• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 Bahasa Sebuah program biasanya tidak terbatas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "2 Bahasa Sebuah program biasanya tidak terbatas "

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Quarterly Report-II |

Februari 2010

SELF GOVERNMENT ACEH

Pendahuluan

Latar belakang pemberlakuan self government atau asymetric autonomy Aceh dalam bentuk politik hukum (legal policy), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA), tidak terlepas dari adanya pergolakan politik dan konflik kekerasan di Aceh selama hampir tiga dekade [1976 – 2005]. Pemberlakuan ini diawali dengan adanya penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di Helsinki pda tanggal 15 Agustus 2005.

Poin 1.1.1 MoU menyebutkan: “A new Law on the Governing of Aceh will be promulgated and will enter into force as soon as possible and not later than 31 March 2006 (Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006)”. Walaupun perintah MoU bahwa pembentukannya selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006, namun undang-undang tersebut baru disahkan pada 1 Agustus 2006. Undang-Undang ini terdiri dari 40 bab dan 273 pasal. Selain masalah keterlambatan dari segi waktu, dasar dan substansi pembentukannya juga menyimpan perbedaan

Abstract

(2)

substansial antara maksud MoU dengan UUPA. Memang secara de facto, dasar pembentukannya karena MoU, namun secara de jure substansi UUPA malah tidak menyebutkan secara eksplisit dasar pembentukannya yang berladaskan pada MoU itu.

Dalam paragraf kedelapan penjelasan umum UUPA disebutkan: “Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 menandakan kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Hal yang patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan”.

Sementara, konsideran UUPA hanya menyebutkan sejarah integrasi Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, yang memiliki karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh dan ketahanan serta daya juang tinggi. Dimana bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kewenangan

Berdasarkan latar belakang tersebut maka Aceh diberikan beberapa kewenangan khusus, disamping kewenangan yang bersifat umum sebagaimana juga yang diperoleh oleh daerah-daerah lainnya, baik dalam bidang administratif, politik, hukum, politik hukum (legal policy), ekonomi, agama dan sosial-budaya. Secara umum substansi kewenangan-kewenangan khusus Pemerintahan Aceh seperti yang diatur dalam UUPA dapat dilihat pada table-1 di bawah yang mencakup:

Tabel-1: Kewenangan Khusus Pemerintahan Aceh

NO PASAL URAIAN

1. Pasal 4 Aceh dapat membangun kawasan khusus untuk perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas

2. Pasal 7

Kewenangan mengatur dan mengurus seluruh sektor pemerintahan kecuali kewenangan pemerintah pusat yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, kehakiman, keuangan, dan persoalan tertentu dalam bidang agama

3. Pasal 8

Rencana persetujuan internasional dan rencana pembentukan undang-undang oleh DPR dan kebijakan administrasi yang berkaitan langsung dengan pemerintahan Aceh yang dibuat oleh pemerintah pusat memerlukan konsultasi dan pertimbangan DPRA dan Gubernur

4. Pasal 9 Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga di luar negeri dan dapat ikut serta secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional

5. Pasal 67 Afirmasi pencalonan perseorangan (independen) dalam pemilihan kepala daerah

6. Pasal 75 Pendirian partai politik lokal

7. Pasal 96 Pembentukan lembaga Wali Nanggroe yang merupakan kepemimpinan adat

8. Pasal 98

Pembentukan lembaga adat bidang keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat yang terdiri dari a) Majelis Adat Aceh; b) imuem mukim; c) imuem chik; d) keuchik; e) tuha peut; f) tuha lapan; g) imuem meunasah; h) keujreun blang; i) panglima laot; j) pawang glee; k) peutua seuneubok; l) haria peukan; dan m) syahbanda.

9. Pasal 125

Pelaksanaan syariat Islam yang meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (undang-undang keluarga), muamalah, jinayah Islam, qadha’ (hukuman dari pengadilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam

10. Pasal 128 Pembentukan Mahkamah Syariat Islam kepada umat Islam 11. Pasal 138 Pembentukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)

12. Pasal 160 Pengelolaan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah Aceh terhadap minyak dan gas yang terletak di darat dan laut Aceh

13. Pasal 165 Penduduk Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi dalam negeri dan internasional

(3)

15. Pasal 172 Pemerintah pusat dan pemerintah Aceh dapat mendirikan pelabuhan dan lapangan terbang umum di Aceh

16. Pasal 181 Pemerintahan Aceh menerima dana tambahan pembagian hasil minyak sebesar 55 persen dan gas 40 persen

17. Pasal 183

Mendapatkan dana otonomi khusus untuk masa 20 tahun, dengan perincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2%. Dana Alokasi Umum (DAU) dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh jumlahnya setara dengan 1% DAU

18. Pasal 205 & Pasal 209

Pengangkatan Kepala Polisi Aceh yang dilakukan oleh Kepala Polisi Indonesia dan pengangkatan Kepala Jaksa Tinggi Aceh yang dilakukan oleh Kepala Jaksa Agung memerlukan persetujuan Gubernur

19. Pasal 217 Penduduk Aceh yang berumur 7 tahun sampai 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya

20. Pasal 224 Semua anak yatim dan orang fakir-miskin berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang menyeluruh tanpa dipungut biaya

21. Pasal 228 Pembentukan pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh 22. Pasal 229 Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsialisasi (KKR)

23.

Pasal 246, Pasal 247 &

Pasal 248

Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera, lambang, dan lagu Aceh yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan

24. Pasal 253 Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Badan Pertanahan Aceh (BPA) dan Badan Pertanahan Kabupaten/Kota

25. Pasal 269 Rencana perubahan UUPA yang dilakukan oleh DPR terlebih dahulu memerlukan konsultasi dan pertimbangan DPRA

Sumber: UUPA

Perbedaan Antara MoU dan Draft RUUPA DPRA dengan UUPA

Meskipun, terdapat banyak kewenangan khusus pemerintahan Aceh yang diatur dalam UUPA, tetapi merujuk kepada materi MoU RI-GAM dan draf RUU-PA dari DPRA ternyata substansi UUPA terdapat beberapa perbedaan. Timbulnya, perbedaan ini merupakan konsekuensi dari adanya multi-interpretasi terhadap eksistensi MoU RI-GAM ketika dihadapkan pada konstitusi dan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Sebagaimana, pendapat Ismail Sunny, mengkritik isi konsideran RUU-PA yang sempat memasukkan MoU. Menurutnya, MoU, nota kesepahaman, tidak lebih dari executive agreement. Perbedaan substansi UUPA dengan MoU dan draf RUU-PA dapat dilihat dalam tabel-2, antara lain:

Tabel-2: Perbedaan Substansi antara MoU dan Draf RUU-PA DPRA dengan UUPA

UUPA MoU DRAF DPRA

a) Keberadaan MoU di tempatkan

dalam penjelasan umum

--Keberadaan MoU di

tempatkan dalam konsideran draf RUU-PA

b) Persetujuan-persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh

Pemerintah dan rencana pembentukan undang-undang oleh DPR dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. (Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2)

Persetujuan-persetujuan internasional yang

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia dan keputusan-keputusan oleh DPR dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh. (Poin 1.1.2 huruf b dan c

(4)

--c) Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur. (Pasal 8 ayat (3)

Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan

d) Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh. (Pasal 160)

Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh. (Poin 1.3.4.)

--e) Untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh. (Pasal 228 ayat (1)

Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh. (Poin 1.4.5)

--Sumber: MoU RI-GAM, Draf RUU-PA dan UUPA

Peraturan Pelaksana UUPA dan Realisasi

Dari 40 bab dan 206 pasal yang mengatur substansi UUPA baik dalam konteks administrasi, politik, hukum, politik hukum (legal policy), ekonomi, sosial-budaya terdapat beberapa peraturan pelaksana sebagai penjabarannya. Dimana terdiri dari 7 Peraturan Pemerintah (PP), 3 Peraturan Presiden (Perpres), 2 Keputusan Presiden (Keppres), 64 Qanun Aceh dan 12 qanun kabupaten/kota.

Penetapan peraturan-peraturan pelaksana yang menjadi kewajiban pemerintah pusat, sebagaimana dalam Pasal 271 disebutkan: “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menjadi kewajiban Pemerintah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Namun demikian, sampai saat ini yang sudah direalisasi oleh pemerintah baru sebatas 2 PP dan 2 PerPres sebagaimana bisa dilihat pada tabel-3, yaitu:

Tabel-3: Realisasi Peraturan Pelaksana

NO PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PRESIDEN

1. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh1

Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh

2.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh2

Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri

(5)

Sementara, realisasi qanun organik pasca-pengesahan UUPA, juga baru sebagian yang direalisasikan oleh pemerintahan Aceh. Sejak tahun 2007 sudah diselesaikan sebanyak 28 Qanun berturut-turut 10 qanun pada tahun 2007, 12 qanun pada tahun 2008 dan 6 qanun pada tahun 2009. Nomor, tahun dan muatan qanun bisa dilihat pada tabel-4 di bawah ini:

Tabel-4: Realisasi Qanun Aceh

NO 2007 2008 2009

1.

Qanun Nomor 01 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun 2007

Qanun Nomor 01 Tahun 2008 tentang Keuangan Aceh

Qanun Nomor 01 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun 2009

2.

Qanun Nomor 02 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Qanun Nomor 1 Tahun 2005 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Qanun Nomor 02 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan dana Bagi Hasil dan Penguasaan Dana Otonomi Khusus

Qanun Nomor 02 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama

3.

Qanun Nomor 03 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun

Qanun Nomor 03 Tahun 2008 tentang Partai Lokal Peserta Pemilu, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota

Qanun Nomor 03 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Imum Mukim Aceh

4.

Qanun Nomor 04 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretaris Daerah dan Sekretaris Dewan Aceh

Qanun Nomor 04 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun 2008

Qanun Nomor 04 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik

5.

Qanun Nomor 05 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah dan Lembaga Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Qanun Nomor 05 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan

Qanun Nomor 05 Tahun 2009 tentang Penanaman Modal

6.

Qanun Nomor 06 Tahun 2007 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun 2007

Qanun Nomor 06 Tahun 2008 tentang Administrasi Pendudukan

Qanun Nomor 06 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan

Qanun Nomor 07 Tahun 2008 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun 2008

--8.

Qanun Nomor 08 Tahun 2007 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik dan Partai Politik Lokal

Qanun Nomor 08 Tahun 2008

(6)

--9.

Qanun Nomor 09 Tahun 2007 tentang Pendelegasian Kewenangan Pemerintah Aceh Kepada Dewan Kawasan Sabang

Qanun Nomor 09 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat

--10. Qanun Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal

Qanun Nomor 10 Tahun 2008

tentang Lembaga Adat

--11. -- Qanun Nomor 11 Tahun 2008

tentang Perlindungan Anak

--12.

--Qanun Nomor 12 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Keraja Badan Pelayanan Perizinan Terpadu

--Sumber: http://www.dpra.nad.go.id/

Peraturan Pelaksana yang Belum Terealisasi

Meskipun dalam amanat UUPA disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk membentuk peraturan pelaksanaan paling lambat dua tahun sebagaimana bunyi Pasal 271, namun hingga saat ini baru 2 PP dan 2 Perpres yang ditetapkan. Secara peraturan perundang-undangan keterlambatan penetapan peraturan pelaksana oleh pemerintah adalah bentuk pelanggaran hukum. Namun karena tidak adanya pengaturan bentuk sanksi hukum dalam UUPA berdampak pada rendahnya posisi tawar pemerintah Aceh, kecuali hanya sebatas menunggu realisasi peraturan tersebut. Adapaun peraturan pelaksana yang belum ditetapkan dapat dilihat pada tabel 5 antara lain:

Tabel 5: Peraturan Pelaksana UUPA yang Belum Ditetapkan

PASAL PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PRESIDEN

1. Pasal 4

Kawasan khusus selain untuk perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas dan pembagian kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Aceh/kabupaten/kota dan badan pengelola kawasan khusus

--2. Pasal 43 Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah

3. Pasal 160

Pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh antara Pemerintah dan Pemerintah Aceh

--4. Pasal 251 Nama dan gelar pejabat pemerintahan Aceh

--5. Pasal 253

--Peralihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Aceh dan Kantor Pertanahan kabupaten/ kota menjadi perangkat Daerah Aceh dan perangkat daerah kabupaten/kota

6. Pasal 270

Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh dan pelaksanaan UUPA yang menyangkut kewenangan Pemerintah

--Sumber: UUPA

Konsekuensi Hukum dan Politik UUPA

(7)

kelemahan kewenangan khusus Aceh yang diatur dalam UUPA secara tidak tegas, bergantung dan bersayap. Antara lain, pertama, tidak disebutkannya secara eksplisit istilah self government Aceh baik dalam MoU maupun UUPA, meskipun secara implisit substansi UUPA menyerupai prinsip pelaksanaan self government. Kedua, secara politik hukum (legal policy), kewenangan pemerintahan Aceh yang berkaitan dengan politik dan perekonomian masih harus diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksana dari pemerintah bukannya dengan qanun.

Ketiga, kebijakan administrasi pemerintah dan persetujuan internasional di Aceh yang memerlukan “konsultasi dan persetujuan” Gubernur dan DPRA menjadi “berdasarkan konsultasi dan pertimbangan”. Contoh Pasal 8 ayat (3), berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam pembentukan atau pemekaran wilayah yang harus berdasar pada konsultasi dan pertimbangan gubernur. Padahal Pasal 5 UU 32/2004 disebutkan bahwa syarat administratifnya harus melalui persetujuan DPRD, Gubernur dan rekomendasi dari Mendagri. Keempat, masih adanya pengawasan pemerintah pusat secara represif terhadap Qanun Aceh dan peraturan kepala daerah, sebagaimana Pasal 235 yang bisa kita jadikan contoh.

Dan, kelima, dualisme dasar hukum di Aceh dimana UUPA tetap berlaku namun juga harus mengikuti peraturan perundang-undangan lain yang berlaku secara umum. Misalnya, pengaturan struktur pimpinan dewan yang mengundang kontroversi. Dimana DPRA dan sebagian DPRK memasukkan dua pimpinan dewan dari satu fraksi, yaitu Partai Aceh (PA). Menggunakan dasar hukum Pasal 30 ayat (2) UUPA yang menyiratkan susunan DPRA diatur dengan peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK. Sebaliknya Menteri Dalam Negeri menggunakan Pasal 303 UU No.27 tahun 2009 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, yang disana disebutkan bahwa pimpinan DPRD harus berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak. Ditambah lagi menurut Pasal 400, UU ini berlaku juga bagi DPRA/ DPRK, DPR Papua, dan DPRD Papua Barat, sepanjang tidak diatur khusus dalam UU tersendiri. Mendagri beralasan struktur pimpinan dewan tidak diatur khusus dalam UUPA. Selanjutnya, polemik terhadap Pasal 36 Qanun Nomor 03 Tahun 2008 tentang Partai Lokal di Aceh, berkaitan dengan syarat wajib mampu membaca Al-Quran bagi calon anggota legislatif dari partai politik nasional. Mendagri meminta pasal tersebut dicabut karena menganggap syarat tersebut hanya kepada caleg parlok. Namun, pasal tersebut tidak direvisi oleh DPRA.

Konsekuensinya permasalahan-permasalahan seperti ini disamping memperlambat implementasi pemerintahan, juga telah melemahkan UUPA dalam konteks pelaksanaan self government atau asymetric autonomy. Padahal kalau mengacu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dicabut dengan UUPA, peraturan pelaksananya langsung diatur oleh qanun. Sebagaimana Pasal 1 angka 8 disebutkan, qanun provinsi NAD adalah peraturan daerah sebagai pelaksanaan UU di Provinsi NAD dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. Berdasarkan pasal tersebut jelas hanya qanun sebagai peraturan pelaksana UU otsus, tanpa harus menunggu PP atau Perpres.

Sehingga, Supardan Modeong, mengatakan, secara prosedur qanun adalah perda, yang dibentuk oleh DPRD dan Kepala Daerah. Namun, ditinjau dari sudut kompetensinya, qanun berbeda dengan perda, karena tidak tunduk pada PP dan Keppres (Perpres), sedangkan perda tunduk. Oleh karenanya, sebagaimana peraturan perundang-undangan lainnya qanun mempunyai kekuatan mengikat dan dapat dipaksakan. Sehingga keberadaan qanun dalam UU sebagai lex specialis.

Polemik-polemik lainnya, kemungkinan besar juga akan muncul menjelang pilkada Aceh pada Desember 2011 mendatang, terutama berkaitan dengan masalah pencalonan calon perseorangan. Menurut Pasal 256 UUPA pemilihan calon perseorangan di Aceh hanya berlaku dan dilaksanakan untuk pertama kali pada pilkada 2006 lalu. Anehnya, Aceh dibatasi sedangkan untuk pilkada daerah lain diberikan afirmasi. Pasal 59 ayat (1) UU No. 12/2008 joncto UU No. 32/2004 menyebutkan, peserta pilkada adalah a) pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol, dan, b) pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.

(8)

Dalam realitas politik hukum, fenomena ini menimbulkan ambiguitas implementasi. Menggunakan UUPA semata tentu tidak menguntungkan, menggunakan UU umum malah merugikan kekhususan yang ada. Kalaupun, ada aspirasi untuk me-review UUPA melalui legislative review (perubahan oleh DPR) atau melalui judicial review (perubahan oleh Mahkamah Konstitusi), maka tetap saja akan memunculkan dua kemungkinan. Pertama, UUPA akan lebih baik sebagaimana substansi MoU RI-GAM dan sebagaimana aspirasi rakyat Aceh. Kedua, sebaliknya UUPA akan lebih buruk, mengingat alat uji revisi yang digunakan oleh DPR atau MK adalah UUD 1945, bukannya MoU RI-GAM. Sebagaimana Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, amandemen ketiga, tahun 2001 joncto Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Meskipun, Pasal 269 menyebutkan, Rencana perubahan UUPA yang dilakukan oleh DPR terlebih dahulu memerlukan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Hal inilah yang perlu menjadi pertimbangan dalam melakukan legislative review atau judicial review. Namun, kalau mengacu kepada asas-asas peraturan perundang-undangan kelemahan yuridis materiil UUPA bukanlah persoalan. Karena, sebagaimana asas lex specialis derogate lex generalis (peraturan yang khusus mengenyampingkan peraturan umum). Begitu juga sebaliknya, apabila dalam peraturan yang khusus tidak diatur, maka mengikuti peraturan umum atau yang baru. Sebagaimana asas lex posteriore derogate lex priori (peraturan yang datang kemudian dapat mengenyampingkan peraturan yang sebelumnya sudah ada). Walaupun demikian, secara politik hukum asymetric autonomy hal ini merugikan Aceh, karena banyak kewenangan khusus yang digantung dengan UU yang umum.

Solusi

Karena itu, alternatif agar tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang dapat merugikan Aceh mau tidak mau pemerintahan Aceh dan rakyatnya harus melakukan pendekatan politik dan hukum (politic and legal approach) kepada pemerintah pusat. Secara politik (political approach), pertama, mensyaratkan adanya dukungan seluruh komponen rakyat Aceh kepada pemerintahan Aceh dan sebaliknya keterbukaan pemerintahan Aceh kepada rakyat Aceh.

Kedua, Pemerintah Aceh dan rakyat Aceh bersama-sama mendesak dan melakukan lobby kepada pemerintah pusat agar secara konsisten bisa menerapkan UUPA sesuai MoU dan aspirasi rakyat. Ketiga, secara lebih progresif, berkaitan dengan self government Aceh, agar diatur dalam konstitusi dasar Republik Indoneisa atau UUD 1945 agar tidak menimbulkan kontradiksi dengan konstitusi. Sementara pendekatan hukum (legal approach) meminta pemerintah segera menetapkan PP dan Perpres, serta merevisi UUPA sesuai dengan konteks asymetric autonomy.

Referensi

Prang, A. J. (2008).

Qanun Parlok Batal, Selanjutnya

, Serambi Indonesia edisi 6 Agustus 2008 dan edisi

1 Agustus 2008.

--- (2010).

UUPA Makin Runyam,

Serambi Indonesia edisi 5 Januari 2010.

Peraturan Pemerintah tentang Partai Politik Lokal di Aceh, PP No. 20 Tahun 2007, LN No. 43

Tahun 2007, TLN No. 4708.

Peraturan Pemerintah tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian

Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh, Perpres No. 58

Tahun 2009, LN No. 135 Tahun 2009.

Modeong, S. (2003).

Teknik Perundang-Undangan di Indonesia,

Jakrta: Penerbit Perca.

Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam, UU No. 18 Tahun 2001, LN No. 114 Tahun 2001, TLN No. 4134.

(9)

(Footnotes)

1 Peraturan Pemerintah tentang Partai Politik Lokal di Aceh, PP No. 20 Tahun 2007, LN No. 43 Tahun 2007, TLN No. 4708.

Gambar

Tabel 5: Peraturan Pelaksana UUPA yang Belum Ditetapkan

Referensi

Dokumen terkait

dari garfik dapat dilihat bahwa kemampuan perusahaan dalam membayar bunga mengalami fluktuasi, yakni pada tahun 2009 kemampuan laba operasi dalam membayar beban bunga

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai sifat dan kualitas papan partikel tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dengan menggunakan perekat likuida TKKS

Metode ini digunakan untuk memurnikan senyawa organik yang volatile, tidak bercampur dengan air, mempunyai tekanan uap yang tinggi pada 100⁰ C dan

Dosen Program Magister Ilmu Administrasi Negara Fisip Unmul Samarinda.. mutasi, promosi, pengawasan, Kondisi lingkungan, kerjasama, hubungan antar pegawai, dan ruang

Menurut Lupiyoadi dalam Hadiyati (2009), kualitas pelayanan adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik-karakteristik dari suatu produk atau jasa dalam hal kemampuannya

Yaitu pada design circuit untuk dapat diterapkan, simulasi akan dijalankan sesuai program arduino yang diinginkan, dan setelah mendapatkan hasil yang baik dengan

Sabun transparan merupakan pembersih yang dibuat dengan mereaksikan secara kimia antara basa natrium atau basa kalium dan asam lemak yang berasal dari minyak nabati atau lemak

Hal tersebut dapat diketahui melalui hasil analisis foto dari kegiatan dialog maupun ceramah yang pernah dilakukan oleh PKUB (lihat Gambar 3.1 dan Gambar 3.2),