SKRIPSI
Oleh :
BRIAN PRAVILIA MINATA GITA NATALIS RASAI KINASIH
NPM : 0924010006
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Program Studi : Agribisnis
Oleh :
BRIAN PRAVILIA MINATA GITA NATALIS RASAI KINASIH
NPM : 0924010006
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
Disusun oleh:
BRIAN PRAVILIA MINATA GITA NATALIS RASAI KINASIH NPM : 0924010006
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timut
Pada tanggal 20 Januari 2014
Telah disetujui oleh:
Pembimbing: Tim Penguji:
1. Pembimbing Utama 1. Ketua
Dr. Ir. SUDIYARTO, MMA Dr. Ir. SUDIYARTO, MMA
2. Pembimbing Pendamping 2. Sekretaris
Dr. Ir. EKO NURHADI, MS Dr. Ir. SUMARTONO, SU
3. Anggota
Ir. SETYO PARSUDI, MP
Mengetahui:
Dekan Fakultas Pertanian Ketua Program Studi
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul SISTEM PENGENDALIAN MUTU
PEMBIBITAN JATI PLUS PERHUTANI DI KPH BLITAR. Skripsi ini merupakan
syarat yang harus dipenuhi guna mencapai gelar Sarjana pada jenjang S1
(Strata satu) Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Penulis menyadari bahwa segala keberhasilan dan kesuksesan tidak
terlepas dari sang khaliq dan juga tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Dr. Ir. Sudiyarto.MM selaku dosen pembimbing utama Dr. Ir. Eko Nurhadi.MS
selaku dosen pembimbing pendamping yang telah banyak memberikan
pengarahan, motivasi, masukan serta meluangkan waktu dan tenaganya dengan
penuh kesabaran dan keikhlasan untuk membimbing penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP selaku Rektor Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Dr. Ir. Ramdan Hidayat, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Dr. Ir. Eko Nurhadi, MS selaku ketua Jurusan Agribisnis, Fakultas
Pertanian-Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
4. Seluruh Staf Perum Perhutani Unit II Jawa Timur tertutama Bapak Budi
Suharsono selaku kepala biro Kelola SDH, trima kasih atas kesempatannya
penulis dengan baik selama mengadakan penelitian di KPH Blitar, dan juga
Bpk Muchid, Spd. selaku Kasi Kelola SDHL, Bpk Hermawan, HS selaku Kaur
Tanaman dan Bpk Heru selaku Mandor kebun. Trimakasih atas kesempatan
dan tenaga serta informasi dan data yang melegkapi laporan ini.
5. Ucapan trimakasih yang tiada akhir wajib penulis sampaikan kepada kedua
orang tua ku, serta adik ku Dianthus Nelumbo Kinantan Raja Basa Kalangi
Ing Rasi Gala Kembara Minata. Berkat doanya yang tulus tiada henti dan
kasih saying merekalah yang selalu menyemangati penulis.
6. Sahabat-sahabatku ( Umam, Eko, Suci, Arifin dan Agus Eko). Kalian telah
banyak mengajarkan penulis tentang arti sebuah persahabatan dan
perjuangan dalam hidup lewat kata – kata bijak ataupun pengalaman, serta
teman – teman Angkatan 2009 Jurusan Agribisnis yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Namun demikian penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi maupun
penyajian laporan penelitian skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih
terdapat banyak kekurangan. Untuk itu penulis harapkan kepada pembaca, kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan laporan
penelitian skripsi ini. Akhir kata, penulis mengharapkan semoga laporan
penelitian skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para
pembaca umumnya.
Surabaya, Agustus 2013
ABSTRAK
RINGKASAN
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL... .. vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6
A. Hasil Penelitian Terdahulu ... 6
B. Mutu dan Pengendalian Mutu ... 7
1. Pengawasan Mutu dan Pengendalian Mutu ... 8
2. Pengendalian Mutu Terpadu ... 10
3. Pengendalian Mutu Bibit ... 11
4. Grading ... 14
C. Tinjauan Tentang Tanaman Jati ... 16
1. Jati Plus Perhutani ... 16
2. Teknologi Pembibitan Jati . ... 17
3. Standart Jati Plus Perhutani ... 19
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ... 21
A. Penentuan Lokasi... .... 25
B. Penentuan Responden ... 25
C. Pengumpulan Data ... 26
D. Analisis Data ... 28
E. Definisi Oprasional dan Pengukuran Variabel ... 30
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34
A. Keadaan Umum Perumperhutani KPH Blitar ... 34
1. Letak Geografis dan Batas Wilayah ... 34
2. Keadaan Umum Lapangan ... 35
3. Fasilitas Perusahaan ... 35
4. Visi dan Misi Perumperhutani ... 36
5. Fungsi Berdasarkan Struktur Organisasi di KPH Blitar ... 36
B. Penentuan Standart Mutu Bibit Jati Plus ... 38
1. Kebun Pangkas ... 39
2. Standart Pemanenan Pucuk ... 39
3. Standart Pembuatan Stek Pucuk ... 40
4. Standart Pembuatan Media Tanam ... 41
5. Standart Pembuatan Bedengan ... 42
6. Standart Penanaman Stek ... 42
7. Standart Perawatan Stek ... 44
8. Standart Mutu Bibit Jati Plus ... 46
9. Grading ... 47
4. Tahapan Produksi Bibit Jati Plus Perhutani di Kph Blitar ... 56
5. Penetapan Standart Mutu Bibit Jati Plus Perhutani ... 62
6. Klasifikasi Grade Mutu Jati Plus Perhutani ... 63
D. Evaluasi Penerapan Sistem Pengendalian Mutu dan Penyebab
Kegagalan di KPH Blitar
... 651. Menghitung Tingkat Kematian Bibit Jati Plus Perhutani Menggunakan Metode NPS ... 66
2. Faktor – faktor Penyebab Kegagalan Bibit Jati Plus ... 71
IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
A. Kesimpulan ... 73
B. Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 75
Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui penentuan standart mutu bibit jati plus di KPH Blitar, mengetahui penerapan sistem pengendalian mutu bibit jati plus di KPH Blitar dan mengevaluasi penerapan sistem pengendalian mutu dan penyebab kegagalan di KPH Blitar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif kualitatif dan mengunakan metode perhitungan yang disebut NPS atau (Normal Progress Schedule). Pengumpulan data melalui data primer dan data sekunder. Untuk mencapai tujuan pertama dan kedua yaitu digunakan analisis deskriptif kualitatif. Untuk mencapai tujuan ketiga yaitu menggunakan perhitungan yang disebut NPS atau (Normal Progress Schedule). Berdasarkan perhitungan NPS yang diaplikasikan pada saat evaluasi penerapan sistem pengendalian mutu pembibitan jati plus, perhutani berhasil menekan tingkat kematian pada pembibitan jati plus perhutani di KPH Blitar pada tahun 2012 sebesar 20,96% dari standart yang ditetapkan sebesar 25%. Sehingga hipotesis diterima dan penerapan sistem pengendalian mutu pada pembibitan jati plus perhutani di KPH Blitar pada tahun 2012 dinyatakan berhasil.
Kata kunci : pengendalian mutu, perhitungan NPS, jati plus perhutani
ABSTRACT
The research objective of this thesis is to investigate the determination of the standard of quality teak seedlings in KPH plus Blitar, knowing the implementation of the quality control system plus teak seedlings in KPH Blitar and evaluate the implementation of quality control system and cause failure in Blitar KPH. The method used in this research is descriptive qualitative analysis method and the method of calculation called NPS or (Normal Progress Schedule). Data collection through primary data and secondary data. To achieve the first goal and the second is to use a qualitative descriptive analysis. To achieve the third objective, namely using a calculation called NPS or (Normal Progress Schedule). Based on the calculation of the NPS applied when evaluating the application of the quality control system plus teak nursery, forestry successfully reduced the rate of death at nursery plus teak forestry in Blitar KPH in 2012 amounted to 20.96 % of the standard was set at 25 %. So the hypothesis is accepted and the application of quality control in breeding system plus teak forestry in Blitar KPH in 2012 declared a success.
Jati (Tectona grandis Linn F.) hingga saat ini masih menjadi komoditas mewah, karena kualitas kayunya yang dikenal awet dan kuat, kayu jati banyak diminati masyarakat walaupun harga jualnya dipasaran mahal. JPP (Jati Plus Perhutani) adalah jati unggul produk Perhutani yang diperoleh dari program pemuliaan pohon jati. Produk JPP ini terus di pertahankan kualitasnya dengan menjaga mutu JPP dengan standart – standart yang ditetapkan perhutani. JPP di ini dikembangkan melalui vegetatif (stek pucuk). Selain itu dalam standart yang diterapkan oleh perhutani sudah membedakan standart bibit yang berasal dari vegetative namun dalam pelaksananan nya belum optimal dan dilapangan masih banyak dijupai pekerja yang masih belum memenuhi SOP yang telah ditetapkan. Hal ini mengakibatkan kualitas bibit jati menurun dan perlakuan yang kurang tepat ini mengakibatkan bibit banyak yng mati.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penentuan standart mutu dan mengetahui penerapan sistem pengendalian mutu bibit jati plus, serta mengevaluasi penerapan sistem pengendalian mutu dan penyebab kegagalan. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Blitar pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive). Untuk mencapai tujuan pertama dan kedua yaitu digunakan analisis deskriptif. Untuk mencapai tujuan ketiga yaitu menggunkan metode perhitungan yang disebut NPS atau (Normal Progress Schedule).
Penentuan standart mutu pembibitan jati plus di KPH Blitar telah di atur di dalam Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor : 398/Kpts/Dir/2010 tentang Pedoman Pengelolaan Kebun Pangkas (KP) dan Persemaian Stek Pucuk Jati Plus Perhutani (JPP). Penerapan sistem pengendalian mutu pembibit jati plus di awali dengan : Pemilihan pucuk sebagai bakal setek, persiapan lahan sebelum tanam, perlakuan pucuk sebelum tanam, tahapproduksi bibit (Bibit ditanam dalam 4 tahap yaitu Induksi selama 4 - 8 minggu, aklimatisasi 2 minggu, shading 2 minggu, open area 4 minggu), penyeleksian bibit menurut standart mutu bibit dan grading (bibit dikelompokan menjadi dua yaitu mutu P dan D).
Berdasalkan hasil perhitungan NPS atau (Normal Progress Schedule) KPH Blitar berhasil menekan tingkat kematian pada pembibitan jati plus perhutani di tahun 2012, dari standart yang ditetapkan sebesar 25% menjadi 20,96% dengan perincian sebagai berikut, Induksi 15 %, Aklimatisasi 2,08 %, Shading 1,8 %, Open 2,08 %.
A. Latar Belakang
Jati (Tectona grandis Linn F.) hingga saat ini masih menjadi komoditas
mewah, karena kualitas kayunya yang dikenal awet dan kuat, kayu jati banyak
diminati masyarakat walaupun harga jualnya dipasaran mahal. Jenis kayu ini
banyak di manfaatkan sebagai bahan bangunan, mebel dan sebagainya.
(Sumarna, 2002). JPP (Jati Plus Perhutani) adalah jati unggul produk Perhutani
yang diperoleh dari program pemuliaan pohon. Produk JPP ini terus di
pertahankan kualitasnya dengan menjaga mutu JPP dengan standart – standart
yang ditetapkan perhutani. (Perum Perhutani. 2011).
Di Indonesia sebagian besar pohon jati di produksi oleh Perhutani. Sekitar
512 ribu m3 kayu jati dihasilkan oleh perhutani pada tahun 2007 dan sebanyak
200 ribu m3 kayu jati kualitas menengah telah dijual oleh perusahaan ini. Sejalan
dengan peningkatan akan kebutuhan kayu jati, diharapkan juga diikuti dengan
pengembangan budidaya jati dan pembangunan hutan tanaman jati. Untuk itu
diperlukan bibit jati yang berkualitas dan berkarakter unggul, serta mempunyai
daur panen yang lebih pendek. (Perdana. 2011).
Hingga saat ini penilaian bibit tanaman hutan di Indonesia secara
oprasional mengacu pada Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial (Perdirjen RLPS) No. P.05/V-Set/2009 tentang Pedoman
Sertifikasi Mutu Bibit Tanaman Hutan. Dalam peraturan tersebut, bibit berkualitas
adalah bibit yang memenuhi setandart mutu, baik mutu genetik dan mutu fisik
atau morfologi. Mutu genetik didasarkan pada diameter batang, tinggi,
kekompakan media, jumlah daun dan umur. Dari 75 jenis ada 13 jenis tanaman
Dalam pelaksanaannya Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009 persyaratan
mutu bibit dalam standart tersebut dibagi menjadi syarat umum dan syarat
khusus. Walaupun begitu penerapan standart mutu bibit masih banyak
kekurangannya. Dalam hal akurasi parameter maupun jumlah jenis yang
distandartkan. Standart yang ditetapkan seringkali masih berdasarkan morfologi
bibit siap tanam saja dan kurang didukung oleh data ilmiah hasil uji penanaman
yang bersifat fisiologi. Mutu fisiologi dipengaruhi oleh kandungan kimia dalam
benih yang dapat diukur dengan mengetahui kemampuan hidup (viabilitas), daya
kecambah, vigor (daya tumbuh) dan kesehatan benih. Mutu fisik dipengaruhi oleh
kondisi penampilan fisik benih yang dapat diketahui dengan mengukur kesegaran,
kadar air, warna dan kebersihan.
Yang dimaksud dengan data ilmiah hasil uji penanaman adalah, data
yang akurat dan dapat dipercaya kebenarannya. Yaitu sebagai berikut :
1. Objektif, data yang dihasilkan harus sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.
2. Respresentatif, data harus mewakili lot bibit.
3. Teliti dan tepat terjamin kebenarannya.
4. Tepat waktu sesuai dengan kebutuhan pada saat tertentu.
5. Relevan, menunjang persoalan yang dihadapi.
Karena informasi tersebut akan bermanfaat bagi produsen, penjual maupun
konsumen benih.
Di perhutani bibit jati untuk keperluan internal, memiliki standart mutu bibit
siap tanam sendiri, baik yang dibiakan secara generatif maupun vegetatif (stek)
sebagai berikut:
1. Pertumbuhan normal.
2. Tinggi bibit 20 – 30 cm.
4. Daun tidak terlalu lebar, berwarna hijau, sedikit kunig.
5. Tidak terserang hama penyakit.
6. Perakaran banyak dan membentuk gumpalan yang kompak dengan
media.
Namun dalam pelaksanaannya, selain terbatasnya sumber benih yang
ada, kriteria mutu bibit juga masih diragukan karena sebagaina besar
parameternya merupakan parameter fisik / morfologi yang belum teruji,
sementara itu, kondisi morfologi bibit tidak selalu mencerminkan kemampuan
tumbuh dan beradaptasi bibit setelah penanaman. Oleh karena itu perlu
diadakan penelitian penerapan standart mutu bibit tentang keadaan morfologi
yang dapat meningkatkan efektivitas pengujian sebagai perangkat pengendalian
mutu.
Berkenaan dengan program direksi dengan adanya Perhutani Hijau 2010
dimana diharapkan pada tahun 2010 semua lahan kosong di kawasan hutan di
Perhutani sudah bisa tertutup oleh tegakan jati plus. Permasalahan bagi
PUSLITBANG selaku produsen benih dan bibit unggulan Perhutani adalah
permintaan untuk internal Perhutani sendiri sudah mulai berkurang seiring
dengan berhasilnya Perhutani Hijau 2010. Kondisi tersebut merupakan peluang
bagi Perhutani untuk menambah penghasilan perusahaan dengan menjual bibit
ke pihak lain. Peluang tersebut didukung dengan tingginya minat masyarakat
dalam menanam tanaman jati di lahan-lahan mereka. Untuk kepentingan
pemasaran bibit tersebut, Perhutani dirasa perlu menganalisis harga bibit Jati
untuk mengetahui berapa harga yang harus dikenakan terhadap setiap grade
bibit supaya Perhutani tidak kalah bersaing dengan perusahaan penjual bibit
B. Perumusan Masalah
Kayu jati merupakan jenis kayu yang banyak diminati oleh masyarakat
dunia. Ini dikarenakan kayu jati mempunyai sifat-sifat kayu yang sangat bagus
dan cocok untuk menjadi bahan baku bangunan dan furniture. Ini merupakan
peluang bagi Perum Perhutani untuk meningkatkan produktivitas hutan jatinya.
Salah satu upaya Perum Perhutani tersebut adalah dengan cara
mengembangkan bibit jati unggul yang cepat tumbuh dan mempunyai kualitas
kayu yang bagus.
Namun dalam pelaksanaannya, selain terbatasnya sumber benih yang
ada, kriteria mutu bibit juga masih diragukan karena sebagian besar
parameternya merupakan parameter fisik/morfologi yang belum teruji, sementara
itu, kondisi morfologi bibit tidak selalu mencerminkan kemampuan tumbuh dan
beradaptasi bibit setelah penanaman. Oleh karena itu perlu diadakan penelitian
penerapan standart mutu bibit tentang keadaan morfologinya yang dapat
meningkatkan efektivitas pengujian sebagai perangkat pengendalian mutu.
Selain itu dalam standart Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009 dan yang
diterapkan oleh perhutani sudah membedakan standart bibit yang berasal dari
vegetative namun dalam pelaksananan nya belum optimal dan dilapangan masih
banyak dijupai pekerja yang masih belum memenuhi SOP yang telah ditetapkan.
Hal ini mengakibatkan kualitas bibit jati menurun dan perlakuan yang kurang
tepat ini mengakibatkan bibit banyak yng mati.
1. Bagaimana mengetahui penentuan standart mutu bibit jati plus di KPH
Blitar?
2. Bagaimana penerapan sistem pengendalian mutu bibit jati plus di KPH
3. Mengevaluasi penerapan sistem pengendalian mutu dan penyebab
kegagalan di KPH Blitar?
C. Tujuan Penelitian
1. Ingin mengetahui penentuan standart mutu bibit jati plus di KPH Blitar.
2. Ingin mengetahui penerapan sistem pengendalian mutu bibit jati plus di
KPH Blitar.
3. Evaluasi penerapan sistem pengendalian mutu dan penyebab kegagalan
di KPH Blitar.
D. Manfaat Penelitian
1. Diharapkan dapat dijadikan perbendaharaan ilmu dan pengetahuan
terutama tulisan yang bersifat ilmiah yang dapat didokumentasikan
didalam perpustakaan perguruan tinggi atau instasi terkait.
2. Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan atau informasi
berupa konsep-konsep perbaikan dalam pengambilan kebijakan –
kebijakan berikutnya bagi instansi terkait.
3. Diharapkan mampu memberi informasi atau ide untuk penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hasil Penelitian Terdahulu
Topik yang di bahas pada penelitian ini, sebelumnya pernah di bahas dan
di teliti oleh penelitian lain yaitu penelitian tentang Pengendalian Mutu dengan
obyek yang berbeda beda, antara lain:
1. Dede J. Sudrajat (2010) meneliti tentang “Tinjauan Standart Mutu Bibit
Tanaman Hutan di Indonesia.” Peneliti mengunakan analisis deskriptif.
Kesimpulan bahwa banyak jenis tanaman hutan yang disertifikasi/diuji
dengan setandart yang tidak jelas. Pengujian masih didasarkan pada
pengujian kondisi morfologi bibit dan belum melibatkan uji fisiologis.
Untuk jenis – jenis yang belum distandarkan pengujian yang digunakan
satu BPTH dengan BPTH lain berbeda. Penyempurnaan standart yang
berlaku perlu dilakukan, penyeragaman persepsi sertifikasi bibit, dan
kepercayaan terhadap label harus ditingkatkan, dan memperkuat
lembaga sertifikasi dengan menjadikan nya lembaga yang terakreditasi
agar mampu memberikan jaminan mutu atas hasil – hasil ujinya.
2. Januar Edwin Cahyadi (2005) meneliti tentang “Pengendalian Kualitas
Produk Karet di PT. Perkebunan Nusantara XII Kebun Kota – Blater.
Jember”. Peneliti menggunakan analisis Teknik Kendali Mutu secara
Statistik menurut Kouru Ishikawa. Kesimpulan jumlah kerusakan (reject)
Sheet dapat ditekan denagn mengunakan penegendalian kualitas yang
dilakukan pada tigatahap yaitu meliputi pemeriksaan kualitas bahan dasar,
pemeriksaan selama proses produksi, serta pemerikasaan hasil akhir.
3. Rani Kurnia (2009) meneliti tentang “Pengendalian Mutu Produksi Benih
Kelapa Sawit (Elaeis guineesis Jacquin) di Pusat Penelitian Kelapa Sawit
menghasilkan kesimpulan bahwa adanya pengendalian mutu pada benih
yang diproduksi berpengaruh terhadap presentase hidup dan
pertumbuhan kelapa sawit.
4. Ahsan Maulana (2009) meneliti tentang “Pengujian Kualitas Kayu Jati
(Tectona grandis Lin. f) Pada Pengolahan Hutan Berbasis Masyarakat
Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.” Peneliti
menggunakan analisis deskriptif. Kesimpulan bahwa kualitas mutu kayu
melalui pengujian simulasi sedikit lebih baik disbanding pada pembagian
batang actual, hasil simulasi pembagian batang terbesar adalah kelas
mutu P, yaitu sebesar 32,59%.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu tersebut dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan manajemen baik dalam persediaan bahan baku, pengawasan mutu
bahan baku, maupun proses produksi mempunyai pengaruh terhadap mutu atau
kualitas terhadap produk akhir yang dihasilkan penelitian ini mempunyai
persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu. Penelitian ini
menggunakan analisis yang sama yaitu analisis deskriptif. Perbedaan nya
terletak pada objek penelitian dan tempat penelitian untuk pengumpulan data.
B. Mutu dan Pengendalian Mutu
Para pakar memiliki definisi yang berbeda – beda tentang kata mutu,
namun pada intinya mengandung maksud yang sama. Menurut Juran (1979),
mutu merupakan kecocokan untuk digunakan, produk dapat memenuhi
kebutuhan dan kepuasan serta memberi jaminan kepercayaan pada konsumen.
Feigenbaum (1996) menyatakan, mutu produk dan jasa dapat
didefinisikan sebagai keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari
adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk,
manusia/tenaga kerja, proses dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau
melebihi harapan pelanggan atau konsumen. (Garvin dan Davis dalam Nasution,
2004)
Nasution (2004) menyimpulkan bahwa ada beberapa persamaan dalam
definisi kualitas, yaitu dalam elemen – elemen sebagai berikut:
1. Kualitas mencakup usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
2. Kualitas merupakan produk, jasa manusia, dan lingkungan.
3. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang
dianggap merupakan kualitas saat ini mungkin dianggap kurang
berkualitas pada masa mendatang).
Pengendalian mutu adalah kegiatan untuk memastikan apakah
kebijaksanaan dalam hal tersebut (standart) dapat tercermin dalam hasil akhir.
Dalam kata lain pengendalian mutu merupakan mutu dari barang yang dihasilkan
agar sesuai dengan spesifikasi produk yang ditetapkan berdasarkan
kebijaksanaan pimpinan perusahaan. Pengendalian dikaitkan mutu dengan
masalah pengembangan desain, produksi ekonomis definisinya adalah
melaksanakan pengendalian mutu adalah mengembangkan, mendisain,
memproduksi dan memberi jasa mengembangkan produk bermutu yang paling
ekonomis, paling berguna dan selalu memuaskan bagi konsumen
(Shikawa,1989).
1. Pengawasan Mutu dan Pengendalian Mutu
Pengawasan mutu adalah kegiatan yang dilakukan untuk menjamin
bahwa proses yang terjadi akan menghasilkan produk sesuai dengan tujuan
nyata proses dan membandingkan kinerja nyata proses dengan tujuan. Hal
tersebut meliputi semua kegiatan dalam rangka pengawasan rutin mulai dari
bahan baku, proses produksi hingga produk akhir. Pengawasan mutu
bertujuan untuk mencapai sasaran dikembangkannya peraturan di bidang
proses sehingga produk yang dihasilkan aman dan sesuai dengan keinginan
masyarakat dan konsumen. (Puspitasari, 2004).
Pengendalian mutu merupakan alat bagi manajemen untuk memperbaiki
mutu produk bila diperlukan, mempertahankan mutu produk yang sudah
tinggi dan mengurangi jumlah produk yang rusak. Jangka panjang
perusahaan yaitu mempertahankan pasar yang telah ada atau menambah
pasar perusahaan.
Dalam arti luas, pengawasan mutu diartikan sebagai upaya memuaskan
pelangan bagi setiap produk yang dihasilkan. Dalam manajemen modern
yang memfokuskan perhatian kepada kepuasan pelanggan (costumer’s
satisfaction), pola pengendalian mutu sudah diubah menjadi manajemen
mutu. Pengendalian mutu adalah teknik dan kegiatan oprasional yang
digunakan untuk memenuhi persyaratan mutu, sedangkan manajemen mutu
merupakan seluruh kegiatan yang menetapkan kebijakan mutu, jaminan
mutu dan peningkatan mutu dalam suatu sistem mutu. (Badan Standarisasi
Nasional, 2000).
Sistem mutu yang mengacu pada SNI 19-17025-2000 yang disertai
dengan akreditasi oleh Badan Standarisasi Nasional (BNS) memberi
pengakuan secara internasional kepada laboratorium yang lulus akreditasi.
2. Penegendalaian Mutu Terpadu
Manajemen Mutu Terpadu (MMT) adalah filosofi dan sistem untuk
pengembangan secara terus menerus (continuous improvement) terhadap
jasa atau produk untuk memenuhi kepuasan pelanggan (customer
satisfaction). Sistem pengembangan secara terus menerus dan kepuasan
pelanggan merupakan kalimat yang selalu ada dalam setiap definisi yang
dikemukakan pakar terhadap MMT. Sistem pengembangan secara terus
menerus menggambarkan bahwa MMT memiliki titik tekan pada proses dan
bekerja dengan mendasarkan pada sistem. (Fitzgerald, 2004 dalam
Pulungan, 2001).
MMT (Manajemen Mutu Terpadu) adalah suatu filosofi komprehensif
tentang kehidupan dan kegiatan organisasi yang menekankan perbaikan
berkelanjutan sebagai tujuan fundamental untuk meningkatkan mutu,
produktifitas, dan mengurangi pembiayaan. Pendapat ini membuktikan
bahwa MMT merupakan manajemen yang tidak hanya mementingkan
produk tetapi lebih mementingkan proses. Produk yang bermutu pasti
dihasilkan oleh proses yang bermutu pula. Untuk dapat mencapai proses
yang bermutu, organisasi harus memiliki filosofi yang menyeluruh terhadap
mutu yang dipahami oleh semua komponen organisasi. Dengan difahaminya
filosofi tersebut, seluruh komponen organisasi akan selalu melakukan
pekerjaan sebaik mungkin, sehingga dapat terhindar dari berbagai
kesalahan dalam meningkatkan efisiensi. (Kovel Jarboe dalam Syafaruddin,
3. Pengendalian Mutu Bibit
Sampai sekarang pengertian bibit masih sering dirancukan dengan
pengertian benih (seed) dan tanaman induk (parent stock). Banyak orang
yang tertukar untuk mengistilahkan bibit pada benih. Pengertian bibit juga
sering tertukar dengan tanaman induk penghasil benih atau bibit. Pengertian
bibit yang dimaksud ialah tanaman kecil (belum dewasa) yang berasal dari
pembiakan generatif (dari biji), vegetative (cangkok, okulasi, setek), kultur
jaringan, atau teknologi perbanyakan lainnya. Selain itu, bibit juga dapat
diperoleh dari kombinasi cara-cara perbanyakan tersebut.
Bibit merupakan salah satu penentu keberhasilan budidaya tanaman.
Budidaya tanaman sebenarnya telah dimulai sejak memilih bibit tanaman
yang baik, karena bibit merupakan obyek utama yang akan dikembangkan
dalam proses budidaya selanjutnya. Selain itu, bibit juga merupakan
pembawa gen dari induknya yang menentukan sifat tanaman setelah
berproduksi. Oleh karena itu untuk memperoleh tanaman yang memiliki sifat
tertentu dapat diperoleh dengan memilih bibit yang berasal dari induk yang
memiliki sifat tersebut.
Pengertian bibit biasanya diterapkan bagi tanaman buah tahunan atau
tanaman tahunan. Pada tanaman buah tahunan dan tanaman tahunanlainya,
“calon tanaman” dijual dalam bentuk tanaman kecil (bibit). Lain halnya
dengan tanaman sayuran, hias, dan buah semusim yang sering dijual dalam
bentuk biji hasil penangkaran yang biasa disebut benih untuk
perbanyakannya. Berdasarkan cara perbanyakan, bibit dibagi menjadi dua,
a. Bibit Generatif
Bibit generatif diperoleh dari hasil perbanyakan secara kawin (sexual).
Bibit generatif lebih dikenal konsumen dengan bibit dari biji sebab bibit
ini dikembangkan dari biji. Anggapan seperti ini tidak selalu benar
sebab ada bibit dari biji yang tidak diperoleh dari hasil perkawinan (biji
apomiktik). Namun, pada kebanyakan buah memang biji ini telah
dibuahi atau sebagai hasil perkawinan antara bunga jantan dan bunga
betina. Mekanisme perkawinan terjadi pada saat penyerbukan, yaitu
kepala putik diserbuki dengan serbuk sari yang berlanjut sampai
pembentukan biji.
b. Bibit Vegetatif
Bibit vegetatif diperoleh dari pembiakan secara tak kawin (asexual).
Alasan yang utama sehingga banyak bibit yang diperbanyak secara
vegetatif ialah untuk mendapatkan bibit yang memiliki sifat-sifat yang
serupa dengan induknya. Pada perkembangan selanjutnya, sistem
pembiakan vegetatif memungkinkan penggabungan dua atau lebih
induk yang masing-masing memiliki sifat tertentu. Sebagai contoh
pada bibit sambung atau okulasi, bibit yang dihasilkan dapat memiliki
sifat yang baik dari batang atas (misal kualitas buah baik) dan sifat
yang baik dari batang bawah (misal perakaran baik).
Di pasaran dikenal berbagai macam jenis bibit. Konsumen sudah akrab
dengan jenis bibit biji, cangkokan, sambung, atau okulasi. Berdasarkan jenis
perbanyakannya, bibit terbagi enam jenis bibit yaitu bibit dari biji, bibit setek
(cuttage), bibit cangkok (air layerage), bibit okulasi (budding), bibit sambung
Gambar 1. Alur Pemeriksaan Mutu Fisik Menurut Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009.
Standart Mutu Bibit Tanaman Hutan, Dalam pelaksanaan Perdirjen RLPS
No. P.05/V-Set/2009 menjadi acuan BPTH dan lembaga sertifikasi lainnya
yang ditunjuk dalam penentuan mutu bibit. Persyaratan mutu bibit dalam
standart tersebut dibagi menjadi dua yaitu syarat umum dan syarat khusus,
yaitu:
a. Syarat umum meliputi :
1) Bibit berbatang tunggal dan lurus.
2) Bibit sehat : terbebas dari serangan hama penyakit dan warna daun
normal (tidak menunjukkan kekurangna nutrisi dan tidak mati pucuk).
3) Batang bibit berkayu, diukur dari pangkal batang sampai dengan
b. Syarat khusus meliputi :
1) Tinggi bibit, yang diukur mulai dari pangkal batang sampai pada titik
tumbuh teratas.
2) Diameter batang bibit, yang diukur pada pangkal batang.
3) Kekompakan media, yang ditetapkan dengan cara mengangkat
suatu persatuan dari beberapa jumlah contoh bibit.
4) Kekompakan media dibedakan ada 4 yaitu utuh, retak, patah, lepas.
5) Jumlah daun sesuai dengan jenisnya sedangkan untuk jenis
tanaman yang berdaun banyak seperti Pinus sp., Paraserianthes
sp., parameter yang digunakan adalah Live Crown Ratio (LCR).
6) LCR adalah nilai perbandingan tinggi tajuk dan tinggi bibit dalam
persen.
7) Umur sesuai dengan jenisnya.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam usahatani penangkaran bibit
ialah antara lain luas lahan dan jarak tanam. Luas lahan akan jelas
mempengaruhi jumlah bibit yang dibutuhkan. Semakin luas lahan
penanaman, maka semakin banyak pula jumlah bibit yang dibutuhkan,
dengan demikian semakin banyak pula biaya yang dikeluarkan untuk
membeli bibit. Demikian pula dengan jarak tanam, semakin lebar jarak
tanam yang digunakan maka semakin sedikit jumlah bibit yang dapat
ditanam dalam luasan tertentu. Sebaliknya dengan menggunakan jarak
tanam yang lebih rapat, maka semakin banyak populasi tanamannya.
4. Grading
Hanafie (2010), grading adalah proses pengelompokan tingkat mutu yang
Tujuan grading adalah untuk meminimalkan praktek – praktek kotor seperti
penjualan komoditi dengan kualitas yang sesuai dengan apa yang
diharapkan.
Fungsi standarisasi dan grading dimaksudkan untuk menyederhanakan
dan mempermudah serta meringankan biaya pemindahan komoditi melalui
saluran pemasaran. Grading adalah proses pengelompokan tingkatan mutu
yang diberikan pada sekelompok produk yang memiliki keseragaman
tertentu. Setandarisasi adalah justifikasi kualitas yang seragam antara
pembeli dan penjual. Antara tempat dan antara waktu.
Faktor – faktor kualitas yang umumnya digunakan berbagai komoditi
untuk mengelompokkan ke berbagai sepesifikasi kualitas (grade) adalah:
a. Ukuran
b. Berat
c. Warna
d. Aroma
e. Panjang
f. Kekuatan/kepadatan
g. Tekstur
h. Keseragaman
i. Kandungan berbagai elemen seperti uap dan bahan asing
j. Kerusakan fisik
Dalam proses grading ada beberapa kegiatan yang dilakukan, kegiatan –
kegiatan yang dilakukan dalam grading meliputi kegiatan penentuan
standartd, kegiatan menggrade, kegiatan menginspeksi benda dalam rangka
mendeterminasi grade atau kualitas, memberikan etiket sesuai dengan
Penetapan Standart Mutu Bibit dilakukan berdasarkan persyaratan umum
dan persyaratan khusus. Dalam pelaksanaan Perdirjen RLPS No.
P.05/V-Set/2009. Ada tiga tingkatan mutu berdasarkan hasil pemeriksaan dan
pengukuran persyaratan umum dan persyaratan khusus sebagai berikut :
a. Mutu pertama (P) : jika bibit memenuhi semua persyaratan umum lebih
besar 95% dan rata – rata dari persyaratan khusus lebih besar 90%.
b. Mutu kedua (D) : jika bibit yang memenuhi kriteria persyaratan umum
75% - 95% dan rata – ata persyaratan khusus 70% - 90%.
c. Bibit yang tidak memenuhi kelas mutu P dan D tidak diterbitkan
sertifikat / afkhir.
C. Tinjauan Tentang Tanaman Jati
1. Jati Plus Perhutani
Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar ini
memiliki batang yang lurus, dapat tumbuh mencapai 30 – 40 m. berdaun
besar yang luruh di musim kemarau. (Rachmawati, et al., 2002).
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Famili : Lamiaceae
Genus : Tectona
Spesies : T. grandis
Nama binomial : Tectona grandis Linn. f.
Area penyebaran alaminya terdapat di India, Myanmar, Thailand dan
bagian barat Laos. Batas utara pada garis 250 LU di Myanmar, batas selatan
Penyebarannya ternyata terputus – putus. Hutan jati terpisah oleh
pegunungan, tanah – tanah datar, tanah – tanah pertanian dan tipe hutan
lainnya. Di Indonesia jati bukan tanaman asli, tetapi sudah tumbuh sejak
beberapa abad lalu di Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Sumbawa, Maluku dan Lampung. Jati dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 900
m dpl dengan curah hujan 1500 – 3000 m dpl. Tumbuh pada tanah
berlapisan dalam, subur, berdrainase baik, netral, toleran pada tanah padat
serta tahan terhadap api. Umum nya musim buah masak terjadi pada bulan
Juli – Agustus, jati pada umum nya baru bisa dipanen pada umur 30 – 50
tahun, tergantung pada tingkat kesuburan tanah tempat tumbuhnya.
(Nurhasybi, et al., 2010).
Pemuliaan pohon jati di Perhutani dimulai sejak tahun 1982 dengan
seleksi awal pohon jati plus dari populasi hutan alam maupun hutan tanaman
jati di Indonesia. Saat ini telah dihasilkan koleksi 600 pohon plus, 300 pohon
dari Pulau Jawa dan 300 pohon dari luar Jawa. Koleksi 600 pohon plus jati
materi genetiknya disimpan atau ditanam di dalam Bank Klon, KBK dan
Kebun Pangkas. Koleksi ini bertujuan untuk konservasi genetik (bank gen)
maupun untuk materi kegiatan pemuliaan lebih lanjut. Jati plus memiliki
beberapa keunggulan yaitu tumbuh lebih cepat, ketika jati berumur satu
tahun tingginya 4 m dan keliling batang 12 cm. Pada umur tiga tahun, tinggi
tanaman mencapai 8 m dan keliling batang rata – rata 26 cm. Saat dipanen
pada umur 12 tahun, diameter batang sudah mencapai 23 cm dengan tinggi
14 m, tahan penyakit dan adaptif di dataran tinggi maupun rendah, lahan
kritis yang tak bernutrisi, dan tekstur kayu mirip kayu jati konvensional walau
Sampai sekarang pengertian bibit masih sering dirancukan dengan
pengertian benih (seed) dan tanaman induk (parent stock). Banyak orang
yang tertukar untuk mengistilahkan bibit pada benih. Pengertian bibit juga
sering tertukar dengan tanaman induk penghasil benih atau bibit. Pengertian
bibit yang dimaksud ialah tanaman kecil (belum dewasa) yang berasal dari
pembiakan generatif (dari biji), vegetative (cangkok, okulasi, setek), kultur
jaringan, atau teknologi perbanyakan lainnya. Selain itu, bibit juga dapat
diperoleh dari kombinasi cara-cara perbanyakan tersebut. (Setiawan, 1999)
Salah satu hasil program pemuliaan pohon adalah diperolehnya klon
unggulan hasil uji klon. Klon adalah sekumpulan pohon atau bibit yang
berkualitas genetik (kualitas yang diturunkan dari induknya) sama persis,
karena merupakan hasil perbanyakan vegetative (pembibitan tidak
menggunakan benih) dari satu batang pohon. Pembibitan untuk
memperbanyak klon dilakukan melalui setek, cangkok, okulasi, atau kultur
jaringan. Sebelum klon – klon tersebut di kembangkan dilakukan tes
pembuktian lapangan di beberapa lokasi dengan silivikultur intensif.
Jati Plus Perhutani adalah jati unggul produk perhutani yang diperoleh
dari program pemuliaan pohon. Jati Plus Perhutani dikembangkan melalui
dua cara perbanyakan yaitu vegetatif (stek pucuk dan kultur jaringan) dan
generative dengan menggunakan biji JPP asal kebun benih klonan (KBK).
Perkembang biakan vegetative adalah bibit yang diperoleh dari pembiakan
secara tak kawin (asexual). Alasan yang utama sehingga banyak bibit yang
diperbanyak secara vegetatif ialah untuk mendapatkan bibit yang memiliki
sifat-sifat yang serupa dengan induknya. Pada perkembangan selanjutnya,
sistem pembiakan vegetatif memungkinkan penggabungan dua atau lebih
induk yang masing-masing memiliki sifat tertentu. Sebagai contoh pada bibit
dari batang atas (misal kualitas buah baik) dan sifat yang baik dari batang
bawah (misal perakaran baik).
Perkembang biakan vegetatif yang dinilai paling baik untuk menghasilkan
bibit jati plus berkualitas dan cepat panen adalah perkembangbiakan secara
stek. Stek adalah bibit yang diperoleh dengan memisahkan atau memotong
beberapa bagian dari tanaman, seperti akar, batang, daun, dan tunas
dengan maksud agar bagian-bagian tersebut membentuk akar. Kelebihan
dari cara perbanyakan ini ialah caranya sederhana (tidak memerlukan
teknik-teknik tertentu yang rumit) dan bibit yang diperoleh mewarisi sifat-sifat
yang dimiliki induknya. Kelemahannya ialah tidak banyak jenis tanaman
yang dapat diperbanyak dengan cara ini sehingga penggunaannya terbatas.
(Setiawan, 1999)
3. Standart Jati Plus Perhutani
Pohon jati plus adalah pohon yang memiliki fenotip terbaik dibandingkan
dengan pohon di sekitarnya. Pohon jati plus dapat dipilih dari hutan alam
atau dari tegakan jati. Fungsi pohon jati plus selain dapat dimanfaatkan
kayunya, juga diambil mata tunasnya untuk grafting dan sebagai bahan
analisis keragaman genetik. Biji yang berasal dari pohon jati plus selanjutnya
diuji kemurniannya. Menurut Erni (2006), ciri-ciri/karakteristik pohon plus
adalah sebagai berikut :
a. Tinggi : Pohon plus harus memiliki tinggi minimal sama dengan
rata-rata tinggi pohon pembanding.
b. Bentuk batang : Pohon induk harus lurus paling tidak 1/3 dari tinggi
c. Diameter : Diukur pada 1,30 cm dari permukaan tanah, pohon plus
harus memiliki diameter pohon minimal 10% lebih besar dibanding
diameter pohon pembanding.
d. Batang bebas cabang : Pohon plus harus memiliki tinggi bebas cabang
lebih dari 25% dari tinggi.
e. Tinggi ke cabang besar pertama : Tinggi dari cabang besar pertama
paling tidak 50% dari tinggi pohon plus. Cabang besar adalah cabang
yang permanen dan biasanya berdiameter lebih dari 3 cm.
f. Permukaan batang halus : Permukaan batang harus halus, tanpa knob
(tonjolan) atau bekas cabang yang membesar.
g. Keselindrisan batang : Batang harus silindris dan persentase
taper/kemiringan yang terbentuk tidak terlalu tinggi.
h. Cacat batang yang lain : Batang tidak boleh menunjukkan tanda-tanda
pecah, serangan hama dan penyakit.
Menurut Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009 untuk bibit yang abnormal
terdiri dari :
a. Bibit berbatang ganda, bibit yang berbatang lebih dari satu.
b. Tidak sehat adalah bibit terindikasi serangan hama dan penyakit dan
atau gejala kekurangan nutrisi dan mati pucuk.
c. Bibit belum berkayu adalah bibit yang batangnya belum berkayu atau
A. Kerangka Pemikiran
Pada tahun 1982 Perhutani memulai pemuliaan pohon jati dan
menemukan Jati Plus Perhutani atau biasa disingkat JPP dengan berbagai
macam keunggulannya. JPP ini dikembangkan melalui dua cara perbanyakan
yaitu vegetatif (stek pucuk dan kultur jaringan) dan generative dengan
menggunakan biji JPP asal kebun benih klonan (KBK). Pengendalian mutu
ditujukan untuk mempertahankan standar kualitas produk yang dijanjikan oleh
perusahaan kepada konsumen. Tindakan pengendalian dapat membantu
mempertahankan kinerja proses produksi dalam batas – batas toleransi yang
diijinkan. Namun dalam pelaksanaannya, selain terbatasnya sumber benih yang
ada, kriteria mutu bibit juga masih diragukan karena sebagian besar
parameternya merupakan parameter fisik/morfologi yang belum teruji, sementara
itu, kondisi morfologi bibit tidak selalu mencerminkan kemampuan tumbuh dan
beradaptasi bibit setelah penanaman.
Dalam menerapkan sistem pengendalian mutu bibit jati plus hasil stek
pucuk, KPH Blitar memulainya dari pemilihan pucuk di kebun pangkas hingga
penyeleksian bibit dan penetapn standart mutu di open area, rangkaian sistem
pengendalian mutu ini salig berkaitan antara satu dengan yang lainnya, karena
jika dalam salah satu rangkaian mengalami kegagalan proses maka hasil akhir
tidak akan maksimal atau bahkan tidak berhasil. Oleh karena itu di perlukan kerja
sama yang baik dengan para pekerja lapang, para pekerja di tuntut untuk
menjalankan POS (Prosedur Operasi Standart) pengendalian mutu yang telah
ditetapkan. Prosedur Operasi Standart atau POS adalah suatu set instruksi yang
kehilangan keefektifan nya, setiap sistem pengendalian mutu yang baik selalu
didasri oleh POS. Namun dilapangan banyak pekerja yang masih belum
memenuhi POS pengendalian mutu yang telah ditetapkan, oleh karena itu
dikawatirkan kualitas bibit jati plus menurun.
Selain pekerja yang masih belum memenuhi POS, kriteria mutu bibit juga
masih diragukan karena sebagian besar parameternya merupakan parameter
fisik/morfologi yang belum teruji, sementara itu, kondisi morfologi bibit tidak selalu
mencerminkan kemampuan tumbuh dan beradaptasi bibit setelah penanaman.
Berikut adalah standart mutu fisik/morfologi.
1. Bibit berbatang tunggal dan lurus.
2. Bibit sehat : terbebas dari serangan hama penyakit dan warna daun
normal (tidak menunjukkan kekurangan nutrisi dan tidak mati pucuk).
3. Batang bibit berkayu, diukur dari pangkal batang sampai dengan setinggi
50% dari tinggi bibit.
Evaluasi dilakuakan disetiap sub sistem dalam proses pengendalian mutu
untuk mengetahui penyebab – penyebab kegagalan bibit jati plus, hal ini perlu
dilakukan untuk menekan jumlah bibit yang tidak sesuai standart, ada beberapa
akibat atau dampak bila standart mutu tidak dijalankan dengan baik yaitu.
Kualitas bibit jati menurun. Ketika jati dipindah dilapangan kurang dapat bertahan.
Perlakuan yang kurang tepat dapat mengakibatkan banyak bibit jati yang mati.
Namun slama ini bibit jati yang mengalami kematian sangat kecil atau
menurun, maka diduga penerapan sistem pengendalian mutu pada pembibitan
jati plus perhutani di KPH Blitar sudah mengalami keberhasilan, sehingga
mengakibatkan menurunnya tingkat kematian bibit pada proses pembibitan.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan membuktikan keberhasilan
KPH Blitar dalam Penerapan sistem pengendalian mutu pada pembibitan jati plus
B. Hipotesis
Penerapan sistem pengendalian mutu pada pembibitan jati plus perhutani
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Pengendalian Mutu Bibit Jati Plus Perhutani di Perum Perhutani Unit II Jawa Timur KPH Blitar.
Pengendalian mutu bibit jati di Perhutani
Permasalahan:
- Penegendalian mutu bibit dilapangan masi bersifat morfologi serta belum terlaksana dengan maksimal
- Dilapangan banyak pekerja yang masih belum memenuhi POS pengendalian mutu yang telah diteteapkan
Pengendalian mutu yang masih berifat morfologis:
- Bibit berbatang tunggal dan lurus.
- Bibit sehat : terbebas dari serangan hama penyakit dan warna daun normal (tidak menunjukkan kekurangan nutrisi dan tidak mati pucuk).
- Batang bibit berkayu, diukur dari pangkal batang sampai dengan setinggi 50% dari tinggi bibit.
Upaya – upaya untuk meningkatkan kualitas Analisis:
Deskriptif kuantitatif. Analisis:
Deskriptif kualitatif.
Dampak:
- Kualitas bibit jati menurun.
- Ketika jati dipindah dilapangan kurang dapat bertahan.
IV. METODE PENELITIAN
A. Penentuan Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Perum Perhutani Unit II Jawa Timur JL.
Genteng Kali No. 49, Surabaya. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara
sengaja (purposive). Karena Perum Perhutani merupakan perusahaan yang
pertama kali bergerak dalam bidang pembibitan jati dan pemuliaan tanaman jati
yaitu yang di awali pada tahun 1976 dan menghasilkan Jati Plus Perhutani. Jati
Plus Perhutani (JPP) yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan SDH Perhutani terpilih menjadi juara III Anugerah BUMN 2011
untuk kategori Inovasi Produk Agrikultur BUMN Terbaik.
B. Penentuan Responden
Penentuan responden dilakukan dengan cara sengaja atau purposive,
yaitu didasarkan atas dasar ciri atau sifat tertentu yang sudah diketahui
sebelumnya dan dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan tujuan
penelitian. Data penelitian didapat dari Perhutani bidang kelola SDH bagian
Bidang Pemuliaan Pohon dan Uji Silvikultur.
Dengan beberapa pertimbangan dipilih beberapa responden yaitu, Kepala
sub bidang kebun benih dan persemaian serta 1 orang stafnya, Kepala sub
bidang laboratorium teknologi benih serta 1 orang stafnya, responden tersebut
dipilih karena diharapkan akan diperoleh informasi secara lengkap didalam
penentuan sampling produk pada proses pengendalian mutu bibit jati plus
C. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan secara langsung pada obyek yang
diteliti dalam hal ini adalah Jati Plus Perhutani, guna mengamati dan mempelajari
permasalahan yang sesungguhnya terjadi. Teknik pengumpulan data penelitian
menggunakan dua jenis metode pengumpulan data, yang dapat digolongkan
sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden atau
penelitian secara langsung dengan cara melakukan pengamatan ke
sumber yang memberikan informasi.
a. Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan jalan
mengadakan wawancara secara langsung kepada pihak yang
berkepentingan sesuai dengan bidangnya, wawancara penelitian ini
dilakukan secara langsung pada pihak – pihak yang berkepentingan.
Dalam hal ini adalah Bidang Pemuliaan Pohon dan Uji Silvikultur, yang
meliputi Kepala sub bidang kebun benih dan persemaian berserta
stafnya sebayak 1 orang, dan Kepala sub bidang laboratorium
teknologi benih berserta stafnya 1 orang, hal ini digunakan untuk
memperoleh data yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan.
Data yang di dapat adalah data proses produksi, data tentang
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung melalui
ilmu – ilmu maupun literatur yang ada hubungannya dalam penelitian ini
dan juga pedoman data – data dokumenter yang sifatnya melengkapi
atau mendukung data primer sistem pengendalian mutu dan penyebab
kegagalan produk bibit jati plus perhutani.
a. Dokumentasi
Dokumentasi adalah melakuan pengumpulan dan mempelajari
dokumen – dokumen pendukung seperti literatur, pedoman, dan ilmu –
ilmu terkait yang diperoleh secara langsung. Dalam hal ini dokumen –
dokumen seperti literatur serta pedoman diperoleh dari perpustakaan
Perum Perhutani.
Data yang diperoleh adalah data tentang sejarah Perum Perhutani,
struktur organisasi Perum Perhutani, dan sistem pengendalian mutu
bibit jati plus perhutani.
b. Observasi (Pengamatan)
Adalah suatu teknik pengumpulan data dengan jalan mengadakan
pengamatan secara cermat terhadap obyek – obyek yang kajian diteliti
serta mencatatnya secara sistematis sesuai dengan data yang
dibutuhkan dalam penelitian.
Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati secara cermat bibit jati
plus kemudian mencatatnya secara sistematis. Data yang diperoleh
adalah data tentang penyebab kegagalan komoditas bibit jati plus
D. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil dokumentasi, observasi dan wawancara,
maka data yang telah terkumpul disempurnakan serta dianalisis yang selanjutnya
dipindahkan ke dalam bentuk analisis statistic. Dalam penelitian ini dilakukan
analisis dengan menggunakan:
1. Untuk mencapai tujuan pertama dalam penelitian ini yaitu Ingin
mengetahui penentuan standart mutu bibit jati plus, menggunakan
analisis deskriptif, dengan cara mengumpulkan data dari dokumentasi
yang berasal dari arsip atau literatur dari perpustakaan Perum Perhutani
yang berkaitan degan penentuan standart mutu jati plus.
2. Untuk mencapai tujuan kedua dalam penelitian ini yaitu penerapan sistem
pengendalian mutu pembibitan jati plus menggunakan analisis secara
deskriptif kualitatif.
Analisis Data secara Deskriptif kualitatif Suatu pengolahan data yang
dilakukan dengan cara menguraikan dalam bentuk kalimat dan
menghubugkan dengan teori – teori yang berguana untuk mendapatkan
kesimpulan dan juga Proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial
dan masalah manusia.
Menjawap tujuan pertama, hasil dari analisis tersebut akan diolah dan
disusun agar mudah untuk mengidentifikasi mekanisme sistem
pengendalian mutu pembibitan jati plus. Berikut Standart mutu umum dan
khusus Bibit Jati Plus Perhutani menurut Keputusan Direksi Perum
Perhutani Nomor : 398/Kpts/Dir/2010 tentang Pedoman Pengelolaan
Kebun Pangkas (KP) dan Persemaian Stek Pucuk Jati Plus Perhutani
a. Syarat umum Jati Plus Perhutani meliputi :
1) Bibit berbatang tunggal dan lurus.
2) Bibit sehat : terbebas dari serangan hama penyakit dan warna daun
normal (tidak menunjukkan kekurangan nutrisi dan tidak mati pucuk).
3) Batang bibit berkayu, diukur dari pangkal batang sampai dengan
setinggi 50% dari tinggi bibit.
b. Syarat khusus Jati Plus Perhutani meliputi :
1) Tinggi bibit Jati Plus Perhutani, yang diukur mulai dari pangkal
batang sampai pada titik tumbuh teratas adalah 20 – 30 cm.
2) Diameter batang bibit Jati Plus Perhutani, yang diukur pada pangkal
batang adalah 3 mm.
3) Kekompakan di tetapkan dengan cara mengangkat satu persatu
dari beberapa jumlah contoh bibit media yang baik adalah yang
tidak retak, patah atau lepas dari bibit.
4) Jumlah daun untuk bibit Jati Plus Perhutani yang memenuhi standat
adalah 3 helai, daun tidak terlalu lebar, agak sedikit meruncing,
berwarna hijau sedikit kuning.
5) Bibit Jati Plus Perhutani harus sehat / tidak terserang hama atau
penyakit.
6) Perakaran banyak dan membentuk gumpalan yang kompak dengan
media.
7) Berumur antara 3 – 6 bulan.
3. Tujuan ketiga yaitu evaluasi penerapan sistem pengendalian mutu dan
penyebab kegagalan komuditas bibit jati plus berdasarkan standart mutu
menggunakan analisis secara deskriptif Kemudian untuk menjawap
plus, Dan berikut ini adalah setandart tingkat kematian bibit yang
dinyatakan dalam presentase dan telah ditetapkan oleh perhutani dalam
tiap tahap pembibitan jati plus perhutani.
a. Pada tahapan Induksi Aklimatisasi yang berlangsung selama 4 - 8
Minggu, dengan tingkat kematian rata-rata 15 %.
b. Aklimatisasi - Shading = 2 Minggu, dengan tingkat kematian rata-rata
3 %.
c. Shading - Open Area = 2 Minggu, dengan tingkat kematian rata-rata
2 %.
d. Open Area - Bibit Jadi = ± 4 Minggu, dengan tingkat kematian rata-rata
5 %.
Rumus perhitungan kegagalan produksi bibit jati plus dengan
menggunakan metode NPS dalam satukali proses penanaman:
Bibit mati = bakal bibit/pucuk x 25%
E. Devinisi dan Pengukuran Variabel
Ada beberapa definisi dalam quality control yang perlu diketahui adalah
sebagai berikut:
1. Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar,
berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar,
yang luruh di musim kemarau. Nama ilmiah jati adalah Tectonagrandis L.f.
Jati memiliki pertumbuhan yang lambat yang membuat proses
perkembangbiakan secara alami menjadi sulit sehingga tidak cukup untuk
menutupi permintaan atas kayu jati. Karena adanya lapisan luar biji yang
keras. Beberapa alternatif telah dilakukan untuk mengatasi lapisan ini
seperti merendam biji dalam air, memanaskan biji dengan api kecil atau
dengan biji jati dapat juga dikembag biakan dengan vegetatif (stek pucuk
dan kultur jaringan).
2. Jati Plus Perhutani adalah jati unggul produk perhutani yang diperoleh
dari program pemuliaan pohon. Jati Plus Perhutani dikembangkan melalui
du cara perbanyakan yaitu Vegetatif (stek pucuk dan kultur jaringan) dan
generative
3. Bibit adalah tumbuhan muda hasil perbanyakan dan pengembangbiakan
secara generatif (biji) maupun vegetatif.
4. Pembibitan adalah proses memperbanyak tanaman yang dipergunakan
untuk keperluan dan pengembangan usaha tani, memiliki fungsi
agronomis atau merupakan komponen agronomi, serta berorientasi pada
penerapan norma – norma ilmiah, jadi lebih bersifat teknologis.
5. Lot bibit adalah bibit yang berasal dari suatu sumberbenih, satu umur,
satu periode penanganan, dan satu perlakuan.
6. Mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk,
manusia/tenaga kerja, proses dan tugas serta lingkungan yang
memenuhi/melebihi harapan pelanggan/konsumen. Selera atau harapan
konsumen pada suatu produk selalu berubah sehingga kualitas produk
juga harus berubah / disesuaikan. Dengan perubahan mutu produk
tersebut, diperlukan peningkatan keterampilan tenaga kerja, perubahan
proses produksi dan tugas, serta perubahan lingkungan agar produk
dapat memenuhi / melebihi harapan konsumen.
7. Manajemen mutu adalah aspek – aspek dari fungsi manajemen
keseluruhan yang menetapkan dan menjalankan mutu suatu organisasi.
Dalam rangka mencukupkan kebutuhan pelanggan dan ketepatan waktu
8. Pengendalain Mutu adalah mencakup semua aktivitas yang menyedikan
produk berkualitas ke pasaran. Teknik pengendalian mutu terpadu
mempertimbangkan semua bagian dari bisnis (konsumen, supplier, dan
karyawan). Pendekatan strategi dari teknik pengendalian mutu terpadu
berawal dari fokus konsumen.
9. Bibit bermutu adalah tanaman muda yang berasal dari hasil pembiakan
generatif atau hasil pembiakan vegetatif dari sumber benih yang
bersertifikat.
10. Grading adalah adalah proses pengelompokan tingkat mutu yang
diberikan pada sekelompok produk yang memiliki keseragaman tertentu.
11. Setandarisasi adalah justifikasi kualitas yang seragam antara pembeli dan
penjual, antara tempat dan antara waktu.
12. Fungsi standarisasi dan grading dimaksudkan untuk menyederhanakan
dan mempermudah serta meringankan biaya pemindahan komoditi
melalui saluran pemasaran.
13. Ukuran produk adalah suatu varian bentuk dengan berbagai macam
ukuran yang dapat menyesuaikan antara kebutuhan dengan ukuran
produk yang ada.
14. Grading Jati Plus Perhutani Mutu Pertama (P) : jika bibit memenuhi
semua persyaratan umum lebih besar 95% dan rata-rata dari persyaratan
khusus lebih besar 90 %. Mutu Kedua (D) : jika bibit yang memenuhi
kriteria persyaratan umum 75 - 95 % dan rata-rata persyaratan khusus 70
- 90 %. Bibit yang tidak memenuhi kelas mutu P dan D tidak diterbitkan
sertifikat.
15. Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen
yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, sistem
yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item – item penggerak,
sistem itu memang kompleks dan sangat terkait dengan hal yang ada
didalamnya, karena sistem tidak akan berjalan apabila salahsatu elemen
A. Keadaan Umum Perumperhutani KPH Blitar
1. Letak Geografis dan Batas Wilayah
Kawasan hutan Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Blitar secara umum
dapat dilihat dari letak wilayah KPH Blitar secara geografis dan batas
wilayah, letak geografis KPH Blitar terletak pada 5° 18` BT – 5o 08` BT dan
8o 04` LS – 8o 16` LS, dengan total luas KPH Blitar adalah 57.327,80 Ha.
Secara administratif letak kawasan hutan berada pada 3 (tiga) wilayah
Pemerintah Daerah Tingkat II yaitu :
a. Di Kab. Blitar sendiri KPH Blitar memiliki kawasan hutan seluas
35.442,5 Ha (61 %). Yang meliputi : Kecamatan Ponggok, Nglegok,
Sanankulon, Kademangan, Bakung, Wonotirto, Sutojayan,
Panggungrejo, Binangun, Kesamben, Wates, Talun, Garum,
Gandusari, Wlingi, Doko, Selorejo.
b. Sedangkan di Kab. Tulungagung KPH Blitar memiliki kawasan hutan
seluas 19.132,0 Ha (34 %). Yang meliputi : Kec.Rejotangan,
Pucanglaban, Kalidawir, Ngunut, Campurdarat, Tanggunggunung,
Boyolangu.
c. Dan di Kab. Malang KPH Blitar memiliki kawasan hutan seluas 2.753,3
Ha (5 %). Yang meliputi : Kecamatan Sumberpucung, Kalipare, Singkil.
Sedangkan Batas wilayah pengelolaan hutan KPH Blitar yaitu di Sebelah
Utara, berbatasan dengan wilayah KPH Kediri dan KPH Malang. Sebelah
Timur, berbatasan dengan wilayah KPH Malang. Sebelah Barat, berbatasan
dengan wilyah KPH Kediri. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudra
Indonesia. Sedangkan kantor KPH Blitar berkedudukan di Jalan S
2. Keadaan Umum Lapangan
Kawasan hutan KPH Blitar terletak pada ketinggian 125 mdpl s/d 650
mdpl diatas permukaan laut. Keadaan topografi lapangan pada umumnya
berada pada tingkat yang agak curam dan sangat curam, hanya sebagian
kecil wilayah saja pada tingkat kemiringannya datar dan landai. Lahan yang
demikian sangat cocok untuk tegakan jati dan akan baik pertumbuhannya.
3. Fasilitas Perusahaan
a. Gedung Perkantoran
Gedung ini merupakan sarana untuk memperlancar urusan
administrasi.
b. Perumahan Dinas
Perumahan dinas diperuntukkan bagi karyawan yang mempunyai
jabatan kepala sub seksi ke atas.
c. Kebun Pangkas.
Kebun pangkas adalah areal tanaman hasil perbanyakan vegetative
dan generative pohon jati plus yang dimanfaatkan sebagai sumber
bibit dengan teknik stek pucuk.
d. Persemaian
Lokasi persemaian terdiri atas bedeng induksi akar, bedeng
aklimatisasi, shading area dan open area yang digunakan untuk
menyemaikan bibit hasil stek pucuk asal kebun pangkas.
e. Mobil Dinas
Untuk kelancaran perjalanan, dilengkapi dengan 6 (enam) buah mobil
dan 2 (dua) sepeda motor.
4. Visi dan Misi Perumperhutani
a. Visi
Pengelola Hutan Lestari Untuk sebesar - besarnya Kemakmuran
Rakyat.
b. Misi
1) Mengelola sumber daya Hutan dengan prinsip Pengelolaan Hutan
Lestari berdasarkan karakteristik wilayah dan Daya Dukung
Daerah Aliran Sungai (DAS) serta meningkatkan manfaat hasil
hutan kayu dan bukan kayu, Ekowisata, Jasa Lingkungan,
Agroforestri serta potensi usaha berbasis kehutanan lainnya guna
menhasilkan keuntungan untuk menjamin pertumbuhan
perusahaan secara berkelanjutan.
2) Membangun dan mengembangkan perusahaan, Organisasi serta
sumber daya manusia perusahaan yang modern, Profesional dan
handal serta memperdayakan masyarakat desa hutan melalui
pengembangan lembaga perekonomian koperasi masyarakat desa
hutan atau koperasi petani hutan.
3) Mendukung dan turut berperan-serta dalam pembangunan wilayah
secara regional dan nasional, serta memberikan kontribusi secara
aktif dalam penyelesaian masalah lingkungan regional, nasional
dan internasional.
5. Fungsi Berdasarkan Struktur Organisasi di KPH Blitar
Kelola Sumber Daya Hutan dan Lapangan (SDHL) adalah salah satu
divisi yang berada di KPH Blitar, dipimpin oleh seorang Kasi yang
bertanggung jawab kepada Direksi Perum Perhutani KPH Blitar. Kegiatan
lapangan salah satunya adalah memproduksi bibit unggul. Dalam
menjalankan tugas-tugas pokoknya, Kasi Kelola SDHL dibantu oleh:
a. KSS (Kepala Sub Seksi) Renc. & Tan.
Bertanggung jawap mengepalai sub seksi rencana dan tanaman yang
meliputi . Kaur perencanaan, Kaur hugra, Kaur tanaman, Kaur DPB
pada PSDH dan Kaur SIM Dalam menjalankan tugas – tugasnya.
b. Kaur Perencanaan.
Bertanggung jawap dalam mengepalai urusan bidang perencanaan.
c. Kaur Hugra.
Bertanggung jawap dalam mengepalai urusan bidang Hugra.
d. Kaur Tanaman.
Bertanggung jawap dalam mengepalai urusan bidang Tanaman.
e. Kaur DPB Pada PSDH.
Bertanggung jawap dalam mengepalai urusan departemen perbenihan
dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
f. Kaur SIM
Bertanggung jawap dalam mengepalai urusan SIM.
g. KSS (Kepala Sub Seksi) Kelola SDH & Lingk.
Bertanggung jawap mengepalai sub seksi Kelola Sumberdaya Hutan
dan Lingkungan di KPH Blitar.
h. Karyawan Lapangan
Karyawan lapangan yang di miliki KPH Blitar secara keseluruhan
berjumlah 20 orang dengan tugas nya masing – masing, berasal dari
petani yang berada di sekitar KPH. Masuk kerja setiap hari (Senin –
Minggu) pukul 07.00 – 16.00, istirahat pukul 10.00 – 13.00 WIB dan
B. Penentuan Standart Mutu Bibit Jati Plus
Jati Plus Perhutani (JPP) adalah jati unggul produk Perum Perhutani yang
diperoleh melalui program pemuliaan pohon jati varietas unggulan, di KPH Blitar
ada dua cara perbanyakan bibit yaitu secara vegetatif dengan cara stek pucuk.
Bibit jati yang dikembangkan dengan teknologi persemaian stek pucuk telah
menjadi andalan Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Blitar
untuk mendukung proses pembibitan dan penanaman di wilayah hutan setempat.
Pembibitan jati dengan teknologi stek pucuk ini telah dikembangkan di KPH Blitar
sejak tahun 2008 dan hasil bibitnya telah ditanam pada penanaman jati atau
reboisasi tahun 2009 hingga saat ini.
Dalam penentuan standart mutu nya jati plus perhutani telah di atur
menurut Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor : 398/Kpts/Dir/2010 tentang
Pedoman Pengelolaan Kebun Pangkas (KP) dan Persemaian Stek Pucuk Jati
Plus Perhutani (JPP): yang meliputi Penanaman indukan di kebun pangkas,
perawatan indukan, syarat – syarat pucuk yang dapat dijadikan bakalan stek,
standart pemanenan pucuk, standart pembuatan stek pucuk, standart pembuatan
media tanam, standart pembuatan bedengan, standart penanaman stek, standart
perawatan stek, standart mutu bibit jati plus dan grading.
Untuk standart – standart yang diterapkan di perawatan stek pucuk masih
dibagi lagi menjadi empat bagian yang berupa tahap induksi, aklimatisasi,
shading dan open. Dan ditiap bagian telah ditetapkan standart – standart yang
telah ditentukan berupa standart penyiraman, pemberian pupuk, pemberian
1. Kebun Pangkas
Tidak semua pucuk dapat dipanen sebagai bahan stek pucuk yang baik,
pucuk yang baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut menurut
Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor : 398/Kpts/Dir/2010 tentang
Pedoman Pengelolaan Kebun Pangkas (KP) dan Persemaian Stek Pucuk
Jati Plus Perhutani (JPP):
a. Tunas ortotrop : adalah suatu keadaan dimana tunas hasil
perbanyakan vegetatif tumbuh keatas seperti bentuk pohon normal.
b. Memiliki 3 atau 4 internodia / pasang daun.
c. Panjang batang kurang lebih 5 cm.
d. Minimal sudah berumur 2 minggu dari pecahnya mata tunas.
e. Batang silindris, lurus, berbulu hijau cerah.
f. Batang masih muda /