• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru yang Mengajar di YPAC Palemgbang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru yang Mengajar di YPAC Palemgbang."

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui Adversity Quotient yang dimiliki guru di sekolah YPAC Palembang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Responden dalam penelitian ini berjumlah 53 orang.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian adalah kuesioner. Kuesioner ini merupakan modifikasi peneliti dari Adversity Response Profile (ARP) yang dibuat oleh Paul G. Stoltz pada tahun 2000. Data tersebut diolah hingga diperoleh skor akhir, kemudian dikategorikan menjadi Adversity Quotient tinggi, sedang, atau rendah berdasarkan persentil ke 33 dan 66. Jumlah masing-masing kategori disajikan dalam bentuk persentase.

Nilai Validitas yang didapat menggunakan Rank Spearman, ditemukan 40 item yang diukur skornya, terdapat 7 item yang tidak valid, sisanya sebanyak 33 item tergolong valid.

Nilai Reliabilitas dengan Alpha Cronbach didapatkan sebesar 0.849. Berdasarkan kriteria reliabilitas Kaplan menunjukkan alat ukur ini tergolong reliabel.

Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh 37% responden termasuk kategori rendah, 34% responden termasuk kategori tinggi, dan sisanya 28.3% termasuk kategori sedang. Kesimpulan yang didapat adalah Adversity Quotient guru YPAC Palembang cenderung merata pada kategori tinggi rendah dan tinggi.

(2)

Abstract

This research study was conducted to review Adversity Quotient for special ability's school teachers which teaching in YPAC Palembang. Descriptive method used to measure the Adversity Quotients school teacher in this research. 53 teachers are being respondent in these research.

Questionnaire was the measuring instrument in this research. questionnaire was the instrument that have been modified from Adversity Response Profile (ARP) by Paul G. Stoltz on year 2000. The result from Questionnaire data until it's produce the final score, based on percentil number 33 and 66, result of categorized data could be separated into third segmentation, high, middle, and low Adversity Quotients. Each category presented in precentage form.

Validation Score used Rank Spearman, the results 7 item not valid, 33 item valid, from 40 item totally.

The result reliability score is 0.849, determined this research is reliabel, based on Kaplan criteria.

As the outcome based on processed data on this research, 34% respondent is on high category, and the rest are 28.3% on middle category. Conclusion, value of Adversity Quotients of YPAC Palembang special ability teachers is fairly distributed in high and middle category.

(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR LAMPIRAN……….... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... ……. 15

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 15

1.4 Kegunaan Penelitian ... 16

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 16

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 16

1.5 Kerangka Pemikiran... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Adversity Quotient ... 31

(4)

2.1.2 Tiga Batu Pengembangan Adversity Quotient ... 33

2.1.3 Derajat Adversity Quotient ... 36

2.1.4 Komponen-komponen Pembentuk Adversity Quotient ... 38

2.1.4.1 Ciri Individu Adversity Quotient Tinggi ... 40

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Adversity Quotient ... 41

2.1.6 Yang Diramalkan Adversity Quotient ... 43

2.17 Peran Adversity Quotient dalam Kehidupan ... 44

2.2 Teori Tentang Guru... 47

2.2.1 Pengertian Guru ... 47

2.3 Teori Tentang Sekolah ... 49

2.3.1 Sekolah yang Ramah... 49

2.4 Anak Berkebutuhan Khusus ... 50

2.4.1 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus ... 50

2.4.2 Tipe-Tipe Anak Berkebutuhan Khusus ... 51

2.5 Guru Sekolah Luar Biasa ... 56

2.5.1 Pengertian Guru SLB ... 56

2.5.2 Peran Guru SLB ... 56

2.5.3 Kompetensi Guru SLB ... 57

2.6 Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) ... 60

(5)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian ... 62

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 62

3.2.1 Variabel Penelitian ... 62

3.2.2 Definisi Operasional ... 62

3.3 Alat Ukur ... 64

3.3.1 Alat Ukur Adversity Quotient ... 64

3.3.2 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 65

3.3.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 66

3.3.3.1 Validitas Alat Ukur ... 66

3.3.3.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 67

3.4 Populasi Penelitian ... 68

3.5 Teknik Analisis Data ... 68

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 4.1 Gambaran Responden ... 69

4.2 Hasil Penelitian ... 70

4.3 Pembahasan ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 81

5.2 Saran ... 81

(6)

5.2.2 Saran Bagi Kegunaan Praktis ... 82

DAFTAR PUSTAKA……… .. 84

DAFTAR RUJUKAN……… .. 85

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur ... 64

Tabel 3.2 Skor Alat Ukur ... 65

Tabel 3.3 Kategori Skor ... 65

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 69

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Kerja ... 70

Tabel 4.3 Adverasty Quotient pada Responden ... 70

(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir ... 30

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, zaman semakin modern maka derap pembangunan di setiap sektor pun

semakin meningkat. Modernisasi yang terjadi akan berdampak pada tuntutan di berbagai aspek

kehidupan yang semakin berkembang dan setiap individu diharapkan mampu mengimbangi,

salah satunya melalui sistem pendidikan. Oleh karena itu, perkembangan sistem pendidikan di

Indonesia saat ini memacu lahirnya kurikulum belajar yang semakin disempurnakan dan tuntutan

belajar pun semakin meningkat. Hal ini membuat masyarakat mulai memberikan perhatian

khusus pada bidang pendidikan sebagai pencetak sumber daya manusia.

Dapat dikatakan bahwa guru memegang peran penting sebagai tokoh sentral dalam upaya

menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Guru dalam kaitannya sebagai subjek yang

berperan dalam dunia pendidikan, mereka harus mengemban tugas dan peranan yang sangat luas

dan berat. Guru tidak hanya sebagai pengajar tetapi juga sebagai pendidik. Sebagai pengajar,

guru memberikan pengetahuan (kognitif), sikap dan nilai (afektif), dan ketrampilan

(psikomotorik). Sementara sebagai pendidik, guru harus mendidik anak-anaknya untuk menjadi

manusia dewasa ( Gatra 8 April 1995, Rubrik Pendidikan halaman 97). Manusia dewasa yang

dimaksud adalah manusia yang mandiri dan dapat diterima dalam masyarakat nantinya. Oleh

karena itu, guru dinyatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Tugas dan peranan guru ini

bersifat universal karena semua anak didiknya mendapatkan perlakuan yang sama, meski kondisi

(10)

Kebijakan pemerintah mengenai pendidikan dituangkan dalam UUD 1945 pasal 31

tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan, baik anak normal maupun anak

dengan keterbatasan, mereka memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan. Terkait

dengan anak berkebutuhan khusus, terdapat UU no 20 tahun 2003 yang mengatur pendidikan

akan anak-anak tersebut, yakni dalam pasal 5 ayat 2 berbunyi “Warga Negara yang berkelainan

fisik, emosional, mental, intelektual, dan sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”

(Depdiknas, 2005). Pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini tentunya memberikan

tantangan tersendiri bagi para guru karena tugas yang mereka emban menjadi semakin kompleks.

Pada sekolah umum, anak dapat belajar atau menerima materi secara klasikal bersama

dengan teman-temannya dalam satu kelas. Mereka memiliki kemampuan yang sama dalam

bidang akademis sehingga mereka dapat diberi materi yang sama. Kurikulum yang diterapkan

pada siswa lebih menekankan pendidikan akademik. Aturan-aturan yang ditetapkan bersifat

global dan diperuntukkan bagi semua siswa.

Pada sekolah berkebutuhan khusus, anak-anak menuntut pembelajaran secara perorangan

dan pengulangan materi yang lebih banyak. Sekolah hanya dapat menampung jumlah murid

lebih sedikit dari sekolah umum (www.dispendik.go.id). Kurikulum yang diterapkan tidak

menekankan pada pendidikan akademik, tetapi lebih kepada ketrampilan hidup agar mereka

dapat mandiri saat bermasyarakat nantinya. Dalam proses belajar mengajar, tiap anak

membutuhkan guru pendamping yang telah menjalani jenjang pendidikan khusus untuk

mengajar. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan yang dimiliki anak baik dari segi fisik,

mental, ataupun kognitifnya. Peningkatan belajar yang dialami oleh tiap anak pun berbeda-beda

bahkan tak jarang ada anak yang tidak mengalami peingkatan sama sekali. Adanya sekolah anak

(11)

anak, sehingga aturan yang diterapkan pun lebih fleksibel dibandingkan pada sekolah umum

(www.pos-kupang.com).

Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) adalah lembaga pendidikan bagi anak-anak

berkebutuhan khusus, seperti ASD (Autistic Spectrum Disorder), down-sydrom, mental

retardation, tuna rungu, tuna daksa. Berdiri pertama kali pada tahun 1960 di kota Bandung dengan nama Yayasan Pemeliharaan Anak Cacat, kemudian pada tahun 1983 beralih nama

menjadi Yayasan Pembinaan Anak Cacat. Yayasan ini didirikan oleh Ibu Priyatnakusumah yang

berstatus sebagai istri dari bapak walikota kala itu, dan dirintis oleh Prof. Dr. Soeharso. Saat ini

YPAC telah tersebar di berbagai kota di Indonesia, salah satunya di Palembang.

YPAC memiliki visi untuk mencegah secara dini kecacatan dan membina anak cacat agar

menjadi generasi penerus yang berkualitas. Sedangkan misinya adalah mengembangkan potensi

anak cacat menuju kemandirian melalui pelayanan rehabilitas yang terpadu, memperjuangkan

kesamaan hak-hak cacat agar mencapai kesejahteraan yang sempurna. YPAC merupakan

satu-satunya sekolah terbesar di Palembang bagi anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, jumlah

murid di sekolah YPAC Palembang cukup besar. Berdasarkan data penghitungan Penyelenggara

Pendidikan Sekolah Luar Biasa provinsi Sumatera Selatan 2011, jumlah murid di YPAC tersebut

sebanyak 266 siswa. Sedangkan jumlah siswa SLB A (tuna netra) sebanyak 38 siswa, jumlah

siswa SLB B (tuna rungu wicara) sebanyak 52 siswa, jumlah siswa SLB C (tuna grahita)

sebanyak 109 siswa (www.ypacnas.or.id/ypac-daerah/ypac-palembang).

Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh terhadap guru pengajar di YPAC

Palembang, pendidikan yang diberikan tidak hanya pendidikan akademik semata tetapi lebih

pada ketrampilan hidup (life skill). Perbandingan pendidikan yang diberikan kepada anak-anak

(12)

yang diberikan agar anak-anak mampu menjalani aktivitas hidupnya sehari-hari (Activity Daily

Living) secara mandiri, tanpa harus terus bergantung pada pengasuh mereka seperti toilet training, makan sendiri, mengancing pakaian, mengenakan kaos kaki dan sepatu, menyisir rambut, mencuci pakaian dan kaos kaki. Anak-anak juga diajarkan ketrampilan sosial seperti

memberi salam dan menyapa orang lain, pendidikan moral, serta pembentukan karakter. Selain

itu, anak-anak juga dapat mengembangkan minatnya dalam berbagai bidang seni seperti

menyulam, menjahit, merangkai manik-manik, membuat anyaman, merancang dan membuat

boneka, menggambar batik dengan motif sederhana, seni pantomim, pertukangan. Semua

ketrampilan yang diberikan bertujuan sebagai bekal ketika mereka bermasyarakat. Banyaknya

ketrampilan-ketrampilan yang harus diberikan dan terbatasnya jumlah tenaga pengajar membuat

para guru dituntut untuk mempelajari berbagai ketrampilan. Para guru harus meluangkan waktu

untuk melakukan persiapan materi dan bahan pelajaran yang lebih banyak.

Pada dasarnya, tugas dan peran yang diemban oleh guru di sekolah umum dan guru di

sekolah anak berkebutuhan khusus hampir sama, yaitu menjadi pendidik dan pengajar. Namun

dalam pelaksanaannya, guru di sekolah berkebutuhan khusus memiliki tantangan tersendiri

seperti anak yang sulit diatur atau tantrum, keterbatasan kemampuan anak mengkomunikasikan

pemikiran dan perasaannya. Oleh karena itu, guru dituntut harus mengenal dan memahami

karakter setiap muridnya, mendalami pemikirian dan perasaan mereka sehingga proses mengajar

menjadi efektif. Diperlukan tingkat kesabaran yang tinggi, waktu yang cukup lama agar mampu

bersosialisasi dan memahami karakteristik tiap anak didik.

Hasil wawancara kepada guru pengajar di YPAC Palembang, diungkapkan bahwa satu

orang guru harus mengajar 5-8 anak dengan tingkat kemampuan yang berbeda-beda dalam satu

(13)

dilakukan secara individual atau dengan perbandingan antara guru dan siswa yaitu 1:2

(www.viruscerdas.com). Hal ini tentunya menjadi suatu kesulitan tersendiri bagi guru-guru yang

harus mengajar anak dalam jumlah yang kurang ideal. Disamping itu, mereka harus mengajar

anak-anak yang berkebutuhan ganda dalam satu kelas yang sama dengan anak yang

berkebutuhan tunggal. Anak berkebutuhan ganda adalah anak yang memiliki 2 atau lebih

keterbatasan, seperti mental retardation disertai autis ringan, tuna daksa disertai down-syndrom.

Situasi mengajar anak yang beragam ini tentunya menambah kesulitan bagi guru di YPAC

tersebut. Guru dituntut harus dapat membagi perhatian yang lebih kepada anak yang

berkebutuhan ganda tanpa mengabaikan anak berkebutuhan tunggal karena mereka disatukan

dalam satu kelas.

Setiap guru dituntut harus memiliki rasa peduli yang tinggi terhadap anak didik dalam

menjalani tugas dan tanggung jawabnya demi pelayanan yang terbaik ke masyarakat. Hal ini

menggambarkan usaha seorang guru dalam membimbing anak didiknya agar materi yang telah

diajarkan mampu diterapkan oleh anak dalam kehidupan bermasyarakat

(www.cae-indonesia.com).

Kesepuluh guru yang diwawancara ini menjelaskan bahwa kesulitan lain yang dihadapi

oleh mereka sebagai pengajar dan pendidik di sekolah tersebut yaitu kurangnya kerjasama pihak

keluarga terhadap perkembangan anak-anaknya. Berdasarkan wawancara kepada kepala sekolah

YPAC, guru-guru mengeluhkan bahwa orang tua anak dari status ekonomi menengah atas,

cenderung bersikap kurang peduli terhadap kondisi anak. Orang tua seringkali tidak memenuhi

panggilan dari pihak sekolah sehubungan dengan perkembangan pendidikan anaknya. Sedangkan

orang tua anak dari status ekonomi menengah ke bawah, cenderung menuntut anaknya memiliki

(14)

biaya pendidikan yang dirasakan para orang tua ini membuat mereka menuntut guru untuk

mendidik anak mereka menjadi sama seperti anak normal. Keluarga yang berasal dari status

ekonomi menengah atas maupun menengah bawah, cenderung menyerahkan sepenuhnya

pendidikan anak-anak mereka di tangan guru pengajar, tanpa ingin mengetahui proses

perkembangan anaknya. Sedangkan guru pengajar mengharapkan adanya kerjasama antara guru

di sekolah dengan orang tua atau pengasuh di rumah. Kenyataannya, keluarga sulit diberi

pengertian dan dimintai kerjasamanya dalam perkembangan penididikan anak-anaknya. Hal

tersebut tentunya memberikan tekana bagi para guru dalam mengajar.

Kesulitan lain dalam mengajar yaitu keterbatasan fasilitas, tidaktersedianya alat-alat

peraga yang seharusnya disiapkan dari pihak sekolah. Akibatnya, guru harus melakukan usaha

lebih seperti membuat alat peraga sendiri. Hal ini tentunya membutuhkan waktu dan energi

tambahan yang menuntut ide-ide kreatif guru dalam mengajar demi berlangsungnya proses

belajar yang efektif.

Untuk menghadapi kesulitan yang dihadapi guru sekolah anak berkebutuhan khusus,

diperlukan kemampuan untuk bertahan. Setiap individu dalam hidupnya tentu mempunyai

kemampuan untuk bertahan, yang disebut dengan Adversity Quotient. Menurut Stoltz (2009),

Adversity Quotient diartikan sebagai seberapa kuat individu mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan dan kemampuan mengatasinya. Hal yang terkandung dalam pengertian adversity

adalah tahan banting dan kemampuan menghadapi kesulitan. Sifat tahan banting ini terdapat

dalam diri individu dan merujuk pada kemampuan individu dalam menghadapi kondisi

kehidupan yang keras. Diharapkan dengan kemampuan adversity, guru anak berkebutuhan

khusus mampu merespon dan mengelola dengan baik berbagai tekanan yang dirasakan serta

(15)

berprestasi dan meningkatan produktivitas sebagai pengajar sekaligus pendidik anak yang

memiliki keterbatasan.

Pada kenyataannya, setiap individu memiliki reaksi yang berbeda-beda terhadap tekanan

yang dialaminya, sehingga kemampuan seseorang untuk menghadapi tekanan tersebut pun

tentunya akan berbeda-beda pula derajatnya. Stoltz (2009) membagi tiga kategori respon dari

adversity quotient terhadap tantangan dengan menggunakan analogi pendaki gunung. Jika guru pengajar di YPAC ini memiliki derajat adversity yang tinggi, maka ia tidak akan mudah putus

asa dan mampu mengendalikan emosinya ketika menemukan kesulitan-kesulitan dalam

mengajar. Guru tersebut tidak akan mudah menyerah sebelum mencapai keberhasilan yang

diharapkannya yaitu semua anak didiknya dapat menangkap materi yang disampaikan. Bila

dianalogikan dengan pendaki gunung, guru-guru ini akan terus mendaki meski menemukan

hambatan.

Kategori berikutnya, guru pengajar yang memiliki derajat adversity yang sedang. Mereka

telah bosan mendaki sehingga mereka memilih untuk berkemah saat pendakian. Guru-guru ini

cenderung mudah merasa puas atas apa yang telah ia lakukan saat mengajar anak-anak. Mereka

akan tetap melakukan usaha saat berhadapan dengan kesulitan, tetapi usaha yang mereka jalani

tidak segiat guru yang memiliki derajat adversity yang tinggi. Sedangkan kategori yang terakhir,

guru yang cenderung mudah menyerah dan putus asa saat mengalami kesulitan dalam mengajar

merupakan gambaran guru yang memiliki derajat adversity rendah. Guru-guru tersebut akan

menghentikan atau menghindari kesulitan dan lebih memilih untuk menghindari kewajibannya.

Mereka dengan derajat adversity seperti ini akan memilih untuk mundur dari pendakian. Ketika

menemukan kesulitan dalam mengajar di kelas, guru ini cenderung hanya mengeluh tanpa

(16)

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap 10 orang guru pengajar di

YPAC, diperoleh bahwa mereka mengaku dirinya mampu mengontrol keadaan kelas meski

terdapat anak yang tidak mau belajar atau tiba-tiba tantrum yang mengganggu proses belajar

mengajar. Hal ini menggambarkan dimensi kendali yang dimiliki oleh guru dalam mengajar.

Kesepuluh guru tersebut awalnya akan melakukan pendekatan dengan menanyakan apa yang

anak inginkan dan menasehati anak atas sikapnya yang kurang baik, apabila anak tetap sulit

diatur sebanyak 30% (3 orang) guru akan melakukan kesepakatan bahwa apa yang menjadi

keinginan anak akan dipenuhi setelah jam pelajaran usai jika anak dapat memenuhi apa yang

menjadi keinginan guru. Bila anak ini tetap bersikap yang sama karena keberatan diajak

membuat kesepakatan atau tidak mau memenuhi kesepakatan yang telah dibuat, maka guru akan

memberikan sanksi atau hukuman yang tegas kepada anak tersebut sehingga anak merasa jera

dan mau belajar kembali. Guru-guru tersebut menyatakan bahwa dirinya berusaha melakukan

segala cara dan segala usaha sampai anak mau belajar.

Sebanyak 20% (2 orang) guru pun awalnya akan memenuhi apa yang menjadi keinginan

anak tersebut sambil berpikir dan mencoba-coba strategi untuk menaklukkan anak agar mau

belajar. Tetapi apabila segala strategi telah gagal, guru akan membiarkan anak itu dengan

kesibukan dirinya sendiri asalkan tidak mengganggu proses belajar mengajar anak lainnya.

Sedangkan 50% (5 orang) guru lainnya bersikap melayani apa yang menjadi keinginan anak

tersebut atau memberikan kegiatan yang disukai anak tersebut sehingga anak-anak lainnya tidak

lagi terganggu dan proses belajar mengajar tetap dapat berjalan.

Sebanyak 100% (10 orang) guru mengungkapkan bahwa dirinya merasa senang dan

bangga apabila terdapat peningkatan hasil belajar pada anak-anak. Mereka memandang hal ini

(17)

belajar, sebanyak 40% (4 orang) guru akan berusaha mencari penyebab kesulitan yang dialami

anak, mengapa mereka tidak dapat menangkap materi yang telah disampaikan. Keempat orang

guru ini mengawali dengan introspeksi diri, apakah metoda mengajar yang diterapkan kurang

efektif sehingga diperlukan metoda pengajaran yang berbeda, atau penggunaan alat peraga yang

tidak tepat. Guru berusaha mencari informasi secara rutin kepada wali murid mengenai

peristiwa-peristiwa apa saja yang telah dialami anak sewaktu di luar lingkungan sekolah, apakah

telah terjadi peristiwa yang tidak menyenangkan. Melalui informasi tersebut, guru dapat

mengetahui bahwa kesulitan belajar anak mungkin disebabkan kondisi anak yang kurang baik

saat pemberian materi. Berbagai usaha yang dilakukan guru dalam mencari sumber kesulitan

belajar anak tersebut merupakan bentuk tanggung jawab guru-guru ini atas kemajuan hasil

belajar anak didiknya. Selain mencari sumber kesulitan belajar anak, guru-guru ini juga bersedia

meluangkan waktu dan energi ekstra untuk mengajarkan anak-anak didiknya yang mengalami

kesulitan belajar. Hal ini menggambarkan dimensi Origin and Ownership.

Sebanyak 20% (2 orang) guru memandang kesulitan belajar yang dialami anak didiknya

dikarenakan kurangnya kompetensi diri dalam mengajar. Mereka terpaku pada metode berulang

yang membuat proses belajar menjadi membosankan bagi anak, sedangkan anak membutuhkan

metode pengajaran yang lebih bervariasi. Selain itu kesulitan guru ini juga didukung oleh

keterbatasan fasilitas alat peraga sehingga guru dituntut kreatif dalam mengajar. Ketika terdapat

anak yang sulit menangkap materi, guru cenderung mengulang materi yang tidak dipahami oleh

anak, tetapi apabila anak tetap tidak mampu menangkap materi, maka penyampaian materi

tersebut akan diulang kembali pada esok hari dengan harapan anak dalam kondisi yang lebih

baik. Kedua guru tersebut mengatakan bahwa dirinya memiliki keterbatasan waktu apabila

(18)

kesulitan belajar, dikarenakan adanya keluarga yang juga harus ia perhatikan. Meski guru-guru

ini merasa turut bertanggung jawab atas hasil belajar anak didiknya, tetapi mereka

mengungkapkan bahwa tanggung jawab hidup anak didiknya bukanlah di tangan mereka semata,

namun wali murid pun harus turut serta dalam perkembangan anaknya.

Terdapat 40% (4 orang) guru mengungkapkan bahwa dirinya tidak terlalu menekankan

pencarian sumber kesulitan yang dialami anak, mereka lebih menekankan pada pengulangan

materi secara terus menerus apabila anak kesulitan memahami materi yang disampaikan. Jika

cara pengulangan tersebut tidak behasil, maka guru akan meminta bantuan kepada guru lain

untuk membantu menangani anak tersebut. Guru lebih menekankan pada kelebihan yang dimiliki

oleh anak dan mengembangkannya seoptimal mungkin sehingga guru lebih sering memberikan

materi yang dikuasai dan disukai anak saja agar anak tidak terlalu terasa tertekan akan pelajaran.

Akibatnya anak-anak didik ini seringkali tertinggal dalam materi tertentu. Para guru ini juga

menyatakan bahwa dirinya turut merasa senang jika anak didiknya menunjukkan kemajuan

dalam belajar, tetapi mereka berpendapat bahwa tanggung jawab pendidikan anak-anak didiknya

tidak sepenuhnya berada di tangan guru semata, terdapat pihak-pihak lain yang harus lebih

bertanggung jawab daripada mereka, yaitu keluarga atau pengasuh. Mereka hanya mengajar

sebagaimana mestinya sesuai dengan aturan yang telah ada, materi yang disampaikan sesuai

dengan kurikulum yang ditetapkan.

Guru-guru YPAC ini mengaku bahwa pekerjaan sebagai pengajar anak berkebutuhan

khusus menuntut kepedulian dan kesabaran yang luar biasa dalam mendidik. Berbekal dengan

kesabaran dan kepedulian serta kesadaran akan profesi pekerjaan yang dijalani, membuat

kesulitan dalam bekerja tidak berdampak pada aspek hidup lainnya, seperti keluarga dan rekan

(19)

Sebanyak 80% (8 orang) guru mengatakan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang tentunya

memiliki rasa kesal saat anak didiknya tidak mau belajar atau sulit diatur atau tidak mampu

menangkap materi yang telah disampaikan berulang kali, tetapi kekesalan tersebut tidak akan

berdampak pada keluarga ataupun rekan kerja. Mereka berusaha agar dirinya harus dapat

memilah dan membedakan bagaimana harus bersikap dan mengendalikan kekesalannya saat

anak sulit belajar. Bila guru sedang merasa kesal kepada salah satu anak didiknya, tidak akan

berdampak pada murid lain. Atau, jika guru sedang mengalami masalah keluarga di rumah, hal

itu tidak akan mempengaruhi dirinya ketika mengajar atau berelasi dengan rekan kerja. Mereka

mengatakan bahwa mereka menjalankan pekerjaan tersebut dengan hati yang ikhlas sehingga

mereka yakin bahwa mereka diberi kekuatan untuk dapat mengendalikan emosinya saat terjadi

masalah atau kejadian yang tidak menyenangkan selama mengajar. Sedangkan 20% (2 orang)

guru mengungkapkan bahwa kekesalan yang dialami akibat seorang murid yang berulah atau ada

masalah keluarga yang dihadapi menyebabkan mereka menjadi kurang bersemangat saat

mengajar. Meskipun guru tidak mengungkapkan kekesalannya secara verbal, tetapi guru tersebut

menjadi sensitif atau mudah marah kepada orang-orang disekitarnya.

Sebanyak 40% (4 orang) guru mengatakan bahwa dirinya memandang tekanan dalam

mengajar anak berkebutuhan khusus ini sebagai tantangan dan inilah salah satu bentuk

pengabdian guru, sehingga mereka merasa optimis dirinya mampu menghantarkan anak didiknya

ke masyarakat. Mereka mengungkapkan bahwa dirinya menjalankan semua pekerjaan tersebut

dengan ikhlas sehingga tidak akan ada kesulitan yang tidak terselesaikan. Apabila suatu kesulitan

tidak dipandang sebagai beban, maka tidak akan ada kesulitan yang berarti. Hal ini

menggambarkan dimensi ketahanan yang dimiliki oleh guru sekolah berkebutuhan khusus.

(20)

berkebutuhan khusus ini merupakan tantangan bagi dirinya. Meskipun begitu, mereka menyadari

keterbatasan diri yang mereka miliki sehingga seringkali bersikap diam dan berpasrah pada

keadaan apabila dirasa tidak mampu lagi mengatasi kesulitan yang ada.

Demikian pemamparan diatas mengenai daya tahan yang dimiliki guru sekolah anak

berkebutuhan khusus dalam menghadapi kesulitan, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai “Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru yang Mengajar di

YPAC Palembang”.

1.2 Identifikasi Masalah

Penelitian ini ingin mengetahui Derajat Adversity Quotient yang dimiliki oleh guru

YPAC Palembang.

1.3 Maksud dan Tujuan

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud Penelitian ini adalah untuk mengetahui Derajat Adversity Quotient yang terdapat

pada guru di YPAC Palembang.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dimensi Adversity Quotient yang

lebih mendalam yang dimiliki guru YPAC Palembang, dan kaitannya dengan faktor-faktor lain

(21)

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Memberi informasi mengenai Adversity Quotient pada guru sekolah anak berkebutuhan

khusus ke dalam bidang ilmu psikologi pendidikan.

2. Memberi masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai

Adversity Quotient.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberi informasi kepada kepala Yayasan YPAC mengenai Adversity Quotient yang

dimiliki para guru. Informasi ini diharapkan dapat digunakan untuk membantu kepala

sekolah dalam melakukan pelatihan seperti pelatihan mengenai pengembangan sumber daya

manusia saat menghadapi tekanan.

2. Memberi informasi pada guru-guru sekolah anak berkebutuhan khusus mengenai Adversity

Quotient yang mereka miliki, terutama guru dengan derajat adversity yang rendah, sehingga diharapkan dapat membantu mereka untuk menyadari keterbatasan diri dan membuat

keputusan lebih lanjut.

1.5 Kerangka Pemikiran

Guru yang mengajar anak berkebutuhan khusus tentunya memiliki peran, tugas dan

tanggung jawab yang berbeda dengan guru yang mengajar anak normal. Anak-anak

berkebutuhan khusus memerlukan bimbingan khusus dari para pengajar karena keterbatasan

(22)

tersendiri bagi para pengajar sehingga mereka harus membekali diri secara ekstra dalam hal

energi, perhatian, serta kesabaran agar dapat memahami anak-anak didiknya.

Untuk menghadapi tekanan yang dialami oleh para guru sekolah berkebutuhan khusus

ini, diperlukan ketahanan yang disebut dengan Adversity Quotient. Adversity Quotient adalah

derajat ketahanan guru dalam mengajar siswanya sehingga dapat menghadapi situasi sesulit

apapun, para guru dapat bertahan menghadapi hambatan-hambatan yang ada dan meningkatkan

kinerja mereka (Stoltz, 2009). Adversity Quotient mempunyai beberapa dimensi yaitu control,

origin dan ownership, reach, endurance. Dimensi-dimensi ini akan digunakan untuk mengetahui bagaimana Adversity Quotient yang dimiliki oleh para guru sekolah YPAC Palembang.

Dimensi Control merujuk pada seberapa besar kemampuan guru sekolah berkebutuhan

khusus ini menghayati dirinya memiliki kendali atas kesulitan yang dihadapi saat mengajar,

apakah dirinya mampu mengendalikan kesulitan atau tidak. Ketika terdapat murid yang tidak

mau belajar, guru yang memiliki control tinggi akan menghayati dirinya mampu mengatasi

situasi dengan bersikap tegas menegur anak didiknya atau menerapkan hukuman yang telah

disepakati agar anak dapat bersikap tenang dan tidak mengganggu proses belajar anak-anak

lainnya, kemudian guru akan mencari dan mencoba strategi pengajaran yang lain agar anak mau

kembali belajar. Sedangkan guru dengan control rendah, akan menghayati dirinya tidak mampu

menghadapi situasi diatas, mereka tetap mencoba menegur anak didiknya, namun apabila

teguran yang disampaikan tidak berhasil, maka guru akan menuruti kehendak anak dan

membiarkan anak itu sibuk sendiri. Guru hanya menunggu sampai anak ingin kembali belajar

saat anak sudah bosan dan kelelahan dengan apa yang dilakukannya. Guru tersebut merasa

bahwa anak menolak untuk belajar merupakan kejadian yang berada di luar kendalinya sehingga

(23)

guru akan kendali yang dipegang, semakin besar pula kemungkinan guru akan bertahan

menghadapi kesulitan serta mampu bersikap teguh dalam mencari pendekatan untuk

penyelesaian.

Dimensi origin berkaitan dengan kemampuan guru untuk mencari sumber kesulitan,

apakah berada pada dirinya atau diluar dirinya. Ketika terdapat anak yang mengalami kesulitan

untuk memahami materi yang telah disampaikan oleh guru, maka guru dengan dimensi origin

yang tinggi akan mencari sumber kesulitan anak, apakah kurangnya kualitas dalam mengajar

sehingga membutuhkan metoda pengajaran yang lebih kreatif atau adanya kejadian yang tidak

menyenangkan yang telah dialami oleh anak sehingga mempengaruhi konsentrasi belajar anak,

atau disebabkan oleh fasilitas belajar yang tidak mendukung. Untuk mengatasi kondisi seperti

ini, guru dengan dimensi origin yang tinggi akan belajar dari kesalahan dirinya atau kesalahan

orang lain. Guru akan introspeksi diri serta meminta umpan balik dari teman-teman seprofesi

atau meminta masukan dari orang tua anak agar dapat mengatasi kesulitan belajar yang dialami

anak. Sedangkan guru dengan aspek origin yang rendah akan menyalahkan dirinya sendiri

sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan diri karena merasa dirinya tidak mampu

menangani kesulitan yang ada. Guru akan menjadi rendah diri saat mendapati anak muridnya

yang sulit memahami materi dan merasa bahwa dirinya tidak layak menjadi seorang guru .

Sedangkan dimensi ownership berkaitan dengan kemampuan guru untuk mengambil

tanggung jawab dari kesulitan yang dialami. Apabila anak mengalami kesulitan dalam

menangkap materi yang disampaikan, maka guru yang memiliki dimensi ownership tinggi akan

menunjukkan adanya kesediaan guru untuk mencari sumber kesulitan anak. Hal ini dilakukan

oleh guru sebagai bentuk tanggung jawabnya atas perkembangan anak didiknya. Sedangkan guru

(24)

menjadi penyebab terjadinya, tanpa mengakui adanya campur tangan dirinya atas apa yang

terjadi.

Paul Stoltz (2009) menggabungkan kedua dimensi diatas yaitu dimensi origin dan

dimensi ownership. Guru yang cenderung bersikap mencari sumber penyebab terjadinya suatu

kesulitan merupakan bentuk tanggung jawab guru tersebut. Semakin tinggi Origin dan

Ownership yang dimiliki guru, membuat guru tidak akan menyalahkan orang atau hal lain dan tidak akan meninggalkan tanggung jawabnya atas suatu masalah. Guru dengan Origin dan

Ownership yang tinggi akan mengintrospeksi diri atas apa yang telah terjadi dan akan mencari penyelesaian sebagai bentuk tanggung jawab dirinya. Sedangkan guru dengan Origin dan

Ownership yang tergolong rendah, akan menunjukkan sikap yang apatis, cenderung menyalahkan faktor eksternal, dan menolak untuk bertanggung jawab. Guru yang tergolong

memiliki Adversity Quotient yang tinggi pada kedua dimensi ini akan lebih unggul dalam hal

kemampuan untuk belajar dari kesalahan-kesalahan daripada guru yang memiliki Adversity

Quotient yang tergolong rendah. Guru ini pun cenderung mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan tanpa mengingat penyebabnya. Rasa tanggung jawab semacam ini memaksa para

guru untuk bertindak mencari penyelesaian atas masalah atau kesulitan yang terjadi.

Dimensi berikutnya adalah dimensi reach. Dimensi ini berkaitan dengan seberapa besar

kemampuan guru untuk membatasi jangkauan masalah, hanya terbatas pada masalah tertentu

atau meluas ke masalah lainnya. Pada saat guru merasa kesal kepada salah satu anak karena

lambat dalam menangkap materi sehingga menghambat proses belajar satu kelas, apakah guru ini

akan menjadi pemarah pula kepada murid lain atau guru lainnya atau keluarga di rumah. Guru

yang memiliki dimensi reach rendah akan mudah terpengaruh sikapnya oleh hal-hal yang tidak

(25)

reach tinggi akan membuat guru berpandangan bahwa kesulitan mengajar merupakan hal yang wajar dan memang inilah resiko apabila mengajar anak berkebutuhan khusus sehingga hal

tersebut tidak akan membawa dampak pada pihak lain seperti anak-anak didik lainnya dalam

kelas.

Kemudian dimensi lainnya adalah endurance. Dimensi ini membahas kemampuan guru

memandang kesulitan yang dihadapi bersifat sementara atau selamanya. Guru yang memiliki

tingkat endurance tinggi akan berpandangan bahwa mengajar anak yang memiliki keterbatasan

merupakan tantangan bagi dirinya sehingga kesulitan-kesulitan yang terjadi pun akan berlalu

dengan cepat karena tidak dipandang sebagai suatu beban. Hal ini meningkatkan energi guru

dan rasa optimisme dalam menjalankan profesinya sebagai guru di sekolah anak berkebutuhan

khusus. Apabila guru mengalami kesulitan menyampaikan materi, maka guru yang memiliki

tingkat endurance tinggi akan mencari metoda pengajaran lain yang lebih tepat agar dapat

dipahami oleh anak didiknya. Guru tidak akan menyerah begitu saja dan terus berusaha sampai

anak-anak dapat memahami materi yang ingin disampaikan. Sedangkan guru dengan dimensi

endurance rendah akan memandang kesulitan tersebut sebagai beban dan berlangsung dalam waktu yang lama sehingga guru telah kehilangan energinya dan guru pesimis. Guru tersebut

berpandangan bahwa murid-muridnya tidak akan mampu memahami materi, meski dirinya terus

mencari cara dan strategi. Guru dengan endurance yang rendah cenderung bersikap mudah

menyerah dan putus asa saat berhadapan dengan kesulitan yang ada.

Guru yang memiliki Adversity Quotient yang tergolong tinggi, umumnya memiliki

keempat dimensi yang tergolong tinggi; atau salah satu dimensi yang tergolong sedang dan

ketiga dimensi lainnya tergolong tinggi. Guru cenderung bersikap tidak mudah putus asa saat

(26)

mampu mengendalikan situasi belajar sehingga semua anak dalam kelas akan fokus pada materi

yang disampaikan. Apabila guru menghadapi murid yang kesulitan menangkap materi yang

dijelaskan, guru akan berusaha mencari sumber kesulitan anak, setelah mendapatkan

penyebabnya, guru berusaha mencari pendekatan belajar yang sesuai dengan anak agar proses

belajar terbantu. Hal ini dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab guru atas perkembangan anak

didiknya. Setiap kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para guru yang berkaitan dengan

profesinya sebagai staff pengajar anak berkebutuhan khusus, ia rasa dapat dilalui dengan cepat

karena guru ini mempersepsi kesulitan yang dihadapinya merupakan tantangan. Hal ini

meningkatkan energi dalam dirinya dan memicu semangat dalam bekerja.

Guru yang memiliki Adversity Quotient yang tergolong sedang, umumnya memiliki dua

dimensi yang tergolong tinggi dan dua dimensi lainnya yang tergolong sedang; atau satu dimensi

yang tergolong rendah, satu dimensi yang tergolong tinggi, dan dua dimensi lainnya tergolong

sedang; atau keempat dimensinya yang tergolong sedang. Saat guru ini menghadapi murid yang

menolak untuk belajar, mereka menghayati diri bahwa mereka masih mampu memegang kendali

keadaan kelas dengan cara bersikap tegas kepada murid tersebut agar mau kembali mengikuti

proses belajar. Tetapi apabila murid ini tetap menolak, maka guru cenderung kesulitan

mempertahankan kendalinya sehingga murid akan dibiarkan melakukan apa yang ia kehendaki.

Guru mempunyai rasa bertanggung jawab atas perkembangan anak didiknya, terutama anak

didiknya yang mengalami kesulitan untuk menangkap materi. Guru akan berusaha mencari

penyebab yang timbul dari kesulitan anak, tetapi hanya terbatas pada penyebab kesulitan saja dan

cenderung enggan memberikan kontribusi yang lebih banyak atas kesulitan anak tersebut. Guru

memandang kesulitan mengajar yang dirasakannya merupakan suatu beban dan mempersepsikan

(27)

yang kurang baik. Akibatnya guru menjadi kehilangan energi dan semangat saat mengajar, serta

tindakannya untuk pemecahan kesulitan pun bersifat destruktif. Tetapi, ketika guru dalam

kondisi emosi yang cukup baik, kesulitan saat mengajar dihayati sebagai tantangan dan dirasa

berlangsung dengan cepat. Hal ini tentunya menimbulkan semangat bagi guru sehingga

pemecahan kesulitan pun bersifat konstruktif.

Guru yang memiliki Adversity Quotient yang rendah, umumnya memiliki keempat

dimensi yang tergolong rendah, atau salah satu dimensi yang tergolong sedang dan ketiga

dimensi lainnya tergolong rendah. Guru memegang porsi kendali yang kecil dalam menghadapi

anak-anak yang menolak untuk belajar, mereka hanya menegur dan membiarkan anak

melakukan yang dikehendaki jika tegurannya tidak didengarkan, dan guru akan meneruskan

kembali kegiatan mengajar hanya kepada murid-murid yang bersedia belajar. Guru memandang

kesulitan anak dalam belajar berada di luar kendali dirinya. Guru hanya menjalankan tugasnya,

yaitu mengajar sehingga dirinya tidak merasa harus bertanggung jawab atas perkembangan anak

didik yang tidak bersedia diajar olehnya. Saat merespon kesulitan dalam mengajar, guru ini

cenderung mudah menyerah dan berpasrah pada keadaan. Setiap kesulitan yang dihadapi oleh

guru, dipersepsikan oleh dirinya sebagai suatu beban yang berlangsung lama. Oleh karena itu,

guru menunjukkan perilaku yang pasif, menghayati diri memiliki kendali yang terbatas, tidak

bersemangat, bahkan apatis saat menemukan murid yang sulit untuk belajar. Perilaku ini sebagai

akibat dari hilangnya harapan akan kemampuan diri untuk bertindak melawan kesulitan yang

dihadapi.

Menurut Paul G.Stolz (2009), setiap dimensi berperan penting dalam menentukan derajat

(28)

menentukan derajat Adversity Quotient. Guru yang memiliki dimensi-dimensi yang cenderung

tinggi, tetapi memiliki karakter yang kurang bijaksana, tentunya akan mempengaruhi derajat

Adversity Quotient guru tersebut. Guru yang memiliki karakter yang kurang mendukung seperti sulit berlaku adil kepada setiap anak didiknya, misalkan anak didik yang berasal dari keluarga

menengah keatas lebih diperhatikan oleh guru yang dibanding anak didik yang berasal dari

keluarga menengah kebawah karena guru merasa lebih bertanggung jawab atas perkembangan

anak didik tersebut. Karakter guru yang seperti ini berpengaruh pada dimensi yang dimiliki guru,

dan secara langsung akan berpengaruh pula pada derajat Adversity Quotient.

Selain dimensi-dimensi penentu Adversity Quotient, terdapat pula faktor-faktor yang turut

mempengaruhi, diantaranya faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah kinerja

dan pendidikan. Faktor kinerja merupakan faktor terluar yang paling tampak dan paling mudah

dievaluasi. Kinerja yang dimaksud ialah performa yang ditampilkan oleh guru sekolah

berkebutuhan khusus dalam mengajar anak didiknya. Guru yang memiliki kinerja yang baik akan

memunculkan performa seperti aktif mencari metoda pengajaran yang mendukung proses belajar

mengajar, aktif mempelajari perkembangan anak didiknya atau mencari pengetahuan

sehubungan dengan kekurangan yang dimiliki oleh anak didik, menerima masukan dan keluhan

dari orang tua dan kepala sekolah perihal kemajuan anak didiknya yang menurun. Untuk

mencapai atau mempertahankan kinerja yang baik, guru dituntut untuk memiliki derajat

Adversity Quotient yang tinggi saat menghadapi kesulitan dalam mengajar anak-anak YPAC. Guru tersebut cenderung menampilkan performa yang aktif dalam memperhatikan

perkembangan anak didiknya, hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak usaha yang

(29)

memiliki kinerja buruk, cenderung memiliki Adversity Quotient yang rendah karena usaha yang

mereka keluarkan tidak sekeras guru yang memiliki performa kerja yang aktif.

Faktor eskternal lainnya adalah pendidikan. Pendidikan yang dimiliki oleh guru akan

mempengaruhi pola berpikir, pembentukan kebiasaan mengajar yang efektif, perkembangan

watak guru, ketrampilan mengajar, hasrat atau keinginan untuk mencapai kesuksesan, dan

kinerja yang dihasilkan. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki oleh guru, maka

semakin baik pola berpikir guru tersebut, sehingga mereka lebih mampu memandang berbagai

kemungkinan alternatif cara pemecahan masalah yang lebih beragam dan inovatif. Sedangkan

guru dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung terfokus pada satu cara pemecahan

masalah dan sulit melihat beragam alternatif. Hal ini menyebabkan mereka cenderung putus asa

saat menghadapi kesulitan karena terasa berat untuk melewatinya. Semakin tinggi pendidikan

guru, maka pemecahan masalah dalam menghadapi kesulitan pun akan semakin baik, sehingga

derajat Adversity Quotient yang dimiliki guru tersebut pun semakin tinggi.

Sedangkan yang termasuk faktor internal adalah bakat dan kemauan, kecerdasan,

kesehatan emosi dan fisik, karakter, keyakinan diri. Faktor bakat dan kemauan yang dimiliki oleh

guru akan mendorong sikap untuk lebih siap dan sabar menghadapi anak didiknya yang memiliki

keterbatasan. Faktor ini menggambarkan bagaimana motivasi, antusiasme, gairah, dorongan,

ambisi, serta semangat yang ada pada diri individu ketika berhadapan dengan kesulitan. Semakin

tinggi bakat dan kemauan guru dalam mendidik, khususnya anak berkebutuhan khusus, akan

menimbulkan motivasi atau antusiasme guru saat mengajar. Hal ini menyebabkan semakin

tingginya Adversity Quotient guru dalam menghadapi anak-anak didiknya. Guru dengan bakat

(30)

rendah pula, sehingga mereka akan lebih mudah menyerah saat mengahadapi kesulitan waktu

mengajar.

Faktor eksternal lainnya adalah kecerdasan. Faktor kecerdasan akan mendukung

pengembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki guru dalam mengatasi kesulitan-kesulitan

mengajar anak yang memiliki keterbatasan, seperti metoda pengajaran yang kreatif dan efektif.

Guru diharapkan memiliki taraf kecerdasan yang normal agar guru dapat mengembangkan

pengetahuannya. Banyaknya ilmu pengetahuan yang dimiliki khususnya bidang yang ditekuni

yaitu anak berkebutuhan khusus, menjadikan guru lebih memahami anak didiknya sehingga guru

akan lebih siap saat menghadapi kesulitan dalam mengajar, dibandingkan guru yang memiliki

pengetahuan yang minim mengenai anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, semakin baik

kecerdasaan yang dimiliki oleh guru, semakin baik pula penanganan guru terhadap anak

didiknya, sehingga akan berdampak pada Adversity Quotient dalam mengajar anak-anak

berkebutuhan khusus. Guru yang memiliki taraf kecerdasan rendah cenderung enggan untuk

mengembangkan pengetahuannya, sehingga mereka kerap mengalami kesulitan saat menangani

anak-anak didiknya dan berdampak pada sikap putus asa. Hal ini membawa dampak pada derajat

Adversity Quotient yang rendah.

Faktor kesehatan fisik dan emosi juga mempengaruhi derajat Adversity Quotient pada

guru yang mengajar. Ketika guru yang mengajar mengalami kondisi fisik yang tidak sehat atau

sakit, maka kondisi fisik sepeti ini akan berpengaruh pada keadaan emosi guru, akibatnya

ketahanan guru tersebut dalam menghadapi masalah mengajar di kelas menjadi terbatas. Guru

yang memiliki kesehatan fisik dan emosi yang baik akan membawa dampak pada kemampuan

untuk bertahan dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Saat menghadapi siswa yang kesulitan

(31)

pemecahan masalah yang lebih baik seperti mencari metoda pengajaran yang lebih kreatif agar

anak dapat menyerap materi yang disampaikan atau mencari sumber kesulitan anak.

Faktor karakter seperti kejujuran, keadilan, kebijaksanaan, kebaikan, keberanian, dan

kesediaan untuk menolong menjadi hal yang penting dalam meraih kesuksesan saat menghadapi

kesulitan. Guru yang memiliki kesediaan untuk menolong akan bersedia meluangkan waktu dan

energi ekstra bagi anak-anak didiknya sehingga guru dapat memahami anak-anak didiknya

dengan lebih baik dan kesulitan-kesulitan dalam mengajar pun lebih teratasi. Semakin baik

karakter yang dimiliki oleh guru, maka semakin tinggi Adversity Quotient guru saat menghadapi

kesulitan dalam mengajar. Guru yang memiliki karakter yang buruk cenderung bersikap kurang

peduli mengenai karakteristik anak-anak didiknya sehingga mereka kurang mengenal dan

memahami anak didiknya, dan saat menghadapi kesulitan mengajar, guru kurang mampu

mengatasi kesulitan-kesulitan dan berdampak pada sikap mudah menyerah.

Faktor lainnya yang mempengaruhi derajat Adversity Quotient adalah keyakinan diri.

Dalam faktor keyakinan diri terdapat unsur harapan, tindakan, moralitas, kontribusi diri dalam

memperlakukan orang lain. Guru yang memiliki keyakinan diri yang tinggi akan memiliki

harapan yang tinggi pula akan kemampuan dirinya untuk mengatasi masalah yang dialami

sehingga ia akan mengeluarkan usaha lebih dan berusaha bertahan dalam keadaan sulit tersebut.

Oleh sebab itu, semakin tinggi keyakinan diri guru maka semakin tinggi pula Adversity Quotient

guru dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi. Guru yang memiliki keyakinan diri yang rendah

akan merasa bahwa dirinya hanya memegang kontribusi yang kecil dalam kemajuan belajar anak

didiknya sehingga usaha yang mereka keluarkan hanya seadanya. Guru ini tidak merasa yakin

dirinya mampu mendidik siswa-siswanya sehingga harapan mereka akan peningkatan siswanya

(32)

kontribusi pihak lain. Hal ini berpengaruh pada derajat Adversity Quotient yang rendah karena

usaha guru yang minim dan mudah menyerah saat menghadapi kesulitan mengajar.

Kesemua faktor-faktor yang mempengaruhi ini akan berdampak pada tinggi-rendahnya

derajat Adversity Quotient seseorang. Semakin tinggi derajat Adversity Quotient individu maka

(33)

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Guru YPAC

Palembang

Faktor Internal :

- Bakat dan Kemauan

- Kecerdasan

- Kesehatan Emosi dan Fisik

- Karakter

- Keyakinan Diri

Faktor Eksternal :

- Kinerja

- Pendidikan

-

ADVERSITY QUOTIENT

Aspek :

1. Control

2. Origin

O2

3. Ownership

4. Reach

5. Endurance

Sedang

(34)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap guru YPAC Palembang, dapat

ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Guru YPAC Palembang memiliki Adversity Quotient yang cenderung merata yang

tergolong rendah dan yang tergolong tinggi. Sisanya memiliki Adversity Quotient yang

tergolong sedang.

2. Pada kelompok guru YPAC Palembang dengan Adversity Quotient rendah, lebih dari

setengah memiliki dimensi reach yang tergolong rendah.

3. Guru dengan Adversity Quotient sedang, lebih dari setengah memiliki dimensi origin and

ownership yang tinggi.

4. Pada kelompok guru dengan Adversity Quotient tinggi, lebih dari setengah memiliki

dimensi control dan dimensi reach yang tinggi.

5. Adanya keterkaitan Adversity Quotient pada guru-guru YPAC Palembang dengan

lamanya bekerja dan juga jenis kelamin.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian, terdapat beberapa saran sebagai berikut:

5.2.1 Saran Bagi Penelitian Lanjutan

1. Penelitian selanjutnya diharapkan melakukan penelitian yang lebih lanjut terhadap

faktor-faktor yang mempengaruhi dengan lebih rinci guna mengetahui gambaran

pengaruh faktor-faktor tersebut dengan lebih mendalam terhadap pembentukan

Adversity Quotient pada individu.

2. Penelitian ini mendeskripsikan Adversity Quotient berikut dimensi-dimensi yang

membentuknya. Disarankan bagi penelitian lanjutan untuk meneliti kontribusi

dimensi-dimensi pembentuk Adversity Quotient dengan sampel yang berbeda, guna mengetahui

(35)

5.2.2 Saran Bagi Kegunaan Praktis

1. Diharapkan kepala Yayasan YPAC untuk mengadakan pelatihan dan penyuluhan bagi

guru-guru dengan Adversity Quotient rendah guna meningkatkan Adversity Quotient

yang mereka miliki sehingga dapat meningkatkan kinerja para guru menjadi lebih baik

lagi.

2. Diharapkan kepala Yayasan YPAC untuk memberikan motivasi dalam bentuk insentif

penghargaan atau bentuk lainnya bagi guru-guru dengan Adversity Quotient sedang

untuk menghasilkan suatu prestasi agar meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja

sebagai seorang guru di YPAC Palembang.

3. Diharapkan kepala Yayasan YPAC untuk menghimbau guru-guru dengan Adversity

(36)

PADA GURU YANG MENGAJAR DI YPAC

PALEMBANG

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana pada Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha

Oleh:

MIRINNA

NRP : 0733002

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG

(37)
(38)
(39)

Puji Syukur atas rahmat dan karunia yang Tuhan berikan sehingga penulis

dapat menyelesaikan outline penelitian ini.

Outline skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi program studi di Fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha dengan judul ”Studi Deskriptif Mengenai

Adversity Quotient pada Guru di YPAC Palembang”. Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekeliruan dan kekurangan dalam outline penelitian ini. Untuk itu,

peneliti terbuka terhadap segala saran dan kritik yang dapat membantu

penyempurnaan outline penelitian ini.

Penelitian ini tentunya tidak mungkin terselesaikan bila tidak ada pihak-pihak

yang memberikan bantuannya kepada saya. Oleh karena itu dalam kesempatan yang

ada, mengucapkan terima kasih kepada:

1. Keluarga, khususnya orang tua saya yang telah mendukung saya dengan berbagai

fasilitas yang saya butuhkan.

2. Dra. Sumiarti S., Psik. selaku pembimbing utama. Terima kasih sebesar-besarnya

atas antusiasme, bimbingan, dan juga kesabarannya dalam proses penyusunan

outline penelitian ini. Terima kasih telah menyediakan waktu, tenaga, dan

perhatian yang telah diberikan.

3. Ka Yan, M.Psi., Psik. Selaku pembimbing pendamping. Terima kasih banyak

atas kesediaan waktu, tenaga, dan perhatiannya selama proses bimbingan hingga

terselesaikannya outline penelitian ini.

4. Sekolah YPAC Palembang terutama segenap guru-guru, selaku responden

penelitian, telah bersedia menyediakan waktu dan data yang saya butuhkan

(40)

5. Teman-teman saya yang selalu memberikan semangat dan dukungan untuk

menngingatkan prioritas yang harus saya selesaikan.

Akhir kata peneliti mengucapkan selamat membaca dan berharap semoga

outline ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bandung, Mei 2014

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi Alsa.2007.Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi.Yogyakarta:Pustaka Relajar.

Depdiknas.2005.Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.

Disdik Prov Jabar.2008.Kegiatan Pengembangan Kurikulum Pembelajaran dan Sistem Penilaian SLB Prov Jabar.

Lasmono, H.2001.Tinjauan Singkat Adversity Quotient.Anima Indonesian

Psychology Journal,17,1,63-68

Nazir,Moh.2003.Metodologi Penelitian Jakarta:Ghalia Indonesia.

Republik Indonesia.2003.Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Sekretariat Negara.

Stoltz,Paul.2009.Adversity Quotient.Jakarta:PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sugiono,Prof. Dr.2004.Statistik Nonparametrik Untuk Penelitian.Bandung:CV Alfabeto.

Saifuddin Azwar.2008.Penyusunan Skala Psikologi.Yogyakarta:Pustaka Relajar.

(42)

DAFTAR RUJUKAN

Diana,Nida’U.2008.Studi Deskriptif Tentang Adversity Quotient pada Siswa Kelas

Akselerasi di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 di Kota

Madang.Skripsi.Malang:Psikologi Universitas Islam Negeri Madang.

Febyanti,Riza.2003.Hubungan Antara Adversity Quotient dengan Tingkat Stress Verja pada Guru SD Negeri.Skripsi.Yogyakarta:Psikologi Universitas Islam Indonesia.

Mulyadi & Mufita.2006.Pengaruh AQ dan EQ terhadap Kecemasan Persaingan Kerja.Psikoislamika; Jornal Psikologi dan Keislaman vol 3/No. 1/ Januari 2006

Samantha,Jane.2008.Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Pembantu Rumah Tangga Usia Remaja di Perumahan “X” di Kota Bandung.Metode Penelitian Lanjutan.Bandung:Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Setya,Wati.2005.Hubungan Antara Adversity Quotient dengan Stress Siwa dalam Mengikuti Kurikulum Berbasis Kompetensi.Skripsi.FKIP:Universitas Ahmad Dahlan.

Jawa Pos.8 April 1995.Rubrik Pendidikan,hlm.97.

ypacnas.or.id/ypac-daerah/ypac-palembang.com.Diunduh November 2012.

http://11006nh.blogspot.com/2012/04/pendidikan-anak-berkebutuhan-khusus.html.Diunduh September 2013.

Gambar

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur ........................................................................
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

[r]

menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN DAN KREATIVITAS GURU DALAM MENGAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR SEJARAH

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengapa Prinsip Publisitas diperlukan dalam Jaminan Fidusia, apakah norma yang mengatur tentang pendaftaran

Tarigan dalam bukunya Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa juga mengemukakan bahwa menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang digunakan untuk

15.1 Regulasi/legislasi keselamatan, kesehatan dan lingkungan yang spesifik bahan atau campuran Tidak ada informasi tambahan.

Sifat- sifat ini hendaknya jelas sehingga tidak ada keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan nantiantarapembeli kedua belah pihak (sipenjual dan

carboxymethyl cellulose dan baking powder yang telah direbus dapat dilihat pada Tabel. Semua nilai yang dicantumkan adalah nilai rata-rata ±

Berdasarkan hasil dari analisis data penelitian ini, ditunjukan bahwa tidak ada hubungan antara merk insektisida rumah tangga yang digunakan terhadap ada tidaknya larva pada