i
BAB II. PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH, PENGUASAAN KONSEP, SIKAP ILMIAH, DAN KEMAMPUAN BERTANYA SISWA. A. Pembelajaran Berbasis Masalah... 10
1. Ciri-ciri Pembelajaran Berbasis Masalah... 13
2. Tujuan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Hasil Belajar... 15
3. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah... 15
4. Lingkungan Belajar... 19
5. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Berbasis Masalah... 21
B. Penguasaan Konsep... 22
F. Pembelajaran Keanekaragaman Hayati di Sekolah Menengah Atas (SMA)... 31
G. Penelitian yang Relevan……….. 34
ii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN... 53 DalamMenerapkan Pembelajaran Berbasis Masalah……….... 67
g. Hasil pengamatan langsung……..………... 69
4. Tanggapan Siswa terhadap Pembelajaran Berbasis Masalah….. 78
5. Kendala-kendala yang dihadapi Guru dalam Menerapkan Pembelajaran Berbasis Masalah……….. 79
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……….. 82
iii
C. Implikasi……….. 84
DAFTAR PUSTAKA... 90
LAMPIRAN – LAMPIRAN 1. INSTRUMEN PENELITIAN... .. 94
A. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran... ... 94
B. Lembar Kerja Siswa... ... 112
C. Kisi-kisi Penguasaan Konsep... .... 117
D. Kisi-kisi Sikap ilmiah... .... 124
E. Tabel validitas,Reliabilitas,Indek Kesukaran dan Daya Pembeda... ... 139
2. DATA HASIL PENELITIAN... 143
A. Skor Pre-Post tes Penguasaan konsep siswa... ... 143
B. Ketuntasan Belajar... ... 147
C. Hasil Pembobotan Skor Uji Anates... ... 149
D. Denah Kelas Eksperimen... ... 162
iv DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah... 17
Tabel 2.2 Tabel KND ( Know Need Do )……….. 20
Table 3.1 Desain Penelitian... 38
Tabel 3.4 Rekapitulasi Hasil Uji Coba Item Pertanyaan Instrumen... 46
Tabel.3.5 Kategori Reliabilitas Butir soal... 47
Tabel 3.6 Reliabilitas……….. 48
Tabel 3.8 Kategori Daya Pembeda... 49
Tabel 3.10 Tehnik Pengumpulan Data... 50
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Skor Tes Kemampuan Penguasaan Konsep…… 54
Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Proporsi Skor Tes Kemampuan Penguasaan Konsep………. 54
Tabel 4.3 N-Gain pada Setiap Indikator Penguasaan Konsep... 56
Tabel 4.4 Ketuntasan belajar Penguasaan Konsep... 57
Tabel 4.5 Kemampuan bertanya siswa……… 61
Tabel 4.6 Tanggapan Guru terhadap Pembelajaran berbasis Masalah... 67
v DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Bagan Alur Penelitian... 44 Gambar 4.1 Diagram Batang Proporsi Skor Kemampuan Penguasaan
Konsep……… 55 Gambar 4.2 Sikap Ilmiah Siswa Berupa Sikap Ingin Tahu Terhadap
PembelajaranBerbasis Masalah... 58 Gambar 4.3 Sikap Ilmiah Siswa Berupa Peduli Lingkungan Terhadap
Pembelajaran Berbasis Masalah……….. 59 Gambar 4.4 Tanggapan Siswa Terhadap Pembelajaran Berbasis Masalah……. 63 Gambar 4.5 Motivasi belajar siswa tentang Pembelajaran Berbasis Masalah... 64 Gambar 4.6 Kesukaan belajar siswa tentang Pembelajaran Berbasis
Masalah pada materi Keanekaragaman Hayati……….. 65 Gambar 4.7 Minat Belajar Siswa Dalam Mempelajari
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Penguasaan ilmu-ilmu dasar (basic science) pada siswa, khususnya Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA), merupakan pondasi bagi ilmu pengetahuan dan
teknologi pada masa yang akan datang. Namun di sisi lain matapelajaran IPA
sering dianggap sebagai materi sulit dan mejadi hal yang menakutkan bagi
sebagian siswa, bahkan sebagian guru. Pembelajaran siswa disekolah kemudian
sekedar menjadi kewajiban menjalankan kurikulum, kehilangan daya tariknya dan
lepas relevansinya dengan dunia nyata yang seharusnya menjadi objek ilmu
pengetahuan tersebut (Depdiknas, 2003).
Sejauh ini pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh pandangan
bahwa pengetahuan sebagai kerangka fakta-fakta yang harus dihafalkan. Kelas
masih terfokus kepada guru sebagai sumber pengetahuan, kemudian ceramah
menjadi pilihan utama strategi mengajar (Depdiknas, 2003). Susanto (2002)
mengemukakan bahwa belum adanya peningkatan mutu pendidikan Education
Response Alliance (ERA) ada hubungannya dengan belum terpecahkannya
masalah-masalah yang ada dalam pembelajaran IPA. Menurut Susanto (2002)
terdapat tiga permasalahan dalam pembelajaran IPA. Pertama, pendidikan sains
masih berorientasi hanya pada produk pengetahuan, kurang berorientasi pada
proses sains. Kedua, pengajaran sains hanya mencurahkan pengetahuan, dalam hal
2 tanya jawab, atau diskusi tanpa didasarkan pada hasil kerja praktek. Ketiga,
pengajaran sains berfokus pada menjawab pertanyaan, guru cenderung untuk
menggunakan metode tanya-jawab, sementara jawaban yang "harus"
dikemukakan adalah fakta, konsep, dan prinsip baku yang telah diajarkan guru
atau tertulis dalam buku ajar. Seharusnya siswa menggali masalah sendiri dan
menemukan jawaban atas masalahnya melalui pengamatan atau percobaan.
Akinoglu & Tandagon (2006) mengemukakan bahwa yang diharapkan dari
pendidikan adalah membentuk individu-individu untuk menjadi pemecah masalah
yang efektif dalam kehidupannya.
Dalam kurikulum berbasis kompetensi salah satu tujuan mata pelajaran
biologi adalah mengembangkan kepekaan nalar untuk memecahkan masalah yang
berkaitan dengan proses kehidupan dalam kejadian sehari-hari (Depdiknas, 2003).
Beberapa alasan mengenai mengapa pembelajaran berbasis masalah perlu
dikembangkan, menurut Sanjaya (2006 dalam Nurhasnah:2007) Pertama dilihat
dari aspek psikologi belajar, pembelajaran berbasis masalah berdasarkan kepada
psikologi kognitif yang berangkat dari asumsi bahwa belajar adalah proses
perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman. Belajar bukan semata-mata
proses menghafal sejumlah fakta, tetapi suatu proses interaksi secara sadar antara
individu dengan lingkungannya. Melalui pembelajaran berbasis masalah
perkembangan siswa tidak hanya terjadi pada aspek kognitif saja tetapi juga pada
aspek afektif dan psikomotor melalui penghayatan secara internal akan masalah
yang dihadapi. Kedua dilihat dari aspek filosofis tentang fungsi sekolah sebagai
3 masyarakat, maka pembelajaran berbasis masalah sangat penting dikembangkan
dalam rangka memberikan latihan dan kemampuan setiap individu untuk dapat
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Ketiga dilihat dari konteks perbaikan
kualitas pendidikan, pembelajaran berbasis masalah dapat digunakan untuk
memperbaiki sistem pembelajaran, dimana selama ini kemampuan siswa untuk
menyelesaikan suatu masalah kurang diperhatikan oleh guru.
Siswa dituntut untuk melakukan kerja ilmiah dengan mengembangkan
sikap ilmiah terutama dalam memecahkan masalah. Sikap ilmiah perlu
dikembangkan dalam diri siswa karena hakekat pendidikan IPA adalah ilmu
pengetahuan yang mencakup ranah proses, produk dan sikap. Komponen sikap
meliputi: rasa ingin tahu tinggi, kritis, kreatif, rendah hati, skeptis, berpandangan
terbuka, keinginan membantu orang lain menggunakan pengetahuannya,
mencintai lingkungan dan berkeinginan untuk berpartisipasi aktif menyelesaikan
masalah lingkungan serta mengakui keteraturan alam sebagai cipataan Tuhan
Yang Maha Esa (Poedjiadi, 2005). Untuk mengembangkan sikap ilmiah yang
merupakan hakikat IPA dapat dilatihkan melalui pembelajaran berbasis masalah.
Salah satu komponen sikap ilmiah adalah rasa ingin tahu yang tinggi. Rasa
ingin tahu yang tinggi dapat terlihat dari berbagai pertanyaan yang terlontar
(Panggabean, 2001). Untuk mengaktifkan siswa dalam pembelajaran salah satu
caranya adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Menurut
Hasibuan et al. (1995) pertanyaan bisa merupakan ucapan verbal yang meminta
tanggapan dari seseorang yang dikenai, tanggapan yang diberikan dapat berupa
4 kesimpulannya bahwa pertanyaan sebagai stimulus efektif yang mendorong
kemampuan berfikir siswa. Pengajuan pertanyaan dari siswa terhadap guru sangat
penting bagi guru, sebab dari pertanyaan itu guru dapat memprediksi sejauh mana
pengetahuan awal siswa sebelum dimulai kegiatan pembelajaran.
Untuk penerapan di kelas hampir pada semua aktivitas belajar, bertanya
dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan
guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas. Aktivitas
bertanya juga dapat ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok,
pada saat menemukan kesulitan, ketika mengamati dan sebagainya.
Kegiatan-kegiatan seperti itu akan menumbuhkan dorongan untuk siswa bertanya. Dalam
kegiatan belajar siswa berlatih mengajukan pertanyaan dan memperbaiki
ketrampilan bertanyanya, serta menjadikan stimulus untuk menghasilkan
pertanyaan yang layak.
Pertanyaan yang diajukan siswa dapat memperlihatkan bahwa siswa
menyadari adanya suatu masalah dan ingin melengkapi kekurangannya tersebut.
Hal ini dipertegas oleh Rustaman (2005) yang mengatakan bahwa pengajuan
pertanyaan oleh siswa ini merupakan suatu usaha dalam memenuhi rasa ingin
tahunya serta memperjelas hal-hal yang kurang dipahami. Selain itu dengan
mengajukan pertanyaan berarti siswa belajar aktif dan tidak hanya mendengarkan
penjelasan guru saja, dengan demikian kemampuan akademis siswa akan
berkembang. Dengan demikian melalui pembelajaran berbasis masalah
5 dikembangkan dan dapat dilatih terutama dalam memecahkan masalah-masalah
yang diperoleh pada pembelajaran IPA dan kehidupan sehari-hari.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan pembelajaran
berbasis masalah oleh beberapa peneliti antara lain yang dilakukan Mursal et
al.(2003) dalam pembelajaran medis,sedangkan dalam pembelajaran biologi
antara lain Runi (2005), Suryawati (2006), dan Nurhasnah (2007) yang
kesemuanya menyimpulkan bahwa Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) dapat
meningkatkan kemampuan berpikir, memecahkan masalah, berkomunikasi, dan
pengetahuan dapat bertahan lebih lama (dalam pembelajaran medis). Dalam
pembelajaran biologi, kesimpulannya bahwa pembelajaran berbasis masalah
mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam memecahkan masalah daripada
siswa dengan pembelajaran konvensional, meningkatkan daya serap, ketuntasan
belajar, penguasaan konsep, kemampuan berpikir kritis, sikap ilmiah dan aktivitas
siswa mengalami peningkatan dalam kategori sedang dan rendah melalui
pembelajaran berbasis masalah.
Berdasarkan beberapa penelitian di atas maka penulis mencoba
menerapkan pembelajaran berbasis masalah terhadap peningkatan penguasaan
konsep dan sikap ilmiah siswa SMA pada topik keanekaragaman hayati.
Penelitian ini dilakukan pada kelas X Semester dua(2) SMA untuk topik
Keanekaragaman Hayati.
Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan pada mata pelajaran biologi
terdapat standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa.
6 manfaat keanekaragaman hayati. Diantara kompetensi dasar yang harus dimiliki
siswa adalah mengkomunikasikan keanekaragaman hayati Indonesia dan usaha
pelestarian serta pemanfaatan sumber daya alam (Depdiknas, 2006). Dalam
pencapaian kompetensi dasar tersebut siswa dapat belajar melalui
masalah-masalah yang terjadi terutama pada usaha pelestarian serta pemanfaatan sumber
daya alam, seperti pemanfaatan tumbuhan endemik (misal: tumbuhan matoa)
sebagai bahan bangunan oleh masyarakat secara besar-besaran. Dalam
pembelajaran berbasis masalah, masalah keanekaragaman hayati Indonesia dan
usaha pelestarian serta pemanfaatan sumber daya alam dapat dijadikan sarana
untuk mempelajari topik keanekaragaman hayati, sehingga guru dalam
mengajarkan topik keanekaragaman hayati tidak berupa transfer ilmu, tetapi siswa
yang membangun pengetahuan mereka tentang topik keanekaragaman hayati
melalui masalah yang dipecahkan.
Topik keanekaragaman hayati merupakan materi yang menarik untuk
dijadikan dasar penelitian pembelajaran berbasis masalah karena pada
keanekaragaman hayati terdapat masalah-masalah berupa gangguan usaha
pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam seperti ancaman punah atau
hilangnya spesies endemik. Gangguan pada usaha pelestarian dan pemanfaatan
sumber daya alam ini disebabkan oleh faktor ulah manusia. Di Propinsi Papua
Kabupaten Yapen tempat penelitian ini akan dilakukan, tumbuhan matoa
(tumbuhan endemik) sekarang sudah jarang dilihat lagi pada sekitar daerah
pinggiran kota dan untuk dapat melihat tumbuhan endemik ini harus berjalan
7 endemik ini oleh masyarakat pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan
bangunan. Dengan adanya masalah gangguan usaha pelestarian dan pemanfaatan
sumber daya alam yang disebabkan oleh manusia ini dapat dijadikan sebagai
masalah yang harus dipecahkan oleh siswa untuk mempelajari topik
keanekaraaman hayati dalam pembelajaran berbasis masalah. Dalam
pembelajaran ini siswa akan diarahkan untuk memecahkan masalah “ bagaimana
usaha manusia untuk melestarikan dan memanfaatkan sumber daya alam”.
Dengan pemecahan masalah tersebut siswa mempelajari keanekaragaman hayati
tidak hanya untuk menghafal konsep-konsep saja tetapi siswa membangun sendiri
pengetahuannya melalui pemecahan masalah sehingga dapat mengembangkan
penguasaan konsep, sikap ilmiah dan kemampuan bertanya siswa.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang seperti yang sudah dikemukakan di atas maka
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.
” Bagaimanakah penerapan pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan
penguasaan konsep, sikap ilmiah dan kemampuan bertanya siswa SMA pada topik
keanekaragaman hayati?”.
Untuk memperjelas masalah tersebut dirumuskan pertanyaan-pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Apakah pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan penguasaan
8 2. Apakah pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan sikap ilmiah
siswa pada topik keanekaragaman hayati.
3. Apakah pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan
bertanya siswa pada topik keanekaragaman hayati.
4. Apa keunggulan dan kelemahan pembelajaran berbasis masalah pada topik
keanekaragaman hayati.
5. Bagaimanakah tanggapan siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah.
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah, maka ruang lingkup masalah yang
diteliti dibatasi pada beberapa hal seperti yang diuraikan sebagai berikut.
1. Penguasaan konsep dalam penelitian ini adalah penguasaan konsep yang
diukur berdasarkan taksonomi Bloom yang meliputi proses kognitif C1
(mengingat), C2 (memahami), C3 (mengaplikasikan), dan C4
(menganalisis).
2. Sikap ilmiah yang dikaji dalam penelitian ini adalah rasa ingin tahu, dan
peduli terhadap lingkungan keanekaragaman.
3. Kemampuan bertanya siswa yang dikaji dalam penelitian ini adalah
pertanyaan siswa yang disampaikan secara tertulis untuk dikaji
berdasarkan jenjang pertanyaan menurut Bloom yaitu jenjang pertanyaan
C1, C2, C3, C4,dan C5.
4. Materi pembelajaran keanekaragaman hayati dalam penelitian ini
9 keanekaragaman hayati Indonesia dan usaha pelestarian serta pemanfaatan
sumberdaya alam.
D. Tujuan Penelitian.
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi
tentang penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah yang digunakan di SMA
terhadap peningkatan Penguasaan konsep, Sikap ilmiah,dan Kemampuan
Bertanya siswa pada topik keanekaragaman hayati.
E. Manfaat Penelitian.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Pihak sekolah (guru) bahwa hasil penelitian ini dapat dipergunakan
sebagai bahan pertimbangan untuk penerapan pembelajaran berbasis
masalah pada konsep-konsep lain agar siswa memiliki kemampuan
pemecahan masalah.
2. Memberikan kesempatan bagi siswa untuk lebih aktif terlibat dalam
kegiatan pembelajaran dan kemampuan pemecahan masalah secara
optimal untuk meningkatkan penguasaan konsep, sikap ilmiah dan
kemampuan bertanya siswa pada topik keanekaragaman hayati.
3. Bagi peneliti lain, bahwa hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan
38
BAB III.
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Subjek Penelitian.
Penelitian ini dilakukan atau dilaksanakan di SMA Negeri 2 Serui, jalan
flamboyan famboaman serui, Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua.
Sekolah ini dipilih karena memiliki karakteristik sebagai berikut : (1). Memiliki
fasilitas belajar yang relatif kurang, namun kualifikasi guru pada umumnya
tamatan Strata 1, (2). sekolah tersebut berada di pinggiran kota. Jumlah kelas X
ada sebanyak 6 (enam) kelas dan yang merupakan subjek dalam penelitian ini
adalah siswa kelas X.3 SMA Negeri 2 Serui, sebanyak 40 orang.
B. Metode dan Desain Penelitian.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuasi eksperimen
dengan desain penelitian The One Group Pre-test and Post-test (Tabel 3.1).
Perbedaan antara tes awal dan tes akhir diasumsikan sebagai efek dari perlakuan.
Data tentang penguasaan konsep dan sikap ilmiah siswa diperoleh pada saat
sebelum dan sesudah pembelajaran. Sedangkan data kemampuan bertanya siswa
diperoleh selama pembelajaran.
Table 3.1 Desain penelitian.
Kelompok Tes Awal Perlakuan Tes Akhir
39
C. Definisi Operasional.
Berikut ini dikemukakan beberapa definisi operasional yang terkait dalam
penelitian ini.
1. Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang
menuntut aktivitas mental siswa dalam memahami suatu konsep, prinsip
dan keterampilan melalui situasi atau masalah yang disajikan di awal
pembelajaran. Langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah adalah:
mengorientasi siswa kepada masalah, mengorganisasi siswa untuk belajar,
membimbing penyelidikan individual maupun kelompok,
mengembangkan dan menyajikan hasil karya, menganalisis dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah (Ibrahim dan Nur, 2000).
2. Penguasaan konsep adalah hasil belajar siswa pada aspek kognitif pada
jenjang taksonomi Bloom (C1, C2,C3, C4,dan C5) untuk memahami
makna konsep keanekaragaman hayati secara ilmiah, baik konsep secara
teori maupun penerapannya dalam kehidupan sehari-hari yang diambil
sebelum dan sesudah pembelajaran berbasis masalah. Untuk mengukur
penguasaan konsep siswa dijaring dengan menggunakan tes tertulis pilihan
ganda yang diberikan sebelum pembelajaran (pretest) dan sesudah
pembelajaran (postes).
3. Sikap ilmiah adalah hasil yang diharapkan dari siswa untuk bertindak
secara ilmiah sebelum dan sesudah mengikuti pembelajaran berbasis
masalah pada topik keanekaragaman hayati berdasarkan skor yang ada dan
40 sikap ilmiah siswa dijaring dengan menggunakan angket yang diberikan
sebelum dan sesudah pembelajaran.
4. Kemampuan bertanya adalah kemampuan mengungkapkan perasaan
untuk mengetahui sesuatu baik secara lisan maupun tulisan untuk
meminta keterangan (penjelasan) atau meminta supaya diberi tahu. Dalam
kegiatan Proses Belajar Mengajar (PBM) siswa diharapkan dapat
mengajukan pertanyaan selama mengikuti pembelajaran berbasis masalah
pada topik keanekaragaman hayati berdasarkan jenjang pertanyaan
menurut Bloom yaitu jenjang pertanyaan C1, C2, C3, C4, dan C5. Untuk
mengukur kemampuan bertanya siswa dijaring dengan memberikan
kesempatan bertanya kepada siswa untuk menyampaikan pertanyaannya
dalam bentuk tertulis maupun lisan selama pembelajaran.
D. Instrumen Penelitian.
1. Observasi.
Observasi sebagai tehnik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam
penelitian ini adalah observasi terhadap guru bidang studi Biologi, siswa, proses
pembelajaran, sarana maupun lingkungan sekolah. Pada tahap observasi dilakukan
dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara cermat terhadap semua
hal yang berkaitan dengan proses pembelajaran.
2. Satuan Pembelajaran dan Rencana Pembelajaran.
Dalam membuat Satuan Pembelajaran dan Rencana Pembelajaran pada
41 mengacu kepada kurikulum KTSP dan buku paket atau literatur lainnya yang
relevan atau sesuai dengan kelas X SMA. Tujuan dibuatnya Satuan Pembelajaran
dan Rencana Pembelajaran ini agar materi yang disampaikan lebih sistematis dan
terencana serta tidak keluar dari ketentuan yang menjadi tujuan dari KTSP.
3. Angket/kuesioner.
Untuk mengetahui tanggapan guru dan siswa mengenai pembelajaran yang
dilakukan dan untuk memperoleh hasil/informasi dari responden dalam penelitian
ini adalah dengan pemberian angket/kuesioner. Isi dari lembaran kuesioner ini
adalah berupa pertanyaan-pertanyaan untuk mengungkapkan latar belakang siswa
tentang cara-cara yang sering dilakukan dalam menghadapi pelajaran Biologi,
lalu tanggapan terhadap model pembelajaran yang sering digunakan selama ini.
Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan berkaitan dengan sikap siswa selama
mengikuti pembelajaran topik keanekaragaman hayati, pendapat tentang model
yang digunakan, dan pengaruh dari model terhadap kondisi belajar siswa.
4. Tes hasil belajar.
Tes hasil belajar dilakukan dengan tujuan untuk melihat sejauh mana
tingkat penguasaan konsep keanekaragaman hayati sebelum dan sesudah
penerapan model pembelajaran berbasis masalah, dan untuk mendapat data
42
E. Prosedur Penelitian.
Penelitian ini direncanakan dalam tiga tahap.
1) Tahap persiapan, yaitu yang meliputi penyusunan proposal, studi
pendahuluan, kajian teoritis tentang model pembelajaran, kurikulum
biologi SMA, konsep keanekaragaman hayati, penyusunan rencana
pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah, penyusunan instrument
penelitian.
2) Tahap pelaksanaan, yaitu tahap tes awal, tahap perlakuan dan tahap tes
akhir. Tahap tes awal dilakukan untuk mengetahui kemampuan yang
dimiliki siswa sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, yaitu meliputi
pelaksanaan pre-test penguasaan konsep keanekaragaman hayati, skala
sikap untuk mengetahui penguasaan konsep dan sikap ilmiah awal siswa,
dan kemampuan bertanya untuk mengetahui kemampuan bertanya tingkat
rendah dan tingkat tinggi siswa.
Tahap perlakuan yang merupakan tahap kedua, yaitu meliputi pelaksanaan
pemberian perlakuan pembelajaran berbasis masalah, dalam tahap ini
siswa dikelompokkan menjadi 7-8 kelompok yang masing-masing terdiri
dari lima orang. Masalah yang diberikan kepada siswa, yaitu masalah
yang berkaitan dengan topik keanekaragaman hayati.
Tahap tes akhir dilakukan untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki
siswa setelah dilakukan proses pembelajaran berbasis masalah, yaitu
dilaksanakan post-tes soal-soal penguasaan konsep, sikap ilmiah dan
43 siswa tentang kendala yang dihadapi guru dan tanggapan siswa setelah
selama pembelajaran berbasis masalah dilaksanakan.
3) Tahap penyusunan laporan, yaitu yang meliputi hasil penelitian, analisis
data dan kesimpulan.
44
Gambar 3.1. Alur Penelitian. Instrumen Penelitian
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Penguasaan Konsep, Sikap Ilmiah, Kemampuan Bertanya Persiapan
• Penyusunan proposal • Studi Pendahuluan
• Kajian teoritis tentang Pembelajaran
Berbasis Masalah, Kurikulum Biologi SMA, Topik Keanekaragaman Hayati
Uji coba instrumen
Pre test
Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah pada topik Keanekaragaman Hayati
Postest
Analisis data
Tesis
Angket kendala yang dihadapi guru dan tanggapan siswa
45
F. Validitas Test.
1. Uji Validitas test.
Untuk mengetahui validitas terhadap butir-butir soal dicari dengan cara
mengkorelasikan skor masing-masing butir soal dengan skor total. Rumus yang
digunakan adalah korelasi product moment pearson :
Kriteria validitas soal berdasarkan besarnya koefisien korelasi sebagai berikut : a. Antara 0,80 sampai dengan 1,00 : sangat tinggi
b. Antara 0,60 sampai dengan 0,80 : tinggi c. Antara 0,40 sampai dngan 0,60 : cukup d. Antara 0,20 sampai dengan 0,40 : rendah
e. Antara 0,00 sampai dengan 0,20 : sangat rendah. ( Arikunto 2005: 75).
46 valid apabila r = 0,3. Sehingga apabila korelasi antar item dengan skor total
kurang dari 0,3 maka item dalam instrument tersebut dinyatakan tidak valid.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan test eksperimen terdiri dari 20
butir soal dan kuesioner yang terdiri dari 16 item pernyataan sehingga diperoleh
informasi mengenai tingkat validitas item mana saja yang dinyatakan valid dan
digunakan untuk penelitian.
Adapun hasil uji coba mengenai tingkat validitas butir pertanyaan
disajikan dalam tabel 3.2 (lampiran 1.E.1:139) dan tabel 3.3 (lampiran 1.E.2:140)
Rekapitulasi tingkat validitas item pertanyaan instrumen penelitian
disajikan dalam tabel 3.4 berikut :
Tabel 3.4
Rekapitulasi Hasil Uji Coba Item Pertanyaan Instrumen
Soal/Angket VALID TIDAK VALID TOTAL
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Soal 20 100 - - 20 100
Angket 16 100 - - 16 100
Sumber : lampiran uji validitas reliabilitas
Dari tabel tersebut di atas, ternyata seluruh item pernyataan merupakan
item terpilih.
2. Uji Reliabilitas Butir Soal.
Reliabilitas dilakukan untuk mengetahui ketepatan alat evaluasi dalam
mengukur ketepatan siswa dalam menjawab soal yang diujikan lebih dari satu
47
moment Pearson. Interpretasi derajat reliabilitas suatu tes menurut Guilford (
Suherman dan Sukjaya, 1990: 177) adalah sebagai berikut:
Tabel.3.5 Kategori Reliabilitas Butir soal
Penelitian dilakukan dengan menggunakan test eksperimen terdiri dari 20
butir soal dan kuesioner yang terdiri dari 16 item pernyataan.
Dari pengujian reliabilitas teknik Cronbach Alpha nampak bahwa
masing-masing instrumen pengukuran adalah reliabel dengan tingkat reliabilitas yang
tinggi (koefisien rata-rata diatas 0,7) dengan koefisien internal Cronbach Alpha
sesuai dengan yang direkomendasikan oleh Guilford ( Suherman dan Sukjaya,
1990: 177) yang menyatakan bahwa koefisien 0,60<r 11 ≤ 0,80, tergolong tinggi/
baik).
Reliabilitas untuk kuesioner masing-masing butir soal dan kuesioner disajikan
pada tabel di bawah ini :
48
Tabel 3.6 Reliabilitas
Soal dan
Angket Reliabilitas Kriteria
Soal 0,722 Reliabilitas Tinggi (Baik)
Angket 0,704 Reliabilitas Tinggi (Baik)
3. Indeks Kesukaran.
Indeks kesukaran menunjukkan sukar dan mudahnya sesuatu soal,
besarnya indeks kesukaran berkisar antara 0,00 sampai 1,0. Soal dengan indeks
kesukaran 0,0 menunjukkan bahwa soal itu terlalu sukar, indeks 1,0 menunjukkan
bahwa soal tersebut terlalu mudah, harganya dihitung dengan rumus ( Suherman jumlah benar untuk kelompok bawah
JSA : Jumlah siswa kelompok atas JSB : Jumlah siswa kelompok bawah
Kategori interpretasi indeks kesukaran menurut Suherman dan Sukjaya
49 Tingkat kesukaran untuk setiap item menunjukkan apakah butir soal
tergolong sukar, sedang, atau mudah. Untuk menghitung tingkat kesukaran tiap
butir soal digunakan program Anatest. Berdasarkan hasil uji coba bahwa rata-rata
kesukaran soal berada di kisaran sedang. Hasilnya tampak pada tabel 3.7 (
lampiran 1.E.3:141).
4. Daya Pembeda
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan
antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan
rendah. Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut Indeks
diskriminasi (D). Rumus untuk menentukan indeks diskriminasi adalah:
A B
JA : Banyaknya peserta kelompok atas JB : Banyaknya peserta kelompok bawah
BA: Banyaknya kelompok atas yang menjawab benar BB: Banyaknya kelompok bawah yang menjawab benar PA: proporsi kelompok atas yang menjawab benar PB : proporsi kelompok bawah yang menjawab benar
Kategori daya pembeda adalah sebagai berikut:
50 Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan
antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan
rendah.
Berdasarkan hasil pengujian, sebagian besar butir soal mempunyai indeks
pembeda dengan kategori cukup (0,20 - 0,40), sesuai dengan yang
direkomendasikan oleh Arikunto, (2003:213), bahwa indeks dengan range 0,20 <
D ≤ 0,40 , dikategorikan Cukup. Hasilnya tampak pada tabel 3.9 (lampiran
1.E.4:142)
G. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data secara lengkap disajikan dalam Tabel 3.10
berikut.
Tabel 3.10 Tehnik Pengumpulan Data
Sumber Data
Jenis Data Tehnik
Pengumpulan Data
Instrumen
51
H. Tehnik Analisis Data
Melalui soal penguasan konsep, pernyataan sikap ilmiah dan kemampuan
bertanya siswa diperoleh skor penguasaan konsep, dan sikap ilmiah pada tes
awal dan tes akhir sedangkan kemampuan bertanya siswa pada selama
pembelajaran berbasis masalah . Untuk melihat peningkatan penguasaan konsep
antara sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menghitung indek gain (gain
ternormalisasi) skor siswa dengan rumus yang dikembangkan oleh
(Meltzer,2002:1260) :
Subjek penelitian berjumlah antara 35 – 40 orang. Menurut Stevenson dan
Mnium (1987,dalam Russefendi, 1998:273) sampel disebut besar apabila jumlah
sampel paling sedikit 30 atau ukuran sampel yang besar berada di antara 25 dan
30. Ukuran sampel yang besar dapat diasumsikan berdistribusi normal maka
selanjutnya dapat dilakukan pengujian rerata satu sampel dengan uji t one sampel
test sebagai pendukung N-Gain khusus pada penguasaan konsep sedangkan
pernyataan sikap ilmiah tidak dilanjutkan dengan pengujian rerata satu sampel
52 diketahui pada penguasaan konsep belum diperoleh informasi pada pernyataan
sikap.
Rumus t = X S
o X −µ
(Russefendi,1993:393)
X
S =S / n
µ hipotesis mengacu pada ketuntasan belajar penguasaan konsep dari
Depdiknas (1995 dalam Suhendra,2005) yaitu jika siswa memperoleh hasil tesnya
atau menguasai pelajaran ≥ 65 % dari skor total, maka siswa tersebut mencapai
ketuntasan belajar atau telah belajar dengan tuntas. Sedangkan secara klasikal
ketuntasan belajar dicapai jika jumlah siswa yang memiliki nilai ≥ 65 lebih dari
82
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarakan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan :
Hasil belajar siswa SMA Negeri 2 Serui Kabupaten Kepulauan Yapen,
Provinsi Papua dengan pembelajaran berbasis masalah (PBL) telah terbukti lebih
berhasil dalam penguasaan konsep dan materi pelajaran siswa dibandingkan
dengan pembelajaran konvensional yang biasa dilakuan guru saat ini, yaitu
dengan menggunakan metode ceramah, tanya jawab dan penugasan, tanpa
menggunakan metode PBL.
Penguasaan konsep sebelum pembelajaran tergolong rendah (rata-rata =
35,50%), sesudah pembelajaran tergolong sedang (rata-rata = 66,88%).
Peningkatan hasil belajar siswa dengan pembelajaran berbasis masalah memiliki
indeks rata-rata = 0,49, maka peningkatan penguasaan konsep sebelum dan
sesudah pembelajaran dikategorikan sedang, karena soal-soal pada indikator
mempunyai tingkat kesukaran yang berbeda.
Pembelajaran berbasis masalah pada topik keanekaragaman hayati dapat
meningkatkan sikap ilmiah siswa dengan kategori baik. Pembelajaran berbasis
masalah dapat meningkatkan kemampuan bertanya dengan kategori tinggi.
Pembelajaran berbasis masalah pada topik keanekaragaman hayati dapat
meningkatkan motivasi, kesukaan dan minat belajar siswa karena tanggapan siswa
83 menerapkan pembelajaran berbasis masalah yaitu sarana pembelajaran dan
pengelolaan waktu.
5.2 Saran
Beberapa saran yang dapat dikemukakan, berkaitan dengan hasil
penelitian diantaranya :
1. Penerapan metode pembelajaran berbasis masalah (PBL), memiliki peran yang
konstruktif dalam meningkatkan aktivitas, daya kreatif maupun pemahaman
siswa, untuk itu perlu dipertimbangkan dalam penerapannya di sekolah,
khususnya Sekolah Menengah Tingkat Atas.
2. Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran inovatif yang jika
dipraktekkan akan memiliki peluang yang besar untuk memfasilitasi siswa
lebih bertanggung jawab pada proses dan hasil belajarnya.
3. Diharapkan guru mata pelajaran mampu merancang, mengimplementasikan,
mampu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan mampu
mengorganisasikan kelas secara fleksibel.
4. Bagi Guru bidang studi hendaknya perlu mempertimbangkan waktu
pembelajaran yang tepat. Guru harus memiliki keterampilan mengajukan
pertanyaan untuk mengembangkan proses kreativitas siswa dalam
mengemukakan gagasan.
5. Bagi Siswa harus memiliki kesiapan menerima materi baru dengan membaca
dan mempelajari modul terlebih dahulu di rumah dan pemantapan konsep
84 6. Siswa tidak tergesa-gesa dalam mengemukakan pendapat dan mengerjakan tes
atau evaluasi.
7. Bagi peneliti berikutnya, hendaknya dapat melakukan penelitian serupa dalam
pembelajaran Biologi materi pelajaran yang lain dengan memperhatikan
kegiatan pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman menarik dan
dorongan mengajukan strategi pemecahan masalah.
5.3 Implikasi
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2003), ciri utama
pembelajaran berbasis masalah meliputi mengorientasikan siswa kepada masalah
atau pertanyaan yang autentik, multidisiplin, menuntut kerjasama dalam
penyelidikan, dan menghasilkan karya. Dalam pembelajaran berbasis masalah
situasi atau masalah menjadi titik tolak pembelajaran untuk memahami konsep,
prinsip dan mengembangkan keterampilan memecahkan masalah.
Pierce dan Jones (Ratnaningsih, 2003) mengemukakan bahwa
kejadian-kejadian yang harus muncul pada waktu pelaksanaan pembelajaran berbasis
masalah adalah sebagai berikut:
a) Keterlibatan (engagement) meliputi mempersiapkan siswa untuk berperan
sebagai pemecah masalah yang bisa bekerja sama dengan pihak lain,
menghadapkan siswa pada situasi yang mendorong untuk mampu menemukan
masalah dan meneliti permasalahan sambil mengajukkan dugaan dan rencana
85 b) Inkuiri dan investigasi (inquiry dan investigation) yang mencakup kegiatan
mengeksplorasi dan mendistribuskan informasi.
c) Performansi (performnace) yaitu menyajikan temuan.
d) Tanya jawab (debriefing) yaitu menguji keakuratan dari solusi dan melakukan
refleksi terhadap proses pemecahan masalah.
Pembelajaran berbasis masalah membuat siswa menjadi pembelajar yang
mandiri, artinya ketika siswa belajar, maka siswa dapat memilih strategi belajar
yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk belajar dan mampu
mengontrol proses belajarnya, serta termotivasi untuk menyelesaikan belajarnya
itu (Depdiknas, 2003). Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa memahami
konsep suatu materi dimulai dari belajar dan bekerja pada situasi masalah (tidak
terdefinisi dengan baik) atau open ended yang disajikan pada awal pembelajaran,
sehingga siswa diberi kebebasan berpikir dalam mencari solusi dari situasi
masalah yang diberikan.
Menurut Ismail (Ratnaningsih 2003) pembelajaran berbasis masalah
biasanya terdiri dari lima tahapan utama, yaitu:
a. Orientasi siswa pada masalah dengan cara guru menjelaskan tujuan
pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa
terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah.
b. Mengorganisasikan siswa untuk belajar dengan cara guru membantu siswa
dalam mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
86 c. Membimbing penyelidikan individual dan kelompok dengan cara guru
mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan
eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya dengan cara guru membantu
siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti
laporan.
e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah dengan cara guru
membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap
penyelidikan siswa dan proses yang digunakan.
Pada intinya pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu
pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata disajikan di awal
pembelajaran. Kemudian masalah tersebut diselidiki untuk diketahui solusi dari
pemecahan masalah tersebut. Menurut Torrance (1976) model pembelajaran yang
berorientasi pada pemecahan masalah seperti pada pembelajaran berbasis masalah
merupakan suatu pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan potensi yang
dimiliki oleh siswa, salah satunya adalah kreativitas siswa. Situasi masalah yang
disajikan dalam pembelajaran tersebut merupakan suatu stimulus yang dapat
mendorong potensi kreativitas dari siswa terutama dalam hal pemecahan masalah
yang dimunculkan. Kreativitas yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran
berbasis masalah ini bukan hanya aspek kognitifnya saja (kemampuan berfikir
kreatif) tetapi juga diharapkan melalui pembelajaran berbasis masalah tersebut
dapat mengembangkan aspek non-kognitif dari kreatifitas yakni kepribadian
87 Pembelajaran Berbasis Masalah berasal dari bahasa Inggris Problem-based
Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan
menyelesaikan suatu masalah, tetapi untuk menyelesaikan masalah itu mahasiswa
(siswa) memerlukan pengetahuan baru. Awalnya Pembelajaran Berbasis Masalah
dikembangkan sekitar 25 tahun yang lalu dalam dunia pendidikan kedokteran, dan
sekarang telah dipakai pada semua tingkatan pendidikan, dalam sekolah
profesional berskala luas, maupun universitas. Pembelajaran Berbasis Masalah
melibatkan mahasiswa dalam proses pembelajaran yang aktif, kolaboratif,
berpusat kepada siswa, yang mengembangkan kemampuan pemecahan masalah
dan kemampuan belajar mandiri yang diperlukan untuk menghadapi tantangan
dalam kehidupan dan karier, dalam lingkungan yang bertambah kompleks
sekarang ini. Pembelajaran Berbasis Masalah juga mendukung siswa untuk
memperoleh struktur pengetahuan yang terintegrasi dalam masalah dunia nyata,
masalah yang akan dihadapi siswa dalam dunia kerja atau profesi, komunitas dan
kehidupan pribadi.
Pembelajaran Berbasis Masalah dapat pula dimulai dengan melakukan
kerja kelompok antar siswa. Siswa menyelidiki sendiri, menemukan
permasalahan, kemudian menyelesaikan masalahnya di bawah petunjuk fasilitator
(guru). Menurut Stepien (1997), Pembelajaran Berbasis Masalah juga dapat
mengubah pola proses belajar-mengajar tradisional di mana sebuah proses yang
memberikan topik demi topik kepada siswa sehingga mereka terjadi proses
asimilasi dan akomodasi bagian demi bagian pengetahuan untuk membantu siswa
88 tradisional seperti ini kurang efektif, mengingat perkembangan pengetahuan
semakin banyak dan kompleks sehingga semakin sukar untuk memilih materi
mana yang harus diberikan kepada siswa.
Pembelajaran Berbasis Masalah menyarankan kepada siswa untuk mencari
atau menentukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan. Pembelajaran
berbasis masalah memberikan tantangan kepada siswa untuk belajar sendiri.
Dalam hal ini, siswa lebih diajak untuk membentuk suatu pengetahuan dengan
sedikit bimbingan atau arahan guru sementara pada pembelajaran tradisional,
siswa lebih diperlakukan sebagai penerima pengetahuan yang diberikan secara
terstruktur oleh seorang guru.
Untuk mencapai hasil pembelajaran secara optimal, pembelajaran dengan
pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah perlu dirancang dengan baik mulai
dari penyiapan masalah yang sesuai dengan kurikulum yang akan dikembangkan
di kelas, memunculkan masalah dari siswa, peralatan yang diperlukan, dan
penilaian yang digunakan. Pengajar yang menerapkan pendekatan ini harus
mengembangkan pengalaman mengelola kelas, melalui pendidikan pelatihan atau
pendidikan formal yang berkelanjutan.
Pendekatan pembelajaran berbasis masalah membuat siswa bertanggung
jawab pada pembelajaran mereka melalui penyeleselasian masalah dan melakukan
kegiatan inkuiri dalam rangka mengembangkan proses penalaran. Pembelajaran
dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah lebih menempatkan guru
89 Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli
pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran
konstruktivistik untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas. Dengan perubahan
paradigma belajar tersebut terjadi perubahan pusat (fokus) pembelajaran dari
belajar berpusat pada guru kepada belajar berpusat pada siswa. Dengan kata lain,
ketika mengajar di kelas, guru harus berupaya menciptakan kondisi lingkungan
belajar yang dapat membelajarkan siswa, dapat mendorong siswa belajar, atau
memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif mengkonstruksi
konsep-konsep yang dipelajarinya. Kondisi belajar dimana siswa/mahasiswa hanya
menerima materi dari pengajar, mencatat, dan menghafalkannya harus diubah
menjadi sharing pengetahuan, mencari (inkuiri), menemukan pengetahuan secara
90
DAFTAR PUSTAKA
Akinoglu, O. & Tandagon, R. O. (2006). The Effects of Problem-Based Active Learning in Science Education on Students Academic Achievement, Attitude and Concept Learning. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 2007, 3(1), 71-81. Tersedia [On line] : http:
www.ejmdte.com. [01 Mei 2007]
Amin, M (1987). Mengajar IPA Dengan Menggunakan Metode Discovery Dan Inquiri. Jakarta: Depdikbud
Arikunto, S. (2003). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Aryulina, D., Muslim. C., Manaf. S., dan Winarni. E.W. (2007). Biologi 1 SMA dan MA untuk Kelas X. Jakarta: Essis.
Chin, C. & Chia, L. (2004). Implementing Project Work in Biology through Problem-Based Learning. Journal of Biological Education.38(2),69-75.
http://www.Iob.org/downloads/277.pdf. [ 14 Pebruari 2007]
______________. ( 2005). Problem-based Learning : Using Ill-Structured
Problems in Biology Project Work. Wiley InterScience (
www.Interscience.wiley.com).
Dahar, R. W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Depdiknas, (2002). Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru Mata Pelajaran Biologi. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
______________, (2003 a), Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Mata Pelajaran Kimia, Jakarta, Depdiknas.
______________. (2003 b). Pengajaran Berdasarkan Masalah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
_______________,(2003 c).Kurikulum 2004 StandarKompetensi Mata Pelajaran Biologi Sekolah Menegah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
91 Dasna I.Wayan dan Sutrisno. (2007). Pembelajaran Berbasis Masalah. Tersedia pada http://www.lubisgrafura.wordpress.com.2007/09/19/pembelajaran-berbasis masalah. Diakses tanggal 26 Maret 2008.
Dimyati dan Mudjiono. (2002). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah,S.B. (2002). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Duch, B.J., Groh, S.E. and Allen, D.E. (2001). The Power of Problem-Based Learning A Practical ”How To” for Teaching Undergraduate Courses in Any Discipline. Virginia: Stylus Publishing.
Endri, H. (2003). Penerapan Model Cooperative Learning pada Mata Pelajaran IPA Sekolah Dasar. Tesis. PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Hasibuan, JJ., Ibrahim,. Toenlie. (1988). Proses Belajar Mengajar Ketrampilan Dasar Pengajaran Mikr. Bandung Remaja Karya.
Hasibuan, et al. (1995). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Remaja Rosda Karya.
Ibrahim, M. (2000). Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA University Press
Ibrahim, M. dan Nur, M. (2002). Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA University Press.
Ibrahim, M. (2004). Kumpulan Makalah Pengenalan Strategi Pembelajaran Biologi Di Perguruan Tinggi. Pekanbaru : Universitas Riau.
Ismail. (2002). Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem-Based Instruction). Makalah disajikan pada pelatihn TOT Pembelajaran kontekstual. Surabaya: Tidak diterbitkan.
Joyce, et al. (1992). Models of Teaching. Fourth Edition. Boston: Allyn and Bacon.
Jarvis, M. (2006). Teori-teori Psikologi Pendekatan Modern Untuk Memahami Perilaku, Perasaan, dan Pikiran Manusia. Bandung : Nusa Media.
92 Meltzer, D.E. (2002). The relation between mathematics preparation and conceptual learning gains in physics : a posible hidden veriable in diagnostic pretest score journal of atm J.phys 70 (12), December 2002.
Mursal, B., Taksiran, C. And Kelson, A. (2003). Opinion of Tutor and Students about Effectiveness of PBL in Dokuz Eylul University School of Medicine.
Med.Educ [Online] : http://www. Med.ed.online.org.[01 September
2006]
Nasution. (2000). Didaktik Asas-Asas Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Nurhasnah (2007). Pembelajaran Berbasis Masalah Pada Sistem Respirasi Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep,Berpikir Kritis dan Sikap Ilmiah Siswa SMA. Tesis PPs UPI : Tidak diterbitkan.
Panggabean, L. P. H. (2001). Hakikat IPA dan Metode Ilmiah. Bandung: IKIP.
Pannen, E.A. (2001). Thinking, Problem Solving, and Cognition. New York : Freeman.
Poedjiadi, A. (2005). Pendidikan Sains dan Pembangunan Moral Bangsa. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
Ratnaningsih, N. (2003). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematik Siswa SMU melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis pada IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.
Runi (2005). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Pada Mata Pelajaran Sains Konsep Pencemaran Lingkungan di Kelas VII SMP Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis PPs UPI : Tidak diterbitkan.
Rustaman, N., Dirjosoemarto, S., Ahmad, Y., Yudianto, S.A., Rochintaniawati, D., Nuryani, K.M., dan Subekti, R. (2003). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung : Jurusan Biologi FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.
Rustaman, et al. (2004). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
Rustaman, N. (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: Universitas Negeri Malang.
93 Sonmez, D & Lee, H (2003). Problem-Based Learning in Science. Tersedia [On
line] di http: www.ericse.org. [01 Mei 2007].
Stepien, R. (1997). Proble-Based Learning and Other Currculum Models for The Multiple Intellegences Classroom. Arlington Heights, Illionis: SkyLight.
Sugiyono. (1999). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,Kualitatif, dan R&D). Bandung : Alfabeta
Suhendra. (2005). Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Kelompok Belajar Kecil Untuk Mengembangkan Kemampuan Siswa SMA pada Aspek Problem Solving Matematika. Tesis pada SPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Suherman, E & Sukajaya, Y. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika Untuk Guru dan Calon Guru Matematika. Bandung: Wijayakesuma.
Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanasius.
Suryawati, E. (2006). Peningkatan Kualitas Pembelajaran Biologi melalui Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning). Bandung : Proseding Seminar Nasional Pendidikan IPA 2006.
Susanto, P. (2002). Ketrampilan Dasar Mengajar IPA Berbasis Konstruktivisme. Malang : Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Negeri Malang.
Ruseffendi, E.T. (1998). Statistik Dasar Untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Press.
Torrance, E.P & Khatena, J. (1976). Khatena-Torrance Creative Perception Inventory. Chicago: Stoelting Company