BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Hasil Penelitian
Kepulauan Senkaku (Diaoyu), yang menjadi permasalahan sengketa antara
Tiongkok dan Jepang, adalah juga permasalahan menyangkut legalitas
kepemilikan dilihat dari sistem hukum internasional. Kedua negara ini beargumen
bahwa masing masing memiliki hak atas kedaulatan Kepulauan ini. Jepang sendiri
memiliki beberapa point-point bukti bahwa ialah yang berhak atas kedaulatan
kepulauan senkaku, dengan berdasar atas okupasi/preskripsi dan cessi. Penulis
menggunakan metode pembagian waktu (periodisasi), agar memudahkan dalam
menjelaskan bagaimana sejarah dari Kepulauan Senkaku itu sendiri.
1. Keadaan Kepulauan Senkaku Sebelum Perang Dunia Kedua (1895-1945)
1.1. Penemuan Kepulauan Diaoyu oleh Tiongkok
Kepulauan Senkaku, sebelum dikenal, menurut sejarah penemuan antara
Tiongkok dan Jepang disebut Kerajaan Ryukyu, yang merupakan wilayah tribute
kedua negara tersebut. Pada awal abad keenambelas, Tiongkok secara bertahap,
melalui misinya1 mengunjungi Kerajaan Ryukyu. Pada masa Dinasti Ming,
1
Tiongkok mengirim utusan dalam rangka upacara pelantikan raja dari Kerajaan
Ryukyu.2
Dari beberapa misi tersebut, diberikan beberapa catatan (records) dari
penjelajah perjalanan seperti mengenai batas-batas kerajaan Ryukyu, letak
geografis, dan kejadian-kejadian pada saat mereka melakukan perjalanan menuju
Kerajaan Ryukyu3. Bahkan Kepulauan Diaoyu (Senkaku) dijadikan sebagai lokasi mereka untuk memperoleh tumbuh-tumbuhan yang dijadikan bumbu masakan dan
menangkap ikan4. Tiongkok, pula, tidak pernah mendirikan tempat berdiam bagi para penduduk ataupun personil militer pada kepulauan tersebut dan tidak pernah
membangun angkatan laut yang permanen di perairan perbatasan.5
1.2. Penemuan Kepulauan Senkaku oleh Jepang
Akhir dari beberapa misi ini, sebelum Jepang melakukan penemuan
(discovery), rakyat dari kerajaan Ryukyu mulai mamberikan rasa hormatnya
kepada Jepang daripada Tiongkok, dengan menamai Pulau Diaoyu sebagai Pulau
Uotsuri6. Kemudian pada tahun 1884, Tatsuhiro Koga, melakukan penemuan di
2 Seokwoo Lee, Op.Cit., h. 88, ‘... in the travel accounts of the Chinese envoys sent by
the Ming Dynasty to hold investiture ceremonies for the kings of the Ryukyu Islands’.
3
Semisal misi Chen Kan, menulis “We sailed past Pingjia Mountain, then Diaoyu
Island, Huangwei Island and Chiwei Island, using only one day to cover a distance which normally required three days. Kume Hill1, which belongs to the Ryukyu (naishu Liuqiu zhe) appeared on the evening of the eleventh day…”, dalam Martin Lohmeyer, Op.Cit.., h. 46-57, ini
juga digunakan Tiongkok sebagai klaim atas Kepulauan Diaoyu, lihat white paper “Diaoyu Dao,
an Inherent Territory of China”, Kementerian Luar Negeri Tiongkok,
http://www.fmprc.gov.cn/eng/topics/diaodao/t973774.shtml, dikunjungi pada tanggal tanggal 4 April 2013 pukul 07.35.
4 Ibid., h. 57.
5 Cheng Tao, “The Sino-Japanese Dispute over the Tiao-yu-tai (Senkaku) Islands and
the Law of Territorial Acquisition,” Virginia Journal of International Law, Winter 1974, h 244-246, h. 260, dalam Mark E. Manyin, Senkaku (Diaoyu/Diaoyutai) Islands Dispute: U.S. Treaty
Obligations, Congressional Research Service, 2013, h. 2.
6 Martin Lohmeyer, Op.Cit., h. 57, ‘The last Chinese envoys to the kingdom were
Kepulauan Senkaku. Dia mencoba untuk mengusahakan lahan tandus Kepulauan
Senkaku.7 Setelah Koga melakukan penemuan, ia mengirim surat kepada pemerintahan prefektur Okinawa agar ia dapat mengusahakan lahan di Kepulauan
Senkaku tersebut. Setelah melalui beberapa pertimbangan, pemerintah Jepang
mengeluarkan keputusan kabinet pada tanggal 14 Januari 1895, yang bertuliskan:
The Home Minister has requested a cabinet decision on the
following matter: the islands, Kuba-shima (Huangwei yu) and
Uotsuri-shima (Diaoyu-yu), located north-westward of
Yaeyama Islands under the jurisdiction of Okinawa Prefecture,
[huruf tebal dari penulis] have heretofore been uninhabited
islands. Due to recent visits to the said islands by individuals
attempting to conduct fishing related business, and such matters
may require regulation, it is decided that the islands be placed
under the jurisdiction of Okinawa Prefecture [huruf tebal dari
penulis]. Based on this decision, the Okinawa Prefectural
Governor’s petition should be approved (Kementerian Dalam
Negeri sudah meminta keputusan kabinet berikut ini: Kepulauan,
Kuba-shima (Huangwei yu) dan Uotsuri-shima (Diaoyu-yu)
terletak di barat laut Kepulauan Yaeyama di bawah yurisdiksi
Prefektur Okinawa, oleh karena pulau yang tidak ditempati.
Berdasarkan kunjungan ke pulau tersebut oleh sorang penduduk
mencoba untuk mengadakan pencarian ikan berkenaan dengan
the Chinese explaining that they started Ryukyu (or Japanese) names to identify the Diaoyu Island as Uotsuri’.
7 Makino Kiyoshi, Igunkuba Jima Shoshi, h. 66, dikutip dalam: Unryu Suganuma,
bisnis, dan beberapa hal lainnya membutuhkan pengaturan,
diputuskan bahwa Kepulauan tersebut ditempatkan di bawah
yurisdiksi Prefektur Okinawa).8
Dalam keputusan kabinet tersebut, Kepulauan Senkaku (the islands,
Kuba-shima, dan Uotsuri-shima) tergabung dalam wilayah Yaeyama, Perfektur
Okinawa Setelah melalui proses yang cukup panjang, pada tahun 1896, ia
mendapatkan hak dari pemerintahan Jepang untuk menggunakan empat pulau
(Uotsuri, Huangwei Dao, Bei Xiaodao, dan Nan Xiaodao) selama tigapuluh
tahun.9
Kemudian setahun setelah keputusan kabinet tersebut dikeluarkan,
Pemerintahan Meiji Jepang mengeluarkan Imperial Decree nomor 13 pada
tanggal 5 Maret 1896, yang mana dekrit tersebut menyatakan:
Art.1 Imperial Decree:
Excluding the two areas of Naha and Shuri, the rest of Okinawa
Prefecture is to be divided into the following five counties:
Shimajiri County Each magiri (traditional regional unit) of
Shimajiri
Kume-Jima; Kerama Islands group; Tonaki-jima; Aguni-jima;
Iheya-jima Islands group, Torishima and Daito-jima.
Nakagami County Each magiri of Nakagami
Kunigami County Each magiri of Kunigami; and Ie-jima
Miyako County Miyako Islands group
8 Ryukyu Government, “Reference 3: Official Documents,“ History of Okinawa
Prefecture, Vol. 13, 1967, h. 593 , dalam, Ibid., h. 66.
Yaeyama County Yaeyama Islands group
Art. 2 Imperial Decree:
In the event that the boundaries or names of the counties need to
be changed, they shall be decided by the Home Minister.”10
Masa kemajuan tempat tinggal di pulau-pulau tersebut sampai pada tahun
1909, di mana 99 keluarga terdiri dari 148 orang hidup di pulau tersebut.11 Di samping itu, pada tahun 1879 Kepulauan Senkaku menjadi agenda dari restorasi
Meiji, yang mana Jepang memiliki keinginan untuk memperluas wilayahnya
sampai Kepulauan Senkaku.12
1.3.Perang Tiongkok-Jepang (Sino-Japanese War) dan Traktat Shimonoseki
Pada tahun 1895, terjadi perang antara Tiongkok dan Jepang, dengan
kekalahan dari pihak Tiongkok. Akhir dari perang tersebut, maka disepakati
mengenai perjanjian perdamaian yang dituangkan dalam Traktat Shimonoseki
yang disahkan pada 17 April 1895, yang mulai berlaku pada tanggal 8 Mei 1895.
Traktat tersebut berisikan penyerahan beberapa pulau; kerjasama perekonomian;
dan pembayaran denda dari Tiongkok kepada Jepang. Inti dari permasalahan yang
dibahas dalam penyerahan beberapa pulau yang diserahkan dari Tiongkok kepada
Jepang, terdapat dalam Article 2, sebagaimana tertulis:
10
“Kanpo Bureau of the Cabinet,” Horei Zensho, Vol. 29-3,1979, dikutip dalam: Han-yi Shaw, ”Its History and an analysis of the ownership Claims of The P.R.C., R.O.C. and Japan”, No. 3 Occasional Papers, 1999, h. 101, dalam Ibid., h. 68.
11 Ibid., h. 70. In 1896, he (Tatsuhiro Koga) obtained the rights from the Japanese
government to use four of the islands / islets (Uotsuri, Huangwei dao, Bei Xiaodao and Nan Xiaodao) for thirty years. Investing considerable money on the islands he set up devices so that his some thirty subordinates could make a living on the islands. He built houses, wharves, reservoirs, drainage and sanitary facilities. His goal was to collect feathers and guano of albatrosses, which could be exported to European hat makers and which were useful fertilizer in the agriculture. The islands’ climax in terms of habitation was achieved in 1909 when some 99 families consisting of 148 people lived on the islands.
China cedes to Japan in perpetuity and full sovereignty the
following territories, together with all fortifications, arsenals,
and public property thereon:—
(a) The southern portion of the province of Fêngtien within
the following boundaries :
The line of demarcation begins at the mouth of the River Yalu
and ascends that stream to the mouth of the River An-ping, from
thence the line runs to Fêng-huang, from thence to Hai-cheng,
from thence to Ying-kow, forming a line which describes the
southern portion of the territory. The places above named are
included in the ceded territory. When the line reaches the River
Liao at Ying-kow, it follows the course of the stream to its
mouth, where it terminates. The mid-channel of the River Liao
shall be taken as the line of demarcation.
This cession also includes all islands appertaining or
belonging to the province of Fêngtien situated in the eastern
portion of the Bay of Liao-tung and the northern portion of the
Yellow Sea.
(b) The island of Formosa, together with all islands
(c) The Pescadores Group, that is to say, all islands lying
between the 119th and 120th degrees of longitude east of
Greenwich and the 23rd and 24th degrees of north latitude.
2. Keadaan Kepulauan Senkaku Pasca Perang Dunia Kedua (1945-sekarang)
2.1. The Cairo Declaration 1943
Dengan perluasan wilayah ekspansi yang dilakukan Jepang, membuat The
Great Allies mulai bereaksi. Pada tanggal 27 November 1943, yang terdiri dari
Presiden Amerika Serikat, F. D. Roosevelt, Perdana Menteri Inggris Winston
Churchill, dan Presiden Taiwan Chiang Kai-shek, mengeluarkan The Cairo
Declaration. Lebih lengkapnya, deklarasi tersebut menyatakan:
Japan shall be stripped off all the islands of the Pacific which
she has seized or occupied since the beginning of the First
World War I, and that all the territories Japan has stolen from
the Chinese, such as Manchuria (Northeast China), Formosa
(Taiwan), and the Pescadores (Penghu Archipelago), shall be
restored to the Republic of China. Japan will also be expelled
from all other territories which she has taken by violence and
greed (Jepang harus melepaskan seluruh pulau di Pasifik yang
ia sudah rampas atau duduki sejak dimulainya Perang Dunia
Kesatu, dan seluruh wilayah Tiongkok yang dicuri oleh Jepang,
seperti Manchuria (timur laut Tiongkok), Formosa (Taiwan),
Republic of China. Jepang juga akan diusir dari seluruh
wilayah yang ia ambil dengan cara kekerasan dan kerakusan).13
2.2. Postdam Declaration 1945
Pada bulan Juli/Agustus 1945 Rusia, Amerika Serikat dan Inggris,
mengesahkan Postdam Declaration, dengan pembatasan wilayah teritori Jepang
dalam Article 8: “The terms of the Cairo Declaration shall be carried out and
Japanese Sovereignty shall be limited to the islands of Honshu, Hokkaido,
Kyushu, Shikoku and such minor islands as we determine.”14
Dalam deklarasi tersebut terlihat bahwa wilayah Jepang hanya terdiri dari
empat pulau utama, yaitu Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku, beserta
pulau-pulau lain yang digolongkan oleh mereka (tiga negara di atas).
2.3. Japanese Surrender 1945
Serangan militer Jepang di wilayah basis pertahanan Amerika Serikat, yaitu
Pearl Harbour (Hawaii), membuat Amerika mulai bereaksi. Dengan
dibom-atomkan Hiroshima dan Nagasaki, pada saat perang dunia kedua, membuat
Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Ini ditunjukkan dengan Japanese
Surrender tahun 1945: “We, … hereby accept the provisions set forth in the
declaration … issued at Potsdam.”15
13 Japanese National Diet Library, “Cairo Declaration,” 2003,
www.ndl.go.jp/constitution /e/etc/c03.html, dalam Ibid., h. 72.
14 Caleb Wan, “Security Flashpoint: International Law and the Islands Dispute in the
Far East,” The New Zealand Postgraduate Law E-Journal, 2005, hal. 42, www.nzgraduatelawejournal.auckland.ac.nz./PDF%20Articles/Issue%202%20(2005)/1%20Caleb’ s%20Final.pdf , dalam Ibid., h. 73.
15 Byung-Chin, The Northeast Asia Continental Shelf Controversy, 1rst ed., 1980, h. 171
Pernyataan Jepang tersebut, menyatakan bahwa Jepang menerima provisi
dari Deklarasi Postdam, yang berarti bahwa Jepang menyerahkan beberapa
teritorinya yang dahulu pernah diduduki olehnya, seperti Manchuria, Formosa
(Taiwan), dan Pescadores, serta wilayah lain yang pernah diperoleh dengan cara
kekerasan dan paksaan.
2.4. Pendudukan Amerika Serikat di Okinawa
Setelah pernyataan penyerahan diri yang dikeluarkan Jepang melalui
Japanese Surrender, Amerika Serikat mulai menduduki sebagian wilayah Jepang,
tepatnya di Prefektur Okinawa. Pada bulan April 1947, Departement of States
Amerika Serikat menerbitkan buku “Atlas and Gazetteer” menggambarkan
Kepulauan Senkaku sebagai bagian dari wilayah Yaeyama di Prefektur
Okinawa.16 Namun, di akhir tahun yang sama, peta yang dikelurkan oleh SCAP (Supreme Commander for the Allied Forces) untuk Amerika Serikat, memasukkan
Kepulauan Sakishima (juga termasuk Kepulauan Senkaku) sebagai bagian integral
dari Taiwan.17
2.5. Treaty of Peace with Japan
Kebijakan luar negeri Amerika Serikat, membawa Jepang menjadi Sekutu
AS di wilayah Asia Pasifik. Perjanjian perdamaian dengan Jepang terhadap
Taiwan dan Tiongkok belum terselesaikan hingga tahun 1951.18 Dengan proses negosiasi yang cukup lama, akhirnya pada September 1951, disahkan Treaty of
16 Ibid., h. 74.
17
Jean-Marc Blanchard, “The US Role in the Sino-Japanese Dispute over the Diaoyu (Senkaku) Islands, 1945-1971,” No. 161, The Tiongkok Quarterly, 2000, h. 103, dalam Ibid.
18 “The San Francisco Treaty and the lack of conclusion on Taiwan,”
Peace with Japan, yang merupakan perjanjian perdamaian antara Jepang dan
negara-negara Sekutu. Mengenai penyerahan wilayah yang sebelumnya dimiliki
Jepang termuat dalam Article 2:
(a) Japan recognizing the independence of Korea, renounces all
right, title and claim to Korea, including the islands of Quelpart,
Port Hamilton and Dagelet (Jepang mengakui kemerdekaan
Korea, melepaskan seluruh hak, titel, dan klaimnya kepada
Korea, termasuk Pulau Quelpart, Port Hamilton, dan Dagelet).
(b) Japan renounces all right, title and claim to Formosa and
the Pescadores (Jepang melepaskan seluruh hak, titel dan
klaimnya kepada Formosa dan Pescadores).
(c) Japan renounces all right, title and claim to the Kurile
Islands, and to that portion of Sakhalin and the islands adjacent
to it over which Japan acquired sovereignty as a consequence of
the Treaty of Portsmouth of 5 September 1905 (Jepang
melepaskan seluruh hak, titel, dan klaimnya kepada Pulau
Kurile, dan kepada bagian Sakhalin dan pulau yang berbatasan
kepadanya seluruh yang Jepang peroleh kedaulatannya
sebagaimana konsekuesi Traktat Portsmouth 5 September
1905).
(d) Japan renounces all right, title and claim in connection with
the League of Nations Mandate System, and accepts the action
extending the trusteeship system to the Pacific Islands formerly
under mandate to Japan (Jepang melepaskan seluruh hak, titel,
dan klaimnya kaitannya dengan Sistem Mandat Liga
Bangsa-Bangsa, dan menerima tindakan Dewan Keamanan PBB pada
tanggal 2 April 1947, memperpanjang sistem perwalian
Kepulauan Pasifik yang dibentuk di bawah mandat kepada
Jepang).
(e) Japan renounces all claim to any right or title to or interest
in connection with any part of the Antarctic area, whether
deriving from the activities of Japanese nationals or otherwise
(Jepang melepaskan seluruh klaimnya kepada hak atau titel
atau kepentingan kaitannya dengan bagian wilayah Antartika,
apakah turunan dari aktivitas rakyat Jepang atau sebaliknya).
(f) Japan renounces all right, title and claim to the Spratly
Islands and to the Paracel Islands (Jepang melepaskan seluruh
hak, titel, dan klaimnya kepada Pulau Spratly dan Pulau
Paracel).
Dalam Article 2 tersebut terlihat bahwa Jepang menyerahkan hak atas
teritorinya kepada beberapa negara, diantaranya Korea (Kepulauan Quelpart, Port
Hamilton, dan Dagelet), Tiongkok (Formosa dan Pescadores), Rusia (Kepulauan
Kurile, Sakhalin). Untuk Kepulauan Senkaku sendiri, dalam argumennya Jepang
Japan will concur in any proposal of the United States to the
United Nations to place under its trusteeship system, with the
United States as the sole administering authority, Nansei Shoto
south of 29deg. north latitude (including the Ryukyu Islands and
the Daito Islands), Nanpo Shoto south of Sofu Gan (including
the Bonin Islands, Rosario Island and the Volcano Islands) and
Parece Vela and Marcus Island. Pending the making of such a
proposal and affirmative action thereon, the United States will
have the right to exercise all and any powers of administration,
legislation and jurisdiction over the territory and inhabitants of
these islands, including their territorial waters.
Walaupun dalam Article 3 diatas tidak dicantumkan mengenai status
Kepulauan Senkaku, namun mereka (negara-negara Sekutu/Allied States)
memutuskan untuk menempatkan Kepulauan Senkaku dibawah administrasi
Amerika Serikat.19 Kata ‘Nansei Shoto’ dimengerti oleh Amerika Serikat dan Jepang untuk memasukkan Kepulauan Senkaku, yang mana sudah menjadi
wilayah administrasi dari Prefektur Okinawa.20
Perlu untuk diketahui pula bahwa cessi atas kedaulatan (Kepulauan
Senkaku) bahwa terjadi kewajiban kontraktual untuk persetujuan perwalian
termasuk menjalankan kekuasaan administratif, legislatif, dan jurisdiksional.21 Kalimat “Japan will concur in any proposal of the United States” mengandung
19 Seokwoo Lee, Op.Cit., h. 89, ‘Although the Allied Powers did not specifically
mention disposition of the Senkaku Islands in the territorial clause of the San Francisco Peace Treaty, they did decide to place the Senkaku Islands under U.S. administration’.
20 Ibid., h. 90.
pengertian bahwa traktat ini menimbulkan kewajiban legal Jepang untuk
menyetujui segala tawaran/usul yang dibuat oleh Amerika Serikat, dan Jepang
tidak lama memiliki kekuasaan di Kepulauan Senkaku tersebut. Istilah Nansei
Shoto sengaja dipilih untuk memasukkan ke Diaoyu / Kepulauan Senkaku.22 Adapun proklamasi USCAP (United States Civil Administration Proclamation)
tanggal 25 Desember 1953, yaitu U.S. Civil Administration of the Ryukyus
Proclamation Number 27 (USCAR 27) mendeskripsikan Kepulauan tersebut yang
terletak diantara garis lintang (Nansei Shoto [the southwestern islands] south of
29 degrees north latitude), yang mana dalam kontrol Amerika Serikat23, dengan
memasukkan Kepulauan Senkaku.24 Lebih jelasnya mengenai proklamasi tersebut, sebagaimana dikutip:
To the inhabitants of the Ryukyu Islands, I, Mayor General
David Ogden, Deputy President of United States Civil
Administration in the Ryukyu Islands acting under the authority
of the President of the Civil Administration, bearing in mind the
necessity, arising from the provisions of the Treaty of Peace
with Japan, which was signed on 8 September 1951 and the
Agreement with Japan on the Amami Island, which enters into
force on December 1953, to redefine the Geographical
boundary of United States Civil Administration and the
Government of Ryukyu, which has so far been determined by
22 Jean-Marc Blanchard, “The US Role in the Sino-Japanese Dispute over the Diaoyu
(Senkaku) Islands, 1945-1971,” No. 161, The Tiongkok Quarterly, 2000, h. 109, dalam Ibid., h. 178
23
Seokwoo Lee, ”Territorial Disputes among Japan, Tiongkok and Taiwan Concerning the Senkaku Islands,” Boundary and Territory Briefing, Vol. 3, 2002, h. 5, dalam Ibid., h. 80.
24 Okinawa Reversion Treaty Hearings, h. 149, 152. Dalam Mark E. Manyin, Op.Cit., h.
proclamations, orders and regulations of the Civil
Administration, hereby proclaim as follows (Kepada wilayah tak
berpenghuni dari Pulau Ryukyu, Saya, Mayor Jenderal David
Ogden, Deputi Presiden Admnistrasi Sipil Amerika Serikat di
Pulau Ryukyu bertindak di bawah kewenangan Presiden
Administrasi Sipil, dengan keperluan, muncul dari provisi
Treaty of Peace with Japan, yang ditandatangai pada tanggal 8
September 1951 dan the Agreement with Japan on the Amami
Island, yang mulai berlaku pada Desember 1953, untuk
menggambarkan kembali batas geografis Administrasi Sipil
Amerika Serikat dan Pemerintah Ryukyu, yang sudah
diputuskan oleh proklamasi, tatanan, dan regulasi dari
Administrasi Sipil, dengan ini memproklamirkan sebagai
berikut):
1. The jurisdiction of United States Civil Administration in
the Ryukyu Islands and the Government of Ryukyu is redefined
to be limited to those islands, islets, atolls, and reefs as well as
their territorial waters within the following geographical
boundary, which starts from 28 Degrees North, 124 Degrees 40
Minutes East; going trough 24 Degrees North, 122 Degrees
East; 24 Degrees North, 133 Degrees East; 27 Degrees North,
131 Degrees 50 Minutes East; 27 Degrees North, 128 Degrees
18 Minutes East; 28 Degrees North, 128 Degrees 18 Minutes
Administrasi Sipil Amerika Serikat di Pulau Ryukyu dan
Pemerintah Ryukyu, digambarkan kembali menjadi terbatas
pada pulau, pulau-pulau kecil, atol, dan karang sebaik laut
teritorialnya, dimulai dari 28 derajat utara, 124 derajat 40
menit timur; melewati 24 derajat utara, 122 derajat timur; 24
derajat utara, 133 derajat timur; 27 derajat utara, 131 derajat
50 menit timur; 27 derajat utara, 128 derajat 18 menit timur; 28
derajat utara, 128 derajat 18 menit timur, dan kembali lagi ke
titik awal).
2. Any proclamation, order, regulation, directive or any
other provision of United States Civil Administration in the
Ryukyu Islands, which has set up a boundary or ordered the
exercise of its jurisdiction beyond the said boundary, shall be
amended following the previous section (Beberapa proklamasi,
tatanan, regulasi, petunjuk, atau provisi lainnya dari
Administrasi Sipil Amerika Serikat di Pulau ryukyu, yang
membentuk batas atau tatanan pelaksanaan yurisdiksi melewati
batas yang termaksud, harus diubah mengikuti bagian
sebelumnya).
3. This proclamation enters into force on 2 December 1953
(Proklamasi ini mulai berlaku tanggal 2 Desember 1953).25
25 Seokwoo Lee, “Territorial Disputes among Japan, Tiongkok and Taiwan Concerning
Dengan cara penggambaran batas-batas geografis, maka bentuk dari
Kepulauan Senkaku merupakan wilayah yang tidak terbantahkan yang dikelola
secara administratif oleh Amerika Serikat.26
2.6. Okinawa Reversion Agreement
Pada tanggal 17 Juni 1971, bertempat di Tokyo dan Washington DC,
disahkan mengenai Perjanjian antara Jepang dan Amerika Serikat mengenai
Kepulauan Ryukyu dan Kepulauan Daito (selanjutnya disebut Okinawa Reversion
Agreement), yang berlaku mulai 15 Mei 1972. Perjanjian ini pun mengakhiri
pendudukan Amerika Serikat atas Okinawa. Mengenai penyerahan ini terdapat
dalam Article 1:
1. With respect to the Ryukyu Islands and the Daito Islands, as
defined in paragraph 2 below, the United States of America
relinquishes in favor of Japan all rights and interests under
Article 3 of the Treaty of Peace with Japan signed at the city of
San Francisco on September 8, 1951, effective as of the date of
entry into force of this Agreement. Japan, as of such date,
assumes full responsibility an authority for the exercise of all
and any powers of administration, legislation and jurisdiction
over the territory and inhabitants of the said islands.
2. For the purpose of this Agreement, the term "the Ryukyu
Islands and the Daito Islands" means all the territories and their
26
territorial waters with respect to which the right to exercise all
and any powers of administration, Iegislation and jurisdiction
was accorded to the United States of America under Article 3 of
the Treaty of Peace with Japan other than those with respect to
which such right has already been returned to Japan in
accordance with the Agreement concerning the Amami Islands
and the Agreement concerning Nanpo Shoto and Other Islands
signed between Japan and the United States of America,
respectively on December 24, 1953 and April 5, 1968.
Saat ini, Amerika Serikat dengan tegas menyebutkan Kepulauan Senkaku
yang mana termasuk dalam perjanjian ini.27 Kata-kata dalam perjanjian tersebut mengacu pada penyerahan kedaulatan.28 Amerika serikat melepaskan semua haknya yang diterima berdasarkan Article 3 Treaty of Peace with Japan. Dengan
ini juga, Kepulauan Senkaku menjadi wilayah administrasi Jepang, terkecuali
antara tahun 1945 sampai dengan 1972, yang mana berada dalam wilayah
administrasi Amerika Serikat, namun dikembalikan kepada Jepang melalui
Okinawa Reversion Agreement ini.29 Untuk Kepulauan Senkaku sendiri, lebih
jelasnya, sebagaimana dikutip dalam Agreed Minutes:
The representatives of the Government of Japan and of the
Government of the United States of America wish to record the
following understanding reached during the negotiations for the
27 Department of State officer Charles Bray; lihat Victor H. Li, “Tiongkok Off Shore
Oil: The Tiao-yu Tai Dispute,” Stanford Journal of International Studies, Vol. 10, 1975, h. 151, dalam Ibid., h. 192.
28 Ibid.
29 Shinya Murase, “The Senkaku Islands and International Law,” dalam Center for
Agreement between Japan and the United States of America
concerning the Ryukyu Islands and the Daito Islands, signed
today:
Regarding Article I:
The territories defined in paragraph 2 of Article I are the
territories under the administration of the United States of
America under Article 3 of the Treaty of Peace with Japan, and
are, as designated under Civil Administration Proclamation
Number 27 of December 25, 1953, all of those islands, islets,
atolls and rocks situated in an area bounded by the straight
lines connecting the following coordinates in the listed order:
North latitude East Longitude
28 degrees 124 degrees 40 minutes
24 degrees 122 degrees
24 degrees 133 degrees
27 degrees 131 degrees 50 minutes
27 degrees 128 degrees 18 minutes
28 degrees 128 degrees 18 minutes
28 degrees 124 degrees 40minutes.30
Dari pernyataan dalam Agreed Minutes di atas, maka Jepang dalam
klaimnya menampilkan peta Kepulauan Senkaku:
30 “The Senkaku Islands”, Ministry of Foreign Affairs (MOFA) Japan, 2013,
Gambar 1.1. Peta Kepulauan Senkaku Berdasarkan Agreed Minutes Okinawa Reversion Agreement (sumber: “The Senkaku Islands”, Ministry of Foreign Affairs Japan)
Dari Agreed Minutes di atas, dengan batas-batas geografis yang
digambarkan dalam peta Jepang, maka Kepulauan Senkaku saat ini masuk ke
dalam wilayah Jepang dan secara legal menjadi wilayah integral Jepang.
2.7. Pengungkapan Sumber Daya Mineral yang berada di Kepulauan Senkaku oleh the United Nations Economic Commission for Asia and the Far East (ECAFE)
Pada tahun 1968 dan 1969, dilaksanakan survey oleh Komisi Ekonomi PBB
untuk Asia dan Timur Jauh (ECAFE), dari Dewan Ekonomi dan Sosial PBB.31 Survey tersebut dimungkinkan bahwa di wilayah perairan Kepulauan Senkaku
terdapat banyak sekali cadangan hidrokarbon.32 Setelah survei tersebut dilakukan, dilaporkan bahwa wailayah laut yang dangkal di antara Jepang dan Taiwan
kemungkinan mengandung sumber daya mineral minyak bumi, yang juga
dimungkinkan sama dibandingkan dengan Teluk Persia.33 Hal ini pula yang memunculkan permasalahan pada Kepulauan Senkaku, khususnya klaim antara
31
Seokwoo Lee, Op.Cit., h. 6.
32 Ibid.
33 Dalam UN 1970: hal 51-67; Park, 1973, hal. 248-249 dan Suganuma, 200, hal.
Jepang dan Tiongkok (dalam hal ini Tiongkok yang memulai melakukan
protesnya).
2.8.Protes Tiongkok atas Okinawa Reversion Agreement dan pendudukan Jepang terhadap Kepulauan Senkaku
Atas kedua hal ini, menjadi catatan bahwa pemerintah Tiongkok pun merasa
keberatan, dan mengklaim bahwa terjadi perundingan backroom yang illegal.34 Pernyataan protes ini diutarakan Tiongkok pada Desember 1971, sebagaimana
mengutip pernyataan Kementerian Luar Negeri Tiongkok:
Recently, the government of the United States and Japan
concluded the Okinawa Reversion Agreement, arbitrarily
including the Diaoyu Islands among territories to be reversed to
Japan. This is a blatant violation of Tiongkok’s territorial
sovereignty...The Diaoyu Islands have been Tiongkok’s territory
since ancient times. As early as in the Ming Dynasty
(1368-1644), they were placed under the jurisdiction of Tiongkok’s
naval defenses as affiliated islands of Taiwan. They were never
under the jurisdiction of Ryukyu, today’s Okinawa...However,
during the First Sino-Japanese War of 1894, Japan illegally
occupied the Diaoyu Islands and in April 1895 forced the Qing
court to sign the unfair Treaty of Shimonoseki that ceded to
Japan “the island of Formosa (Taiwan), together with all
islands appertaining or belonging to the said island of
34 white paper “Diaoyu Dao, an Inherent Territory of China,” Kementrian Luar Negeri
Formosa”, as well as the Penghu Islands (Baru-baru ini,
Pemerintah Amerika Serikat dan Jepang menandatangani the
Okinawa Reversion Agreement, secara arbiter termasuk
Kepulauan Diaoyu di antara wilayah yang dibalikkan kepada
Jepang. Ini adalah pelanggaran yang mencolok mata dari
wilayah kedaulatan Tiongkok... Kepulauan Diaoyu sudah
menjadi milik Tiongkok sejak dahulu kala. Awal dari Dinasti
Ming (1386-1644), mereka menempatkan Kepulauan tersebut di
bawah yurisdiksi angkatan laut Tiongkok sebagai wilayah yang
menyatu dengan Taiwan. Kepulauan tersebut tidak pernah di
bawah yurisdiksi Ryukyu, yang saat ini adalah Okinawa...
Bagaimanapun juga, berdasarkan Perang Tiongkok-Jepang
pertama kali tahun 1894, Jepang dengan illegal menduduki
Kepulauan Diaoyu dan pada bulan April 1895 memaksa
Pengadilan Qing untuk menandatangani Traktat Shimonoseki
secara tidak adil yang diserahkan kepada Jepang “Pulau
Formosa (Taiwan), bersama dengan seluruh pulau yang
mencakupi atau termasuk Pulau Formosa”, sebagaimana
Kepulauan Penghu).35
Selain pada saat disahkannya Okinawa Reversion Agreement ini, yang mana
Kepulauan Senkaku diserahkan kembali kepada Jepang, Tiongkok juga
35 “The Senkaku Islands,” Ministry of Foreign Affairs (MOFA) Japan, February 2013,
mengklaim Kepulauan tersebut (Senkaku) pada saat Jepang dan Taiwan memulai
membicarakan tentang pengeksplorasian sekitar Kepulauan Senkaku.36
Setelah disahkannya Okinawa Reversion Agreement, maka Jepang pun
melaksanakan kontrol terhadap kepulauan tersebut berupa:
(1) Patroli dan penegakan hukum. (misalnya penegakan hukum
terhadap illegal fishing oleh kapal nelayan asing);
(2) Pengadaan pajak pada pemilik Kepulauan di bawah
kepemilikan pribadi. (di Pulau Kuba.);
(3) Tanah milik negara yang dikelola oleh negara, di wilayah
Pulau Taisho, Pulau Uotsuri;
(4) Adapun Pulau Kuba dan Pulau Taisho, Pemerintah Jepang
telah menawarkan kedua pulau tersebut kepada Amerika
Serikat sejak tahun 1972 sebagai fasilitas militer di bawah
the Japan-U.S. Status of Forces Agreement; dan
(5) Penelitian oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Prefektur
Okinawa (misalnya Pemanfaatan dan pengembangan
penelitian oleh Okinawa Development Agency (konstruksi
heliport sementara, dan lain-lain) (tahun 1979), penelitian
perikanan oleh Prefektur Okinawa (tahun 1981), Penelitian
36
mengenai albatros ditugaskan oleh the Environment Agency
(tahun 1994).37
2.8. Pembelian Kepulauan Senkaku
Tensi antara Jepang dan Tiongkok mulai meningkat kembali setelah
Gubernur Tokyo Shintaro Ishihara, pada bulan April 2012 lalu, pada saat ia
berencana akan membeli tiga dari empat pulau yang dikelola secara privat.38 Kepala Sekretaris Kabinet Jepang, Osamu Fujiura, mengatakan akan mengalihkan
kepemilikan Kepulauan Senkaku dari tangan pribadi ke negara untuk bisa
mengendalikannya secara damai.39 Pemerintah Jepang mencapai kesepakatan dengan sebuah keluarga yang memiliki tiga dari lima pulau (Senkaku) untuk
dijadikan sebagai teritorinya.40
Atas dasar dari hasil penelitian ini, di bawah ini terdapat tabel agar mempermudah
dalam melihat klaim posisi dari Tiongkok dan Jepang atas pemilikan Kepulauan
Senkaku (Diaoyu) ini.
Tabel 1. Klaim posisi Jepang dan Tiongkok atas kepemilikan Kepulauan Senkaku
37 “Questions and Answers on the Senkaku Islands,”
http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/senkaku/basic_view.html, dikunjungi pada tanggal 5 April 2013 pukul 23.55.
38 Mark E. Manyin, Op.Cit., h. 1.
39 “Pembelian pulau-pulau sengketa dikukuhkan Jepang”, BBC Indonesia, 10
September 2012, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/09/120910_japan_senkaku.shtml, dikunjungi pada tanggal 5 Desember 2013 pukul 07.55.
40 Julian Ryall, “Japan Agrees to Buy Disputed Senkaku Islands,” The Telegraph, 5
1. Permasalahan Klaim Kedaulatan Jepang atas Kepulauan Senkaku
Jepang mengklaim bahwa ia berhak atas kedaulatan Kepulauan Senkaku.
Namun, dalam hal ini bukan hanya Jepang sendiri yang mengklaim kepemilikan
Kepulauan tersebut. Tiongkok yang selama ini juga mengklaim kepemilikan
Kepulauan Diaoyu (Senkaku). Oleh sebab itu, dalam hal ini perlu dikaji lebih
dalam perihal permasalahan kedaulatan Kepulauan Senkaku dan klaim dari
Tiongkok tersebut.
1.1. Permasalahan kedaulatan Kepulauan Senkaku
Kepulauan Senkaku, yang menjadi isu hangat antara kedua negara, yaitu
Tiongkok dan Jepang, masih belum dapat terselesaikan. Beberapa pertemuan
diplomatik hingga perjanjian perbatasan sudah dibuat, namun dari hal-hal tersebut
belum membuahkan hasil dalam mengatasi masalah sengketa pemilikan
Kepulauan Senkaku tersebut. Permasalahan mengenai suatu wilayah, khususnya
dalam hal ini Kepulauan Senkaku, berkaitan dengan prinsip-prinsip yang ada
dalam kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara. Kedaulatan negara, yang
merupakan kekuasaan tertinggi negara memiliki pengertian bahwa negara dapat
bebas melakukan berbagai kepentingannya. Namun, dalam hal ini hendaknya
Tiongkok dan Jepang tidak harus berbenturan kepentingan dalam
‘memperebutkan’ Kepulauan Senkaku, karena pada prinsipnya negara-negara
adalah sama dan sederajat (equal). Implikasi logisnya berpengaruh pada
kedaulatan, sebagaimana tertuang dalam Piagam PBB yang menyatakan bahwa
keanggotaan PBB didasarkan pada prinsip persamaan kedaulatan (the principle of
Piagam PBB tersebut, maka Tiongkok dan Jepang memiliki hak untuk merdeka
dan bebas melaksanakan kekuasaanya tanpa ada pengaruh dari negara lain.
Karena khususnya dalam hal ini Jepang yang memiliki kedaulatan penuh
atas Kepulauan Senkaku, maka Jepang memiliki hak atas wilayah dan yurisdiksi
terhadap Kepulauan Senkaku, yang mana ini merupakan wewenang penuh dari
peimpinan tertinggi atas warga negara. Terkait dengan kasus-kasus mengenai
kapal-kapal Tiongkok yang mendekati Kepulauan Senkaku, maka Jepang berhak
melakukan sweeping dan pencegahan terhadap kapal-kapal tersebut. Jepang pula
berhak untuk mengeksploitasi Kepulauan Senkaku demi kesejahteraan rakyatnya.
Atas dasar dari hal demikian, maka kedaulatan positif terpenuhi.
Kedaulatan Jepang atas Kepulauan Senkaku, tidak tak terbatas. Maksudnya
adalah kedaulatan sendiri, dibatasi semisal dengan adanya perjanjian yang
mengikat antara Jepang dengan negara lain. Traktat antara Tiongkok dan Jepang
mengenai Perdamaian dan Persahabatan tahun 1978 (Sino-Japanese Peace and
Friendship Treaty 1978), 1997 Fishery Agreement between Japan and China,
adalah contoh menganai perjanjian yang membatasi kedaulatan yang absolut dan
sempurna.
1.2. Penemuan Kepulauan Diaoyu oleh Tiongkok tidak dapat dikatakan
sebagai okupasi
Permasalahan kedaulatan dari Kepulauan Senkaku dapat dilihat dari apa
yang dilakukan Jepang terhadap Kepulauan Senkaku, yang tidak terlepas dari
aspek historis dari Kepulauan Senkaku itu sendiri. Dari fakta yang terlihat pada
pra 1945, terungkap bahwa Dinasti Ming dan Dinasti Qing dari Tiongkok yang
Ryukyu dengan sebutan Kepulauan Diaoyu (Diaoyu-dao). Tiongkok sendiri
mengklaim bahwa dirinya berhak atas pulau tersebut dengan cara menempatkan
pulau tersebut di bawah jurisdiksinya sebagai pertahanan angkatan laut yang
bergabung dengan Taiwan (pada zaman Dinasti Ming dan Dinasti Qing), tempat
mencari tumbuhan herbal dan bumbu masakan, dan sebagai penunjuk arah untuk
menuju ke Kerajaan Ryukyu, yang mana hal ini, menurut penulis, dapat dijadikan
dalam prinsip the intention or will to act as sovereign (kehendak untuk bertindak
menjadikan wilayah tersebut menjadi kedaulatan). Namun, dalam hal ini,
penemuan dan prinsip the intention or will to act as sovereign (tujuan atau
kehendak untuk melakukan tindakan menjadikan sebagai kedaulatannya), per se
saja tidak cukup untuk memperoleh kedaulatan wilayah dalam rangka okupasi.
Tiongkok tidak dapat menunjukkan adanya prinsip effective occupation atas
Kepulauan Diaoyu, yang mana hal ini harus dibutuhkan dalam rangka perolehan
kedaulatan wilayah secara okupasi. Di samping itu, Dinasti Ming dan Dinasti
Qing sendiri meninggalkan/menghilang kekuasaannya terhadap kepulauan
Diaoyu, karena pada saat Jepang masuk ke dalam Kepulauan tersebut, tidak ada
tanda-tanda penguasaan (seperti effective occupation) yang jelas di sekitar
Kepulauan Diaoyu.
2. Tindakan yang dilakukan Jepang dalam rangka kepemilikan Kepulauan Senkaku
Tindakan yang dilakukan oleh Jepang dalam rangka kepemilikan Kepulauan
Senkaku, menurut penulis, terdiri dari okupasi, preskripsi dan cessi. Namun
diantara ketiga cara perolehan kedaulatan tersebut masih harus dibahas lebih
masih terdapat hal-hal yang kurang memenuhi persyaratan dalam perolehan
kedaulatan atas suatu wilayah.
2.1. Okupasi
Dalam klaimnya, Jepang memperoleh kedaulatan atas Kepulauan Senkaku
dengan jalan okupasi. Namun, perlu diperhatikan pula ada dua syarat okupasi,
yaitu (1) kehendak untuk bertindak menjadikan wilayah tersebut menjadi bagian
kedaulatan negara tersebut (the intention or will to act as sovereign) dan (2)
pelaksanaan kedaulatan yang nyata (some actual exercise or display of
authority/effective occupation). Untuk syarat yang pertama, dapat dilihat pada
Keputusan Kabinet pada tanggal 14 Januari 1895 yang dikeluarkan bahwa Jepang
ingin menjadikan pulau tersebut menjadi bagian integral dari kedaulatannya, yang
menunjukkan bahwa ini merupakan will to act as sovereign, yang juga
menunjukkan kewenangan yang damai atas Kepulauan Senkaku tersebut,
sedangkan untuk syarat yang kedua, dalam rangka okupasi efektif, Jepang
menunjukkan dengan pengelolaan Kepulauan Senkaku dengan kegiatan yang
simbolis, yang mana di Kepulauan tersebut telah diusahakan oleh Tatsuhiro Koga,
atas izin dari Pemerintahan Prefektur Okinawa melalui Keputusan Kabinet 14
Januari 1895, dengan manufaktur bonito kering, guano dan bulu dari burung
albatros dan juga perumahan penduduk hingga mencapai 99 keluarga (pada tahun
1909), yang mana pengusahaan ini berakhir sekitar tahun 1941, yang kemudian
dilanjutkan dengan penguasaan Amerika Serikat sekitar tahun 1950.
Perwujudan pelaksanaan kedaulatan Jepang terhadap Kepulauan Senkaku
ini juga merupakan effectivitiés dengan unsurnya yaitu tindakan individu yang
perlu diperhatikan dalam argumen Tiongkok bahwa Kepulauan Diaoyu/Senkaku
tersebut sudah dijelajahi dan ditemukan sebelumnya, bahkan sudah dijadikan
tempat untuk mencari ramuan herbal, penunjuk arah, sehingga penemuan yang
dilakukan Jepang sebenarnya bukan merupakan hal ini bukan merupakan terra
nullius (tidak dalam penguasaan negara manapun), yang mengarah pada okupasi
Jepang terhadap Kepulauan Senkaku tersebut. okupasi yang dilakukan Jepang
dapat dikatakan tidak sah menurut hukum internasional.
2.2. Preskripsi (daluarsa)
Apabila Jepang memperoleh kedaulatan secara preskripsi (daluarsa), maka
perlu diperhatikan lagi, syarat-syarat dari sebuah preskripsi, antara lain:
1. Pemilikan tersebut harus dilaksanakan secara a titre de souverain.
Maksudnya, yaitu bahwa pemilikan tersebut harus memperlihatkan suatu
kewenangan/kekuasaan negara dan di wilayah tersebut tidak ada negara
yang mengklaimnya;
2. Pemilikan tersebut harus berlangsung secara damai dan tidak ada gangguan
(protes) dari pihak lain. Hakim Huber dalam kasus The Palmas
menggunakan istilah “terus-menerus dan damai”;
3. Pemilikan tersebut harus bersifat publik. Yang dimaksud publik di sini
yaitu yang diumumkan atau yang diketahui oleh pihak lain;
4. Pemilikan tersebut harus berlangsung terus.41
Untuk point satu dan tiga, Jepang sendiri telah membuktikannya, yaitu
untuk point satu dalam rangka title de souverain, mengusahakan Kepulauan
Senkaku oleh Tatsuhiro Koga dan juga pengawasan dari distrik Yaeyama,
Prefektur Okinawa, sedangkan untuk point kedua, dalam rangka pengumuman,
Jepang telah mengelurkan keputusan kabinet tanggal 14 Januari 1895. Namun,
untuk point dua dan empat sendiri, Jepang tidak dapat membuktikan bahwa ia
menempati Kepulauan Senkaku tanpa ada protes dan berlangsung dalam waktu
yang lama. Seperti terlihat dalam hasil penelitian di atas, Tiongkok telah
melayangkan protesnya pada Desember 1971 dan protes ini berakibat pula
penguasaan Jepang atas Kepulauan Senkaku dalam waktu yang singkat, yang
berarti Jepang tidak dapat memperoleh kedaulatan atas Kepulauan Senkaku
melalui preskripsi (daluarsa). Berarti, Jepang tidak memperoleh kedaulatan
Kepulauan Senkaku dengan cara preskripsi.
2.3.Conquest (penaklukan/aneksasi)
Penaklukan yang dilakukan Jepang terhadap wilayah Tiongkok terjadi pada
saat Perang Tiongkok-Jepang. Perang ini menendakan bahwa Jepang merebut
beberapa wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Tiongkok, seperti Kepulauan
Formosa dan Pescadores (yang saat ini menjadi wilayah Taiwan). Namun, untuk
Kepulauan Senkaku sendiri, tidak direbut oleh Jepang dari hasil penaklukan,
sebagaimana tertuang dalam Traktat Shimonoseki (penjelasan lebih lanjut akan
diuraikan dalam interpretasi Traktat Shimonoseki di bawah).
2.4.Traktat
2.4.1. Interpretasi Article 2 Traktat Shimonoseki
Perang yang terjadi antara Jepang dan Tiongkok (Sino-Japanese War), yang
Shimonoseki, yang disahkan pada tanggal 17 April 1895, yang mulai berlaku pada
tanggal 8 Mei 1895. Perlu menjadi catatan bahwa Jepang memperoleh kedaulatan
pertama kali atas wilayah dari Tiongkok dalam Traktat Shimonoseki ini melalui
conquest (aneksasi/penaklukan), yang mana Taiwan (Pulau Formosa dan
Pescadores) menjadi wilayah koloni Jepang pada saat itu. Penaklukan ini
mengiringi Traktat Shimonoseki, khususnya Article 2 dengan cessi beberapa
wilayah yang sebelumnya dikuasai Tiongkok kepada Jepang.
Dalam Article 2, yang merupakan bagian yang sangat krusial yang menjadi
masalah antara Jepang dan Tiongkok terhadap Kepulauan Senkaku, menurut
Penulis, tidak ditemukan adanya penyerahan Kepulauan Senkaku dan tidak ada
pernyataan secara tegas Kepulauan Senkaku dalam Article 2 traktat tersebut. Jika
menggunakan kaidah interpertasi dalam Vienna Convention on the Law of
Treaties 1969 (selanjutnya disebut Konvensi Wina 1969; mulai berlaku tanggal 27
Januari 1980)42, dengan interpretasi penggunaan kata, maka dalam traktat Article 2 hanya menyebutkan bahwa Tiongkok menyerahkan wilayah yang termasuk
kedaulatannya kepada Jepang, dengan wilayahnya yaitu bagian selatan provinsi
Fêngtien [dari mulut sungai Yalu hingga sungai An-ping; dari Fêng-huang hingga
Hai-cheng; dari Ying-kow, yang mana batas demarkasi (pembatas) yang ditunjuk
adalah sungai Liao]; bagian Timur Teluk Liao-tung; bagian utara Laut Kuning;
Kepulauan Formosa (beserta semua pulau yang berada dalam wilayahnya); dan
Kepulauan Pescadores. Karena travaux preparationes dalam traktat ini tidak
tersedia, maka dilihat dari interpretasi tujuan dan kegunaan Traktat Shimonoseki.
42
Walaupun berlaku pada Januari 1980, namun konvensi ini karena adanya established
rules dapat diberlakukan pada perjanjian pra-Konvensi, seperti dalam “material breach” 1920 League of Nations Mandate di Namibia Case (South West Africa), Beagle Channel Arbitration,
Terlihat dari Traktat Shimonoseki sendiri adalah akibat Perang Tiongkok dan
Jepang, dengan tujuan untuk mengembalikan perdamaian kedua negara tersebut,
sebagaimana terdapat dalam pembukaan traktat:
His Majesty the Emperor of Japan and His Majesty the Emperor of
China, desiring to restore the blessings of peace to their countries
and subjects and to remove all cause for future complications, have
named as their Plenipotentiaries for the purpose of concluding a
Treaty of Peace (Yang Mulia Penguasa Jepang dan Yang Mulia
Penguasa Tiongkok, keinginan untuk mengembalikan perdamaian
kepada negara masing-masing dan subyek dan menghapuskan
seluruh penyebab kesulitan, menamai sebagaimana keinginan duta
besar dalam menutup kesulitan tersebut dengan sebuat traktat
perdamaian) ....
Dari interpretasi Traktat Shimonoseki di atas, maka Jepang tidak
memperoleh Kepulauan Senkaku berdasarkan Traktat Shimonoseki, khususnya
yang tercantum dalam Article 2 di atas.
2.4.2. Interpretasi Treaty of Peace with Japan
Traktat yang lain, yang menjadi titik tolak klaim kedua negara ini adalah
Treaty of Peace with Japan. Traktat ini mengiringi Jepang yang menyerah kepada
negara-negara Sekutu. Article 3 sendiri, dapat dilihat menggunakan interpretasi
tekstual dan teleologikal. Pertama, dengan interpretasi teleologikal. Perlu
yang berarti bahwa Jepang harus mematuhi Piagam PBB. Hal ini juga terlihat
dalam kalimat pembuka traktat tersebut yang menyatakan bahwa:
WHEREAS Japan for its part declares its intention to apply for
membership in the United Nations and in all circumstances to
conform to the principles of the Charter of the United Nations; to
strive to realize the objectives of the Universal Declaration of
Human Rights; to seek to create within Japan conditions of
stability and well-being as defined in Articles 55 and 56 of the
Charter of the United Nations (Mengingat Jepang dalam
bagiannya mendeklarasikan perhatiannya untuk memenuhi
keanggotaan PBB dan di segala keadaan mengkonfirmasikan
prinsip Piagam PBB; untuk berusaha mewujudkan Deklarasi
Universal HAM; untuk menciptakan kondisi stabilitas Jepang dan
sebagaimana didefinisikan dalam Article 55 dan 56 Piagam PBB)
....
Kedua, menggunakan interpretasi tekstual. Khusus mengenai wilayah, yang
menjadi poin utama, terdapat dalam Bab II Article 2 hingga Article 4. Dalam
Article 2, Jepang melepaskan segala hak dan klaimnya atas beberapa wilayah,
antara lain Korea (Kepulauan Quelpart, Port Hamilton dan Dagelet; Formosa dan
Pescadores); Kepulauan Kurile dan Kepulauan Sakhalin (yang saat ini merupakan
teritori Rusia); wilayah Antartika, dan Kepulauan Spratly dan Paracel. Dalam
Article 2 ini Jepang juga menerima tindakan dari Dewan Keamanan PBB pada
tanggal 2 April 1947 dalam rangka memperluas sistem perwalian pada Kepulauan
menyetujui beberapa proposal dari Amerika Serikat yang ditujukan kepada PBB
untuk menetapkan beberapa pulau Jepang menjadi wilayah perwalian Amerika
Serikat, diantaranya Nansei Shoto (termasuk Kepulauan Ryukyu dan Kepulauan
Daito); bagian selatan Sofu Gan/Nanpo Shoto (termasuk Kepulauan Bonin,
Rosario, dan Volcano); dan Pulau Parece Vela dan Pulau Marcus. Amerika
Serikat juga memiliki hak untuk melaksanakan segala kekuasaan administrasi,
legislasi, dan jurisdiksi atas pulau-pulau tersebut termasuk laut teritorial. Melihat
pada definisi Kepulauan Senkaku sendiri, yang termasuk dalam Nansei Shoto,
wilayah Prefektur Okinawa, maka dalam hal ini Jepang belum memiliki secara
penuh kedaulatan Kepulauan Senkaku, karena masih dikuasai Amerika Serikat
secara administrasi. Kepulauan Senkaku yang merupakan wilayah administrasi
Amerika Serikat ini juga dikuatkan dengan USCAP Proclamation tertanggal 25
Desember 1953.
2.4.3. Interpretasi Okinawa Reversion Agreement
Traktat terakhir, yang merefleksikan penguasaan terakhir Amerika Serikat
atas Kepulauan Senkaku adalah Okinawa Reversion Agreement. Dalam bagian
pembukaan pertama, Perdana Menteri Jepang dan Presiden Amerika Serikat,
bersama-sama meninjau kembali bahwa dalam tanggal 19, 20, dan 21 November
1969, status Kepulauan Ryukyu dan Kepulauan Daito menunjuk pada Okinawa
dalam Joint Communique antara Perdana Menteri Jepang dan Presiden Amerika
Serikat yang diterbitkan pada tanggal 21 November 1969. Dalam bagian
pertimbangan, terlihat bahwa Amerika Serikat melepaskan haknya pada
Considering that the United States of America desires, with
respect to the Ryukyu Islands and the Daito Islands, to
relinquish in favor of Japan all rights and interests under
Article 3 of the Treaty of Peace with Japan signed at the city of
San Francisco on September 8, 1951, and thereby to have
relinquished all its rights and interests in all territories under
the said Article; (Mempertimbangkan bahwa keinginan Amerika
Serikat, dengan rasa hormat kepada Pulau Ryukyu dan Daito,
dalam rangka mengembalikan kepada Jepang seluruh hak dan
kepentingannya di bawah Article 3 Treaty of Peace with Japan,
yang ditandatangani di San Fransisco tanggal 8 September
1951, dan dengan demikian mengembalikan seluruh hak dan
kepentingan di seluruh wilayah tersebut di bawah Article yang
dimaksud) ....
Pelepasan hak administrasi Amerika Serikat, menurut bagian pertimbangan
dalam perjanjian di atas, mengacu pada Article 3 dari Treaty of Peace with Japan
(San Fransisco Peace Treaty), yang sudah disahkan sebelumnya. Berarti
perjanjian ini sebagai tindaklanjut dari Treaty of Peace with Japan. Kemudian,
Jepang berkehendak ingin melaksanakan kekuasaanya di seluruh wilayah
kepulauan (Ryukyu dan Daito) tersebut, sebagaimana dinyatakan: “Considering
further that Japan is willing to assume full responsibility and authority for the
exercise of all powers of administration, Iegislation and jurisdiction over the
Dalam hal ini, Jepang berkehendak agar mengambil tanggungjawab penuh
untuk melaksanakan kekuasaanya, baik administrasi, legislasi, dan jurisdiksi atas
wilayah Kepulauan tersebut. Untuk penyerahan Kepulauan Ryukyu dan Daito,
yang termasuk dalam Prefektur Okinawa, dijelaskan dalam Article 1 perjanjian
tersebut. Dalam angka 1, Amerika Serikat secara eksplisit menyatakan bahwa ia
melepaskan (demi kebaikan) untuk Jepang segala hak dan kepentingannya di
bawah Article 3 Treaty of Peace with Japan, yang mulai efektif atau berlaku sejak
hari ini, untuk menyelenggarakan kewenangannya dan segala kekuasaanya
(administrasi, legislasi, dan yurisdiksi) di seluruh Kepulauan Ryukyu dan Daito.
Penjelasan lebih lanjut mengenai batas geografis wilayah Kepulauan Ryukyu dan
Kepulauan Daito terdapat dalam Agreed Minutes yang melengkapi isi dari
Okinawa Reversion Agreement, yang mana dari Agreed Minutes tersebut,
Kepulauan Senkaku masuk di dalamnya. Dari pernyataan ini, dapat dianalisis
bahwa Amerika Serikat, dengan sukarela menyerahkan hak dan kepentingannya,
sebagaimana sesuai dengan penyerahan kedaulatan wilayah melalui cessi, yaitu
dengan cara sukarela (voluntary cession). Akhirnya, dengan Okinawa Reversion
Agreement ini maka Jepang pun mendapatkan kedaulatan penuh terhadap
Okinawa, khususnya Kepulauan Senkaku.
Dengan demikian, secara sederhana, di bawah ini menggambarkan alur
traktat (perjanjian) dari masa pra Perang Dunia Kedua hingga pasca Perang Dunia
2.5. Protes Tiongkok atas Okinawa Reversion Agreement bertentangan
dengan kaidah pacta tertiis nec nocent nec prosunt
Bersamaan dengan disahkannya Okinawa Reversion Agreement, Tiongkok
mulai bereaksi dengan memprotes keabsahan dari traktat tersebut. Dalam hal ini,
maka Tiongkok sendiri hendaknya perlu memperhatikan pula mengenai Konvensi
Wina 1969. Dalam Treaty of Peace with Japan 1951 dan Okinawa Reversion
Agreement, yang menjadi pihak dalam kedua perjanjian itu adalah Jepang dan
Amerika Serikat (beserta negara-negara Sekutu/ Treaty of Peace with Japan
1951). Tiongkok sendiri tidak termasuk dalam kedua perjanjian tersebut, dan pula
tidak memiliki hak maupun kewajiban yang melekat pada Tiongkok. Ketentuan
tersebut tertuang dalam Article 34 Konvensi Wina 1969: [a] treaty does not create
either obligations or rights for a third State without its consent43; atau dalam
istilah Latin disebut pacta tertiis nec nocent nec prosunt44 Ketentuan ini mensyaratkan bahwa pihak ketiga diluar perjanjian memperoleh hak dan
kewajiban jika menyetujui isi dalam perjanjian tersebut. Atas dasar ini, maka
Tiongkok tidak dapat mengklaim bahwa perjanjian tersebut illegal dan tidak sah.
2.6. Pembelian Kepulauan Senkaku oleh Jepang mencerminkan tindakan
Yurisdiksi Teritorial
43 Lihat juga dalam Thomas Buergenthal dan Harold G. Maier, Op.Cit., h. 107.
Dalam kasus pembelian Kepulauan Senkaku oleh Pemerintah Jepang, dalam
hal ini Gubernur Tokyo, maka perlu juga diperhatikan prinsip jurisdiksi teritorial
(yang mana jurisdiksi teritorial ini juga mencakup dari pelaksanaan kedaulatan
teritorial), karena Jepang sendiri telah memiliki kedaulatan penuh atas Kepulauan
tersebut. Kaitannya dengan pelaksanaan kontrol terhadap Kepulauan Senkaku,
sesuai dengan definisi dari kedaulatan yurisdiksional, yaitu pelaksanaan
kedaulatan yang meliputi kegiatan administrasi, yudisial, eksekutif, dan legislatif
yang dilakukan negara.45 Dalam hal administrasi, terlihat dengan adanya pengadaan pajak di Pulau Kuba dan pengelolaan oleh negara (tanah milik negara)
di Pulau Taisho dan Pulau Uotsuri. Mengenai kegiatan yudisial,
diimplementasikan dengan adanya patroli dan penegakan hukum, semisal
terhadap illegal fishing disekitar wilayah Kepulauan Senkaku. Hal ini juga
membuktikan bahwa Jepang sendiri telah melaksanakan kewajibannya dalam
rangka menjaga hak-hak wilayahnya dari negara lain46 dan adanya pelaksanaan kekuasaan publik atas Kepulauan Senkaku. Maka dengan kedaulatan yang
diperoleh Jepang atas Kepulauan Senkaku ini, mengandung makna bahwa Jepang
memiliki hak eksklusif kompetensi atas Kepulauan Senkaku (aspek positif dari
kedaulatan teritorial) dan seharusnya pula Jepang memiliki kewajiban untuk tidak
mengganggu hak negara-negara lain (aspek negatif kedaulatan teritorial).
Atas pelaksanaan yurisdiksi teritorial yang dilakukan oleh Jepang ini, maka
terdapat pula kesetaraan antar negara atau disebut juga dengan persamaan derajat,
yang mana hal ini merupakan basis dalam jurisdiksi, sehingga Tiongkok
45 Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Op.Cit., h. 281.
46
Dalam putusan Island of Palmas Case, Arbitrator Max Huber menyatakan bahwa “Territorial sovereignty, as already been said, involves the exclusive right to display the activities
hendaknya memperhatikan prinsip “par in parem non habat imperium”. Tiongkok
tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya (semisal tindakan pemerintah Tiongkok)
atas Kepulauan Senkaku, terkecuali atas izin dari pemerintah Jepang.
2.7. Suksesi melalui traktat
Terkait dengan kasus klaim Jepang atas Kepuluan Senkaku ini, mengenai
tiga traktat utama, yaitu Traktat Shimonoseki, Treaty of Peace with Japan, dan
Okinawa Reversion Agreement, yang sudah dibahas di atas, terlihat adanya
suksesi negara melalui traktat (succession by treaty). Implikasi dari suksesi negara
melalui traktat ini adalah berlakunya Konvensi Wina 1978.
2.7.1. Traktat Shimonoseki sebagai Traktat bagi Negara Pendahulu (predecessor state)
Traktat Shimonoseki, adalah traktat pertama yang mengawali penyerahan
beberapa pulau (cessi) dari Tiongkok kepada Jepang (dalam Article 2), yang
berdasarkan hasil perang Tiongkok-Jepang pada tahun 1895. Pada saat itu,
Tiongkok dan Jepang sudah menjadi negara dengan bentuk pemerintahan
kerajaan/dinasti, dan juga sekaligus menjadi negara pendahulu (predecessor
State). Traktat Shimonoseki yang dibuat oleh kedua belah pihak, yaitu Tiongkok
dan Jepang, terikat bagi keduanya, dan berlaku mulai tanggal 8 Mei 1895. Pada
tanggal 27 November 1943 bersama dengan Amerika Serikat dan Inggris, Taiwan
(Republic of Tiongkok) sendiri tergabung dalam The Great Allies, yang mana
mengeluarkan The Cairo Declaration yang isinya menyatakan bahwa wilayah
yang diambil Jepang pada saat dimulainya Perang Dunia Pertama, seperti
harus dikembalikan kepada Taiwan. Postdam Declaration yang mengiringi The
Cairo Declaration berisikan pembatasan wilayah Jepang yang hanya terdiri dari
empat pulau utama (Honshu, Hokkaido, Shikoku, dan Kyushu) dan beberapa
pulau lain yang sudah digolongkan oleh ketiga negara Sekutu besar tersebut ke
dalam teritori Jepang.
2.7.2. Suksesi Pemerintahan antara Tiongkok dan Jepang sebelum Perang Dunia Kedua
Menjelang perang dunia kedua, kedua negara, yaitu Tiongkok dan Jepang
pun, dalam hal bentuk pemerintahan sudah berubah. Pada abad keduapuluh terjadi
revolusi komunis di Tiongkok, yang memaksa pemerintahan kerajaan Tiongkok
untuk turun dari kekuasaannya, yang kemudian rezim komunis berkuasa dan
menjadi Republik Rakyat Tiongkok (RRC/People’s Republic of Tiongkok)47, sedangkan Jepang sendiri juga dari kerajaan menjadi republik (monarki
konstitusional). Terkait dengan suksesi pemerintahan Tiongkok ini, menurut
perspektif Amerika Serikat ini (karena pada waktu itu Amerika Serikat besar
pengaruhnya dalam hal pengakuan), pemerintah Komunis Tiongkok
(pemerintahan Beijing) tidak diakui hingga tahun 1978, walaupun sebenarnya
Tiongkok sudah dianggap mengontrol wilayah utamanya tahun 1949.48 Namun, sebenarnya RRC telah diakui secara diam-diam oleh Amerika Serikat sejak tahun
1955, di mana kedua negara tersebut telah mengadakan perundingan-perundingan
47 Lihat kasus Jackson v. People's Republic of Tiongkok, 550 F. Supp. 869, 872 (N.D.
Ala. 1982), dalam Carsten Thomas Ebenroth dan Matthew James Kemner, Loc.Cit., inti dari kasus ini bahwa pemerintah Tiongkok harus bertanggungjawab terhadap hutang yang dimilikinya, sekalipun telah berganti pemerintahanya dari kerajaan (Imperial Chinese Govenrment) menjadi republik (PROC).