• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Internasional yang telah Dira

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perjanjian Internasional yang telah Dira"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas karunia dan rahmat-Nya makalah ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Peraturan Statutori ( Statutory Regulations ) di jurusan Teknik Perkapalan FTK ITS.

Makalah ini berjudul “ Perjanjian Internasional yang telah Diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia di Bidang Maritim ” yang berisi tentang peraturan-peraturan statutori pada konvensi internasional yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia ke dalam bentuk keputusan presiden, keputusan menteri, UU, dll yang selanjutnya difungsikan untuk mengatur negara ini khususnya pada dunia maritim.

Tidak lupa, penyusun mengucapkan terima kasih kepada Ir. Hesty Anita Kurniawati, M.Sc. selaku dosen kami dan pihak - pihak lain yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih ada kekurangan yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu segala bentuk kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh kami untuk lebih baik ke depannya. Dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan dapat berguna untuk pembaca.

Surabaya, 16 September 2014

Penyusun

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

DAFTAR TABEL...iii

BAB I PENDAHULUAN...1

BAB II Perjanjian Internasional yang telah Diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia di Bidang Maritim...2

2.1 Ratifikasi...2

2.2 Proses Ratifikasi...2

2.2.1 Ratifikasi / Pengesahan dengan Keputusan Presiden (KEPPRES)...3

2.2.2 Ratifikasi / Pengesahan dengan Undang – undang...4

2.3 Perjanjian Internasional yang telah Diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia di Bidang Maritim...5

2.4 Implementasi Ratifikasi dari Perjanjian Internasional...17

BAB III PENUTUP...20

DAFTAR PUSTAKA...21

(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Perjanjian Internasional yang telah Diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia di Bidang Maritim...5

(5)

BAB I Pendahuluan

Dunia kemaritiman tidak hentinya mengalami peristiwa yang menyedihkan, berawal dari kecelakaan tanker yang menyebabkan kerugian besar, banyaknya korban yang berjatuhan, hingga menyebabkan kerusakan lingkungan laut karena air yang tercemar oleh tumpahan minyak. Serangkaian musibah seperti itu selalu menjadi catatan kelam di dunia kemaritiman. Maka diperlukanlah sebuah badan yang secara khusus mengatur tentang dunia kemaritiman, terutama dalam hal keselamatan pelayaran, perlindungan lingkungan laut dari pencemaran, dan peningkatan kualitas bagi orang-orang yang bekerja di dunia maritim.

Ada 3 pilar utama di dunia kemaritiman yang sangat erat kaitannya dengan keselamatan pelayaran, perlindungan laut dan peningkatan kualitas sumber daya manusia bahari yakni Safety of Life at Sea (SOLAS), Prevention of Pollution from Ship (MARPOL), dan Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seaferers (STCW). Ketiga pilar yang di bawahi oleh IMO tersebut bertujuan untuk mencapai kesejahteraan para pekerja di sektor maritim. Ketiga pilar utama tersebut merupakan sebagian hasil dari konvensi internasional yang dilakukan oleh negara-negara anggota dari International Maritime Organization (IMO). Tidak hanya itu, konvensi internasional juga melahirkan perjanjian-perjanjian di bidang lingkungan laut lainnya.

Sebagai anggota IMO, Indonesia haruslah mengikuti dan mengesahkan perjanjian yang telah disepakati di konvensi internasional. Dan selanjutnya perjanjian tersebut dipakai sebagai acuan untuk pembuatan peraturan maupun undang-undang baru di bidang maritim. Sebelum itu, akan dilakukan beberapa proses, dan proses tersebut biasa disebut dengan ratifikasi. Hingga saat ini, cukup banyak perjanjian internasional di bidang lingkungan laut yang berhasil diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.

(6)

BAB II Perjanjian Internasional yang telah Diratifikasi oleh

Pemerintah Indonesia di Bidang Maritim

2.1

Ratifikasi

Secara teori, ratifikasi merupakan persetujuan kepala negara atau pemerintah atas penandatanganan perjanjian internasional yang dilakukan dengan kuasa penuhnya yang di tunjuk sebagaimana mestinya. Tetapi dalam praktik modern, ratifikasi mempunyai arti lebih daripada sekadar tindakan konfirmasi. Ratifikasi dianggap sebagai penyampaian pernyataan formal oleh suatu negara mengenai persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional. Dan selanjutnya apabila negara setuju untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, maka negara itu akan turut menandatangani naskah perjanjian internasional lalu mengesahkannya. Pada suatu perjanjian internasional, dinyatakan dengan ratifikasi apabila :

 Perjanjian internasional menentukan demikian secara tegas;

 Kecuali apabila ditentukan sebaliknya, negara yang mengadakan negosiasi menyetujui bahwa ratifikasi perlu;

 Perjanjian internasional yang telah ditandatangani akan berlaku jika sudah di ratifikasi;

 Kemampuan negara untuk menandatangani perjanjian internasional dengan syarat akan berlaku bila telah diratifikasi, tampak dalam instrumen “full powers-nya”, atau dinyatakan demikian selama ratifikasi.

2.2

Proses Ratifikasi

Dalam prakteknya ratifikasi untuk pengesahan perjanjian internasional di Indonesia ada 2 macam, yaitu dengan Undang- undang (UU) dan keputusan presiden (KEPPRES). Dalam penentuannya ( akan diratifikasi dengan Undang-undang atau dengan keppres), dilihat dari substansi atau materi perjanjian bukan

(7)

berdasarkan bentuk dan nama (nonmenclature) perjanjian, dan dilakukan oleh Departement Luar Negeri . Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksud agar terciptanya kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan Undang – undang.

Pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan Undang-undang apabila berkenaan dengan masalah politik , perdamaian , dan keamanan negara; perubahan wilayah dan penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia ; kedaulatan atau hak berdaulat Negara; hak asasi manusia dan lin gkungan hidup; pembentukan kaidah hukum baru; dan pinjaman dan atau hibah luar negeri. Sedangkan Pengesahan perjanjian melalui keputusan presiden dilakukan bagi perjanjian yang memasyarakatkan adanya pengesahan sebelum mulai berlakunya perjanjian tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis- jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini , diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi , ekonomi , teknik, perdagangan , kebudayaan , pelayaran , niaga, penghindaran pajak berganda,dan kerjasama perlindungan penanaman modal , serta perjanjian –perjanjian yang bersifat teknis

Adapun proses ratifikasi dapat dijelaskan sebagai berikut :

2.2.1 Ratifikasi / Pengesahan dengan Keputusan Presiden (KEPPRES)

Proses ratifikasi dengan keputusan presiden adalah sebagai berikut . Departemen luar negeri mengajukan permohonan ratifikasi perjanjian internasional dengan keppres kepada secretariat Negara , disertai copy naskah perjanjian sebanyak 30 (tiga puluh) copy, plus 1 (satu) yang tekah di –Certified True Copy . Setelah dipelajari sekretaris negara , selanjutnya diteruskan kepada presiden melalui tingkatan hierarkinya, yaitu mulai Bagian Ratifikasi kepada

(8)

Kepala Biro Hukum , kemudian ke Deputi Eselon 1 , diteruskan kepada s/sesneg (Dulu ada Mensesneg). Setelah itu diberikan kepada presiden ketika diproses untuk diteruskan kepada presiden disertai dengan RKP (Rancangan Keppres ). Memo-memo beserta ampresnya (amanat presiden ) untuk ditandatangani oleh presiden . Isi dari ampres tersebut ditujukan kepada ketua DPR , yang memberitahukan bahwa Pemerintah Indonesia telah mengesahkan perjanjian internasional tersebut dengan keppres, agar diketahui oleh DPR .Terhadap RKP yang telah ditandatangani oleh presiden dan telah menjadi keppres , diserahkan kembali ke Bagian Ratifikasi Sekneg melalui hierarki yang sama seperti sebelumnya dan dituangkan ke dalam Lembaga Negara oleh Sekneg , untuk kemudian didistribusikan kepada Daftar A dan Daftar B . Daftar A terdiri dari lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara , dan Daftar B adalah departemen – departemen / instansi terkait. Pendistribusian ini disertai dengan autentifikasi yang dikeluarkan oleh kepala Biro Hukum.

2.2.2 Ratifikasi / Pengesahan dengan Undang – undang

Proses ratifikasi dengan Undang –undang dapat dijelaskan sebagai berikut : Departemen luar negeri mengajukan permohonan ijin pemrakarsa penyusunan RUU (hanya sebagai formalitas , karena biasanya pada rapat- rapat interdep terdahulu, instansi teknis beserta departemen luar negeri telah menyusun terlebih dahulu RUU – nya). Dilampirkan pula copy naskah perjanjian sebanyak 30 (tiga puluh ) copy , plus 1 (satu) yang telah di Certified True Copy. Setelah dipelajari oleh Sekretaris Negara (sekneg) kemudian diteruskan kepada presiden melalui hierarki yang sama dengan pembuatan keppres . Setelah presiden menyetujui permohonan tersebut kemudian Sekneg Cq. Bagian Ratifikasi memberitahukan kepada departemen luar negeri. Selanjutnya departemen luar negeri beserta instansi teknis terkait dan juga setneg, kembali mengadakan rapat interdep untuk membahas RUU pengesahan yang biasanya telah dipersiapkan sebelum pengajuan permohonan dan tentang pelaksanaan perjanjian tersebut.

(9)

Setelah rapat interdep itu selesai , selanjutnya departemen luar negeri mengirimkan RUU yang disetujui dalam rapat tersebut ke Sekneg beserta naskah akademisnya. Sekneg kemudian akan meneruskan ke Presiden untuk kemudian Presiden mengeluarkan ampres yang telah ditandatanganinya (Ditujukan kepada ketua DPR , yang isinya meminta agar DPR membahas RUU tersebut ), selanjutnya , mengirimkannya ke DPR.

Pembahasan rancangan undang- undang (RUU) dilakukan melalui 4 (empat) tingkat pembicaraan. Setelah DPR menyetujui RUU tersebut , maka bentuk persetujan DPR adalah berupa surat dari ketua DPR kepada Presiden dan Keputusan DPR atas RUU tersebut , yang dikirimkan ke Sekneg untuk diteruskan kepada Presiden . RUU yang telah disetujui oleh DPR itu ditandatangani dan disahkan oleh presiden sehingga menjadi Undang-Undang (UU)

2.3

Perjanjian Internasional yang telah Diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia di Bidang Maritim

Berikut merupakan beberapa peraturan statutori maupun perjanjian Internasional yang berhasil diratifikasi oleh pemerintah Indonesia :

Tabel 2. 1 Perjanjian Internasional yang telah Diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia di Bidang Maritim

No Nama konvensi Ringkasan isi/tentang Legalitas

1 Convention on the

Konvensi tentang pembentukan organisasi internasional yang menangani bidang maritime dengan tugas pokok penanganan mengenai keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan laut dari nahaya pencemaran yang bersumber

2 Amendements of 1991 of the IMO convention (IMO amandements ’91)

Amandemen terhadap konvensi IMO sesuai dengan resolusi A.724 (17) yang ditetapkan dalam siding assembly ke-17 pada November 1991 yang berisi “institualization of the facilitation committee.”

Keputusan Presiden (KEPPRES)No.16/1997

(10)

3 Amandements of 1993 of negara dengan komposisi 10 negara dengan kategori A, 10 negara dengan kategori B, dan 20 negara dengan kategori C.

Keputusan Presiden (KEPPRES) No.6/1997

4 International Convention for the Safety of Life at Sea, 1974 (SOLAS 74)

Konvensi ini merupakan aturan pokok internasional di bidang keselamatan kapal dengan isi antara lain a turan mengenai survey, stabilitas dan pembagian ruang kapal, permesinan, instalasi listrik, konstruksi kapal, peralatan pemadam kebakaran, peralatan keselamatan jiwa, radio berisi ketentuan mengenai "tacit acceptance procedure" yakni ketentuan mengenai penerapan amandemen Konvensi terhadap para pesertanya tanpa melalui prosedur penerimaan secara resmi dengan

(11)

7 International Convention on Load Lines, 1966 (LOAD LINES Convention 66)

Aturan mengenai batas garis muat yang aman bagi keselamatan kapal, pencegahan terhadap kelebihan muatan dan keselamatan lambung

timbul, aturan mengenai

keselamatan platform dan peningkatan stabilitas kapal.

Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 7/1976 2 November 1976

8 International Convention

on Tonnage

Measurement of Ships, 1969 (TONNAGE

Convention 69)

Aturan internasional mengenai tonase kapal komersial yang dikaitkan dengan keselamatan pelayaran dan perhitungan perpajakan, tarif kepelabuhanan, tarif pungutan lainnya.

Aturan mengenai keselamatan pelayaran terutama dalam rangka pencegahan tubrukan di laut dengan menetapkan ketentuan "Traffic Separation Scheme (TSS)" di

10 International Convention for Safe Containers, 1972 (CSC Convention 72)

Aturan mengenai keselamatan peti kemas dan aturan pengangkutannya di kapal. Selain itu, guna memperoleh peti kemas yang aman, ditetapkan

11 International Convention on Standards of Training, nakhoda dan awak kapal serta calon pelaut yang akan bekerja di kapal niaga yang melakukan pelayaran internasional. Konvensi ini juga mengatur mengenai ketentuan dinas jaga di kapal. angkutan penumpang (terutama dimaksudkan untuk kapal angkutan

Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 72 Tahun 1972

(12)

jemaah haji di kawasan Samudera Hindia dan kawasan di sekitarnya).

13 Protocol of 1973 relating to the Special Trade penggunaan komunikasi satelit khususnya yang digunakan dalam dunia pelayaran karena komunikasi dengan menggunakan radio teresterial sudah semakin padat dengan jangkauan yang terbatas.

Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 14 Tahun 1986

15 Operating Agreement relating to the INMARSAT

Convention 76

(INMARSAT OA 76)

Perjanjian antar negara mengenai pengoperasian dan penggunaan INMARSAT yang semula dikhususkan untuk komunikasi maritim.

Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 14 Tahun 1986

16 Operating Agreement relating to the INMARSAT formulir secara internasional dalam hubungannya dengan kegiatan kemaritiman. Dengan penggunaan formulir dan pengurusannya yang seragam, maka lalulintas pelayaran internasional akan semakin mudah dan lancar.

Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 51 Tahun 2002

17 International Convention for the Prevention of pencegahan dan penanggulangan pencemaran oleh minyak dari kapal dan menggantikan "International Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil, 1954 (OILPOL)". Konvensi ini juga mengatur mengenai pencegahan pencemaran karena kecelakaan kapal tanker dan kapal-kapal lainnya. Sampai saat ini yang berlaku adalah ketentuan Annex I mengenai Pencemaran oleh Minyak dan Annex II mengenai Barang Cair Berbahaya dalam bentuk curah.

Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 46 Tahun 1986 (Ratifikasi terhadap Annex I & II) 9 September 1986

18 International Convention Konvensi ini mengatur mengenai Keputusan Presiden

(13)

on Civil Liability for Oil Pollution Damage, 1969 (CLC Convention 69)

sistem yang memungkinkan korban pencemaran memperoleh ganti rugi dari pemilik kapal (pengangkut) yang

secara langsung harus

bertanggungjawab terhadap pencemaran (strict liability).

(KEPPRES) No. 18 1 Juli 1978

19 Protocol of 1992 relating to the CLC Convention 69 (CLC Protocol 92)

Protokol ini mengatur mengenai penambahan jumlah maksimum ganti rugi akibat pencemaran dari pemilik kapal sebesar + 22 juta Dollar.

Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 55 Tahun 1999

20 International Convention on the Establishment of akibat terjadinya pencemaran oleh minyak. Tambahan kompensasi ini

21 Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Wastes and their Disposal, 1991

Konvensi ini mengatur mengenai prosedur pengangkutan dan pembuangan limbah antar negara serta pengaturan mengenai jenis limbah yang dapat ditransportasikan dan dibuang antara negara satu ke

Convention on the Law of the Sea, 1982 (UNCLOS 1982)

Konvensi ini memuat ketentuan mengenai hak dan ke-wajiban negara terhadap wilayah teritorialnya serta dasar hukum untuk menentukan batas wilayah teritorial. Disamping itu diatur pula mengenai hak negara terhadap laut bebas dan kewajibannya untuk melindungi lingkungan laut dari bahaya

Convention on a Code of Conduct of Liner Conferences, 1972

Konvensi ini memuat aturan mengenai pengoperasian perusahaan angkutan laut secara internasional, terutama dalam rangka pembagian muatan diantara

perusahaan-Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 40 Tahun 1976

(14)

perusahaan yang mempunyai kapal dengan kebangsaan yang berbeda.

24 International Convention on Maritime Liens and Mortgages, 1993

Konvensi ini merupakan

pengembangan dari kedua konvensi sebelumnya dengan memasukkan unsur kerugian lingkungan (environmental loss) sebagai salah satu dari tanggungjawab pemilik yang harus didahulukan. Namun apabila terbukti bahwa kerugian lingkungan tersebut dijamin oleh asuransi sesuai dengan ketentuan konvensi internasional lainnya, maka kerugian mengenai Pengaturan Landas Kontinen, Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Alam di Laut Lepas dan Konvensi Laut Lepas.

Undang-undang (UU) No. 19 /1961

6 September 1961

26 Convention on the International Regulation for Preventing Collision at Sea 1960

Konvensi ini memuat aturan tentang Pengaturan mengenai pencegahan kecelaka-an/tubrukan kapal di laut.

Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 107/1968 tahun 1968

27 International Convention for the Safety of Life at Sea 1974

(15)

28 Protocol of 1978 Relating to the International Convention for the Safety of Life at Sea 1974

Konvensi ini memuat aturan tentang Protokol Mengenai Keselamatan di Laut. Organization for Indian Ocean Marine Affairs Cooperation (IOMAC) 1990

Konvensi ini memuat aturan tentang Pengaturan mengenai kerjasama kelautan di Samudera Hindia. perubahan (Amendments) terhadap Konvensi IMCO : "Amendmental to

Immunities of the International Maritime Satellite Organization (INMARSAT)

Memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan kepada pejabat-pejabat INMARSAT dalam rangka untuk memperlancar kegiatan operasional telekomunikasi pelayaran di wilayah Indonesia. Convention on the International Maritime Satellite Organization (INMARSAT)

(16)

communications) dan komunikasi

Pemerintah Republik Indonesia menerima amandemen terhadap Konvensi tentang Organisasi Maritim Internasional. Yang terdiri dari : a. amandemen terhadap Pasal-pasal

11,15, 21, 25, 56 dan 57;

b. tambahan bagian baru yakni BAGIAN XI yang terdiri dari Pasal-pasal 47 sampai 51 baru;

c. perubahan penomoran ulang dari bagian XI sampai XX;

d. perubahan penomoran ulang dari Pasal-pasal 47 sampai 77;

e. perubahan acuan terhadap Pasal-pasal yang dinomori ulang dalam Pasal-pasal 5, 6, 7, 8, 66, 67, 68, 70, 72, 73 dan 74;

f. perubahan acuan terhadap bagian-bagian yang dinomori ulang dalam Pasal-pasal 15 dan 25(a); dan

g. perubahan nomor terhadap Pasal yang dinomori ulang sebagaimana Kemudahan Lalulintas Maritim Internasional

Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 51/2002

(17)

Committee 70 (69))

36 International Convention on Maritime Search and Rescue 1979

Konvensi Internasional tentang S.A.R

Maritim thn 1979. Keputusan Menteri(KM) Menteri Perhubungan RI No.70 tentang Pengawakan Kapal Niaga

37 Certificate of Tonnage

and Measurement mengatur tentang Surat Ukur. Setelahdiadakan pengukuran kepada kapal diberikan Surat Ukur Kapal.

Pasal 347-352 KUHD serta pasal 45 UU. 21, Th. 1992

38 Amandemen

International Convention on Standard of Training Certification and

Watchkeeping for

Seafarers (STCW) 1995

penyempurnaan dari STCW 1978, yang berisi tentang Pengawakan

Kapal Niaga.

Keputusan Menteri (KEPMEN) Menteri Perhubungan No.70 Th.1998

tanggal, 21 Oktober 1998

(18)

2.4 Implementasi Ratifikasi dari Perjanjian Internasional

Hingga saat ini, cukup banyak perjanjian internasional di bidang maritim yang telah berhasil disepakati dan kemudian diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Perkembangan perjanjian internasional yang lahir di abad 20 ini, nampaknya berkaitan erat dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi tinggi dan bahan berbahaya yang menimbulkan dampak yang luas bagi masalah sumberdaya di laut.

Melalui suatu peraturan hukum nasional dengan ketentuan yang bersifat lebih lanjut, secara sederhana implementasi dapat dikatakan sebagai upaya penerapan suatu perjanjian internasional. Belumlah cukup memadai untuk dilaksanakan apabila hanya meratifikasi perjanjian internasional menjadi hukum nasional. Maka dari itu dibutuhkan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya yang sesuai dengan pasal-pasal perjanjian internasional tersebut. Implementasi suatu perjanjian internasional menjadi sangat penting dan diperlukan untuk dapat memberikan masukan baru sehingga dapat menambah wawasan bagi perkembangan hukum nasional. Masih terdapat peraturan-peraturan yang belum diatur dalam hukum nasional, maka diharapkan perjanjian internasional yang telah diratifikasi tersebut dapat menambah kekurangan yang ada di dalam sistem hukum nasional.

Dalam hubungan internasional, Indonesia akan dapat berperan lebih besar lagi dengan keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan penting yang berkaitan dengan perjanjian internasional, seperti dalam penyusunan peraturan-peraturan perjanjian internasional dalam bentuk protocol, annex, maupun amandement. Dengan adanya tindakan meratifikasi suatu perjanjian internasional bagi Indonesia, kerjasama hubungan internasional yang mencakup pendanaan, teknologi, serta bantuan ilmiah dapat meningkat dan dapat memberikan keuntungan untuk meningkatkan dan mendorong pembangunan nasional.

(19)

Meratifikasi suatu perjanjian internasional harus diimplementasikan melalui ketentuan-ketentuan yang bersifat tindak lanjut atas perjanjian internasional tersebut. Ada beberapa peraturan mengenai tindak lanjut atas perjanjian internasional yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia. Dibawah ini terdapat 3 contoh ketentuan perundang-undangan nasional yang merupakan tindak lanjut dari suatu perjanjian internasional di bidang kelautan yang telah diratifikasi dengan menyebutkan secara tegas adanya ratifikasi tersebut.

a. Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 167/HM.207/PHB-86

tertanggal 27 Oktober 1986 tentang Sertifikat Internasional Pencegahan Pencemaran oleh Minyak dan Sertifikat Internasional Pencegahan Pencemaran oleh Bahan Cair Beracun. Keputusan Menteri Perhubungan ini juga merupakan upaya melindungi kelestarian lingkungan laut dan sebagai tindak lanjut atas diratifikasinya International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 and the Protocol of 1978 Relating thereto. Hal ini dinyatakan dalam bagian pertimbangan keputusan yang menyatakan :

“ Menimbang : a. bahwa dalam rangka melindungi kelestarian lingkungan laut dengan Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986, pada tanggal 9 September 1986, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Konvensi Internasional tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal 1978 dan Protokol 1978 konvensi tersebut (International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 and the Protocol of 1978 Relating thereto). ”

b. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tertanggal 18 Maret 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Ekploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai. Peraturan pemerintah ini merupakan tindak lanjut diratifikasinya tiga Konvensi Hukum Laut 1958 yaitu Konvensi Mengenai Laut Lepas, Konvensi Mengenai Landas Kontinen dan Konvensi Mengenai Perikanan dan Sumberdaya Hayati di Laut Lepas melalui

(20)

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang produk hukumnya berupa undang-undang. Dalam peraturan pemerintah ini secara tegas dinyatakan adanya ratifikasi yang tercantum sebagai berikut :

“ Mengingat : 6. Undang-undang No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 276, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2318). ” c. Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Undang-undang ini merupakan pengganti Undang-Undang-undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang mengatur hal-hal mengenai wilayah perairan Indonesia, hak lintas bagi kapal-kapal asing, pemanfaatan-pengelolaan-perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia, serta penegakan hukum di perairan Indonesia. Peraturan pemerintah ini merupakan tindak lanjut diratifikasinya tiga Konvensi Hukum Laut 1958 yaitu Konvensi Mengenai Laut Lepas, Konvensi Mengenai Landas Kontinen dan Konvensi Mengenai Perikanan dan Sumberdaya Hayati di Laut Lepas melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang produk hukumnya berupa undang-undang. Dalam peraturan pemerintah ini secara tegas dinyatakan adanya ratifikasi yang tercantum sebagai berikut:

“ Mengingat : 6. Undang-undang No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 276, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2318).”

(21)

BAB III Penutup

Semua produk-produk hukum, baik secara nasional, maupun international yang diprakarsai oleh International Maritime Organization ( IMO ) bertujuan untuk melindungi; menyelamatkan jiwa, harta dan manusia di laut; dan ekosistem maritim dari kerusakan, akibat ship accident. Misalnya saja SOLAS, MARPOL, dan STCW. Indonesia sebagai anggota IMO sejak tahun 1960 haruslah turut dalam konvensi internasional yang membahas “produk-produk hukum” yang dikenal dengan peraturan statutori (statutory regulations) yang membahas tentang dunia kemaritiman.

Setelah Indonesia turut menandatangani peraturan statutori pada konvensi internasional, Indonesia harus mengesahkan peraturan tersebut dengan melakukan ratifikasi. Ada dua macam pengesahan / ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia yaitu dalam bentuk Undang-Undang (UU) dan Keputusan Presiden (KEPPRES).

Hingga saat ini, cukup banyak perjanjian internasional (peraturan statutori) di bidang maritim yang telah berhasil disepakati dan kemudian diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Contohnya saja Ratifikasi KEPPRES RI No. 65/1980 tentang pengesahan SOLAS 1974 pengganti dari SOLAS 1960. Untuk saat ini tidak cukup hanya dengan pengesahan saja, diperlukan suatu implementasi yang menerapkan suatu perjanjian internasional melalui suatu peraturan hukum nasional dengan ketentuan yang bersifat lebih lanjut berupa peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya sesuai dengan pasal-pasal perjanjian internasional tersebut, misalnya diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tertanggal 18 Maret 1974 yang merupakan tindak lanjut diratifikasinya tiga Konvensi Hukum Laut 1958.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Firmansyah, Ifhan. 2010. Proses Ratifikasi Hukum Internasional.

http://saranabelajar.wordpress.com/2010/04/01/proses-ratifikasi-hukum-internasional/. (diakses : 16 September 2014).

Irawan. 2009. Perjanjian Internasional.

http://16011988irawan.wordpress.com/perjanjian-internasional/. (diakses : 14 September 2014).

Madya, Bram. Proses Pengesahan Perjanjian Internasional. http://the-catetan.blogspot.com/2010/04/proses-pengesahan-perjanjian.html. (diakses : 16 September 2014).

Radjab, Adonis. 2010. Ratifikasi Perjanjian Internasional.

http://www.indonesianship.com/beritaisi.php?ID=1299. (diakses : 15 September 2014).

Rizky, Arifatur. 2012. Perjanjian Internasional.

http://arifaturrizky.blogspot.com/2012_01_01_archive.html. (diakses : 14 September 2014).

Rusmana, Muliadi. 2012. Hukum Pencemaran Lingkungan.

http://muliadirusmana.blogspot.com/2012_12_01_archive.html. (diakses : 13 September 2014).

(23)

Saepudin. 2011. Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Laut yang telah Diratifikasi Indonesia.http://saepudinonline.wordpress.com/2011/03/20

/perjanjian-internasional-di-bidang-lingkungan-laut-yang-telah-diratifikasi-indonesia-2/. (diakses : 14 September 2014).

Tim Badan Pembinaan Hukum Nasional. http://bphn.go.id/? page=peraturan&section=produk_bphn&act=search. (diakses : 15 September 2014).

Gambar

Tabel  2.  1 Perjanjian  Internasional  yang  telah  Diratifikasi  oleh  Pemerintah
Tabel  2.  1 Perjanjian  Internasional  yang  telah  Diratifikasi  oleh  Pemerintah

Referensi

Dokumen terkait

Account Representative (AR) dapat disebut juga sebagai staf pendukung pelaksana dalam tiap Kantor Pelayanan Pajak Modern, bertanggung jawab dalam menganalisa dan memonitor

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat serta Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Peningkatan

Dalam riset bidang sistem informasi, banyak peneliti (Compeau dan Higgins, 1995; Stone et al. 1996; Wijaya 2003) yang telah menguji variabel self efficacy yang dihubungkan

Atas dasar hipotesa di atas maka pada penelitian ini dilaksanakan pengukuran posisi (koordinat X,Y) dari serangkaian titik-titik yang terletak di jaringan jalan

BAB III METODE PENELITIAN bab ini berisikan tentang pendekatan dan jenis penelitian, unit analisis, tahap-tahap penelitian dan teknik analisis data BAB IV PENYAJIAN DATA DAN

Dengan adanya program Mari Menabung yang dilaksanakan pada Jumat, 2 Agustus 2019 dan 3 Agustus 2019 di posko KKN Pende, Banjarharjo, Brebes dengan rangkaian

keputusan agar memenuhi tujuan dan keinginan masyarakat.Sistem pemerintahan desa Lolowonu Niko’otano masih menggunakan sistem lama, dimana berjalannya musyawarah

 Mengubah seluruh tampilan yang awalnya belum responsive website menjadi