• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar Mata Pelajaran IPA Melalui Model Coorperative Learning Tipe Make a Match pada Siswa Kelas IV SD Negeri Tuntang 02 Semester I Tahun Ajaran 2016/2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar Mata Pelajaran IPA Melalui Model Coorperative Learning Tipe Make a Match pada Siswa Kelas IV SD Negeri Tuntang 02 Semester I Tahun Ajaran 2016/2017"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) bahwa IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. IPA juga merupakan ilmu yang bersifat empirik dan membahas tentang fakta serta gejala alam. Fakta dan gejala alam menjadikan pembelajaran IPA tidak hanya verbal tetapi juga faktual. Hal ini menunjukkan bahwa, hakikat IPA sebagai proses diperlukan untuk menciptakan pembelajaran IPA yang empirik dan faktual. Hakikat IPA sebagai proses diwujudkan dengan melaksanakan pembelajaran yang melatih ketrampilan proses bagaimana cara produk sains ditemukan. Secara umum, kegiatan dalam IPA berhubungan dengan eksperimen. Namun dalam hal-hal tertentu, konsep IPA adalah hasil tanggapan pikiran manusia atas gejala yang terjadi di alam.

Seorang ahli IPA (ilmuwan) dapat memberikan sumbangan besar kepada IPA tanpa harus melakukan sendiri suatu percobaan, tanpa membuat suatu alat atau tanpa melakukan observasi. Ciri-ciri khusus tersebut dipaparkan berikut ini.

a. IPA mempunyai nilai ilmiah artinya kebenaran dalam IPA dapat dibuktikan lagi oleh semua orang dengan menggunakan metode ilmiah dan prosedur seperti yang dilakukan terdahulu oleh penemunya.

b. IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. c. IPA merupakan pengetahuan teoritis. Teori IPA diperoleh atau disusun

(2)

7

eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, observasi dan demikian seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain.

d. IPA merupakan suatu rangkaian konsep yang saling berkaitan. Dengan bagan-bagan konsep yang telah berkembang sebagai suatu hasil eksperimen dan observasi, yang bermanfaat untuk eksperimentasi dan observasi lebih lanjut.

IPA meliputi empat unsur, yaitu produk, proses, aplikasi dan sikap. Produk dapat berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum. Proses merupakan prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi pengamatan, penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen, percobaan atau penyelidikan, pengujian hipotesis melalui eksperimentasi, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan.

Karakteristik Pembelajaran IPA

Hal ini sejalan dengan kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006). Karakteristik belajar IPA meliputi:

a. Hampir semua indera, seluruh proses berpikir, dan berbagai gerakan otot. b. Berbagai teknik (cara), seperti observasi, eksplorasi, dan eksperimentasi. c. Alat bantu pengamatan untuk memperoleh data yang obyektif, sesuai sifat

IPA yang mengutamakan obyektivitas.

d. Kegiatan temu ilmiah, mengunjungi objek, studi pustaka, dan penyusunan hipotesis untuk memperoleh pengakuan kebenaran temuan yang benar-benar obyektif.

e. Proses aktif, artinya belajar IPA merupakan suatu yang harus dilakukan siswa, bukan suatu yang dilakukan untuk siswa.

(3)

8

prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakikat IPA meliputi beberapa aspek yaitu faktual, keseimbangan antara proses dan produk, keaktifan dalam proses penemuan, berfikir induktif dan deduktif, serta pengembangan sikap ilmiah dalam kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006).

Tujuan IPA

Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut (Depdiknas, 2006):

1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang

bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.

4. Mengembangkan ke terampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

(4)

9

6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

Ruang Lingkup IPA

Ruang Lingkup bahan kajian IPA kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut:

1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.

2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas. 3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,

cahaya dan pesawat sederhana.

4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya

2.1.2 Model Pembelajaran Cooperative Learning tipe Make a Match

(5)

10 Tujuan Cooperative Learning

Tujuan model pembelajaran tersebut menurut Eggen dan Kauchak (dalam Winayarti, 2010), adalah sebagai berikut:

1) Meningkatkan partisipasi peserta didik.

2) Memfasilitasi peserta didik agar memiliki pengalaman mengembangkan kemampuan kepemimpinan dan membuat keputusan kelompok.

3) Memberi kesempatan kepada mereka untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama dengan teman yang seringkali berbeda latar belakangnya.

Jadi, dengan demikian seperti yang diungkapkan oleh Ibrahim dkk (dalam Winayarti 2010), bahwa inti tujuan dari model pembelajaran tersebut meliputi tiga aspek penting yaitu aspek hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan ketrampilan sosial.

Ciri-ciri Pembelajaran Cooperative Learning

Pada dasarnya, tidak semua kerja kelompok dapat dikatakan sebagai cooperative learning. Terdapat ciri khusus kelompok yang disebut sebagai kelompok pembelajaran cooperative learning. Menurut Lie (2003) ada lima unsur yang harus diterapkan dalam pembelajaran kelompok, agar pembelajaran tersebut dapat dikatakan sebagai pembelajaran cooperative learning. Kelima unsur itu meliputi:

1) Saling ketergantungan positif

(6)

11

untuk lebih baik dan akan membantu siswa lainnya melakukannya. Seringkali para siswa mampu melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam menjelaskan gagasan-gagasan yang sulit satu sama lain dengan menerjemahkan bahasa yang digunakan guru ke dalam bahasa anak-anak. Di samping itu, semua anggota kelompok berusaha untuk saling menguntungkan, sehingga semua anggota kelompok bisa memperoleh makna dari kebersamaan. Adapun makna yang diperoleh seperti berikut:

a) Merasakan keuntungan dari setiap usaha teman lainnya, secara harafiah ini berarti kesuksesan orang lain bermanfaat bagi diri kita dan keberhasilan diri kita bermanfaat untuk orang lain.

b) Menyadari bahwa semua anggota kelompok mempunyai nasib yang sama, artinya tenggelam dan mengapung semua anggota kelompok dalam kebersama.

c) Tahu bahwa prestasi seseorang ditentukan oleh orang lain dalam satu kelompok, artinya kami tidak dapat melakukan tanpa anda.

d) Merasa bangga dan merayakan bersama ketika salah satu anggota kelompok mendapatkan keberhasilan, sebagai contoh: kami semua merasa sukses atas kesuksesan anda.

(7)

12 2) Tanggung jawab perseorangan

Menurut Slavin (2009), tanggung jawab individual maksudnya ialah bahwa kesuksesan kelompok bergantung pada pembelajaran individual dari semua anggota kelompok. Tanggungjawab difokuskan pada kegiatan anggota kelompok dalam membantu satu sama lain untuk belajar dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok siap untuk mengerjakan tugas, tanpa bantuan teman sekelompoknya. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran cooperative learning memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap

pembelajaran siswa apabila kelompok dihargai berdasarkan pembelajaran individual dari tiap anggotanya.

Unsur tanggungjawab perseorangan merupakan akibat langsung dari unsur saling kebergantungan positif. Karena itu, Lie (2004) mengatakan bahwa jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran cooperative learning, setiap siswa akan merasa bertanggungjawab untuk melakukan yang terbaik. Pada akhirnya, siswa akan dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam kelompoknya. Hal ini dikarenakan bahwa guru tidak hanya memberikan tugas untuk kelompoknya saja, tetapi siswapun secara individu memiliki tugas yang harus dikerjakan

3) Tatap muka

Dampak positif dari penerapan model pembelajaran cooperative learning adalah terciptanya interaksi positif antara sesama anggota kelompok untuk memudahkan transformasi informasi anggota kelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat Lie (2004), bahwa kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk siap membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. Perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap anggota kelompok menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antar anggota kelompok.

4) Komunikasi antar anggota

(8)

13

ketrampilan berkomunikasi. Menurut Lie (2004), sebelum menugaskan siswa dalam kelompok, pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi kepada siswa, karena tidak setiap siswa mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara. Keberhasilan suatu kelompok dalam pembelajaran cooperative learning juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapatnya. 5) Evaluasi proses kelompok

Setiap proses perlu mengadakan evaluasi sebagai refleksi untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam proses tersebut, sehingga proses berikutnya akan berjalan lebih baik lagi. Karena itu, agar evaluasi ini dapat memberikan arahan serta informasi terhadap hasil pekerjaan siswa dan kegiatan proses belajar mengajar berlangsung, maka informasi diberikan ini harus meliputi tujuan yang dicapai kelompok, bagaimana mereka melakukan kerjasama saling membantu dengan teman satu kelompok, dan bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku positif agar baik setiap siswa maupun kelompok menjadi berhasil dan kebutuhan apa saja yang harus dilengkapi agar tugas selanjutnya dapat dilaksanakan dengan baik. Agar hal ini terjadi, menurut Lie (2004), menyatakan bahwa pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka, agar selanjutnya bisa bekerjasama lebih efektif. Format evaluasi disesuikan dengan tingkat pendidikan siswa. Waktu evaluasi disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi siswa.

Karakteristik Pembelajaran Cooperative Learning

Adapun karakteristik pembelajaran cooperative learning antara lain:

1) Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis. 2) Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang

berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi.

(9)

14

4) Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu.

Selain itu, terdapat empat tahapan ketrampilan kooperatif yang harus ada dalam model pembelajaran kooperatif yaitu:

1) Forming (pembentukan), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk membentuk kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma. 2) Functioniong (pengaturan), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk

mengatur aktivitas kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina hubungan kerja sama diantara anggota kelompok.

3) Formating (perumusan), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk pembentukan pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan-bahan yang dipelajari, merangsang penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menekankan penguasaan serta pemahaman dari materi yang diberikan.

4) Fermenting (penyerapan), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk merangsang pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif, mencari lebih banyak informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk memperoleh kesimpulan.

Prinsip-Prinsip Pembelajaran Cooperative Learning

Selain ciri-ciri pembelajaran cooperative learning, yang penting untuk diingat dalam pembelajaran cooperative learning adalah prinsip dari pembelajaran cooperative learning itu sendiri. Lungdern (dalam Mustikasari, 2007),

mengemukakan ada tujuh prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif. Ketujuh prinsip itu antara lain:

1) Siswa harus memiliki persepsi bahwa siswa tenggelam dan berenang bersama (we sink and swim together).

2) Siswa memiliki tanggungjawab terhadap siswa lain dalam kelompoknya, di samping memiliki tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.

(10)

15

4) Siswa harus berbagi suatu penghargaan atau hukuman yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.

5) Siswa akan diberi suatu penghargaan atau hukuman yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.

6) Siswa berbagi kepemimpinan, sementara siswa memperoleh ketrampilan bekerjasama selama belajar.

7) Siswa akan diminta mempertanggungjawabkana secara individual materi yang dipelajari dalam kelompok kooperatif.

Melihat uraian di atas, pembelajaran kooperatif dapat dikatakan lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran biasa (ceramah), karena melalui pembelajaran kooperatif, siswa lebih leluasa untuk saling memberi dan menerima materi pelajaran, tanpa adanya rasa segan. Sesuai dengan yang dikatakan Lie (2004), bahwa pengajaran rekan sebaya (peer teaching), ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru, dikarenakan sebagai rekan sebaya, mereka memiliki schemata yang mendekati kesamaan dibandingkan dengan schemata guru.

Tahap-tahap Pembelajaran Cooperative Learning

Tahap pelaksanaan pembelajaran kooperatif menurut Sukarmin (2002) dalam Widyaningsih 2008, seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1

Tahap-tahap Pembelajaran Cooperative Learning Tingkah Laku Guru

FASE KEGIATAN GURU

Fase 1: Menyampaiakan tujuan dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan semua tujuan yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

(11)

16

dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan

Fase 3: mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar

Guru menjelaskan kepada peserta didik bagaimana cara membentuk belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien

Fase 4: membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mengerjakan tugas

Fase 5: Evaluasi Guru menjelaskan proses dan hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau

masing-masing kelompok

mempresentasikan hasil karyanya

Fase 6: Memberikan penghargaan Guru kreatif mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Sumber: Sukarmin (2002) Keunggulan Pembelajaran Cooperative Learning

Lie (2004) memaparkan keunggulan cooperative learning dibandingkan dengan model pembelajaran lain (metode ceramah) adalah sebagai berikut:

1) Meningkatkan aktivitas belajar siswa dan prestasi akademiknya. 2) Meningkatkan daya ingatan siswa.

3) Meningkatkan kepuasan siswa dengan pengalaman belajar.

4) Membantu siswa dalam mengembangkan ketrampilan berkomunikasi secara lisan.

5) Mengembangkan ketrampilan sosial siswa. 6) Meningkatkan rasa percaya diri siswa.

7) Membantu meningkatkan hubungan positif antar sisa.

Dalam pelaksanaan pembelajaran, model pembelajaran cooperative learning memiliki berbagai macam tipe atau metode yang dapat digunakan sesuai

(12)

17

student teams achievement division (STAD), teams assisted individualization (TAI), teams games tournaments (TGT), cooperative integrated reading and composition (CIRC), jigsaw (model tim ahli), group investigation go around,

Think Pair and Share, make a match (mencari pasangan), dan sebagainya”.

Khusus dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan salah satu metode diantara berbagai metode yang disebutkan di atas, yaitu metode make a match.

Tipe Make a Match

Tipe make a match merupakan suatu teknik pembelajaran yang memberikan tugas terstruktur kepada siswa melalui media kartu-kartu yang berisi konsep yang berbeda dengan tema-tema atau topik-topik yang sama, sehingga melalui kartu yang siswa dapatkan, maka dengan sendirinya siswa membentuk kelompok-kelompok kerja berdasarkan kecocokan konsep yang terdapat dalam kartu masing-masing, untuk menyelesaikan satu masalah dalam tema atau topik yang sama. Sehingga, melalui teknik ini, siswa mampu aktif dan bekerjsama dengan rekannya dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Tipe make a match, atau mencari pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (Lie, 2004).

Tipe make a match mengutamakan ketelitian dan kerjasama dalam menyelesaikan masalah, serta memberikan kenyamanan dalam menyelesaikan masalahnya, karena siswa mencari pasangan kelompoknya sendiri. Seperti dikatakan oleh Lie (2004), bahwa salah satu keunggulan teknik make a match adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.

Langkah-langkah Tipe Make a Match

Langkah-langkah penerapan tipe make a match dipaparkan oleh Lie (2004), sebagai berikut:

(13)

18

2) Setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang bertuliskan soal/jawaban.

3) Setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya. Misalnya: pemegang kartu bertuliskan “Gerakan Turki Muda” akan berpasangan dengan “Mustpha Kemal Pasha”.

4) Siswa juga bisa bergabung dengan 2 atau 3 siswa lainnya yang memegang kartu yang cocok.

5) Guru bersama-sama dengan siswa membuat kesimpulan terhadap materi pelajaran.

Berdasarkan langkah-langkah di atas, maka selanjutnya tahap-tahap yang perlu dipersiapkan selanjutnya dalam penerapan cooperative learning tipe make a match adalah sebagai berikut:

1) Tahap Persiapan

(14)

19 2) Tahap Pembentukan Kelompok

Tahapan ini merupakan kegiatan utama dalam tipe make a match. Pada tahapan ini terbagi dalam kegiatan, diantaranya:

a) Pembagian kartu

Dalam kegiatan ini, guru membagikan kartu-kartu yang telah dipersiapkan pada tahapan sebelumnya kepada siswa. Tiap siswa mendapatkan satu kartu yang isinya berdasarkan dua kategori, yaitu pertanyaan dan jawaban. Setelah semua siswa mendapatkan masing-masing kartu, guru memberikan kesempatan beberapa menit kepada siswa untuk memikirkan jawaban atau pertanyaan yang sesuai dengan isi kartu tersebut. Waktu diberikan disesuaikan dengan alokasi waktu dalam KBM sesuai RPP. b) Pembentukan kelompok

Kegiatan selanjutnya adalah pembentukan kelompok. Pada kegiatan ini, guru meminta tiap siswa membentuk kelompok-kelompok berdasarkan kecocokan kartu yang dimilikinya dengan kartu temannya. Dalam pembentukan kelompok ini, guru memberikan tenggat watku kepada siswa sesuai dengan perencanaan pada tahap persiapan. Tenggat waktu yang diberikan oleh guru ini, berpengaruh terhadap penghargaan yang akan diberikan oleh guru kepada siswa ketika proses pembentukan kelompok. Selanjutnya, guru memeriksa validitas dari pembentukan kelompok ini. Guru masuk ke dalam tiap-tiap kelompok dan memeriksa kecocokan dari tiap-tiap kartu anggota kelompok tersebut. Jika belum ada yang benar, guru memberikan waktu kembali kepada masing-masing kelompok untuk memperbaiki anggota kelompoknya. Namun, jika pembentukan kelompok sudah benar, makan dilanjutkan pada kegiatan berikutnya.

c) Penghargaan

(15)

20

penghargaan siswa dilakukan dengan skor sesuai dengan waktu yang ditempuh dalam pembentukan kelompok.

3) Tahap Kegiatan Kelompok

Dalam tahapan ini, setiap siswa melaksanakan kelompok kerja berdasarkan kelompok yang dibentuk dalam tahapan sebelumnya. Setiap kelompok memecahkan masalah yang terdapat dalam gabungan tiap-tiap kartu anggota kelompoknya. Ketika kerja kelompok berlangsung, setiap siswa berhak meminta bantuan guru untuk membantu mengarahkan kelompoknya dalam memecahkan masalah. Di samping itu, guru juga memberikan tenggat waktu kepada setiap kelompok untuk bekerja sesui dengan alokasi waktu dalam KBM. Setiap kelompok yang sudah selesai mengerjakan tugas kelompoknya, berhak mendapatkan penghargaan sesuai dengan pedoman waktu yang telah ditetapkan dan mendapatkan kesempatan pertama untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.

4) Tahap Presentasi Kelompok

Tahapan presentasi merupakan tahapan berikutnya, setelah tiap kelompok selesai mengerjakan tugas kelompoknya. Dalam tahapan ini terbagi ke dalam dua yaitu presentasi kelompok dan tanya jawab antar kelompok. Setiap kelompok mengutus wakilnya untuk menyajikan hasil kerja kelompoknya di depan. Guru sebagai fasilitator memberikan alokasi waktu kepada tiap-tiap kelompok secara rata untuk menyajikan hasil kerja kelompoknya dan untuk mengadakan sesi tanya jawab. Pembagian alokasi waktu oleh guru diharapkan agar setiap kelompok dapat tampil ke depan untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Di samping itu, guru juga mengadakan penilaian terhadap keaktifan individu siswa selama kegiatan presentasi kelompok sedang berlangsung. Setelah semua kegiatan presentasi dilaksanakan, maka guru menyimpulkan seluruh materi yang tersampaikan dalam KBM.

(16)

21

Evaluasi diadakan sebagai tahapan akhir dari seluruh pelaksanaan tipe make a match. Evaluasi dilaksanakan melalui kegiatan tes. Tes merupakan

(17)

22

siswa yang dapat mencapai tingkat kebisingan nol saat pengukur waktunya mati.

Pengelolaan Kelas Cooperative Learning Melalui Tipe Make a Match

Untuk memudahkan proses pembelajaran cooperative learning melalui tipe make a match, maka perlu dirancang suatu pengelolaan kelas yang efektif dan efisien. Pengelolaan kelas perlu memperhatikan kondisi ruangan kelas dan psikologis siswa. Menurut Lie (2004), ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas model cooperative learning, yakni pengelompokan, semangat cooperative learning, dan penataan ruang kelas.

1) Pengelompokan

Pengelompokan merupakan langkah pertama yang dilaksanakan dalam pembelajaran cooperative learning. Menurut Lie (2004), pengelompokan dibagi ke dalam dua jenis, yaitu pengelompokan homogen dan pengelompokan heterogen. Pengelompokan homogen yang sering dilakukan di kelas berdasarkan prestasi belajar siswa. Menurut Scott Gordon (dalam Lie, 2004), pada dasarnya manusia sering berkumpul dengan sepadan dan membuat jarak dengan yang berbeda. Selanjutnya Lie (2004), menuturkan jenis pengelompokan heterogenitas merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam model pembelajaran cooperative learning. Kelompok heterogenitas dapat dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang agama, sosio-ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis.

(18)

23 2) Semangat Cooperative Learning

Menurut Lie (2004), agar kelompok bisa bekerja secara efektif dalam proses pembelajaran cooperative learning, masing-masing anggota kelompok perlu mempunyai semangat cooperative learning. Semangat tersebut dapat dirasakan dengan membina niat dan kiat siswa dalam bekerjasama dengan siswa-siswa lainnya. Lebih lanjut Lie (2004), menguraikan beberapa kegiatan yang dapat membina niat siswa dalam menumbuhkan semangat cooperative learning, diantaranya:

1) Kesamaan kelompok, dapat dilakukan dengan cara wawancara kelompok, lempar bola, dan jendela kesamaan.

2) Identitas kelompok, dapat dilakukan melalui pemberian nama kelompok yang dapat menumbuhkan semangat kelompok.

3) Sapaan dan saran kelompok. Hal ini disamping menumbuhkan semangat, juga dapat mengembangkan kreativitas siswa.

3) Penataan Ruang Kelas

Kelas sebagai tempat beraktivitas belajar tentu mempengaruhi efektivitas dan kelancaran dalam pembelajaran dengan menerapkan model cooperative learning tipe make a match. Karena itu, penataan ruang kelas harus

disesuaikan dengan situasi dan kondisi ruang kelas. Menurut Lie (2004) ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang kelas, yaitu: ukuran ruang kelas; jumlah siswa; tingkat kedewasaan siswa; toleransi guru dan kelas sebelah terhadap kegaduhan dan lalulalang siswa; toleransi masing-masing siswa terhadap kegaduhan dan lalu lalangnya siswa lain; pengalaman guru dalam melaksanakan pelaksanaan model pembelajaran cooperative learning melalui tipe make a match; dan pengalaman siswa

dalam melaksanakan model pembelajaran cooperative learning.

2.1.3 Hasil Belajar

(19)

24

pengetahuan sikap dan keterampilan. Hal ini berarti bahwa hasil belajar bukan hanya perubahan dalam pengetahuan saja, tetapi juga dalam keterampilan dan sikap. Jadi, hasil belajar adalah hasil yang didapatkan seseorang dalam proses belajar dan diwujudkan dalam nilai yang diberikan guru dan perubahan tingkah laku setelah mengikuti proses pembelajaran.

Joko Susilo (2009) mengatakan bahwa belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Dalam pengertian ini, belajar adalah merupakan suatu proses, satu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu yakni mengalami. Hasil belajar bukan penguasaan dan latihan, melainkan perubahan kelakuan. Hilgard dan Bower (dalam Purwanto 1993), mengatakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman yang berulang-ulang, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungannnya berupa respon bawaan, kematangan atau keadaan sesaat seseorang. Beberapa pendapat di atas tersebut menegaskan bahwa belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh pengalaman berulang-ulang.

dari beberapa pengertian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa belajar mengandung tiga unsur, yaitu :

1) Belajar berkaitan dengan perubahan tingkah laku.

2) Perubahan perilaku itu terjadi karena didahului adanya proses pengalaman. 3) Perubahan perilaku karena belajar bersifat relatif permanen.

(20)

25

afektif, dan psikomotor (Wardani Naniek Sulistya, dkk: 2012: 109. Dalam Asesmen Pembelajaran SD 2012).

Pengukuran Hasil Belajar

Pengukuran menurut Wardani Nanik Sulistya dkk (Asessmen pembelajaran SD 2012:47) secara sederhana, pengukuran diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatau gejala atau peristiwa. Hasil pengukuran terkait dengan penilaian belajar. Dalam penilaian hasil belajar, pengukurannya tidak hanya menekankan pada hasil belajar saja, namun juga menekankan pada evaluasi proses belajar (Wardani Naniek Sulistya dan Slameto, 2012: 18).

Assesmen menurut Wardani Naniek Sulistya dkk (Assesmen pembelajaran SD 2012:48) adalah proses pengambilan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Penilaian adalah metode yang biasa digunakan untuk menentukan mutu unjuk kerja individu; pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seorang atau karakteristik sesuatu; penafsiran data hasil pengukuran. Kegiatan untuk menetapkan angka dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan instrument. Dalam dunia pendidikan instrument yang sering digunakan seperti tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap dan angket. Menurut Wardani Naniek Sulistya Wardani dkk (Assesmen pembelajaran 2012:48) adalah salah satu contoh instrument atau alat pengukuran yang paling banyak dipergunakan untuk mengetahui kemampuan intelektual seseorang.

Dalam melaksanakan asesmen pembelajaran maka perlu memperhatikan teknik asesmen pembelajaran. secara umum teknik penilaian dibedakan menjadi 2 yaitu teknik tes dan teknik non-tes.

1. Teknik Tes

(21)

26

dimiliki oleh individu atau kelompok (Arikunto 2010:193) Pendapat dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tes adalah sejumlah pertanyaan atau soal-soal yang harus dijawab, dilakukan dalam waktu tertentu dan memiliki tujuan tertentu guna mengukur kemampuan seseorang. Berikut ini adalah teknik tes yang dikemukakan oleh Wardani Naniek Sulistya (2012:144-145) sebagai berikut: a. Jenis Tes berdasarkan cara mengerjakan

1. Tes tertulis

Tes tertulis adalah tes yang soalnya harus dijawab peserta didik dengan memberikan jawaban tertulis. Jenis tes tertulis secara umum dikelompokkan menjadi dua yaitu:

- Tes objektif, ada yang pilihan ganda, jawaban singkat atau isian, benar salah, dan bentuk menjodohkan.

- Tes uraian, yang terbagi atas tes uraian objektif (penskorannya dapat dilakukan secara objektif) dan tes uraian non-objektif (penskorannya sulit dilakukan secara objektif).

2. Tes lisan

Tes lisan adalah tes yang pelaksanaannya dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara langsung antara pendidik dan peserta didik, dengan tujuan untuk melakukan pengukuran atau menentukan skor. Tes lisan tidak sama dengan pembelajaran yang melakukan tanya-jawab. Tes lisan memiliki kelebihan:

- Dapat menilai kemampuan dan tingkat pengetahuan yang dimiliki peserta didik, sikap, serta kepribadiannya karena dilakukan secara berhadapan langsung.

- Bagi peserta didik yang kemampuan berfikirnya relatif lambat, tes bentuk ini dapat menolong sebab peserta didik dapat menanyakan langsung kejelasan pertanyaan yang dimaksud.

- Hasil tes dapat langsung dapat diketahui peserta didik. Adapun kelemahan Tes Lisan adalah:

(22)

27 3. Tes perbuatan

Tes perbuatan yakni tes yang penugasannya disampaikan dalam bentuk lisan atau tertulis dan pelaksanaan tugasnya dinyatakan dengan perbuatan atau unjuk kerja. Penilaian tes perbuatan dilakuakan sejak peserta didik melakukan persiapan, melaksanakan tugas, sampai dengan hasil yang dicapainya. Untuk tes perbuatan umumnya diperlukan sebuah format pengamatan, agar pendidik dapat menulis angka-angka yang diperolehnya pada tempat yang sudah disediakan. Bentuk formatnya dapat disesuaikan menurut keperluan. Untuk tes perbuatan yang bersifat individual, sebaiknya menggunakan format pengamatan individual. Begitu pula yang dilakukan secara kelompok.

b. Jenis Tes berdasarkan bentuk jawabannya

1) Tes esei (essay-type test)

Tes bentuk uraian adalah tes yang menuntut siswa mengorganisasikan gagasan-gagasan tentang apa yang telah dipelajarinya dengan cara mengemukakannya dalam bentuk tulisan.

2) Tes jawaban pendek

Tes dapat digolongkan menjadi tes jawaban pendek jika peserta tes diminta menuangkan jawabannya bukan dalam bentuk esei, tetapi memberikan jawabanjawaban pendek, dalam bentuk rangkaian kata-kata pendek, kata-kata lepas maupun angka-angka.

3) Tes objektif

Tes objektif adalah tes yang keseluruhan informasi diperlukan untuk menjawab tes yang telah tersedia. Oleh karenanya sering pula disebut dengan istilah tes pilihan jawaban (selected response test).

2. Teknik Non Tes

(23)

28

(analisis tugas), checklists and rating scales dan portofolio. Wardani, Naniek Sulistya dkk (Asesmen pembelajaran 73-76) membagi

teknik nontes menjadi 7 macam yaitu: a. Unjuk Kerja

Suatu penilaian atau pengukuran yang dilakukan melalui aktivitas peserta didik dalam melakukan sesuatu yang berupa tingkah laku atau interaksinya seperti berbicara, berpidato, membaca puisi, dan berdiskusi; kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah kelompok; partisipasi peserta didik dalam diskusi; keterampilan menari; dan lain sebagainya.

b. Penugasan

Penugasan merupakan penilaian yang berbentuk pemberian tugas yang mengandung penyelidikan (investigasi) yang harus selesai dalam waktu tertentu. c. Tugas Individu

Penilaian yang berbentuk pemberian tugas kepada peserta didik yang dilakukan secara individu. Tugas ini dapat diberikan pada waktu-waktu tertentu dalam bentuk seperti pembuatan kliping, pemmbuatan makalah dan sebagainya. d. Tugas Kelompok

Hampir sama dengan tugas individu, namun bedanya tugas ini dikerjakan secara berkelompok. Tugas ini diberikan untuk menilai kompetensi kerja kelompok.

e. Laporan

Laporan adalah penilaian yang berbentuk laporan atas tugas atau pekerjaan yang diberikan seperti laporan diskusi, laporan kerja praktik, laporan praktikum dan lain sebagainya.

f. Response dan Ujian Praktik

Merupakan suatu penilaian yang dipakai untuk mata pelajaran yang ada kegiatan praktikumnya. Ujian praktik dapat dilakukan pada awal praktik atau setelah melakukan praktik.

g. Portofolio

(24)

29

periode tertentu. Portofolio dapat berupa karya peserta didik dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didik, pekerjaan-pekerjaan yang sedang dilakukan, beberapa contoh tes yang telah selesai dilakukan, berbagai keterangan yang diperoleh peserta didik, keselarasan antara pembelajaran dan tujuan spesifik yang telah dirumuskan, contoh-contoh hasil pekerjaan sehari-hari, evaluasi diri terhadap perkembangan pembelajaran dan hasil observasi guru. Jadi hasil belajar diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah melakukan kegiatan dengan proses penilaian melalui kegiatan atau prosedur dalam pembelajaran yang menghasilkan skor dari unjuk kerja dan tes.

2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

(25)

30

Perencanaan, (2) Pelaksanaan, (3) Pengamatan, (4) Refleksi. Menggunakan empat cara dalam pengumulan data, yaitu (1) Observasi, (2) Wawancara, (3) Tes, (4) Dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini menggunkan tiga cara, yaitu reduksi data, paparan data, dan penyimpulan data. Berdasarkan judul diatas dapat diketahui bahwa penerapan model pembelajaran model make a match pada mata pelajaran Bahasa Indone sia kelas V SDN Kidul Dalem 2 Kota Malang dengan materi Menghargai Peranan Para Tokoh Pejuang dan Masyarakat dalam Mempersiapkan dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia pada siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Malang terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dalam setiap siklus ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa mengalami peningkatan yaitu pada tahap tindakan pada siklus I 61,1% dan pada siklus II mengalami kenaikan menjadi 100%. Ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa dari siklus I naik 38,9% ke siklus II. Dalam setiap siklus ketuntasan hasil belajar pada tes akhir siswa mengalami peningkatan yaitu pada nilai awal sebelum tindakan adalah 13,7%, pada siklus I ada 48,3% dan pada siklus II ini mengalami kenaikan cukup tinggi yaitu 100%. Ketuntasan hasil belajar pada tes akhir siswa dari nilai awal ke siklus I naik 34,6% dan dari siklus I ke siklus II naik 51,7%. Saran yang diberikan hendaknya guru menggunakan strategi dan model pembelajaran yang menarik, salah satunya adalah dengan menerapkan model pembelajaran make a match untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

(26)

31

2009/2010. Penelitian Tindakan Kelas ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas 5 Sekolah Dasar Negeri 01 Karanganyar Tahun Pelajaran 2008/2009 yang berjumlah 15 siswa. Adapun sample yang diambil adalah 15 siswa, metode pengambilan sample adalah seluruh siswa menjadi sample. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, tes, dokumentasi, angket dan catatat dalam kegiatan mengajar belajar. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebelum penelitian (tes awal) pemahaman siswa terha dap pe lajaran IPS hanya 46,7% yaitu 7 anak yang tuntas berarti terdapat 53,3% yaitu 8 anak yang belum tuntas, pada siklus I Pemahaman Konsep menjadi 80% yaitu 12 siswa yang tuntas berarti meningkat sebesar 33,3% dan pada siklus II jumlah siswa tuntas menjadi 100% atau naik sebesar 20%. Peningkatan ini bukan hanya dari pemahaman konsep saja tetapi juga dari aspek keaktifan siswa, ini ditunjukkan dengan keaktifan siswa yang mula-mula hanya 55,67% pada siklus I menjadi 81,30% yaitu meningkat 25,6% dan pada siklus II menjadi 89,79 yaitu meningkat menjadi 8,49%. Faktor pendukung keberhasilan penerapan model pembelajaran diatas karena siswa sangat senang belajar sambil bermain, disamping itu alat dan bahan yang digunakan mudah diperoleh dan harganya relatif murah, proses pembuatannyapun sangat mudah. Faktor penghambat penerapan model pembelajaran ini adalah terbatasnya buku sumber materi sehingga siswa hanya mengandalkan buku paket yang dimiliki, namun hal ini peneliti sudah memberikan jalan keluarnya dengan meringkas materi dari buku elektronik. Berdasarkan penelitian diatas dapat diketahui hasil penelitian tentang model pembelajaran mencari pasangan (make a match) dapat meningkatkan keaktifan siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan Keaktifan siswa yang mula-mula hanya 55,67% pada siklus I menjadi 81,30% yaitu meningkat 25,63% dan pada siklus II menjadi 89,79 % yaitu meningkat 8,49% dari siklus I.

(27)

32

(28)

33

Pada siklus II terdapat 18 siswa yang mendapat sangat baik, 3 siswa yang mendapat baik, 2 siswa yang mendapat nilai cukup baik dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang baik. Untuk nilai aktivitas guru pada siklus II pertemuan keempat sebanyak 5 item (55,6%) pada posisi sangat sempurna dan 4 item (44,4%) pada posisi sempurna. Berdasarkan analisis kajian yang pernah digunakan para peneliti di atas maka dengan penerapan pembelajaran kooperatif make a match dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Dengan analisis tersebut, maka peneliti melakukan penelitian dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe make a match pada pelajaran IPA untuk meningkatkan hasil belajar siswa berdasarkan gender.

2.3Kerangka Berpikir

Tipe make a match merupakan suatu teknik pembelajaran yang memberikan tugas terstruktur kepada siswa melalui media kartu-kartu yang berisi konsep yang berbeda dengan tema-tema atau topik-topik yang sama, sehingga melalui kartu yagn siswa dapatkan, maka dengan sendirinya siswa membentuk kelompok-kelompok kerja berdasarkan kecocokan konsep yang terdapat dalam kartu masing-masing, untuk menyelesaikan satu masalah dalam tema atau topik yang sama. Sehingga, melalui teknik ini, siswa mampu aktif dan bekerjsama dengan rekannya dalam menyelesaikan tugas yang diberikan

Pada penjelasan di atas, telah disebutkan bahwa model pembelajaran cooperative learning tipe make a match, memungkinkan siswa dapat belajar lebih

(29)

34

Dalam skema kerangka berpikir terlihat bahwa pada awalnya guru dalam mengajar mata pelajaran IPA belum menggunakan model pembelajaran make a match. Berdasarkan penilaian terhadap kemampuan siswa dalam mempelajari

IPA, masih rendah. Siswa belum mampu memahami pelajaran IPA dengan baik.

(30)

35

Siswa juga belum berpartisipasi aktif selama mengikuti proses belajar mengajar. Penerapan model pembelajaran make a match dalam penelitian ini, merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa sekaligus menjadikan siswa lebih berpartisipasi aktif selama mengikuti proses belajar mengajar. Dengan model pembelajaran ini siswa akan lebih tertarik dengan mata pelajaran IPA, tidak merasa bosan dan keinginan untuk mempelajari IPA akan semakin tinggi sehingga hasil belajar siswa lebih meningkat. Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa melaluI penerapan model pembelajaran make a match hasil belajar IPA siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri Salatiga 05 Semester Genap Tahun Ajaran 2012/2013 pada mata pelajaran IPA dapat meningkat.

2.4 Hipotesis Tindakan

Gambar

Tahap-tahap Pembelajaran Tabel 2.1 Cooperative Learning Tingkah Laku Guru

Referensi

Dokumen terkait

Definisi menurut Tata Sutabri pada buku Analisis Sistem Informasi (2012:117) , Data Flow Diagram adalah sebagai berikut : “Data Flow Diagram ini adalah

a) Akar Imajiner, dapat terjadi jika " nilai diskriminannya kurang dari 0 (D < 0), maka persamaan kuadrat, tidak mempunyai dua akar imajiner ". b) Determinan, yang

Gaya Viskositas pada permukaan laut ditimbulkan karena adanya pergerakan angin pada permukaan laut sehingga menyebabkan pertukaran massa air yang berdekatan secara periodik,

Untuk menganalisis pengaruh faktor produk, bagi hasil, promosi dan distribusi secara simultan terhadap persepsi masyarakat tentang perbankan syariah di Surabaya. 1.4

Dapat dilihat bahwa, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan melakukan pembelajaran menggunakan metode Snowball Throwing pada kelas XI IPA SMA

Gejala lanjut penyakit layu Fusarium pada Bawang putih (daun mulai.. dari ujung menguning, layu mengering dengan cepat). Selanjutnya Gambar 2 menyajikan makrokonidia Fusarium

Sedangkan pada tanah sampah, meskipun bahan organik yang tersedia tidak jauh berbeda dengan tanah kebun, namun pada tanah sampah tidak terdapat cukup fauna tanah yang berperan

Manfaat yang diperoleh dari praktikum tentang penyiapan contoh beberapa jenis tanah ini adalah didapatkannya contoh tanah pada beberapa jenis tanah