EFEKTIVITAS KONSELING REALITAS UNTUK MENINGKATKAN PENERIMAAN DIRI SISWA KELAS IX DI SMP NEGERI 1
TEMPEL TAHUN AJARAN 2016/2017
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Marizka Adi Winarni NIM 12104244023
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
PERSETUJUAN
Skripsi yang berjudul “EFEKTIVITAS KONSELING REALITAS UNTUK MENINGKATKAN PENERIMAAN DIRI SISWA KELAS IX SMP NEGERI 1 TEMPEL TAHUN AJARAN 2016/2017” ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.
Yogyakarta, 03 Oktober 2016 Pembimbing
Dr. Suwarjo, M.Si.
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Marizka Adi Winarni
NIM : 12104244023
Program Studi : Bimbingan dan Konseling
Jurusan : Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
Fakultas : Ilmu Pendidikan
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim.
Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berikutnya.
Yogyakarta, 25 Oktober 2016 Yang Menyatakan,
MOTTO
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(Terjemahan Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 153)
“ Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu
ketika kamu bangun berdiri.”
(Terjemahan Al-Quran Ath-Thuur Ayat 48)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk: 1. Tuhan Yang Maha Esa Allah S.W.T
2. Bapakku (Gunawan) dan Mamaku (Zolfah)
3. Almamater Program Studi Bimbingan dan Konseling FIP UNY 4. Agama
EFEKTIVITAS KONSELING REALITAS UNTUK MENINGKATKAN PENERIMAAN DIRI SISWA KELAS IX DI SMP NEGERI 1
TEMPEL TAHUN AJARAN 2016/2017 Oleh
Marizka Adi Winarni NIM 12104244023
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan data yang diperoleh dari skala penerimaan diri siswa kelas IX SMP Negeri 1 Tempel bahwa terdapat 58,69 % siswa memiliki penerimaan diri rendah. Fenomena ini ditunjukan dengan beberapa sikap seperti suka menyendiri, kurang percaya diri atau minder, tidak bisa menerima kritik dan tidak memiliki keyakinan untuk mampu menjalani kehidupan. Melalui konseling realitas diharapkan dapat meningkatkan penerimaan diri siswa. Tujuan penelitian ini adalah menguji efektivitas konseling realitas untuk meningkatkan signifikansi penerimaan diri pada siswa kelas IX SMP Negeri 1 Tempel.
Penelitian ini termasuk dalam pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian eksperimen. Desain penelitian Pre Experimental Design Dengan One-Group Pre Test And Post Test Design. Populasi penelitian adalah siswa kelas IX SMP Negeri 1 Tempel. Subyek penelitian ini adalah 10 siswa kelas IX SMP Negeri 1 Tempel yang diambil menggunakan teknikpurposive samplingyaitu yang memiliki penerimaan diri rendah dan memenuhi kriteria yaitu suka berpikiran negatif terhadap diri sendiri, sukar menerima kritik, pendiam dan suka menghindari teman sekelas. Validitas instrumen dalam penelitian ini menggunakan Construct Validity. Reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan analisa Alpha Cronback yang diolah dengan menggunakan bantun SPSS For Window Seri 17.0. Diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,889. Analisis data menggunakan teknik analisis data ujiWilcoxon.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan penerimaan diri siswa kelas IX SMP Negeri 1 Tempel sebelum dan setelah diberikan layanan konseling realitas. Hal ini ditunjukan dengan adanya peningkatan antara skor sebelum dan setelahtreatment. Sebelum treatment menunjukan skor rata-rata sebesar 55,3 dengan kriteria sedang. Setelah diberikan treatment menunjukan rata-rata skor 71,4 dengan kriteria sedang. Perubahannya sebesar 16,1 ditunjukan dengan hal keyakinan menghadapi segala tantangan dalam menghadapi kehidupan meningkat, dalam hal menerima kekurangan yang ada pada dirinya meningkat, dalam hal menerima kritik meningkat dan juga lebih merasa kehadirannya bisa diterima oleh orang lain. Berdasarkan hasil uji hipotesis wilcoxonpadapretestdanposttestmenunjukkan taraf signifikasi p = 0,005 < 0,05 hal ini menujukkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Kesimpulan akhir dalam penelitian ini adalah konseling realitas efektif untuk meningkatkan penerimaan diri siswa kelas IX SMP N 1 Tempel.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efektivitas Konseling Realitas untuk Meningkatkan Penerimaan Diri Siswa Kelas IX SMP Negeri 1 Tempel Tahun Ajaran 2016/2017”. Penulis menyadari bahwa pembuatan skripsi ini bisa terselesaikan tidak lepas dari kontribusi semua pihak yang memberikan do’a, bimbingan, bantuan dan arahan, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan
bagi penulis untuk menimba ilmu di Program Studi Bimbingan dan Konseling UNY.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin melakukan penelitian.
3. Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan persetujuan untuk melakukan penelitian.
4. Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan persetujuan untuk judul penelitian dan melakukan penelitian.
5. Dosen Pembimbing Dr. Suwarjo, M.Si yang selalu sabar dan memberikan arahan dalam membimbing, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
6. Orang tua tercinta yang telah memberikan do’a dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepala sekolah di SMP Negeri 1 Tempel yang telah memberikan izin melakukan penelitian dan membantu melancarkan proses penelitian.
9. Guru bimbingan dan konseling di SMP Negeri 1 Tempel Ibu Dra. Mujirahayu yang sudah membimbing dengan sabar saat penelitian.
10. Sahabatku tercinta Niken Tria Pratiwi, Ela Destiana, Septi Rohni Undari, dan Alefia Rakhma Maulida yang selalu memberi semangat dan memotivasi dalam penulisan skripsi
11. Teman-teman BK C angkatan 2012 yang sudah membantu memberikan semangat dan motivasi dalam penulisan skripsi.
12. Semua pihak yang terkait telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis guna memperbaiki dalam penelitian selanjutnya. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Bimbingan dan Konseling.
Yogyakarta, 25 Oktober 2016
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PERSETUJUAN... ii
HALAMAN PERNYATAAN... iii
HALAMAN PENGESAHAN... iv
HALAMAN MOTTO... v
HALAMAN PERSEMBAHAN... vi
ABSTRAK... viii
KATA PENGANTAR... ix
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL...xiii
DAFTAR GAMBAR... xiv
DAFTAR LAMPIRAN...xv
BAB I PENDAHULUAN A...Latar Belakang Masalah... 1
B...Identifikasi Masalah... 9
C...Pembatasan Masalah... 10
D...Rumusan Masalah... 10
E... Tujuan Penelitian... 10
F... Manfaat Penelitian... 11
BAB II KAJIAN TEORI A...Konsep Penerimaan Diri... 13
1....Pengertian Penerimaan Diri... 13
2....Manfaat Penerimaan Diri... 15
3....Karakteristik Individu yang Memiliki Penerimaan Diri... 17
4....Aspek-aspek Penerimaan Diri... 21
5....Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri... 24
B...Konsep Konseling Realitas... 26
2....Ciri-ciri Konseling Realitas... 36
3....Prosedur dalam Konseling Realitas... 45
4....Fungsi dan Peran Konselor... 52
5....Tujuan Konseling Realitas... 54
C...Kerangka Pikir... 56
D...Hipotesis Penelitian... 61
BAB III METODE PENELITIAN A...Pendekatan Penelitian... 62
B...Variabel Penelitian... 64
C...Tempat dan Waktu Penelitian... 66
D...Subjek Penelitian... 66
E... Teknik Pengumpulan Data... 68
1....Kuesioner Jenis Skala... 68
2....Wawancara... 68
F... Instrumen Penelitian... 79
G...Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian... 74
1. Uji Validitas... 74
2. Uji Reliabilitas... 74
H...Teknik Analisis Data... 77
1....Kategori Diagnostik... 77
2....Uji Hipotesis ...78
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A...Hasil Penelitian... 80
1....Gambaran Penerimaan Diri Siswa Kelas IX Sebelum Diberikan Konseling realitas... 82
2....Gambaran Penerimaan Diri Siswa Kelas IX Setelah Diberikan Konseling realitas... 82
3....Deskripsi Proses Konseling realitas ... 83
4....Perbedaan Penerimaan Diri Berdasarkan analisis Deskriptif ...110
5....UjiWilcoxon ...111
C...Keterbatasan Penelitian... 117
BAB V SIMPULAN DAN SARAN A...Simpulan ... 119
B...Saran ...120
DAFTAR PUSTAKA ... 121
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. Kerangka Pikir... 60
Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Skala Penerimaan Diri...70
Tabel 3. Kisi-Kisi Instrumen Pedoman Wawancara untuk Guru BK ... 72
Tabel 4. Kisi-Kisi Instrumen Pedoman Wawancara dengan Subjek Penelitian.. 73
Tabel 5. Kisi-kisi Skala Penerimaan Diri Setelah Uji Reliabilitas ...75
Tabel 6. Kategorisasi Penerimaan Diri... 78
Tabel 7. HasilPretestPenerimaan diri Siswa...81
Tabel 8. HasilPost-testPenerimaan diri Siswa... 82
Tabel 9. Perbandingan HasilPretestdanPost-testSecara Keseluruhan... 107
Tabel 10. Data Hasil Skor Rata-rataPretestdanPosttest...111
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Hasil Uji Reliabilitas Skala Penerimaan Diri... 126
Lampiran 2. Hasil Uji Reliabilitas Skala Penerimaan Diri Setelah Item Digugurkan... 127
Lampiran 3. Kisi-Kisi Instrumen Skala Penerimaan Diri ... 129
Lampiran 4. Skala Penerimaan Diri ...130
Lampiran 5. Jadwal Pelaksanaan Penelitian... 132
Lampiran 6. Satuan Layanan Bimbingan dan Konseling... 133
Lampiran 7. Kontrak Kasus ... 160
Lampiran 8. Transkrip Wawancara Konseling ... 174
Lampiran 9. Wawancara dengan Guru BK ...269
Lampiran 10. Wawancara dengan Subyek Penelitian...270
Lampiran 11. Perbandingan HasilPretestdanPost-testSecara Keseluruhan.. 271
Lampiran 12. Dokumentasi...272
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) berada dalam tahap remaja awal dengan kisaran usia antara 12-15 tahun dan sedang berada dalam masa
pubertas. Santrock (2006: 87) menyatakan masa remaja awal dimulai dengan
masa pubertas (puberty), yaitu perubahan cepat pada kematangan fisik yang
meliputi perubahan tubuh dan hormonal. Perubahan fisik yang terjadi tentu
saja mempengaruhi penampilan fisik, seperti bertambah berat badan, tinggi
badan, dan lain-lain. Sedangkan perubahan-perubahan psikologis muncul
sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik.
Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai oleh remaja
menurut Hurlock (1980: 10) yaitu menerima kondisi fisik dan psikis diri
sendiri dan menggunakan tubuh secara efektif. Menerima perubahan fisik dan
menggunakan tubuh secara efektif bukan hal yang mudah bagi remaja.
Banyak remaja mengalami masalah dalam penerimaan diri, remaja merasa
tidak mampu menerima perubahan fisik yang terjadi, karena tidak puas
dengan penampilan yang dimiliki.
Remaja yang memandang diri sebagai individu tidak berpenampilan
menarik, bodoh, mereka memiliki banyak sekali kekurangan dan merasa diri
menjadi tidak percaya diri. Hal ini dapat mengakibatkan pribadi individu
menjadi tertutup sehingga perkembangan kepribadian menjadi tidak sehat.
Individu yang menjalani masa remaja akan menghadapi berbagai
macam permasalahan terutama dalam menyelesaikan tugas perkembangannya.
Masa remaja dapat dikatakan masa perkembangan yang berperan penting
dalam menentukan masa perkembangan individu selanjutnya. Menurut
Hurlock (1980: 207) berbagai pengaruh pada perkembangan di masa remaja
dapat memberikan akibat pada masa perkembangan selanjutnya terutama
masa dewasa.
Salah satu permasalahan yang sering dialami siswa adalah mengenai
penerimaan mereka yang negatif terhadap diri sendiri baik fisik maupun
psikis. Penerimaan negatif tersebut dapat berdampak tidak bagus terhadap
perkembangan pribadi, dan aktualisasi potensi remaja. Powell (dalam
Purwanto, 2011: 27) mengatakan bahwa penerimaan diri yang rendah dapat
dikatakan sebagai akar penyebab mengapa seseorang tidak dapat berprestasi
secara maksimal, kurang berani dan tidak percaya diri untuk bersaing dengan
orang lain, serta ragu dalam mengambil keputusan.
Hurlock (1974: 424) mengatakan bahwa penerimaan diri merupakan
derajat dimana individu telah menentukan karakteristik pribadinya, mau dan
dapat menerimanya sebagai bagian dari dirinya. Hurlock (1974: 435) lebih
lanjut mengembangkan bila individu hanya melihat dari satu sisi saja maka
semakin diterima oleh orang lain. Individu dengan penerimaan diri yang baik
akan mampu menerima karakter-karakter alamiah dan tidak mengkritik
sesuatu yang tidak bisa diubah lagi.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di SMP Negeri 1
Tempel, dari wawancara Guru BK mengatakan terdapat beberapa
permasalahan yang sering terjadi, beberapa siswa yang mengeluh merasa
bahwa dirinya kurang menarik secara fisik, sering menyesali apa yang sudah
terjadi, kurang bisa menerima apa yang sudah dimiliki sekarang, tidak yakin
akan kemampuan yang dimilikinya, terdapat blok-blok dalam berteman,
kurang mengetahui bakat dan minat yang dimiliki, dan masih bingung dengan
masa depannya. Akibatnya mereka kurang percaya diri, kurang pintar bergaul
dengan teman, saat di kelas malu bertanya, kurang memahami pelajaran dan
nilai- nilai siswa menjadi kurang bagus. Ada juga siswa yang latar belakang
ekonominya ke bawah dan membuatnya minder dari teman yang lain. Kasus
ini menggambarkan bagaimana penerimaan diri dapat mempengaruhi perilaku
individu yang berdampak bukan hanya pada kepribadian tapi juga pada
masalah belajar serta pergaulannya dengan orang lain. Selama ini Guru BK
sudah memberikan bimbingan saat di kelas kepada siswa, tetapi masih sedikit
siswa yang datang langsung ke BK untuk menceritakan masalahnya.
Sehingga konseling dilakukan pada saat ada masalah saja dan selama ini
konseling masih berfokus pada pemecahan masalah, belum pernah digunakan
Pada tudi awal peneliti membagikan skala penerimaan diri
berdasarkan aspek Cronbach (1986) kepada siswa kelas IX SMP Negeri 1
Tempel, yang hasilnya terdapat 58,69 % berada di kategori sedang ke bawah
sedangkan sisanya 41,30 % siswa penerimaan dirinya dikategori tinggi. Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa masih banyak siswa bahkan lebih dari
setengah siswa kelas IX yang penerimaan dirinya belum sesuai dengan
harapan sehingga memerlukan penanganan yang tepat.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa terdapat gejala rendahnya
penerimaan diri pada siswa. Siswa dengan penerimaan diri yang rendah akan
mengalami hambatan dalam memenuhi tugas perkembangan, khususnya
dalam mencapai aktualisasi potensi diri. Jika tidak diberi bantuan, siswa
dengan penerimaan diri yang rendah akan kesulitan dalam menerima kondisi
diri sehingga tidak percaya diri dan kesulitan mencapai prestasi secara
optimal.
Berdasarkan fenomena tersebut, untuk mengatasi rendahnya
penerimaan diri pada siswa kelas IX maka diperlukan suatu upaya layanan
konseling dengan menggunakan pendekatan yang tepat. Konseling
perorangan menurut Prayitno (2004: 1) merupakan layanan konseling yang
diselenggarakan oleh konselor terhadap konseli dalam rangka pengentasan
masalah pribadi konseli. Dalam suasana tatap muka dilaksanakan interaksi
langsung antara konseli dan konselor, membahas berbagai hal tentang
Di dalam layanan konseling terdapat berbagai macam pendekatan,
diantaranya ada pendekatan psikoanalitik, humanistik, client-centered, gestalt,
REBT, analisis transaksional, behavioristik dan realitas. Dalam penelitian ini
pendekatan konseling yang lebih cocok digunakan untuk membantu
menyelesaikan permasalahan penerimaan diri siswa yaitu dengan
menggunakan konseling realitas karena tujuan dari konseling realitas yaitu
membimbing konseli ke arah mempelajari tingkah laku yang realistis yaitu
menerima kenyataan yang dihadapi konseli dan bertanggung jawab terhadap
perilaku serta mengembangkan “identitas keberhasilan”. Membantu konseli
dalam mengambil pertimbangan nilai tentang tingkah lakunya sendiri dan
dalam merencanakan tindakan bagi perubahan,
Konseling realitas dikembangkan di luar Negeri yang kultur atau
budayanya berbeda dengan Indonesia. Maka dari itu, peneliti ingin
melaksanakan penelitian ini untuk menguji apakah konseling realitas cocok
dan efektif apabila digunakan di Indonesia dengan kultur atau budaya yang
berbeda dengan tempat dimana konseling realitas dikembangkan.
Konseling realitas berfokus pada hakekat manusia yang pada dasarnya
memilih perilakunya sendiri maka individu bertanggung jawab, bukan hanya
pada apa yang dilakukan tetapi juga pada sesuatu yang dipikirkan. Konseling
realitas menitikberatkan tanggung jawab yang dipikul konseli agar konseli
berperilaku sesuai dengan realitas atau kenyataan yang dihadapi.
Penyimpangan dalam tingkahlaku konseli dipandang sebagai akibat dari tidak
indikasi/gejala adanya gangguan dalam kesehatan mental. Menurut Glasser
(dalam Winkel 2007: 459), “bermental sehat adalah menunjukkan rasa
tanggung jawab dalam semua perilaku, orang-perorangan tidak
diperkenankan untuk bertindak sesuka hati. Dia harus menunjukkan tingkah
laku yang tepat dan menghindari tingkah laku yang salah (right and wrong
behavior)”.
Pada konseling realitas, perilaku bermasalah dapat disepadankan
dengan istilah yang dikemukakan Glasser (dalam Latipun 2005: 128), yaitu
“identitas kegagalan”. Identitas kegagalan itu ditandai dengan keterasingan,
penolakan diridan irrasionalitas, perilakunya kaku, tidak objektif, lemah,
tidak bertanggung jawab, tidak bisa membuat pilihan secara realistis, kurang
percaya diri dan menolak kenyataan.
Wawancara dengan siswa pertama diketahui bahwa dia merasa minder
dengan teman-teman dikarenakan dia tidak memiliki handphone android
yang canggih seperti teman-temannya. Dia ingin memiliki handphone
android agar bisa eksis seperti teman-temannya di media sosial sepertiBBM,
Tweeter, Facebook, Instagram, Line, Dll. Dengan begitu dia akan dikenal dan
dipuji teman-temannya. Apalagi zaman sekarang yang sudah moderen,
menurut dia apabila tidak memilikigadgetyang mendukung akan ketinggalan
zaman dan tidak keren. Akan tetapi orang tuanya tidak membelikannya
karena masih mempunyai handphone yang masih bisa dipakai dan saat ini
orang tuanya tidak mempunyai uang untuk membelihandphone androidyang
Wawancara dengan siswa kedua siswa diketahui bahwa dia adalah
anak pertama dikeluarga. Orang tua mengajarkan agar mandiri terhadap
dirinya sendiri. Akan tetapi dia ingin dimanja oleh orang tuanya seperti dulu
sebelum dia memiliki adik. Dia ingin semua kemauannya dituruti, terkadang
dia merasa iri dengan adiknya yang selalu dinomor satukan dikeluarga.
Seandainya dia tidak memiliki adik pasti lah dia tidak akan dinomor duakan
orang tuanya. Sehingga membuat dia menentang dan bersikap semaunya serta
jarang di rumah.
Wawancara dengan siswa ketiga siswa tersebut diketahui bahwa dia
ingin mendapatkan nilai yang bagus dan naik kelas, selama ini nilainya tidak
terlalu bagus, dia tidak ingin tinggal kelas seperti kakaknya dahulu. Tetapi
pada kenyataannya saat di kelas dia sering ngobrol dan malas belajar. Apabila
ada PR dia lebih memilih mengerjakannya di sekolah. Sempat dipanggil ke
ruang BK karena membolos saat jam pelajaran.
Seperti halnya fenomena dalam penelitian ini siswa memiliki banyak
keinginan yang tidak realistis, seperti ingin dibelikan handphoneagar terlihat
keren seperti temannya dan eksis di media sosial padahal orang tua tidak
memiliki uang. Kemudian ingin nilainya bagus dan naik kelas tetapi malas
belajar dan suka membolos. Siswa juga berperilaku tidak bertanggung jawab
untuk memenuhi keinginannya seperti ngambek dengan orang tua, malas
belajar, menentang orang tua, bersikap semaunya, dan membolos. Dalam
fenomena ini siswa cenderung mengembangkan identitas kegagalan dan sulit
Konseling realitas berasumsi bahwa realisasi untuk tumbuh dalam
rangka memuaskan kebutuhan harus dilandasi oleh prinsip 3R, yaitu right
(mempelajari apa yang benar), responsibility (bertingkahlaku secara
bertanggung jawab) dan reality (memahami serta menghadapi kenyataan).
Menurut Latipun (2005: 109) secara umum tujuan konseling realitas sama
dengan tujuan hidup, yaitu individu mencapai kehidupan dengan success
identity. Dalam hal ini identitas keberhasilannya adalah memiliki kepercayaan
diri dan menerima keadaan diri apa adanya. Konseling realitas bertujuan
memberikan kemungkinan dan kesempatan kepada konseli agar bisa
mengembangkan kekuatan-kekuatan psikis yang dimilikinya untuk menilai
perilakunya sekarang dan apabila perilakunya tidak dapat memenuhi
kebutuhan, maka perlu memperoleh perilaku baru yang lebih efektif.
Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan usaha untuk mengatasi
rendahnya penerimaan diri siswa. Rendahnya penerimaan diri ini diharapkan
dapat di atasi melalui konseling realitas dengan melakukan perencanaan yang
rinci, matang dan tersusun secara sistematis, serta persiapan yang cukup (baik
secara fisik, mental/pun emosional) dan apresiasi terhadap kelebihan dan
kemampuan yang dimiliki. Konseli dibantu merumuskan tingkah laku apa
yang akan diperbuatnya. Dengan demikian, konseli dapat mengungkapkan
harapan dan keinginannya, dapat berperilaku yang bertanggung jawab, yang
pada akhirnya dapat merubah anggapan buruk tentang dirinya sendiri yang
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa perlu diadakan penelitian
untuk mengetahui gambaran penerimaan diri pada siswa. Hasil dari gambaran
penerimaan diri dalam penelitian ini akan digunakan sebagai landasan dalam
membuktikan bahwa apakah dengan konseling realitas dapat efektif dalam
meningkatkan penerimaan diri siswa. Maka, penelitian ini berjudul:
“Efektivitas Konseling Realitas untuk Meningkatkan Penerimaan Diri Siswa
Kelas IX SMP Negeri 1 Tempel Tahun Ajaran 2015/2016”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparan di atas, peneliti dapat
mengidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Masih banyak dijumpai siswa kelas IX di SMP Negeri 1 Tempel dengan
penerimaan dirinya rendah namun penanganan yang diberikan bagi siswa
tersebut kurang maksimal sehingga tidak dapat menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi dan prestasinya rendah.
2. Sebagian remaja tidak mampu menerima perubahan fisik dan tidak puas
dengan penampilan yang dimiliki sehingga siswa cenderung tidak percaya
diri dan kurang pintar dalam bergaul dengan teman.
3. Penerimaan diri sebagian siswa kelas IX SMP Negeri 1 Tempel masih
rendah, masih ada siswa yang belum bisa menerima keadaan ekonomi
4. Terdapat 58,69 % siswa kelas IX SMP Negeri 1 Tempel yang penerimaan
dirinya masih berada di kategori sedang ke bawah namun belum
mendapatkan penanganan secara tepat oleh guru BK.
5. Belum diketahui efektivitas konseling realitas untuk meningkatkan
penerimaan diri siswa kelas IX di SMP Negeri 1 Tempel.
C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti membatasi penelitian pada siswa belum
diketahui efektivitas konseling realitas untuk meningkatkan penerimaan diri siswa
kelas IX di SMP Negeri 1 Tempel. Pembatasan masalah ini dilakukan supaya
peneliti fokus, memperoleh hasil yang optimal dan menjadi suatu konseling yang
dapat meningkatkan penerimaan diri siswa.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang diuraikan dalam latar belakang masalah maka dapat
dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
“Apakah Konseling Realitas Efektif Untuk Meningkatkan Penerimaan Diri Siswa
Kelas IX SMP Negeri 1 Tempel?”
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk menguji efektivitas konseling realitas untuk meningkatkan signifikansi
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara ilmiah, manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang bimbingan dan konseling. Semoga hasil penelitian ini dapat
memberikan informasi ataupun acuan dalam penulisan penelitian lanjutan
mengenai penerimaan diri dan konseling realitas.
2. Manfaat Praktis bagi Peneliti, Siswa, Guru Bimbingan dan Konseling dan
Sekolah
a. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang
penggunaan konseling realitas untuk meningkatkan penerimaan diri.
b. Bagi Siswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu anak untuk meningkatkan
penerimaan diri siswa agar tugas perkembangan dan prestasi belajarnya
dapat meningkat.
c. Bagi Guru BK
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu kinerja para guru
bimbingan dan konseling di sekolah dalam menerapkan layanan konseling
realitas untuk membantu mengatasi penerimaan diri.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan
penetapan kebijakan pelaksanaan pembelajaran dalam upaya
BAB II KAJIAN TEORI
A. Konsep Penerimaan Diri
1. Pengertian Penerimaan Diri
Manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu berhubungan
dengan orang lain sebagai proses sosialisasi dan interaksi sosial dalam
rangka saling membantu untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing.
Keberhasilan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain dipengaruhi
oleh cara individu tersebut menerima dirinya sendiri.
Penerimaan diri didasarkan pada kepuasan individu atau
kebahagiaan individu mengenai dirinya serta berfikir mengenai
kebutuhannya untuk memiliki mental yang sehat. Siswa yang memiliki
penerimaan diriakan mampu menyadari dan mampu menerima segala
kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Seperti menurut Supratiknya
(1995: 84) menyebutkan, “yang dimaksud dengan menerima diri adalah
memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, tidak bersikap
sinis terhadap diri sendiri.”
Senada dengan hal tersebut, Hurlock (1999: 434) mengemukakan
bahwa “Penerimaan diri merupakan tingkat dimana individu benar-benar
mempertimbangkan karakteristik pribadinya dan mau hidup dengan
karakteristik tersebut”. Dengan penerimaan diri individu dapat menghargai
segala kelebihan dan kekurangan dalam dirinya. Kemudian Chaplin
dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan
bakat-bakat sendiri, dan pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri”.
Penerimaan diri dalam hal ini mengandung makna bahwa individu bisa
menghargai segala aspek yang ada pada dirinya entah itu yang bersifat
positif maupun yang bersifat negatif.
Individu yang memiliki penerimaan diri akan memandang
kelemahan/kekurangan diri sebagai hal yang wajar dimiliki setiap individu,
karena individu yang memiliki penerimaan diriakan bisa berpikir positif
tentang dirinya bahwa setiap individu pasti memiliki
kelemahan/kekurangan dan hal tersebut tidak akan menjadi penghambat
individu untuk mengaktualisasikan dirinya.
Sebagai contoh, siswa yang berasal dari golongan keluarga
berekonomi rendah tidak merasa canggung berteman dan bergaul dengan
siswa lain yang berasal dari golongan keluarga ekonomi atas, karena siswa
tersebut menyadari bahwa semua siswa mempunyai hak dan kewajiban
yang sama di sekolah.
Menurut Shepard (1978: 139) “Penerimaan diri adalah kepuasan
individu atau kebahagiaan dengan diri sendiri, dan dianggap diperlukan
untuk kesehatan mental yang baik”. Penerimaan diri melibatkan
pemahaman diri, kesadaran realistis, meskipun subyektif, dari kekuatan
dan kelemahan seseorang. Hal tersebut menghasilkan perasaan individu
tentang diri sendiri, bahwa mereka adalah "mahluk unik". Konsep yang
mengartikan “penerimaan diri adalah sejauh mana seseorang dapat
menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya
dalam menjalani kelangsungan hidupnya”. Sikap penerimaan diri
ditunjukan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihan-kelebihan
sekaligus menerima kelemahan-kelemahannya tanpa menyalahkan orang
lain dan mempunyai keinginan yang terus-menerus untuk
mengembangkan diri.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
penerimaan diri adalah suatu sikap dimana individu memiliki penghargaan
yang tinggi terhadap segala kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri
tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan untuk
mengembangkan diri secara terus menerus.
2. Manfaat Penerimaan Diri
Penerimaan diri sangat penting untuk kesehatan mental. tidak
adanya kemampuan untuk tanpa syarat menerima diri sendiri dapat
menyebabkan berbagai kesulitan emosional, termasuk kemarahan yang
tidak terkontrol dan depresi. Orang yang terjebak dalam evaluasi diri dari
pada penerimaan diri, juga mungkin sangat membutuhkan dan mungkin
mencurahkan perhatian untuk membanggakan diri agar mengimbangi
kekurangan diri yang dirasakannya Langer, 1989 (dalam Carson & Langer,
2006: 29).
Penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam interaksi
dengan individu lain, meningkatkan kepercayaan diri serta membuat
hubungan menjadi lebih akrab karena individu tersebut menyadari bahwa
setiap individu diciptakan sama, yaitu memiliki kelebihan dan kekurangan.
Tanpa penerimaan diri, individu cenderung sulit untuk dapat berinteraksi
dengan individu lain sehingga dapat berpengaruh buruk pada
kepribadiannya. Hurlock (1999:276) “semakin baik seseorang dapat
menerima dirinya, maka akan semakin baik pula penyesuaian diri dan
sosialnya”. Tanpa penerimaan diri, individu cenderung akan mengalami
kesulitan dalam kehidupan sosialnya. Kemudian Hurlock (1999:276),
membagi dampak dari penerimaan diri dalam 2 kategori, yaitu:
a. Dalam penyesuaian diri
b. Dalam penyesuaian sosial
Orang yang memiliki penyesuaian diri, mampu mengenali
kelebihan dan kekurangannya. Salah satu karakteristik dari orang yang
memiliki penyesuaian diri yang baik adalah lebihmengenali kelebihan dan
kekurangannya, biasanya memiliki keyakinan diri penerimaan diriSelain
itu juga lebih dapat menerima kritik, dibandingkan dengan orangyang
kurang dapat menerima dirinya. Dengan demikian orang yang memiliki
penerimaandiri dapat mengevaluasi dirinya secara realistik, sehingga dapat
menggunakan semua potensinya secara efektif hal tersebut dikarenakan
memiliki anggapan yang realistis terhadap dirinya maka akan bersikap
jujur dan tidak berpura-pura. Penerimaan diri biasanya disertai dengan
akan merasa aman untuk memberikan perhatiannya pada orang lain,
seperti menunjukkan rasa empati. Dengan demikian orang yang memiliki
penerimaan diri dapat mengadakan penyesuaian sosial yang lebih baik
dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri atau merasa tidak
kuat sehingga mereka cenderung untuk bersikap berorientasi pada dirinya
sendiri (Self Oriented). Penerimaan diri sangat berhubungan erat dengan
konsep diri karena penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam
pembentukan konsep diri dan kepribadian yang positif. Orang yang
memiliki penerimaan diri yang baik maka dapat dikatakan memiliki
konsep diri yang baik pula, karena selalu mengacu pada gambaran diri
ideal, sehingga bisa menerima gambaran dirinya yang sesuai dengan
realitas.
Dengan penerimaan diri, individu menjadi lebih menyadari siapa
dirinya, kekurangan apa yang dimilikiya dan potensi apa saja yang
dimilikinya dalam menjalankan perannya dalam kehidupannya. Tidak
hanya menerima tentang dirinya sendiri, penerimaan dirijuga
memungkinkan individu memperoleh penerimaan dari orang lain. Dari sini
selanjutnya dapat menjadi proses pembelajaran untuk menyelaraskan
tuntutan dalam diri dan harapan lingkungan sehingga hubungan sosialpun
terjalin dengan baik.
3. Karakteristik Individu yang Memiliki Penerimaan Diri
Tentunya orang yang memiliki penerimaan diri dan tidak memiliki
memiliki penerimaan diriyang baik dapat dilihat dari perkataan dan
perilakunya sehari-hari. Pada umumnya perilaku yang dimunculkannya
lebih cenderung positif dan senang melakukan kegiatan yang berhubungan
dengan banyak orang. Sehingga ini akan sangat berdampak positif
terhadap kematangan pada dirinya.
Beberapa karakteristik seseorang yang memiliki penerimaan diri
menurut Jersild (dalam Nurviana, 2011:7 ) yaitu:
a. Memiliki penilaian realistis terhadap potensi-potensi yang dimilikinya.
b. Mereka juga menyadari kekurangan tanpa menyalahkan diri sendiri.
c. Memiliki spontanitas dan tanggung jawab terhadap perilakunya.
d. Mereka menerima kualitas-kualitas kemanusiaan mereka tanpa
menyalahkan diri mereka terhadap keadaan-keadaan di luar kendali
mereka.
Siswa yang mampu beradaptasi dalam berbagai kondisi, percaya
diri, bersikap positif, memiliki potensi dan menerima diri dan orang lain
dapat dikatakan sebagai siswa yang sehat secara mental. Ketika
siswa-siswa mampu mengembangkan sikap demikian akan berpengaruh pula
terhadap interaksinya dengan orang lain.
Hal terpenting ketika seseorang mampu menerima dirinya adalah
ketika seseorang tersebut dapat menerima segala potensi yang ada pada
dirinya, baik itu yang berkaitan dengan kelebihan yang dimilikinya juga
yang berkaitan dengan kelemahan/kekurangan yang ada pada dirinya maka
karena orang tersebut akan bersedia menerima kritik ataupun penolakan
dari orang lain dengan sikap positif. Seperti yang diungkapkan Hurlock
(1978: 258) ciri-ciri orang yang memiliki kesesuain baik yaitu sebagai
berikut:
a. Mampu dan bersedia menerima tanggung jawab yang sesuai dengan
usia.
b. Berpartisipasi dengan gembira dalam kegiatan yang sesuai dengan
tingkat usia.
c. Bersedia menerima tanggung jawab yang berhubungan dengan peran
mereka dalam hidup.
d. Segera menangani masalah yang menuntut penyelesaian.
e. Senang memecahkan dan mengatasi berbagai hambatan yang
mengancam kebahagiaan.
f. Mengambil keputusan dan senang tanpa konflik dan tanpa banyak
meminta nasihat.
g. Tetap pada pilihannya sampai diyakinkan bahwa pilihan itu salah.
h. Lebih banyak memperoleh kepuasan dari prestasi yang nyata
ketimbang dari prestasi yang imajiner.
i. Dapat menggunakan pikiran sebagai alat untuk merencanakan cetak
biru tindakan, bukan sebagai akal untuk menunda atau mengghindari
suatu tindakan.
j. Belajar dari kegagalan dan tidak mencari-cari alasan untuk
k. Tidak membesar-besarkan keberhasilan atau menerapkannya pada
bidang yang tidak berkaitan.
l. Mengetahui bagaimana bekerja bisa saatnya bekerja dan bermain bila
saatnya bermain.
m. Dapat mengatakan tidak dalam situasi yang membahayakan
kepentingan sendiri.
n. Dapat mengatakan ya dalam situasi yang pada akhirnya akan
menguntungkan.
o. Dapat menunjukkan amarah secara langsung bila tersinggung atau bila
hak-haknya dilanggar.
p. Dapat menunjukkan kasih sayang secara langsung dengan cara dan
takaran yang sesuai.
q. Dapat menahan sakit dan frustasi emosional bila perlu.
r. Dapat berkompromi bila menghadapi kesulitan.
s. Dapat memusatkan energy pada tujuan yang penting.
t. Menerima kenyataan bahwa hidup adalah perjuangan yang tak kunjung
berakhir.
Allport (dalam Hjelle & Zeigler, 1992: 191) ciri-ciri seseorang
yang mau menerima diri yaitu sebagai berikut :
a. Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya.
b. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi dan
c. Dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila
orang lain beri kritik.
d. Dapat mengatur keadaan emosi mereka (depresi, kemarahan).
Jadi kesimpulan karakteristik penerimaan diri dari beberapa tokoh
di atas yaitu seseorang yang mau menerima dirinya sendiri mempunyai
keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupannya,
menganggap dirinya berharga sebagai seseorang manusia yang sederajat
dengan orang lain, berani memikul tanggung jawab terhadap
perilakunya,dapat menerima pujian dan celaan secara objektif. Serta dapat
berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain
beri kritik, dapat mengatur keadaan emosi mereka (depresi, kemarahan).
Dapat menerima keadaan dirinya atau yang telah mengembangkan sikap
penerimaan terhadap keadaannya dan menghargai diri sendiri.
4. Aspek-aspek Penerimaan Diri
Sheerer (dalam Akbar Heriyadi, 2013) menyebutkan aspek-aspek
penerimaan diri, yaitu :
a. Kepercayaan atas kemampuannya untuk dapat menghadapi hidupnya.
b. Menganggap dirinya sederajat dengan orang lain.
c. Tidak menganggap dirinya sebagai orang hebat atau abnormal dan
tidak mengharapkan bahwa orang lain mengucilkannya.
b. Tidak malu-malu kucing atau serba takut dicela orang lain.
c. Mempertanggungjawabkan perbuatannya.
e. Menerima pujian atau celaan secara objektif.
f. Tidak menganiaya diri sendiri dengan kekangan-kekangan yang
berlebih-lebihan atau tidak memanfaatkan sifat-sifat yang luar biasa.
g. Menyatakan perasaannya secara wajar.
Penerimaan diri tidak berarti seseorang menerima begitu saja
kondisi diri tanpa berusaha mengembangkan diri lebih lanjut, orang yang
menerima diri berarti telah mengenali dimana dan bagaimana dirinya saat
ini, serta mempunyai keinginan untuk mengembangakan diri lebih lanjut.
Aspek-aspek penerimaan diri menurut Sheerer (dalam Hall & Lindzey,
1993: 146) sebagai berikut:
a. Perasaan sederajat
Individu merasa dirinya berharga sebagai manusia yang sederajat
dengan orang lain, sehingga individu tidak merasa sebagai orang yang
istimewa atau menyimpang dari orang lain. Individu merasa dirinya
mempunyai kelemahan dan kelebihan seperti halnya orang lain.
b. Percaya kemampuan diri meliputi individu yang mempunyai
kemampuan untuk menghadapi kehidupan. Hal ini tampak dari sikap
individu yang percaya diri, lebih suka mengembangkan sikap baiknya
dan mengeliminasi keburukannya dari pada ingin menjadi orang lain,
oleh karena itu individu puas menjadi diri sendiri.
c. Bertanggung jawab
Individu yang berani memikul tanggung jawab terhadap
menerima kritik dan menjadikannya sebagai suatu masukan yang
berharga untuk mengembangkan diri.
d. Orientasi keluar diri
Individu lebih mempunyai orientasi diri keluar dari pada ke dalam
diri, tidak malu yang menyebabkan individu lebih suka memperhatikan
dan toleran terhadap orang lain, sehingga akan mendapatkan
penerimaan sosial dari lingkungannya.
e. Berpendirian
Individu lebih suka mengikuti standarnya sendiri dari pada
bersikap Conform terhadap tekanan sosial. Individu yang mampu
menerima diri mempunyai sikap dan percaya diri yang menurut pada
tindakannya sendiri dari pada mengikuti konvensi dan standar dari
orang lain serta mempunyai ide aspirasi dan pengharapan sendiri.
f. Menyadari keterbatasan
Individu tidak menyalahkan diri akan keterbatasannya dan
mengingkari kelebihannya. Individu cenderung mempunyai panilaian
yang realistik tentang kelebihan dan kekurangannya.
g. Menerima sifat kemanusiaan
Individu tidak menyangkal impuls dan emosinya atau merasa
bersalah karenanya. Individu yang mengenali perasaan marah, takut
dan cemas tanpa menganggapnya sebagai sesuatu yang harus diingkari
Dari pendapat-pandapat tentang aspek-aspek individu yang memiliki
penerimaan diri di atas, aspek-aspek yang dikemukakan oleh Sheerer (dalam Hall
& Lindzey, 1993: 146)dapat digunakan sebagai indikator penelitian ini.
Komponen-komponen tersebut dirasa tepat untuk digunakan sebagai indikator
dalam penelitian karena aspek-aspek tersebut dianggap bisa menjelaskan ciri-ciri
yang ada dalam diri seseorang yang memiliki penerimaan diri.
5. Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri
Pada dasarnya untuk memiliki penerimaan diribukanlah sesuatu hal
yang mudah, karena individu jauh lebih mudah menerima kelebihan yang
ada pada dirinya dibandingkan bagaimana individu dapat menerima segala
kekurangan yang ada pada dirinya juga. Sikap tersebut bisa dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi diri seseorang
sehingga ia menjadi individu yang mempunyai penerimaan diri yang
rendah.
Hurlock (1978: 259) mengemukakan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam penerimaan diri adalah:
a. Aspirasi realistis
Agar remaja menerima dirinya, ia harus realistis tentang dirinya
dan tidak mempunyai ambisi yang tidak mungkin tercapai. Ini tidak
berarti bahwa mereka harus mengurangi ambisi atau menentukan
sasaran di bawah kemampuan mereka. Sebaliknya mereka harus
menetapkan sasaran yang di dalam batas kemampuan mereka,
b. Keberhasilan
Bila tujuan itu realistis, kesempatan berhasil sangat meningkat.
Lagi pula, agar siswa menerima dirinya, siswa harus mengembangkan
faktor peningkat keberhasilan ini mencakup keberanian mengambil
inisiatif dan meninggalkan kebiasaan menunggu perintah apa yang
harus dilakukan, teliti dan bersungguh-sungguh dalam apa saja yang
dilakukan, bekerja sama dan mau melakukan lebih dari semestinya.
c. Wawasan diri
Kemampuan dan kemauan menilai diri secara realistis serta
mengenal dan menerima kelemahan serta kekurangan yang dimiliki,
akan meningkatkan penerimaan diri. Tiap tahun dengan bertambahnya
usia dan pengalaman social, anak harus mampu menilai dirinya dengan
lebih akurat.
d. Wawasan sosial
Kemampuan melihat diri seperti orang lain melihat mereka
dapat menjadi suatu pedoman untuk perilaku yang memungkinkan
anak memenuhi harapan social. Sebagai kontras, perbedaan mencolok
antara pendapat orang lain dan pendapat anak tentang dirinya akan
menjurus ke perilaku yang membuat orang lain kesal dan menurunkan
penilaian orang lain tentang dirinya.
e. Konsep diri yang stabil
Bila anak melihat dirinya dengan satu cara pada satu saat dan
kadang-kadang tidak menjadi ambivalen tentang dirinya. Untuk
mencapai kestabilan seperti halnya dengan konsep diri yang
menguntungkan orang yang berarti dalam hidupnya harus menganggap
anak secara menguntungkan sebagian besar waktu. Pandangan mereka
membentuk dasar bayangan cermin anak tentang dirinya.
B. Konsep Konseling Realitas
1. Konsep Dasar Konseling Realitas
Pada dasarnya setiap individu terdorong untuk memenuhi
kebutuhan dan keinginannya, dimana kebutuhan bersifat universal pada
semua individu, sementara keinginan bersifat unik pada masing-masing
individu. Ketika seseorang dapat memenuhi apa yang diinginkan,
kebutuhan tersebut terpuaskan. Namun demikian jika apa yang diperoleh
tidak sesuai dengan keinginan, maka orang tersebut akan frustasi, dan pada
akhirnya akan terus memunculkan perilaku baru sampai keinginannya
terpuaskan. Artinya, ketika timbul perbedaan antara apa yang diinginkan
dengan apa yang diperoleh, membuat individu terus memunculkan
perilaku-perilaku yang spesifik. Menurut Gantina Komalasari, Eka
Wahyuni dan Karsih (201: 239) perilaku yang dimunculkan adalah
bertujuan dan dibentuk untuk mengatasi hambatan antara apa yang
diinginkan dengan apa yang diperoleh atau muncul karena dipilih oleh
Perilaku manusia merupakan perilaku total (Total Behavior),terdiri
dari Doing, Thinking, Feeling Dan Psysiology. Oleh karena perilaku yang
dimunculkan mempunyai tujuan dan dipilih sendiri, maka Glasser
menyebutnya dengan teori kontrol.
a. Teori Kontrol
Pemahaman terhadap realitas, menurut Glasser harus tercermin
dalam perilaku total (Total Behavior) yang mengandung empat komponen,
yaitu: berbuat (Doing), berpikir (Thinking), merasakan (Feeling), dan
menunjukkan respon-respon fisiologis (Physiology). Konsep perilaku total
membandingkan bagaimana individu berfungsi sebagai mobil berjalan,
demikian halnya keempat komponen dari total behavior tersebut
menetapkan arah hidup individu Colledge, 2002 (dalam Gantina
Komalasari, Eka Wahyuni dan Karsih, 2011: 240).
Menurut Corey (dalam Gantina Komalasari, Eka Wahyuni dan
Karsih, 2011: 240) menjelaskan bahwa secara langsung mengubah cara
kita merasakan terpisah dari apa yang kita lakukan dan pikirkan,
merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Meskipun demikian, kita
memiliki kemampuan untuk mengubah apa yang kita lakukan. Sehingga
kita memiliki kemampuan untuk mengubah apa yang kita lakukan dan
pikirkan apapun yang nanti mungkin bisa kita rasakan. Oleh karena itu,
kunci untuk mengubah suatu perilaku total terletak pada pemilihan untuk
mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan. Sementara itu, reaksi emosi
Bagaimana individu bertindak dan berpikir dianalogikan sebagai
fungsi roda depan, sedangkan perasaan dan fisiologis mewakili fungsi roda
belakang. Mesin kendaraan diibaratkan sebagai kebutuhan-kebutuhan
individu, dan setir yang dikendalikan merupakan gambaran keinginan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sebagaimana keadaan
roda empat, jelas kontrol utama berada di bagian roda depan, sehingga
tindakan dan pikiranlah yang berperan dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan individu .
Ketika seseorang berhasil memenuhi kebutuhannya, menurut
Glasser orang tersebut mencapai identitas sukses. Pencapaian identitas
sukses ini terikat pada konsep 3R, yaitu keadaan di mana individu dapat
menerima kondiri yang dihadapinya, dicapai dengan menunjukkan sesuatu
(Doing) , berpikir (Thingking), merasakan (Feeling), dan menunjukkan
respons fisiologis (Physiology) secara bertanggung jawab (Responsibility),
sesuai realitas (Reality),dan benar(Right).
b. Konsep 3R
Konsep ini dikemukakan oleh Glasser Bassin, 1976 (dalam
Gantina Komalasari, Eka Wahyuni dan Karsih, 2011: 241) sebagai berikut:
1. Responsibility (tanggung jawab) adalah kemampuan individu untuk
memenuhi kebutuhannya tanpa harus merugikan orang lain.
2. Reality (kenyataan) adalah kenyataan yang akan menjadi tantangan
bagi individu untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap individu harus
kebutuhan-kebutuhan dalam rangka mengatasi masalahnya. Realitas
yang dimaksud adalah sesuatu yang tersusun dari kenyataan yang ada
dan apa adanya.
3. Right (kebenaran) adalah merupakan ukuran atau norma-norma yang
diterima secara umum, sehingga tingkah laku dapat diperbandingkan.
Individu yang melakukan hal ini mampu mengevaluasi diri sendiri bila
melakukan sesuatu melalui perbandingan tersebut dan ia merasa
nyaman bila mampu bertingkah laku dalam tata cara yang diterima
secara umum.
Realitas merupakan rancangan yang tergolong dalam perspektif
tindakan. Berpatokan pada ide sentral bahwa individu adalah bertanggung
jawab atas tingkah laku mereka. Ide ini mendasari teori konseling yang
ditemukan oleh William Glasser (dalam Andi Mappiare AT, 2010:159).
c. Lima prinsip utama teori pilihan
Menurut Palmer (2011: 528) terdapat lima prinsip utama dalam
teori pilihan sebagai berikut:
1. Kebutuhan-kebutuhan dasar kita
Semua motivasi dan perilaku manusia dirancang untuk memenuhi satu
atau lebih dari lima kebutuhan dasar yang dibangun di dalam susunan
genetis kita, yaitu: Kelangsungan hidup, kesehatan, dan reproduksi:
termasuk semua fungsi fisiologi yang digunakan oleh tubuh dalam
kita). Termasuk juga dorongan seksual yang pada gilirannya, tentu saja,
memampukan spesies manusia untuk bertahan hidup.
a) Kelangsungan hidup, kesehatan dan reproduksi termasuk semua
fungsi fisiologi yang dilakukan oleh tubuh dalam upaya menjaga
kesehatan dan homeostasis (keseimbangan kesehatan kita).
Termasuk juga dorongan seksual yang pada gilirannya, tentunya
memampukan spesies manusia untuk bertahan hidup.
b) Cinta dan kepemilikan merupakan kebutuhan penting yang kita
punyai untuk cinta dan persahabatan, untuk berbagi dan bekerja
sama.
c) Kekuatan/harga diri arti kata lain dari kompetisi, martabat,
pemberdayaan atau kemampuan.
d) Kebebasan sebagai kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan
untuk berubah menjadi mandiri, bebas dan tak dibatasi (termasuk
memiliki ruang fisik yang cukup).
e) Kesenangan dan kegembiraan merupakan kebutuhan yang dapat
mengekspresikan bentuknya dihampir semua keinginan manusia.
Termasuk minat dan permainan yang menurut Glasser penting
untuk dipelajari.
Penting untuk ditunjukkan bahwa kebutuhan-kebutuhan di atas
tidak dalam sebuah hierarki, meskipun, tentu saja seringkali kita akan
memilih untuk memenuhi kebutuhan kelangsungan hidup kita lebih
orang-orang yang telah mengorbankan hidup mereka demi kebebasan atau
demi cinta untuk orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa tingginya
persentase orang-orang yang melakukan atau berusaha bunuh diri
menunjukkan berbagai alasan, yaitu kesepian yang menunjukkan
betapa kuatnya kebutuhan atas cinta dan kepemilikan bagi orang-orang
tersebut pada saat itu. Glasser menyatakan bahwa kebutuhan kita akan
cinta dan kepemilikan, akan kepedulian dan relasi dan keterhubungan
dengan orang lain merupakan kebutuhan yang jauh menonjol dan
mencakup bahwa semua problem jangka panjang manusia pada intinya
adalah problem relasi. Untuk alasan tersebut, dalam praktik konseling
realitas, konselor membantu konseli dalam mengeksplorasi relasi-relasi
yang signifikan (atau mungkin tiadanya relasi yang signifikan) dalam
kehidupannya mendorongnya untuk mengevaluasi semua yang sedang
dilakukannya berdasarkan aksiom teori pilihan: apakah yang sedang
saya lakukan membuat saya lebih dekat dengan orang-orang yang saya
butuhkan? Jika pilihan perilaku tidak membuat dekat, maka konselor
bekerja untuk membantu konseli mencari perilaku baru yang menuntun
mereka ke hubungan yang lebih baik.
2. Dunia berkualitas kita. Walaupun kita semua memiliki
kebutuhan-kebutuhan tersebut, kita mencoba memenuhinya dengan cara-cara
yang spesifik. Kita mengembangkan sebuah “album foto” batin atau
yang dimaksud Glasser “dunia berkualitas” kita yang berisi
kita sangat ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita. Dunia
berkualitas kita berisi gambaran-gambaran atau simbol-simbol orang,
tempat, benda, keyakinan, nilai dan ide yang penting atau spesial dan
memiliki kualitas bagi kita.
3. Frustasi merupakan pikiran antara yang diinginkan seseorang (dan oleh
karena itu disebut kebutuhan) dan yang dirasakannya didapatkan dari
lingkungannya menghasilkan perilaku-perilaku yang spesifik. Perilaku
dilihat sebagai fisiologi, pikiran, tindakan yang total atauHolisticyang
tak terpisahkan. Maka, perilaku ini memiliki tujuan yaitu, perilaku
yang dimaksudkan untuk menutup celah antara yang diinginkan
seseorang dengan yang dirasakannya diperoleh. Seringkali perilaku itu
mengalmai kesuksesan dan terkadang gagal. Keduanya merupakan
usaha terbaik seseorang untuk mencoba memenuhi keinginan untuk
kebutuhannya.
4. Perilaku total disini seperti yang ditunjukkan di atas, perbuatan,
pikiran, perasaan dan bahkan fisiologis, dipandang sebagai
komponen-komponen yang tak terpisahkan dari perilaku (total) dan dihasilkan
atau dipilih dari dalam; semua itu berasal dari keinginan/kebutuhan
yang tidak dipenuhi atau dilanggar, dan bukan dari rangsangan
eksternal. Maka, kebanyakan dari hal-hal yang disebutkan di atas
merupakan pilihan.
Glasser menggunakan analogi ‘mobil perilaku’ untuk
konseling. Idenya disini adalah bahwa setiap 4 komponen perilaku
total mewaliki 4 roda pada mobil. Dua roda di depan mewakili
tindakan pikiran, dan 2 roda di belakang mewakili perasaan dan
fisiologi. Kkita menyetir mobil perilaku kita melewati jalan kehidupan,
kita hanya menyetir mobil perilaku kita melewati jalan kehidupan, kita
hanya memiliki control langsung pada 2 ban di depan (tindakan dan
pikiran), tetapi saat kita menyetir roda-roda depan, 2 roda di
belelakang (perasaan dan fisiologi) selalu mengikuti. Dengan demikian
juga di dunia nyata, walaupun sangat sulit dan kemungkinan mustahil
untuk mengubah perasaan kita secara langsung (dan bahkan juga
fisiologi kita) secara murni dengan keinginan sendiri. Akan tetapi, kita
memiliki kemampuan yang hamper lengkap untuk mengubah tindakan
kita (yang kita lakukan), dan sejumlah kemampuan untuk mengubah
yang kita pikirkan, tidak peduli bagaimana yang kita rasakan saat itu.
Dan saat kita mengubah tindakan dan pikiran kita, perasaan-perasaan
dan fisiologi kita juga berubah.
Hal tersebut memiliki nilai praktis bagi konseling realitas yang
dari pada berbicara tanpa akhir dengan konseli mengenai perasaan
kecewa konseli (biasa berupa depresi, kemarahan, kecemasan, atau
apapun) pada sesuatu yang tak bisa dikendalikan konseli. Dengan
demikian secara realitas konseling akan secara perlahan-lahan dan
dengan sikap tegar membantu konseli untuk berfokus pada yang biasa
jauh, membantunya mengembangkan rencana untuk dilakukan ;
melakukan sesuatu yang berbeda dengan yang telah mereka lakukan
agar merasa lebih baik dan sekaligus memenuhi keinginan dan
kebutuhan dengan lebih efektif.
5. Persepsi dan realitas terkini. Bagaimana orang-orang mempersepsikan
dunia di sekitar mereka, maupun bagaimana mereka mempersepsikan
diri, tentu saja membentuk realitas mengenai dunia mereka dan dunia
mereka pada titik tersebut. Inilah realitas terkini seseorang. Memahami
persepsi konseli mengenai realitas terkini dan membantunya
mengevaluasi dan mengevaluasi kembali persepsi tersebut dipahami
oleh konseling realitas sebagai aspek yang sangat penting dalam proses
konseling. Contoh pertanyaan mengenai persepsi semacam itu yang
mungkin dinyatakan konseling realitas pada seorang konseli yang
menjalani konseling untuk problem relasi, biasa seperti ini: bagaimana
anda melihat relasi anda saat ini?menurut anda bagaimana pandangan
pasangan anda? Seperti apa sebuah relasi yang dekat dan penuh kasih
itu seharusnya? Perilaku siapa yang dapat anda kendalikan saat
mencoba memperbaiki relasi ini? Dapatkah anda mengendalikan
perilaku orang lain selain diri anda? Dan seterusnya.
Ringkasnya, teori pilihan beranggapan bahwa sumber dari
semua perilaku ada di sini dan saat ini (realitas terkini). Apa pun yang
dilakukan, dipikirkan dan dirasakan manusia itu memiliki tujuan
demikian teori pilihan menentang teori-teori Deterministic sifat dasar
manusia yang menunjukkan bahwa perilaku disebabkan oleh
rangsangan eksternal, dan teori pilihan berbeda dengan teori-teori
lainnya yang menekankan pada pengaruh masa lalu atau
konflik-konflik bawah sadar pada perilaku terkini. Meskipun demikian, hal
tersebut sama sekali tidak menunjukkan dalam konseling konseling
realitas, pengalaman masa lalu konseli (terkait dengan kebutuhannya
yang dilarang atau tidak terpenuhi di masa lalu) di pandang tidak
berhubungan atau bahwa masa lalu itu seharusnya diabaikan atau
dilupakan.
Memiliki informasi mengenai riwayat konseli memampukan
konseling realitas mengetahui jangka waktu atau luasnya problem yang
sedang dihadapi, serta waktu ketika konseli mungkin lebih sukses, atau
lebih bahagia atau lebih efektif dimasa lalu ; situasi-situasi yang bisa
dipelajari konseli dan dijadikan dasar. Konseli mungkin memiliki
riwayat yang luas mengenai kebutuhan-kebutuhan di masa lalu yang
tidak terpenuhi atau disalahgunakan, atau problem yang mungkin
disebabkan oleh beberapa pelanggaran berkepanjangan terhadap
kebutuhan-kebutuhan dimasa lalu, tetapi konseling realitas mengerti
bahwa problem atau konflik signifikan konseli adalah
kebutuhan-kebutuhan yang tetap belum terpenuhi di masa sekarang. Dan oleh
sebab itu, konseling realitas akan seperti perlahan dan dengan sikap
mengidentifikasi dan memilih perilaku yang lebih membangun
kekuatan dan lebih memuaskan kebutuhan sekarang dan di masa depan.
Yang kadang-kadang ditemukan adalah bahwa ketika seseorang
mempelajari bagaimana meraih kebutuhannya secara efektif di masa
sekarang, dampak atau pengaruh yang mungkin timbul dari
memori-memori di masa lalu mulai memudar dan ia dapat berpindah dari
kekuatan yang satu ke kekuatan yang lain, pada umumnya, perubahan
seperti itu hanya bisa diperoleh melalui tekad dan kerja keras konseli
dan dengan dukungan yang penuh kasih dan empatik dari konselor
Glasser (dalam Palmer, 2011: 528-533).
2. Ciri-ciri Konseling Realitas
Setiap pendekatan konseling memiliki karakteristik yang
berbeda-beda, baik dalam hal peran konselor dan dan konseli maupun dalam hal
proses pelaksanaan konseling itu sendiri. Seperti dalam pendekatan
konseling realitas, yang memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan
pendekatan yang lainnya. Menurut Corey (2007: 265) ciri-ciri konseling
realitas adalah sebagai berikut:
a. Konseling realitas menolak konsep tentang penyakit mental. Ia
berasumsi bahwa bentuk-bentuk gangguan tingkah laku yang spesifik
adalah akibat dari ketidakbertanggungjawaban. Pendekatan ini tidak
berurusan dengan diagnosis-diagnosis psikologi. Ia mempersamakan
dan mempersamakan kesehatan mental dengan tingkah laku yang
bertanggung jawab.
b. Konseling realitas berfokus pada tingkah laku sekarang pada
perasaan dan sikap-sikap. Meskipun tidak menganggap
perasaan-perasaan dan sikap-sikap itu tidak penting, konseling realitas
menekankan kesadaran atas tingkah laku sekarang. Konseling realitas
juga tidak bertanggung jawab pada pemahaman untuk mengubah
sikap-sikap, konseling menekankan bahwa perubahan sikap mengikuti
perubahan tingkah laku.
c. Konseling realitas berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa
lampau. Karena masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak dapat
dirubah, maka yang dapat dirubah hanyalah saat sekarang dan masa
lampau selalu dikaitkan dengan tingkah laku konseli sekarang.
Konseling mengeksplorasi segenap aspek dari kehidupan konseli
sekarang, mencakup harapan-harapan, kekuatan-kekuatan, dan
nilai-nilainya. Konseling menekankan kekuatan-kekuatan, potensi-potensi,
keberhasilan-keberhasilan, dan kualitas-kualitas yang positif dari
konseli dan hannya memperhatikan kemalangan dan gejala-gejalanya.
d. Konseling realitas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai.
Konseling realitas menempatkan pokok kepentingannya pada peran
konseli dalam kualitas tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa
yang membantu kegagalan yang dialaminya. Konseling ini
tingkah laku dan membuat beberapa ketentuan mengenai sifat-sifat
konstruktif dan destruktifnya. Jika para konseli menjadi sadar bahwa
mereka tidak akan memperoleh apa yang mereka inginkan dan bahwa
tingkah laku mereka merusak diri, maka ada kemungkinan yang nyata
untuk terjadinya perubahan positif, semata-mata karena mereka
menetapkan bahwa alternatif-alternatif bisa lebih baik dari pada gaya
mereka sekarang yang tidak realistis.
e. Konseling realitas tidak menekankan transferensi. Ia tidak memandang
konsep tradisional tentang transferensi sebagai hal yang penting. Ia
memandang transferensi sebagai suatu cara bagi konseling untuk tetap
bersembunyi sebagai pribadi. Konseling realitas menghimbau agar
para konseling menempuh cara beradanya yang sejati, yakni bahwa
mereka menjadi diri sendiri, tidak memainkan peran sebagai ayah atau
ibu konseli. Konseling bisa menjadi orang yang membantu para
konseli dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sekarang
dengan membangun suatu hubungan yang personal dan tulus.
f. Konseling realitas menekankan aspek kesadaran, bukan
aspek-aspek ketaksadaran. Konseling realitas menekankan kekeliruan yang
dilakukan oleh konseli, bagaimana tingkah laku konseli sekarang
hingga dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, dan bagaimana
dia bisa terlibat dalam suatu rencana bagi tingkah laku yang berhasil
yang berlandaskan tingkah laku yang bertanggung jawab dan realistis.
dan berpegang pada asumsi bahwa konseli akan menemukan tingkah
laku sadar yang tidak mengarahkannya pada perubahan bahwa
menekankan ketaksadaran berarti mengelak dari pokok masalah yang
menyangkut ketidakbertanggungjawaban konseli dan memaafkan
konseli atas tindakannya menghindari kenyataan. Sementara
pemahaman boleh jadi menarik, konseling realitas tidak melihat
pemahaman sebagai suatu yang esensial untuk menghasilkan
perubahan.
g. Konseling realitas menghapus hukuman. Glasser mengingatkan bahwa
pemberian hukuman guna tingkah laku tidak efektif dan bahwa
hukuman untuk kegagalan melaksanakan rencana-rencana
mengakibatkan perkuatan identitas kegagalan pada konseli dan
perusakan hubungan terapeutik. Ia menentang penggunaan
pertanyaan-pertanyaan yang mencela karena pernyataan seperti itu merupakan
hukuman, Glasser menganjurkan untuk membiaran konseli mengalami
konsekuensi-konsekuensi yang wajar dari tingkah lakunya.
h. Konseling realitas menekankan tanggung jawab. Yang oleh Glasser
didefinisikan sebagai “ kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sendiri dan melakukannya dengan cara tidak mengurangi
kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mereka”. Belajar tanggung jawab adalah proses seumur hidup.
Meskipun kita semua memiliki kebutuhan untuk mencintai dan dicintai
kemampuan bawaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Untuk
memperbaiki tingkah laku kita apabila berada di bawah standar, kita
perlu mengevaluasi tingkah laku kita. Oleh karenanya, bagian yang
esensial dari konseling realitas mencakup moral, standar-standar,
pertimbangan-pertimbangan nilai, serta benar dan selahnya tingkah
laku karena semuanya itu berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan
akan rasa berguna. Menurut Glasser, orang yang bertanggung jawab
melakukan apa-apa yang memberikan kepada dirinya perasaan diri
berguna dan perasaan bahwa dirinya berguna bagi orang lain.
Berikut adalah beberapa karakteristik yang mendasari konseling
realitas menurut pendapat Corey (2013: 338-340) ciri-ciri konseling
realitas adalah sebagai berikut:
a. Menekankan pilihan dan tanggung jawab
Jika kita memilih semua yang kita lakukan, kita harus
bertanggung jawab atas apa yang kita pilih. ini tidak berarti kita harus
disalahkan atau dihukum, kecuali kita melanggar hukum, tetapi tidak
berarti konseling seharusnya tidak pernah melupakan fakta bahwa
konseli bertanggung jawab untuk apa yang mereka lakukan. Teori
pilihan mengubah fokus dari tanggung jawab untuk pilihan dan
memilih.
konseli memiliki pilihan, untuk melakukannya membuat mereka lebih
dekat dengan orang-orang yang mereka butuhkan. misalnya, terlibat
dalam kegiatan yang berarti, seperti pekerjaan, adalah cara yang baik
untuk kembali rasa hormat dari orang lain, dan bekerja dapat
membantu konseli memenuhi kebutuhan mereka untuk kekuasaan.
sangat sulit bagi orang dewasa untuk merasa baik tentang diri mereka
sendiri jika mereka tidak terlibat dalam beberapa bentuk kegiatan yang
berarti. Sebagai konseli mulai merasa baik tentang diri mereka sendiri,
seperti kerja kurang perlu bagi mereka untuk terus memilih perilaku
destruktif yang tidak efektif dan mandiri.
b. Menolak pemindahan
Konseling realitas berusaha untuk menjadi diri mereka sendiri
dalam pekerjaan profesional mereka. Dengan menjadi diri sendiri,
konseling dapat menggunakan hubungan untuk mengajarkan konseli
cara berhubungan dengan orang lain dalam kehidupan mereka. Glasser
berpendapat bahwa transferensi adalah cara yang baik untuk konseling
dan konseli menghindari menjadi siapa mereka dan apa yang mereka
lakukan sekarang. Itu tidak realistis untuk konseling untuk pergi
bersama dengan ide bahwa siapa pun itu kecuali diri mereka sendiri.
menganggap klaim konseli, "saya melihat Anda sebagai ayah atau ibu
saya dan ini adalah mengapa aku bertingkah seperti saya". dalam
dan tegas, "saya bukan ibumu, ayah, atau siapa pun kecuali diriku
sendiri".
c. Konseling berfokus di masa sekarang
Beberapa konseli datang ke konseling yakin bahwa mereka
harus kembali masa lalu jika mereka harus dibantu. banyak model
konseling mengajarkan bahwa untuk berfungsi dengan baik pada
orang-orang yang hadir harus memahami dan kembali masa lalu
mereka. Glasser (2001) tidak setuju dengan anggapan ini dan
menyatakan bahwa kesalahan apapun yang dibuat di masa lalu tidak
relevan sekarang. Aksioma teori pilihan adalah bahwa masa lalu
mungkin telah berkontribusi untuk masalah saat ini tapi itu masa lalu
tidak pernah masalah. Untuk berfungsi secara efektif, orang harus
hidup dan rencana di masa sekarang dan mengambil langkah-langkah
untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Kita hanya bisa
memenuhi kebutuhan kita di masa sekarang.
Konseling realitas tidak benar-benar menolak masa lalu. Jika
konseli ingin berbicaratentang keberhasilan masa lalu atau hubungan
yang baik di masa lalu, konseling akan mendengarkankarena ini dapat
diulang di masa sekarang. Konseling realitas akan mencurahkan
hanyacukup waktu untuk kegagalan masa lalu untuk meyakinkan
konseli bahwa mereka tidak menolak diri mereka. Sesegera mungkin,
konseling memberitahu konseli, "Apa yang sudah terjadi; tidak
belakang, semakin kita menghindari melihat ke depan. "Meskipun
masa lalu telah mendorong kami untuk saat ini, konseling realitas
bersaingbahwa itu tidak harus menentukan masa depan kita. Kita bebas
untuk membuat pilihan, bahkanmeskipun dunia luar kita membatasi
pilihan kita Wubbolding, 2011b (dalam Corey, 2013: 339).
d. Menghindari berfokus pada gejala
Dalam konseling tradisional banyakwaktu dihabiskan berfokus
pada gejala dengan meminta konseli bagaimana mereka merasa dan
mengapa mereka terobsesi. Berfokus pada masa lalu "melindungi"
konseli dari menghadapi kenyataan tidak memuaskanhubungan ini,
dan fokus pada gejala melakukan hal yang sama.Glasser,2003 (dalam
Corey, 2013:339) berpendapat bahwa orang-orang yang memiliki
gejala percaya bahwa jika mereka bisahanya menjadi bebas gejala
mereka akan menemukan kebahagiaan. Apakah orang-orang yang
menyedihkanatau menyakitkan, mereka cenderung berpikir bahwa apa
yang mereka alami terjadike mereka. Mereka enggan menerima
kenyataan bahwa penderitaan mereka adalah karenaperilaku yang
mereka pilih. Gejala mereka dapat dilihat sebagai cara tubuh dari
memperingatkan mereka bahwa perilaku mereka yang memilih tidak
memuaskan dasar kebutuhan mereka. Konseling realitas menghabiskan
waktu sesedikit ia dapat pada gejalakarena mereka akan bertahan
hanya selama mereka dibutuhkan untuk menangani dengan
Menurut Glasser, jika konseli percaya bahwa konseling ingin
mendengar tentanggejala mereka atau menghabiskan waktu berbicara
tentang masa lalu, mereka bersediauntuk memenuhi. Terlibat dalam
perjalanan panjang ke masa lalu atau menjelajahi hasil gejaladalam
konseling yang panjang. Glasser (2005) menyatakan bahwa hampir
semua gejala yang disebabkanoleh hubungan bahagia yang hadir.
Dengan berfokus pada masalah ini, terutamakekhawatiran
interpersonal, konseling umumnya dapat dipersingkat.
e. Menantang pandangan tradisional penyakit mental
Teori Penghargaan menolak gagasan tradisional bahwa
orang-orang dengan masalah fisik dan psikologis gejala sakit mental. Glasser
(2