• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksperimentasi Problem Based Learning dan Circ terhadap Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika bagi Siswa Kelas V SD Negeri 1 Sedayu Kecamatan Sapuran Kabupaten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksperimentasi Problem Based Learning dan Circ terhadap Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika bagi Siswa Kelas V SD Negeri 1 Sedayu Kecamatan Sapuran Kabupaten "

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Kajian Teori

2.1.1 Matematika

Matematika menurut Soejadi (dalam Heruman, 2014:1) yaitu memiliki pola objek tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif. Matematika adalah bahasa simbol ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara deduktif; ilmu tentang keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, unsur yang didefinisikan, ke aksioma, dan akhirnya ke dalil (Ruseffendi dalam, Heruman 2014: 1). NRC (dalam Shadiq, 2014: 7) menyatakan dengan singkat bahwa: “Mathematics is a science of patterns and order.” Artinya, matematika adalah ilmu yang membahas

pola atau keteraturan (pattern) dan tingkatan (order).

Dari beberapa teori tersebut, matematika dinilai sebagai bahasa simbolis yang berfungsi untuk mengekspresikan hubungan fungsi teoritis dan kuantitatif sebagai upaya untuk memudahkan berpikir. Matematika juga merupakan mata pelajaran yang universal sebagai dasar perkembangan teknologi modern. Matematika sebagai ilmu deduktif dengan tujuan abstrak

dan pola objek yang bertumpu pada kesepakatan, tetapi matematika juga tidak melupakan cara bernalar induktif.

(2)

tersebut diperlukan agar siswa dapat memiliki kemampuan mengelola, memanfaatkan, dan memperoleh informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika dirancang sebagai landasan proses pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut di atas. Selain itu difungsikan untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan gagasan dan ide dengan menggunakan diagram, simbol, tabel, dan media lain.

Untuk mencapai pembelajaran matematika yang baik, beberapa kompetensi atau kemampuan yang menurut De Lange (dalam Shadiq, 2014: 8) harus dipelajari siswa selama proses pembelajaran matematika di kelas adalah:

a. Berpikir dan bernalar secara matematis (mathematical thinking and reasoning).

b. Berargumentasi secara matematis (mathematical argumentation). Dalam arti memahami pembuktian, mengetahui bagaimana membuktikan, mengikuti dan menilai rangkaian argumentasi, memiliki kemampuan menggunakan heuristic (strategi), dan menyusun argumentasi.

c. Berkomunikasi secara matematis (mathematical communication). Dapat menyatakan pendapat dan ide secara lisan, tulisan, maupun bentuk lain serta mampu memahami pendapat dan ide orang lain.

d. Pemodelan (modeling). Menyusun model matematika dari suatu keadaan atau situasi, menginterpretasi model matematika dala konteks lain atau pada kenyataan sesungguhnya, bekerja dengan model-model, memvalidasi model, serta menilai model matematika yang sudah disusun.

e. Penyusunan dan pemecahan masalah (problem posing dan solving). Menyusun, memformulasi, mendefinisikan, dan memecahkan masalah dengan berbagai cara.

f. Representasi (representation). Membuat, mengartikan, mengubah, membedakan, dan menginterpretasi representasi dan bentuk matematika lain; serta memahami hubungan antar bentuk atau representasi tersebut.

g. Symbol (symbol). Menggunakan bahasa dan operasi yang menggunakan symbol baik formal maupun teknis.

(3)

Dalam Permendiknas No 22 Tahun 2006, mata pelajaran matematika bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan

manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam

kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Permendiknas No 22 Tahun 2006, mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

1. Bilangan,

2. Geometri dan pengukuran, 3. Pengolahan data.

2.1.2 Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar (SD)

Menurut Eti Nurhayati (2011: 34) perkembangan kognitif anak usia SD

berada pada tahap opersinal konkret (concrete operasional). Istilah operasi konkret menggambarkan pendekatan yang terbatas atau terikat pada dunia nyata. Piaget (dalam Nurhayati, 2011: 34) tentang perkembangan anak usia SD secara ringkas adalah sebagai berikut:

a. Usia SD Kelas Rendah ( Kelas I-III)

1) Sudah dapat mengklasifikasikan angka-angka atau bilangan, meskipun masih harus lebih banyak menggunakan benda/ objek yang konkret (alat peraga)

(4)

3) Mulai dapat mengoperasikan kaidah-kaidah logika (berfikir logis), meskipun terbatas pada objek-objek konkret.

b. Usia SD Kelas Tinggi ( kelas IV-VI) 1) Mulai dapat berfikir hipotesisi deduktif.

2) Mulai mampu mengembangkan kemampuan berdasarkan kedua alternatif.

3) Mulai mampu menginferensi atau menggeneralisasikan dari berbagai kategori.

Di samping itu, Yusuf (2011: 24-25) menyatakan masa usia sekolah dasar sering disebut sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah. Pada masa-masa bersekolah ini secara relatif, anak-anak lebih mudah dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya. Masa-masa usia SD terbagi menjadi beberapa fase antara lain:

a. Masa kelas-kelas rendah rendah sekolah dasar, kira-kira 6 atau 7 tahun sampai umur 9 atau 10 tahun. Beberapa sifat anak-anak pada masa ini antara lain seperti berikut:

1) Adanya hubungan positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi (apabila jasmaninya sehat banyak prestasi yang diraih).

2) Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan yang tradisional. 3) Adanya kecenderungan memuji diri sendiri (menyebut nama sendiri). 4) Suka membanding-bandingkan dirinya derngan anak lain.

5) Apabila tidak dapt menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting.

6) Pada masa ini (terutama usia6-8 tahun) anak menghendaki nilai (angka rapor) yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.

(5)

1) Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini menimbulkan adanya kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis.

2) Amat realistik, ingin mengetahui, ingin belajar.

3) Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata pelajaran khusus, yang oleh para ahli mengikuti teori faktor ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor(bakat khusus).

4) Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan guru atau

orang-orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. Selepas umur ini pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk menyelesaikannya. 5) Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran

yang tepat (sebaik-baiknya) mengenai prestasi sekolah.

6) Anak-anak pada usia ini gemar membentuk kelompok sebaya biasanya untuk dapat bermain bersama-sama. Dalam permainan itu biasanya anak tidak lagi terikat kepada peraturan permainan yang tradisional (yang sudah ada), mereka membuat peraturan sendiri.

Anak-anak usia SD dapat mengembangkan konsep, memecahkan masalah, dan melihat hubungan namun hanya sepanjang mereka menggunakan objek-objek dan situasi-situasi yang mereka kenal. Anak-anak usia ini mengembangkan keterampilan penalaran konservasi dan logis karena telah menguasai konsep reversibilitas sepanjang berhadapan dengan dunia yang mereka kenal. Usia SD belajar dari hal-hal yang konkret yaitu belajar dari kehidupan sehari-hari di sekeliling mereka.

2.1.3 Problem Based Learning (PBL)

(6)

Ada tiga elemen dasar yang seharusnya muncul dalam pelaksanaan Problem Based Learning: menginisiasi pemicu/masalah awal (initiating trigger), meneliti isu-isu yang diidentifikasi sebelumnya, dan memanfaatkan pengetahuan dalam memahami lebih jauh situasi masalah. Problem Based Learning merupakan kurikulum sekaligus proses, kurikulumnya meliputi masalah-masalah yang dipilih dan dirancang dengan cermat yang menuntut upaya kritis siswa untuk memperoleh pengetahuan, menyelesaikan masalah, belajar secara mandiri, dan memiliki skill partisipasi yang baik.

Lauren Resnick (dalam Supinah, 2010: 17) mengemukakan Problem Based Learning utamanya dikembangkan untuk membantu siswa sebagai berikut:

a. Mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi.

b. Belajar berbagai peran orang dewasa. Dengan melibatkan siswa dalam pengalaman nyata atau simulasi (pemodelan orang dewasa), membantu siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar melakukan peran orang dewasa

c. Menjadi pelajar yang otonom dan mandiri. Pelajar yang otonom dan mandiri ini dalam arti tidak sangat tergantung pada guru. Hal ini dapat dilakukan dengan cara, guru secara berulang-ulang membimbing dan mendorong serta mengarahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri. Siswa

dibimbing, didorong dan diarahkan untuk menyelesaikan tugastugas secara mandiri. Kemampuan untuk menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri

ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kemampuan belajar secara autodidak dan kesadaran untuk belajar sepanjang hayat yang merupakan bekal penting bagi siswa dalam mengarungi kehidupan pribadi, sosial maupun dunia kerja selanjutnya.

(7)

ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar. Pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktifitas pembelajaran yang menekankan pada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah (Jumanta Hamdayama, 2014: 209).

Howard Barrows dan Kelson (dalam Amir, 2013: 21) mengemukakan rumusan Problem Based Learning sebagai berikut:

Problem Based Learning (PBL) adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam karier dan kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa Problem Based Learning merupakan pembelajaran yang diawali dengan pemberian masalah kepada siswa dimana masalah tersebut dialami atau merupakan pengalaman sehari-hari siswa. Secara garis besar Problem Based Learning terdiri dari kegiatan menyajikan kepada siswa suatu situasi masalah yang autentik. Problem Based Learning menjadikan masalah nyata sebagai pemicu bagi proses belajar siswa sebelum mengetahui konsep formal.

Adapun ciri–ciri Problem Based Learning menurut Jumanta Hamdayama (2014: 209) adalah sebagai berikut:

1) Model pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas pemebelajaran, artinya implementasi pembelajaran berbasis masalah ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. Pembelajaran berbasis masalah tidak mengharapkan siswa hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, tetapi melalui pembelajaran berbasis masalah siswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan.

(8)

3) Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.

Karakteristik Problem Based Learning menurut Jumanta Hamdayama (2014: 209-210) sebagai berikut:

1) Belajar dimulai dengan satu masalah.

2) Memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata siswa.

3) Mengorganisasikan pelajaran seputar masalah, bukan seputar disiplin ilmu.

4) Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri.

5) Menggunakan kelompok kecil.

6) Menuntut siswa untuk mendemonstrasikan yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja.

Langkah-langkah Problem Based Learning menurut Jumanta Hamdayama (2014: 212) sebagai berikut:

1) Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menentukan masalah yang akan dipecahkan.

2) Menganalisis masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah dari berbagai sudut pandang.

3) Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan masalah sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.

4) Mengumpulkan data, yaitu langkah siswa mencari data dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.

5) Pengujian hipotesis, yaitu langkah siswa mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan.

(9)

Berdasarkan uraian diatas, tampak jelas bahwa pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan adanya masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari yang dalam hal ini masalah dapat dimunculkan oleh siswa ataupun guru. Selain itu, siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui untuk memecahkan masalah tersebut.

Sedangkan sintak Problem Based Learning, menurut Jumanta Hamdayama (2014: 212) adalah sebagai berikut:

Tabel 1

Sintak Problem Based Learning

Fase Tingkah Laku Guru

Fase 1

Orientasi siswa kepada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan segala hal yang akan dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya Fase 2

Mengorganisir siswa untuk belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah

Fase 3

Membimbing penyelidikan individual atau kelompok

Guru mendoronng siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen atau pengamatan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah

Fase 4

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai, melaksanakan eksperimen atau pengamatan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah

Fase 5

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan

Dari penjabaran langkah-langkah Problem Based Learning menurut Jumanta Hamdayama (2014: 212), selajutnya penulis akan menyusun pemetaan langkah-langkah Problem Based Learning berdasarkan Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Langkah-langkah tersebut disusun dengan mengorientasikan siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar,

(10)

menyajikan hasil karya, yang terakhir menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Berikut tabel pemetaan Problem Based Learning berdasarkan Standar Proses:

Tabel 2

Pemetaan Problem Based Learning berdasarkan Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses

No Fase PBL Kegiatan Pembelajaran

Pendahuluan Eksplorasi Elaborasi Konfirmasi

1 Orientasi siswa

kepada masalah √

2 Mengorganisir

siswa untuk belajar √

3 Membimbing penyelidikan individual atau kelompok

4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Dari penjabaran langkah-langkah Problem Based Learning menurut Jumanta Hamdayama (2014: 212) dan pemetaan langkah-langkah Problem Based Learning berdasarkan Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, selajutnya penulis akan menyusun implementasi Problem Based Learning berdasarkan Standar Proses. Langkah-langkah implementasi Problem Based Learning pada penelitian ini dijabarkan dari kegiatan pembelajaran berdasarkan pemetaan langkah-langkah Problem Based Learning berdasarkan Standar Proses yaitu: (1) Pendahuluan (mengorientasikan siswa pada masalah); (2) Eksplorasi (mengorganisasikan siswa untuk belajar); (3) Elaborasi (membimbing penyelidikan individual atau kelompok dan menyajikan hasil karya); (4)

(11)

Tabel 3

Implementasi Problem Based Learning berdasarkan Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses

Sintak PBL Langkah dalam

Standar Proses Kegiatan Guru Orientasi siswa

kepada masalah

Kegiatan Awal Guru menjelaskan tujuan

(12)

Menurut Smith (dalam Amir, 2013: 27) kelebihan Problem Based Learning bagi pemelajar adalah meningkatkan kecakapan pemecahan masalahnya, lebih mudah mengingat, meningkat pemahamannya, meningkat pengetahuannya yang relevan dengan dunia praktik, mendorong mereka penuh pemikiran, membangun kemampuan kepemimpinan dan kerja sama, kecakapan belajar, dan memotivasi pemelajar.

Kelebihan Problem Based Learning menurut Taufiq Amir (2013: 27-29) sebagai berikut:

1) Menjadi lebih ingat dan meningkat pemahamannya atas materi ajar. Dengan konteks yang dekat, dan sekaligus melakukan deep learning (karena banyak mengajukan pertanyaan menyelidik) bukan surface learning (yang sekedar hafal saja), maka siswa akan lebih memahai materi.

2) Meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan. Dengan kemampuan pendidik membangun masalah yang sarat dengan konteks-konteks praktik, siswa bisa merasakan lebih baik konteks operasinya di lapangan.

3) Mendorong untuk berpikir.

Dengan proses yang mendorong siswa untuk mempertanyakan, kritis, reflektif. Siswa dianjurkan untuk tidak terburu-buru menyimpulkan, mencoba menemukan landasan atas argumennya, dan fakta-fakta yang mendukung alasan.

4) Membangun kerja tim, kepemimpinan, dan keterampilan sosial. Problem Based Learning dapat mendorong terjadinya pengembangan kecakapan kerja tim dan kecakapan sosial. Siswa diharapkan memahami perannya dalam kelompok, menerima pandangan orang lain, bisa memberikan pengertian bahkan untuk orang-orang yang barangkali tidak mereka senangi. Keterampilan yang sering disebut soft skill, seperti juga hubungan interpersonal dapat dikembangkan. Pengalaman kepemimpinan dapat dirasakan, mempertimbangan strategi, memutuskan, dan persuasive dengan orang lain.

5) Membangun kecakapan belajar (life-long learning skill).

Dengan struktur masalah yang agak mengambang, merumuskannya, serta dengan tuntutan mencari sendiri pengetahuan yang relevan akan melatih siswa membangun kecakapan belajar.

6) Memotivasi pemelajar.

(13)

2.1.4 CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition)

Upaya yang dapat untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami soal cerita adalah dengan menyajikan pembelajaran dengan metode yang kreatif, sehingga siswa lebih mudah dalam memahami soal cerita. Untuk itu dalam kegiatan pembelajaran diperlukan sebuah strategi belajar yang memberdayakan siswa secara aktif. Salah satunya adalah dengan membuat pola pembelajaran yang menekankan kerjasama antar siswa.

Salah satu pembelajaran yang menekankan kerja sama tim dalam

menguasai kemampuan memahami soal cerita adalah dengan menggunakan pendekatan komunikatif tipe CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition). Menurut Miftahul Huda (2014: 221) pembelajaran CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition) dikembangkan pertama kali oleh Stevens, dkk. (1997). Dalam pembelajaran CIRC, setiap siswa bertanggung jawab terhadap tugas kelompok. Setiap anggota kelompok saling mengeluarkan ide-ide untuk memahami suatu konsep dan menyelesaikan suatu tugas, sehingga terbentuk pemahaman dan pengalaman belajar yang lama. Slavin (2010: 200) menyebutkan Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC), yaitu sebuah program yang komprehensif untuk mengajari pelajaran membaca, menulis, dan seni berbahasa pada kelas yang lebih tinggi di sekolah dasar. Hal ini berkaitan dengan tujuan utama dari CIRC yaitu bekerjasama dalam kelompok-kelompok kooperatif untuk membantu siswa dalam mempelajari kemampuan dalam memahami bacaan yang dapat diterapkan secara luas.

Berdasarkan pengertian para ahli bahwasanya pembelajaran CIRC ini dapat membangun pengetahuan siswa. Siswa dalam pembelajaran ini bekerja pada dalam kelompoknya untuk saling membacakan, menemukan ide, dan memecahkan masalah. Mereka akan bekerjasama dalam kelompok untuk

melakukan tugas-tugas yang diberikan guru berupa soal cerita matematika. Dalam kelompok mereka juga akan saling bantu membantu, dimana anggota kelompok yang pandai dapat membantu angggota kelompok yang masih lemah.

(14)

1) Guru membentuk kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri dari 4 siswa.

2) Guru memberikan wacana sesuai topik pembelajaran.

3) Siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok kemudian memberikan tanggapan terhadap wacana yang ditulis pada lembar kertas.

4) Siswa mempresentasikan atau membacakan hasil diskusi kelompok.

5) Guru memberikan penguatan (reinforcement). 6) Guru dan siswa bersama-sama membuat kesimpulan.

Dari berbagai teori diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran CIRC pada kegiatan awal, inti dan akhir pada penelitian adalah:

1. Selama proses pembelajaran guru menyampaikan materi pelajaran di depan kelas.

2. Setelah guru selesai menyampaikan materi siswa diberi latihan soal. Selanjutnya, siswa belajar dalam kelompok yang terdiri atas 4 siswa. 3. Kegiatan yang dilakukan dalam kelompok adalah siswa mengerjakan soal

cerita matematika yang membutuhkan pemecahan masalah dengan cara saling membacakan, menemukan ide pokok, dan memberi tanggapan terhadap soal cerita.

4. Kegiatan selanjutnya mempresentasikan hasil temuannya dari beberapa kelompok, dilanjutkan dengan tes.

Dalam pembelajaran CIRC atau pembelajaran terpadu setiap siswa bertanggung jawab terhadap tugas kelompok. Setiap anggota kelompok saling

mengeluarkan ide-ide untuk memahami suatu konsep dan menyelesaikan tugas, sehingga terbentuk pemahaman dan pengalaman belajar. Proses pembelajaran ini mendidik siswa berinteraksi sosial dengan lingkungan. Siswa juga bisa membuat dan menjelaskan prediksi tentang bagaimana masalah bisa diselesaikan dan meringkaskan unsur-unsur utama suatu cerita kepada unsur cerita lainnya. Kedua kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan membaca pemahaman siswa.

(15)

Tabel 4 Sintak CIRC

Fase Tingkah Laku Guru

Fase 1

Pengenalan Konsep

Guru mulai mengenalkan suatu konsep atau istilah baru yang mengacu pada hasil penemuan selama eksplorasi. Pengenalan bisa didapat dari keterangan guru, buku paket, atau media lainnya.

Fase 2

Eksplorasi dan Aplikasi

Guru membimbing dan memberi peluang pada siswa untuk mengungkapkan dan memperagakan materi yang dibahas. Penemuan dapat bersifat sesuatu yang baru atau sekedar pembuktian hasil pengamatan.

Berdasarkan langkah-langkah CIRC menurut Miftahul Huda (2014: 222) tersebut, maka penulis menjabarkan langkah-langkah CIRC dalam penelitian ini menjadi lima fase yaitu: (1) Orientasi; (2) Pengenalan konsep; (3) Organisasi; (4) Eksplorasi dan aplikasi; (5) Publikasi. Selanjutnya penulis akan menyusun pemetaan dan implementasi langkah-langkah CIRC berdasarkan Permendiknas

No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Berikut tabel pemetaan dan implementasi CIRC berdasarkan Standar Proses:

Tabel 5

Pemetaan CIRC berdasarkan

Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses

No Fase CIRC Kegiatan Pembelajaran

Pendahuluan Eksplorasi Elaborasi Konfirmasi

(16)

Tabel 6

Implementasi CIRCberdasarkan

Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses

Sintak CIRC Langkah dalam

Standar Proses Kegiatan Guru Orientasi Kegiatan Awal Guru melakukan apersepsi dan

pengetahuan awal siswa tentang materi yang akan diberikan. Selain itu juga memaparkan tujuan pembelajaran yang

Guru mulai mengenalkan suatu konsep atau istilah baru yang mengacu pada hasil penemuan selama eksplorasi. Pengenalan bisa didapat dari keterangan guru, buku paket, atau media lainnya.

Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok, dengan memperhatikan keheterogenan akademik. Membagikan lembar permasalahan tentang materi yang dibahas kepada siswa. Selain itu

menjelaskan mekanisme diskusi kelompok dan tugas yang harus diselesaikan selama proses pembelajaran berlangsung.

Guru membimbing dan memberi peluang pada siswa untuk mengungkapkan dengan materi yang dipelajari melalui penjelasan-penjelasan ataupun

(17)

Kelebihan CIRC menurut Saifulloh (dalam Huda, 2014: 221) sebagai berikut:

1) Pengalaman dan kegiatan belajar siswa akan selalu relevan dengan tingkat perkembangan anak.

2) Kegiatan yang dipilih sesuai dengan dan bertolak dari minat dan kebutuhan siswa.

3) Seluruh kegiatan belajar lebih bermakna bagi siswa sehingga hasil belajar siswa akan dapat bertahan lebih lama.

4) Pembelajaran terpadu dapat menumbuhkembangkan keterampilan berpikir siswa.

5) Pembelajaran terpadu menyajikan kegiatan yang bersifat pragmatis (bermanfaat) sesuai dengan permasalahan yang sering ditemui dalam lingkungan siswa.

6) Pembelajaran terpadu dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa kearah belajar yang dinamis, optimal, dan tepat guna. 7) Pembelajaran terpadu dapat menumbuhkembangkan interaksi

sosial siswa, seperti kerjasama, toleransi, komunikasi, dan respek terhadap gagasan orang lain.

8) Membangkitkan motivasi belajar serta memperluas wawasan dan aspirasi guru dalam mengajar.

Dari pembelajaran CIRC diharapkan para siswa dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah, kreatif, dan menumbuhkan interaksi sosial. Siswa dapat mempelajari secara langsung kejadian yang terjadi di dalam kehidupan dengan materi pembelajaran yang dijelaskan. Siswa diajarkan bagaimana bekerja sama dalam suatu kelompok dan menghargai pendapat teman lain.

2.1.5 Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata „mampu‟ mempunyai arti

“kuasa, bisa, dapat, dan sanggup untuk melakukan sesuatu”. Sedangkan

„kemampuan‟ yaitu “kesanggupan, kekuatan, dan kecakapan seseorang dalam

melakukan sesuatu”. Jadi, kemampuan adalah kesanggupan seseorang untuk dapat

(18)

dalam melakukan sesuatu usaha atau tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan. Kemampuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam mengerjakan soal cerita matematika.

Salah satu tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam pelajaran matematika adalah tes yang berbentuk uraian, tes ini dapat berupa soal cerita yang dapat berfungsi untuk memperlancar daya pikir atau nalar siswa dalam menginterpretasikan pengertian-pengertian yang dimiliki siswa. Hal itu penting sekali diberikan dalam pembelajaran matematika, karena pada umumnya soal

cerita dapat digunakan untuk melatih siswa dalam menyelesaikan masalah. Masalah timbul ketika siswa berhadapan dengan kesulitan yang tidak dapat menemui jawaban atau pemecahan secara langsung. Jadi, kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika adalah kesanggupan seseorang dalam menyelesaikan soal matematika yang disajikan dengan kalimat yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari serta memuat masalah yang menuntut pemecahan dengan baik dan terampil sebagai hasil dari latihan selama proses pembelajaran.

Soal cerita adalah soal yang disajikan dengan kalimat-kalimat yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, serta memuat masalah yang menuntut pemecahan (Marsudi Rahardjo dan Astuti Waluyati, 2011: 8). Perlu diketahui bahwa bentuk soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam pembelajaran matematika dapat berupa soal cerita atau soal non cerita. Soal cerita yang dimaksud erat kaitannya dengan masalah yang ada dalam kehidupan siswa sehari-hari, sehingga yang dimaksud dengan soal cerita matematika adalah soal matematika yang terkait dengan kehidupan sehari-hari untuk dicari penyelesaiannya menggunakan kalimat matematika yang memuat bilangan, operasi hitung (+, –, ×, :), dan relasi (=, <, >, ≤, ≥). Soal cerita semacam ini penting untuk diberikan kepada siswa guna melatih perkembangan proses berfikir

mereka secara berkelanjutan dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan, sehingga keberadaannya sangat diperlukan.

Tujuan pembelajaran soal cerita di Sekolah Dasar menurut Syafri Ahmad (dalam Rahardjo dan Waluyati, 2011: 9) sebagai berikut:

(19)

b. Membiasakan siswa untuk melihat hubungan antara kehidupan sehari-hari dengan pengetahuan matematika yang telah mereka peroleh di sekolah. c. Memperkuat pemahaman siswa terhadap konsep matematika tertentu,

maksudnya dalam menyelesaikan soal cerita siswa perlu mengingat kembali konsep-konsep matematika yang telah dipelajarinya sehingga pemahaman terhadap konsepkonsep tersebut semakin kuat.

Macam-macam soal cerita dalam matematika dilihat dari segi macam operasi hitung yang terkandung dalam soal cerita dibedakan sebagai berikut

(Christou dalam Rahardjo dan Waluyati, 2011: 9).

a. Soal cerita satu langkah (one-step word problems) adalah soal cerita yang di dalamnya mengandung kalimat matematika dengan satu jenis operasi hitung (penjumlahan atau pengurangan atau perkalian atau pembagian). b. Soal cerita dua langkah (two-step word problems), adalah soal cerita yang

didalamnya mengandung kalimat matematika dengan dua jenis operasi hitung.

c. Soal cerita lebih dari dua langkah (multi-step word problems), adalah soal cerita yang didalamnya mengandung kalimat matematika dengan lebih dari dua jenis operasi hitung.

Dalam pembelajaran matematika terdapat soal pemecahan masalah dan ada soal bukan pemecahan masalah. Soal cerita matematika biasannya erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Soal tersebut sangat penting untuk diberikan kepada siswa Sekolah Dasar, karena pada umumnya soal cerita tersebut dapat digunakan untuk melatih siswa dalam menyelesaikan masalah. Oleh karena itu dalam menyelesaikan soal cerita matematika dapat digunakan strategi penyelesaian masalah, walaupun soal cerita matematika belum tentu merupakan soal pemecahan masalah. Kemampuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal

cerita tidak hanya algoritma tertentu saja dan kemampuan keterampilan (skill) melainkan kemampuan lainnya yaitu kemampuan menyusun rencana dan strategi yang akan digunakan dalam mencapai penyelesaian.

(20)

Bruner (dalam Rahardjo dan Waluyati, 2011: 10) menyatakan beberapa teorinya sebagai berikut:

a. Enactive: kongkrit (obyek sesungguhnya).

Dalam pembelajaran matematika dapat berupa bermain peran memperagakan konsep-konsep matematika tertentu (peragaan kongkrit).

b. Econic: semi kongkrit (obyek sesungguhnya diganti gambar). Dalam pembelajaran matematika, dalam hal ini pembelajaran soal

cerita, kalimat cerita dapat ditulis di atas gambar peragaan dan kalimat matematika yang bersesuaian ditulis di bawah gambar peragaan. Tujuannya agar siswa dapat menghubungkan sekaligus tiga hal: kalimat sehari-hari yang berkaitan dengan masalah matematika, gambaran kerangka berfikir untuk membayangkan susunan obyek-obyeknya, dan bilangan dan operasinya yang bersesuaian.

c. Symbolic: abstrak.

Berkenaan dengan soal cerita, masalah yang akan dicari pemecahannya ditulis dalam bentuk lambang-lambang saja yang hanya berupa huruf-huruf, angkaangka, lambang-lambang operasi hitung (+, -, ×, :), dan relasi (>, <, ≥, ≤, =).

Tokoh lainnya George Polya (dalam Rahardjo dan Waluyati, 2011: 10-12) menyarankan empat langkah rencana yang terurut untuk menyelesaikan masalah. Keempat langkah tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Memahami masalah (understanding the problem)

Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar. Pada

langkah pertama ini yang harus dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal cerita adalah membaca soal dengan seksama untuk memahami arti dari semua kata dalam soal/masalah itu. Langkah-langkahnya sebagai berikut. 1) Mengenali apa yang tidak diketahui (yang ditanyakan)? Data apa yang

(21)

2) Mencermati apakah syarat-syarat itucukup untuk mencari unsur yang tidak diketahui?

3) Membuat suatu gambar dan memberi notasi yang sesuai.

4) Mengelompokkan syarat-syarat tersebut berdasarkan sejenis dan tak sejenis dan menuliskan bentuk matematikanya.

b. Menyusun rencana (devising a plan)

Langkah kedua merupakan kunci dari empat langkah ini. Dalam menyusun rencana penyelesaian banyak strategidan teknik yang digunakan dalam

menyelesaikan masalah. Kemampuan menyusun rencana sangat tergantung pada pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah. Semakin bervariasi pengalaman mereka, ada kecenderungan siswa semakin lebih kreatif dalam menyusun rencana penyelesaiannya. Beberapa pertanyaan yang dapat digunakan untuk merancang penyelesaian masalah adalah sebagai berikut.

1) Apakah Anda sudah pernah melihat sebelumnya? Atau apakah Anda pernah melihat masalah yang sama dalam bentuk berbeda?

2) Apakah Anda mengetahui soal lain yang terkait? Perhatikan yang tidak diketahui dan coba memikirkan soal yang sudah dikenal yang mempunyai unsur yang tidak diketahui sama.

3) Apakah masalah ini pernah diselesaikan sebelumnya tetapi dengan kalimat yang berbeda?

4) Apakah masalah perhitungan ini dibutuhkan untuk menyusun proses perhitungan?

5) Dapatkah Anda menyempurnakan masalah yang sama dengan lebih sederhana dan mempelajari sesuatu dari penyelesaiannya yang mungkin digunakan dalam masalah ini?

6) Jika pertanyaannya merupakan tipe pertanyaan umum, dapatkah Anda mencoba soal yang lebih spesifik?

7) Apakah terdapat hubungan masalah yang dapat kamu selesaikan sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah ini?

(22)

Jika dalam langkah kedua telah berhasildirinci dengan lengkap, maka dalam pelaksanaan rencana penyusunan soalnyamenjadi bentuk yang sederhana dan melakukan perhitungan yang diperlukan. Perancangan yang mantap membuat pelaksanaan rencana lebih baik.

1) Laksanakan rencana penyelesaianitu dan cek setiap langkahnya. 2) Apakah langkah sudah benar?

3) Buktikan bahwa langkah sudah benar. d. Memeriksa kembali (looking back)

Langkah keempat ini penting, walaupun sering dilupakan dalam menyelesaikan masalah, yaitu melakukan pengecekan atasapa yang telah dilaksanakan mulai langkah pertama sampai langkah ketiga. Beberapa pertanyaan yang muncul dalam meneliti (mengecek) kembali hasil yang telah diperoleh adalah sebagai berikut.

1) Dapatkah Anda mengecek hasilnya? Dapatkah Anda mengecek argumennya?

2) Dapatkah Anda mencari hasil itu dengan cara lain?

3) Dapatkah Anda menggunakan hasil ataumetode itu untuk menyelesaikan masalah lain?

Memeriksa kembali dari penyelesaian masalah yang ditemukan dapat menjadi dasar yang penting untuk penyelesaian masalah yang akan datang. Keempat langkah Polya tersebut akan digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita.

Eicholz (dalam Rahardjo dan Waluyati, 2011: 13) mengemukakan bahwa langkah-langkah yang diperlukan dalam menyelesaikan soal cerita sebagai berikut:

a. Memahami apa yang ditanyakan

b. Menemukan data yang dibutuhkan c. Merencanakan apa yang harus dilakukan

(23)

Skemp (dalam Rahardjo dan Waluyati, 2011: 13) menyarankan langkah-langkah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal cerita matematika sebagai berikut:

a. Pemahaman masalah, berhubungan dengan masalah dunia nyata

b. Pembuatan model matematika (mathematical model) dalam proses abstraksi (abstracting)

c. Melakukan manipulasi terhadap model matematika (manipulation of

model)

d. Melakukan interpretasi terhadap masalah semula

Dari uraian di atas bahwa langkah-langkah pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Polya, memiliki kesamaan dengan langkah-langkah yang digunakan dalam menyelesaikan soal cerita yang dikemukakan oleh Eicholz dan Skemp. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa langkah-langkah yang diperlukan dalam menyelesaikan soal cerita dalam penelitian ini adalah:

a. Memahami masalah yang terdapat dalam soal cerita. Dalam hal ini adalah dapat menentukan data yang diketahui dan data yang tidak diketahui (apa yang ditanyakan) dalam soal cerita.

b. Membuat rencana penyelesaian. Dalam hal ini adalah menentukan hubungan antara data yang diketahui dengan apa yang tidak diketahui (yang ditanyakan) dalam soal. Atau dengan kata lain langkah ini adalah membuat model (kalimat) matematika sesuai dengan data yang diketahui dan yang tidak diketahui dalam soal.

c. Melaksanakan rencana penyelesaian. Dalam hal ini adalah menyelesaikan model (kalimat) matematika yang telah dibuat dengan melakukan komputasi yang sesuai.

d. Melakukan pengecekan terhadap hasil yang telah diperoleh serta

menginterpretasikan hasil tersebut terhadap situasi permasalahan yang terdapat dalam soal cerita.

(24)

a. Kesulitan dalam memahami masalah (soal), yaitu kesulitan dalam menentukan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam soal. b. Kesulitan dalam menyusun rencana penyelesaian, yaitu kesulitan

dalam menerjemahkan soal cerita ke dalam model (kalimat) matematika.

c. Kesulitan dalam menyelesaikan rencana, yaitu kesulitan dalam menyelesaikan model (kalimat) matematika.

d. Kesulitan dalam melihat (mengecek) kembali hasil yang telah diperoleh.

e. Kesulitan dalam menginterpretasikan jawaban tersebut terhadap situasi permasalahan yang terdapat dalam soal.

Kesalahan-kesalahan yang dialami siswa dalam mengerjakan soal pemecahan masalah yang disajikan dalam bentuk cerita secara mekanik meliputi kesalahan dalam memahami soal, kesalahan membuat model (kalimat) matematika, kesalahan melakukan komputasi (penghitungan), dan kesalahan dalam membuat jawaban kalimat matematika. Melihat kesalahan-kesalahan yang ada tersebut, guru hendaknya dapat melakukan kegiatan pembelajaran dengan meminimalisir kesalahan tersebut. Hal ini dapat dilakukan guru dengan membiasakan pada siswa untuk menyelesaikan soal cerita matematika sesuai dengan langkah-langkah yang ada.

2.1.6 Hubungan Problem Based Learning, CIRC, dan Kemampuan

Menyelesaikan Soal Cerita Matematika

Problem Based Learning merupakan salah satu metode pembelajaran yang tepat digunakan dalam proses pembelajaran di Sekolah Dasar. Pembelajaran ini mengutamakan suatu masalah dan merupakan metode pembelajaran yang ditawarkan dan diutamakan untuk menunjang pembelajaran pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah) didasarkan pada teori konstruktvisme yang merupakan suatu

(25)

Melalui Problem Based Learning dapat membantu siswa dalam mengembangkan ketrampilan mengatasi masalah dan ketrampilan berpikir sehingga dapat melatih kemampuan siswa menyelesaikan soal cerita. Kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika juga merupakan kemampuan matematik yang ada pada diri siswa. Berbagai macam persoalan yang ada dalam kehidupan sehari-hari sering ditemui dalam bentuk soal cerita. Dengan adanya permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dalam pelajaran matematika, maka akan membawa siswa untuk mengerti manfaat dari pelajaran yang telah

dipelajari.

Selain itu beberapa peneliti menyatakan bahwa hasil pembelajaran dengan menggunakan CIRC terhadap kemampuan menyelesaikan soal cerita pembelajaran CIRC efektif untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita. Seperti hasil penelitian Keramati (2011) menunjukkan pembelajaran CIRC memiliki efek positif pada pencapaian membaca subyek kelompok eksperimental. Pembelajaran CIRC ini dapat digunakan sebagai pengembangan metode pembelajaran karena dengan menggunakan pembelajaran CIRC siswa dapat memahami secara langsung peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan dengan materi yang dijelaskan. Dengan CIRC siswa belajar dari satu sama lain dan berupaya bertukar ide dalam kelompoknya.

2.2Penelitian Yang Relevan

Suatu penelitian yang akan dibuat, perlu memperhatikan penelitian lain yang digunakan sebagai bahan kajian yang relevan. Penelitian yang dilakukan oleh Niken Maya Yasinta (2012) dengan judul “Pengaruh Penggunaan Metode

Problem Based Learning (PBL) Dengan Memanfaatkan Media Video Compact Disc (VCD) Terhadap Hasil Belajar Matematika Pada Siswa Kelas V Sekolah

(26)

70,92 dengan rata-rata kelas eksperimen 80,15. Artinya bahwa signifikan lebih kecil dari 0,05 dan rata-rata yang diperoleh kelas kontrol lebih rendah dari kelas eksperimen. Jadi dapat disimpulkan bahwa, penggunaan metode PBL dengan memanfaatkan media VCD mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar Matematika pada siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri 1 Mangunrejo kecamatan Pulokulon kabupaten Grobogan semester II tahun pelajaran 2011/2012. Penelitian ini menunjukkan bahwa model Problem Based Learning terbukti mempengaruhi dan meningkatkan kemampuan siswa menyelesaikan

masalah. Pembelajaran ini memusatkan pembelajaran kelompok dan memaksimalkan potensi yang dimiliki siswa.

Safitri Ngatiatun (2012) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Model Problem Based Learning Terhadap Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita” menyimpulkan bahwa kemampuan menyelesaikan soal cerita pada pokok bahasan KPK dan FPB dengan menggunakan model pembelajaran PBL lebih baik daripada menggunakan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V Di Dabin Kartini Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap. Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara cluster random sampling. Dalam pembelajarannya, kelompok eksperimen menggunakan pembelajaran Problem Based Learning, sedangkan kelompok kontrol menggunakan pembelajaran konvensional. Pengumpulan data dalam penelitian menggunakan teknik tes. Uji normalitas menggunakan metode Lilliefors, uji homogenitas menggunakan metode Barlett, uji keseimbangan dan uji hipotesis dengan uji t. Berdasarkan hasil pengolahan data akhir (posttest) diperoleh nilai rata-rata kelompok eksperimen sebesar 73,32 dan rata-rata kelompok kontrol sebesar 65,14. Pada hasil uji dengan taraf signifikansi 0,05. nilai thitung (2,536) > ttabel (0,680), ini berarti H0ditolak dan H1diterima.

A. Hanna Puspitasari (2012) melakukan penelitian dengan judul “Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe CIRC dalam Meningkatkan Kemampuan Memahami Bacaan Siswa Kelas V SD Negeri Salatiga 06 Pada Mata Pelajaran Bahasa Inggris Semester II Tahun Pelajaran

(27)

pembelajaran kooperatif tipe CIRC terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan siswa kelas V SD Negeri Salatiga 06 pada mata pelajaran Bahasa Inggris semester II tahun ajaran 2011/2012. Hal itu dengan dibuktikan dari hasil penelitian yaitu dari hasil uji t menunjukkan signifikansi 0,002<0,05 yang artinya penggunaaan model pembelajaran kooperatif tipe CIRC efektif dalam meningkatkan kemampuan memahami bacaan siswa kelas V SD Negeri Salatiga 06. Guru hendaknya dapat menyajikan pembelajaran yang menarik bagi siswa, sehingga siswa dapat lebih mudah memahami materi

yang disampaikan guru. Guru dapat menggunakan pembelajaran kooperatif, dimana pembelajaran kooperatif dapat membangun pengetahuan siswa.

Sedangkan Ayu Septiarini (2013) melakukan penelitian dengan judul

“Eksperimentasi Model Pembelajaran CIRC dan Problem Posing Terhadap

Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita” Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui apakah kemampuan menyelesaikan soal cerita pada materi segi empat siswa kelas VII SMP Negeri 15 Purworejo dengan menggunakan model CIRC lebih baik daripada menggunakan model pembelajaran problem posing. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh data, bahwa kelas eksperimen I nilai rata-ratanya sebesar 61,88 sedangkan kelas eksperimen II sebesar 56,53. Hasil pengujian hipotesis penelitian menunjukkan 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔= 1,6584,

dengan taraf signifikasi 𝛼 = 5% diperoleh 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,645. Ini artinya 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔>𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙

yang berarti H0 ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan menyelesaikan soal cerita pada materi segi empat siswa kelas VII SMP Negeri 15 Purworejo dengan menggunakan model pembelajaran CIRC lebih baik daripada

menggunakan model pembelajaran problem posing.

(28)

2.3Kerangka Berpikir

Kemampuan dasar berhitung ditingkat sekolah dasar merupakan kemampuan matematis yang didalamnya termuat kemampuan melakukan pengerjaan-pengerjaan hitung seperti kemampuan untuk mengubah bahasa verbal kedalam model matematika (kemampuan menyelesaikan soal cerita). Kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika merupakan kemampuan matematika yang ada pada diri siswa. Sebagian besar siswa menganggap langkah-langkah dalam menyelesaikan soal cerita matematika terlalu rumit, sehingga mereka akan

mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal cerita. Terlebih lagi bagi siswa yang terbiasa diajarkan dengan rumus-rumus praktis untuk menemukan hasil suatu permasalahan. Penyajian rumus-rumus praktis tersebut dapat melemahkan cara berpikir siswa yang sistematis. Siswa akan merasa kesulitan apabila dituntut mengerjakan soal cerita dengan runtutan penyelesaian yang benar.

Kesulitan siswa dalam memahami soal cerita matematika berdasarkan hasil observasi di kelas V SD Negeri 1 Sedayu Kecamatan Sapuran Kabupaten Wonosobo disebabkan oleh beberapa hal: (1) Guru dalam memberikan materi hanya terpaku pada metode ceramah dengan menuliskan rumus, memberikan contoh soal, dan memberikan tugas-tugas sehingga mengakibatkan kurangnya interaksi antara guru dan siswa, serta menjadikan siswa pasif dan kurang perhatian dalam belajar secara kreatif dan mandiri; (2) Kurangnya motivasi terhadap siswa, sehingga siswa kurang tertarik dengan apa yang diajarkan oleh guru; (3) Cara belajar siswa yang hanya menghafal rumus yang diberikan oleh guru, hal tersebut menyebabkan siswa kesulitan memahami konsep matematika; (4) Kurangnya sarana dan prasarana atau media pembelajaran sehingga materi yang diajarkan kurang dipahami oleh siswa.

Untuk mengatasi kesulitan siswa dalam kemampuan menyelesaikan soal

(29)

menggunakan Problem Based Learning dapat menarik perhatian siswa sehingga mereka aktif dalam proses pembelajaran dan dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika, pembelajaran ini yang memusatkan pada kegiatan identifikasi, analisa, mengumpulkan data, dan diskusi permasalahan dalam kelompok kecil dengan sebuah masalah sebagai stimulus dalam pembelajaran. Masalah diambil dari fenomena-fenomena atau kejadian yang terjadi di dunia nyata yang membutuhkan penjelasan (phenomena that need

explanation). Siswa belajar secara kelompok maupun individu untuk mengidentifikasi, menganalisa, dan menemukan solusi masalah secara tepat.

Pembelajaran CIRC menerapkan pembelajaran kelompok dengan harapan para siswa dapat meningkatkan pikiran kreatif, menumbuhkan rasa sosial yang tinggi, dan kritis. Sebelum di bentuk kelompok, siswa diajarkan bagaimana bekerja sama dalam suatu kelompok. Siswa diajarkan agar dapat memberikan penjelasan kepada teman sekelompok, menjadi pendengar yang baik, berdiskusi, mendorong teman lain untuk bekerja sama, menghargai pendapat orang lain. Salah satu ciri pembelajaran CIRC adalah kemampuan siswa untuk bekerja sama dalam kelompok kecil yang heterogen. Berdasarkan uraian tersebut kerangka berpikir kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika dengan menggunakan Problem Based Learning dan CIRC digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1 Kerangka Berpikir Kelas

eksperimen I

Hasil UAS

Pembelajaran menggunakan Problem

Based Learning

Post Test

X

1

X

2

Kelas

eksperimen II Hasil UAS

Pembelajaran menggunakan

(30)

Keterangan:

X1 : Uji normalitas, uji homogenitas, dan uji keseimbangan kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II menggunakan hasil UAS matematika semester 1. X2 : Uji hipotesis penelitian menggunakan uji t. Hal ini dipilih karena uji

prasyaratnya normal dan homogen. Untuk uji hipotesis dipilih uji satu ekor kanan.

Dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan antara kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II dimana kelas eksperimen I menggunakan

Problem Based Learning sedangkan kelas eksperimen II menggunakan CIRC.

2.4Hipotesis Penelitian

Gambar

Pemetaan Tabel 2 Problem Based Learning berdasarkan
Tabel 3
Tabel 4 Sintak CIRC
Implementasi CIRCTabel 6  berdasarkan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) perbedaan hasil belajar menggunakan media belajar diorama, blockdiagram dan chalkboard (2) membandingkan efektivitas

0,038 &lt; 0,05, maka H o ditolak dan H a diterima yang berarti layanan konseling kelompok dengan teknik permainan melalui media balon estafet berpengaruh dalam meningkatkan

1.. Disamping dunia usaha, Praktikum Kerja Industri dapat memberikan keuntungan pada pelaksanaan itu sendiri yaitu sekolah karena keahliaan yang tidak

pengukuran kalorimeter kosong dengan pengaduknya menggunakan neraca ohaus 311 gram. Waktu adalah lamanya pemberian kalor untuk menaikkan suhu air dalam calorimeter.

Pendapat lain yang menjelaskan hubungan antara pengaruh idnetifikasi merek terhadap kepuasan konsumen adalah menurut Yi dan La (2004) dalam Hongwei He dan Yan Li (2011

Pada titrasi asam asetat dengan NaOH (sebagai larutan standar) akan dihasilkan garam yang berasal dari asam dan basa kuat.. Garam natrium ini akan terurai sempurna

Pengaruh adanya word of mouth positif yang disampaikan oleh orang lain dalam merekomendasikan suatu produk akan menjadi pertimbangan oleh konsumen dalam melakukan

Dengan demikian, kondisi seseorang dapat dilihat secara komprehensif (Suharmiati, 2003). Pada bulan April tanggal 15 dan 21 serta pada bulan Mei tanggal 21 penulis melakukan