebusan, pemanasan, pengukusan, pencucian, dan pengeringan. Cara
pencucian tergolong efektif untuk mengurangi racun sianida karena asam sianida
mudah terlepas ke dalam air rendaman. Sementara cara pengeringan dapat
menguapkan senyawa itu. Hal terpenting untuk diperhatikan dalam
menghidangkan aneka macam makanan dari bahan singkong yang aman dari
racun ini adalah memilih umbi singkong dari jenis singkong manis dan melakukan
proses pencucian seperti yang dianjurkan. Kadar asam sianida yang rendah di
bawah 40 mg/kg umbi segar relatif aman, tidak membahayakan kesehatan, dan
berasa manis. Sedikit saja singkong memiliki rasa pahit, maka singkong tersebut
telah mengandung kadar asam sianida di atas 50 mg/kg umbi segar atau 50–80
mg/kg umbi segar. Sementara itu, singkong menjadi membahayakan kesehatan
bahkan dapat mematikan bila kandungan asam sianidanya lebih dari 100 mg/kg
umbi segar (Anonymous, 2008)
c. Senyawa Alkaloid
Kandungan senyawa alkaloid (dioskorin), saponin (dioscein), sapogenin
bahan, sehingga bila pecah secara sempurna dapat menghasilkan sianida bebas
yang menimbulkan efek toksisitas yang cukup berbahaya. Menurut FAO dalam
winarno (1995), kandungan sianida 50 mg/kg (ppm) bahan masih aman untuk
dikonsumsi.
1. Dioskorin
Sianogenat yaitu dioskorin dan diosgenin, kedua senyawa itu sangat
mudah larut dalam air dan mudah terdekomposisi oleh pemanasan, sehingga
mudah dihilangkan. Dibandingkan dengan sianida kedua senyawa tadi sifat
toksiknya jauh lebih rendah sehingga tingkat bahaya yang ditimbulkan manusia
menjadi lebih berkurang secara alami, kedua senyawa koloid berada pada vakuola
sedang enzim dalam sitoplasma keduanya tidak akan bertemu kecuali jaringan biji
dirusak, dikupas dan di iris. Dengan perlakuan itu, kedua senyawa tadi akan saling
kontak dan mengalami reaksi enzimatis membentuk glukosa dan senyawa aglikon
(Nok dan Ikediobi, 1990).
Senyawa aglikon selanjutnya akan dengan cepat akan mengalami
pemecahan oleh enzim liase menjadi asam sianida dan senyawa aldehid dan
keton.
Reaksi selengkapnya dapat dilihat gambar berikut (pambayun, 2000).
Glikosida sianogenat β-glikosidase glukosa + aglikon
aglikon hidroksinitril HCN + aldehid dan keton
liase
proses pemecahan linamarin yang terdapat pada umbi kayu oleh enzim
linamarase (β – glikosidase ) menjadi senyawa aseton sianohidril ( aglikon ) dan
kemudian melepaskan HCN dan aseton menjadi secara spontan pada pH > 5 dan
suhu > 350C (Siritunga and Sayre, 2003).
Menurut Wildolz (1976) dalam Budiono (1998), rumus kimia dioskorin
adalah C13H19O2N dan berat molekul dioskorin ialah 221,19. Dioskorin berupa
Kristal yang berbentuk prisma yang berwarna kuning kehijau-hijauan, mempunyai
titik uap 54-550 C. dioskorin dapat larut dalam air, alcohol, kloroform, aseton dan
sedikit larut dalam eter, benzene dan petroleum eter.
Gambar 2 . struktur senyawa dioskorin Sumber: Dweck (2002)
Dioskorin merupakan salah satu senyawa psikoaktif yang terdapat pada
bahan pangan. Dioskorin yang ditemukan pada beberapa spesies tanaman
merupakan senyawa tropan alkaloid yang bersifat sebagai depressant dan
convulsant. Pada manusia dioskorin menimbulkan sensasi terbakar pada mulut
dan tenggorokan, mual, diare,dan dapat menyebabkan kematian (Despande,
2002).
Berat molekul dioskorin 221,19. Racun dioskorin mengalami proses
penurunan secara baik secara enzimatis maupun pemanasan, sehingga terbentuk
sianida yang terbentuk dari hasil penguraian baik secara enzimatis maupun
pemanasan (Arifah, 2003).
Menurut Kordylas (1991) untuk menghilangkan racun dioskorin dapat
dilakukan dengan pencucian atau perendeman, baik dalam keadaan diam maupun
air yang mengalir, misalnya di sungai, pancuran, atau di pantai pada pasang surut.
Hal ini dimaksudkan sebagai penghematan tenaga kerja dan efisiensi kerja. Agar
supaya air dapat masuk kedalam sel-sel bahan dimana dioskorin berada maka
umbi harus dirajang atau diiris. Perlakuan pemanasan perlu untuk mematikan dan
merusak vitalitas sel, sehingga mempermudah keluarnya cairan sel dalam umbi.
Lama perendaman 3-4 hari dipandang cukup. Dalam proses penghilangan racun
dioskorin juga digunakan abu atau garam dapur dengan maksud menyerap cairan
sel keluar dari dalam bahan.
Perendaman air selama beberapa hari dapat membantu pelarutan
dioskorin, karena dioskorin larut dalam air. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Pembayun (2000), proses perendaman menyebakan air berdifusi kedalam dinding
sel bahan melalui membrane yang sangat permeable. Air perendaman ini kontak
dengan partikel yang akan dilarutkan. Oleh karena itu perendaman yang semakin
lama akan semakin banyak pula zat-zat yang dilarutkan sampai pada titik
kesetimbangan (Kordylas, 1991).
Hasil penelitian Muljoharjo, Harjadi dan Pujimulyani (1984)
menunjukkan pengaruh perendaman bisulfit 2% memberikan pengaruh pada
dioskorin sebesar 93,48%, perendaman dengan larutan NaOH 0,25% memberikan
pengaruh dioskorin sebesar 89,48% yang dilakukan pada umbi gadung.
Pengolahan untuk menghilangkan racun selama ini dilakukan adalah
dengan melakukan beberapa metode seperti pemanasan, perendaman dengan
larutan garam dan penggunaan abu dapur. Pemanasan dengan 30 menit dan
perendaman dalam larutan garam dengan konsentrasi 8% selama 3 hari mampu
menurunkan kadar sianida dengan residu yang terbentuk 10 ppm (pembayun,
2000).
2. Dioscein
Dioscein merupakan saponin, apabila dihidrolisa dengan H2SO4 5% atau
HCl 12% akan menghasilkan aglikon, yaitu diosgenin (C27H42O3) dan aglikon.
Senyawa dioscein seperti yang terlihat pada gambar berikut :
Gambar 3. struktur kimia senyawa dioscein Sumber: Dweck (2002)
3. Diosgenin
Diosgenin (C27H42O3) adalah suatu sapogenin hasil hidrolisis dioskorin,
berbentuk kristal berupa jarum pipih yang tidak berbau, rasanya pahit, mudah
larut dalam alcohol, bensol dan pelarut lainya(takeda, 1972 dalam effendi,2001).
Gambar 4. Struktur kimia senyawa diosgenin Sumber : dweck (2002)
d. Tannin
Tannin adalah zat, pahit polyphenol tanaman yang baik dan cepat
mengikat atau mengecilkan protein. Zat dari tannin menyebabkan perasaan kering
pada mulut dengan konsumsi anggur merah, teh pekat, atau buah yang tidak
tumbuh. Istilah tannin merujuk pada Penggunaan tannin dalam penyamakan
hewan yang tersembunyi pada kulit. Namun, istilah ini secara luas dirujukan
untuk setiap polyphenolic besar kompleks yang mengandung cukup hydroxyl dan
lainnya sesuai kelompok (seperti carboxyl) kuat untuk membentuk kompleks
dengan protein dan lainnya macromolecule. Tannin memiliki berat molekul dari
500 hingga 3,000. Tannin bertentangan dengan basa, gelatin, logam berat, besi, air
kapur, garam logam, zat oksidasi yang kuat dan sulfat seng. Salah satu cara untuk
menurunkan kadar tannin dalam kehijauan adalah dengan perendaman dengan
menggunakan larutan alkali seperti NH4OH, NaOH, K2CO3, atau CaO. Dengan
perendaman senyawa polifenol akan larut dalam air daan basa seingga ikatan
antara protein dan tannin akan terlepas. Namun demikian pemakaian ammonia,
nutrisi kehujauan yang disebabkan terbentuknya ikatan antara kalsium dengan
kandungan nutrisi yang penting (Butler & Jon, 1992). Zat Tanin diketahui sebagai
zat yang menghambat pertumbuhan tanaman. Untuk menghilangkan zat Tanin
yang berlebihan, maka bisa dilakukan dengan cara merendam bahan di dalam air
bersih selama beberapa jam, lalu diaduk sampai air berbusa putih. Selanjutnya
buang air dan diganti dengan air bersih yang baru. Demikian dilakukan beberapa
kali sampai busa tidak keluar lagi.
Untuk menghilangkan rasa sepat tannin maka diberikan zat kimia
tertentu sedemikian rupa sehingga terjadi pengurangan rasa sepat. Adapun cara –
cara yang digunakan biasanya di kombinasikan dengan perlakuan kimia antara
lain dengan ditambahkan larutan garam 3 % selama 3 – 5 menit. Dalam hubungan
penambahan zat kimia dalam proses pengurangan rasa sepat tannin maka
mekanisme penghilanganya adalah karena terjadi proses pengendapan tannin atau
karena terjadi polimerisasi atau kondensasi dari tannin sehingga menjadi tannin
yang tidak larut. Cara fisika yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa sepat
karena tannin yaitu dengan cara pemanasan, cara pemanasan yang dapat
digunakan adalah dengan cara memanaskan buah selama 5 – 15 menit. terjadi
pengurangan rasa sepat pada bahan terutama setelah dipanaskan karena akibat
adanya proses pengendapan senyawa tannin (Upe, dkk, 1996).
Gambar 5. Struktur Tannin ( Anonimus, 2009 )
e. Soda abu (abu dapur).
Pemakian abu khususnya abu sekam dapat menurunkan sianida pada
bahan karena abu sekam mempunyai kemampuan menyerap cairan sel dalam
jaringan bahan keluar dari umbi sehingga mempermudah keluarnya alkaloid
dioskorin pada bahan (Mulyani,1990).
Perendaman dalam air selama beberapa hari dapat membantu
mempercepat pelarutan dioskorin karena dioskorin larut dalam air (Mulyoharjo,
1990). Proses perendaman menyebabkan air berdifisi ke dalam sel-sel bahan
melalui membrane yang sangat permiabel. Air perendaman ini kontak dengan
partikel yang akan dilarutkan. Oleh karena itu perendaman yang semakin lama
akan semakin banyak pula zat-zat yang dilarutkan sampai pada titik
kesetimbangan (Pembayun, 2000).
perendaman irisan bahan dalam larutan garam 8% selama 3 hari mampu
mngurangi racun sianida dalam residu yang terbentuk relative rendah yitu 10
mg/kg bahan. Sedangkan pemanasan irisan bahan sebesar 2 mm dalam air
mendidih selama 30 menit ternyata lebih efektif menurunkan kadar sianida yaitu
mencapai 4,12 mg/kg pada bahan gadung (Pembayun, 2000).
Abu dapur banyak digunakan untuk mengurangi kadar sianida pada
bahan, karena abu dapur mempunyai kemampuan menyerap cairan sel dalam
jaringan bahan keluar dari irisan segingga mempermudah keluarnya alkaloid
dioskorin dari dalam bahan dengan begitu sianida yang terlarut dalam air akan
ikut terserap oleh abu. Dalam hal ini abu berfungsi sebagai absorben (Mulyani,
1990).
Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik
kandungan abu, dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuan. Kadar abu suatu bahan ada hubunganya dengan mineral dalam bahan
tersebut. Mineral yang terdapat pada suatu bahan dapat merupakan dua macam
garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Sifat abu juga ditentukan oleh
dominan atau tidaknya mineral senyawa basa (Na, Mg, K dan Ca)dan mineral
pembentuk asam (P, S, dan Cu) berdasarkan ukuran pH larutan abu jerami bersifat
basa (Sudarmadji, 1994 dalam Rahmawati, 1993).
Abu dapur merupakan abu hasil pembakaran kayu atau bahan lain pada
saat memasak. Abu dapur dapat dikatakan sebagai abu campuran karena
kandungan dari abu tersebut tergantung pada kayu atau bahan-bahan yang
dapat diketahui secara pasti kecuali jika dilakukan analisa mengenai komponen
kimia dari abu dapur tersebut, terutama kandungan mineral-mineral penyusun abu.
Abu dari kayu bakar biasanya mempunyai kandungan potassium yang tinggi
tetapi mudah larut dan dihilangkan dengan oleh air hujan (Anonymus, 2005).
Adapun kandungan mineral dari abu dapur yang dianalogkan dengan abu sekam
padi dapat dilihat pada Table 1:
Tabel 1. Nilai kandungan mineral abu sekam padi
Mineral Jumlah (% b/b)
Menurut Houston, (1972) dalam Rahmawati (1993), abu pada umumnya
bersifat porous sehingga mudah menyerap air disekelilingnya, dan karena
pengaruh porositas dari abu inilah maka kadar sianida dalam bahan dapat
menurun.
Adapun mekanisme penurunan kadar racun sianida menurut Rahmawati
(1993) adalah karena pengaruh porositas dan terkontaminasinya garam-garam
anorganik pada abu yang menyebabkan penarikan air sel. Semakin besar
konsentrasi abu maka semakin banyak pula air sel yang keluar sehingga semakin
Selain karena porositas, abu juga dapat melarutkan sianida dengan cara
membentuk garam netral yang larut air. Asam sianida membentuk garam netral
dengan logam alkali (Na, K), yang larut dalam air (5-25%). Sementara itu dengan
logam alkali tanah termasuk Mg atau logam berat, mempunyai kelarutan yang
sangat kecil dalam air (Noor, 1992).
Struktur abu dapur seperti yang terlihat pada gambar berikut:
Gambar 6. Struktur abu dapur (Anonymous, 2009)
f. Blanching
Blanching adalah proses pemanasan bahan pangan dengan uap air panas
secara langsung pada suhu 71o C dan kurang dari 100o C selama 5 menit.
Meskipun bukan untuk tujuan pengawetan, proses thermal ini merupakan suatu
tahap proses yang sering dilakukan pada bahan pangan sebelum bahan pangan
tersebut dikeringkan, dikalengkan, atau dibekukan (Suksmadji, 1988).
Tujuan blanching dapat berbeda-beda, didalam proses pengeringan
blanching bertujuan untuk menginaktifkan enzim yang tidak diinginkan yang
mungkin dapat merubah warna, tekstur, cita rasa, maupun nilai nutrisinya selama
penyimpanan (Muchtadi, 1989).
Susanto dan Saneto (1994) menyatakan bahwa penggunaan suhu tinggi
selama waktu tertentu dapat menginaktifkan fenolase dan semua enzim yang ada
Didalam bahan mentah yang akan diolah juga terdapat enzim.
Sebagaimana diketahui bahwa enzim adalah suatu biokatalisator yang
bertanggung jawab terhadap proses-proses oksidasi maupun hidrolisa didalam
bahan mentah. Adanya proses-proses tersebut maka akan menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan, baik yang dapat merusak maupun tidak.
Perubahan-perubahan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
jelas tidak dikehendaki, sebab akan menyebabkan turunnya kualitas produk akhir.
Pada pengolahan enzim ini harus diinaktifkan. Perlu diketahui bahwa sistem
enzim ini sangat kompleks dan bervariasi, sesuai dengan macam dan jenis
komoditi bahan mentahnya.
Menurut Suksmadji (1988), semua komoditi yang akan dikeringkan
harus dilakukan blanching, atau perlakuan panas yang lain selama dalam proses
pengolahan. Bahan mentah yang akan diolah bilamana masih dalam keadaan
mentah, sifat-sifatnya adalah teksturnya masih keras dan tegar, poreus,
voluminous, dan tidak permeable terhadap air. Memberikan flavour, bau dan
aroma yang masih mentah. Memberikan kenampakan yang bersifat segar.
Sehingga dalam keadaan yang demikian tidak dapat langsung diawetkan. Dalam
hubungannya dengan pengolahan maka dengan diberikan perlakuan blanching
justru akan memperbaiki sifat-sifatnya.
Untuk bahan pangan yang akan dikeringkan, blanching akan
mempercepat proses pengeringan karena membuat membran sel permeabel
“pemasakan” untuk produk kering yang langsung dikonsumsi (Muchtadi dan
Sugiyono, 1992).
g. Proses pembuatan tepung mangrove Avicenna, sp
Menurut Mohson (2006), Pembuatan tepung pada umumnya meliputi :
proses sortasi, perendaman, pengupasan biji, blancing, pencampuran dengan abu
gosok, pencucian, pengeringan, pemotongan menjadi ukuran lebih kecil,
pengeringan, penghancuran dan pengayakan serta pengemasan.
1. Sortasi
Sortasi bertujuan untuk memperoleh biji avicenna yang segar dengan
tingkat yang baik.
2. Perendaman
Perendaman dilakukan dengan merendam bahan dalam air selama 48 jam
kemudian setiap 24 jam air perendaman harus diganti. Tujuan perendaman adalah
untuk melunakkan kulit biji sehingga mudah untuk dikupas.
3. Pengupasan
Pengupasan bertujuan antara lain untuk menghilangkan kulit yang
merupakan bagian yang terkontaminasi mikroba serta bagian-bagian dari bahan
yang tidak dikehendaki yang berupa serbuk putih yang terdapat pada bagian
tengah biji dan sekaligus dapat memberikan kenampakan yang lebih baik.
Pengupasan dilakukan seefisien mungkin dan jangan sampai banyak bagian yang
4. Blanching
Blanching merupakan suatu proses yang sering dilakukan pada bahan
pangan sebelum bahan pangan tersebut dikeringkan. Tujuan dari blanching
tersebut adalah untuk menginaktifkan enzim yang dapat merubah warna, tekstur
serta citarasa yang ada dalam biji tersebut yang juga sangat dipengaruhi pula oleh
suhu dan waktu blancing.
5. Pencampuran dengan soda abu
Soda abu dicampurkan dengan cara diaduk kedalam bahan selama 5 menit.
tujuanya adalah untuk mengurangi dan juga menghilangkan racun yang
terkandung didalamnya. Pencampuran ini tidak perlu terlalu lama karena dapat
merusak sifat fisik dan kimiawi bahan tersebut.
6. Pencucian
Pencucian dilakukan dengan pengulenan bahan yang telah dicampurkan
dengan soda abu dengan menggunakan air bersih yang mengalir. Pencucian ini
dilakukan untuk menghilangkan residu soda abu yang tertinggal pada bahan.
7. Pengeringan
Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan sehingga
memperpanjang masa simpan produk dan menampung kelebihan hasil selama
panen. Pengeringan adalah perpindahan cairan dari padatan oleh alat pemanas
(Desrosier, 1988).
Pada pembuatan tepung, pengeringan dapat dilakukan dengan
mempergunakan dua cara yaitu pengeringan dengan sinar matahari dan dengan
proses pengeringan ini adalah 4 – 6 %, yakni kadar air ideal untuk berbagai jenis
tepung (Desrosier, 1988). Jika proses pengeringan sudah selesai segera dilakukan
proses penepungan. Pengeringan untuk tepung dilakukan pada suhu 50 o C selama
12 jam. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kadar air pada tepung sehingga
tepung lebih tahan lama.
8. Penggilingan dan Pengayakan
Tujuan penggilingan dan penepungan adalah membuat bahan menjadi
ukuran tertentu baik untuk keperluan konsumen ataupun untuk proses berikutnya,
adanya tepung maka dapat menghemat tempat penyimpanan bahan dan tahan
lama serta lebih praktis dalam penggunaannya. Pengayakan tepung bertujuan agar
tepung yang dihasilkan mempunyai ukuran yang seragam.
9. Pengemasan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengemasan adalah
terjaganya tepung dari peningkatan kadar air sebab jika kadar airnya meningkat
maka memungkinkan jamur untuk tumbuh. Penyimpanan yan optimum juga
diperlukan untuk menjaga kualitas tepung sampai jangka waktu yang lama
(Moeljaningsih, 1991 dalam Setyaningrum 2003).
h. Analisis Finansial
Analisis kelayakan adalah analisa yang ditunjukkan untuk meneliti suatu
proyek layak atau tidak layak untuk proses tersebut harus dikaji, diteliti dari
beberapa aspek tertentu sehingga memenuhi syarat untuk dapat berkembang atau
Analisa finansial yang dilakukan meliputi : analisa nilai uang dengan
metode Net Present Value (NPV), Rate of Return dengan metode Internal Rate of
Return (IRR), Break Event Point (BEP) dan Playback Periode.
1. Break Even Point (BEP)
Break Even Point (BEP) adalah suatu keadaan dimana pada tingkat
penjualan tertentu perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau mengalami
kerugian. BEP dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
BEP =
VC P
FC
Keterangan :
Po = Produk pulang/pokok
FC= Biaya tetap
VC= Biaya tidak tetap persatuan produk (Rp)
Rumus untuk mencari titik impas adalah sebagai berikut :
a. Biaya titik impas
biaya tetap
BEP = 1 – ( biaya tidak tetap / pendapatan)
b. Presentase
titik impas :
BEP (%) = BEP (Rp) x 100 % Pendapatan
Kapasitas titik impas adalah jumlah produksi yang harus dilakukan
untuk mencapai titik impas. Rumus kapasitas titik impas adalah sebagai berikut :
Kapasitas Titik Impas = persen titik impas x pendapatan
2. Net Present value (NPV)
Net Present value merupakan selisih antara present value dari benefit dan present
value dari pada biaya. Rumus perhitungan NPV adalah sebagai berikut :
Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t
Ct = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t
t = 1,2,3,……..,n
n = Umur ekonomis dari pada proyek
i = Sosial discaount rate
3. Payback Periode
Metode ini mencoba mengukur seberapa cepat suatu inventasi bisa
kembali. Karena itu satuan hasilnya bukan presentase, tapi satuan waktu seperti
Ab = benefit bersih yang dapat diperoleh pada setiap tahunnya
4. Rate of Return
Rate of Return dengan metode Internal Rate of Return adalah nilai
discount rate I dengan NPV dari proyek sama dengan nol. IRR dapat juga
dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek,
asal setiap benefit bersih yang diwujudkan secara otomatis ditanam kembali
dalam tahun berikutnya.
Rumus perhitungan IRR adalah sebagai berikut :
IRR = ( '' ')
'' '
1 i i
NPV NPV
NPV
Keterangan :
NPV’ = NPV positif hasil percobaan nilai
NPV’’ = NPV negatif hasil percobaan nilai
i = Tingkat bunga
5. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio)
Merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan biaya kotor
yang telah di prensent valuekan (dirupiahkan sekarang)
Pendapatan Nilai B/C Ratio =
i. Landasan teori
Jenis tanaman mangrove Avicenna, sp yang telah dijadikan /
dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan adalah Avicenna marinna dan
Avicenna afficinalis. Jenis tanaman ini tersebar disebagian besar pantai di
Indonesia termasuk mangrove sejati ( pada zona terdepan ) cepat dan mudah
tumbuh serta permulaan alminya sangat cepat, tanaman ini berumur 18-24 bulan
sudah berbuah ( Mohson, 2006 ).
Pembuatan tepung pada umumnya meliputi : proses sortasi, perendaman,
pengupasan biji, blanching, pencampuran dengan abu sekam padi, pencucian,
pengeringan, pemotongan menjadi ukuran lebih kecil, pengeringan, penghancuran
dan pengayakan serta pengemasan ( Mohson, 2006 ).
Perlakuan blancing pada bahan adalah untuk menghilangkan bau langu
pada bahan, yaitu dengan menginaktifkan enzim lipoksigenase Enzim
lipoksigenase mudah rusak oleh panas. Oleh karena itu, untuk menghilangkan bau
dan rasa langu dilakukan dengan cara menggunakan air panas dengan suhu 800 –
1000 C saat penggilingan dengan blancing (Koeswara, 1995). Pengukusan akan
menurunkan kadar sianida pada bahan sebesar 93,48% Muljoharjo, Harjadi dan
Pujimulyani (1984), karena proses pembebasan dan penghilangan sianida dengan
pengukusan akan menguapkan sianisda (Roffle, 2007).. Proses pemanasan
kandungan tannin yang terikat pada protein bahan akan terlepas dan kandungan
tannin tannin itu akan hilang oleh pemanasan dengan suhu yang tinggi karena
akibat adanya proses pengendapan senyawa tannin (Winarno, 1997).
Tepung mangrove adalah produk olahan mangrove yang terbuat dari biji
sangat dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia bahan. Sebagai contoh mangrove
jenis sineratia, sp yang mempunyai sifat kimia yang mempunyai warna coklat
yaitu tannin tetapi tidak beracun ( Mohson, 2006 ). Sedangkan untuk mangrove
jenis burguera, sp dan Avicennia, sp mempunyai kandungan racun yang akan
berbahaya jika dikonsumsi secara berlebihan ( Anonymus, 2009 ).
Abu dapur banyak digunakan untuk mengurangi kadar sianida pada
bahan, karena abu dapur mempunyai kemampuan menyerap cairan sel dalam
jaringan bahan keluar dari irisan segingga mempermudah keluarnya alkaloid
dioskorin dari dalam bahan dengan begitu sianida yang terlarut dalam air akan
ikut terserap oleh abu. Dalam hal ini abu berfungsi sebagai absorben (Mulyani,
1990).
Salah satu cara untuk menurunkan kadar tannin dalam kehijauan adalah
dengan perendaman dengan menggunakan larutan alkali seperti NH4OH, NaOH,
K2CO3, atau CaO. Dengan perendaman senyawa polifenol akan larut dalam air
daan basa seingga ikatan antara protein dan tannin akan terlepas. Namun demikian
pemakaian ammonia, alkali, atau kombinasi perendaman yang lainya dapat juga
menurunkan kualitas nutrisi kehujauan yang disebabkan terbentuknya ikatan
antara kalsium dengan kandungan nutrisi yang penting (Butler & Jon, 1992).
Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik
kandungan abu, dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuan. Kadar abu suatu bahan ada hubunganya dengan mineral dalam bahan
garam yaitu garam organik dan garam anorganik (Sudarmadji, 1994 dalam
Rahmawati, 1993).
Absorbsi atau penyerapan dalam kimia adalah suatu fenomena fisik atau
kimiawi atau proses sewaktu atom, molekul, atau ion memasuki suatu fase limbak
( bulk ) lain yang bisa berupa gas, cairan, ataupun padatan. Absorbsi atau
penyerapan dalam kimia adalah suatu fenomena fisik atau kimiawi atau proses
sewaktu atom, molekul, atau ion memasuki suatu fase limbak ( bulk ) lain yang
bisa berupa gas, cairan, ataupun padatan (Anonymous, 2010).
M. Hipotesis
Diduga terdapat pengaruh antara konsentrasi abu dapur dengan lama
35
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus
tahun 2010 di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, Analisa Pangan,
Biokimia Pangan, Uji Indrawi, Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi
Industri Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Laboratorium
Pengujian mutu dan keamanan pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian FTP –
Universitas Muhaammadiyah Malang,.
B. Bahan yang digunakan
Bahan baku pembuatan tepung mangrove Avicenna, sp yaitu Biji avicenna
yang diperoleh daerah Wilangon Gresik dan Wonorejo surabaya. Soda abu
(Na2CO3) diperoleh ditoko bahan kimia di daerah Pasar Kembang Surabaya.
Bahan untuk analisa kimia mutu tepung mangrove adalah, asam sulfat
pekat, NaOH 30%, asam borak, kalium sulfat, NaOH 45%, HCl 0,1 N, aquades,
alkohol 95%, dan petroleum ether.
C. Peralatan yang digunakan
Alat yang digunakan untuk pembuatan tepung gayam dalam penelitian ini
antara lain kabinet dryer, blender, timbangan, ayakan 80 mesh dan oven.
Peralatan untuk analisa yaitu labu takar, erlenmeyer, labu Kjeldahl,
analitik, eksikator, muffle, pendingin balik, kertas saring, penangas air,
spektrofotometri.
D. Metode Penelitian
Penelitian pendahuluan untuk mengetahui cara pembuatan tepung
mangrove yang tepat sehingga diketahui kualitas warna yang baik. Penelitian
pendahuluan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang disusun secara
faktorial, terdiri dari 2 faktor, yaitu faktor pertama terdiri dari 3 level dan faktor
kedua 3 level. Masing-masing level diulang 2 kali. Data yag diperoleh dianalisis
ragam bila terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji DMRT
(Gaspersz, 1991).
Faktor I (P) : Konsentrasi abu dapur ( Untuk bahan 1 kg)
P1 = 25 gr = 0,025 %
P2 = 50 gr = 0,05 %
P3 = 75 gr = 0,075 %
Faktor II (Q) : Lama Pemeraman
Q1 = 2,5 menit
Q2 = 5 menit
Q3 = 7,5 menit
Dari kedua faktor tersebut diatas didapat kombinasi perlakuan sebagai
berikut:
P1Q1 P1Q2 P1Q3 P2Q1 P2Q2 P2Q3 P3Q1 P3Q2 P3Q3
Dari kombinasi perlakuan kedua factor tersebut didapat sembilan
alternatif perlakuan pendahuluan, yaitu :
P1Q1 : Menggunakan konsentrasi soda abu 25 gr dengan lama waktu
pemeraman 2,5 menit.
P1Q2 : Menggunakan konsentrasi soda abu 25 gr dengan lama waktu
pemeraman 5 menit
P1Q3 : Menggunakan konsentrasi soda abu 25 gr dengan lama waktu
pemeraman 7,5 menit
P2Q1 : Menggunakan konsentrasi soda abu 50 gr dengan lama waktu
pemeraman 2,5 menit
P2Q2 : Menggunakan konsentrasi soda abu 50 gr dengan lama waktu
pemeraman 5 menit
P2Q3 : Menggunakan konsentrasi soda abu 50 gr dengan lama waktu
pemeraman 7,5 menit
P3Q1 : Menggunakan konsentrasi soda abu 75 gr dengan lama waktu
pemeraman 2,5 menit
P3Q2 : Menggunakan konsentrasi soda abu 75 gr dengan lama waktu
pemeraman 5 menit
P3Q3 : Menggunakan konsentrasi soda abu 75 gr dengan lama waktu
pemeraman 7,5 menit
Menurut Gaspersz (1991), model statistika untuk perlakuan faktorial
yang terdiri dari dua faktor dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) adalah sebagai berikut :
Yijk = + i + j ()ij + ij
Keterangan :
Yijk = Nilai Pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan i dan j (taraf ke-i dari faktor I dan taraf ke-j
dari faktor II)
= Nilai tengah umum (rata-rata sesungguhnya)
I = Pengaruh perlakuan ke-i dari faktor I
j = Pengaruh perlakuan ke-j dari faktor II
() = Pengaruh interaksi faktor I ke-i dari faktor II ke-j
i = 1,2,…,p
= Galat percobaan pada perlakuan ke-i pada faktor I dan perlakuan
ke-j pada faktor II
j = 1,2,…,n
k = 1,2,…,r
E. Faktor tetap
1. Lama pendaman 48 jam.
2. Bahan mangrove Avicenna Marinna yang digunakan 1 kg.
3. Air yang di gunakan untuk perendaman 1,5 liter.
4. Lama blancing 20 menit suhu 800C
5. Suhu pengeringan 600C selama 12 jam
6. Pengayakan menggunakan ayakan 80 mesh.
F. Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati dalam penelitian ini yaitu :
1. Biji Avicenna
Analisa Kimia
Kadar pati (AOAC 1970, Sudarmadji, dkk, 1997)
Kadar Air Cara pemanasan (AOAC 1970, Sudarmadji, dkk 1997)
Kadar Tannin (Spektrofotometri )
Kadar sianida ( Destilasi Uap)
2. Tepung Avicenna
Penelitian Kimia
a. Analisa Kimia
Kadar pati (AOAC 1970, Sudarmadji, dkk, 1997)
Kadar Air Cara pemanasan (AOAC 1970, Sudarmadji, dkk 1997)
Kadar Sianida (Destilasi Uap)
Kadar tannin ( Spektrofotometri )
b. Analisa Fisik
Rendemen
Warna
- Organoleptik
- Colour Rider (Minolta)
Bau
G. Prosedur Penelitian
Proses pembuatan tepung Avicenna dalam Penelitian yaitu tahap
pembuatan tepung Avicenna yang dilanjutkan tahap analisa karakteristik fisik dan
kimianya.
Tahap pembuatan tepung Avicenna
Tahap pembuatan tepung Avicenna diawali dengan beberapa tahapan
yaitu : proses sortasi, perendaman, pengupasan biji, blancing, pencampuran
dengan abu gosok, pencucian, pengeringan, pemotongan menjadi ukuran lebih
kecil, pengeringan, penghancuran dan pengayakan serta pengemasan
a. Sortasi bertujuan,untuk memperoleh biji avicenna yang segar dengan tingkat
yang baik.
b. Perendaman adalah untuk melunakkan kulit biji sehingga mudah untuk
dikupas.
c. Pengupasan bertujuan antara lain untuk menghilangkan kulit yang
merupakan bagian yang terkontaminasi mikroba serta bagian-bagian dari
bahan yang tidak dikehendaki yang berupa serbuk putih yang terdapat pada
bagian tengah biji dan sekaligus dapat memberikan kenampakan yang lebih
baik
d. Tujuan dari blanching adalah untuk menginaktifkan enzim yang dapat
merubah warna, tekstur serta citarasa yang ada dalam biji tersebut yaitu
enzim lipoksigenase.
e. Soda abu dicampurkan dengan cara diaduk kedalam bahan selama 5 menit.
tujuanya adalah untuk mengurangi dan juga menghilangkan racun yang
terkandung didalamnya. Pencampuran ini tidak perlu terlalu lama karena
dapat merusak sifat fisik dan kimiawi bahan tersebut.
f. Pencucian ini dilakukan untuk menghilangkan residu soda abu yang
tertinggal pada bahan.
g. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan sehingga
memperpanjang masa simpan produk dan menampung kelebihan hasil
selama panen. Pengeringan adalah perpindahan cairan dari padatan oleh alat
pemanas.
h. Penggilingan dilakukan dengan menggunakan blender dengan kecepatan
tinggi dan dilakukan pengayakan dengan menggunakan ayakan 80 mesh.
i. Setelah tepung avicenna jadi, dilakukan analisa kimia antara lain kadar air,
kadar abu, kadar pati, kadar amilosa dan amilopektin, kadar protein, kadar
lemak dan kadar serat kasar serta kadar racun. Sedangkan analisa fisik
meliputi rendemen, warna, viskositas dan suhu gelatinisasi.
j. Perlakuan yang terakhir adalah pengemasan. Pengemasan tepung avicenna
ini memiliki tujuan agar tepung avicenaa yang dihasilkan memiliki daya
simpan yang lebih lama dan terhindar dari jamur.
Adapun diagram alir proses pembuatan tepung Avicenna pada penelitian
pendahuluan ditunjukan pada gambar 7.
Mangrove Avicenna marina ( 1 kg )
Pengemasan
Gambar 7. Diagram alir proses pembuatan Tepung Avicenna, sp
sortasi
Pencampuran dengan soda abu konsentrasi 25 gr selama 2,5:5:7,5 menit
Pencampuran dengan soda abu konsentrasi 50 gr selama 2,5:5:7,5 menit
Pencampuran dengan soda abu konsentrasi 75 gr selama 2,5:5:7,5 menit
Pencucian
Analisa yang dilakukan pada penelitian ini dimulai dari analisa bahan baku,
bahan baku setelah direndam 48 jam, bahan baku setelah di blanching dan analisa
produk tepung mangrove yang dihasilkan. Analisa dilanjutkan dengan analisa
keputusan dan finansial yang didasarkan pada segi ekonomis apabila produk ini
digunakan sebagai produk industri.
A. Hasil Karakteristik Biji Mangrove Avicenna marinna
Pada penelitian ini dilakukan analisa terhadap biji Avicenna marinna
yaitu untuk mengetahui karakteristik terhadap biji Avicenna marinna dengan
parameter yang diamati yaitu kadar pati, kadar air, kadar sianida, kadar tanin.
Analisa kimia yang dilakukan terhadap biji Avicenn marinna, hasil analisa
karakteristik kimia biji Avicenna marinna pada penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 2 berikut.
Karakteristik biji Avicenna marina per 1 kg bahan / berat kering.
Tabel 2. Perbandingan karakteristik kimia biji mangrove Avicenna, sp dengan
Burguera, sp.
Komposisi Biji Avicenna, sp Biji Burguera,sp
(*) Karbohidrat:
Pati (%)
-
50,51 23,528
Kadar. Air (%) 45,03 73,756
Sianida (HCN) (ppm) 150,82 31,68
Tanin (%) 1,38 0,341
*Sumber: Anonimous, 2010.
Perbandingan komposisi kimia biji Avicenna, sp pada penelitian ini
terhadap biji Burguera, sp, menunjukkan bahwa biji Avicenna, sp mempunyai
komposisi kimia yang lebih baik. Biji Avicenna, sp memiliki kandungan racun
sianida dan tannin yang cukup tinggi, tetapi kandungan pati yang lebih tinggi dan
kadar air yang lebih rendah dari yang dimiliki biji burguera, sp menurut table 2
terlihat kadar pati burguera, sp sebesar 23,52% dan kadar air 73,75%
(Anonymous, 2010)
B. Hasil Pengamatan Bahan Baku Terhadap Sianida Dan Tanin Selama Perendaman Dan Blanching
1. Sianida
Penentuan kadar sianida pada bahan ditentukan dengan menggunakan
metode distilasi asam sianida.
Tabel 3. Perbandingan penurunan sianida pada mangrove Avicenna marinna
selama proses perendaman dan blanching.
Proses Kadar sianida (ppm)
Bahan baku (sebelum proses) 150,82 ppm
Perendaman (48 jam) 43,323 ppm
Blanching (pengukusan, 20 menit) 22,329 ppm
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa kadar sianida pada biji
Avicenna marinna sebesar 150,82 ppm. Biji Avicenna marinna ini mengandung
kadar sianida lebih tinggi dibandingkan dengan buah mangrove lain (Burguera,
sp) dengan kandungan sianida sebesar 31,68 ppm. Proses perendaman biji
Avicenna marinna selama 48 jam memberikan pengaruh sangat nyata terhadap
penurunan kadar sianida pada bahan awal yaitu menjadi 43,323 ppm. Menurut
masih aman untuk dikonsumsi. Maka dapat dikatakan menurut hasil analisa pada
proses ini biji mangrove Avicenna marinna sudah aman untuk dikonsumsi.
Penurunan kadar sianida pada bahan setelah di rendam adalah karena sifat
dari sianida yang mudah larut dengan air. Sehingga bahan yang telah mengalami
perendaman selama 48 jam kadar sianidanya akan terlepas oleh air rendaman yang
diganti sitiap 24 jam. Hal tersebut sangat nyata jika dibandingkan dengan literatur
yang menyebutkan terjadi penurunan kandungan sianida setelah dilakukan
perendaman selama 2 hari. Karena Perendaman air selama beberapa hari dapat
membantu pelarutan dioskorin, karena dioskorin larut dalam air. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Pembayun (2000), proses perendaman menyebabkan air
berdifusi kedalam dinding sel bahan melalui membrane yang sangat permeable.
Air perendaman ini kontak dengan partikel yang akan dilarutkan.
Penurunan sianida setelah proses blancing adalah disebabkan karena sifat
dari sianida yang mudah mengalami evaporasi atau penguapan. Selama proses
penguapan ini sianida akan terpecah menjadi uap yang dipengaruhi oleh suhu
yang tinggi. Dengan tahap ini kandungan sianida yang terdapat pada bahan dapat
jauh menurun lagi dengan tingkat sianida menjadi 22,329 ppm. Proses blancing
pada prinsipnya adalah untuk menginaktifkan enzim, dalam hal ini pengaruh
blancing adalah untuk menginaktifkan enzim liase yang dapat memecah senyawa
aglikol menjadi asam sianida dan senyawa aldehid dan keton (Pambayun, 2000).
Enzim lainya yang di inaktifkan pada proses ini adalah enzim linamerase (β –
glikosidase ) yaitu enzim yang dapat memecah linamarin menjadi senyawa aseton