• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK MELALUI KEGIATAN DI LUAR KELAS DI KELOMPOK B TK MASYITHOH GREGES DONOTIRTO KRETEK BANTUL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK MELALUI KEGIATAN DI LUAR KELAS DI KELOMPOK B TK MASYITHOH GREGES DONOTIRTO KRETEK BANTUL."

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK

MELALUI KEGIATAN DI LUAR KELAS DI KELOMPOK B TK MASYITHOH GREGES DONOTIRTO KRETEK BANTUL

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Alfiana Rinawati NIM 11111244033

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

If teaching is to be effective with young children, it must to assist them to advance

on the way to independence

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,

skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Bapak dan Ibu tercinta, untuk setiap dukungan do‟a dan motivasi yang telah diberikan

2. Almamaterku, Universitas Negeri Yogyakarta

(7)

vii

PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK

MELALUI KEGIATAN DI LUAR KELAS DI KELOMPOK B TK MASYITHOH GREGES DONOTIRTO KRETEK BANTUL

Oleh Alfiana Rinawati NIM 11111244033

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian melalui kegiatan di luar kelas di Taman Kanak-kanak. Kegiatan di luar kelasmerupakan salah satu bentuk pembelajaran di luar kelas yang dapat mendukung anak bertindak aktif dan mengeksplorasi kemandiriannya.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan 2 Siklus mengacu pada model Kemmis dan Mc. Taggart. Masing-masing Siklus dalam tindakan dilaksanakan 3 kali pertemuan. Subyek penelitian ini adalah anak-anak kelompok usia 5-6 tahun di TK Masyithoh Greges yang berjumlah 24 anak-anak, terdiri dari 11 laki-laki dan 13 perempuan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dan kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian anak dapat meningkat melalui kegiatan di luar kelas. Kondisi awal kemandirian anak sebelum tindakan sebagian besar pada kriteria mulai berkembang. Setelah dilaksanakan tindakan Siklus ke I, kemandirian anak meningkat menjadi 50% pada kriteria berkembang sesuai harapan (BSH) dan setelah Siklus II mencapai 78,3% pada kriteria berkembang sesuai harapan (BSH) atau mencapai indiator keberhasilan. Kemandirian anak dalam penelitian ini meliputi indikator tidak bergantung pada orang lain, mempunyai rasa percaya diri, mampu menyelesaikan tugas dengan baik, memiliki inisiatif dan dapat memenuhi kebutuhan dirinya di sekolah. Kegiatan luar kelas yang dilakukan antara lain 1) penugasan di luar ruangan, 2) kegiatan eksplorasi lingkungan sekitar, dan 3) permainan. Guru harus memberi kesempatan kepada anak dengan mengoptimalkan kegiatan di luar kelas atau variasi kegiatan lain untuk meningkatkan kemandirian.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum, wr. wb.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peningkatan Kemandirian Anak melalui Kegiatan di Luar Kelas di Kelompok B TK Masyithoh Greges, Donotirto, Kretek, Bantul”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.) di Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari kelemahan dan keterbatasan yang ada sehingga dalam menyelesaikan proposal skripsi ini memperoleh bantuan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin dalam pelaksanaan penelitian.

3. Dr. Suwarjo, M.Si., dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

4. Ibu Muthmainnah, M.Pd., dosen pembimbing II yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibu, Bapak dan Paman (Yanuar Amin, S.H.) tercinta yang selalu memberikan motivasi, doa serta dukungan moril dan materiil untuk terselesaikannya skripsi ini.

(9)
(10)

x

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN SURAT PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

B. Identifikasi Masalah... 7

C. Batasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN TEORI A. Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini... 10

B. Kemandirian Anak Taman Kanak-kanak ... 12

1. Pengertian Kemandirian ... 12

2. Ciri-ciri Kemandirian Anak ... 14

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian ... 18

(11)

xi

5. Pengembangan Kemandirian Anak... .... 23

C. Kegiatan di Luar Kelas ... 25

1. Pengertian Kegiatan di Luar Kelas ... 25

2. Manfaat Kegiatan di Luar Kelas dalam Peningkatan Kemandirian Anak ... 27

3. Bentuk Penerapan Kegiatan di Luar Kelas.. ... 28

D. Kerangka Pikir ... 32

G. Metode Pengumpulan Data... 42

H. Instrumen Penelitian ... 43

I. Teknik Analisis Data ... 44

J. Indikator Keberhasilan... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 47

1. Lokasi Penelitian ... 47

2. Kondisi Sarana Prasarana ... 47

3. Deskripsi Subjek Penelitian ... 47

4. Data Pengajar ... 48

B. Deskripsi Kondisi Awal Sebelum Tindakan ... 49

C. Hasil Penelitian ... 51

1. Tindakan Siklus I ... 51

2. Tindakan Siklus II... 64

(12)

xii

E. Keterbatasan Penelitian ... 79

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 80

B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 82

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Kisi-kisi Observasi Kemandirian Anak ... 44

Tabel 2. Hasil Observasi Kondisi Awal sebelum Tindakan ... 49

Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Observasi sebelum Tindakan. ... 50

Tabel 4. Hasil Observasi Kemandirian Setelah Siklus I ... 61

Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Observasi setelah Siklus I ... 61

Tabel 6. Hasil Observasi Kemandirian Setelah Siklus II ... 71

Tabel 7. Rekapitulasi Hasil Observasi setelah Siklus II ... 71

Tabel 8. Rekapitulasi Data Kemandirian Anak Sebelum Tindakan, Setelah Siklus I dan Setelah Siklus II ... 72

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Kerangka Pikir... 34

Gambar 2. Desain Penelitian menurut Kemmis dan Mc. Taggart ... 38

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Kisi-kisi Observasi Kemandirian Anak 5-6 tahun ... 87

Lampiran 2. Instrumen Lembar Observasi... 89

Lampiran 3. Jadwal Kegiatan Penelitian ... 91

Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian ... 93

Lampiran 5. Rencana Kegiatan Harian ... 97

Lampiran 6. Hasil Observasi Pra Tindakan ... 116

Lampiran 7. Hasil Observasi Setelah Siklus I ... 120

Lampiran 8. Hasil Observasi Setelah Siklus II ... 127

Lampiran 9. Skenario Pembelajaran di Luar Kelas ... 134

Lampiran 10. Foto Kegiatan Penelitian ... 141

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan sejak lahir sampai usia

enam tahun dengan pemberian stimulus untuk membantu perkembangan,

pertumbuhan baik jasmani maupun rohani. Pendidikan anak usia dini merupakan

dasar dari pendidikan selanjutnya yang penuh dengan tantangan dan berbagai

permasalahan yang dihadapi anak (Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan,

2013: 3). Dengan kata lain bahwa pendidikan anak usia dini merupakan jendela

pembuka dunia (window of opportunity) bagi anak.

Usia dini merupakan masa yang strategis untuk mengoptimalkan semua

aspek perkembangan anak. Sebagaimana dikemukakan oleh Slamet Suyanto

(2005: 6) bahwa anak usia dini merupakan masa emas atau golden age, dimana

potensi yang dimiliki anak berkembang dengan pesat baik itu perkembangan fisik

motorik, sosial, emosional, kognitif maupun bahasa. Seluruh aspek perkembangan

tersebut harus diberikan stimulus agar dapat berkembang secara seimbang.

Pembelajaran anak usia dini merupakan proses interaksi antara anak, orang tua

dan orang dewasa lainnya dalam suatu lingkungan untuk mencapai tugas

perkembangan. Interaksi yang dibangun mencerminkan suatu hubungan dimana

anak akan memperoleh pengalaman bermakna sehingga proses belajar dapat

(17)

2

Salah satu aspek perkembangan yang penting untuk distimulasi yaitu

perkembangan sosial emosional. Kemampuan sosial emosional anak usia dini

ditandai oleh berkembangnya kemampuan anak dalam mengadakan hubungan

interaksi sosial dengan lingkungannya, terbiasa untuk bersikap sopan santun,

mematuhi peraturan yang ada di lingkungannya, disiplin dalam kehidupan

sehari-hari serta dapat menunjukkan reaksi emosi yang wajar (Rosmala Dewi, 2005: 18).

Anak yang dapat mencapai tugas-tugas perkembangan yang sesuai dengan

usianya diharapkan dapat siap memasuki masa belajar selanjutnya.

Steinberg (Ahmad Susanto, 2011: 152) menjelaskan tentang karakteristik

perkembangan sosial emosional anak usia 4-6 tahun adalah anak lebih suka

bekerjasama dengan dua atau tiga teman yang dipilih sendiri atau berpasangan,

mulai mengikuti dan mematuhi aturan, bertanggungjawab membereskan mainan,

memiliki rasa ingintahu yang besar, mampu mengendalikan emosi serta

mempunyai kemauan untuk berdiri sendiri dan berinisiatif. Departemen

Pendidikan Nasional (2010) menjabarkan tingkat pencapaian perkembangan anak

usia 4-5 tahun pada lingkup sosial emosional meliputi menunjukkan sikap mandiri

dalam memilih kegiatan, menunjukkan rasa percaya diri, mau berbagi, menolong,

dan membantu teman. Oleh karena itu, pihak sekolah dan orang tua harus

bekerjasama mengembangkan aspek sosial emosional anak yang sangat penting

untuk bekal anak hidup bermasyarakat.

Terdapat berbagai aspek yang perlu dikembangkan dalam kaitannya

peningkatan kemampuan sosial emosional anak diantaranya adalah kemandirian.

(18)

3

yang dilakukan secara mandiri tanpa harus disuruh. Anak yang belum mandiri

biasanya rentan terhadap kecemasan, ketakutan saat sendirian, selalu ditunggu ibu

saat sekolah, ingin bersama orang lain, kecemasan melakukan sesuatu tanpa

bantuan oranglain, serta kecemasan ketika diberi tugas atau pertanyaan yang

belum dikuasai anak (Kennedy, 2004:6). Kemandirian anak dapat dibangun

melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Sentuhan-sentuhan nyata dari

interaksi dengan lingkungan ini sangat berhubungan dengan emosi, kemauan

untuk melakukan dan bertindak sesuai keinginan sendiri (Sutrisno dan Hary

Sudarto, 2005). Hal tersebut dapat mengurangi ketergantungan anak pada orang

tua dan memperkaya interaksi dan pengalaman dengan orang sekitarnya. Pada

tahap ini anak membutuhkan hubungan emosional yang kuat agar anak merasa

terlindungi. Oleh karena itu diharapkan guru dapat mengambil peran dan

mengarahkan kegiatan anak secara positif terhadap lingkungan.

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti pada tanggal 5-7 Agustus 2015,

permasalahan yang paling menonjol di kelompok B TK Masyithoh Greges adalah

masalah kemandirian anak yang belum tampak. Kondisi tersebut ditunjukkan pada

saat pembelajaran berlangsung, sekitar 8 anak dari 24 anak di kelompok B TK

Masyithoh Greges masih ditunggu orang tuanya, 2 diantaranya masih ditunggu di

dalam kelas. Hal tersebut terlihat sangat mengganggu kegiatan belajar mengajar di

kelas. Anak yang ditunggu di luar kelas juga sering menemui orang tuanya untuk

membantunya mengerjakan tugas. Penyebab anak masih ditunggu orang tua di

kelas maupun di luar kelas adalah anak masih bersikap manja dan tidak mau

(19)

4

belum dapat melepas anak untuk berinteraksi dengan anak lainnya karena

khawatir terhadap anak.

Masalah lainnya yakni terdapat 5 anak dari 24 anak di kelompok B yang

belum mau menunjukkan sikap mandiri dalam mengerjakan tugas yang diberikan.

Sebagian anak sudah mampu mengerjakan tugas sampai selesai namun sebagian

masih sering meminta bantuan guru atau cenderung mengandalkan temannya

untuk ikut membantu mengerjakan. Anak yang masih ditunggu orang tuanya juga

sering meminta bantuan untuk membantu mengerjakan tugas. Kemandirian anak

dalam bekerjasama dengan teman lain juga belum tampak, belum mau berbagi,

masih cenderung bersikap individual dan ketergantungan dengan orang lain masih

tinggi. Ada juga anak yang belum menunjukkan sikap percaya diri dan belum

berani mengungkapkan pendapatnya. Anak tersebut akan cenderung diam saja,

tidak pernah mengobrol dengan teman dan gurunya, namun semua tugas yang

diberikan selesai dikerjakan.

Hasil wawancara dengan guru kelas pada tanggal 6 Agustus 2015

mengungkapkan bahwa guru sudah mencoba untuk mengembangkan kemandirian

anak di kelompok B melalui metode bercerita dan pemberian nasehat. Namun cara

tersebut belum berhasil karena masih banyak anak yang belum menunjukkan

sikap mandiri.Selain itu guru juga sudah memberikan semacam penghargaan bagi

anak yang mau ditinggal orang tua jika sudah masuk kelas. Hal tersebut hanya

bertahan sebentar karena beberapa anak akan mulai menangis dan mencari orang

(20)

5

Terdapat berbagai upaya untuk meningkatkan kemandirian anak

diantaranya penggunaan model pembelajaran dengan beragam jenis kegiatan serta

pendekatan belajar sambil bermain yang dilakukan di luar kelas (kegiatan di luar

kelas). Pembelajaran ini dapat menumbuhkan motivasi, keinginan, rasa percaya

diri dan tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas yang diberikan guru secara

mandiri. Pembelajaran yang menyenangkan diartikan sebagai pembelajaran yang

sesuai dengan dengan karakteristik belajar anak usia dini. Periode anak usia dini

adalah masa peka dalam menerima stimulus-stimulus dari lingkungan sekitarnya.

Dengan demikian lingkungan merupakan unsur penting dalam menyediakan

suplai pembelajaran yang bermakna bagi anak.

Penyediaan lingkungan outdoor (lingkungan di luar ruangan) sebagai salah

satu sarana untuk pembelajaran anak usia dini dapat mendukung terciptanya

suasana belajar yang natural untuk anak dan memungkinkan untuk

mengeksplorasi inderanya, badannya dan berbuat sesuatu yang memang

diinginkan (Dowling, 2010: 26). Kejenuhan rutinitas pembelajaran yang hanya

terbatas pada empat dinding kelas memunculkan suatu ide dan gagasan baru

dalam pendekatan pembelajaran kita yakni melalui kegiatan di luar kelas atau

outdoor activity yang memadukan unsur bermain sambil belajar (andragogi).

Pelaksanaan kegiatan di luar kelas menggunakan beberapa metode seperti metode

tanya jawab, penugasan, observasi, dan bermain. Selain itu juga dapat dengan

menggunakan permainan dan bernyanyi yang memungkinkan anak untuk merasa

senang. Pembelajaran di luar ruangan dapat memberikan suasana yang nyaman,

(21)

6

rasa tanggung jawab yang berguna untuk masa depannya. Pembelajaran di luar

ruangan bukan semata-mata hanya untuk melampiaskan energi anak yang berlebih

tetapi juga dapat dirancang agar anak dapat melakukan kegiatan yang bernilai

untuk perkembangannya (Soemiarti Patmonodewo, 2003: 113).

Adelia Vera (2013: 38) menjelaskan tentang kelebihan pembelajaran di

luar kelas yakni dapat mengembangkan kemandirian anak. Ketika anak belajar di

luar kelas, sebenarnya anak sedang menghilangkan sikap ketergantungan pada

orang lain karena pembelajaran luar kelas menuntut anak untuk bersikap aktif dan

guru hanya bertindak sebagai fasilitator, teman dan pelatih dalam pembelajaran.

Banyak kegiatan yang dapat dilakukan anak di luar ruangan seperti berkebun,

bermain dramatik, bermain pasir dan air serta bermain dengan aturan. Oleh karena

itu pembelajaran luar kelas jika dirancang secara tepat dapat mengembangkan

aspek perkembangan sosial emosional anak terutama kemandirian. Melalui

kegiatan di luar kelas, anak akan bereksplorasi dengan kegiatan yang disediakan

dan berusaha sendiri untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.

Berdasarkan uraian masalah yang timbul di kelompok B TK Masyithoh

Greges, peneliti ingin meningkatkan kemandirian anak melalui kegiatan di luar

kelas. Penggunaan model pembelajaran tersebut diharapkan dapat

(22)

7 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Sebagian anak (8 dari 24 anak) belum mampu berpisah dengan orang tua

selama pembelajaran.

2. Anak masih mengandalkan orang lain ketika mengerjakan tugas.

3. Anak belum berani mengungkapkan pendapatnya dan belum berani tampil.

4. Pengembangan program yang menstimulasi kemandirian anak masih belum

optimal.

5. Guru dan orang tua cenderung membantu anak jika anak tidak menyelesaikan

tugasnya.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, maka

perlu diadakan batasan masalah yakni pada kemandirian anak yang masih kurang

sehingga perlu ditingkatkan.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah, masalah yang akan diteliti

dirumuskan yaitu: “Bagaimana upaya penerapan kegiatan di luar kelas dapat

(23)

8 E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk meningkatkan

kemandirian anak melalui kegiatan di luar kelas di kelompok B TK Masyithoh

Greges.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Untuk menambah referensi bahan pustaka tentang meningkatkan

kemandirian anak melalui kegiatan di luar kelas dan bentuk penerapannya

sehingga dapat dikembangkan di lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi anak

Dapat meningkatkan kemandirian anak secara keseluruhan baik di dalam

maupun di luar ruang kelas, mengurangi ketergantungan dengan orang lain,

melatih kepercayaan terhadap diri sendiri serta menumbuhkan inisiatif dan

tanggungjawab dalam menyelesaikan tugas.

b. Bagi guru

Dapat memberikan inovasi pembelajaran guru dalam rangka

mengembangkan kemandirian anak dan menambah pengalaman guru dalam

(24)

9 BAB II KAJIAN TEORI

A. Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini

Perkembangan anak merupakan proses perubahan perilaku dari yang

belum matang menjadi matang, dari yang sederhana menjadi kompleks, suatu

evolusi manusia dari ketergantungan dengan orang lain hingga menjadi makhluk

yang mandiri. Djais (Ahmad Susanto, 2011) mengungkapkan perkembangan anak

adalah suatu proses perubahan dimana anak belajar menguasai tingkat yang lebih

tinggi dari aspek-aspek motorik, berpikir, perasaan dan interaksi baik dengan

sesama maupun dengan benda-benda di lingkungannya. Begitu pula dengan salah

satu aspek perkembangan anak yaitu perkembangan sosial emosional akan

berkembang jika diberikan stimulus yang sesuai.

Perkembangan sosial dan emosional merupakan dua aspek yang berlainan

namun satu sama lain saling mempengaruhi. Perkembangan sosial dan emosional

pada anak usia dini mengalami kemajuan yang pesat jika orang tua dan guru di

sekolah memberikan pembinaan perilaku dan sikap yang baik. Para psikolog

menjelaskan bahwa pada usia dini merupakan usia yang sangat penting bagi

tumbuh kembang anak (golden age) dan sedang dalam masa pertumbuhan dan

perkembangan yang pesat dalam setiap aspek perkembangan (Muhyidin, dkk.,

2014). Pengembangan sosial emosional pada anak sebaiknya diarahkan pada

pembentukan perilaku sosial emosional untuk membentuk pribadi anak yang

sesuai dengan nilai-nilai di masyarakat. Ahmad Susanto (2011: 134)

(25)

10

usia dini yakni perilaku-perilaku baik seperti kedisiplinan, kemandirian,

tanggungjawab, percaya diri, jujur, adil, setia kawan, kasih sayang terhadap

sesama dan memiliki toleransi yang tinggi.

Aspek perkembangan sosial emosional pada anak usia dini menurut

Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013: 118) diharapkan memiliki

kemampuan dan kompetensi dalam mengenal lingkungan sekitar, mengenal alam,

mengenal lingkungan sosial, peranan masyarakat, dan menghargai keberagaman

sosial budaya di lingkungan sekitar anak. Selain itu diharapkan anak mampu

mengembangkan konsep diri, sikap positif terhadap belajar, memiliki kontrol diri

yang baik dan memiliki rasa empati pada masalah orang lain.

Agoes Dariyo (2013: 63) mengemukakan perkembangan sosial emosional

pada masa kanak-kanak awal masih terikat dan fokus pada hubungan dengan

orang tua dan keluarga. Masa ini ditandai dengan meningkatnya kemandirian,

kemampuan kontrol diri (self-control) dan keinginan memperluas pergaulan

dengan teman sebaya yang diharapkan dapat mengurangi kelekatan emosi dengan

orang tua, mengurangi sifat egosentris dan tidak rasionalnya. Namun, fase

perkembangan setiap anak berbeda sehingga harus distimulasi dengan

kegiatan-kegiatan yang menunjang perkembangan anak. Berdasarkan Permendiknas No. 58

Tahun 2009, tingkat pencapaian perkembangan anak usia 4-5 tahun pada aspek

sosial emosional dibagi menjadi beberapa indikator yakni menunjukkan sikap

mandiri dalam memilih kegiatan; mau berbagi, menolong dan membantu teman;

menunjukkan antusiasme dalam melakukan permainan kompetitif secara positif;

(26)

11

permainan; menunjukkan rasa percaya diri; menjaga diri sendiri dari lingkungan

sekitar dan menghargai orang lain. Pada anak kelompok B di rentang usia 5-6

tahun harus sudah mencapai indikator-indikator tersebut dan diharapkan akan

tercapai melalui pembelajaran dan pendidikan anak usia dini di lembaga yang

diikuti anak. Aspek perkembangan sosial emosional pada anak usia 5-6 tahun

meliputi bersikap kooperatif dengan teman, menunjukkan sikap toleransi,

mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang ada, mengenal tata

krama dan sopan santun sesuai nilai budaya setempat, memahami peraturan dan

disiplin, menunjukkan rasa empati, memiliki sikap gigih (tidak mudah menyerah),

bangga terhadap hasil karya sendiri dan menghargai keunggulan orang lain.

Secara psikologis, tahap perkembangan sosial emosional anak usia 4-6

tahun menurut Erikson dalam Morrison (2012: 84) berada pada tahap initiative

versus guilt yakni kemampuan anak untuk melakukan partisipasi dalam berbagai

kegiatan fisik dan mengambil inisiatif untuk suatu tindakan yang dilakukan. Pada

masa ini anak sedang ingin melakukan semua yang dilihatnya dari orang dewasa

dan berusaha menirunya. Anak harus diberikan dukungan dan menumbuhkan

inisiatif dalam diri mereka agar tidak terjadi perasaan bersalah dalam diri mereka.

Namun pada masa sebelum ini anak usia dini juga melalui masa autonomy vs

shame and doubt (1-3 tahun). Masa dimana anak sudah mampu mandiri dan

percaya diri atau anak cenderung merasa malu-malu dan khawatir terhadap

lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini anak menuju perkembangan kemandirian

dan harus didukung oleh peran orang dewasa di sekitarnya terutama orang yang

(27)

12

dan Jamilah Sabri Sanan, 2013). Jika anak lebih banyak disalahkan dan tidak

diberi penguatan positif terhadap apa yang coba dilakukannya, anak akan menjadi

tidak percaya diri, ragu-ragu dan malu untuk melakukan sesuatu.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

perkembangan sosial emosional pada anak usia dini terutama anak usia Taman

Kanak-kanak harus diarahkan dan terus dikembangkan agar anak memiliki

kompetensi dalam hal membangun hubungan dengan orang lain dan mengenal

lingkungan sekitar. Anak akan terlatih mengembangkan perilaku disiplin, mandiri,

bertanggung jawab, jujur, dan toleransi yang tinggi dengan arahan dari orang

dewasa di sekitarnya.

B. Kemandirian pada Anak Taman Kanak-kanak

1. Pengertian Kemandirian

Pada usia 4-6 tahun perkembangan psikologis anak akan mulai muncul

seperti keinginan untuk mengurus diri sendiri atau mandiri. Kemandirian ini

merupakan salah satu komponen penting yang harus dimiliki anak agar mampu

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Kemandirian tidak terlepas dari

kehidupan sehari-hari yang menjadi dasar tingkah laku anak. Gejala awal

perkembangan kemandirian anak dari yang hanya memperhatikan keinginan diri

sendiri dan ketergantungan kepada keluarga dan berproses hingga menunjukkan

kemampuan mandiri yang lebih tinggi untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungannya. Menurut Arthur (dalam Suryati dan Rita Eka Izzaty, 2007: 17),

hal tersebut terlihat ketika anak memperhatikan kebutuhan orang lain dan mulai

(28)

13

Santrock (2007: 225-226) mengungkapkan bahwa di tahun kedua

periodeperkembangan anak, mereka akan mengembangkan kemandirian diri yang

penting dalam kehidupannya kelak. Anak akan mencoba untuk melakukan segala

sesuatu yang ingin dilakukannnya sendiri seperti pergi ke toilet, membuka

kemasan makanan dan mulai makan sendiri. Orang tua atau pengasuh harus

memberi motivasi pada anak sesuai dengan kemampuannya sehingga anak dapat

belajar mengontrol motoriknya sendiri untuk bergerak. Kemandirian berdasarkan

Permendiknas No. 58 tahun 2009 adalah perkembangan sosial emosional yang

menjadi wahana untuk membina anak agar dapat mengendalikan emosinya secara

wajar sehingga dapat berinteraksi dengan sesamanya dengan baik. Kemandirian

berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai hal atau keadaan

dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Pada anak, sejak kecil

ia sudah biasa sehingga bebas dari ketergantungan pada orang lain.

Muhammad Fadlillah (2013: 195) mengungkapkan bahwa mandiri adalah

sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam

menyelesaikan tugasnya. Mandiri bagi anak sangat penting dan menjadi salah satu

nilai-nilai pilar pendidikan karakter yang harus ditanamkan sejak dini. Hal senada

diungkapkan oleh Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013) bahwa

kemandirian adalah keadaan berdiri sendiri tanpa bergantung orang lain, mampu

bersosialisasi, dapat melakukan aktivitasnya sendiri, dapat berempati, membuat

keputusan sendiri dalam tindakannya dengan orang lain. Kemandirian secara

umum tidak hanya dapat terlihat dari tingkah laku anak, namun juga dalam bentuk

(29)

14

anak mampu berpisah dengan orang tua, masuk kelas dengan nyaman, tidak harus

selalu berinteraksi dengan pengasuhnya dan menunjukkan sikap mandiri dalam

kemampuan dasarnya (makan, BAK, memakai baju). Morrison (2012: 228)

menyebutkan bahwa kemandirian merupakan kemampuan untuk mengerjakan

tugas sendiri, menjaga diri sendiri, memulai proyek tanpa harus selalu diberitahu

apa yang harus dilakukan serta mencakup penguasaan keterampilan diri.

Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kemandirian

merupakan kemampuan atau keterampilan yang dimiliki anak untuk melakukan

aktivitasnya sendiri tanpa ketergantungan dengan orang lain. Anak yang mandiri

akan cenderung membawa ide dan pengalaman mereka dalam pengambilan

keputusan dan menentukan pilihannya. Dorongan dari orang sekitar anak untuk

menumbuhkan kemandirian sangat penting karena karakter mandiri pada anak

usia dini akan sangat bermanfaat dalam melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri

dan untuk bergaul dengan orang lain.

2. Ciri-ciri Kemandirian Anak

Kemandirian pada anak usia dini sangat berkaitan dengan nilai-nilai

pendidikan karakter di Indonesia yang harus ditanamkan agar menjadi generasi

muda yang mempunyai karakter positif untuk kemajuan bangsa. Mandiri

merupakan sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain

dalam menyelesaikan tugas yang diterimanya. Novan Ardy Wiyani (2013: 33)

menjabarkan beberapa ciri-ciri kemandirian pada anak usia dini diantaranya

(30)

15

a. Memiliki kepercayaan terhadap diri sendiri

Anak yang memiliki rasa percaya diri memiliki keberanian untuk melakukan

sesuatu dan menentukan pilihan sesuai dengan kehendaknya dan

bertanggungjawab terhadap konsekuensi yang didapatnya.

b. Memiliki motivasi intrinsik yang tinggi

Motivasi dari dalam diri anak akan mengarahkan dan menggerakkan anak

melakukan sesuatu yang diinginkannya. Keinginan dalam diri anak biasanya

akan mendorong anak bergerak aktif terutama jika anak dihadapkan dengan

situasi yang menyenangkan.

c. Mampu dan berani menentukan pilihannya sendiri

Anak yang mandiri dapat menentukan apa yang ingin dilakukannya sendiri

seperti anak dapat memilih makanan yang akan dimakan, memilih mainan

yang akan digunakan, atau memilih baju yang akan digunakannya untuk

jalan-jalan.

d. Bertindak kreatif dan inovatif

Anak yang kreatif akan melakukan sesuatu atas kehendak sendiri tanpa

disuruh orang lain, tidak bergantung pada orang lain dalam melakukan

sesuatu serta mencoba dan menyukai hal-hal yang baru.

e. Bertanggungjawab menerima konsekuensi atas pilihannya

Anak yang mandiri akan cenderung bertanggung jawab atas keputusan yang

diambilnya apapun yang terjadi. Jika pada anak usia dini ketika salah

(31)

16

lainnya. Anak tidak malu jika melakukan kesalahan dan berusaha

memperbaikinya.

f. Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya

Anak yang berkarakter mandiri akan cepat menyesuaikan diri dengan

lingkungan baru dan dapat belajar walaupun tidak ditunggui oleh orang

tuanya.

g. Tidak bergantung kepada orang lain

Anak yang memiliki karakter mandiri selalu ingin mencoba sendiri dalam

melakukan segala sesuatu, tidak mengandalkan oranglain dan tahu kapan

minta bantuan orang lain. Anak akan berusaha melakukan sendiri, tetapi jika

tidak mampu mendapatkannya, anak baru meminta bantuan orang lain.

Kepercayaan diri anak sangat berkaitan dengan kemandirian. Anak yang

mandiri akan memiliki rasa percaya diri, berani melakukan sesuatu sendiri serta

bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya. Anak juga mempunyai

motivasi dalam diri dan berinisiatif untuk bergerak sesuai apa yang

diinginkannya. Anak yang memiliki karakter mandiri akan cenderung mencoba

melakukan segala sesuatu, tidak bergantung pada orang lain dan tahu kapan dia

akan meminta bantuan.

Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013: 63) menjabarkan ukuran

mandiri untuk anak usia dini dapat terlihat dari ciri-ciri sebagai berikut:

a. Anak dapat melakukan segala aktivitasnya secara sendiri meskipun dengan pengawasan orang tua.

(32)

17

c. Anak dapat bersosialisasi dengan orang lain tanpa perlu ditemani orang tua. d. Anak dapat mengontrol emosi dan mampu berempati terhadap orang lain.

Anak yang mandiri dimulai dari kehidupan di keluarganya dan juga

refleksi dari apa yang didapatnya dari lingkungan sekitar anak. Pemenuhan

kebutuhan dasar anak yang dilakukan secara mandiri akan mendasari timbulnya

keinginan dan motivasi untuk lebih mandiri. Anita Lie dan Sarah Prasasti (2004:

4-5) membagi karakteristik kemandirian anak usia dini yaitu:

a. Mampu mengurus diri sendiri, yang berarti anak mampu mengurus dirinya

sendiri tanpa bantuan orang lain. Dengan demikian anak tidak bergantung

pada orang tua dan bantuan dari orang lain. Anak mengetahui sejauh mana

dia dapat mengerjakan sesuatu sendiri.

b. Mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi artinya anak mampu berpikir

tentang cara untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi berkaitan

dengan masalah dengan orang lain maupun masalah pemahaman akan

sesuatu. Anak mandiri mampu bertindak tanpa harus diingatkan dan memiliki

inisiatif yang tinggi.

c. Mampu bertanggungjawab atas barang-barang yang dimiliki yang berarti

anak dapat mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkannya secara

mandiri. Anak tahu apa saja perlengkapan sekolah yang dibutuhkannya dan

bagaimana cara memperlakukan barang-barang miliknya.

Berdasarkan pada uraian diatas, anak yang memiliki karakter mandiri

(33)

18

memiliki kepercayaan diri dan berani bertindak atau berinisiatif melakukan hal

yang perlu dilakukan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak

Pengembangan kemandirian dapat terwujud jika disertai peran orang tua

dalam menyadari arti kemandirian bagi anak. Pengasuhan dan perawatan oleh

orang tua serta peran guru ketika di sekolah sangat berpengaruh. Guru sebagai

penanggung jawab kegiatan di sekolah harus terampil melatih dan membiasakan

anak agar mandiri. Guru dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman,

menyusun strategi pembelajaran, mengintegrasikan pembelajaran kemandirian

dengan aktivitas anak baik di dalam maupun di luar kelas serta memberikan

contoh yang baik kepada anak (Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan, 2013:

79). Kemandirian pada anak usia dini tidak serta merta dapat terbangun dengan

sendirinya. Anak perlu dilatih dan diberikan pembelajaran kemandirian sejak

dini. Tanpa diajarkan, anak tidak akan tahu bagaimana mereka harus membantu

dirinya sendiri. Orang tua dan guru harus mengetahui faktor-faktor kemandirian

anak agar dapat membentuk karakter mandiri kepada anak.

Novan Ardy Wiyani (2013: 37) membagi beberapa faktor yang

mempengaruhi timbulnya kemandirian anak yakni faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang muncul dari diri sendiri

meliputi kondisi fisiologis seperti jenis kelamin dan kesehatan jasmani anak dan

kondisi psikologis berupa kecerdasan dan kemampuan kognitif yang dimiliki

anak. Anak yang memiliki keterbatasan fisik dan psikologis belum tentu tidak

(34)

19

dengan pelatihan dan pembelajaran ekstra dari semua pihak. Adapun faktor

eksternal yang mempengaruhi kemandirian anak meliputi lingkungan sebagai

sumber stimulus anak, rasa cinta dan kasih sayang yang diberikan orang tua, pola

asuh orang tua dalam keluarga dan pengalaman dalam kehidupan seperti ketika

perpindahan lingkungan rumah ke sekolah. Anak yang cenderung manja dan

selalu bergantung pada orang lain mungkin menerima perlakuan berlebihan dari

orang tua dan keluarganya. Anak terbiasa untuk memenuhi kebutuhan dirinya

dengan bantuan dan orang tua juga cenderung tidak memberi kesempatan

seluas-luasnya pada anak untuk mengembangkan dirinya.

4. Aspek Kemandirian Anak

Kemandirian pada seorang anak pada hakikatnya tidak bersifat tunggal

melainkan bersifat jamak, yakni anak dikatakan mandiri tidak hanya dilihat dari

satu aspek saja. Menurut Havighurst, dalam Martinis Yamin dan Jamilah Sabri

Sanan (2013: 65) disebutkan beberapa aspek kemandirian yaitu kemandirian

emosi, ekonomi dan intelektual. Kemandirian emosi pada anak ditunjukkan

dengan kemampuan anak untuk mengontrol emosi dan ketergantungan kebutuhan

emosinya dengan orang tua. Kemandirian ekonomi ditandai dengan kemampuan

anak mengatur ekonominya sendiri dan ketergantungan ekonominya dengan

orang tua. Anak sudah terbiasa untuk menabung dan tidak membebani orang tua

dengan permintaan yang berlebihan. Selanjutnya kemandirian intelektual

(35)

20

dihadapi, kemampuan berinteraksi dengan orang lain dan tidak tergantung

dengan orang lain.

Anak yang matang dan menjadi dewasa bukan hanya anak yang sekedar

tumbuh secara fisik tetapi juga secara emosional, mental dan moral, termasuk

perkembangan kemandirian (Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan, 2013:

69). Anak yang mandiri secara fisik cenderung akan bekerja sendiri dan

menggunakan fisiknya untuk mengerjakan aktivitas kehidupannya. Anak mandiri

secara mental adalah anak yang dapat berpikir sendiri, menggunakan

kreativitasnya, mampu mengekspresikan gagasannya dan tidak mengandalkan

orang lain. Secara emosional, anak yang mandiri adalah anak yang mampu

mengelola emosinya dan mandiri secara moral, anak memiliki sikap-sikap yang

sesuai dengan perilaku yang ada di lingkungannya. Berikut ini pembagian aspek

kemandirian yang ada pada anak usia dini menurut Martinis Yamin dan Jamilah

Sabri Sanan (2013: 80-85) yaitu:

a. Kemandirian sosial dan emosi

Bentuk kemandirian ini ditunjukkan oleh anak yang melalui fase

pemisahan untuk lepas dari ketergantungannya dengan orang tua dan orang

dewasa di sekitarnya, anak memiliki pengalaman transisi ke lingkungan yang

berbeda serta bekerjasama dalam kelompok untuk membina hubungannya dengan

orang lain. Anak yang mandiri akan mencoba untuk melakukan segala sesuatu

yang ingin dilakukannya sendiri dan tahu kapan ia akan meminta bantuan. Anak

cenderung menghilangkan sifat ketergantungan kepada orang lain dan dapat

(36)

21

akan dapat berpisah dalam waktu singkat dengan orang tuanya. Anak dapat masuk

kelas dengan nyaman dan tidak selalu berinteraksi dengan pengasuhnya. Anak

juga mulai dapat menjalin hubungan dengan orang lain secara independen.

b. Kemandirian fisik dan fungsi tubuh

Kemandirian ini ditandai dengan anak dapat memenuhi kebutuhan akan

dirinya. Misalnya anak makan sendiri, memakai pakaian sendiri, membersihkan

diri sendiri dan belajar sendiri. Pada anak usia Taman Kanak-kanak yang mandiri,

anak terbiasa untuk pergi ke toilet sendiri tanpa bantuan dan mencuci tangan

setelah kegiatan. Anak juga akan cenderung bertindak sendiri menyiapkan

keperluannya dan membereskan peralatan sekolahnya sendiri tanpa bantuan orang

lain. Tugas melayani diri sendiri dilakukan anak atas inisiatif sendiri karena sadar

bahwa itu adalah tanggungjawabnya. Pengoptimalan kemandirian ini sangat

penting agar anak siap dalam menghadapi kehidupannya kelak.

c. Kemandirian intelektual

Kemandirian intelektual lebih mengacu pada bagaimana anak dapat

mandiri belajar dan memperoleh pengetahuan. Kemandirian anak dapat dilihat

dari bagaimana anak menyelesaikan tugasnya sendiri dan orang tua harus

memberikan kesempatan untuk mengerjakan tugasnya sendiri. Anak juga dapat

mengatasi permasalahan yang dihadapi dengan caranya sendiri dan berinisiatif

memilih sesuatu yang diminati. Anak yang mandiri mampu mengambil keputusan

sederhana seperti mengambil tugas yang harus dilakukannya sendiri dan memilih

(37)

22

terutama dalam hal keinginan untuk mencoba sesuatu yang baru serta berinisiatif

menuangkan ide dan gagasannya.

Pada anak usia dini, aspek kemandirian yang perlu ditingkatkan agar anak

memiliki karakter mandiri diantaranya mandiri secara sosial emosi yakni tidak

bergantung pada orang lain, mandiri secara fisik dan fungsi tubuh yakni dapat

memenuhi kebutuhan dirinya tanpa bantuan serta mandiri secara intelektual

berupa mandiri dalam menyelesaikan tugas sederhana yang diberikan.

Di antara berbagai macam aspek kemandirian pada anak usia dini,

beberapa ahli mengemukakan berbagai indikator kemandirian yang perlu

ditingkatkan sejak dini. Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013: 77)

mengemukakan beberapa indikator kemandirian anak usia dini dirangkum dari

pendapat para ahli yakni serangkaian kegiatan yang mencerminkan kemampuan

sesorang dalam kemampuan fisik, percaya diri, bertanggung jawab, disiplin,

pandai bergaul, saling berbagi dan dapat mengendalikan emosi.

Hal berbeda dikemukakan oleh Novan Ardy Wiyani (2013: 29) yang

membagi indikator kemandirian yang harus ditingkatkan pada anak usia dini yaitu

kemampuan untuk menentukan pilihan, berani memutuskan sesuatu atas

pilihannya sendiri, bertanggung jawab atas pilihannya, memiliki rasa percaya diri,

mampu mengarahkan dan mengembangkan diri, mampu menyesuaikan diri

dengan lingkungan dan menunjukkan sikap berani. Sebagai bahan pertimbangan

bagi guru dan orang tua mendorong anak menuju kemandirian, maka perlu

(38)

23

menentukan sendiri apa yang diputuskannya. Upaya ini diharapkan agar anak

memiliki rasa percaya diri dalam mengambil keputusan untuk dirinya.

Dari paparan pendapat diatas maka peneliti menyimpulkan beberapa

indikator peningkatan kemandirian anak usia dini dari aspek kemandirian emosi

sosial, intelektual dan fisik (tindakan) yakni tidak bergantung pada orang lain,

memiliki rasa percaya diri, mempunyai inisiatif dalam bertindak, mampu

memenuhi kebutuhan dirinya dan menyelesaikan tugas sendiri tanpa bantuan

orang lain.

5. Pengembangan Kemandirian Anak

Suryati Sidharto dan Rita Eka Izzaty (2007) mengemukakan beberapa

aplikasi kemampuan yang berkenaan dengan kemandirian yang dapat distimulasi

melalui proses kegiatan belajar mengajar anak Taman Kanak-kanak yaitu

membelajarkan demonstrasi mandi dan gosok gigi, memakai pakaian dan sepatu

sendiri serta pemberian penghargaan kepada anak dengan memberi kebebasan

untuk berkreasi. Selanjutnya anak juga diberikan kesempatan agar berani

menyatakan apa yang dirasakannya dan memperlihatkan pada kejadian yang

mengundang empati anak. Anak akan mendapat pembelajaran sikap peduli

terhadap orang lain dan lingkungan sekitarnya. Penanaman rasa percaya diri juga

sebagian dari pengembangan kemandirian anak karena percaya diri menjadi

modal seorang individu untuk berkembang mencapai kemampuan penyesuaian

diri dengan baik. Anak yang memiliki rasa percaya diri, cenderung akan memiliki

inisiatif dalam mengambil keputusan dan berani bertindak sesuai dengan

(39)

24

Penanaman kemandirian pada anak sejak dini harus memperhatikan

beberapa hal berikut yaitu:

a. Kepercayaan, rasa percaya diri dalam diri perlu ditanamkan pada anak-anak

dengan memberikan kepercayaan untuk melakukan sesuatu yang yang

mampu dilakukannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan untuk mengenalkan

suasana sekolah yang mungkin masih asing dan berat bagi anak.

b. Kebiasaan, pemberian kebiasaan yang baik kepada anak sesuai dengan usia

dan tingkat perkembangannya dapat dilakukan dengan membuang sampah

pada tempatnya, mencuci tangan serta meletakkan alat main pada tempatnya

semula yang dapat menjadi awal anak bersikap mandiri di sekolah.

c. Komunikasi merupakan hal yang penting dalam menjelaskan tentang

kemandirian dengan bahasa yang mudah dipahami atau melalui pembacaan

cerita atau pemberian nasihat untuk anak.

d. Disiplin melalui proses pengawasan dan bimbingan guru dan orang tua yang

konsisten.

Pendapat lain diungkapkan oleh Desmita (2011: 190) tentang beberapa

upaya pengembangan kemandirian anak di sekolah diantaraya:

a. Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis dan memungkinkan anak untuk merasa dihargai

b. Mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan dalam berbagai kegiatan sekolah.

c. Memberi kebebasan anak untuk mengeksplorasi lingkungan sehingga mendorong rasa ingin tahu mereka.

d. Penerimaan positif terhadap kelebihan maupun kekurangan anak, tidak membeda-bedakan satu sama lain.

(40)

25

Pengembangan atau peningkatan kemandirian untuk membentuk karakter

mandiri pada diri anak usia dini terutama usia Taman Kanak-kanak memerlukan

rangsangan dan dorongan untuk bereksplorasi secara berulang-ulang agar rasa

tanggung jawab anak dapat terbentuk. Untuk itu peran orang tua dan guru sangat

penting dengan memberikan kesempatan pada anak untuk berinisiatif serta

menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga anak tahu bagaimana

melaksanakan tugas yang diberikan dan mandiri dalam bertindak sehari-hari.

Selain itu guru dan orang tua diharapkan dapat menyediakan berbagai bentuk

pembelajaran yang dapat meningkatkan kemandirian anak sejak

dini.Pembelajaran yang mendorong peningkatan kemandirian anak dapat

dilakukan dengan berbagai metode seperti pembiasaan, metode bercerita,

bermain maupun kegiatan belajar yang mendorong eksplorasi anak.

C. Kegiatan di Luar Kelas

1. Pengertian Kegiatan di Luar Kelas

Kegiatan di luar kelas atau pembelajaran luar kelas merupakan salah satu

pendekatan pembelajaran yang berlangsung di luar kelas. Tujuannya adalah

untuk mengeksplorasi lingkungan sebagai sumber belajar bagi anak. Menurut

Husamah (2013: 22), outdoor learning atau juga dikenal dengan kegiatan di luar

kelas, outdoor study dan pembelajaran lapangan diartikan sebagai pendidikan

yang berlangsung di luar kelas yang melibatkan pengalaman dan partisipasi siswa

untuk mengikuti tantangan petualangan yang diberikan. Pembelajaran luar kelas

tidak hanya sekadar memindahkan pembelajaran tetapi juga mengajak anak untuk

(41)

26

perubahan perilaku siswa agar lebih bertanggungjawab. Pendekatan outdoor ini

menggunakan setting terbuka sebagai sarana utama serta dipergunakan untuk

mengasah aktivitas fisik dan sosial anak dimana anak akan lebih banyak

melakukan kegiatan-kegiatan yang secara tidak langsung melibatkan kerjasama

antar teman dan kemampuan berkreasi. Aktivitas ini memunculkan proses

komunikasi, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, saling memahami dan

menghargai perbedaan.

Hal senada juga dikemukakan oleh Adelia Vera (2012: 17) bahwa kegiatan

di luar kelas atau outing class diartikan sebagai suatu kegiatan menyampaikan

pembelajaran di luar kelas, sehingga kegiatan atau aktivitas belajar mengajar

berlangsung di alam bebas atau luar kelas dan melibatkan alam secara langsung

sebagai sumber belajar bagi anak. Konsep yang melandasi pendekatan kegiatan di

luar kelas menurut Hary Yuliarto (2010: 3) antara lain fenomena pendidikan yang

ada selama ini tidak menempatkan anak sebagai subyek, setiap anak unik serta

memiliki kelebihan dan kekurangan, dunia anak adalah dunia bermain serta usia

anak merupakan usia yang paling kreatif dalam hidup manusia namun kurang

memberi kesempatan pada anak untuk mengembangkannya.

Kegiatan luar kelas bagi anak usia dini dapat mendukung terciptanya

susasana belajar yang berbeda dengan yang ada di kelas sehingga pengalaman

belajar anak menjadi lebih luas dan tidak membosankan. Dengan demikian anak

(42)

27

2. Manfaat Kegiatan di Luar Kelas dalam Peningkatan Kemandirian Anak

Pelaksanaan kegiatan di luar kelas pada anak usia dini dapat memberikan

manfaat yang luar biasa terutama dalam peningkatan kemandirian anak. Namun

manfaat yang dirasakan tidak hanya sebatas pada hal tersebut. Kegiatan luar kelas

memungkinkan anak untuk mendapatkan motivasi belajar yang tinggi, meaningful

learning, mengasah aktivitas fisik dan kreativitas, merangsang penguasaan

keterampilan sosial anak serta mendapatkan penbelajaran dengan suasana yang

nyaman dan menyenangkan (Adelia Vera, 2012). Kegiatan luar kelas akan

mendorong anak antusias dalam mengikuti kegiatan karena setting alam terbuka

akan memberikan suasana yang menyenangkan bagi anak.

Kegiatan yang dilakukan di luar kelas menuntut anak untuk bersikap aktif

dan inisiatif untuk mencapai tujuan belajar. Anak belajar dengan mengeksplorasi

sumber belajar di luar ruangan dan sesuai dengan capaian perkembangan yang

diharapkan. Dengan demikian anak sedikit demi sedikit menghilangkan

ketergantungan dengan orang lain minimal ketergantungan terhadap guru. Dalam

hal ini guru bertindak sebagai fasilitator dalam pembelajaran, mengarahkan dan

tidak terlalu mengintervensi anak.

Hal serupa juga dikemukakan The Early Years Foundation Stage (2007)

bahwa kegiatan di luar kelas pada anak akan mendukung kepercayaan diri siswa,

penghargaan terhadap kemampuan dirinya dan mengembangkan kemandirian

dalam mengambil keputusan dalam mengeksplorasi lingkungan sumber

(43)

28

untuk berkembang sesuai kodratnya sebagai anak dan memiliki kemampuan untuk

beradaptasi di lingkungan yang berbeda.

3. Bentuk Penerapan Kegiatan di Luar Kelas dalam Pembelajaran

Hary Yuliarto (2010) menjabarkan beberapa elemen yang perlu

diperhatian diperhatikan dalam kegiatan di luar kelas yaitu : 1) Alam terbuka

sebagai sarana kelas; 2) Berkunjung ke objek langsung; 3) Unsur bermain sebagai

dasar pendekatan; 4) Guru harus mempunyai komitmen. Setting alam terbuka

membutuhkan partisipasi aktif dari siswa untuk mengeksplorasi pengetahuan dari

sumber yang telah disediakan dan pengamatan langsung juga menjadi teknik yang

dilakukan dalam pembelajaran di luar kelas. Hary Yuliarto menambahkan bahwa

aktivitas luar kelas atau kegiatan di luar kelas bagi anak akan lebih tepat jika

dilakukan dengan metode bermain karena bermain dapat menjadi wahana bagi

anak untuk mengembangkan watak dan kepribadiannya. Oleh karena itu, guru dan

orang tua harus lebih pandai dan bijak dalam memilih model atau jenis

pembelajaran yang tepat sesuai situasi lingkungan. Guru juga harus

memperhatikan faktor keamanan karena di alam bebas mempunyai tingkat

keriskanan yang tinggi terhadap keselamatan siswa.

Kegiatan di luar kelas untuk anak usia dini atau anak usia Taman

Kanak-kanak harus disajikan dengan memperhatikan karakteristik dan sesuai untuk anak.

Kegiatan di luar kelas dapat dilaksanakan dengan berbagai metode yang sesuai.

(44)

29

sesuai dengan kebutuhan anak menurut Adelia Vera (2012: 107) diantaranya

adalah:

a. Metode Penugasan

Metode penugasan adalah suatu cara penyajian bahan pembelajaran dari

seorang guru dengan memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan

belajar. Jika pembelajaran dilakukan di luar kelas, maka anak harus

menyelesaikan tugasnya saat itu juga di luar kelas. Pemberian tugas pada anak

usia dini harus jelas dan terperinci agar tidak membingungkan anak seperti bahan

dan alat yang diperlukan, serta darimana anak memulai dan mengakhiri

(Moeslichatoen, 2004: 182). Melalui metode ini dapat muncul kemandirian pada

diri anak. Mereka tidak akan bergantung banyak pada orang lain dan muncul

usaha untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Jika metode ini digunakan

dalam kegiatan di luar kelas, anak akan lebih terdorong untuk belajar dengan

berbagai variasi sehingga tidak bosan dan terasa menyenangkan.

Penugasan di luar kelas akan mendorong anak untuk mulai

mempersiapkan berbagai keperluan yang akan dibawanya ke luar kelas dan

memilih tempat yang disukainya. Hal tersebut dapat menumbuhkan kemandirian

dirinya dalam meminimalkan ketergantungan kepada orang lain. Penugasan yang

dilakukan di luar kelas bisa berupa kegiatan menggambar, melukis, dan

menempel dengan bahan alam yang ada di lingkungan sekitar sekolah.

b. Metode Tanya Jawab

Metode ini menggunakan teknik tanya jawab seperti guru memberikan

(45)

30

pertanyaan feedback kepada guru jika belum paham. Pada kegiatan belajar di luar

kelas, metode ini memungkinkan terjadinya komunikasi aktif antara guru dan

anak. Metode tanya jawab ini dapat dilakukan oleh guru ketika pembelajaran

jelajah lingkungan atau jalan-jalan. Guru bertanya tentang segala hal yang sudah

atau belum diketahui anak sepanjang perjalanan. Guru juga harus memberi

kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapatnya atau bertanya sehingga

pembelajaran akan menjadi lebih bermakna.

c. Metode Bermain

Metode bermain atau belajar dengan bermain dan permainan ini mengajak

siswa untuk memperoleh pemahaman tentang konsep, nilai, moral dan norma

sehingga menghasilkan pengalaman yang berharga. Moeslichatoen (2004: 33)

menjelaskan bahwa dengan kegiatan bermain anak akan memperoleh kesempatan

memilih kegiatan yang disukainya, bereksperimen dengan berbagai macam alat

dan bahan, belajar memecahkan masalah, berperan dalam kelompok,

meningkatkan kepekaan perasaannya dan memperoleh pengalaman yang

menyenangkan. Permainan yang mengasah ketangkasan dan keberanian anak

dapat dirancang oleh guru untuk membentuk kepribadian anak yang mandiri dan

percaya diri. Contoh bermain yang dapat digunakan oleh guru pada pembelajaran

luar kelas ini sangat banyak macamnya dan disesuaikan dengan kebutuhan. Jika

dikaitkan dengan peningkatan kemandirian anak, bermain yang cocok untuk anak

adalah permainan yang menantang keberanian anak untuk mencoba dan

mengendalikan tubuhnya. Seperti permainan outbound, games dan permainan

(46)

31

d. Metode Observasi

Metode observasi pada kegiatan di luar kelas merupakan kegiatan atau

cara belajar di luar kelas yang dilakukan dengan melihat atau mengamati sesuatu

yang sedang dipelajari secara langsung di alam bebas. Anak diajak berkeliling di

sekitar lingkungan sekolah misalnya di sawah, sungai, pasar atau tempat lain

untuk melakukan pengamatan terhadap obyek yang berkaitan dengan pokok

bahasan yang sedang dipelajari. Hasilnya anak dapat mencatat apa saja yang

ditemui. Namun untuk anak usia dini, tidak memungkinkan anak melakukan

pencatatan sehingga dapat dialihkan menjadi pengumpulan benda-benda untuk

dikenalkan kepada teman lain atau dalam bentuk penggambaran tentang tempat

yang dikunjungi. Metode observasi ini dapat dilakukan dengan cara jelajah

lingkungan atau jelajah alam sekitar. Pembelajaran jelajah lingkungan ini

mengajak anak untuk mengenal objek, gejala dan permasalahan yang terjadi di

lingkungan sekitar anak serta menemukan konsep yang dapat dipelajarinya

(Husamah, 2013: 39). Keuntungan penggunaan kegiatan jelajah lingkungan ini

bagi anak adalah mendorong anak untuk menumbuhkan minat belajarnya dan

belajar dengan pengamatan sendiri.

Aktivitas luar kelas yang digunakan pada pembelajaran anak dapat berupa

permainan, cerita, olahraga, eksperimen, perlombaan, mengenal kasus-kasus

lingkungan di sekitarnya, aksi lingkungan, dan jelajah lingkungan. Bentuk-bentuk

aktivitas di luar kelas tersebut dapat dirancang dalam pembelajaran untuk

(47)

32 D. Kerangka Pikir

Anak-anak yang mandiri adalah anak yang percaya diri dan memiliki

motivasi instrinsik yang tinggi. Karakter mandiri dalam diri anak merupakan

modal dasar bagi anak untuk meraih masa depannya dan berhasil dalam

kehidupan bermasyarakat. Peran orang tua dan orang dewasa di sekitar anak

sangat penting untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemandirian anak.

Kemandirian anak di kelompok B TK Masyithoh Greges masih kurang

dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di sekolah. Anak masih bergantung pada

orang lain dan belum menunjukkan sikap percaya diri dalam bertindak. Selain itu,

anak juga masih belum mandiri dalam mengikuti kegiatan dan cenderung kurang

bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas. Guru sudah menggunakan

berbagai cara untuk meningkatkan kemandirian anak di sekolah namun belum

tercapai. Oleh karena itu diperlukan kegiatan pembelajaran yang tepat untuk

membantu meningkatkan kemandirian anak.

Bentuk pembelajaran yang disajikan yakni melalui kegiatan di luar kelas.

Kegiatan ini memberikan kesempatan pada anak untuk belajar mengeksplorasi

lingkungan luar kelasnya, bertindak aktif, mengikuti aturan, belajar

menyelesaikan masalahnya sendiri dan berinisiatif (Adelia Vera, 2012).Jadi

kegiatan di luar kelas ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan

kemandirian anak serta mendukung aspek kemampuan yang lain. Kegiatan yang

dilakukan di luar kelas ini meliputi kegiatan eksplorasi lingkungan sekitar,

(48)

33

Kegiatan-kegiatan yang disajikan ketika pelaksanaan kegiatan di luar kelas

dapat meningkatkan kemandirian anak sesuai indikator yakni tidak bergantung

pada orang lain, menyelesaikan tugas dengan baik, mempunyai rasa percaya diri,

memiliki inisiatif dan dapat memenuhi kebutuhan dirinya di sekolah. Indikator

kemandirian anak mengacu pada penjabaran aspek kemandirian yang

dikemukakan Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013: 80-85).

Pada kegiatan eksplorasi, anak didorong untuk mampu berinisiatif

mengungkapkan pendapatnya, aktif bertanya dan membangun interaksi dengan

anak lain sehingga meningkatkan kemandirian sesuai indikator memiliki rasa

percaya diri. Guru mendorong anak untuk aktif berpendapat dengan mengajak

anak mendiskusikan hal-hal yang mereka temukan dan dikaitkan dengan tema.

Pada kegiatan penugasan di luar kelas, anak didorong untuk dapat menyelesaikan

tugas yang diberikan sehingga kemandirian emosi dan intelektualnya meningkat

karena tidak bergantung pada orang lain dan berupaya menyelesaikan tugasnya

sendiri. Guru memberikan kesempatan kepada anak untuk menyiapkan

keperluannya untuk mengerjakan tugas dan memberikan motivasi agar anak

menyelesaikan tugasnya sendiri. Pada kegiatan permainan yang membutuhkan

fungsi motorik, aspek kemandirian anak secara fisik juga akan berkembang karena

anak mau mencoba bermain melalui permainan yang diberikan. Ketika anak

dihadapkan dengan permainan, anak terlihat mau mencoba bermain mengikuti

aturan. Hal tersebut mempengaruhi motivasi anak lain sehingga mereka mau

(49)

34

Gambar 1. Kerangka Pikir

E. Hipotesis Tindakan

Dari pemaparan kajian teori dapat diambil kesimpulan sementara bahwa

kemandirian anak terutama tidak bergantung pada orang lain, mempunyai rasa

percaya diri, mampu memenuhi kebutuhan dirinya dan menyelesaikan tugas

tanpa bantuan orang lain dapat ditingkatkan melalui kegiatan di luar kelas yang

terangkum dalam kegiatan penugasan di luar kelas, eksplorasi lingkungan sekitar,

dan permainan.

Kemandirian anak kurang

Kegiatan di luar kelas

-Penugasan

-Eksplorasi

lingkungan sekitar

-Games/permainan

(50)

35 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas

(classroom action research). Penelitian tindakan kelas merupakan suatu

pencermatan terhadap kegiatan belajar-mengajar berupa sebuah tindakan yang

sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama (Suharsimi

Arikunto, 2007: 3). Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki

pelaksanaan pembelajaran dan mengembangkan keterampilan pendidik. Wina

Sanjaya (2009: 26) mengemukakan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan

proses pengkajian masalah pembelajaran yang ada di kelas melalui refleksi diri

dalam upaya memecahkan masalah menggunakan berbagai cara yang terencana

serta menganalisis pengaruh dari perlakuan tersebut.

Dalam penelitian tindakan kelas ini peneliti bertindak sebagai observer

dan guru sebagai kolaborator karena pola penelitian tindakan kelas ini adalah pola

kolaboratif dimana guru berperan sebagai anggota tim peneliti dan melaksanakan

tindakan sebagaimana yang telah direncanakan oleh peneliti (Wina Sanjaya, 2009:

59). Penelitian tindakan kelas berasal dari suatu masalah di dalam kelas yang

ditemukan untuk dikembangkan menuju ke arah positif. Untuk mengembangkan

kemandirian anak, peneliti melakukan tindakan perbaikan menggunakan kegiatan

(51)

36 B. Subyek dan Obyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah anak berusia 5-6 tahun atau anak kelompok B

di Taman Kanak-kanak. Pada usia ini, sikap mandiri dan rasa percaya diri anak

diharapkan sudah muncul dan berkembang terutama pada sikap tidak bergantung

pada orang lain dan memiliki kepercayaan diri dalam menyelesaikan tugasnya.

Namun pada anak kelompok B TK Masyithoh Greges, yang berjumlah 24 anak

terdiri dari 11 laki-laki dan 13 perempuan, belum terlihat kemandirian yang

diharapkan muncul. Obyek penelitian ini adalah peningkatan kemandirian anak

melalui kegiatan di luar kelas.

C. Definisi Operasional

Untuk menghindari kemungkinan meluasnya pemahaman terhadap

permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, maka perlu disampaikan

definisi operasional yang digunakan yaitu sebagai berikut:

1. Kemandirian yang dimaksud adalah anak tidak bergantung pada orang lain,

mempunyai rasa percaya diri, menyelesaikan tugas tanpa bantuan orang lain,

memiliki inisiatif dan dapat memenuhi kebutuhan dirinya di sekolah.

Kemandirian diukur dengan lembar observasi yang menunjukkan frekuensi

dari perilaku yang muncul.

2. Penelitian ini difokuskan pada kegiatan di luar kelas (outdoor activities) yang

merupakan salah satu pengembangan dari program outdoor learning.

Kegiatan di luar kelas adalah kegiatan pembelajaran di luar kelas yang

(52)

37

bereksplorasi dengan lingkungan serta menjalin interaksi dengan teman.

Program kegiatan di luar kelas ini bertujuan mendorong anak bersikap aktif,

inisiatif dan tidak bergantung pada orang lain ketika berpartisipasi dalam

kegiatan yang disampaikan. Program kegiatan di luar kelas dibagi menjadi

beberapa kegiatan yaitu eksplorasi atau jelajah lingkungan sekitar, penugasan

di luar kelas dan permainan

D. Setting Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kelompok B TK Masyithoh Greges dengan

alamat Greges, Donotirto, Kretek, Bantul, Yogyakarta 55772. Lokasi sekolah

yang berada di pinggiran desa dan memiliki halaman yang luas sangat

memungkinkan anak untuk belajar di luar kelas dengan nyaman. Waktu

pelaksanaan tindakan pada kelompok B di TK Masyithoh Greges adalah pada

bulan Juli-September 2015.

E. Model Penelitian

Model penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah model penelitian yang

dikembangkan oleh Kemmis dan Mc. Taggart lalu diaplikasikan sesuai dengan

kebutuhan peneliti. Metode ini menggunakan siklus sistem spiral dan

masing-masing siklus terdiri dari empat komponen pokok yaitu perencanaan (plan),

perlakuan/tindakan (act), pengamatan (observe) dan refleksi (reflect) (Rochiati

(53)

38

siklus di mana siklus kedua merupakan perbaikan dari siklus pertama dan

seterusnya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Keempat komponen tersebut menunjukkan sebuah siklus atau kegiatan

berkelanjutan dan berulang yang ditampilkan pada gambar berikut ini:

Keterangan:

Siklus I:

1.Perencanaan I

2.Tindakan I dan Observasi I 3.Refleksi I

Siklus II:

1.Revisi Perencanaan I dan Perencanaan II 2.Tindakan II dan Observasi II

3.Refleksi II

Gambar 2. Desain penelitian menurut Kemmis dan Mc. Taggart (Wijaya Kusumah dan Dedi Dwitagama, 2011: 21)

F. Rencana Pelaksanaaan

1. Perencanaan Tindakan Siklus I

Pada tahap perencanaan tindakan, peneliti bekerjasama dengan guru kelas

untuk merencanakan segala sesuatu yang akan dilakukan. Perencanaan itu adalah

sebagai berikut:

a. Merencanakan kegiatan yang dilakukan di luar kelas (outdoor) dan

menentukan tema dan sub tema yang sesuai. Tema dalam penelitian ini

adalah “Diri Sendiri” dengan sub tema “Panca Indera dan Anggota Tubuhku”.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pikir
Gambar 2. Desain penelitian menurut Kemmis dan Mc. Taggart (Wijaya Kusumah dan Dedi Dwitagama, 2011: 21)
Tabel 1. Kisi-kisi Lembar Observasi Kemandirian Anak
Tabel  2.  Hasil Observasi Kondisi Awal sebelum Tindakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada siklus I peneliti menargetkan prosentase pencapaian 75% anak minimal mencapai berkembang sesuai harapan (BSH), dari hasil pelaksanaan siklus I jumlah anak yang

Setelah dilakukan tindakan Siklus II rata-rata kemampuan motorik halus anak meningkat 84% artinya kemampuan motorik halus anak berkembang sangat baik.Kesimpulan dari

Setelah dilakukan tindakan Siklus II rata-rata kemampuan motorik halus anak meningkat 89,64% artinya kemampuan motorik halus anak berkembang sangat baik.Kesimpulan dari

Pada siklus II peneliti mentargetkan prosentase pencapaian 85% anak minimal mencapai berkembang sesuai harapan, jumlah anak yang mampu mencapai kriteria yang

Skor 2 = Mulai Berkembang (MB), jika anak mampu mencapai indikator meskipun dengan bantuan orang lain’ Skor 3 = Berkembang Sesuai Harapan (BSH), jika anak mampu mencapai

Pada siklus II peneliti mentargetkan prosentase pencapaian 85% anak minimal mencapai berkembang sesuai harapan (BSH), jumlah anak yang mencapai berkembang sesuai

Pada siklus I peneliti menargetkan prosentase pencapaian 75% anak minimal mencapai berkembang sesuai harapan (BSH), dari hasil pelaksanaan siklus I jumlah anak yang

Untuk anak yang masih berada dalam kriteria kurang baik (Mulai Berkembang/MB), sebaiknya guru memberi tindakan lebih pada tiga anak tersebut supaya pada siklus