SOFT POWER
DAN KEKUATAN NASIONAL
through attraction rather than
coercion or payment. A country's
understanding of soft power.
Whether soft power is similar or
the same with cultural power and
economic power are explained
here. Likewise, it is also clarified
power is an important and integral
part of the whole natonal power. It
is by no means surprising since
soft power comprises political
power, culture, education
Empowering and maximizing soft power in conducting Indonesia‟s diplomacy and implementing its
foreign policy is a reasonable
option. For that purpose,
Indonesia could, among others, establish an “Indonesian Culture Center” located in its Mission and Representatives abroad. However,
it is no less important that the Indonesian “soft power strategy” should be on a national opinion
and decided by the Cenral Government to be a prioritized
Konotasi Soft Power
Soft Power adalah suatu konsep yang dikembangkan oleh Joseph Nye, Jr., dari Universitas Harvard, untuk menggambarkan kemampuan suatu negara dalam menarik dan
mengajak (co-opt), dan bukan dengan cara memaksa, menggunakan kekerasan, ataupun memberikan dana untuk
mempengaruhi. Belakangan ini, istilah Soft Power juga digunakan dalam membahas terjadinya perubahan dan
cara-cara mempengaruhi opini sosial melalui saluran-saluran yang
tidak kentara dan pendekatan (lobby), baik di organisasi politik maupun non politik.
Pada tahun 2012, Nye menjelaskan bahwa dengan Soft Power “the best propaganda is not propaganda” (propaganda terbaik adalah bukan propaganda”, dan juga menjelaskan bahwa “credibility is the scarcest resource” (kredibilitas adalah sumber yang paling langka). Nye memperkenalkan istilah ini dalam bukunya, “Bound to Lead: The Changing Nature of American Power”, (1990). Ia kemudian mengembangkan konsep tersebut lebih lanjut melalui bukunya, “Soft Power: The Means to Success in World Politics” (2004). Istilah soft power kini digunakan secara luas dalam ranah hubungan internasional baik oleh para analis maupun praktisi dan negarawan1.
Pada tahun 2007, misalnya, Ketua Partai Komunis /Sekjen Tiongkok Hu Jintao, di hadapan peserta Kongres ke-17 Partai
Komunis Tiongkok menyampaikan bahwa Tiongkok perlu
1
meningkatkan kemampuan Soft Power-nya. Demikian halnya Menteri Pertahanan AS Robert Gates, berbicara mengenai
perlunya meningkatkan soft power AS melalui peningkatan anggaran belanja secara dramatis pada aspek-aspek masyarakat sipil dari keamanan nasional seperti: diplomasi, komunikasi strategis, bantuan luar negeri, keterlibatan
masyarakat sipil, rekonstruksi dan pembangunan ekonomi.
Pada tahun 2010, Annette Lu, mantan wakil Pimpinan Taiwan
berkunjung ke Korea dan mendukung penggunaan Soft Power sebagai model resolusi konflik internasional. Jenderal Wesley Clark, ketika membicarakan Soft Power, berpendapat bahwa “soft power memberikan kita jangkauan pengaruh yang jauh lebih luas daripada politik tradisional balance of power “
Menurut Survey Monocle Soft Power tahun 2014, saat ini AS merupakan negara yang tertinggi memiliki kemampuan Soft Power, disusul oleh Jerman, Inggeris, Jepang, Perancis, Swiss, Australia, Swedia, Denmark dan Kanada.
Soft Power sering disamakan dengan kekuatan budaya (Cultural Power), meskipun sebenarnya tidak sama persis. Power adalah kemampuan untuk merubah perilaku pihak lain dalam rangka
mendapatkan apa yang kita inginkan. Terdapat tiga cara untuk itu: dengan paksaan atau coersion (diistilahkan sebagai “stick”),
pemberian bantuan dana (diistilahkan sebagai “carrot”) dan ketertarikan atau attraction (soft power).
menarik kekaguman pihak lain), nilai-nilai politik (ketika nilai tersebut berlaku di dalam dan luar negeri), dan kebijakan luar
negeri (jika pihak lain melihatnya sebagai nilai ideal/masuk akal dan memiliki nilai moral).
Contohnya di Iran. Video dan musik Barat merupakan hal terlarang bagi para Mullah yang berkuasa, tetapi sangat
menarik pada generasi mudanya karena dapat menyalurkan gagasan kebebasan dan menentukan pilihan. Kebudayaan AS
telah menghasilan Soft Power terhadap generasi muda Iran
tetapi bukan terhadap yang lainnya.
Adapun kaitannya dengan kekuatan ekonomi (economic power),
Soft Power sebenarnya tidak sama. Peter Brooke dari the Heritage Foundation cenderung melihat Soft Power dalam bentuk antara lain sanksi ekonomi. Kenyataannya hal itu tidak tepat. Bila kita berada pada posisi sebagai pihak yang
menerima sanksi, pemberian sanksi jelas dimaksudkan sebagai alat paksaan sehingga ia termasuk dalam kategori hard power. Meskipun demikian, kekuatan ekonomi memang dapat
dialih-bentuk menjadi soft power ataupun hard power. Sebuah negara bisa memaksa negara lain dengan sanksi atau membujuk
dengan kesejahteraan.
Waler Russel Mead berpendapat bahwa kekuatan ekonomi
merupakan sticky power, memiliki kekuaan yang solid dengan daya rekat tinggi; ia dapat meraih apa yang ia ingin raih. Tidak
bisa dipungkiri bahwa kesuksesan suatu negara di bidang ekonomi menjadi salah satu sumber daya tarik terhadap negara
manakah hubungan dan kerjasama ekonomi yang bisa dikategorikan sebagai soft power dan mana yang hard power. Para pemimpin negara Eropa menggambarkan bahwa keinginan negara-negara Eropa lain bergabung dengan Uni Eropa (UE)
merupakan tanda suksesnya soft power Eropa.
Penggunaan Soft Power dalam hal tertentu dipandang lebih manusiawi dibandingkan dengan penggunaan hard power. Soft power telah dianggap sebagai alternatif lain bagi penguasa politik karena seolah-olah lebih etis di mata pembuat kebijakan
dan para pengamat. Namun, soft power sebenarnya merupakan sebuah konsep, bukan sebuah resep etis dari dokter. Sama
halnya dengan power lainnya, ia bisa dimanfaatkan untuk kebaikan maupun keburukan, tergantung pemiliknya.
Hitler, Stalin ataupun Mao, semuanya memiliki banyak sumber soft power yang melimpah di mata pengikutnya. Tetapi tidak harus diartikan bahwa menggerakkan pikiran dan gagasan yang mereka lakukan lebih baik dibanding penggunaan kekerasan
bersenjata. Jika seseorang ingin mencuri uang seseorang
lainnya, ia bisa melakukannya dengan ancaman senjata atau dengan cara merayu untuk berinvestasi melalui penawaran
skema cepat kaya. Atau dapat juga menggunakan rayuan agar menyerahkan rumahnya dengan alasan sebagai persyaratan
spiritual. Cara ketiga adalah melalui soft power namun hasilnya belum dapat dipastikan.
Meskipun soft power berada di tangan pihak yang salah sehingga berpotensis menghasilkan konsekuensi yang buruk,
moral lebih unggul dalam mencapai tujuan tertentu. Kita bandingkan konsekuensi hasil perjuangan dari Mahatma Gandhi
dan Martin Luther King Jr., yang keduanya menggunakan soft power, dengan perjuangan bersenjata Yasir Arafats. Gandhi dan King terbukti mampu menarik banyak pengikut yang moderat sepanjang waktu dengan hasil yang mengesankan dan efektif
secara etis. Adapun strategi Arafat dengan menggunakan hard power telah mengakibatkan terbunuhnya banyak korban di kedua pihak baik Palestina maupun Israel, sehingga antara lain
telah mendorong kelompok moderat Israel ikut mengangkat senjata melawannya.
Terhadap pandangan bahwa soft power terlalu fleksibel dan tidak mudah diukur, hal ini tidak sepenuhnya benar. Pandangan
seperti itu disebabkan oleh kegagalan dalam membedakan antara sumber power dan perilaku (behaviour). Kenyataanya, sangat dimungkinkan untuk mengukur secara kuantitatif sumber-sumber power. Kita, misalnya, bisa mengukur dan membandingkan kebudayaan, komunikasi dan sumber-sumber
diplomatik yang menghasilkan soft power bagi negara tersebut. Survey pendapat umum pun bisa digunakan untuk mengukur
perkembangan daya tarik yang dimiliki suatu negara dari waktu ke waktu. Sebaliknya, ketepatan pengukuran sumber-sumber
hard power justeru seringkali diragukan dan berpotensi menghasilkan kesalahan fatal karena hanya aspek-aspek
penting tertentu saja yang dilihat dan diperhitungkan. Amerika memiliki jauh lebih banyak sarana militer dibanding Vietnam
Utara, tetapi terbukti mengalami kekalahan dalam Perang
Jadi, apakah soft power membuahkan perubahan sikap atau perilaku pihak lain seperti yang diinginkan sangat tergantung
pada kontek dan keterampilan yang kemudian dapat dihitung dan dianalisis berdasarkan hasilnya.
Kekuatan Nasional
Kekuatan nasional yang utuh meliputi baik hard power maupun soft power dan pengaruhnya terhadap hubungan internasional. Dalam konteks ini, soft power telah dipandang sebagai
komponen kekuatan nasional yang sangat penting karena terkait dengan kekuatan yang tidak kasat mata seperti budaya,
ideologi dan sistem sosial. Universalitas budaya suatu negara dan kemampuannya menetapkan norma, peraturan dan regim
yang mampu mewarnai pola hubungan internasional merupakan sumber utama kekuatan nasional. Meskipun tidak nampak
(intangible) keberadaannya dapat diukur dari soliditas bangsa tersebut, popularitas budayanya di mata dunia dan perannya
dalam lembaga-lembaga dunia.
Terdapat komponen penting di dalam kekuatan nasional yang disebut tujuan strategis dan keinginan nasional. Tujuan
strategis mencerminkan kepentingan nasional suatu negara. Suatu strategi nasional menetapkan tujuan strategis di dalam
lingkungan internasional tertentu. Keinginan untuk menerapkan strategi nasional berasal dari tingkat kepercayaan dan
dukungan rakyatnya yang dapat dikerahkan untuk pertahanan nasional dan kebijakan luar negeri. Kepercayaan dan dukungan
kepemimpinan politik, efektivitas pemerintahan, dan perhatian rakyat terhadap strategi dan kepentingan nasional.
The Institute of Comprehensive Studies di Jepang, dalam mengkaji secara komprehensif mengenai kekuatan nasional
Jepang, menemukan adanya 3 faktor penting kekuatan nasional suatu bangsa, yaitu kapasitas bagi dukungan internasional
(capacity for international contributions), kemampuan bertahan hidup (survival ability), dan kapabilitas melakukan paksaan
(coercive capability).
Kapasitas dukungan internasional mencakup sikap positif terhadap keterlibatannya di berbagai masalah internasional dan
keikutsertaan dalam dukungan bagi masyarakat dunia. Kemampuan bertahan hidup mencakup keinginan;/tujuan
nasional dan aliansi-aliansi bersahabat. Coercive capabilities menekankan kemampuan negara dalam mengelola hubungan
luar negerinya. Sementara konsep ini dikembangkan, Japan‟s Comprehensive National Power juga menaruh perhatian terhadap soft power. Dalam konteks ini, tanpa adanya semangat nasional yang kuat, sebuah bangsa tidak akan mampu secara efektif manangani potensi krisis-krisis
internasional. Tanpa budaya yang kuat dan memiliki gaung internasional, sebuah bangsa tidak akan memiliki kekuatan
ataupun pengaruh dalam berbagai kegiatan internasional2.
2
Hua Jian et al, The Competition for Soft Power: Trends of Cultural Competition in the
Terkait kekuatan nasional ini, Robert Thompson melihat Bahwa “sasaran” (will) termasuk suatu jenis kekuatan nasional. Dalam Grand Strategy, John M. Collins telah membuat daftar yang menjadi elemen kekuatan nasional: kekuatan politik (political
forces) yang memiliki berdampak di lingkungan domestik maupun arena internasional, karakter masyarakat (the people‟s
character), nilai-nilai ethika dan pendidikan; serta faktor-faktor menonjol lainnya. Menurut Joseph Frankel dalam bukunya
International Relations kekuatan nasional adalah “the ability to affect the psychology and behavior of others”.
Sedangkan Hans J. Morgenthau, dalam bukunya Politics among Nations, berpendapat bahwa kebangsaan (nationality), etika nasional (national ethics), kualitas diplomasi (diplomatic quality), dan karakteristik pemerintahan membuahkan kekuatan nasional. Nicholas Spykman, juga berpendapat bahwa hal-hal
menyangkut soft power seperti homogenitas nasional (national homogeneity), kerekatan sosial (social comprehensiveness), stabilitas politik (political stability) dan nilai-nilai etika nasional
(national ethics) menjadi bagian penting dari kekuatan nasional.
Huang Shuofeng, dalam bukunya On Comprehensive National Power, berpendapat bahwa kekuatan nasional yang menyeluruh dan pengaruh internasional dengan material power dan mental
power yang dimiliki sebuah bangsa untuk bertahan hidup dan berkembang sangat menentukan. Soft power terdiri dari berbagai kekuatan, yaitu politik, budaya, pendidikan, diplomatik dan sinergis. Kekuatan politik meliputi sistem politik, tujuan
strategis, stabilitas sosial dan kerekatan nasional, serta sistem
nasional. Kekuatan pendidikan dan budaya meliputi kualitas tenaga kerja, pembangunan SDM, sistem daninvestasi
pendidikan, objektivitas dan kualitas para pengajar; kualitas para pekerja seni budaya, lembaga penyiaran, dunia perfilman
dan pertelevisian; penerbitan buku, majalah, jurnal dan pengaruhnya di panggung internasional. Kekuatan diplomatik
meliputi hubungan, kebijakan dan kegiatan luar negeri, dan kemampuan dalam memberikan dukungan terhadpa
masyarakat internasional. Kemampuan sinergi merujuk
utamanya pada kemampuan pengendalian makro dan pengembangan sinergi. 3
Pendeknya, soft power sebagai salah satu bentuk dari kekuatan mental (mental power), merupakan bagian penting dari seluruh
kekuatan nasional. Unsur-unsur kekuatan mental semuanya dalam kategori budaya, yang intinya menyangkut tata nilai.
Adapun mengenai unsur-unsur budaya, kebanyakan penjelasan mengesankan kesamaannya dengan soft power. E. B. Taylor, seorang antropolog Inggeris, mendefinisikan budaya sebagai
sebuah entitas kompleks meliputi pengetahuan (knowledge), kepercayaan (beliefs), seni (art), moralitas (morality), hukum
(law), kebiasaan (custom), dan kemampuan atau kebiasaan yang dimiliki manusia dari lingkungannya.
Dua antropolog Amerika bersikukuh bahwa kebudayaan merupakan sebuah sistem yang secara historis tercipta, baik
3
Huang Suofeng, Comprehensive National Power Studies (Chinese Academy of Social
dalam bentuk yang nyata maupun tersembunyi, dengan berbagai tendensi yang dikukuhi oleh masyarakt secara
menyeluruh atau sebagian saja, dalam periode tertentu. Seorang sarjana Jerman menyebutkan bahwa budaya adalah
sebuah bentuk kehidupan yang didasarkan pada disiplin mental atau kapabilitas pemikiran.
Yang lainnya berpendapat bahwa karakter dasar dari budaya adalah sebuah kreativitas manusia. Apa yang diciptakan oleh
umat manusia, baik berupa material atau mental dan
produknya, semuanya termasuk dalam kategori budaya.4 Denghan demikian, dalam pengertian luas, budaya adalah
gabungan dari kekayaan material dan spiritual yang tercipta dalam sejarah masyarakat manusia. Dalam pengertian sempit,
budaya adalah ideologi sosial dan sistem dan kelembagaan yang berhubungan, mencakup gagasan, pemikiran dan sistem
politik terkait, hukum, moralitas, seni, agama dan pengetahuan.
Dari sudut pandang apapun, budaya bukanlah suatu entitas
yang statis, tetapi suatu proses yang dinamis. Adapun
kesamaannya dengan soft power, budaya bersifat relatif terhadap politik, ekonomi dan militer. Diperlukan pembahasan
khusus mengenai perannya dalam hubungan internasional dari sudut pandang ideologi dan sifat dasar manusia.
Sumber Diplomasi soft Power Indonesia
4
Perkembangan hubungan internasional saat ini semakin mengarah pada persaingan soft power masing-masing negara. Tata nilai dan budaya regional dan global tengah dalam proses interaksi menuju tatanan dunia baru berikutnya. Indonesia
tentunya harus melibatkan diri dalam persaingan tersebut dengan lebih mendayagunakan sumber kemampuan soft power yang dimiliki. Sebagaimana digambarkan Siswo Pramono, pasar Asia menuntut nilai-nilai bersama yang berkarakter universal
sehingga mampu berintegrasi dengan pasar global, dan tetap
mempertahankan originalitasnya sehingga tetap berpijak pada identitas budayanya sendiri5.
India dapat dijadikan contoh kasus. Meluasnya pengaruh besar
India di Asia adalah di bidang kebudayaan, bahasa, agama,
gagasan dan nilai-nilai, bukan akibat penaklukan berdarah.
Tersebarnya Hinduisme dan Buddhisme ke seluruh penjuru Asia
mencerminkan keberadaan investasi India di bidang soft power
yang telah dimulai sejak permulaan abad ini. India kemudian
telah membangun Dewan Hubungan Kebudayaan India (Indian
Council for Cultural Relations-ICCR) di negara-negara yang
memiliki banyak komunitas diasporanya. Pasar-pasar Asia kini
dibanjiri dengan film produksi Bollywood, seni kontemporer
India, termasuk dunia model India6
5
Siswo Pramono, The Jakarta Post, Jakarta, „Resources of Indonesian soft power diplomacy‟ June 28 2010. Selengkapnya dapat dilihat di :
http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/28/resources-indonesian-soft-power-diplomacy.html#sthash.c44sqED0.dpuf
6
Dengan cara yang tidak berbeda, Tiongkok membangun 100
Institut Confusius di luar negeri, untuk mempromosikan
kebudayaan dan pengetahuan mengenai Tiongkok. Sementara
itu, Lembaga Pengajaran Bahasa Tiongkok sebagai bahasa
Asing (National Office for Teaching Chinese as a Foreign
Language — NOCFL), semacam TOEFL, telah menyiapkan
10,000 tenaga relawan pengajar untuk mengajar di sebanyak
23 negara.
Tidak berlebihan bila kita dapat membayangkan akan
munculnya realitas baru dalam percaturan global bahwa baik
India maupun Tiongkok merupakan kekuatan politik global yang
sedang tumbuh, dengan mendapatkan sambutan dan dukungan
dari negara-negara Asia. Menjadi pertanyaan menarik apakah
India dan Tiongkok layak disebut juga sebagai „superpower‟ dunia meskipun dalam format yang berbeda dengan yang
dikenal selama ini.
Terinspirasi oleh penggunaan ekstensif soft power dan nilai-nilai
budaya India dan Tiongkok, Siswo Pramono menilai pentingnya
Indonesia menggali nilai-nilai leluhur bangsa yang telah melekat dengan identitas bangsa hinga sampai sekarang7. Siswo menemukan adanya nilai-nilai yang diberi nama „pluralisme akomodatif‟ (accomodative plurallism). Nilai-nilai ini sungguh kuat sebagai perekat eksistensi dan kesinambungan bangsa Indonesia. Nilai tersebut telah lahir dan dianut sejak masa
kejayaan Kerajaan Majapahit (1293-1527) dengan menguasai wilayah dari Samudera (Sumatera Utara) hingga Wanin di
pantai berat Papua. Luasnya wilayah yang meliputi seluruh Asia
7
Tenggara mencerminkan kemampuan akomodatif yang dapat dijadikan anutan.
Mantra sakti yang dimiliki untuk integrasi politiknya adalah adanya nilai „pluralisme akomodatif‟ sebagai dasar filosofis dan
hubungan luar negerinya. Demikian halnya, Majapahit pun menganut prinsip “Bhineka Tunggal Ika”, yang tetap dianut Indonesia hingga sekarang dalam memperkokoh ketahanan dalam negeri. Nilai akomodatif dibuktikan lewat terjadinya
transformasi damai dari tradisi Budisme ke Islam saat raja
terakhir Majapahit, Brawijaya, yang beragama Buddha, mewariskan tahta kepada anaknya, Raden Patah, Sutan Demak
pertama yang beragama Islam.
Kuatnya dasar dan sumber soft power Indonesia menjadi landasan untuk secara cermat memberdayakan soft power dalam pergaulan antar bangsa/negara. Sebagaimana dilakukan
India dan Tiongkok, Indonesia pun dapat mendirikan semacam Pusat Budaya Indonesia di setiap Perwakilan RI di luar negeri
untuk kepentingan jangka panjang. Hal ini sangat
dimungkinkan, menjadi bagian dari perhatian dan program kerja kantor Perwakilan RI di luar negeri di semua tingkatan,
baik di Kedutaan Besar, Konsulat Jenderal, Konsulat ataupun Perwakilan Tetap PBB. Hal ini secara praktis tidak akan
mengalami kendala karena selama ini kegiatan promosi budaya telah dan selalu dilakukan oleh Perwakilan RI, sebagai bagian
dari program fungsi Pensosbud.
satu ruangan kantor Perwakilan. Ruang Budaya tersebut secara khusus dilengkapi dengan berbagai sarana dan program budaya
yang rutin dan kreatif. Sungguh tidak memerlukan persiapan dan biaya ekstra, selain perhatian dan instruksi tegas dari
pemerintah Pusat di Jakarta. Dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) pun bisa diupayakan dengan memanfaatkan keberadaan
komunitas diaspora di negara setempat.
Selain itu, telah cukup lama Indonesia menawarkan pemberian
beasiswa kepada para pelajar di berbagai negara melalui skema
Dharma Siswa di hampir seluruh penjuru dunia. Beasiswa tersebut pun telah dimanfaatkan oleh para pelajar dari berbagai
negara dan para lulusan Dharmasiswa pun terbukti telah menjadi bagian dari komunitas “friends of Indonesia‟ yang sangat potensial untuk dimanfaatkan.
Perhatian terhadap ekonomi tetap menjadi prioritas Pemerintah,
namun demikian dalam implementasi selanjutnya, yang harus lebih banyak dilakukan Pemerintah adalah memberikan fasilitasi
dan perangkat kebijakan serta upaya promosi di luar negeri.
Aktor utamanya adalah pihak swasta yang langsung berhubungan dalam dan bermain di panggung ekonomi dunia.
Sebagai komponen bangsa, sektor swasta pun punya andil dan berperan nyata dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat,
yang setiap individunya adalah para pekerja yang mendukung roda perekonomian.
atas, ketika penggunaan soft power telah semakin meluas, citra dan popularitas Indonesia semakin meningkat di kancah
regional maupun global, dengan sendirinya sektor ekonomi pun bergerak maju semakin mapan. Dengan telah kuatnya
keberadaan soft power Tiongkok dan India, misalnya, maka produk-produk dan komoditi keduanya pun dengan relatif
mudah merambah ke berbagai pelosok dunia, baik dalam bentuk makanan, kerajinan maupun hasil teknologi.
Sudah saatnya Indonesia menetapkan dan lebih
mengimplementasikan soft power dalam prioritas kebijakan luar negerinya. Diperlukan kesepakatan bersama seluruh komponen
bangsa untuk menyadari dan menyetujui pentingnya soft power dewasa ini dalam meraih simpati dan ketertarikan masyarakat
dunia terhadap Indonesia. Soft power adalah jawaban terhadap strategi tepat guna untuk kepentingan luar negeri jangka
panjang Indonesia.
__________
*)
Daftar Pustaka
Charles F. Hermann, Charles \V. Kegley Jr., and James N. Rosenau, eds., New Directions in the Study ofForeim PoliC\' (London: Allen & Unwin, 1987) p. 1.
Dahl, Robert (1961) “Who Governs: Democracy and
Power in an American City” (New Haven, CT; Yale University Press).
Gan Chunsong, Modernization and Cultural Option (Jiangxi People Press, 1998), pp. 2-4.
Hua Jian et al, The Competition for Soft Power: Trends of Cultural Competition in the Context of Globalization (Shanghai Academy of Social Sciences Press and China Higher Education Press, 2001), p. 5
Huang Suofeng, Comprehensive National Power Studies
(Chinese Academy of Social Sciences Press, 1992), pp.
102, 164-165.
James N. Rosenau, "Introduction: New Directions and Recurrent Questions in the Comparative Study of Foreign Policy'', in Hermann, Kegley and Rosenau, eds.,
Jefrey Hart, “hree Approaches to the Measurement of Power in International Relations,” International Organization, Vol. 30, No. 2 (Spring, 1976), pp. 289-305.
Joseph S. Nye, Jr., in "Soft Power: The Means to Success in World Politics" (New York: Public Afairs, 2004).
Lukes, Steven. (2005).2nd Ed “Power: A Radical View”.
London McMillan. (Original 1974)
Margot Light, "Foreign Policy Analysis" in A.J.R. Groom and Margot Light, Contemporary International Relations: A Guide to Theory (London: Pinter Publishers, 1994), pp. 94.
http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/28/resourc es-
indonesian-soft-power-diplomacy.html#sthash.c44sqED0.dpuf