• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resume Buku Tauhid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Resume Buku Tauhid"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

RESUME BUKU RISALAH TAUHID

Karya Syekh Muhammad Abduh

25 Desember 2013

oleh :

Triapani Mukti Gilang Anugrah 1127030069

FISIKA III B

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

(2)

1

Pengantar Pembahasan (Sejarah Ilmu Tauhid)

1.1 Pengertian Ilmu Tauhid dan Ilmu Kalam

Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang ”Wujud Allah ” , tentang sifat-sifat wajib tetap pada-Nya , sifat-sifat yang boleh disifatkan keNya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan dari pada-Nya , tauhis juga membahas tentang rosul-rosul Allah , meyakinkan akan kerosulan mereka , meyakinkan apa yang wajib ada pada diri mereka , apa yang oleh dihubungkan (nisbah)kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkan kepada diri mereka . Terkadang tauhid juga dinamakan se-bagai ilmu kalam . Ilmu Kalam meru- pakan ilmu yang senantiasa berkaitan dengan sejarah , keillahiyahan serta kedekatan antara umat dengan Tuhan-nya pada kehidupan sehari-hari . Ilmu Kalam memiliki bahasan yang cukup mendalam , berbagai perspektif akan dikemukakan pada bahasan ilmu ka-lam . Ilmu tauhid atau ilmu kaka-lam merupakan ilmu yang menanamkan dan mene- tapkan suatu keyakinan atau aqidah dan menjelaskan tentang ajaran yang dibawa oleh para nabi . Ilmu kalam sendiri datang dengan dengan tinjauan- tinjauan kaidah Islam yang bersumber pada Al-Quran , karena Al-Quran bersumber dari hukum yang mutlak .

1.2 Sunatullah (Hukum Alam)Pada Segala Makhluk

Allah telah menurunkan ayat-ayatnya agar diketahui oleh seluruh manusia . Allah mendatangkandan menunjukan bukti yang kuat dan nyata , agar manusia mengetahui tentang adanya hukum yang mutlak yakni sunatullah , hal ini seperti Q.S. Al-Fath : 23

Sunatullah adalah ketetapan allah atas setiap hukum alam , Takdir dan sunatullah akan senantiasa berikatan dengan sunatullah dan sunatullah akan berikatan dengan takdir . Begitu siklus yang akan terjadi selama Allah telah menetapkan qadarnya dan menurut sunatullah . Takdir allah akan bersifat

(3)

kekal dan mutlak yakni akan bersifat tidak dapat berubah , namun pilihan dari takdir dapat diubah . Tidak ada alasan bagi seorang makhluk untuk dapat mengubah takdirnya , namun setiap makhluk dapat berusaha untuk mengubah pilihan yang terdapat pada takdir tersebut .

1.3 Faham Akaid di Zaman Para Khalifah

Telah berlalu zaman Nabi s.a.w. dimana beliau telah melenyapkan segala kebingungan dan menjadi pelita dalam kegelapan syubhat. Dua orang kha-lifah sesudah beliau, berjuang sepanjang umurnya melawan musuh-musuh Islam, sambil memadu tekad dengan kawan-kawannya, sehingga tidak ada sedikitpun peluang bagi orang banyak untuk memperdayakan dan mengutik-utik dasar kepercayaan (akidah) yang telah berkembang dengan baik. Bila timbul sedikit saja pertentangan, cepat-cepat persoalan itu dibawa ke hadapan khalifah, yang dengan putusannya persoalan menjadi selesai. Bi-asanya perselisihan-perselisihan itu timbul sekitar cabang-cabang hukum (furu) agama, bukan mengenai masalah yang pokok, yakni dasar keperca-yaan (akidah).Keadaan seperti itu berjalan dengan baik hingga terjadinya peristiwa yang menimpa khalifah yang ketiga (Usman bin Affan), yaitu per-istiwa terbunuhnya khalifah itu. Sejak terjadinya perper-istiwa itu, maka ru-sak binasalah sosok guru (tiang-agung) khalifah, terjerumuslah Islam dan pengukut-pengukutnya ke dalam suatu pertentangan, yang menyimbangk-an mereka dari jalmenyimbangk-an lurus ymenyimbangk-ang selama ini mereka lalui. Namun demikimenyimbangk-an, Al-Quran tetap utuh dan terpelihara menurut aslinya, berdiri dengan jaya ditempatnya semula.

Peristiwa terbunuhnya khalifah yang ketiga itu, telah membukakan pintu bagi manusia untuk melanggar batas-batas yang telah ditetapkan oleh aga-ma, karena khalifah yang sesungguhnya terbunuh dengan cara yang tidak

(4)

sesuai sama sekali dengan hukum syara. Maka tombullah dihati orang ba-nyak, nafsu-nafsu perseorangan, utama sekali dikalangan orang-orang yang tidak ada pengaruh Iman dalam hati mereka. Sehingga dendam dan ke-marahan menguasai fikiran kenamyakan orang, lebih-lebih terhadap orang yang keterlaluan (fanatik) dalam agama.

1.4 Timbulnya Bid’ah dalam Akidah dan Masa Abdullah bin Saba’

Diantara orang-orang yang giat bekerja melancarkan fitnah ke sana-sini, adalah Abdullah bin Saba, seorang Yahudi yang baru masuk Islam. Dengan berpura-pura telalu fanatik mencintai Ali Karramallahu wajhahu (semoga Tuhan memuliakan wajah beliau), ia mendakwakan bahwa Allah telah ber-tempat pada diri Ali. Ia mendakwakan pula, bahwa Alilah sebenarnya yang berhak menduduki kursi khalifah. Untuk itu, ia menyerang Khalifah Usm-an dengUsm-an amat sengitnya, sehingga menyebabkUsm-an ia dibuUsm-ang oleh Khalifah Usman.Abdullah bin Saba’ dibuang kepengasingan hingga zaman pemerin-tahan Ali . Pendirian Abdullah bin Saba’ inilah yang menjadi benih dari segala sengketa yang terjadi di kemudian hari , disamping pendiriannya yang fanatik terhadap agama.

1.5 Lahirnya Partai Syiah dan Khwarij

Berturut-turut peristiwa yang menyedihkan seperti itu timbul kemudian-nya. Sebagian orang-orang yang turut membaiat Khalifah keempat (Khali-fah Ali), mengkhianati janji-janji mereka. Karena itu timbullah hura-hura perang saudara dikalangan kaum Muslimin, sampai pemerintahan dipegang oleh Bani Umaiyah. Dalam pada itu timbul pila gejala-gejala lain, yai-tu membikin-bikin riwayat hadist dan takwil. Tiap-tiap kabilah menjadi keterlaluan (fanatik), yang akibatnya memecah-belah umat Islam kepada partai-partai : Syiah, Khawarij dan golongan pertengahan (Al Mutadilin, Moderat). Kaum Khawarij mempunyai sikap yang berlebih-lebihan, sehing-ga mereka mengkafirkan siapa saja yang berdiri di luar golonsehing-gan mereka. Disamping itu, mereka menuntut sekeras-kerasnya, supaya pemerintahan dibentuk secara Republik. Disamping itu, sebagian dari golongan Syiah bersikap keterlaluan pula. Mereka agungkan Ali atau diantara anak cucu Ali, hingga menempatkan setaraf dengan kedudukan Tuhan atau

(5)

mendeka-ti itu. Perpecahan yang demikian, merembet-rembet kepada segi-segi dari bidang kepercayaan (akidah).

1.6 Lahirnya Kaum Mutazilah

Kemudian, rupanya perselisihan-perselisihan pendapat itu tidaklah terbatas kepada dua masalah yang tersebut diatassaja, akan tetapi telah menjalar kepada menetapkan (itsbat) sifat-sifat maani bagi zatr Tuhan, atau menia-dakan (nafi) sifat-sifat itu dari pada-Nya.

Sesudah itu muncul lagi kelompok golongan fanatik yang lain. Jumlah mere-ka hanya sedikit, tetapi meremere-ka menghapusmere-kan semere-kaligus golongan-golongan yang menetapkan kekuasaan akal bagi hukum-hukum agama dan menen-tang hal-hal yang demikian, sesuai dengan keterangan Kitab. Disamping itu, pendapat-pendapat tentang masalah khilafat juga terus berjalan, sei-ring dengan pendapat-pendapat tentang kepercayaan (akidah), yang kalau dilihat sepintas lalu, seolah-olah masalah khilafat itu termasuk pila salah satu sendi-sendi kepercayaan Islam.

Daulat Abbasyiah mengerti akan jasa-jasa dan pengorbanan yang diberikan oleh bangsa Persia dalam menegakkan kerajaan mereka dan menggulingkan kerajaan Bani Umaiyah. Untuk itu mereka menyediakan jabatan-jabatan tinggi bai orang-orang Persia.

Diantara orang-orang Persia yang diberi kedudukan atau jabatan-jabatan tinggi itu, terdapat pengikut-pengikut madzhab Al Manawy dan Yadiziyah, serta orang-orang yang tidak menganut agama sama sekali. Dengan kedu-dukan dan jabatan yang mereka pegang, orang-orang Persia itu mendapat kesempatan luas dan leluasa untuk menghembuskan buah fikiran mereka, baik dengan cara halus atau terus terang agar orang tertarik dengan buah fikiran mereka dan kemudian mengekor kepadanya. Akibatnya lahirlah keka-firan dan muncullah tokoh-tokoh kaum Zindiq (kaum sesat), hingga datang pula Khalifah baru guna membukakan tabir kegelapan itu dan membatalkan segala pemdapat yang diindoktrinasikan selama ini.

Sekitar masa inilah tumbuhnya Ilmu Tauhid, tetapi belum begitu sempurna berkembangnya dan belum begitu tinggi mutunya. Dan mulailah pembica-raan tentang Ilmu Kalam, yakni dengan menghubungkannya kepada pokok pemikiran tentang kejadian alam, sesuai dengan ketentuan Al-Quran ten-tang hal itu. Kemudian timbullah masalah yang menimbulkan bencana (fitnah), yaitu masalahtentang kejadian Al-Quran. Apakah Al-Quran itu

(6)

makhluk, atau barang yang azali, yang tidak ada permulaan.

1.7 Kaum Kebatinan

Ditengah-tenga situasi yang seperti ini pulalah timbulnya sengketa diantara golongan-golongan yang berlebi-lebihan memperuntutkan kemerdekaan ber-fikir dengan golongan pertengahan (moderat), atau dengan golongan yang terlalu teguh berpegang kepada lahir syariat belaka. Kitab suci mereka ta-fsirkan semau-maunya, jauh dari apa yang dimaksud oleh nash ayat dan menyimpang dari mestinya. Mereka ini terkenal juga dengan nama kamu Kebatinan (Bathiniyah)atau Ismailiyah. Dan masih banyak lagi nama-nama lain yang diberikan kepada mereka, sebagaimana terdapat dalam sejarah.

1.8 Syekh Abu Hasan Al Asyary

Dengan timbulnya kata sepakat antara kaum Salaf dengan golongan-golongan yang sehaluan dengan mereka untuk bersama -sama menentang kaum zindiq dan kelompok-kelompok yang sehaluan dengan itu, maka memuncak pulalah perselisihan diantara mereka. Hari-hari kemenangan silihn berganti berada diantar kedua pihak.

Keadaan itu berlangsung pula sedemikian rupa, hingga muncul pula Syekh Abu Hasan Al Asyary, pada awal tahun keempat. Beliau berjalan dite-ngah, yakni antara keyakinan kaum Salaf dan keyakinan orang yang menen-tang mereka (suatu synthese). Ia menetapkan pokok kepercayaan (akidah) menurut pokok-pokok yan sesuai dengan tujuan akal. Tetapi kaum salaf menggunakan kebenaran pendirian beliau itu dan banyak diantaranya yang menyerang akidahnya yang demikian itu, sehingga pengukit-pengikut ma-dzhab Hanbali, megkafirkan pendirian itu dan menghalalkan darah orang yang menganutnya. Sebaliknya, kemudian beliau dibela oleh suatu jamaah ulama-ulama terkemuka, diantaranya seperti Abu Bakar Al Baqilany, Imam Uaramain, Imam Al As Faraini dan lain-lain.

Para pendukung ”madzhab Asyary, setelah menetapkan ajarannya yang berfikir sesuai dengan undang-undang alam, mewajibkan pula bagi orang yang mempercayai ajaran itu, untuk meyakinkan kebenaran jalan fikiran yang demikian dengan segala konklusinya, sebagaimana ia harus yakin kepa-da akikepa-dah-akikepa-dah iman. Karena mereka berpenkepa-dapat, bahwa tanpa akepa-danya dalil, menunjukan kepada tidak adanya barang yang dibuktikan.

(7)

Adapun madzhab filsafat, maka ia senantiasa mendasarkan pendapatnya ke-pada fikiran semata-mata. Dan tidak ada cita-cita kaum filsafat itu, kecuali untuk menemukan ilmu dan menyempurnakan apa yang membawa kepuas-an akalnya dalam membukakkepuas-an tabir rahasia sesuatu ykepuas-ang belum diketahui, atau mengemukakan apa yang menjadi hasil pemikiran akal. Mereka mung-kin dapat mencapai apa yang mereka cita-citakan dengan cara yang mereka mau.

Yakni apa yang oleh Tuhan diberikan kesempatan kepada kita untuk menye-laminya dengan akal fikiran kita, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya dalam surat al- baqarah :29 ;

Keyakinan yang wajib kita pegang ialah, bahwa agama Islam adalah agama (kepercayaan) Tauhid (monotheismus), bukan agama yang berpecah-pecah dalam kepercayaan-kepercayaan itu. Akal adalah pembantu yang paling utama dan naqal (Al-Quran dan Sunnah) adalah merupakan sendi-sendinya yang paling kokoh. Dibalik itu hanyalh godaan-gofaan setan belaka dan nafsu-nafsu orang yang haus kekuasaan. Quran menjadi saksi bagi segala amal perbuatan manusia dan menjadi hakim yang menghukum benar atau salahnya masing-masing orang dalam amalnya itu.

Tujuan terakhir dari ilmu ini, ialah menegakkan sesuatu kewajiban yang sama-sama disepakati, yaitu mengenal Allah Yang Maha Tinggi dengan se-gala sifat-sifat yang wajib melekat pada diri-Nya, serta mensucikan-Nya dari sifat-sifat yang mustahiol bagi Zat-Nya. Membenarkan para Rasul-Nya de-ngan kayakinan yang dapat menentramkan jiwa, dede-ngan jalan berpegang teguh kepada dalil, bukan semata-mata menyerah kepada taklid buta, sesu-ai dengan yang ditunjukan oleh Al-Quran kepada kita.

Dan benarlah ucapan yang mengatakan : Bahwa taklid itu, sebagaimana ia terdapat dalam perkara yang hak, ia terdapat dalam hal yang memberi manfaat, ia tentu akan datang pula dalam hal yang membawa kerusakan. Pendeknya ia menyesatkan, yang hewan sendiri merasa keberatkan

(8)

terha-dapnya, karena memang taklid itu tidak dapat membawa kemajuan kepada ummat manusia.

(9)

2

Pembagian Hukum Akal

Para ahli tauhid (ilmu kalam), membagi yang Maklum(Al-Maklum : yang dapat dicapai oleh akal) kepada tiga bagian. Yaitu Mungkin bagi zatnya, Wajib bagi zatnya dan Mustahil bagi zatnya. Adapun yang mustahil menu-rut istilah mereka, ialah sesuatu yang zatnya memang tidak mungkin ada. Adapun yang wajib, ialah sesuatu yang zatnya memang sudah semestinya ada. Sedang yang mungkin, ialah sesuatu yang tidak ada wujudnya, tetapi tidak pula dapat dikatakan tidak ada zatnya, karena ia bisa juga terwujud oleh sesuatu sebab yang menyebabkan adanya.

2.1 Hukum Mustahil

Hukum yang mustahil bagi zatnya ialah, bahwa tidak mungkin bisa terjadi wujudnya, karena tidak ada (adam), telah menjadi kemestian bagi mahai-yah (hakikat) sesuatu itu. Maka sesuatu yang mustahil itu, memang tidak bisa diwujudkan dan memang ia sesuatu yang tidak akan ada dengan pas-ti, bahkan akal tidak mungkin menggambarkan hakikat (mahiyah) sesuatu yang mustahil itu, seperti apa yang telah kami isyaratkan tadi. Sebab ia bukanlah sesuatu yang maujud (ada), baik diluar dan maupun di dalam fikiran seperti sendiri

2.2 Hukum Mungkin

Di antara hukum-hukum yang mungkin bagi zatnya ialah, bahwa ia tidak mungkin ada kecuali dengan sesuatu sebab. Begitu pula, bahwa ia tidak mungkin tidak ada kecuali dengan sesuatu sebab juga. Jika bisa kejadi-an salah satu dikejadi-antara kedukejadi-anya (ada dkejadi-an tiada) tkejadi-anpa ada sesuatu sebab, pastilah terjadi menguatkan salah satu dua yang bersamaan atas yang lain tanpa alasan yang menguatkan ; dan itu adalah jelas mustahil.

Sebagian diantara hukum-hukum mungkin, ialah bahwa sesuatu yang mau-jud itu adalah baharu. Karena telah pasti, bahwa ia tidak bisa wumau-jud (ada) , kecuali dengan sesuatu sebab. Sebab yang baharu itu ialah, sesuatu yang diwujudkan didahului oleh tiada (adam). Maka karenanya jelaslah, bahwa segala sesuatu yang mungkin ada, adalah baharu.

Pengertian sebab dari apa yang telah kami kemukakan tadi, ialah yang men-ciptakan dan yang memberi wujud. Dengan lain ibarat, ialah : Yang mewu-judkan, sebab yang melahirkan sebab yang melakukan. Pencipta yang

(10)

haki-ki, dan lain-lain ; sebabiu dari ibarat-ibarat yang berbeda susunan katanya, tetapi tidak berbeda artinya. Dan ia (sebab) dalam pengertian seperti ini hanya perlu pada permulaan wujud saja, dan tidak pada kekalnya.

Adapun tentang pengambilan faedah dari wujud sesuatu, maka itu memer-lukan adanya lebih dahulun pemilik bagi sesuatu wujud, yang akan diberi-kannya kepada orang yang mengharapkan manfaat dari dirinya. Oleh karena itu, dalam beberapa perkara tidak ada orang yang bisa berbuat dengan le-luasa menurut kemauannya sendiri.

2.3 Yang Mungkin itu Pasti Ada

Tidak perlu rasanya untuk membalas yang pertama (mustahil), karena yang mustahil itu tidak terwujud. Begitu pula yang kedua (wajib) karena yang wajib itu telah mempunyai wujud yang zati. Segala sesuatu yang mempu-nyai wujud tidak bisa dikatakan tidak ada, dan tidak pula didahului oleh tiada, sebagaimana akan datang penjelasannya dalam menerangkan hukum-hukum yang wajib. Kalau demikian halnya, maka yang perlu dibahas ialah yang mungkin. Yang mungkin itu pasti ada.

2.4 AdanyaYang Mungkin itu Pasti Menghendaki akan Ada-nya Yang Wajib

Segala yang mungkin yang telah ada itu, merupakan suatu kemungkinan yang tetap. Dan tiap-tiap yang mungkin ada, berkehendak sepenuhnya kepada yang mengadakan (mewujudkan)-nya. Tetapi apakah yang meng-adakan itu dirinya (zat)-nya sendiri? Itu mustahil, sebab hal itu berarti mendahulukan sesuatu atas dirinya sendiri. Atau apakah yang mengadakan itu bagian (fragment) dari dirinya sendiri? Dan ini juga mustahil karena berarti menetapkan sesuatu menjadi sebab bagi dirinya sendiri, dan barang yang mendahuluinya jika yang pertama memang telah ada. Dan hal inipun trerang batalnya. Maka oleh sebab ittu wajiblah ada sebab yang berdiri di belakang segala yang mungkin. Dan segala wujud yang terjadi tanpa sebab yang memungkinkan, adalah wajib karena tidak ada di balik yang mungkin itu kecuali yang mustahil dan yang wajib. Sedang yang mustahil itu tidak bisa diwujudkan ; karena itu tinggal lagi yang wajib. Maka tetaplah, bahwa segala yang mungkin yang telah ada terwujud, pasti ada yang mewujudkan-nya (causa efficiens), yaitu Zat Yang Wajib Ada.

(11)

3

Hukum-Hukum Wajib

3.1 Kidam, Baka dan Tidak Tersusun

Diantara hukum-hukum wajib, bahwa Ia adalah kadim (tidak berpermula), lagi pula azali. Karena Ia kalau tidak begitu, tentu Ia menjadi baharu. Sedang yang baharu, ialah sesuatu yang terajadi didahului tiada (adam). Dan segala sesuatu yang wujudnya didahului oleh tiada, memerlukan ke-pada sebab yang memberinya wujud. Kalau tidak demikian, tentu lazim-lah menguatkan adanya sesuatu dengan tiada alasan yang kuat, dan itu mustahil. Sekiranya tidaklah yang Wajib Ada itu kadim, tentu Ia dalam wujudnya itu berkehendak kepada adanya yang lain yang mewujudkannya. Meniadakan susunan (tarkib) pada Zat Yang Wajib Ada meliputi juga akan apa yang mereka namakan dengan hakikat akliah, ataupun kharijiah (dilu-ar akal). K(dilu-arena tidak mungkin bagi akal menggamb(dilu-arkan, bagaimana zat yang Wajib Ada itu bisa tersususn dari beberapa bagian (tarkib). Sebab bagian-bagian yang digambarkan oleh akal, tentu tak adapat tidak mempu-nyai sumber luaran. Sebagaimana Zat Yang Wajib Ada itu tidak tersusun (tarkib) dari beberapa bagian, begitu pula ia tidak menerima (tidak bisa) dibagi-bagi menurut salah satu ukuran kaedah yang tiga (panjang, lebar, tinggi, penterjemah). Artinya, Ia tidak berhak diukur. Karena bila Ia da-pat dibagi-bagi, tentulah Ia kembali kepada yang lain dari wujudnya semula.

3.2 Hidup (Al-Hayat)

Tiap-tiap martabat dari martabat-martabat wujud, perlu diikuti dengan beberapa sifat wujudiah, yakni untuk menyempurnakan martabat yang de-mikian, dalam makna yang tersebut duluan. Jika tidak begitu jadilah makna wujud itu untuk martabat yang lainnya, padahal ia telah ditentukan bagi-nya.

Contoh yang paling sempurna dalam martabatnya, ialah bukti tentang su-suanan alam dengan cara yang tidak ada cacatnya dan tidak mengkacauk-an. Maka sekiranya terang bagi fikiran suatu martabat diantara martabat-martabat wujud yang banyak, bahwa ia merupakan sumber bagi tiap-tiap susunan peraturan, itu menjadi tanda, bahwa martabat itu paling sempur-na, paling tinggi paling jaya dan paling kuat.

Yang Wajib Ada itulah yang menjadi sumber bagi segala yang mungkin ada. Seperti telah kami terangkan dengan jelas beserta bukti yang meyakinkan.

(12)

Dengan demikian, Ia merupakan wujud yang paling kuat dan yang paling tinggi. Ia diiringi dengan sifat-sifat (atribut-atribut) wujudiah yang sesuai dengan kedudukan dan martabatNya yang tinggi itu.

Diantara sifat-sifat yang wajib adapada diriNya ialah, sifat hidup (Al-Hayat). Sifat itu diiringi oleh ilmu dan iradah (kemauan). Demikian itu, disebabk-an oleh karena hidup (Al-Hayat) adalah jelas termasuk sifat kesempurnadisebabk-an bagi wujud-Nya. Maka sifat hidup dan sifat-sifat yang mengiringinya, ada-lah menjadi sumber segala peraturan dan menjadi kebijaksanaan. Hidup (Al-Hayat) dalam segala martabatnya, menjadi pangkal bagi segala macam kenyataan yang lahir dan yang kekal. Maka Yang Wajib Ada itu, pasti Ia hidup sekalipun hidupnya berlainan dengan segala sesuatu yang mungkin hidup. Maka sesungguhnya sesuatu yang merupakan kesempurnaan bagi wujud, tentulah ia sumber bagi ilmu dan iradat. Padahal dalam keterang-an yketerang-ang lalu dikatakketerang-an, bahwa zat yketerang-ang Wajib Ada itu adalah merupakketerang-an wujud (substansi) yang paling tinggi dan paling sempurna. Ilmu (Maha Mengetahui)

Diantara sifat yang wajib bagi Zat Yang Wajib Ada, adalah sifat ilmu (maha mengetahui). Yang dimaksud, ialah terbukanya tabir sesuatu bagi Zat yang telah tetap sifat itu baginyayakni yang menjadi sumber, pokok pangkal bagi terbukanya tabir sesuatu itu. Sebab sifat ilmu, termasuk sifat-sifat wujudi-al yang menjadi sifat bagi Yang Wajib Ada. Segwujudi-ala sifat yang dipandang menjadi kesempurnaan bagi wujud, wajiblah ada pada dirinya. Kenyataan menunjukkan, bahwa ilmu menjadi kesempurnaan bagi segala sesuatu yang mungkin wujud (ada). Dan diantara yang termasuk mungkin wujud itu adalah Zat yang mempunya ilmu (Alim). Maka kalau sekiranya Yang Wajib Ada itu tidak Alim (tidak berilmu), tentu akan terdapat dalam segala sesu-atu yang mungkin ada itu, zat (substansi) yang lebih sempurna keadaannya dari pada Zat Yang Wajib Ada. Sedang itu mustahil, sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya.

Berilmunya Zat Yang Wajib Ada itu adalah termasuk diantara hal-hal yang lazim bagi wujud-Nya, sebagaimana telah diketahui. Ilmu-Nya, menga-tasi segala macam ilmu, karena tinggi martabat wujud-Nya diatas sega-la yang maujud (ada). Cobasega-lah perhatikan segasega-la yang terlihat pada je-nis tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang, bagaimana lengkap kekuat-an dkekuat-an keskekuat-anggupkekuat-annya untuk memenuhi kebutuhkekuat-an-kebutuhkekuat-annya untuk memelihara wujud hidupnya dengan mempergunakan alat-alat dan

(13)

anggota-anggotanya yang masing-masing terletak dibadannya. Dan perhatikan pu-lalah alam yang tidak mempunyai perasaan panca indera seperti tumbuh-tumbuhan itu bagaimana ia telah diberikan kekuatan menghirup guna meng-ambil makanan-makanan yang sesuai baginya dan tidak mau mengmeng-ambil apa yang tidak cocok bagi dirinya. Banyak diantara persoalan-persoalan seperti itu yang telah diuraikan dalam kitab-kitab ilmu tumbuh-tumbuhan, dalam ilmu hewan (Zoologie) dan dalam ilmu sejarah alam, ilmu faal (psi-ologi), ilmu kedokteran dan yang bertalian dengan itu. Tetapi walaupun para ahli telah melakukan pembahasannya secara mendalam, menumpahk-an kesungguhmenumpahk-an dmenumpahk-an minat mereka untuk menyingkapkmenumpahk-an tabir-tabir rahasia semuanya itu dengan ilmu mereka, namun mereka baru berada dalam taraf pembahsan tingkat permulaan.

Hasil ciptaan ini, andaikata akal mendapat kehormatan untuk memahami rahasia-rahasianya dan merasa kagum tentang kebagusan hukumnya, apa-kah itu bukan merupakan bukti yang menunjukkan, bahwa Penciptanya yang utama adalah Zat Yang Mengetahui segala sesuatu, yang memberikan se-suatu kepada makhluk-Nya, kemudian dipimpin-Nya?! Apakah mungkin terjadi dengan kesempatan yang tiba-tiba saja lahirnya organisasi alam ini dan terletaknya sendi-sendi, dimana ditegakkan di atasnya wujud alam se-mesta, yang besar maupun yang kecil?!

Sekali-kali tidak! Tetapi yang menjadi Pencipta bagi semuanya itu, ialah Dia (Zat, Substansi) yang tidak ada tersembunyi bagi Ilmu-Nya sebesar atom-pun benda yang ada dibumi ini dan tidak pula benda yang ada di ruang angkasa. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengtahui.

3.3 Kemauan (Al-Iradat)

Diantara sifat yang wajib bagi Zat Yang Wajib Wujud, adalah Iradat (Ke-mauan). Ia adalah sifat (atribut) yang dapat menentukan, untuk penciptaan alam ini dengan salah satu jalan-jalannya yang mungkin. Bahwa segala yang maujud harus menurut ketentuan yang khusus dan sifat tertentu, menurut waktu, tempat dan ruang yang tertentu pula. Jalan ini telah ditentukan bagi yang maujud itu dan bukanlah jalan-jalan yang lain. Ketentuan yang demikian itu harus sesuai dengan Ilmu, dan tidak ada makna lain bagi Iradat (Kemauan) kecuali ini.

(14)

3.4 Kuasa (Al-Qudrat)

Diantara sifat-sifat yang wajib bagi Zat Yang Wajib Ada itu adalaj Kuasa (kudrat). Ia adalah merupakan suatu sifat yang dengannya, Zat Yang Wajib Ada itu mengadakan dan meniadakan apa yang dikehendaki-Nya. Karena perbuatan Zat Yang Mengetahui lagi mempunyai Kemauan dalam apa-apa yang diketahui dan dikehendakinya, tentu hanya bisa terjadi dengan adanya Kekuasaan bagi-Nya untuk berbuat. Dan tidak lain makna Kudrat, kecuali kekuasaan yang penuh mutlak seperti ini

3.5 Ikhtiar (kebebasan berbuat)

Tetapnya sifat-sifat yang tiga ini (Ilmu, Iradat, dan Kuadrat) bagi Zat Yang Wajib, melazimkan pula tetapnya sifat ,,iktiar bagi-Nya dengan pasti. Ka-rena tak ada makna bagi Ikhtiar itu kecuali menimbulkan bekas perbuat-an dengperbuat-an Kuadrat kekuasaperbuat-an-Nya menurut ketentuperbuat-an Ilmu dperbuat-an hukum Kemauan-Nya. Kesempurnaan dalam ciptaan harus berarti karena kesem-purnaan Penciptanya sendiri, dan kerapian dalam ciptaan, adalah merupak-an mmerupak-anifestasi bagi ketinggimerupak-an martabat Ymerupak-ang Menciptakmerupak-an. Pembuktimerupak-an dengan alam raya yang paling tinggi dan paling sempurna susunan organi-sasinya ini, semuanya bergantug kepada Ilmu yang luas merata serta Iradat Kemauan yang mutlak (absolut). Maka muncul dan lahirlah segala sesuatu menurut jalan ketentuan yang tinggi ini.

Inilah makna perkataan, bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan itu tidak ber-gantung kepada sesuatu sebab, dan ia suci dari sifat main-main ; mustahil sekali, bahwa segala karya perbuatan Tuhan itu sunyi dari hikmat, sekalipun hikmahnya itu tersembunyi dari tanggapan pikiran-pikiran kita.

3.6 Maha Esa (Al Wahdah)

Diantara sifat yang wajib juga bagi-Nya adalah sifat Esa. Esa dalam Zat, da-lam sifat, dada-lam wujud dan dada-lam perbuatan. Adapun Esa dada-lam Zat, maka

(15)

telah kami terangkan dalam keterangan yang terdahulu, bahwa Zat itu tidak menerima tarkib (tidak tersusun dari berbagai unsur), baik diluar maupun di dalam akal sendiri. Tentang Esa (ke-Esaan, Tunggal) dalam sifat-Nya , ialah bahwa tidak ada yang menyamai-Nya dalam sifat-sifat yang tetap bagi-Nya diantara yang maujjud ini. Adapun mengenai Esa (Ke-Esaan, Tunggal) dalam wujud dan p[erbuatan, maksudnya ialah zat-Nya sendiri yang wajib wujud (ada), dan Ia sendirilah (tanpa campur tangan orang lain) untuk mengadakan segala apa yang mungkin ada ini. Masing-masing Zat itu akan mempunyai Ilmu dan Iradat (kemauan) yang melaini sama sekali akan Ilmu yang lain dan Iradat-Nya, dengan begitu jadilah bagi tiap-tiap Zat itu Ilmu dan Iradat yang sesuai dengan zat dan ketentuian yang khas. Apa-apa yang telah kami kemukakan dari sifat yang wajib di-itikadkan tetapnya sifat-sifat itu bagi Yang Wajib Wujud, ialah apa yang telah ditunjukkan dengan bukti yang jelas oleh syariat Islam, dan oleh syariat-syariat suci sebelum Islam. Untuk meyakinkan kebenarannya, Dia menyeru dengan perantaraan lisan Nabi kita Muhammad s.a.w. begitu pula dengan lisan para Nabi yang terdahulu, semoga Tuhan memberi salawat kepada mereka

3.7 Pembicaraan tentanf Sifat-sifat secara Ringkas

Dengan mengutip sebuah hadits, yang andaikan Hadits itu tidak sahih ma-ka Kitab Allah (Al-Quran) dengan jelas menguatma-kan pengertian hadits itu. Yaitu sabda Nabi yang berbunyi :

Apabila kita menilai akal manusia menurut penilaian yang semsetinya, ni-scaya kita melihat bahwa setinggi-tinggi kekuatan (kapasitas)-nya, hanya-lah sehingga mengtahui keadaan sebagian (fragment) alam raya ini, yang dicapai oleh panca indera manusia baik oleh perasaan maupun oleh keku-atan batinnya ataupun oleh kekukeku-atan pikirannya. Dari situ ia melangkah untuk mengetahui sumber-sumber pokok kejadian alam dan mendapatk-an macam-macam warna-warnmendapatk-anya ymendapatk-ang umum guna mengetahui tentmendapatk-ang kaidah-kaidah yang ada pada sesuatu benda alam itu.

(16)

se-perti cahaya. Para ahli telah menetapkan, bahwa cahaya itu mempunyai hukum-hukum yang banyak segi-seginya, yang mereka jelaskan dalam suatu ilmu yang khusus mengenai itu. Tetapi tak ada satupun para ahli yang dapat memahami apakah sebenarnya yang dikatakan cahaya itu. Dan tidak ada pula yang tahu makna cahaya itu sendiri. Hanya yang dapat diketahui, ialah apa yang biasa dikenal oleh tiap-tiap orang yang mempunyai dua mata. Be-gitulah dapat dikiaskan seterusnya. Sesungguhnya Allah tidak menjadikan manusia mempunyai hajat yang mendorongnya untuk mengetahui tentang hakikat sesuai dari benda-benda alam semesta ini. Tetapi mempunyai hajat untuk mengetahui sifat-sifat dan khasiat-khasiatnya benda-benda itu. Manusia sibuk untuk mencari pengertian (ilmu) tentang sesuatu yang paling dekat kepadanya, yaitu diri (roh)-nya sendiri. Tetapi puncak penyelidikan-nya cuma dapat mengatakan, bahwa ia (roh) itu suatu yang memang ada, yang hidup mempunyai ingatan dan kemauan. Segala yang meliputi roh, yang berupa hakikatnya yang sejati, kembali kepada sifat-sifat yang ada pada roh itu sendiri. Adapun hakikatnya benar dan bahkan bagaimana ca-ranya roh itu bersuatu dengan sebagian sifat-sifat itu, semuanya itu adalah suatu hal yang tidak dikenal sama sekali. Beginilah lemahnya akal manusia, terhadap perbuatan-perbuatan yang timbul dari padanya sendiri, seperti berfikir dan perhubungannya dengan gerak-gerak dan bicara. Berfikir ten-tang makhluk pasti membawa manfaat duniawi, memberikan cahaya bagi jiwa untuk mengetahui Zat yang menjadikan bekas-bekas (makhluk) itu. De-ngan itu menjadi teranglah cahaya Tuhan kelihatan, dan bersinarlah jiwa untuk mengetahui sifat-sifat-Nya yang sempurna, yang tanpa sifat-sifat-Nya itu tentu tidak bisa lahir dan pada-Nya bekas-bekas wujud yang nyata ini yang kelihatan tersusun dengan rapi. Timbulnya pertentangan pikiran ten-tang alam Ilahi ini adalah merupakan pertarungan hak dengan yang batil. Dan pastilah kemenangan berada di pihak yang hak (benar) dan ia akan menang atas yang batil, dengan adanya kerjasama pikiran-pikiran yang be-nar, yang memang kuat dan harus menang terhadap yang lemah. Apakah sifat-sifat itu merupakan tambahan kepada Zat (Substansi)? Apakah Ka-lam merupakan sifat yang lain dari apa yang diterangkan daKa-lam Kitab Suci? Apakah sifat Mendengar dan Mengetahui, lain dari segala yang dapat men-dengar dan melihat? Dan lain-lain masalah seperti itu yang telah merupakan perkara-perkara yang diperselisihkan oleh akal dan yang telah menyebabk-an pertengkarmenyebabk-an dalam beberapa madzhab, maka itu semua adalah suatu

(17)

perkara yang tidak perlu terlalu didalami untuk dipertengkarkan. Karena tidak mungkin akal manusia sampai kepadanya dan tidak cukup kata-kata yang dapat mencakup untuk menerangkannya, sehingga dikhawatiri akan merupakan penipuan terhadap agama. Karena, tak ada bahasa yang da-pat mencakup ketentuan hakikat Zat yang Wajib Ada itu. Tetapi yang demikian itu dilakukan juga oleh madzhab-madzhab filsafat, yang andaika-ta segolongan dianandaika-tara mereka tidak tesesat, maka golongan yang lainpun tidak dapat petunjuk yang memuaskan ; baiklah mereka berhenti membica-rakannya! Karena itu tidak ada jalan lain bagi kita, kecuali berhenti pada titik puncak dari kesanggupan akal kita.

(18)

4

Perbuatan-Perbuatan Allah

Segala perbuatan Allah, terbit dari Ilmu dan Iradat-Nya. Tiap-tiap sesuatu yang terbit dari Ilmu dan Iradat, berpangkat pula kepada Ikhtiar (Kebebas-an). Tiap-tiap yang terbit dari Ihtiar, tidak satupun yang wajib dilakukan oleh yang mempunyai Iktiar. Oleh karena itu, tidak ada satupun diantara perbuatan-perbuatanNya, yang wajib dilakukan oleh ZatNya. Maka segala perbuatan Allah seperti mencipta, memberi rezeki, menyuruh dan mence-gah, mengazab dan memberi nikmat, adalah merupakan suatu yang tetap bagi Allah dengan kemungkinan yang khusus. Tidak dapat dibayangkan oleh akal, bahwa karena ilmu dan kemauanNya Allah berbuat sesuatu dengan perbuatan-perbuatanNya wajib dilakukan oleh Zatnya. Kejayaan Allah dan kesucian agama-Nya lebih Agung dan lebih tinggi dari semua ini.

Semua telah sepakat atas keterangan yang mengatakan, bahwa perbuatan-perbuatan Allah s.w.t. tidak lepas dari hikmatnya. Baik pihak yang ke-terlaluan, maupun pihak yang sederhana sekali, terang-terang mengatakan bahwa Allahbersih dari kesia-siaan dalam segala perbuatan-Nya, dan bersih dari dusta dalam perkataan-perkataan-Nya. Tetapi setelah itu mereka tu-duh menutu-duh pula dan bersengketa dalam berbagai persoalan. Tidak tau kemana tujuan persengketaan itu, maka baiklah kita ambil apa-apa yang telah mereka sepakati itu dan kita pulangkan saja apa yang mereka [erteng-karkan itu kepada satu hakikatnya yang pokok.

Hikmat tiap-tiap perbuatan itu terletak dalam apa yang ditimbulkannyam yang dapat menjaga ketertiban ataupun menolak kerusakan baik khusus ataupun umum, yang andai kata dibukakan kepada akal dari segi apa saja ia berfikir dan memberikan hukum, ia akan mengakui, bahwa perbuatan itu tidak percuma dan tidak main-main saja. Diantara kaidah-kaidah yang benar, yang dapat diterima oleh semua oran yang berakal, ialah : Bahwa segala perbuatan orang yang berakal tidak ada yang percuma. Yang me-reka maksudkan dengan orang yang berakal, ialah orang yang mengetahui segala perbuatannya, terbit dari kesadaran dan kemauannya sendiri. Yang mereka maksudkan dengan tidak ada yang percuma, ialah bahwa perbuatan-perbuatan itu tidak akan lahir kecuali karena ada tujuannya.

Ciptaan Allah, yang memberikan hikmat kepada segala sesuatu dan mencip-takan makhluk-Nya dengan sebaik-baiknya, ialah penuh dengan bermacam-macam hikmat. Dalam hikmat-Nya itu terletak dasar kejadian langit,

(19)

bu-mi, dan apa-apa yang terdapat antara keduanya. Dengan dia terpelihara susunan alam dan rahasianya, dan Dia menjaganya dari kebinasaan dan da-ri keruntuhan. Didalam hikmat-Nya itu terletak kemaslahatan segala yang maujud ini menurut batas-batas yang ditentukan. Terutama wujud haya-ti, seperti tumbuhan-tumbuhan dan bintang-binatang yang kalau tidaklah memperhatikan hikmat-hikmat yang indah mengagumkan ini, tidaklah mu-dah bagi kami untuk membuktikan Ilmu Allah iitu.

Maka ketahuilah wajibnya hikmat dalam segala perbuatan Allah, mengikuti pula akan wajib sempurnanya Ilmu dan Iradat-Nya hal itu tidak menjadi buah perselisihan diantara segala pihak yang suka bertengkar. Begitu juga dikatakan tentang wajibmembuktikan ancaman dan pahala sebagai dijan-jikan, maka itu juga mengikuti akan kesempurnaan Ilmu dan Iradat-Nya, dan memang ia adalah yang maha benar.

Dan yang menjadi sumber pokok, kemana harus dikembalikan segala perso-alan yang timbul dalam bab ini, adalah firman Allah Taala yang tersebut dibawah ini :

Firman-Nya yang berbunyi sesungguhnya Kami ambil permainan itu un-tuk Kami, yakni berarti : sesungguhnya hal yang demikian itu terbitnya dari pihak Zat Kami sendiri yang sempurna mutlak (Absolut Substansi) yang tidak sedikitpun cacat-celanya dan hal itu mustahil. Dan arti seki-ranya yang terdapat dalam firman-Nya sekiseki-ranya Kami berbuat demikian,

(20)

adalah berarti nafi (menindakkan) dan ia merupakan natijah (konklusi) bagi kias yang terdahulu.

Tinggal lagi sekarang yang harus disesalkan ialah, bahwa para peminat ten-tang hakikat-hakikat ini telah terpecah menjadi dua golongan. Sebagai mereka terdapat orang-orang yang mencari pengetahuan ketuhanan kare-na pengetahuan itu metupakan keingikare-nan dan kelezatannya. Dan golongan ini memberikan beberapa arti tertentu kepada nama-nama Tuhan, tanpa mengindahkan boleh atau tidaknya hal itu dipakaikan kepada Tuhan menu-rut syara (agama). Golongan lain mencari pengetahuan tentang ketuhanan ini serta merasakan, bahwa hal itu adalah agama dimana harus merupakan tempat berbakti dan juga merupakan kepercayaan kepada Allah yang Besar, yang harus disembah dengan tahmid dan tazhiem (puji dan sanjung).

(21)

5

Perbuatan-Perbuatan Manusia

Orang yang mempunyai akal dan perasaan (pancaindera) yang sehat, meng-akui dengan menyaksikan, bahwa dirinya sendiri adalah maujud (ada). De-mikian pulalah ia menyaksikan, bahwa ia mempunyai kemauan untuk mela-kukan perbuatan-perbuatan dengan ikhtiar, yang ditimbangnya dengan akal dan ditentukannya dengan iradat (kehendak)nya sendiri. Kemudian barulah perbuatan itu dilaksanakannya dengan sepenuh kodrat yang ada dalam di-rinya. Siapa yang berani mengingkari ketentuan seperti itu, dianggap sama dengan mengingkari wujud dirinyan sendiri, karena ketentuan itu merupak-an kenyatamerupak-an ymerupak-ang logis dmerupak-an dibenarkmerupak-an oleh akal.

Tiap-tiap manusia mengakui hal yang demikian ada pada dirinya sendi-ri, dan pada orang lain yang sehat akal dan pancainderanya. Begitulah, kadang-kadang manusia bermaksud bisa atau berikhtiar untuk mennyenangk-an hati kawmennyenangk-an, tetapi sebaliknya ymennyenangk-ang datmennyenangk-ang kawmennyenangk-an itu marah kepadmennyenangk-anya. Orang yang beriman, menyaksikan dengan dalil dan bukti yang nyata, bah-wa kodrat pencipta alam semesta ini lebih tinggi dari kodrat yang ada pada segala makhluk, tentu ia menyaksikan pula dengan terang, bahwa ia da-lam segala aneka warna perbuatannya yang ikhtiar (bebas), naik perbuatan akal maupun jasmani adalah tegak untuk mempergunakan semua penge-tahuan dan kekuatan yang diberikan Allah kepadanya menurut ketentuan yang semestinya. Kamu Ulama telah memberikan definisi tentang arti syu-kur nikmat ialah: Mempergunakan (memanfaatkan) segala syu-kurnia Tuhan sesuai dengan maksud nikmat itu dijadikan oleh Tuhan.

Diatas ketentuan Takdir dan Ikhtiarinilah berjalannya syariat (agama) dan diatas ketentuan itu pulalah beridirinya taklif-taklif (perintah-perintah) Tuh-an. Siapa yang berani mengingkari salah satu diantaranya, nyatalah ia memungkiri sumber iman pada dirinya sendiri, yakni akalnya; akal yang telah mendapat kehormatan dari Allah untuk dapat memikirkan perintah-perintah dan larangan-laranganNya. Adapun pembahasan dibalik itu, yak-ni bagaimana menyesuaikan dalil-dalil tentang kekuasaan Ilmu Allah dan Kemampuan (Iradat)-Nya dengan kenyataan-kenyataan adanya kebebasan ikhtiar manusia dalam memilih perbuatan-perbuatan yang ada hak ikhtiar didalamnya, maka itu berarti mencari rahasia kadar Ilahi yang kita dilarang untuk menggalinya lebih dalam serta menghabiskan energi kepada apa yang tidak bisa dicapai oleh akal. Akhirnya perbuatan mereka itu tidak lain dari

(22)

perpecahan dan percekcokan. Diantara mereka ada yang mengatakan, bah-wa manusia itu berkuasa menentukan segala macam perbuatannya dan ia mempunyai kebebasan yang mutlak sekali. Pendapat semacam ini, yakni pendapat kaum Qadariah, nyata suatu penipuan. Ada pula yang menga-takan, bahwa manusia itu dipaksakan sama sekali, dan tak ada kebebasan untuk menentukan perbuatannya, yakni pendapat kaum Jabariah.

Dan ada pula orang-orang yang berfaham seperti yang tersebut belakangan ini tetapi ia tidak mau terang-terangan mengakui sebagai kaum Jabariah. Tetapi keyakinan seperti itu adalah berarti meruntuhkan Syariat (Agama), menghapuskan hukum taklif (adanya perintah Allah) dan membatalkan hu-kum akal yang logis, padahal ia merupakan pilar (tiang) Iman. Menentukan ketetapan Agama, ada dua perkara besar yang merupakan tiang kebagaiaan dan pembimbing segala amal perbuatan manusia. Pertama: bahwa manu-sia mempunyai usaha yang bebas dengan kemauan dan kehendaknya untuk mencari jalan yang dapat membawakannya kepada kebahagiaan. Kedua: bahwa Kodrat Allah tempat kembalinya segala makhluk. Diantara tanda (bekas) kodrat kekuasaan Allah itu ialah, bahwa Ia sanggup memisahkan manusia (makhluk) dari apa yang dimauiny, dan tidak seorangpun selain dari pada Allah yang sanggup menolong manusia dalam apa yang tidak mungkin dicapainya.

Kodrat Allah yang Tunggal itu, adalah sesuatu kekuasaan yang paling tinggi dalam menyempurnakancita-cita manusia dengan jalan melenyapkan rintangan-rintangan yang menghalang ataupun untuk menyempurnakan syarat-syarat kesempurnaan yang diperlukan sebagai suatu perkara yang tidak diketa-hui oleh manusia dan tidak termasuk dibawah iradatnya. Masing-masing mempunyai ketentuan yang khusus bagi dirinya. Begitulah keadaan masing-masingm, berbeda satu sama lainnya. Maka Tuhan yang memberi wujud telah memberikan kepada macam-macam jenis dan oknum-oknum itu akan ketentuan wujudnya masing-masing menurut patut. Kemudian, tiap-tiap wujud itu mempunyai pula sifat-sifat yang mengikutinya. Diantaran kejadi-an makhluk ykejadi-ang bermacam-macam itu adalah mkejadi-anusia itu sendiri. Ciri-ciri yang menyebabkan ia berbeda dari segala hewan ialah, bahwa ia berfikir (Homo Sapienis), mempunyai ikhtiar (usaha bebas) dalam amal perbuatan-nya menurut petunjuk fikiranperbuatan-nya. Begitulah wujud yang diberikan Tuhan kepada manusia, disertai dengan ciri-ciri yang khusus baginya.

(23)

kehendaknya. Ia tahum bahwa perbuatan ini dilakukan pada saat begini. Jika perbuatan itu baik, diberi pahala yang melakukannya. Begitu pula perbuatan yang jahat, pelakunya akan disiksa menurut siksaan perbuatan jahat. Jelaslah, bahwa kerja-kerja manusia itu timbul dari usaha dan ikhti-arnya sendiri.

(24)

6

Perbuatan-perbuatan Baik dan Buruk

Dalam diri kita pasti kita temui sesuatu kodrat yang dapat membedakan antara yang indah dan yang jelek. Begitu pula orang tidak akan berbeda pendapat tentang buruknya daun-daun yang berserak-serak, terpisah sa-tu dari yang lain dengan centang-prenang tidak terasa-tur. Jiwa kita merasa senang dan kagum kepada sesuatu yang indah, jijik kepada sesuatu yang bu-ruk. Sebagaimana pembedaan-pembedaan itu terdapat pada sesuatu yang dilihat, maka demikian pula hal itu berlaku pada segala yang didengar, di-sentuh, dirasa dan yang dicium dan segala yang dapat dikenal oleh salah satu pancaindera ana-cucu Adam ini.

Diatas ciri-ciri itulah dapat dibangunkan beberapa industri (perekonomi-an) dalam beberapa tingkat-tingkat kemajuan sampai kepada batas yang sama-sama dapat kita saksikan sekarang ini. Sekalipun perasaan dan se-lera berlain-lain, namun dalam segala sesuatu itu ada terdapat baik dan buruk. Kesempurnaan yang terdapat dalam sesuatu yang logis adanya (ma-qulat), seperti adanya Zat Yang Wajib Ada (Tuhan), roh-roh yang halus dan sifat-sifat rohani manusia, semua itu mempunyai rasa keindahan yang dapat dirasakan sendiri oleh rohani orang yang mengenalinya, dan dapat menarik perhatian orang yang mempunyai minat padanya. Sebaliknya da-lam sesuatu ada kekurangannya, terdapat keburukan. Yang tidak dapat di mungkiri oleh orang-orang yang tinggi cara berfikirnya sekalipun ada perbe-daan pada suatu waktu antara kesan yang buruk menurut wijdan (intuisi) dan kesan yang buruk menurut pancaindera, tentang segala sesuatu yang dapat dirasa.

Kadang-kadang yang buruk itu menjadi baik dengan melihat bekasnya yang baik, sebaliknya yang baik itu bisa dipandang buruk karena melihat akibat-nya buruk. Begitulah sesuatu yang pahit itu buruk, karena bisa memun-tahkan dan raja yang cacat badannya tak sedap dipandang mata. Tetapi bekas yang pahit yang teletak dalam memberantas penyakit, keadilan yang dilakukan oleh raja yang cacat itu kepada rakyatnya ataupun budi baiknya terutama kepada anda sendiri, merubah pandangan Anda tatkala melihat rupanya. Karena bekas yang baik itu memberikan cahaya kepada yang mem-punyainya karena kebijaksanaannya. Maka ingatan hanya tertuju kepada kebaikan orangnya saja. Demikian pula dikatakan yang manis itu buruk, apabila ia merusakkan dan jijiknya diri kita melihat orang yang indah

(25)

rupa-nya, apabila ia zalim dan merusak. Diantar perbuatan-perbuatan manusia yang ikhtiar, ada yang mempunyai daya penarik pada dirinya, dimana hati tertarik kepadanya seperti melihat kejadian yang menarik, seumpama pa-rade militer yang teratur, bersenam yang menunjukkan kemahiran bermain dan seperti nada irama musik yang mengharukan bagi orang yang mengerti tentang kaidah permainan itu.Dan diantara perbuatan-perbuatan ikhtiar itu ada pula yang buruk pada dirinya dan menimbulkan perasaan yang tidak enak bagi siapa yang melihat.

Pengertian baik dan buruk menurut dua makna yang tersebut tadi sedikit sekali mengandung ciri-ciri yang dapat membedakan antara manusia dan binatang-binatang yang maju (primat) dalam silsilah wujudnya, kecuali ha-nya terletak : dalam kekuatan wijdan (intuisi, perasaan), pembatas nilai (martabat) baik dan buruk. Dan diantara perbuatan-perbuatan manusia yang ikhtiar ada yang baik karena memandang manfaat yang ditariknya dan ada yang buruk karena melihat kerusakan yang ditimbulkannya. Tuhan memberikan kepada manusia atau menjadikannya mempunyai tiga kekuatan yang tidak ada pada hewan : ingatan, khayalan dan fikiran. Maka kekuatan ingatan manusia itu dapat mengingat rupa kejadian yang telah lalu, yang tertutup oleh kesibukan-kesibukan dewasa ini. Begitulah ingatan itu dapat mendatangkan kembali apa-apa yang selama ini disenangi ataupun yang dibenci, yakni apa-apa yang serupa ataupun berlawanandengan yang dihadapi manusia itu dengan jalan mengingat sesuatu dengan apa yang me-nyerupainya (asosiasi fikiran) dan tempo-tempo dengan lawannya, sebagai-mana tak asing lagi. Dan kekuatan khayal (fantasi) dapat menggambarkan peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi dan keadaan-keadaan yang mempe-ngaruhi manusia itu sehingga peristiwa itu seakan-akan tampak dimatanya sendiri. Kemudian khayal itu dapat menggambarkan kelezatan atau kesakit-an dizamkesakit-an ykesakit-ang akkesakit-an datkesakit-ang dengkesakit-an membkesakit-andingkkesakit-annya dengkesakit-an apa-apa yang telah berlalu, sehingga kemudian hati tertarik untuk mengejarnya atau menjauhkan diri dari padanya. Maka karena itu manusia berlindung kepada fikiran, untuk mengatur cara-cara yang baik untuk mencapainya. Begitulah, diatas tifa kekuatan ini tergantung kehidupan bahagia manusia dan celaka-nya.

Manusia telah sepakat mengatakan, bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu ada yang bermanfaat dan ada pula yang berbahay, dengan lain perka-taan ada yang baik dan ada yang buruk. Diantara kaum cerdik pandai dan

(26)

orang yang mempunyai tijauan yang benar dan pertimbangan yang adil ada yang mungkin dapat mencapai demikian itu dengan jalan pengetahuan yang benar. Mereka sepakat bahwa yang baik itu ialah : apa yang lebih kekal fae-dahnya, sekalipun menimbulkan kesakitan dalam melakukannya. Dan yang buruk ialah : barang yang merusak bagi kepentingan perseorangan maupun kepentingan umum dan bagi siapa saja berhubungan dengannya, sekalipun besar sekali kelezatannya sekarang.

Akal manusia tidaklah sama tentang mengetahui persoalan adanya Allah tentang mengetahui persoalan adanya hidup sesudah hidup sekarang ini. Sekalipun mereka telah sesuai untuk tunduk menekurkan kepala terhadap kekuatan zat yang lebih kuasa dari mereka sendiri. Sebenarnya bukanlah menjadi kemampuan akal manusia rata-rata untuk mengetahui apa yang wa-jib diketahuinya, dan tidak pula mampu untuk memahami dengan sungguh-sungguh tentang kehidupan hari akhirat itu apa yang semestinya dipaha-minya, dan tidak pula untuk menentukan macam-macam perbuatan mana yang akan menerima pembalasannya dinegeri akhirat itu.

6.1 Juru Penolong itu adalah Nabi

Tugas Nabi adalah memberikan batas terhadap apa yang seharusnya di-perhatikan tentang sesuatu yang berkenan dengan Zat Yang Wajib Wujud berupa sifat-sifatNya yang sempurna dan apa-apa yang dibutuhkan oleh ummat manusia kepada-Nya. Nabi itu memberikan isyarat kepada orang-orang terkemuka agar bersifat dengan sifat keutamaan, yang melebihkan-nya dari orang lain dalam kedudukan pengetahuan mereka yang terhormat. Akan tetapi ia tidak mewajibkan kecuali yang memandai buat keperluan orang awam. Begitulah Nabi itu datang menganjurkan kepada ummat ma-nusia untuk menganut kepercayaan (itikad) dengan adanya Allah, dengan ke-EsaanNya dan dengan sifat-sifat yang sempurna seperti apa yang telah kami jelaskan. Untuk membuktikan demikian, Nabi itu telah memberikan petunjuk cara-caranya. Maka wajjiblah mengetahui adanya Allah itu menu-rut cara yang ditentukan itu dan kebaikannya mengetahui serta terlarangnya bersikap masabodoh (apatis) , atau mendurhakai apa-apa yang diwajibkan oleh Syariat (Agama).

Ayat ini menunjukkan isyarat yang nyata, bahwa memperbeda-bedakan Tuhan menimbulkan perpecahan didalam pendirian manusia dalam mencari kekuasaan yang lebih tinggi diluar kekuatan akal mereka sendiri. Jabatan

(27)

ke-Nabian itu juga menentukan batas amal-amal yang membawa bahagia manusia didunia dan akhirat, dan dengan perantaraan perintah Tuhan, Na-bi itu menganjurkan kepada manusia supaya berhenti pada batas-batas yang telah ditentukan Allah itu. Banyak sekali manusia mendapat penerangan dengan demikian itu tentang jalan-jalan yang baik ataupun yang buruk yang bersangkut-paut dengan perintah dan larangan yang harus diperhatikan oleh ummat manusia. Maka karena itu wajiblah mengamalkan apa-apa yang di-perintahkan ataupun yang dianjurkan supaya manusia mengerjakannya dan menghentikan perbuatan yang hukumnya terlarang ataupun yang tidak di-sukai menurut jalan yang telah dibatasi oleh syariat.

(28)

7

Kerosulan Yang Umum

Kami maksudkan dengan Kerasulan yang Umum, ialah pengangkatan para Rasul untuk menjalankan missinya menyampaikan sesuatu itikad (keperca-yaan) dan hukum-hukum Allah Yang menciptakan ummat manusia ini, bah-wa Tuhanlah yang mencukupkan kebutuhan-kebutuhan manusia yang pokok (primair) sebagaimana Ia juga memberikan kepada makhluk yang lain-lain guna memenuhi kebutuhan serta menjaga wujudnya menurut kadar yang ditentukan sesuai dengan martabatnya masing-masing dalam wujud. Yakni yang paling mudah bagi ahli ilmu Kalam, yaitu jurusan, bahwa meng-anut itikad tentang diutusnya para Rasul itu adalah merupakan satu dian-tara rukun Iman (kepercayaan). Maka tiap-tiap orang yang beriman wajib meyakinkan, bahwa Allah telah mengutus beberapa orang Rasul dari golong-an mgolong-anusia sendiri untuk menyampaikgolong-an pelajargolong-an kepada ummatnya dgolong-an apa saja yang diperintahkan kepada mereka untuk menyampaikan, sertam menjelaskan hukum-hukum yang berkenaan dengan perbuatan-perbuatan yang mulia dan sifat-sifat yang dituntut mereka itu mengerjakannya, begitu pula tentang segala perbuatan yang buruk serta moral yang rendah yang dilarang manusia melakukannya, dan bahwa manusia wajib membenarkan para Rasul itu, bahwa mereka dalam menjalankan missinya itu adalah ber-dasarkan perintah Allah.

Sejajar dengan itu, wajiblah dengan pasti mengitikadkan ketinggian fithrah kejadian Rasul-Rasul Tuhan itu, sehat akal, benar dalam segala pembicara-annya, amanah dalam menyampaikan apa yang diperintahkan Tuhan kepada mereka untuk menyampaikannya dan terpelihara dari segala perangai ma-nusia yang jelek. Adapun bidang lain dari yang tersebut itu, mereka itu adalah sebagau manusia biasa juga, yakni makan, minum, tidur. Mereka juga sakit, dan kadang-kadang malahan ada yang dianiaya oleh orang jahat, mendapat ancaman, bahkan ada diantara Nabi-Nabi itu yang mati dibunuh orang.

Tentang Mujizat, bukanlah suatu barang yang mustahil menurut akal. Ka-rena tidak ada dalil yang kuat untuk mengatakan mustahil terhadap sesuatu yang luar biasa wujudnya. Mujizat mestilah muncul bersama-sama dengan keangkatan menjadi Nabi. Ia bisa terwujud dengan seketika sebagai dalil yang meyakinkan bagi benarnya pengakuan seorang atas Kenabiannya itu. Katena seorang Nabi perlu bersandar kepada mujizat itu dalam

(29)

menjalank-an tugas dawahnya, bahwa ia benar menyampaikmenjalank-an apa ymenjalank-ang datmenjalank-ang dari Allah. Maka pemberian mujizat itu kepada Nabi-nabi, berarti penguatk-an bagi kebenarpenguatk-an missinya, Mustahil bagi Allah untuk menguatkpenguatk-an orpenguatk-ang dusta, karena menguatkan orang dusta itu berarti membenarkan kedusta-annya, dan membenarjan orang yang dusta itu adalah suatu kedustaan pula adanya, dan hal itu adalah mustahil bagi Allah. Adapun sihir dan persoalan-persoalan seperti itu, maka jika dapat diterima bahwa bekasnya adalah juga suatu hal yang mengagumkan lagi mengatasi kekuatan jasmaniyah biasa, namun ia tidak dapat mendekati keluar-biasaan yang ada pada mujizat se-dikitpun juga.

Wajibnya sifat-sifat tersebut tadi pada diri para Nabi, ialah andaikata fitrah kejadian mereka lebih rendah dari orang-orang yang sezaman dengan mere-kalemah menghadapi kekuatan jiwa orang lain, atau akal mereka mempunyai cacat yang bisa melemahkan, tentulah mereka tidak berhak untuk men-dapatkan kedudukan istimewa yang diberikan oleh Ilahi, kedudukan yang mengatasi segala-galanya. Mereka mendapat keistimewaan dengan wahyu yang diterimanya, mereka mrndapat keistimewaan dengan terbukanya tabir rahasia-rahasia ilmu bagi mereka.

Sekiranya Nabi-Nabiitu berdusta itu tentu akan melemahkan kepercayaan orang kepada mereka, dan dengan sendirinya mereka akan menjadi juru penyesat, bukan pembimbing. Dan dengan begitu hilanglah rahasia atau hikmat mengutus mereka sebagai Rasul. Demikian pula halnya sekiranya merek lalai atau suka lupa dalam menyampaikan akidah-akidahdan hukum-hukum yang diwajibkan kepada mereka buat menyampaikannya. Tentang terjadinya kesalahan pada dirimereka diluar dari tugas mereka menyampa-ikan berita yang datang dari Allah, yang tidak ada hubungan sma sekali dengan Syariat, menurut sebagian Ulama, hal itu boleh saja, sedang men-dapat kelompok terbesar para Alim-Ulama menyanggah penmen-dapat itu. Me-mang sulit untuk menegakkan dalil akal ataupun untuk membenarkan dalil Agama yang dapat meyakinkan orang menurut pendirian yang dianut oleh kelompok terbesar para Alim Ulama tersebut diatas.

(30)

8

Kebutuhan Manusia Kepada Rosul

Kita harus mempunyai kepercayaan (itikad) dengan kekalnya roh manusia setelah mati, dan bahwa bagi manusia ada hidup yang kedua setelah ber-akhirnya hidup di dunia ini. Dalam hidup mana mereka akan mengecap nikmat bahagia atau beroleh celaka dengan azab yang amat pedih. Bahagia dan celaka dalam kehidupan yang abadi itu adalah menurut amal perbuatan manusia itu sendiri, selagi berada dalam hidup didunia yang fana ini, ba-ik perbuatan-perbuatan itu berkenaan dengan kejiwaan (rohaniyah) seperti berbagai kepercayaan manusia atau berupa cita-cita dan kemauan-kemauan ataupun perbuatan-perbuatan badaniyah seperti bermacam-macam ibadat dan muamalat (ekonomi, perdagangan dan sebagainya).

Semua pihak sepakat mengatakan, baik manusia yang tergolong kaum yang mempercayai Tuhan Esa (monotheismus) atau yang mempercayai Tuhan banyak (polytheismus) maupun kaum filosof sendiri kecuali sedikit, yaitu orang yang kurang pertimbangannya, bahwa roh manusia itu adalah abadi, hidup terus setelah ia berpisah dengan badan, tidak akan mati lagi setelah mengalami kematian yang fana di dunia ini. Sedang masalah kematian ini-pun adalah suatu soal yang batin dan rahasia. Demikianlah mereka sepakat mengenai masalah kekalnya roh setelah ia berpisah dari badan, sekalipun mereka berbeda pendapat tentang cara bagaimana menggambarkan kekal-nya itu, kemana pergikekal-nya roh itu dan tentang jalan-jalan membuktikankekal-nya. Perbedaan fikiran tentang rahasia kebahagiaan dan kerugian di hari akhi-rat, tentang kelezatan hidup di hari akhirat itu serta jalan-jalan yang dapat membawa kepada beroleh nikmat begitupun timbulnya bermacam-macam pendapat ummat-ummat yang dulu maupun yang sekarang, memang ba-nyak sekali hampir tidak dapat dihitung. Manusia itu diberi ilham, bahwa akal dan fikirannya menjadi pokok bagi kehidupan didunianya ini, sekalipun ada beberapa gelintir orang yang berpendapat janggal mengatakan, bahwa akal dan fikiran manusia itu tidak cukup untuk memimpin manusia dalam melakukan sesuatu amal perbuatan, atau berpendapat, bahwa tidak mung-kin bagi akal untuk menentukan sesuatu kepercayaan (itikad.dogma). Ilham itu hampir dapat mendesak sesuatu kenyataan karena demikian je-lasnya pengertian yang diberikan kepada manusia, dimana manusia dapat merasakan bahwa dirinya diciptakan oleh Tuhan bersedia menerima ilmu pengetahuan yang tidak ada akhirnya dan mencari jalan-jalan yang tidak

(31)

dapat dibatasi. Zat yang memberikan wujud bagi segala jenis makhluk ha-nya memberikan persediaan menurut kadar yang dibutuhkan masing-masing dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Sampai dewasa ini kita senantiasa berada dalam gangguan kehidupan dunia yang selalu goncang, yang tidak dapat kita ketahui dengan pasti kapan kita akan terlepas dari kegoncangan-kegoncangan itu. Yang menegakkan urusan manusia menurut kaidah yaitu pimpinan dan pengajaran, yang menjadik-an mmenjadik-anusia dmenjadik-an memberinya penermenjadik-angmenjadik-an ymenjadik-ang mengajarnya berkata supaya dapat saling mengerti satu sama lain yang mengajarnya menulis agar dapat berkorespondensi (komunikasi) dengan yang lain. Allah memberikan ciri-ciri perbedaan kepada Rasul itu dengan fitrah kejadian yang suci murni. Ia tinggikan martabat rohani mereka sampai kepada martabat yang sempurna dan wajar untuk menerima cahaya ilmu-Nya dan menerima amanah (ke-percayaan) untuk memelihara rahasiaNya , yang andai kata rahasia Allah itu terbuka bagi manusia. Dalam penerangan mana telah tercakup bahwa hukum yang bertalian dengan seluruh amal-amal lahir batin. Maka dengan demikian tetaplah Rasul menjadi utusan Allah kepada makhluk insani se-bagai penyampai berita gembira dan sese-bagai pemberi peringatan.

Jenis makhluk manusia itu haruslah menurut apa yang ada pada dirinya dan apa yang mengendalikannya, berupa roh yang bisa menggerakkan fikir-an, dan berbeda-bedanya kekuatan fikiran itu dengan berbedanya pribadi manusia itu sendiri dan bahwa tidaklah semua pribadi itu bisa dan tahu dalam segala aperkara menurut tabiatnya, dan bahwa wujud manusia itu sendiri tetap menjadi pokok pembahasan dan pembuktian.

(32)

9

Kebutuhan Manusia kepada Rosul Adalah

Ta-biat Manusia

Sejak zaman purbakala sampai kepada masa modern sekarang ini, kita me-lihat bahwa diantara manusia ada yang hidup memisahkan diri dari masya-rakat. Manusia yang memakan rumput atau kayu dan bertempat tinggal di gua atau batu-batuan besar. Manusia seperti ini tak ubahnya seperti lebah yang telah memisahkan diri dari kesatuannya dan hidup dengan ke-hidupan yang tidak sesuai lagi dengan apa yang telah ditentukan. Manusia tidak bisa hidup kecuali dengan bermasyarakat. Kekuatan bisa bertutur kata yang diberikan kepada manusia, maka dengan dijadikan lidah tidaklah dimaksudkan untuk menggambarkan arti lafadzh serta menyusun berbagai ibarat,melainkan karena sangatnya kebutuhan untuk saling mengerti dian-tara sesama manusia itu dan tidaklah kebutuhan yang sangat untuk saling memahami isi hati diantara dua orang atau lebih banyak.

Sekiranya urusan manusia berjalan menurut sistim yang disetujui bersama, tentulah kebutuhan bermasyarakat merupakan faktor yang paling penting yang dapat membina cinta kasih diantara masing-masing pribadi. Kasih sayang itu menjaga bagi peraturan yang verlaku bagi bangsa-bangsa dan menjadi jiwa bagi kebakaannya, sedangkan kasih sayang itu memerlukan adanya kebutuhan , sesuai dengan undang-undang alam. Karena kasih itu mendatangkan hajat kebutuhan pada diri kita, kepada siapa yang kita ka-sihi atau apa yang kita sayangi, maka jika kasih sayang itu telah mendalam ia bisa memabukkan dan mengasyikkan kita.

Akan tetapi adalah menjadi undang-undang bagi cinta, bahwa ia harus tim-bul dan kekal diantara mereka yang berkasih sayang itu, yakni bila ada hajat kebutuhan kepada zat yang dicintainya atau apa yang ditangannya itu tidak hendak dilepaskannya lagi. Cinta yang seperti ini tidak hendak dilepaskannya lagi. Cinta yang seperti itu tidak akan terdapat dalam diri manusia kecuali bila ia timbul dari pengaruh yang ada terdapat dalam roh yang dicintainya itu sendiri serta sifat-sifat pribadinya yang melekat pada dirinya, sehingga kelezatan perhubungan cinta itu sendiri tidak karena se-suatu pengaruh yang datang dari luar

Masing-masing manusia, berbeda-beda alam pengertiannya kapasitas ker-janya dan dalam kemauan dan cita-citanya. Diantara mereka ada yang bersikap masabodoh, lemah atau malas yang hanya memperturutkan

(33)

kei-nginan hawanafsu lagi bersifat tamak. Orang yang telah menyimpang da-ri jalan yang semestinya dikarenakan perbedaan martabat manusia dalam perasaan, kemauan dan cita-citanya hingga tergambarlah bagi kau cerdik dan pandai bahwa ia harus berusaha untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi di mata umum dengan halan mengacau keamanan, menggoncangkan ketentraman dan menimbulkan ketakutan didalam hati orang banyak, yang semuanya itu dianggap seolah-olah tidak terlarang. Orang-orang cerdik dan pandai menyatakan pula, bahwa bagi tiap-tiap hak itu ada kehormatannya dan mereka memberikan pendapat antara kelezatan akan fana dan manfaat yang akan berguna untuk selama-lamanya.

Manusia telah sepakat mengakui Zat Maha Kuasa dan yang dapat ditandingi oleh kekuasaan yang ada pada manusia. Tetapi mereka berselisihan penda-pat dalam memahamkan Zat yang harus diakui oleh fithrah. Kejadian itu, perselisihan yang sangat dalam bekasnya untuk memutuskan persaudaraan sesama mereka yang menimbulkan unsur-unsur yang berbahaya dikalangan mereka karena perselisihan mereka yang terus menerus dalam memahamkan arti baik dan buruk, perselisihan yang disertai hawa nafsu yang memuncak. Manusia itu adalah makhluk yang menakjubkan keadaannya dengan keku-atan akalnya ia bisa naik membuung ke alam malakut (ketuhanan) yang tinggi, dan dengan fikirannya ia dapat menjangkau alam, apa yang tidak bi-sa dilakukan oleh makhluk yang lain, tetapi kemudian ia menjadi kecil dan lemah dan turun kepada derajat yang sedemikian rupa sehingga menjadi terdiam dan menundukkan kepala dengan penuh khusyu , yakni manakala dia dihadapkan kepada sesuatu perkara yang sebab musebabnya tidak dike-nalnya sama sekali dan tidak tahu dimana sumbernya. Demikianlah rahasia keanehan manusia itu yang sudah tak asing lagi bagi orang yang suka mem-perhatikan dan dapat dirasakan oleh setiap manusia itu sendiri.

(34)

Pemimpin mengajarkan kepada manusia apa yang dikehendaki Tuhan un-tuk kemashlahatan kehidupan mereka duniawi dan ukhrawi, dan apa-apa yang dikehendaki Tuhan untuk menerangkan kepada manusia itu tentang ZatNya dan kesempurnaan sifat-sifatNya. Dan , para pemimpin itu tidak lain , adalah Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul yang diutus Tuhan. Maka de-ngan keterade-ngan itu jelaslah, bahwa diangkatnya paraa Nabi semoga Tuhan memberikan rahmatNya kepada mereka adalah kesempurnaan diri manu-sia sendiri , dan termasuk diantara faktor kebutuhannya yang terpenting guna menjaga kebakannya, sedang nilai kedudukan Nabi-Nabi itu dalam je-nis manusia adalah sama dengan nilai pentingnya kedudukan akal pada diri tiap-tiap orang.

(35)

10

Kemungkinan Waktu

Wahyu adalah masdar yang berarti berita, baik berita itu disampaikan se-cara tertulis atau lisan, pendeknya berita yang anda sampaikan kepada ora-nglain sehingga oraora-nglain tersebut mengetahuinya. Para ahli telah mendefi-nisikan menurut istilah Syara (agama) , bahwa wahyu ialah pemberitahuan Allah kepada Nabi diantara Nabi-NabiNya tentang hukum syara dan yang seperti itu. Tetapi dapat juga didefinisikan bahwa wahyu adalah pengeta-huan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan penuh , bahwa pengetahuan itu datang dari Allah baik dengan sesuatu peranta-raan suara ataupun tidak, Yang pertama itu adalah dengan perantaperanta-raan suara yang dapat didengarkan dengan telinga atau tanpa suara sama sekali. Bedanya dengan ilham ialah, bahwa ilham adalah perasaan (wijdan) yang meyakinkan hati, dan yang mendorongnya untuk mengikuti tanpa diketa-hui darimana datangnya. Dan ilham itu hampir serupa dengan perasaan lapar, haus , duka dan suka. Bilamana datang kepada mereka suatu per-soalan yang membicarakan tentang Kenabian dan soal-soal Agama, serta rohani mereka menaruh minat yang besar ke arah itu. Mereka berupaya untuk mengalihkan pandangan ke arah yang lain, dan dengan cara menyo-lok berpaling dari pembocaraan itu sambil meletakkan anak-anak jari pada telinganya karena khawatir akan berpengaruhnya dalil-dalil itu pada fikiran mereka sehingga akidah kepercayaan akan menyelinap kedalam rongga hati mereka, kepercayaan yang diiringi oleh Syari[at Agama. Akibatnya mereka terhalang sendiri untuk dapat merasakan kelezatan yang pernah mereka ra-sakan dan apa yang mereka ingini untuk merara-sakannya. Orang-orang yang seperti itu adalah sedang menderita penyakit rohani dan jiwa (Psychosoma-tik) yang InsyaAllah dapat disembuhkan dengan ilmu pengetahuan. Ten-tang wujud arwah-arwah yang tinggi, yakni para malaikat yang dimuliak-an Tuham ddimuliak-an lahirnya arwah-arwah ydimuliak-ang demikidimuliak-an pada diri ordimuliak-ang ydimuliak-ang mempunyai martabat yang tinggi itu, maka hal itu bukanlah suatu hal yang mustahil, yakni setelah kita mengenal diri kita sendiri dan terutama setelah ilmu pengetahuan klasik maupun ilmu-ilmu pengetahuan modern membe-ritahukan kepada kita tentang adanya suatu wujud dialam ini. Maka oleh sebab itu siapakah yang merasa keberatan, bahwa sementara wujud yang halus itu (malaikat) memncarkan sebagian ilmu Ilahi, dan bahwa rohani pa-ra Nabilah yang mendapat kehormatan menerimanya. Adapun opa-rang yang

(36)

berjiwa besar dan akal yang tinggi yang terdiri dari para cendikiawan ter-kemuka , yakni orang-orang yang tidak begitu jauh beda martabat mereka dengan para Nabi (yang dalam pengetahuan modern dapat disebut orang-orang yang mempunyai kesadaran jagat raya). Segala bukti kebenaran ilmu pengetahuan tentang yang gaib seperti yang mereka terangkan ialah lahir-nya budi pekerti yang baik pada diri mereka, selamat sejahteralahir-nya segala perbuatan mereka dari apa yang menyalagi syariat para Nabi mereka, kesu-cian fitrah mereka dari apa yang ditentang oleh akal yang sehat atau tidak disukai oleh perasaan yang sejahtera. Dan mereka berjuang mempertahank-an kebenarmempertahank-an ymempertahank-ang menjelma pada sepak terjmempertahank-ang mereka sebagai suruhmempertahank-an hatinya yang bersinar-sinar untuk menyeru orang-orang yang berada dise-kitar mereka kepada apa yang dapat membawa kebaikan bagi umum dan disamping itu dapat menyenangkan hati orang-orang terkemuka (khawash). Dalil yang menjadi bukti atas Kerasulan seorang Nabi dan benarnya ia me-nyampaikan perintah TuhanNya telah sekali bagi orang yang dapat hadir menyaksikannya sendiri yang melihat keadaan gerak-herik Nabi itu dari de-kat serta melihat apa yang didatangkan Allah kepadanya berupa ayat-ayat Suci. Hal itu jelas dan sudah barang tentu tidak memerlukan keteranga lagi sebagaimana telah diterangkan sebelumnya ketika berbicara tentang Kerasulan. Adapun bagi orang yang tidak menyaksikan sendiri zaman Ke-rasulan itu (yang tidak sezaman dengan Nabi), maka yang menjadi dalilnya adalah berita mutawatir sebagaimana yang telah diterangkan dalam ilmu yang lain (mustalah hadits, pen) ialah suatu riwayat (berita) yang disak-sikan sendiri oleh orang banyak. Diantara para Nabi terdapat berita-berita yang mencakupi syarat-syarat mutawatir bagi pemberitaan yang disampaik-an ordisampaik-ang dari hal mereka, seperti Nabi Ibrahim Musa ddisampaik-an Isa. Ddisampaik-an didisampaik-antara berita yang disampaikan itu ialah bahwa mereka tidaklah termasuk orang yang lebih berkuasa diantara kaumnya, bukan pula orang yang lebih banyak hartanya dan tidak seorangpun pembantu tertentu yang menolong mereka untuk mengajarkan ilmu yang mereka dawahkan . Pendeknya mereka bu-kanlah orang-orang yang bercacat pribadinya, yang menimbulkan rasa jjik dalam hati dan yang tidak sedap dipandang mata. Kebaikan ummat mereka terletak dalam mengikut ajaran-ajaran yang mereka bahwa yang menjadik-an mereka berada dalam ajarmenjadik-an-ajarmenjadik-an Nabi itu. Sebaliknya mereka akmenjadik-an kembali menjadi lemah dan celaka bila berpaling daripadanya dan karena mempercampur adukkan barang bidah kedalam ajaran itu. Dalil yang

(37)

me-reka kemukakan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa tidaklah pantas menurut akal untuk mengatakan, bahwa mereka itu dusta dalam menyampa-ikan berita yang datang dari Allah, begitu pula tentang pengakuan mereka bahwa segala apa yang telah mereka sampaikan kepada ummat manusia itu adalah wahyu dari Tuhan. Disamping itu, bahwa orang yang tidak mem-percayai apa yang diucapkan oleh Nabi itu, kata-katanya tidak mempunyai pengaruh sama sekali pada akal, karena yang batil itu tidak ada hak untuk tetap, kecuali karena adanya kelalaian. Maka karenanya tidak mungkinlah mengatakan, bahwa asas Agama itu adalah dusta dan tiangnya adalah tipu muslihat belaka.

(38)

11

Fungsi Para Rosul ’Alaihimusalam

Telah jelas dari keterangan yang lalu tentang kebutuhan ummat manusia ke-pada Rasul-Rasul. Bahwa nilai kedudukan mereka diantara bangsa-bangsa tak ubahnya seperti pentingnya akal pada diri tiap-tiap orang. Dan bahwa diutusnya mereka adalah suatu kebutuhan yang primair diantara banyak kebutuhan akal manusia yang telah ditetapkan oleh kemurahan Zat Yang Maha Pencipta lagi Bijaksana untuk dapat memenuhi kebutuhan itu. Tuhan memberikan syarat bahwa dalam mencapai tujuan-tujuan duniawi , seorangpun tidak diperkenankan untuk berlaku jahat pada diri orang laim, atau pada kehormatannya, atau pada harta bendanya, dengan jalan yang tidak benar, sebagaimana yang dikehendaki oleh peraturan umum yang te-lah merata pada bangsa-bangsa dalam perundang-undangan mereka. Para Rasul membimbing akal untuk mengenali Allah dan mengenal sifat0sifat Ketuhanan yang wajib diketahui oleh manusia. Mereka memberikan batas-batas tertentu dimana orang wajib berhenti dalam menggali pengetahuan tentang Tuhan pada tempat yang menyulitkan posisi manusia guna menen-tramkan hati kepadaNya serta tidak menyia-nyiakan kekuatan akal yang telah diberikan Allah kepada manusia itu. Rasul menyatakan kepada ma-nusia apa yang merupakan pertengkaran fikiran dan keinginan-keinginan mereka, pertentangan dalam hal kepentingan dan yang menjadi kesenangan mereka. Maka dalam segala rupa persengketaan itu, mereka (Rasul-Rasul) memisahkannya dengan perantaraan perintah (petunjuk) Allah yang sakti. Mereka memperkuat ajaran-ajaran yang mereka sampaikan itu dengan apa yang sangat berguna untuk kepentingan umum serta tidak menghilangkan manfaat yang didapat oleh orang perseorangan.

Para Rasul itu meletakkan bagi ummat manusia akan batas-batas larang-an umum menurut ylarang-ang diperintahklarang-an oleh Allah sehingga mempermudah manusia itu untuk mengembalikan perbuatan-perbuatan mereka kedalam batas-batas larangan umum itu seperti menghormati darah manusia kecuali dengan jalan benar serta adanya alasan yang membesarkan untuk ditum-pahkannya darah itu dan haram untuk mengambil sesuatu dari buah usaha oranglain kecuali dengan benar serta ada pula alasan yang sah yang mem-bolehkan mengambilnya, menghormati kehormatan diri seseorang dengan penjelasan apa yang diperbolehkan dan apa pula yang diharamkan tentang urusan sex (kelamin). Rasul-Rasul itu membawa manusia untuk

(39)

mema-lingkan hawa nafsu mereka dari mengecap kelezatan dunia yang fana kepada mencapai idea (cita-cita) yang tinggi. Dalam ajakan ini mereka memakai sistim yang mengandung daya penarik (target) dan ancaman (tarhieb) , yak-ni berita yang mengandung sanksi dan berita gembira sesuai menurut garis apa yang telah diperintahkan Tuhan kepada mereka.

Rasul-Rasul itu menjelaskan semua itu kepada manusia apa-apa yang dapat menempatkan mereka kedalam keredhaan Ilahi, dan apa-apa yang mem-buat Tuhan murka kepada mereka itu. Kemudian penerangan mereka itu mencakup luas meliputi tentang berita negeri. Akhirat dan apa-apa yang disediakan Tuhan padanya berupa pahala dan pembalasan yang baik ba-gi siapa yang tetap berdiri menurut batas-batasNya serta setia menunaik-an perintah-perintahNya dmenunaik-an menjauhkmenunaik-an diri dari terjun kedalam apa-apa yang dilarangNya. Rasul-Rasul itu mengajarkan kepada manusia tentang berita-berita gaib menurut apa yang diizinkan Tuhan pada hambaNya un-tuk mengetahuinya yang sekiranya hal itu termasuk hal yang sulit bagi akal manusia untuk mengetahui hakikatnya, tetapi sukar untuk mengakui ada-nya berita gaib itu.

Pendek kata, agama tidak boleh dijadikan tabir pembatas antara jiwa dan akal yang selalu dinamis untuk mengetahui hakikat-hakikatnya alam yang terbentang dihadapan kita ini dengan segala kemampuan yang ada pada akal itu. Bahkan Agama justru hendaklah menjadi pendorong yang kuat bagi il-mu pengetahuan yang mendesak akal manusia itu untuk menghormatibukti-bukti yang nyata, sehingga manusia itu memeras energinya dengan segala kekuatan akalnya untuk mengetahui rahasia alam-alam yang ada dihadap-an matdihadap-anya itu, tetapi dengdihadap-an syarat bahwa akal itu tidak akdihadap-an keluar dari batas wajarnya dan kemudian berhenti pada batas tertentu untuk menjaga keselamatan itikad. Dan siapa yang berkata lain daripada itu, maka berarti ia tidak mengerti Agama, dan ia akan berdosa dengan dosa yang tidak bisa diampuni oleh Tuhan semesta alam.

(40)

12

Kritik Yang Mahsyur

Setelah berakhirnya zaman para Nabi dan selesainya tugas kewajiban mere-ka yakni setelah Agama itu berada ditangan orang-orang yang tidak meng-erti ajaran Agam itu. Atau orang yang mengmeng-erti , tetapi amat fanatik atau tidak terlalu fanatik tetapi cintanya kepada Agama itu bukan datang dari hati kecilnya sendiri. Atau cintanya itu memang dari hati kecilnya tetapi akalnya sangat picik sehingga tidak dapat menjalankan agama sebagaimana Nabi-Nabi memeluk Agamanya atau seperti para sahabat Nabi yang ter-kemuka . Jika tidak demikian, maka coba tunjukkan kepada kami mana Nabi-Nabi yang tidak membawa kebaikan yang banyak kepada ummatnya dan kebahagiaan yang merata dan mana Nabi yang agamanya tidak dapat mencukupi kebutuhan pribadi-pribadi dan masyarakat ummat.

Filsafat Plato, dan akal serta fikiran mereka tidak bisa membandingkan mantik (logika) Aristoteles,bahkan jika dikemukakan kepada mereka perso-alan yang menghendaki pemikiran yang seksama itu sekalipun diatur dengan ibarat bahasa yang semudah mungkin pasti mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali pengalamunan yang tidak ada pengaruhnya dalam membentuk diri mereka, dan tidak pula dalam perbaikan amal perbuatan mereka. Ma-nusia itu kodrat Ilahi yang telah memberikan kepadanya kelapangan dalam persoalan hidup yang dihadapinya, lagi menguasai dirinya sendiri dan yang mengendalikan tali les cita-citanya dan untuk itu Anda dapat mengemu-kakan contoh-contoh yang dekat kepada pengertiannya sendiri. Betapa ba-nyaknya kita mendengarkan adanya mata yang menangis dan nafas yang tersedu-sedu serta hati yang khusyu tunduk dikala orang mendengarkan muballigh(rohaniawan) memberikan nasihat-nasihat keagamaan. Bilamana kita mendengar, bahwa ada satu type manusia diantara golongan-golongan yang banyak itu orang yang mau melakukan pekerjaannya karena semata-mata memandang baiknya pekerjaan itu. Maka karenanya, faktor Agama adalah merupakan faktor yang paling kuat untuk membentuk moral rakyat banyak bahkan juga orang-orang terkemuka dan pengaruh kekuasaan Aga-ma itu kedalam jiwa mereka jauh lebih kuat daripada pengaruh akalnya, padahal akal itu merupakan ciri khusus bagi jenis makhluk manusia itu. Para Rasul alaihimussalam adalah merupakan tanda penunjuk yang telah ditancapkan oleh Tuhan untuk menunjukkan arah jalan yang menuju kepa-da kebahagiaan . Setengah manusia akepa-da yang kepa-dapat menuruti petunjuk itu,

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi Augmented Reality (AR) Edugame Tentang Beriman Kepada Allah dan Rasul-Nya diangkat dari pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk kelas IV

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya

"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya

“Hai orang-orang yang beriman barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka, dan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat dan engkau beriman

dari orang kafir. Yang demikian itu karena Allah adalah wali bagi orang yang beriman. Orang kafir tidak memiliki wali. Sesungguhnya wali kamu adalah Allah dan Rasul-Nya.

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah:

Sesungguhnya orang- orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka Itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Maka apabila mereka meminta izin kepadamu