• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduk"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

APLIKASI INTERVENSI SOSIAL UNTUK MEREDUKSI STIGMA DAN

DISKRIMINASI TERHADAP HIV & AIDS DI INDONESIA

Andrian Liem

Magister Profesi Psikologi bidang Klinis, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

E-mail: andrianliem@yahoo.com

Agustina Viktrisia Lily Hertati Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Valentina Widyawati Ubasisa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

ABSTRAK

Jumlah kasus HIV (Human Immune-deficiency Virus) & AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Prevalensi HIV penduduk berusia 15-49 tahun pada tahun 2008 sebesar 0.22% diproyeksikan meningkat menjadi 0.37% pada tahun 2014. Hal tersebut dapat diartikan sebagai meningkatnya kesadaran orang untuk melakukan tes HIV atau kemungkinan lain adalah penyebaran HIV & AIDS yang semakin sulit dikontrol. Penghalang utama dalam penanggulangan HIV & AIDS adalah stigma dan diskriminasi oleh masyarakat terhadap penyakit tersebut maupun kepada orang dengan HIV positif. Stigma terhadap HIV seringkali ditujukan kepada kelompok minoritas tertentu dan juga kerap dikaitkan dengan moral dan agama. Sementara diskriminasi terhadap orang dengan HIV positif terwujud dalam pelanggaran hak individu di ranah ekonomi, sosial, budaya (EKOSOB) sekaligus di bidang sipil dan politik (SIPOL). Dampak stigma dan diskriminasi tersebut sangat kuat karena dapat menghambat upaya preventif penyebaran HIV maupun usaha kuratif terhadap orang dengan HIV positif. Oleh sebab itu diperlukan intervensi sosial untuk mereduksi stigma dan diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam paper ini akan dijelaskan berbagai aplikasi yang dapat digunakan dalam intervensi sosial itu. Dengan bersumber pada literatur ilmiah yang terbaru, dapat disimpulkan bahwa intervensi sosial untuk mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap HIV & AIDS di Indonesia dapat diaplikasikan melalui (1) dialog lintas iman; (2) optimalisasi peran media massa; (3) edukasi kepada masyarakat umum maupun petugas kesehatan; (4) pemberian informasi kesehatan reproduksi pada remaja; dan (5) membentuk kelompok dukungan sebaya (peer support group). Hal lain yang perlu ditekankan adalah pendekatan jejaring atau komunitas yang harus digunakan sebagai dasar aplikasi intervensi sosial tersebut.

(2)

Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

I. LATAR BELAKANG

HIV (Human Immune-deficiency Virus) saat ini diidentifikasi berasal dari simpanse di Afrika Barat dan tertular kepada manusia yang saat itu sedang berburu kemudian terjadi kontak dengan darah simpanse. Kasus pertama yang diduga sebagai HIV berasal dari sampel darah seorang pria Kinshasa, Kongo, pada tahun 1959. Infeksi HIV kemudian pertama kali dideteksi di Los Angeles pada tahun 1980an dan sejak saat itu pula dihubungkan dengan ketakutan, stigmatisasi, dan diskriminasi terhadap komunitas gay17,30,44. Sementara di Indonesia kasus HIV pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 di Bali14. Di tingkat regional, ASEAN memiliki jumlah penderita HIV terbanyak setelah Afrika. Pada 2006, jumlah orang terinfeksi HIV di dunia adalah 39,5 juta orang dimana 30% dari jumlah tersebut adalah remaja dan dewasa awal (15-24 tahun). Sedangkan di Indonesia sendiri jumlah kasus HIV dan AIDS

(Acquired Immune Deficiency Syndrome)

cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Prevalensi HIV penduduk berusia 15-49

tahun pada tahun 2008 sebesar 0.22%

diproyeksikan meningkat menjadi 0.37% pada tahun 2014. Hal tersebut dapat diartikan sebagai meningkatnya kesadaran orang untuk melakukan tes HIV atau kemungkinan lain adalah penyebaran

HIV & AIDS yang semakin sulit

dikontrol.14,36,41,43

Evaluasi dan monitoring efektivitas berbagai upaya preventif dan kuratif HIV (Human Immune-deficiency Virus) dan AIDS (Acquired

Immune Deficiency Syndrome) yang telah

dilakukan masih belum maksimal karena hanya

menekankan output akhir, seperti tingkat

prevalensi, penggunaan kondom, dan jumlah orang terinfeksi HIV yang mengakses Anti Retro-Viral ARV. Padahal dalam evaluasi penanggulangan HIV dan AIDS perlu mempertimbangkan aspek sosial, salah satunya stigma dan diskriminasi yang muncul di masyarakat terhadap HIV dan AIDS.4,7,37,42,47

Stigma dan diskriminasi terjadi di berbagai ranah, mulai dari ruang pribadi seperti relasi sosial, hingga ranah publik seperti hambatan dalam akses pendidikan maupun layanan kesehatan12. Penderita HIV yang mendapat stigma dan mengalami

diskriminasi mempunyai beban ganda, yaitu dari virus dalam tubuhnya sekaligus dari tekanan lingkungan sosialnya. Pada penderita HIV yang memiliki kepribadian rentan atau kurang stabil secara emosional dapat memicu frustasi dan depresi hingga munculnya ide bunuh diri. Diskriminasi yang ditemui dalam akses terhadap

layanan kesehatan juga akan mendorong

penundaan atau menghentikan perawatan dengan ARV2,12,41. Bahkan pada beberapa kasus seorang perempuan hamil yang terinfeksi HIV dipaksa

menggugurkan kandungannya7. Diskriminasi

terkait HIV dan AIDS bukan hanya merugikan orang yang terinfeksi, tapi juga keluarga, rekan, maupun lingkungan di sekitarnya yang memiliki relasi baik dengan orang tersebut12.

Pada tingkat preventif, stigma yang telah

berkembang dan menetap dalam pikiran

masyarakat akan menimbulkan penolakan terhadap usaha pencegahan penyebaran HIV dan AIDS. Contoh nyata dari hal itu adalah masih rendahnya orang yang melakukan Voluntary Counseling Testing (VCT) untuk mengetahui status HIVnya. Orang yang akan melakukan VCT akan distigma telah melakukan perbuatan asusila3,7,12,46. Penolakan lain terwujud dalam bentuk pemikiran bahwa HIV hanya menyerang komunitas tertentu seperti pengguna narkoba, orang dengan orientasi seks beragam, dan pekerja seks8,32,43. Masih banyak bentuk manifestasi dari stigma dan diskriminasi terkait HIV dan AIDS yang muncul di tataran sosial masyarakat Indonesia. Namun hingga kini belum ada perhatian serius yang diberikan untuk mengukur hal itu37,42,43.

Stigma dan diskriminasi merupakan

(3)

Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

II. KAJIAN PUSTAKA

A. HIV dan AIDS17,23,26,30,44

HIV adalah virus yang menyerang antibody manusia (CD4) yang ada di dalam sel darah putih sehingga kekebalan tubuh orang tersebut lambat laun akan melemah. Orang dengan HIV positif rentan terhadap serangan virus, bakteri, parasit, dan jamur. Akibatnya orang tersebut mudah terkena berbagai penyakit dan terjadi komplikasi. Saat

muncul kumpulan gejala penyakit akibat

melemahnya sistem kekebalan tubuh, maka orang tersebut memasuki fase AIDS. Orang yang terinfeksi HIV pada awalnya tidak akan merasakan sakit atau keluhan tertentu dan waktu yang diperlukan untuk sampai ke fase AIDS sangat beragam pada setiap orang. Bahkan tidak semua penderita HIV positif akan mengalami AIDS, tergantung dari gaya hidup, asupan gizi, dan lingkungan sosialnya.

Secara umum empat fase dalam HIV adalah sebagai berikut:

(1) Window Period, yaitu periode awal dimana virus HIV belum dapat terdeteksi karena jumlahnya yang masih sangat sedikit dan tubuh belum memproduksi antibody untuk menangkalnya serta tidak ada gejala khusus;

(2) Fase inkubasi dimana tubuh sudah

memproduksi antibody terhadap virus HIV namun masih belum menunjukkan gejala-gejala tertentu; (3) Pada periode ini kekebalan tubuh mulai berkurang dan muncul penyakit yang terkait HIV (HIV related illness) sehingga dapat disebut gejala AIDS. Gejala yang umum ditemukan adalah keringat berlebih pada waktu malam, diare terus-menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu berkepanjangan, nafsu makan berkurang, lemah, dan berat badan menurun;

(4) Fase akhir adalah AIDS yang ditandai dengan jumlah sel T sangat sedikit, timbul penyakit tertentu (infeksi oportunistik) yang umumnya berupa kanker (kulit), infeksi paru-paru seperti TB, infeksi usus yang menyebabkan diare, serta infeksi otak. Perlu diingat bahwa orang yang memasuki fase AIDS dapat kembali ke fase sebelumnya jika meminum obat sesuai anjuran, memiliki kondisi psikologis yang stabil, asupan gizi yang baik, serta dukungan sosial yang kuat.

Gambar 1. Durasi antar Fase17

HIV

Gambar 2. Siklus Fase HIV17

HIV terdapat dalam semua cairan tubuh orang yang terinfeksi (termasuk keringat, air liur, dan air mata), tetapi memiliki konsentrasi yang berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cairan yang dapat menjadi media penularan dan memiliki konsentrasi tertinggi virus HIV ada pada darah, air mani (semen), cairan vagina, dan Air Susu Ibu (ASI). Sedangkan cara penularan yang umum terjadi adalah dengan penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan digunakan bersama, hubungan seks tanpa kondom, dan pemberian ASI yang tidak eksklusif. Selain itu HIV hanya dapat bertahan hidup pada suhu tubuh manusia, lingkungan yang lembab, tidak hampa udara atau kontak dengan atmosfer, serta PH yang seimbang.

(4)

Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

dan masuk ke dalam tubuh orang dengan HIV negatif. Jika hubungan seks dilakukan tanpa kondom maka ada resiko HIV akan masuk melalui luka terbuka atau alat kelamin. Virus HIV memiliki ukuran yang sangat kecil dan ada kemungkinan lebih kecil dari pori-pori kondom, akan tetapi ketika virus tersebut keluar dari kondom maka akan terjadi kontak dengan udara sehingga akan mati. Sementara ibu dengan HIV positif yang memberi ASI kepada bayinya sambil memberi makanan atau minuman yang lain dikhawatirkan akan menimbulkan luka atau infeksi di mulut dan panas serta kandungan asam yang tinggi.

Hingga saat ini orang dengan HIV positif belum dapat disembuhkan (cure) tetapi bisa memperoleh perawatan (treatment) agar tidak memasuki fase ke-3 maupun AIDS. Perawatan yang dimaksud adalah pemberian ARV dan obat infeksi oportunistik. ARV digunakan ketika jumlah sel kekebalan tubuh sudah sangat rendah dan berfungsi untuk menghambat perkembang-biakan virus. Oleh karena itu tidak semua penderita HIV perlu meminum ARV jika sel T atau CD4 yang dimiliki masih dalam batas minimal. Selain itu, pemberian ARV juga harus disertai dengan

pendampingan khususnya terkait kepatuhan

meminum obat karena sekali meminum ARV maka orang dengan HIV positif harus meminumnya seumur hidup. Jika konsumsi ARV terhenti maka virus akan kebal terhadap ARV tersebut dan selanjutnya diperlukan ARV lini kedua yang harganya lebih mahal serta jumlahnya terbatas. Sementara obat infeksi oportunistik digunakan untuk melawan penyakit yang mungkin timbul karena melemahnya sistem kekebalan tubuh.

B. Stigma dan Diskriminasi

Stigma adalah konstruksi sosial dari harapan sosial yang ideal, terwujud dalam pemberian label sosial yang membuat orang lain dan individu bersangkutan memandang rendah dirinya43. Secara teoritis stigma terbagi dua, yaitu

eksternal dan internal. Stigma eksternal

merefleksikan identitas sosial negatif yang diberikan oleh masyarakat kepada orang terinfeksi HIV yang menghasilkan marginalisasi sosial. Stigma eksternal terkait erat dengan sikap menyalahkan (blaming) orang terinfeksi HIV atas penyakit mereka, kesalahan persepsi dalam cara penularan HIV, ketakutan yang irasional akan tertular, dan sikap negatif. Sementara stigma internal adalah keyakinan yang dimiliki orang

terinfeksi HIV tentang dirinya sendiri

(terinternalisasi) akibat stigma yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya. Stigma internal terkait dengan gambaran diri (self image) yang negatif, serta perasaan bersalah dan malu3,46.

Stigma yang muncul sebagian besar berhubungan dengan penghayatan agama yang kurang tepat, misalnya saja orang yang terinfeksi HIV memang pantas menerima kutukan tersebut atau sudah menjadi imbalan atas dosanya. Selain itu, umumnya stigma dan diskriminasi juga terjadi akibat pemahaman yang kurang atau keliru mengenai HIV dan AIDS. Ironisnya, sejumlah petugas kesehatan di Papua yang telah memperoleh pelatihan VCT setuju dengan adanya pernyataan berlebihan yang sifatnya diskriminatif seperti, “Orang terinfeksi HIV itu kotor, mesti ditolak dan dihukum”. Sebagian besar petugas kesehatan juga setuju dengan pernyataan stigma yang lebih halus seperti “Orang dengan HIV mesti menerima pembatasan atas perilaku mereka”. Hal ini membuktikan bahwa ceramah satu arah tidak cukup dalam menurunkan stigma.8,13

Kurangnya pemahaman masyarakat tentang cara penularan dan penanganan akan menuntun pada kesalahan informasi dan menimbulkan mitos terkait HIV dan AIDS. Mitos-mitos tersebut yang kemudian menjadi dasar stigma terhadap orang dengan HIV positif. Beberapa mitos yang berkembang dalam masyarakat adalah30,44:

(5)

Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

(3) HIV dan AIDS penyakit orang barat. Faktanya kasus HIV pertama kali memang ditemukan di Afrika dan Amerika, tetapi penyebarannya kini sudah sangat luas dan bahkan dapat ditemui pada semua propinsi di Indonesia;

(4) HIV hanya menular lewat hubungan seks dan hanya menyerang pekerja seks. Faktanya HIV juga dapat menular lewat penggunaan jarum suntik tidak steril dan bergantian, penularan dari ibu ke anak, atau transfusi darah yang tidak steril. Pekerja seks memang salah satu kelompok beresiko jika tidak memakai kondom saat berhubungan seks, tetapi selain itu petugas kesehatan juga memiliki resiko terkena HIV jika tidak menjalani prosedur dengan benar, misalnya menutup jarum suntik dengan dua tangan (seharusnya hanya satu tangan); (5) HIV dapat menular melalui gigitan nyamuk. Faktanya HIV hanya dapat hidup di darah manusia dan nyamuk menghisap darah manusia bukan menyuntikannya kembali;

(6) Terinfeksi HIV berarti vonis mati dan ibu dengan HIV positif pasti memiliki anak yang juga terinfeksi. Faktanya orang terinfeksi HIV jika memiliki gaya hidup yang sehat, asupan gizi yang baik, dan lingkungan sosial yang mendukung akan memiliki masa hidup sama dengan orang tanpa HIV. Sementara bayi yang lahir dari ibu hamil dengan HIV positif tidak selalu otomatis terinfeksi. Dengan teknologi kedokteran seperti program bayi tabung, bedah caesar, atau pemberian ASI ekslusif maka resiko bayi terinfeksi HIV dari ibunya akan menjadi semakin kecil (Prevention of Mother-to-Child HIV Transmission [PMTCT]);

(7) HIV dapat menular lewat kontak sosial seperti bersalaman, berpelukan, menggunakan peralatan makan yang sama, menggunakan WC atau kolam yang sama, atau terkena keringat atau air liur orang dengan HIV positif. Faktanya virus HIV hanya menular lewat darah, air mani, cairan vagina, dan ASI dengan syarat cairan tersebut tidak mengalami kontak dengan udara dan dengan PH yang seimbang.

Stigma yang berada pada tataran kognitif ketika terwujud dalam bentuk perilaku maka disebut sebagai diskriminasi. Diskriminasi terhadap HIV dan AIDS bukan hanya dilakukan pada orang dengan HIV positif, tetapi juga terjadi pada orang-orang yang hidup atau berada di sekitarnya. Ironisnya ada juga anggota keluarga

atau saudara yang melakukan diskriminasi

terhadap orang dengan HIV positif. Bentuk-bentuk diskriminasi yang terjadi akan menjurus pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu hak ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB) serta hak sipil dan politik (SIPOL). Perlakuan diskriminasi yang melanggar hak-hak tersebut umumnya terkait dengan30,44,51:

Kebebasan, keamanan, dan kebebasan gerak

tes HIV yang dipaksakan

karantina, pengasingan/isolasi, dan

pemisahan

Kebebasan dari perlakuan yang tidak manusiawi atau penghinaan

isolasi, misalnya pada narapidana dengan HIV positif

keterlibatan dalam uji coba klinis tanpa persetujuan berdasarkan informasi yang lengkap

Perlindungan oleh hukum yang sama

tidak diberikan nasihat atau layanan hukum

Hak pribadi

hasil tes tidak dirahasiakan atau diumumkan tanpa persetujuan

nama orang terinfeksi HIV wajib dilaporkan ke instansi kesehatan yang berwenang

Penentuan nasib sendiri

orang yang rentan terhadap atau

terpengaruh oleh HIV dilarang berkumpul

Hak untuk menikah, mempunyai keluarga, dan menjalin hubungan

aborsi atau sterilisasi yang dipaksakantes HIV yang diwajibkan sebelum menikah

diskriminasi terhadap hubungan sesama

jenis

Ketersediaan yang sama terhadap layanan kesehatan

kekurangan obat yang sesuai, kondom dll.penolakan untuk merawat atau mengobati

orang dengan HIV positif

Pendidikan

tidak tersedianya informasi yang

memungkinkan orang membuat pilihan yang berdasarkan informasi lengkap

penolakan untuk memberikan pendidikan

(6)

Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

Kesejateraan sosial dan perumahan

penolakan ketersediaan perumahan atau

layanan sosial

tes HIV sebagai prasyarat untuk pekerjaan

Stigma dan diskriminasi tersebut berpotensi mempengaruhi kesehatan (psikis dan mental) individu dan komunitas. Stigma dan diskriminasi juga berasosiasi dengan menghindari tes HIV atau

Infeksi Menular Seksual (IMS), menunda

pengobatan dan perawatan HIV & AIDS,

menyembunyikan status HIV yang positif,

rendahnya tingkat kesehatan fisik dan mental. Stigma dapat menjadi sumber tekanan (stressor) yang mengurangi kemampuan orang terinfeksi HIV

dalam menghadapi masalah (coping) dan

diskriminasi menghambat mereka dalam mengakses layanan kesehatan. Butuh penanganan di tingkat sosial agar masyarakat berhenti menstigma dan melakukan diskriminasi terkait HIV dan AIDS.46

Oleh karena itu diperlukan usaha yang melibatkan berbagai komunitas dalam bentuk komunikasi dua arah sehingga tercipta hubungan yang baik. Modalitas relasi tersebut dapat dikembangkan menjadi jejaring sehingga usaha mereduksi stigma dan diskriminasi terkait HIV dan AIDS menjadi lebih efektif. Sebab salah satu indikator intervensi yang berhasil adalah terjadinya diseminasi pemahaman yang benar tentang HIV

dan AIDS serta menurunnya stigma dan

diskriminasi di berbagai komunitas sosial7.

C. Intervensi Sosial

Intervensi merupakan suatu usaha campur tangan yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki atau mengatasi permasalahan yang ada. Sedangkan sosial merupakan sebuah kata yang merujuk pada relasi antara dua atau lebih individu. Oleh sebab itu intervensi sosial secara kasar dapat diartikan sebagai sebuah usaha yang melibatkan lebih dari satu individu untuk memecahkan permasalahan yang muncul.16,18

Dalam psikologi, intervensi sosial erat bersinggungan dengan prinsip-prinsip psikologi komunitas sehingga keduanya dapat disetarakan.

Penerapan psikologi bagi masyarakat luas

merupakan revolusi ketiga dalam kesehatan mental. Revolusi pertama adalah perlakuan yang lebih manusiawi pada orang yang sakit mental dan revolusi kedua terjadi saat Freud mengalihkan perhatian orang kepada kondisi intrapsikis manusia. Dengan demikian bukan sesuatu yang mengherankan jika intervensi sosial telah dikenal sekitar tahun 1960an18. Beberapa prinsip dalam psikologi komunitas yang bersinggungan dengan intervensi sosial adalah:

(1) Faktor-faktor lingkungan sosial memiliki peran yang sangat penting dalam penentuan dan perubahan tingkah laku;

(2) Campur tangan dilakukan dengan berorientasi pada sistem, sebagai lawan dari intervensi sosial, dan hal ini juga akan mengurangi penderitaan individual;

(3) Berorientasi dan berusaha untuk mengadakan perubahan komunitas atau sosial

Dalam perkembangannya, psikologi

komunitas kini merasuk ke dalam penerapan psikologi klinis dengan terapan mikro-mikro. Sejalan dengan prinsip di atas bahwa manusia adalah makhluk individu sekaligus sosial. Selama ini sebagian besar psikolog klinis hanya bekerja di aras mikro, yaitu melayani kebutuhan individu dengan atau tanpa keluarganya saja serta kurang peduli dengan profesi lain yang juga berkarya di

ranah kesehatan. Konsekuensi yang harus

(7)

Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

D. Dinamika

Gambar 3. Dinamika Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS

HIV

Preventif (VCT, PMTCT)

Stigma (menghambat)

Kuratif (Terapi ARV) Diskriminasi

(menghambat)

Orang terinfeksi HIV (termasuk keluarga dan rekan)

Diskriminasi

(mendorong) Kehilangan pekerjaan

Akses pendidikan dan layanan kesehatan sulit

Tidak mencari atau menghentikan pengobatan

Dipisahkan

Kekerasan verbal dan fisik dll

Rendah diri Menyalahkan diri sendiri

Stress Depresi Bunuh diri

CD4 mencukupi Dapat beraktifitas

(8)

Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

Gambar 4. Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma terhadap HIV & AIDS Penghayatan

yang keliru tentang ajaran

agama

Karakter/ Kepribadian yang kurang open minded Pemahaman

yang rendah / keliru tentang

HIV dan AIDS

STIGMA

Intervensi Sosial:

(1) dialog lintas iman;

(2) optimalisasi peran media massa; (3) edukasi kepada masyarakat umum maupun petugas kesehatan;

(4) pemberian informasi kesehatan reproduksi pada remaja;

(9)

Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

III. APLIKASI INTERVENSI SOSIAL

UNTUK MEREDUKSI STIGMA DAN DISKRIMINASI TERHADAP HIV & AIDS

A. Dialog Lintas Iman

Salah satu penyebab munculnya stigma terhadap HIV berhubungan dengan penghayatan agama yang kurang tepat, misalnya HIV dianggap sebagai kutukan atau sudah menjadi imbalan bagi dosa orang yang terinfeksi. Satu kelompok dengan anggota yang beragama sama belum tentu memiliki penghayatan atau iman yang sama. Apalagi dengan individu yang memiliki agama berbeda. Pada individu dengan pandangan yang sempit ada kecenderungan untuk mengekslusifkan agama yang dianutnya. Konsekuensinya adalah menganggap agama lain adalah sesuatu yang buruk, dan lebih lanjut penalaran yang salah tersebut dikaitkan dengan HIV adalah kutukan bagi orang yang tidak seagama dengan dirinya.

Dengan gambaran tersebut, aplikasi

intervensi sosial dalam komunitas agama dapat berupa kerja sama dengan pemimpin atau anggota komunitas tersebut sehingga stigma yang terkait dengan persepsi moral dapat ditekan. Dialog antar iman maupun antara orang terinfeksi HIV dan yang tidak terinfeksi juga terbukti mampu mengurangi stigma dan diskriminasi7. Ketika dialog dilakukan

oleh berbagai penganut agama dengan

keimanannya masing-masing, maka peserta dialog akan lebih saling memahami dan menarik kesimpulan bahwa inti dari semua ajaran agama adalah cinta kasih, termasuk mengasihi sesama manusia yang terinfeksi HIV. Resiko yang mungkin terjadi dari dialog tersebut adalah adanya resistensi atau penolakan dari individu yang tidak dapat membuka diri. Walau demikian, individu tersebut telah memiliki pengalaman berinteraksi dengan pemeluk agama lain.

Peserta dialog antar iman dapat berasal dari pemimpin agama maupun remaja dan pemuda yang mendalami ajaran agama mereka secara formal. Ketika para pemimpin agama berdialog maka para pengikutnya dapat terinspirasi melakukan hal serupa. Sementara ketika mahasiswa dari berbagai sekolah atau program keagamaan maka mereka

akan memiliki bekal pengalaman untuk

disebarluaskan pada teman sebayanya. Dialog yang

dilakukan juga dapat dikembangkan agar para peserta dapat merancang program bersama sebagai tindak lanjut atau langkah nyata dalam mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap HIV & AIDS.

Kerjasama yang timbul dapat mendorong

terwujudnya jejaring antar iman.8,30,32,37,40,47

B. Media Massa

Saat ini kehadiran media sulit dipisahkan dari kehidupan sosial manusia. Beberapa bentuk media massa seperti spanduk atau baliho dengan tidak berniat melihatnya. Kondisi tersebut yang membuat peran media massa perlu dioptimalisasi dalam mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap HIV dan AIDS.

Optimalisasi media massa harus

mempertimbangkan target audience dengan status sosial ekonomi (SSE) yang dimiliki. Pendekatan pada masyarakat dengan SSE tinggi akan berbeda dengan masyarakat dengan SSE rendah. Perlu

diingat juga bahwa media massa kurang

berpengaruh dalam menentukan apa (objek) yang kita pikirkan, tetapi bagaimana kita memikirkan suatu objek. Prinsip ini yang dikembangkan dalam bidang sosial dan kesehatan dimana media massa menjadi agen konstruksi sosial dalam perilaku kesehatan dan sosial masyarakat.45

Dalam optimalisasi media massa, empat fungsi utama yang dapat menjadi fokus adalah sebagai berikut:

(1) penyedia informasi dan pengetahuan; (2) untuk hiburan;

(3) untuk integrasi sosial seperti misalnya mengidentifikasi diri dengan tokoh tertentu;

(4) dan untuk penarikan kembali dengan memberikan rintangan.

(10)

Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

dengan intensitas melihat yang tinggi dan disampaikan secara terus-menerus. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah tahap perkembangan atau usia, jenis kelamin, dan budaya audience.45

Penerapan komunikasi interpersonal juga diperlukan dalam mengoptimalkan peran media massa dalam mereduksi stigma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapat para pemimpin, tokoh masyarakat, atau selebritis memiliki pengaruh yang kuat bagi pengikutnya7. Saat masyarakat melihat tokoh panutan atau pujaannya melawan stigma terhadap HIV atau tidak takut untuk melakukan kontak dengan orang terinfeksi HIV maka akan terjadi modeling.

Berikut ini beberapa contoh dari

optimalisasi media massa sebagai aplikasi intervensi sosial yang terbukti efektif mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap HIV & AIDS pada masyarakat7:

(1) Koran dan televisi di Kamboja menayangkan

gambar Pangeran Ranariddh yang sedang

memberikan bunga kepada orang dengan HIV positif dan kemudian berfoto dengan pose lengan Pangeran yang merangkul orang tersebut;

(2) Sebuah organisasi internasional di Vietnam mempublikasikan buku yang merupakan hasil wawancara mendalam tentang kisah hidup orang-orang dengan HIV dan AIDS;

(3) Pemerintah Thailand mensponsori festival budaya Loy Krathong dengan memperkenalkan ratu kecantikan yang terinfeksi HIV, anak-anak dengan HIV positif, mempersilakan orang yang ingin mengungkapkan status HIV mereka, serta memberikan informasi tentang komunitas atau kelompok dukungan sebaya bagi orang dengan HIV positif.

Gambar 5. Malam Renungan AIDS Nusantara

(MRAN), 17 Mei (dari http://stat.k.kidsklik.com/data/photo /2009/12/02/1007288p.JPG

C. Edukasi

Edukasi atau pemberian pendidikan kepada masyarakat umum maupun petugas kesehatan perlu dilakukan agar mereka memiliki pemahaman yang benar tentang HIV dan AIDS. Materi yang diberikan dalam edukasi dapat mencakup bagaimana penularan HIV dan cara penanggulangannya sehingga mitos-mitos terkait HIV dan AIDS yang beredar dapat diatasi dan menimbulkan pemahaman yang benar pada masyarakat.12,38

Materi lain yang dapat diberikan adalah produk-produk hukum yang melindungi orang terinfeksi HIV dari perlakuan diskriminasi. Beberapa contoh produk hukum yang melindungi hak-hak orang dengan HIV positif adalah:

(1) Undang-Undang nomor 11 tahun 2005 tentang International Covenant on Economic, Socia and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya);

(2) Undang-Undang nomor 12 tahun 2005 tentang International Covenant on Civil and Politic Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik);

(3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi RI nomor 68/MEN/IV/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja

(11)

Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

D. Informasi Kesehatan Reproduksi

Pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi pada remaja terbukti mampu menekan angka penyakit menular seksual, termasuk HIV. Walau demikian masih banyak orang yang menganggap bahwa remaja justru akan terlibat perilaku seks beresiko jika diberikan informasi tentang kesehatan reproduksi. Akan tetapi hasil penelitian menunjukkan hal yang sebaliknya. Pada beberapa negara Eropa seperti Belanda, Prancis, dan Jerman yang memiliki pandangan bahwa seksualitas adalah bagian dari perkembangan manusia, mempromosikan pemahaman yang benar tentang seksualitas kepada para remaja. Berbeda dengan Amerika yang lebih mempromosikan abstinensi seks bagi remaja. Berbekal pemahaman yang benar tersebut, para remaja di Eropa melakukan hubungan seks pertamanya satu tahun lebih lambat daripada remaja Amerika dan remaja Eropa juga lebih jarang berganti pasangan daripada remaja Amerika.6

Pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi pada remaja dapat diwujudkan melalui pendidik sebaya (peer educator) atau konselor sebaya (peer counsellor). Metode pendidik sebaya telah dikenal dan diaplikasikan dalam pendidikan kesehatan sebagai pendidikan pedagogi sejak tahun 1980an. Remaja SMA di Cina yang diberikan pendidikan kesehatan reproduksi terbukti memiliki

peningkatan pemahaman terhadap kesehatan

reproduksi termasuk penularan dan pencegahan HIV & AIDS. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa remaja di sekolah kejuruan membutuhkan pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi yang lebih intensif.36

Salah satu alasan mengapa informasi tentang kesehatan reproduksi lebih dapat diterima oleh remaja jika diberikan oleh rekan sebayanya adalah karena tidak ada rasa takut atau malu di antara mereka. Sementara jika remaja bertanya pada orang tua atau guru maka mereka takut akan diceramahi dan dianggap nakal. Jika tidak ada teman yang dapat dijadikan sumber informasi maka para remaja akan mencari informasi melalui media apapun sehingga ada resiko mendapatkan informasi yang keliru atau muncul mitos terkait seksualitas seperti jumlah rambut di tangan dan kaki berkorelasi dengan nafsu seksual seseorang.

Ketika informasi yang keliru dan mitos beredar di kalangan remaja, maka akan timbul ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi. Hal inilah yang menghambat program VCT pada remaja di berbagai negara termasuk Indonesia. Para remaja menganggap bahwa HIV tidak akan menyerang karena mereka masih muda. Sedangkan bagi remaja yang ingin melakukan VCT akan mengurungkan niatnya karena takut distigma oleh teman-temannya jika pergi ke tempat yang menyediakan VCT.4,13,29,46

E. Kelompok Dukungan Sebaya

Orang yang menderita HIV dapat

membentuk kelompok untuk saling mendukung. Dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan psikologis maupun materi. Saat bertemu dengan orang yang memiliki persamaan, yaitu terinfeksi HIV, maka akan timbul rasa empatik di antara anggota kelompok. Ketika mereka bersama maka para penderita HIV tidak akan merasa kesepian dan lebih mampu memperjuangkan hak-hak mereka. Usaha advokasi terhadap hak-hak orang dengan HIV positif yang ditindas akibat stigma dan diskriminasi juga akan lebih mendapat perhatian pemerintah maupun masyarakat.16

Kelompok dukungan sebaya dapat

menyusun kegiatan yang dapat membangun citra positif bagi diri mereka. Kegiatan-kegiatan sosial seperti mengunjungi panti werda atau panti asuhan, penanaman pohon, membersihkan lingkungan, dan kegiatan lain. Ketika orang-orang yang terinfeksi HIV melakukan kegiatan yang bersifat positif maka masyarakat akan memiliki pandangan yang lebih baik terhadap mereka.

(12)

Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

IV.PENUTUP

A. Kesimpulan

HIV yang awalnya berasal dari simpanse di Afrika Selatan telah menginfeksi manusia dan berpotensi menimbulkan AIDS. Ketika kasus HIV pertama ditemukan di Los Angeles pada tahun 1980an, maka sejak itu pula stigma melekat pada HIV dan AIDS dan mendorong munculnya perilaku diskriminasi kepada orang yang terinfeksi HIV maupun orang di lingkungan sekitarnya. Stigma dan diskriminasi terhadap HIV dan AIDS telah menjadi ‘penyakit sosial’ karena membuat orang dengan HIV positif mengalami stigma internal maupun terisolasi dari lingkungan sosial. Kondisi tersebut juga terjadi di wilayah Republik Indonesia. Oleh sebab itu tidak mengherankan jumlah prevalensi HIV sulit untuk ditekan karena orang enggan melakukan VCT dan mengakses pengobatan bagi mereka yang telah terinfeksi. Orang dengan HIV positif tidak selalu mengalami fase AIDS. Akan tetapi dengan stigma dan diskriminasi yang dialami maka kondisi mereka akan cepat melemah.

Stigma terhadap HIV umumnya terjadi karena kurang informasi, pemahaman yang keliru, maupun mitos-mitos yang beredar di masyarakat. Penghayatan yang kurang tepat terhadap ajaran agama dtambah dengan kepribadian yang sulit terbuka akan menambah parah stigma tersebut. Ketika stigma terwujud dalam bentuk perilaku

maka dapat disebut sebagai diskriminasi.

Diskriminasi terhadap orang dengan HIV & AIDS

maupun orang-orang di sekitarnya dapat

dikelompokkan ke dalam pelanggaran dua hak dasar, yaitu EKOSOB dan SIPOL.

Dampak stigma dan diskriminasi sangat kuat dalam menghambat upaya penanganan HIV & AIDS. Oleh karena itu diperlukan suatu intervensi untuk mengatasinya. Salah satu intervensi yang dilakukan dapat berasal dari psikologi klinis dengan pergerakandi aras makro. Penerapan psikologi klinis dari mikro ke makro maupun secara mikro-makro memiliki prinsip yang sama dengan intervensi sosial. Dalam penerapannya, berbagai aplikasi yang dapat digunakan untuk mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap HIV & AIDS adalah:

(1) dialog lintas iman;

(2) optimalisasi peran media massa;

(3) edukasi kepada masyarakat umum maupun petugas kesehatan;

(4) pemberian informasi kesehatan reproduksi pada remaja;

(5) dan membentuk kelompok dukungan sebaya (peer support group)

B. Saran

Konsekuensi intervensi sosial melalui penerapan psikologi klinis secara makro adalah membutuhkan sinergi dengan berbagai sekutu, yaitu berbagai profesi di bidang kesehatan dan disiplin ilmu di bidang sosial. Berbagai aplikasi intervensi sosial yang telah dipaparkan di atas akan lebih efektif jika dilakukan melalui jejaring atau pendekatan komunitas25. Sejak tahun 2000 paradigma program penanggulangan HIV & AIDS telah berfokus pada komunitas17,19,49,50. Salah satu contoh pendekatan jejaring adalah dengan memberikan edukasi kepada kelompok waria melalui Keluarga Besar Waria Yogyakarta (KEBAYA).

Selain itu, penelitian empiris di Indonesia tentang tentang dampak stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV positif atau terhadap orang yang hidup dengan orang terinfeksi HIV masih sangat sedikit. Padahal telah disebutkan bahwa usaha pencegahan maupun kuratif akan terasa sia-sia jika masih kuatnya stigma dan diskriminasi terhadap HIV & AIDS. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai stigma yang

terjadi pada suatu lingkungan sebelum

merencanakan program preventif maupun kuratif. Hasil penelitian tersebut dapat dijadikan salah satu

sumber acuan dalam menyusun program

penanggulangan HIV berbasis kearifan lokal.

! " !

!

# $% & ' ((

# $%# $% & ' ((& ' ((

(13)

Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

DAFTAR PUSTAKA

[1] Aggleton, P., Wood, K., Malcolm, M., Coram, T., & Parker, R. 2005. HIV-related stigma, discrimination and human rights violations: case studies of successful programmes.

Switzerland: USAID.

[2] Anonim. Tanpa Tahun. HIV/AIDS in the South-East Asia Region – Facts and figures.

[3] Avert. 2009. Stigma: Cara untuk Maju. EENET ASIA NEWSLETTER 7, Kwartal 2-3, 11.

[4] Babalola, S. 2007. Readiness for HIV Testing among Young People in Northern Nigeria: The Roles of Social Norm and Perceived Stigma. AIDS 2005. Sexual Initiation in Early Adolescence: The Nexus of Parental and Community Control.

American Sociological Review, 70, 758-778. [7] Busza, J. 1999. Literature review: Challenging

HIV-Related Stigma and Discrimination in Southeast Asia: Past Success and Future Priorities. New Resources, Policies and Services for Injecting Drug Use and HIV/AIDS in South and South East Asia. Australia: Macfarlane Burnet Institute for Medical Research and Public Health. [10] Denison, J.A., Mccauley, A.P., Dunnett-Dagg, W.A.,

Lungu, N., & Denison, J.A., Mccauley, A.P., Dunnett-Dagg, W.A., Lungu, N., & Sweat, M.D. 2009. HIV Testing Among Adolescents in Ndola, Zambia: How Individual, Relational, and Environmental Factors Relate to Demand. AIDS education and prevention, 21(4), 314-324. [11] Ditjen PPM & PL Depkes RI. 2010. Statistik Kasus

HIV/AIDS di Indonesia.

[12] IBCA. 2010. Kerangka Acuan Dialog Publik IBCA “Seandainya Saya HIV Positif…..?”. Jakarta: Indonesian Business Coalition on AIDS.

[13] Idrus, N.I. 2011. “Stigma from Within: HIV, IDU, and Peers”. Makalah disampaikan dalam seminar bulanan PSKK. Yogyakarta: PSKK, UGM.

[14] KPAN. 2010. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2010 – 2014. Jakarta: KPAN.

[15] Kumar, G.P. 2009. Respon Pemerintah Setempat terhadap HIV. Materi Youth-training:”Remaja, HIV/AIDS dan LGBT; Merancang Strategi dan Aksi Lintas Iman” pada 1-10 Februari 2010. [16] Leon, G.D. 2000. The Therapeutic Community: Merancang Strategi dan Aksi Lintas Iman” pada 1-10 Februari 2010.

[18] Martaniah, S.M. 1985. Peran Psikologi Komunitas dalam Penanggulangan Gangguan Mental Kesehatan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Psikologi Klinis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

[19] Mboi, N. 2009. Situasi & Terobosan Penanggulangan AIDS. Materi Youth-training:”Remaja, HIV/AIDS dan LGBT; Merancang Strategi dan Aksi Lintas Iman” pada 1-10 Februari 2010 di Yogyakarta.

[20] Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. 2004. Kep. 68 / Men / IV / 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.

[21] Moeliono, L. 2003. Proses belajar aktif kesehatan reproduksi Remaja: Bahan Pegangan untuk Memfasilitasi Kegiatan Belajar Aktif untuk Anak & Remaja Usia 10-14 Tahun. Jakarta: PKBI, BKKBN, UNFPA.

[22] Muadz, M.M. (ed). 2008. Modul Pelatihan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja bagi Calon Konselor Sebaya. Jakarta: BKKBN. [23] Muadz, M.M., Syarbaini, Fathonah, S., Mardiana,

N., Syaefuddin, Sapri, E.A., Surija, Windrawati, W., & Salamah, U. 2008. Kurikulum dan Modul Pelatihan Pengelolaan Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR). Jakarta: BKKBN.

[24] Muadz, M.M., Syarbaini, Fathonah, S., Mardiana, N., Utomo, B., & Salamah, U. 2008. Kurikulum dan Modul Pelatihan Pengelolaan Pemberian Informasi Kesehatan Reproduksi Remaja oleh Pendidik Sebaya. Jakarta: BKKBN.

[25] O’neall, M.A., & Brownson, R.C. 2005. Teaching Evidence-based Public Health to Public Health Practitioners. Ann Epidemiol, 15, 540–544.

[26] Ogden, J. 2007. Health Psychology: a textbook 4th edition. England: Open University.

(14)

Andrian Liem – Agustina Viktrisia Lily Hertati – Valentina Widyawati Ubasisa

[28] Partosuwido, S.R. 1995. Psikologi Kesehatan, Sumbangan Psikologi di Bidang Kesehatan, Prevensi dan Intervensi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Psikologi Klinis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

[29] Peralta, L., Deeds, B.G., Hipszer, S., & Ghalib, K. 2007. Barriers and Facilitators to Adolescent HIV Testing. AIDS PATIENT CARE and STDs, 21, 6, 400-408.

[30] PKBI. 2010. Modul Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual. Yogyakarta: PKBI. [31] Prawitasari, J.E. 2003. Psikologi Klinis: dari Terapan

Mikro ke Makro. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Psikologi Klinis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

[32] Purwaningsih, S.P., 2009. Laporan Keterlibatan Pemuka Agama dalam Penanggulangan HIV/AIDS.

[33] Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. 2006. Situasi HIV/AIDS di Indonesia 1987-2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. [34] Rippke, M., Briske, L., Keller, L.O.,& Strohschein,

S. 2001. Public Health Nursing Section: Public Health Interventions–Applications for Public Health Nursing Practice. St. Paul: Minnesota Department of Health.

[35] Ryan, M. 2010. International Movements in HIV/AIDS Management. Materi Youth-training:”Remaja, HIV/AIDS dan LGBT; Merancang Strategi dan Aksi Lintas Iman” pada 1-10 Februari 2010 di Yogyakarta.

[36] Shen, L.X., Hong, H., Cai, Y., Jin, X.M., & Shi, R. 2008. Effectiveness of peer education in HIV/STD prevention at different types of senior high schools in Shanghai, People’s Republic of Modul Psikoedukasi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

[39] UNESCO Hanoi. 2009. Mengurangi Stigma - Pendidikan bagi Anak-anak terdampak HIV di Vietnam. EENET ASIA NEWSLETTER 7, Kwartal 2-3, 10.

[40] UNICEF. 2003. What Religious Leaders Can Do About HIV/AIDS: Action for Children and Young People. New York: UNICEF.

[41] USAID Indonesia. 2010. HIV/AIDS Health Profile. Jakarta: USAID Indonesia.

[42] USAID. 2006. Can We Measure HIV/AIDS-Related Stigma and Discrimination? Current Knowledge about Quantifying Stigma in Developing Countries. USA: USAID.

[43] Visser, M.J., Kershaw, T., Makin, J.D., & Forsyth, B.W.C. 2008. Development of Parallel Scales to Measure HIV-Related Stigma. AIDS Behav, 12, 759–771.

[44] Wahyudi, R. 1996. Modul Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta: PKBI, IPPF, BKKBN, dan UNFPA.

[45] Wakefield, M., Flay, B., Nichter, M., & Giovino, G. 2003. Role of the media in influencing trajectories of youth smoking. Addiction, 98 (Suppl 1), 79-103.

[46] Wolitski, R.J., Pals, S.L., Kidder, D.P., Courtenay-Quirk, C., Holtgrave, D.R. 2009. The Effects of HIV Stigma on Health, Disclosure of HIV Status, and Risk Behavior of Homeless and Unstably Housed Persons Living with HIV.

AIDS Behav, 13, 1222–1232.

[47] Yayasan Spiritia. 2001. Dokumentasi tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Orang dengan HIV/AIDS di Indonesia. Proyek Pendokumentasian yang Dilakukan oleh Kelompok Sebaya.

[48] Zaky, M. 2010. History of Knowledge Construction of HIV/AIDS. Materi Youth-training:”Remaja, HIV/AIDS dan LGBT; Merancang Strategi dan Aksi Lintas Iman” pada 1-10 Februari 2010 di Yogyakarta.

[49] Zaky, M. 2010. HIV/AIDS Movements at the National and International Levels. Materi Youth-training:”Remaja, HIV/AIDS dan LGBT; Merancang Strategi dan Aksi Lintas Iman” pada 1-10 Februari 2010.

[50] Zaky, M. 2010. Prinsip Gerakan HIV & AIDS. Materi Youth-training:”Remaja, HIV/AIDS dan LGBT; Merancang Strategi dan Aksi Lintas Iman” pada 1-10 Februari 2010.

Gambar

Gambar 2. Siklus Fase HIV17
Gambar 3. Dinamika Stigma dan Diskriminasi terhadap HIV & AIDS
Gambar 6. Ilustrasi Diskriminasi terhadap Orang dengan HIV & AIDS (dari http://1.bp.blogspot.com /_c3RFJ6Bv-Q8/R1FPwomnSaI/AAAAAAAAAEg/ RNrNaX0bKf4/s1600-R/P1000964.JPG)

Referensi

Dokumen terkait

Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik, sesuai dengan nilai dan norma yang

Berdasarkan persentase dari masing ± masing tingkat pendidikan, tingkat kepercayaan yang tinggi paling banyak dimiliki oleh pasien dengan pendidikan terakhir perguruan

Metode analisis spektral merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam peramalan data runtun waktu ( time series ), dimana periodesitas pada metode ini berada dalam

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 faktor dan 3 kali ulangan. Parameter yang diamati yaitu warna kuning telur,

Hasil yang diperoleh dari pembuatan ekstrak etanol daun sirsak dengan nilai rendemen 20,71%. Untuk hasil dari pembuatan basis gel menghasilkan gel yang sedikit lebih kental

Pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa status pekerjaan yang paling banyak mengalami gangguan siklus menstruasi dan gangguan proses pematangan folikel ovarium adalah

Data pada penelitian ini diperoleh dari instrumen berupa angket tentang ekstrakurikuler tapak suci yang diberikan kepada seluruh peserta didik SMA Muhammadiyah 3