TINGKAT PENGUASAAN KONSEP KEMAMPUAN
PROFESIONAL KONSELING DAN PENERAPANNYA DALAM
LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH
(Studi Deskriptif Analitik Terhadap Para Konselor
di SMA Negwi Kota Madia Padang)
TESIS
Diajukaii Kepada Panitia Ujian Tesis Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikari Bandung guna Memenuhi Salah Satu Syarat
untuk Menyelesalkan Jei\jang Strata-2 da lam Bidang Bimbingan dan Konxellng
Oleh
Marjohan NRP. 9132329
BIDANG STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
PROGRAM PASCA SARJANA
OOP BANDUNG
Disetujui dan disahkan oleh
Prof. Dr. M. Djawad Dahlan
Pembimbing I
Dr. Sunarvo Kartadinata
Pembimbing n
Dr. Dedi Supriadi
af/Jwa yang tenang
aBJah ke haribaan Tuhanmu secara ridho dan din'dhoi
khh ke dalamgohngan hamba-hamba-Ku
nasukJah ke daJam syurga-Ku" ,
AlFajr:27-30)
ng siapa yang membantu kesulitan orang Islam
va ABah akan meJepaskan kesuBtan-kesuBiannya nantidihari Qiamat,
arang siapa yang menutupi aib seorang Islam
Va ABah akan menutupi aibnya nanti di hari Qiamat"
s Rhvayat Bukhari dan Muslim)
Karya tuBsini dipersembahkan kepada
Ayah dan bunda, isteri dan anak-anak tercinta,
serta kepada siapa saja yang peduB dengan
halaman
ATA PENGANTAR i
CAPAN TERIMA KASIH iv
AFTAR ISI xi
AFTAR TABEL xiii
AFTAR GAMBAR xiv
iAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Masalah, Wilayah dan Pertanyaan Pene- 11
nelitian
C. Tujuan Penelitian 17
D. Defenisi Operasional 19
E. Asumsi Penelitian 23
3AB II KEMAMPUAN PROFESIONAL KONSELOR DALAM MENYE- 25 LENGGARAKAN KONSELING DAN BERBAGAI DIMENSINYA
A. Makna dan Pentingnya Layanan Konseling 25
1. Pengertian Konseling 25
2. Pentingnya Layanan Konseling Di Sekolah 32
B. Proses Konseling dan Kemampuan Profesional 34 yang Diperlukan
1. Proses Konseling 34
2. Kemampuan Profesional Konselor Dalam Me- 39 nyelenggarakan Proses Konseling
C. Penelitian-penelitian yang Relevan 59
BAB III RANCANGAN PENELITIAN 64
A. Metode Penelitian 64
B. Subyek Penelitian 64
C. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
D. Pengembangan Alat Pengumpul Data .
1. Alat Ukur Konsep Kemampuan Profesional
Konseling
2. Skala Penerapan Kemampuan Profesional
Konseling
3. Daftar Pengungkapan Faktor Penunjang dan
Penghambat Kemampuan Profesional Konseling
E. Teknik analisis Data
AB IV PELAKSANAAN DAN HASIL-HASIL PENELITIAN
A. Pengumpulan Data
B. Pengolahan dan Analisis Data
C. Hasil-hasil Penelitian dan Tafsirannya
AB V PEMBAHASAN HASIL-HASIL PENELITIAN, KESIMPULAN
DAN IMPLIKASI
A. Pembahasan Hasil-hasil Penelitian
B. Kesimpulan Penelitian
C. Implikasi Hasil-hasil Penelitian
AFTAR PUSTAKA ..
[image:5.595.51.493.37.725.2]AMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran A Lampiran B.1 Lampiran B.2 Lampiran C Lampiran D Lampiran E 65 66 66 71 75 76 78 78 80 88 104 104 116 119 126
RANGKUMAN
131
TABEL-TABEL HASIL PENELITIAN
137
RIWAYAT HIDUP
150
SURAT IZIN PENELITIAN
153
PENGEMBANGAN ALAT PENGUMPUL
DATA
Terpisah
PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA:
sda
TABEL halaman
1. KOEFISIEN RELIABILITAS ANTAR PENIMBANG ALAT UKUR
KONSEP KEMAMPUAN PROFESIONAL KONSELING 68
2. KOEFISIEN RELIABILITAS ANTAR PENIMBANG ALAT UKUR
PENERAPAN KEMAMPUAN PROFESIONAL KONSELING 73
3. HASIL PENGUJIAN NORMALITAS DISTRIBUSI FREKUENSI
VARIABEL PENELITIAN 83
4. HASIL PENGUJIAN SIGNIFIKANSI DAN LINIER'.'TAS
REGRESI 85
5. TOLOK UKUR KATEGORI PENGUASAAN KONSEP DAN PENE
RAPAN KEMAMPUAN PROFESIONAL KONSELING 86
6. PERBEDAAN PENGUASAAN KONSEP KEMAMPUAN PROFESIONAL
KONSELING ANTARA KONSELOR S-l DENGAN KONSELOR D-3 92
7. PERBEDAAN PENERAPAN KONSEP KEMAMPUAN PROFESIONAL
KONSELING ANTARA KONSELOR S-l DENGAN KONSELOR D-3 94
8. KORELASI DAN KONTRIBUSI PENGUASAAN KONSEP KEMAM PUAN PROFESIONAL KONSELING DENGAN PENERAPAN KON SEP TERSEBUT KE DALAM PRAKTEK LAYANAN BIMBINGAN
DAN KONSELING 93
DAFTAR GAMBAR
Jambar halaman
1. Hubungan Antar Variabel Penelitian 16
2. Proses Konseling Menurut Pietrofesa, el al 38
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan ysng paling indah
dan tinggi derajatnya. Mereka diciptakan untuk menjadi
kha-lifah atau pemimpin di permukaan bumi bahkan di seluruh alam
ciptaan Tuhan. Untuk dapat mencapai derajat manusia yang pa
ling
indah dan paling tinggi itu maka setiap individu
yang
lahir
ke
dunia
memerlukan
pengasuhan,
pembinaan
dan
pengembangan melalui upaya-upaya pendidikan sehingga segenap
potensi
yang
dibawanya sejak lahir itu
berkembang
secara
optimal.
Di
negara kita Republik Indonesia tercinta ini
tugas
pengasuhan,
pembinaan, dan pengembangan melalui
pendidikan
tersebut tercermin dalam TAP MPR No. II/MPR/ 1993 yaitu pada
Garis-garis Besar Haluan Negara 1993 sebagai berikut :
Pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan
kualitas
manusia
Indonesia,
yaitu
manusia
yang
beriman
dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa,
berbudi
pekerti
luhur,
berkeperibadian,
mandiri,
maju,
tangguh,
cerdas, kreatif,
terampil,
berdi-siplin,
beretos
kerja,
profesional,
bertanggung
jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.
Dalam
rangka mengembangkan potensi individu
secara
optimal tersebut, layanan bimbingan dan konseling
merupakan
bagian
yang
tidak
terpisahkan
dalam
keseluruhan
upaya
pendidikan
khususnya di lembaga-lembaga sekolah mulai
dari
tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Tuntutan akan
perlunya
layanan
bimbingan
dan
konseling
dalam
sistem
Dchman Natawidjaja (1990:16) menyatakan sebagai berikut:
Bimbingan
dan
konseling
memiliki
fungsi
dan
posisi
kunci
dalam
pendidikan
di
sekolah
yaitu
sebagai pendamping fungsi utama sekolah dalam bidang
pengajaran dan perkembangan intelektual siswa dalam menangani ihwal sisi sosial pribadi siswa.Lebih
lanjut
MD.
Dahlan
(1988:26-27)
mengemukakan
etapa
pentingnya pelayanan bimbingan dan
konseling
dalam
istem pendidikan. Beliau mengungkapkan hal tersebut sebagai
erikut.
...bimbingan
penyuluhan selalu merupakan
momen
Ilmu
Mendidik....
ilmu
pendidikan
dan
bimbingan
penyuluhan sebagai hal-hal yang esensial untuk
umat
manusia masa kini dan masa mendatang. Dalam kerangka
pemikiran
itulah dapat ditandaskan betapa
disiplin
ilmu mendidik dan bimbingan dan penyuluhan
mendapat
tempat
yang
bukan saja wajar, akan
tetapi
bahkan
esensial dalam pendidikan.Sebenarnya jauh sebelum kedua ahli di atas
mengemuka-an bagaimmengemuka-ana permengemuka-anmengemuka-an bimbingmengemuka-an dmengemuka-an konseling dalam
konteks
endidikan,
Mortensen dan Schmuller (1964:7)
telah
menya-akan
bahwa ada tiga bidang kegiatan proses
pendidikan
di
ingkungan
persekolahan yang saling kait mengait.
Ketiga
idang
itu adalah : (1) bidang administrasi dan
supervisi;
ang wujud nyatanya dalam bentuk penyelenggaraan dan
penge-olaan
administrasi dan supervisi di sekolah oleh
kepala
ekolah,
guru, pegawai, dan pihak-pihak lain yang terkait,
2)
bidang kurikuler; yang wujud nyatanya melalui
penye-enggaraan
mata-mata pelajaran, dan (3)
bidang
bimbingan;
ang wujud nyatanya berupa pemberian layanan bantuan
kepada
iswa-siswa dengan memperhatikan berbagai kemungkinan dan
enyataan tentang adanya masalah, baik di dalam dua bidang
bi-sumbangan
pelayanan
bimbingan dan konseling
itu
terhadap
upaya
pendidikan di sekolah. Ketiga sumbangan
yang
dimak
sudkan adalah :
a.
Memberi kesempatan dalam memperkaya dan
me-numbuhkan
pengalaman-pengalaman
yang
memungkinkan
siswa dapat mengembangkan kemampuannya secara penuh.
b.
Menyajikan intervensi dengan kekuatan
tera-peutik
sehingga dapat
mengatasi
gangguan-gangguan
dan
kekuatan-kekuatan
yang
melawan
produktifitas
serta yang menghambat pendidikan
c.
Menyediakan
suatu pelayanan
kelompok
bagi
guru-guru, siswa-siswa, dan para administrator
yang
di
dalamnya termasuk kegiatan penilaian,
pemberian
informasi, referal, dan sebagainya.
Dalam sistem pendidikan di negara kita pelayanan
bim
bingan
dan konseling yang bersifat terpadu ke dalam
sistem
pendidikan
tersebut telah dirintis dan dikembangkan
selama
lebih dari tiga dasawarsa terakhir ini (Prayitno,
1990:1).
Usaha-usaha yang bersifat rintisan telah dimulai sejak tahun
1960-an,
sewaktu
didirikannya
jurusan
BP
di
FKIP-UNPAD
Bandung, yang kemudian diikuti oleh gerakan memasukkan prog
ram
layanan
bimbingan
dan
konseling
ke
sekolah-sekolah
jenjang
SMA. Selanjutnya usaha yang bersifat
rintisan
itu
secara lebih gencar dikembang kan melalui dimasukkannya
pe
layanan bimbingan dan konseling ke dalam kurikulum 1975
dan
kurikulum 1984.
Pada dua jenis kurikulum tersebut,
layanan
bimbingan dan konseling telah benar-benar menjadi bagian
yang
integral dengan kesemua upaya pendidikan di
sekolah,
mulai dari jenjang Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah
Lan-jutan Atas.
bersifat hukum. UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pen
didikan
Nasional ( pasal 1 ayat 1 ) menyebutkan bahwa
pen
didikan adalah usaha sadar untuk mempersiapkan para
peserta
didik
melalui kegiatan. bimbingan. penga.iaran
dan/atau
la-tihan bagi peranannya di masa datang. Upaya pendidikan
ber-dasarkan
pengertian Undang-undang tersebut mencakup
bidang
yang amat luas dalam rangka pengembangan manusia Indonesia
seutuhnya.
Dalam cakupannya yang amat luas itu, upaya
pen
didikan secara menyeluruh meliputi tiga bidang kegiatan yang
saling
mengait, yaitu bidang bimbingan, pengajaran dan
la-tihan. Suatu upaya pendidikan yang menyeluruh, lengkap,
dan
mantap
harus
meliputi secara terpadu
ketiga
bidang
yang
dimaksudkan.
Selanjutnya
berbagai perangkat
peraturan
pemerintah
yang mengatur pelaksanaan undang-undang tersebut, menjadikan
pelayanan bimbingan dan konseling benar-benar merupakan sua
tu
tuntutan yang perlu diwujudkan dalam setiap
upaya
pen
didikan di sekolah-sekolah. Peraturan Pemerintah No.28 tahun
1990
Bab X ayat 1, 2 dan 3 mengemukakan secara
tegas
per-lunya
pelayanan
bimbingan dan konseling itu
untuk
Pendi
dikan
Dasar,
sedangkan Peraturan Pemerintah No.
29
tahun
1990
pada Bab dan ayat yang sama, juga
mengungkapkan
per-soalan
serupa untuk Pendidikan Menengah . Bab X dari
kedua
PP itu berbunyi :
(1). Bimbingan
merupakan
bantuan
yang
diberikan-kepada
siswa
dalam
rangka
upaya
menemukan
pribadi, mengenal lingkungan, dan
merencanakan
masa depart
Kekuatan hukum lain yang juga merangsang
dilaksanakan-nya tugas pelayanan bimbingan dan konseling itu secara
man-tap di sekolah-sekolah adalah keluarnya SK MENPAN No.
26/19-89 tentang Angka Kredit Jabatan bagi Guru. Dalam SK yang di
maksudkan, dinyatakan bahwa tugas mengajar setara dengan tu
gas melakukan bimbingan dan penyuluhan. Meskipun di dalam SK
itu tidak dinyatakan secara tegas siapa yang berhak dan
ber-wenang
melakukan tugas bimbingan dan
penyuluhan
tersebut,
namun setidak-tidaknya memberi peluang yang cukup besar ter
hadap
terselenggaranya
proses layanan bimbingan
dan
kon
seling di sekolah-sekolah kita.
Sebagai suatu bagian yang terpadu dengan kegiatan pen
didikan,
pelayanan bimbingan dan konseling memuat
sejumlah
jenis-jenis
layanan
dan
kegiatan
dalam
rangka
membantu
pengembangan
potensi siswa secara optimal. Jenis-jenis
la
yanan yang dimaksudkan adalah layanan orientasi,
informasi,
diagnostik
kesulitan
belajar, pengajaran
perbaikan,
bim
bingan
kelompok,
dan layanan konseling (
Prayitno,
1993,
Moh. Surya, 1988, dan Rochman Natawidjaja, 1984 ).
Layanan konseling merupakan bentuk khusus dari
berba
gai
layanaan bimbingan tersebut di atas. Dia
juga
disebut
dengan
pelayanan
inti dari semua jenis
layanan
bimbingan
yang
dimaksudkan. Sifat khusus dan inti
layanan
konseling
terletak
pada hubungan langsung tatap muka antara
konselor
layanan
konseling
tersebut, Mortensen dan
Schmuller
(19-84:30), dan Gibson dan Mitchel (1981:27) menyebutnya
dengan
:"....
the heart of guidance program",
selanjutnya
Miller
dan
kawan-kawan
(1978:15) menyebut konseling
itu
sebagai
otak
dan
jantung
hatinya
program
bimbingan,
sementara
Borders dan Drury (1992:487) menyebutnya sebagai " the
sine
qua non of school counseling programs".
Ungkapan "jantung hati" terhadap layanan konseling
di
atas menurut penulis mengandung berbagai implikasi
terhadap
layanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan. Pertama.
layanan
konseling harus dilakukan secara
profesional
oleh
tenaga-tenaga
yang berkompeten. Artinya
layanan
konseling
harus
dilakukan
secara teratur, terarah
dan
tidak
dise-lenggarakan
secara acak atau apa adanya saja.
Tujuan
yang
ingin dicapai, kondisi dan suasana yang tercipta, dan
meto-dologi penyelenggaraan di dalam layanan konseling itu
perlu
mengikuti
aturan-aturan
yang
jelas
dan
bersifat
baku
(Prayitno, 1993:514-515).
Implikasi kejdjia dari label "jantung hati" terhadap la
yanan
konseling di atas adalah bahwa apabila
seorang
kon
selor telah memahami, menghayati dan menerapkan wawasan,
pengetahuan, dan keterampilan berbagai teknik layanan
kon
seling tersebut, maka dapat diharapkan ia akan dapat
menye-lenggarakan layanan bimbingan lainnya dengan tidak mengalami
kesulitan. Keadaan ini dapat dimengerti karena layanan kon
pence-1993:515).
Tuntutan akan pentingnya pelayanan konseling sebagai
kegiatan yang terpadu dengan upaya pendidikan di sekolah,
memerlukan tersedianya tenaga-tenaga kependidikan yang
be-nar-benar dapat mencurahkan segenap perhatian dan tenaganya
untuk kepentingan layanan yang dimaksudkan. Salah satu
te-naga kependidikan yang sangat peduli dengan layanan bim
bingan dan konseling tersebut di sekolah-sekolah adalah
Konselor Sekolah (dalam PP No. 28 dan PP No. 29 tahun 1990
disebut dengan Guru Pembimbing). Para konselor sekolah ini
telah menjalani pendidikan pada jenjang D3 dan SI pada
Ju-rusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Program Studi Bim
bingan dan Konseling di Lembaga Pendidikan Tenaga Kepen
didikan (IKIP, FKIP dan STKIP). Dalam lembaga tersebut, me
reka telah belajar berbagai konsep, teori, dan teknik-teknik
berkenaan dengan layanan konseling itu khususnya dan ber
bagai jenis layanan bimbingan lainnya pada umumnya. Dengan
demikian secara teoritis para konselor ini harusnya telah
mampu dan terampil menyelenggarakan layanan konseling ter
sebut kepada siswa-siswa di sekolah. Dengan memperhatikan
uraian-uraian di atas , maka dapat dikatakan bahwa berhasil
atau tidaknya pelayanan bimbingan dan konseling itu di se
kolah banyak tergantung kepada tenaga kependidikan yang
di
sebut dengan konselor sekolah tersebut.
Masalahnya sekarang adalah bahwa keberadaan para
kon
selor (sebagaimana tuntutan di atas) belum mendapat sambutan
banyak yang memahami peran layanan bimbingan dan
konseling,
guru-guru juga belum banyak mendukung kegiatan layanan
yang
dimaksudkan,
bahkan kepala sekolah banyak
yang
memberikan
makna terhadap layanan bimbingan dan konseling dalam
bentuk
penegakan disiplin kepada siswa-siswa. Persoalan ini mungkin
disebabkan
oleh karena pelayanan konseling
masih
terbatas
pada pelayanan terhadap kasus-kasus yang "menonjol" saja
se-perti kenakalan siswa, tidak membayar SPP, mencuri, membolos
dan
sejenisnya. Lebih lanjut Prayitno (1992:8) mensinyalir
bahwa pelayanan terhadap kasus-kasus tersebut di atas sering
kali masih bersifat "negatif-antagonistic, yaitu suatu
si-kap yang memandang masalah-masalah yang dialami siswa
seba
gai suatu hal yang tidak boleh ada, harus diberantas dengan
segera dan jika perlu dengan kekerasan.
Berdasarkan pengamatan penulis selama menjadi
pembim
bing mahasiswa dalam melaksanakan praktek lapangan bimbingan
dan konseling di berbagai SMA Kota madia Padang, dialog
dengan beberapa guru, kepala sekolah dan para siswa
dipero-leh suatu kesan bahwa pelaksanaan bimbingan dan konseling
itu masih jauh dari apa yang diharapkan oleh warga sekolah.
Kebanyakan guru masih banyak yang menganggap bahwa konselor
sekolah "bernasib baik" karena mereka tidak perlu berada di
sekolah selama jam sekolah, tidak perlu menyiapkan
materi-materi yang perlu diajarkan kepada siswa,
dan memeriksa
tugas-tugas yang mereka kerjakan. Mereka lebih banyak
mereka sebagai orang yang perlu diwaspadai, karena
salah-sa-lah
sedikit mereka bisa mendapat sanksi, atau
surat
pang-gilan
orang tua dari guru BP. Para siswa di sekolah
banyak
yang telah terlanjur menganggap konselor sekolah sebagai
so-sok yang menakutkan.
Isu
tentang
ketidakandalan
konselor
sekolah
juga
bergema di tempat-tempat lain, dan dikemukakan oleh para
ah-li yang berkepentingan dengan profesi tersebut. Konselor se
kolah tidak siap pakai (Munandir, 1986:2), konselor
sekolah
dikatakan "polisi sekolah" (Prayitno,1987:14), Kegiatan kon
selor memberikan "pelajaran bimbingan" (Rochman Natawidjaja,
1989:8), konselor sekolah sebagai petugas acministrasi,
pe-laksana koperasi sekolah, pepe-laksana presensi, dan
keranjang
masalah (Thohari Musnamar, 1991:5), guru
bimbingan sedang
"tidur"
(Prayitno,
1991, dalam Pelita
19 Nopember
1991,
halaman 5), dan Iain-lain lagi.
Dalam pada itu, berbagai temuan penelitian juga
meng-indikasikan belum mampunya konselor menampiikan kemampuan
profesional mereka. Ambo Enre Abdullah (1991:5) dalam
pene-litiannya tentang unjuk kerja Guru BP di SMTP dan SMTA Su
10
konselor
dengan
guru bidang
studi,
sehingga
kerahasiaan
siswa belum dapat terjamin secara utuh. M. Asrori
(1990:80)
melalui penelitiannya terhadap unjuk kerja Petugas Bimbingan
dalam melaksanakan konseling menemukan bahwa unjuk kerja Pe
tugas
Bimbingan baru dapat diklasifikasikan dalam
kategori
sedang. dan pada berbagai keterampilan seperti
mengkonkrit-kan pembicaraan, membuka konseling, merumusmengkonkrit-kan tujuan, mem
berikan dorongan, merangkum hasil wawancara dan menutup
konseling, b_e_Inm. memiliki kemampuan yang tinggi (garis bawah
dari penulis). Begitu pula studi yang dilakukan oleh Abdul
Murad (1992) tentang tingkat unjuk kerja konselor dalam
menyelenggarakan wawancara konseling awal menemukan bukti
bahwa sekalipun unjuk kerja para konselor tergolong tinggi,
namun penampilan unjuk kerja tersebut tidak berbeda secara
signifikan dengan dengan unjuk kerja konselor yang bukan
berasal dari Jurusan BP. Selanjutnya Dwi Yuwono (1992) me
lalui penelitiannya tentang profil unjuk kerja Guru Pem
bimbing SMA di Kota madia Semarang menemukan bahwa unjuk
kerja mereka dalam melaksanakan jenis-jenis layanan bimbing
an masih berada pada taraf sedang. bahkan dalam hal melak
sanakan layanan penilain program bimbingan masih termasuk
pada kategori rendah.•
Berdasarkan berbagai temuan penelitian dan isu-isu di
atas, maka jelas sekali terdapat kesenjangan antara apa yang
diharapkan dari para konselor sekolah dengan apa yang
di-temukan dalam kenyataan. Mereka (para konselor sekolah yang
menampilkan unjuk kerja profesionalnya yang mantap, namun
kenyataannya mereka masih belum dapat membuktikan diri se
bagai petugas yang profesional dalam bidangnya yaitu dalam
memberikan layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Berbagai pertanyaan dapat muncul dari keadaan tersebut
di
atas. Misalnya, bagaimana tingkat penguasaan
para
kon
selor
terhadap berbagai konsep yang menyangkut
dengan
ke
mampuan
profesioanalnya
itu ? Bagaimana pula
tingkat
pe
nerapan konsep yang telah mereka miliki itu terhadap
tugas-tugas
layanan
bimbingan dan konseling di
sekolah
?
Bila
terdapat kesenjangan antara tingkat penguasan konsep
mereka
dengan tingkat penerapan layanan konseling di sekolah,
fak-tor-faktor apa yang menyebabkan keadaan itu ?
Berdasarkan
pertanyaan-pertanyaan tersebut
di
atas,
kiranya perlu dilakukan suatu penelitian yang mendalam
ber-kenaan
dengan
tingkat penguasaan konselor
tentang
konsep
kemampuan profesional konseling dan penerapannya di sekolah,
serta
berbagai faktor yang mempengaruhi kesenjangan
antara
kedua faktor tersebut.
B.
Masalah, Wilayah
dan Pertanyaan Penelitian
Masalah belum terwujudnya unjuk kerja profesional kon
selor secara baik di sekolah dapat disebabka.i oleh
berbagai
faktor. Achmad Sanusi (1991:77-78) melihat persoalan itu da
lam
konteks ekologi perilaku profesional konselor, di
mana
(3) tuntutan sekolah, (4) organisasi profesi, dan (5)
pihak-pihak lain yang terkait dengan perilaku profesional ter
sebut.
Penelitian ini ingin mengungkapkan masalah tingkat
penguasaan konselor tentang berbagai konsep yang menyangkut
kemampuan profesional konseling dan bagaimana penerapan kon
sep tersebut dalam praktek layanan konseling di SMA Kota
madia Padang. Ditetapkannya layanan konseling perorangan da
lam fokus penelitian ini didasarkan kepada pemikiran bahwa
layanan tersebut adalah implikasi dari persyaratan suatu
pekerjaan profesional konselor seperti yang dikemukakan oleh
Mc Cully (1969:14), yaitu (1) dapat menampilkan pelayanan
sosial yang unik sehingga jelas perbedaannya dengan pe
kerjaan tenaga lain, (2) untuk mendapatkan kemampuan ter
sebut diperlukan pendidikan dan latihan dalam periode waktu
yang memadai, dan (3) para anggota yang termasuk ke dalam
pekerjaan itu secara tegas dituntut memiliki kemampuan
minimal melalui prosedur seleksi, pendidikan dan latihan,
serta
lisensi
atau pun sertifikasi.
Lebih
lanjut
dinya-takannya bahwa satu-satunya keunikan pelayanan dari konselor
adalah menyelenggarakan konseling perorangan (Mc Cully,
19-69:16).
Keadaan ini juga diperkuat oleh
Nugent
(1981:241)
dengan menyatakan :" when counselors complete their intern
ships in counseling, they just beginning professional".
Selanjutnya
dipilihnya
konselor SMA
sebagai
subjek
penelitian
didasarkan
kepada
beberapa
alasan.
Pertama,
masa
transisi
dari masa kanak-kanak ke
masa
dewasa
yang
tidak dapat terhindar dari berbagai masalah (Wren,
1962:5).
Masalah-masalah umum yang dihadapi para remaja seusia
siswa
SMA menurut Shertzer dan Stone (1981:2-25) antara lain
adalah : masalah-masalah transisi, identitas diri, ekonomis,
sosial, dan pribadi. Masalah-masalah seperti itu
seringkali
tak dapat dihindari meski dengan pengajaran yang baik
seka-lipun
(Prayitno, 1993:59). Oleh karenanya siswa-siswa
usia
ini memerlukan spesialis (konselor) yang dapat membantu
mereka secara pribadi.
Alasan kedua adalah alasan yang bersifat strategis.
Para konselor tamatan LPTK lebih banyak ditempatkan di
Sekolah-sekolah Menengah Atas dibandingkan sekolah lainnya,
sehingga penelitian terhadap kemampuan profesional mereka
menjadi lebih beralasan.
Kemampuan profesional konselor dalam menyelenggarakan
konseling perorangan terbentang luas mulai dari upayanya
membangkitkan serta membahas perlunya bantuan kepada pihak
klien sampai kepada evaluasi hasil serta pengakhiran proses
tersebut. Brammer dan Shostrom (1982: 99) mengemukakan
tu-juh tahap yang perlu dilalui konselor dalam melakukan proses
konseling tersebut yaitu (1) membangkitkan dan membahas
perlunya bantuan, (2) membina hubungan, (3) menetapkan
tu-juan konseling dan menjelajahi berbagai alternatif yang ada,
(4) bekerja dengan masalah dan tujuan-tujuan, (5) membantu
dan mengembangkan kesadaran klien untuk dapat berubah, (6)
14
serta mengakhiri proses konseling. Carckhuf (1977:5)
menge-mukakan
fase-fase bantuan yang perlu ada dalam proses
kon
seling
tersebut adalah (1) involving , (2)
exploring.
(3)
understanding, dan (4) ajsiing., di mana setiap fase
tersebut
diperlukan
kemampuan
profesional tertentu
dari
konselor.
Untuk
dapat
membantu klien terlibat dalam
proses
bantuan
konselor harus terampil menggunakan kemampuan attending,
se-lanjutnya untuk membantu klien dapat menjelajahi
berbagai
pengalamannya konselor harus terampil menggunakan
kemampuan
responding, untuk membantu klien memahami dan mengerti
diri
dan
lingkungannya dituntut
kemampuan personalizing,
dan
akhirnya agar klien dapat melakukan berbagai tindakan yang
dapat mengatasi masalahnya, konselor harus dapat menerapkan
kemampuan
initiating. Selanjutnya Munro, dkk (1979)
secara
garis besar,
membagi proses konseling itu ke dalam empat
tahapan yaitu (1) memulai hubungan konseling,
(2)
mengem-bangkan hubungan konseling, (3) melakukan usaha pengubahan
tingkah
laku, dan (4) mengakhiri proses konseling.
Begitu
luasnya kemampuan profesional yang perlu
diperhatikan konselor dalam menyelenggarakan konseling per
orangan
tersebut maka pertanyan yang ingin dijawab
melalui
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Sampai pada tingkat mana penguasaan konselor terhadap
berbagai konsep tentang kemampuan profesional konseling
yang
mesti dimilikinya, khususnya dalam hal:
melibatkan
diri sendiri dan klien ke dalam suasana konseling,
mem
untuk keperluan pencapaian tujuan konselir.g, dan menilai
proses dan hasil konseling ?
2. Sampai pada tingkat mana penerapan konselor tentang ber
bagai konsep kemampuan profesional konseling seperti ter
sebut pada butir 1 di atas ke dalam praktek layanan
bimbingan dan konseling di sekolah ?
3. Apakah terdapat perbedaan tingkat penguasaan konsep ke
mampuan profesional konseling antara konselor yang
ber-kualifikasi pendidikan S-l dengan konselor yang
ber-kualifikasi pendidikan D-3 ?
4. Apakah terdapat perbedaan tingkat penerapan konsep ke
mampuan profesional konseling antara konselor yang
ber-kualifikasi pendidikan S-l dengan konselor yang
ber-kualifikasi pendidikan D-3 ?
5. Seberapa besar korelasi dan kontribusi penguasaan
konsep
kemampuan profesional konseling terhadap penerapan konsep
tersebut
ke
dalam layanan bimbingan
dan
konseling
di
sekolah ?
6. Faktor-faktor apa saja yang menunjang dan menghambat kon
selor dalam menerapkan konsep kemampuan profesional kon
seling
ke dalam layanan bimbingan dan konseling
di
se
kolah ?
Dengan
memperhatikan pertanyaan penelitian
di
atas,
maka dapat diidentifikasi dua variabel pokok yang dilibatkan
dalam
penelitian
ini, yaitu variabel
penguasaan
konselor
tentang konsep kemampuan profesional konseling, dan variabel
16
penerapan
konsep tersebut dalam layanan konseling
terhadap
siswa. Variabel pertama terdiri dari lima sub variabel yaitu
konsep konselor tentang (1) pelibatan diri sendiri dan klien
dalam suasana konseling, (2) eksplorasi diri klien
, (3)
pemahaman diri kliien, (4) pengambilan tindakan oleh klien,
dan (5) penilaian serta penutupan konseling. Variabel
kedua
juga berisikan lima sub variabel yaitu
penerapan
konselor
tentang konsep kemampuan profesional konseling di atas yaitu
kemampuan
dalam hal (1)
melibatkan diri sendiri dan
klien
ke
dalam
suasana
konseling,
(2)
membantu
klien
mengeksplorasi dirinya, (3) membantu klien memahami dirinya
sendiri,
(4) membantu klien mengambil tindakan,
dan (5)
menilai proses serta menutup konseling. Di samping itu masih
ada
satu
variabel pelengkap dari ke dua variabel
di
atas
yaitu variabel tentang faktor penunjang dan penghambat
penerapan konsep kemampuan profedsional konseling.
1. Melibatkan diri sendiri
dan klien ke dalam suasana konseling
2. Membantu klien mengeks
plorasi dirinya
3. Membantu klien memahami
dirinya sendiri
4. Membantu klien mengambil
tindakan
5. Menilai proses dan menu-tup konseling Kon se lor S-l Kon se lor D-3 Kon se lor S-l Kon se lor D-3 , PENERAPAN KONSEP KENAN PUAN PROF. KONSELING
1. Melibatkan diri sendiri
dan klien ke dalam suasana konseling
2. Membantu klien mengeks plorasi dirinya
3. Membantu klien memahami dirinya sendiri
4. Membantu klien mengambil
tindakan
5. Menilai proses dan menu-tup konseling
FAKTOR-FAKTOR PE NUNJANG DAN
[image:24.595.47.507.57.724.2]PENGHAMBAT
Gambar: 1 Hubungan antar variabel penelitian
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sejalan dengan rumusan dan pertanyaan penelitian yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk memberikan masukan-masukan yang berharga terhadap pening-katan unjuk kerja profesional para konselor di SMA Negeri Kota madia Padang. Untuk maksud tersebut perlu diukur,
dide-skripsikan,
dan dianalisis bukti-bukti empirik tentang
:
1. Tingkat
penguasaan
konselor
terhadap
berbagai
konsep
di-18
milikinya, khususnya dalam hal: melibatkan diri sendiri
dan klien ke dalam suasana konseling, membantu klien
mengeksplorasi dirinya, nembantu klien memahami dirinya
sendiri, membantu klien mengambil tindakan untuk
keper-luan pencapaian tujuan konseling, dan tienilai proses dan
hasil konseling
2. Tingkat penerapan konselor tentang berbagai konsep ke
mampuan profesional konseling seperti tersebut pada butir
1 di atas ke dalam praktek layanan bimbingan dan kon
seling di sekolah.
3. Perbedaan tingkat penguasaan konsep kemampuan profesional
konseling antara konselor yang berkualifikasi pendidikan
S-l dengan konselor yang berkualifikasi pendidikan D-3.
4. Perbedaan tingkat penerapan konsep kemampuan profesional
konseling antara konselor yang berkualifikasi pendidikan
S-l dengan konselor yang berkualifikasi pendidikan D-3.
5. Korelasi dan kontribusi penguasaan konsep kemampuan
pro
fesional konseling terhadap penerapan konsep tersebut
ke
dalam layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
6. Faktor-faktor
yang
menunjang dan
menghambat
penerapan
konsep
kemampuan profesional konseling ke dalam
layanan
bimbingan dan konseling di sekolah.
Apabila
bukti-bukti empirik
sebagaimana
dikemukakan
terdahulu
dapat terhim'pun melalui penelitian
ini maka
ha-sil-hasilnya akan dapat bermanfaat untuk hal-hal berikut.
a. Sebagai
bahan masukan terhadap penyusunan model
pengem
sekolah yang ada di lapangan dengan menggunakan pola pen
didikan dalam jabatan (in-service training).
). Sebagai bahan masukan bagi Jurusan PPB Program Studi Bim
bingan
dan Konseling dalam menyiapkan
calon-calon
kon
selor
yang profesional di sekolah,
khususnya
konselor-konselor yang akan bertugas di SMA.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengelola pendidikan (se
perti Kanwil Depdikbud, Kandep, Kepala Sekolah, dan seba
gainya) dalam upaya peningkatan dan pengembangan
layanan
bimbingan di sekolah.
E. Defenisi Operasional 1. Penguasaan Konsep
Istilah konsep dapat dirujuk kepada teori-teori
bela-jar
seperti dikemukakan oleh Gagne,(1970), dan
sebagainya.
Pada dasarnya konsep dapat diartikan sebagai suatu golongan,
kategori,
kelas
atau
kelompok
dari
suatu
benda
atau
peristiwa
yang
dapat
dipelajari
oleh
seseorang
(Gagne,
1970:88-89). Konsep merupakan hasil proses kognitif yang ada
pada
setiap
individu
dalam
kerangka
memahami
sesuatu
sehingga
dia
dapat
membedakannya dengan
hal
yang
lain.
Manfaat
konsep ini menurut Nasution (1988:84)
adalah
agar
individu terbebas dari pengaruh stimulus yang spesifik serta
dapat
digunakannya dalam segala macam situasi dan
stimulus
yang mengandung konsep tersebut.
Adapun penguasaan konsep yang dimaksudkan dalam pene
litian
ini adalah sejumlah pengetahuan dan
pemahaman
kon
20
;erta teknik-teknik berkenaan dengan konseling perorangan
chususnya menyangkut kemampuan konselor dalam: melibatkan
liri sendiri dan klien dalam suasana konseling, membantu
tlien dalam mengeksplorasi dirinya, memahami dirinya, dan
nengambil tindakan, serta kemampuan konselor dalam menilai
proses dan menutup konseling ; yang dicerminkan oleh tinggi
rendahnya skor yang diperoleh responden berdasarkan
jawaban-jawaban yang diberikannya terhadap alat ukur penguasaan
konsep kemampuan profesional konseling.
2. Konselor
Istilah konselor menurut Cottle (1973:73) adalah
seseorang yang mempunyai latar belakang profesional dalam
berbagai ilmu perilaku yang dipersiapkan untuk membantu
klien
dalam
membuat
pilihan-pilihan
berkenaan
dengan
perkembangan
kehidupan
dan karirnya sehingga
dapat
hidup
pada suatu lingkungan masyarakat modern.
Dalam
penelitian
ini yang dimaksud
dengan
konselor
adalah tenaga kependidikan yang karena keahliannya
diangkat
sebagai tenaga kependidikan atau penyelenggaraan
pendidikan
lainnya
untuk menjadi tenaga yang bertugas
memberikan
pe
layanan bimbingan di sekolah. Kualifikasi pendidikan
mereka
adalah
yang telah menyelesaikan Program Diploma 3
dan/atau
Sarjana dalam bidang bimbingan dan konseling.
3. Penerapan
Istilah
penerapan (appliostinn^ berasal
dari
konsep
taxonomy
ranah
kognitif
Bloom
(1971)
yang
untuk
ikan sesuatu.
Arends dalam menggambarkan makna aplikasi itu
nenyatakan
bahwa individu dapat menerapkan
informasi
yang
diketahuinya
kedalam
bentuk
tindakan
yang
konkrit.
Se-lanjutnya
Gronlund
(1978) juga menyatakan
bahwa
aplikasi
mengacu
kepada
kemampuan untuk
menggunakan
materi-materi
yang telah dipelajarinya ke dalam situasi baru dan konkrit.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan penerapan
adalah
upaya konselor dalam mempraktekkan
berbagai
konsep
tentang kemampuan profesional konseling khususnya
kemampuan
dalam melibatkan diri sendiri dan klien dalam suasana
konseling,
membantu
klien
dalam
mengeksplorasi
dirinya,
memahami dirinya, dan mengambil tindakan, serta kemampuan
konselor dalam menilai proses dan menutup konseling ; yang
terungkapkan melalui tinggi rendahnya skor yang dicapai
responden terhadap butir-butir pernyataan alat ukur
penerapan kemampuan profesional konseling.
4. Kenanpuan Profesional
Kemampuan dapat dipandang sebagai ability dan compe
tence . Bila kemampuan dipandang sebagai ability, Guilford
(Klausmeier, 1971:63) mengemukakan :"ability as union of an
operation, a content, and a product". Dalam hal ini kemam
puan dipandang sebagai suatu kesatuan dari hal-hal yang
bersifat operasional, isi (pengetahuan) dari apa yang akan
dioperasikan tersebut, dan merupakan hasil dari apa yang
dikerjakan. Selanjutnya Burton (1962:98) mendefenisikan
ability sebagai" ... is generalized power to carry on
22
likemukakannya
bahwa
suatu ability
sulit
diberi
batasan
lecuali
dalam
hal
dirinya
sendiri.
Dia
mencontohkannya
iengan
"
ability
to read, ability to
spell,
ability
to
^rite" .
Bila
kemampuan dipandang sebagai masalah
kompetensi,
Pilburd
(1985: 52) mengemukakan bahwa kompetensi
merupakan
pengetahuan
yang telah ada, kemampuan untuk
melakukan
se
suatu, termasuk juga kepada kemampuan seseorang untuk
membe-dakan mana yang termasuk .... dan mana yang tidak ter
masuk Kompetensi menurut Pilburd itu tampaknya
mengan-dung unsur pemahaman akan sesuatu dan penerapan hal tersebut
ke dalam bentuk kegiatan.
Istilah kemampuan juga dapat ditemukan dalam
kamus-kamus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:552) ke
mampuan itu berarti : (1) kesanggupan, (2) kecakapan, (3)
kekuatan, dan (4) kekayaan. Sedangkan istilah kompetensi
berarti (1) keahlian, kemampuan, dan (2) wewenang (Peter
Salim, 1990:372).
Selanjutnya istilah profesional merujuk kepada dua
hal, yaitu (1) pada orang yang menyandang suatu profesi,
dan (2) pada penampilan seseorang dalam melakukan
peker-jaannya sesuai dengan profesinya ( Achmad Sanusi, 1991: 19
dan Dedi Supriadi, 1990:3). Dalam kaitan ini akan terlihat
beda antara penampilan seseorang yang profesional dengan
yang bukan profesional. Kemampuan yang bersifat profesional
harus didasarkan pada- prinsip-pr insip keilmuan tertentu
dilakukannya untuk kepentingan orang lain. Dalam kaitan ini
juga perlu diperhatikan ciri-ciri pekerjaan profesional
konselor seperti yang dikemukakan oleh Mc Cully (1969:14),
yaitu (1) dapat menampilkan pelayanan sosial yang unik
sehingga jelas perbedaannya dengan pekerjaan tenaga lain,
(2) untuk mendapatkan kemampuan tersebut diperlukan pen
didikan dan latihan dalam periode waktu yang memadai, dan
(3) para anggota yang termasuk ke dalam pekerjaan itu secara
tegas dituntut memiliki kemampuan minimal melalui prosedur
seleksi, pendidikan dan latihan, serta sertifikasi. Lebih
lanjut dinyatakannya bahwa satu-satunya keunikan pelayanan
dari
konselor adalah menyelenggarakan konseling
perorangan
(Mc Cully, 1969:16)
Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan kemampuan
profesional
adalah
pemahaman
dan
keterampilan
khusus
konselor
berkenaan
dengan penyelenggaraan
konseling
per
orangan di sekolah sesuai dengan tuntutan profesinya,
yaitu
dalam hal melibatkan diri sendiri dan klien dalam suasana
konseling,
membantu
klien
dalam
mengeksplorasi
dirinya,
membantu
klien
dalam memahami
dirinya
sendiri,
membantu
klien
dalam mengambil tindakan untuk
keperluan
pencapaian
tujuan
konseling,
serta menilai proses
dan
menutup
kon
seling.
E. Asumsi Penelitian
Penelitian
ini
diselenggarakan
berdasarkan
asumsi-asumsi sebagai berikut. Pertama, Pada SMA Negeri Kota
madia
24
onseling. Asumsi ini didasarkan atas landasan
yuridis-ormal pelayanan bimbingan dan konseling yang tertuang pada
urikulum 1984. Pada kurikulum tersebut dinyatakan bahwa
alah
satu
layanan dalam bimbingan dan
konseling
di
SMA
dalah layanan konseling.
Kedua,
Konseling
merupakan
inti
kegiatan
program
imbingan dan konseling. Asumsi ini didasarkan atas
pernya-aan-pernyataan para ahli seperti dijelaskan pada bagian
atar
belakang di atas. Didasarkan atas beberapa
pandangan
.hli tentang bimbingan dan konseling, tampaknya tak
satupun
ang
menolak bahwa layanan konseling merupakan
salah
satu
.ayanan yang penting dari program bimbingan di sekolah.
Ketiga,
Kemampuan profesional konselor
dalam
menye-.enggarakan
layanan konseling tidak diperoleh secara
alami
lelainkan
memerlukan
pendidikan dan latihan
dalam
jangka
?aktu
tertentu.
Asumsi ini diperkuat oleh
Dyer
(1977:18)
lelalui pernyataannya sebagai berikut.
The
counselor
cannot
merely
do
what
comes
naturally,
according
to
his
own
style".
The
counselor
has
learned
specific
skills
and
competencies
which are employed in
counseling
for
the results they are known to produce.
Keempat,
keberhasilan konselor dalam
menyelengara-can
layanan konseling secara profesional ditentukan
oleh
>anyak faktor yaitu faktor di dalam diri konselor
sendiri
seperti
: penguasaan metode, teknik,
dan
keterampilan,
/•ang
ditunjang oleh sikap, motivasi, nilai
pribadi
kon
selor dan pemaknaan oleh konselor akan tugasnya, dan
ber
bagai
faktor
yang
terdapat
di
luar
dirinya
sendiri
RANCANGAN PENELITIAN
Dalam bab ini akan dikemukakan hal-hal yang menyangkut
dengan metode penelitian, subyek penelitian, teknik
pengum
pulan data, pengembangan alat pengumpul data dan teknik ana
lisis data.
A. Metode Penelitian
Metode
yang
digunakan dalam
penelitian
ini
adalah
deskriptif-analitik. Deskriptif maksudnya adalah bahwa pene
litian ini memeriksakan keadaan yang sedang berlangsung pada
saat penelitian ini dilaksanakan. Keadaan tersebut selanjut
nya dianalisis secara deskriptif, komparatif dan
korelatif,
untuk
kemudian ditarik kesimpulannya. Selanjutnya
analitik
maksudnya
adalah bahwa dalam penelitian ini akan
dilakukan
pembahasan dengan berbagai implikasinya.
Keadaan yang ingin diungkapkan melalui penelitian
ini
adalah berkenaan dengan tingkat penguasaan konselor tentang
konsep kemampuan profesional dalam bidang konseling serta
penerapan konsep kemampuan tersebut ke dalam praktek layanan
bimbingan dan konseling di sekolah.
B. Subyek Penelitian
Subyek dari penelitian ini adalah para konselor yang
bertugas di berbagai SMA Kota madia Padang. Menurut catatan
Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi
Sumatera Barat jumlah konselor yang bertugas di SMA Kota ma
dia Padang dengan kualifikasi pendidikan D3 dan Sarjana
65
lam
bidang
bimbingan dan konseling saat ini
berjumlah
41
orang. Seluruh konselor tersebut akan diikut-sertakan
dalam
penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini bersifat
sen-SJiS. karena mengikut-sertakan semua populasi sebagaimana
di-sebutkan di atas.
C.
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Sesuai
dengan masalah, tujuan dan
asumsi
penelitian
sebagaimana telah dikemukakan pada bagian bab pertama,
maka
jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :
1.
Data yang memuat tingkat penguasaan konselor
ten
tang konsep kemampuan profesional dalam bidang layanan
kon
seling, khususnya dalam hal (1) melibatkan diri sendiri
dan
klien
ke dalam suasana konseling, (2) membantu klien
dalam
hal mengeksplorasi dirinya, (3) membantu klien dalam hal me
mahami dirinya sendiri, (4) membantu klien dalam mengambil
tindakan untuk keperluan pencapaian tujuan konseling,
dan
(5) menilai proses dan hasil serta mengakhiri konseling.
2.
Data yang memuat tingkat penerapan konsep-konsep
tersebut di atas oleh konselor ke dalam praktek layanan kon
seling di sekolah.
3. Data yang memuat faktor-faktor penunjang dan
peng-hambat terhadap penerapan konsep-konsep kemampuan profe
sional konseling di atas dalam praktek layanan bimbingan dan
konseling mereka di sekolah.
Data yang berisi tingkat penguasan konselor tentang
kemampuan profesionalnya dalam menyelenggarakan konseling
lenyerupai tes.
Selanjutnya data yang mengungkapakan tingkat penerap
an konselor terhadap konsep kemampuan profesional konseling
/ang telah dimilikinya ke dalam praktek
layanan bimbingan
ian konseling di sekolah akan dikumpulkan dengan menggunakan
-eknik self-report, dalam bentuk skala.
Akhirnya data yang menerangkan faktor-faktor
penun
jang dan penghambat terhadap penerapan berbagai konsep
ke-nampuan
profesional konseling yang telah mereka
railiki
ke
ialam layanan bimbingan dan konseling di sekolah juga dikum
pulkan dengan menggunakan teknik self-renort dalam bentuk
iaftar cek dan isian terbuka.
).
Pengembangan Alat Pengumpul Data
L. Alat Ukur Konsep Kemampuan Profesional Konseling
Alat ini berisikan sejumlah konsep yang biasa dihadapi
ionselor sewaktu ia menyelenggarakan layanan konseling ber
sama kliennya. Dalam mengembangkan alat pengumpul data jenis
ini ditempuh langkah-langkah sebagai berikut.
a. Penyusunan Kisi-kisi
Alat Ukur
Untuk menyusun kisi-kisi alat ukur konsep kemampuan
conseling ini didasarkan pada bangun (oonst.mnn variabel
lemampuan profesional konseling. Sebagaimana telah
dije-•askan bahwa kemampuan profesional konseling yang hendaknya
literapkan oleh konselor meliputi kemampuan dalam melibatkan
iiri dan klien ke dalam suasana konseling sampai kepada
67
beserta
indikator dari komponen tersebut yang
dikembangkan
berdasarkan
teori yang dikemukakan oleh Carkhuff (1983:
5)
Brammer dan Shostrom (1982: 99), Munro et al. (1979: 28-75),
dan Culley (1991: 3) seperti tertera pada lampiran D-l.
b. Perumusan Alat Ukur
Setelah
kisi-kisi tersusun, maka langkah
selanjutnya
adalah
merumuskan butir-butir pernyataan berdasarkan
kisi-kisi tersebut sehingga menjadi alat ukur yang dapat mengung
kapkan
penguasaan konsep konselor tentang kemampuan
profe
sional
konseling.
Untuk setiap aspek
yang
hendak
diukur
disediakan
suatu situasi tentang hubungan konseling
antara
konselor
dengan
klien. Ke dalam
setiap
situasi
tersebut
disertakan sejumlah pertanyaan tentang konsep-konsep
kemam
puan profesional konseling yang masing-masingnya memuat tiga
alternatif
jawaban,
yaitu jawaban a, b, dan
c.
Responden
nantinya
diminta untuk menandai salah satu dari
alternatif
yang
disediakan
tersebut, sehingga
hasil
jawaban
mereka
dapat diberikan skor 1( satu), 2 (dua) dan 3 (tiga).
Dengan mengikuti prosedur seperti tersebut di atas ma
ka pada tahap ini dapat dirumuskan 35 butir pernyataan
ten
tang persoalan yang menyangkut dengan konsep kemampuan pro
fesional
konseling yang bersangkutan.
Butir-butir pernya
taan yang dimaksudkan tertera pada lampiran D-2.
c. Penimbangan butir-butir pernyataan alat ukur
Penimbangan butir-butir pernyataan alat ukur yang
telah dirumuskan di atas dilakukan dengan tujuan untuk meli
hat keoocokan antara isi rumusan setiap alat pkur dengan in
berdasar-kan
bangun
variabelnya. Butir-butir pernyataan
alat
ukur
yang telah disusun tersebut selanjutnya ditimbang oleh
tiga
orang penimbang (judge) yang ahli dalam bimbingan dan konse
ling.
Setiap penimbang memberikan penilaian
baik
terhadap
isi maupun redaksi kata-kata dari alat ukur yang
bersangkut-an.
Setiap butir pernyataan yang dinilai oleh
ketiga
ahli
itu diberi skor 1 jika butir pernyataan tersebut dinilai co
cok
untuk mengungkapkan indikator variabel penelitian
yang
dimaksud, dan skor 0 jika butir pernyataan yang bersangkutan
dinilai tidak cocok untuk mengukur indikator variabel
pene
litian yang dimaksud.
Untuk mengetahui keandalan semua butir pernyataan alat
ukur berdasarkan timbangan para penimbang, maka diuji dengan
menghitung
realiabilitas antar penimbang (interrat.er
reli
ability) dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh R.L
Ebel (Guilford, 1954:395) sebagai berikut:
11
kk
Vp + ( k-1 ) ve
VP - Vve
Keterangan rumus:
rn
= reliabilitas timbangan seorang penimbang
rkk
~ reliabilitas timbangan seluruh penimbang
Vp
= variansi pernyataan
ve
= variansi galat
69
Dengan mempergunakan cara di atas, diperolah koefisien
reliabilitas seperti tertera pada tabel 1 berikut ini.
Pro
ses perhitungannya tertera pada lampiran D-6.
TABEL 1
KOEFISIEN REALIBILITAS ANTAR PENIMBANG
ALAT UKUR KONSEP KEMAMPUAN PROFESIONAL KONSELING
Koefisien
Realibilitas
rll
rkk
Nilai
koefisien
0,295
0,556
1,77
3,84
Signifikan pada p <
0,05
0,005
d. Uji Coba Alat Ukur
Uji
coba alat ukur ini dimaksudkan
untuk mengetahui
kesahihan (validitas) dan keajegan (realibilitas) alat ukur
yang bersangkutan. Jumlah responden yang digunakan dalam ke
giatan uji oba ini sebanyak 38 orang dengan memnafaatkan
se-mua konselor yang bertugas di SMA Negeri Kotamadya Padang.
11 LLii ooJb_a kesahitmn (validita^ bjitj
taaa aJLai \xkax.
Untuk memguji kesahihan setiap butir pernyataan
alat
ukur konsep kemampuan profesional konseling,
dilakukan
dengan menempuh dua cara yaitu (a) menentukan daya pembeda
(DP) setiap butir pernyataan, dan (b) menentukan korelasi
setiap butir pernyataan dengan keseluruhan butir pernyataan
yang ada.
[image:37.595.51.491.137.704.2]pernya-a) Mencari daya pembeda setiap butir pernyataan
Penentuan daya pembeda ini dimaksudkan untuk menguji
signifikansi perbedaan skor rata-rata kelompok tinggi dengan
skor rata-rata kelompok rendah. Dengan kata lain,
penentuan
ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah suatu butir pernya
taan itu dapat membedakan responden kelompok tinggi dengan
responden kelompok rendah. .Penguj ian ini dilakukan dengan
menggunakan uji t dengan menggunakan rumus yang dikembangkan
oleh Edwards (1957:152) dan telah dimodifikasi lambangnya
oleh Subino (1987:100). Rumus yang dimaksudkan adalah :
t = Xu - Xa
(su2/nu + sa2/na
Dengan menggunakan rumus uji t di atas, butir
pernya
taan
yang dapat dipakai karena koefisien t nya
signifikan
pada p< 0,05 adalah berjumlah 32 butir, sedangkan tiga butir
lainnya harus dibuang karena tidak signifikan pada taraf
ke-percayaan
yang dimaksudkan. Hasil perhitungan terhadap
uji
kesahihan ini tertera pada lampiran D-9.
b)
Mengkorelasikan
setiap
butir
pernyataan
dengan
keseluruhan butir pernyataan
Dari 32 butir pernyataan terpilih saat uji daya pembe
da, maka langkah berikutnya adalah melakukan seleksi
dengan
menggunakan
korelasi itemm total, yakni
dengan
menghitung
indeks korelasi di antara nilai responden untuk setiap butir
pernyataan
dengan nilai responden untuk
seluruh
perangkat
71
terpilih ialah yang memiliki koefisien r dan t signifikan
pada p < 0,05. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut maka
ke 32 butir pernyataan yang dimaksudkan dapat dipakai
selu-ruhnya karena r dan t nya signifikan pada p < 0,05.
Hasil
perhitungannya tertera pada lampiran D-10.
2J. ILii
z£h&
kea.iegan (reai ihi iit,*^)
Setelah dilakukan uji kesahihan untuk setiap butir
pernyataan dengan menggunakan rumus uji t dan korelasi
item
total, maka terhadap alat ukur konsep kemampuan
profesional
konseling yang terpilih tersebut selanjutnya dilakukan uji
keajegan. Untuk melakukan uji keajegan ini, digunakan teknik
SPlit haJjl method
dengan
menggunakan
rumus yang
telah
dimodifikasi oleh Subino (1987:115) sebagai berikut.
rtt
= 2 r gng<j
1 + r gngj
Proses
perhitungan ini menghasilkan koefisien
reli
abilitas
rtt
= 0,83. Artinya alat
ukur
penguasan
konsep
kemampuan
profesional konseling memiliki reliabilitas
yang
tinggi (Subino, 1987:115; dan Rohcman Natawidjaja, 1988:88).
Dengan demikian alat ukur yang bersangkutan sebanyak 32
bu
tir
tersebut
di
atas
dapat
digunakan
untuk
penelitian
sebenarnya di lapangan. Perhitungan reliabilitas ini tertera
pada lampiran D-ll.
2.
Skala Penerapan Kemampuan Profesional Konseling
Skala
ini pada dasarnya mengikuti pola yang
terdapat
atas. Namun yang ingin diungkapkan dalam skala ini adalah
bagaimana para konselor menerapkan berbagai konsep tentang
kemampuan profesional konseling tersebut ke dalam praktek
layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Untuk tujuan ini
Pada skala tersebut responden diminta untuk memberikan tand
cek pada kolom satu sampai dengan kolom lima sesuai dengan
kenyataan
yang dialami sehari-hari oleh mereka
dalam
menyelenggarakan layanan konseling di sekolah. Arti dari
masing-masing kolom tersebut adalah : 1
=
belum dilakukan
sama sekali, 2 = bersiap-siap untuk melakukannya, 3 = baru
dialkukan seadanya saja, 4 = sebagian besar telah dilakukan
dengan baik, dan 5 = telah dilakukan sepenuhnya secara baik.
a.
Penyusunan Kisi-kisi
Instrumen
Kisi-kisi
alat ukur yang digunakan dalam alat ukur
ini pada dasarnya modifikasi dari kisi-kisi alat ukur alat
ukur konsep kemmpuan profesional konseling terdahulu.
As-pek-aspek yang menjadi fokus penelitian pada skala ini tetap
menggunakan
aspek-aspek yang terdapat pada
kisi-kisi
alat
ukur konsep kemampuan profesional konseling, sedangkan
rin-cian kemampuannya berisikan berbagai kemampuan yang mewujud
pada
suatu
tingkah
laku
(keterampiIan)
konselor
dalam
melakukan layanan konseling.
Aspek-aspek
beserta indikator dari komponen
tersebut
yang
telah
mengalami
modifikasi
tersebut
tertera
pada
lampiran D-4.
73
b. Perumusan butir-butir pernyataan
Setelah kisi-kisi tersusun, maka langkah selanjutnya
adalah merumuskan butir-butir pernyataan berdasarkan
kisi-kisi tersebut sehingga menjadi alat ukur yang dapat meng
ungkapkan penerapan kemampuan profesional konseling.
Jumlah
butir alat ukur tentang penerapan kemampuan profesional kon
seling yang dapat dirumuskan pada tahap ini berjumlah 25
butir
pernyataan.
Butir-butir pernyataan
tersebut tertera
pada lampiran D-5.
c.
Penimbangan butir-butir pernyataan alat ukur
Penimbangan butir-butir pernyataan skala tentang pene
rapan
kemampuan profesional konseling ini tujuan
dan
pro-sedurnya
sama dengan penimbangan alat ukur
tentang
konsep
kemampuan profesional konseling terdahulu.
Dengan mengikuti prosedur seperti alat ukur
terdahulu
maka
diperoleh koefisien reliablitas sebagai
mana
tertera
pada
tabel berikut ini. Proses perhitungannya tertera
pada
lampiran D-7.
TABEL 2
KOEFISIEN REALIBILITAS ANTAR PENIMBANG ALAT UKUR PENERAPAN KONSEP KEMAMPUAN
PROFESIONAL KONSELING
Koefisien Realibilitas
Nilai
koefisien
t Signifikan pada p <
rll
rkk
0,381
0,648
1,97
4,07
0,05
[image:41.595.56.519.145.748.2]d. Uji Coba Alat Ukur
Uji
coba alat ukur ini dimaksudkan untuk mengetahui
kesahihan (validitas) dan keajegan (realibilitas) alat ukur
yang bersangkutan. Jumlah responden yang digunakan dalam ke
giatan uji oba ini sebanyak 38 orang dengan memanfaatkan
se-mua konselor yang bertugas di SMA Negeri Kota madia Padang.
Karena
sifat alat ukur jenis ini berbeda dengan
alat
ukur
konsep kemampuan profesional konseling, di
mana pada
alat ini hanya meminta responden untuk menyatakan
penerapan
kemampuan profesional konseling mereka apa adanya, maka
un
tuk
melihat
keandalan
dan keajegan
alat
tersebut
cukup
dengan
mencari
konsistensi
korelasi
suatu
item
diban-dingkan
dengan
item total untuk
masing-masing
responden.
Dalam
hal
ini digunakan program
komputer
microstat
yang
dapat
menghitung
konsistensi dari
korelasi-korelasi
ter
sebut .
Setelah nilai korelasi untuk untuk masing-masing butir
pernyataan ditemukan, selanjutnya nilai tersebut
dikonsul-tasikan
dengan
nilai kritis (critial value) pada
p
<0,05
dengan menempuh uji dua ekor (2-tail) yaitu sebesar 0,31975.
Dengan mengikuti prosedur tersebut maka seluruh butir dari
skala penerapan kemampuan profesional konseling dapat
digu
nakan karena angka korelasi untuk setiap butir besar dari
nilai kritis yang telah ditetapkan. Hasil perhitungan dengan
75
3. Daftar Pengungkapan Faktor Penunjang dan Penghambat Pene
rapan Kemampuan Profesional Konseling
Alat ini merupakan pelengkap dari skala penerapan ke
mampuan profesional konseling, di mana di dalamnya responden
diminta untuk menandai pernyataan yang menunjang atau meng
hambat penerapan kemampuan profesional konseling ke dalam
praktek
layanan konseling di sekolah. Faktor penunjang dan
penghambat
terhadap
penerapan kemampuan
profesional
kon
seling
itu
diduga dapat berasal dari dalam diri
konselor
sendiri ( misalnya; sudah atau belum dipelajarinya kemampuan
yang bersangkutan oleh konselor; sikap, motivasi, nilai pri
badi dar, pemaknaan oleh konselor akan tugasnya) dan
faktor-faktor yang berasal dari luar diri konselor sendiri
(seper
ti masalah sarana, dukungan kepala sekolah, pemahaman
siswa
dan orang tua terhadap layanan BK, dan sebagainya).
Bila
daftar pernyataan tentang faktor
penunjang
dan
penghambat
tersebut belum menggambarkan keadaan yang
sebe-narnya dari responden maka mereka boleh menuliskan
berbagai
faktor dan penghambat itu pada tempat yang telah
disediakan
untuk keperluan tersebut.
Terhadap alat ukur jenis ini kegiatan penimbangan oleh
para ahli hanya untuk melihat kecocokan antara isi rumusan
setiap
alat
ukur dengan indikator nilai yang
diukur
oleh
alat
ukur tersebut berdasarkan bangun variabelnya.
Setiap
penimbang
memberikan
penilaian baik
terhadap
isi
maupun
redaksi
kata-kata
dari alat ukur yang
bersangkutan.
Atas
dasar saran-saran dari para
penimbang, selanjutnya
penulis
Uji coba alat ini juga bertujuan untuk melihat apakah
pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam daftar
peng
ungkapan tersebut dipahami oleh responden. Tampakanya para
responden yang menjadi subyek uji coba tidak
memperma-salahkan bahasa dari alat yang dimaksudkan.
E. Teknik Analisis Data
Kegiatan analisis data akan didahului dengan pengujian
persyaratan
atau
asumsi-asumsi yang
mendasari
statistika
inferensial,
yaitu yang meliputi uji normalitas penyebaran
frekuensi dari setiap variabel yang diperoleh (Guilford dan
Fruchter,
1978:197), dan uji linearitas regresi
dari
data
yang heridak diperiksa korelasinya (Sudjana, 1982:25-26).
Untuk
menjawab
berbagai pertanyaan
penelitian
yang
telah dikemukakan pada bab pertama terdahulu maka
dilakukan
perhitungan dengan menggunakan teknik-teknik sebagai berikut
ini .
1. Untuk menjawab pertanyaan pertama dan kedua , yaitu
sampai
pada tingkat mana penguasaan konsep
kemampuan
pro
fesional konseling dan penerapan terhadap konsep tersebut ke
dalam
prakcek
layanan bimbingan dan konseling
di
sekolah
oleh konselor di SMA Kota madia Padang dilakukan
penaksiran
terhadap rata-rata populasi dan pengelompokkan data
beserta
persentasenya
(Guilford
dan Fruchter, 1978,
dan
Sudjana,
1986).
2. Untuk menjawab pertanyaan ketiga dan keempat, yaitu
apakah
terdapat
perbedan yang
berarti
tingkat
penguasan
77
.ersebut
kedalam
praktek layanan bimbingan
dan
konseling
mtara
konselor yang berkualifikasi pendidikan
S-l
dengan
konselor
yang
berkualifikasi pendidikan D-3
di
SMA
Kota
ladia
Padang,
dilakukan dengan menggunakan
teknik
t
tes
IRochman Natawidjaja, 1988).
3.
Untuk
menjawab pertanyaan
kelima
yaitu
tentang
ipakah
terdapat korelasi antara
tingkat
penguasan
konsep
ionselor
dengan penerapan konsep tersebut ke dalam
praktek
Layanan bimbingan dan konseling di sekolah digunakan
teknik
iorelasi
dan
analisis
regresi
sederhana
(Guilford
dan
fruchter, 1978, dan Sudjana, 1986).
4. Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan keenam, yaitu
tentang faktor-faktor apa saja yang menunjang dan menghambat
ialam penerapan konsep kemampuan profesional konseling yang
telah
dimiliki oleh konselor di SMA Negeri Kota
madia
Pa-iang,
dilakukan
dengan
teknik
persentase
da