• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERKEMBANGAN MORAL MENURUT PIAG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PERKEMBANGAN MORAL MENURUT PIAG"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget

Perkembangan moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget (dalam Slavin, 2006:51) bahkan mempercayai bahwa struktur kognitif dan kemampuan kognitif anak adalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang kemudian akan membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan masalah sosial. Untuk mempelajari penalaran moral anak-anak, Piaget menghabiskan waktu yang panjang untuk mengamati anak-anak yang sedang bermain kelereng dan menanyakan kepada mereka tentang aturan permainan yang digunakan. Dalam permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah usia 6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan, sedangkan anak mulai usia 6 tahun sudah mengenal adanya aturan dalam permainan, meskipun mereka belum menerapkannya dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12 tahun , anak-anak sudah mampu mengikuti aturan permainan yang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut dibuat untuk menghindari pertikaian antar pemain.

Piaget kemudian membagi tahap perkembangan moral anak menjadi dua tahapan, yaitu tahap heteronomous dan tahap autonomous. Sebelum mempelajari perbedaan kedua tahap tersebut berikut ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan pengamatan Piaget terhadap anak-anak yang sedang bermain kelereng.

A. Pengembangan aturan permainan

Sebelumnya telah dibahas bahwa Piaget mencoba mempelajari tingkah laku anak melalui permainan kelereng. Hal itu dilakukan Piaget untuk memahami bagaimana anak-anak berpikir dan menyesuaikan konsepsinya mengenai aturan-aturan yang berlaku. Jean Piaget memilih permainan kelereng, selain untuk memperoleh jawaban atas penelitiannya, juga untuk memberikan kebebasan anak-anak untuk menjelaskan dan membuat aturan sendiri. Dari hasil wawancaranya dengan anak-anak pada tingkat usia yang berbeda, diperolehlah jawaban yang berbeda-beda pula.

Berikut ini hasil pengamatan Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:28), diketahui bahwa:

a. Anak-anak disekitar usia 3 tahun, belum mengembangkan permainannya sendiri dan cenderung bermain individual tanpa kerjasama. Anak-anak pada usia ini cenderung menerima aturan tanpa proses pertimbangan terlebih dahulu.

(2)

dan belum mampu menempatkan diri dalam pergaulan. Anak-anak pada usia ini cenderung memperhatikan aturan yang berasal dari orang dewasa, meskipun pada usia ini mereka sering melanggar aturan tersebut.

c. Anak usia 7-8 tahun, mulai muncul perhatian untuk menyeragamkan aturan permainan meskipun aturan permainannya umumnya masih belum jelas (kabur).

d. Anak usia 11-12 tahun, mulai dapat menentukan dan membuat kesepakatan bersama tentang aturan permainan. Anak sudah dapat melihat bahwa aturan sebagai suatu yang bisa diubah dan dibuat berdasarkan kesepakatan.

B. Intensi dan konsekuensi

Konsepsi anak tentang aturan dapat berubah-ubah sesuai dengan tahap perkembangan moralnya. Untuk memahami perubahan konsepsi yang terjadi, Piaget menghadapkan anak pada masalah-masalah moral seperti berbohong.Dari hasil penelitiannya, Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:31)menyatakan, bahwa anak-anak dengan usia lebih muda cenderung menilai suatu perbuatan berdasarkan konsekuensi yang hanya bersifat material. Anak-anak dengan usia yang lebih tua berpikir sebaliknya, mereka sudah mampu memperhatikan intensi kesalahan yang muncul dari suatu perbuatan.

Intensi dan komsekuensi merupakan gambaran perubahan perkembangan moral dari tahap heteronomous ke tahap autonomous. Dalam mengetahui pendapat anak tentang makna berbohong, Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:32) melakukan tanya jawab dengan anak-anak. Pada tanya jawab itu, diperolehlah hasil bahwa anak-anak yang lebih muda usianya memberi makna bahwa bohong sesuatu yang jelek dan tidak seorangpun sanggup mengatakannya. Anak-anak yang usianya lebih tua memberi makna bohong adalah sesuatu yang tidak dapat dipercaya dan tidak baik untuk diucapkan.

C. Hukuman-hukuman ekspiatoris dan resiprokal

Melalui cerita-cerita sederhana yang berhubungan dengan pelanggaran dalam keluarga, yaitu antara orang tua dan anak, Piaget mencoba untuk mengidentifikasi konsepsi anak-anak mengenai keadilan. Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:33) mengklasifikasikan hukuman ke dalam dua bentuk, yaitu hukuman-hukuman yang bersifat ekspiatoris (expiatory punishment) dan hukuman-hukuman yang bersifat resiprositas (reciprocity punishment).

(3)

jajan, dilarang bermain untuk sementara waktu, dan sebagainya. Hukuman yang bersifat resiprositas (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:34) senantiasa membuat keterkaitan antara hukuman dengan tindakan kesalahan yang dibuat. Melalui hal tersebut, diharapkan si pelanggar sadar akan akibat-akibat perbuatannya. Bentuk hukuman resiprositas dapat berupa ganti rugi dan pengucilan.

Berdasarkan hasil pengamatan Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:34), diketahui bahwa hukuman resiprositas dikembangkan oleh anak-anak yang tingkat perkembangan moralnya pada tahap Autonomous. Dari 100 anak yang diwawancarai, Piaget mencatat bahwa anak pada usia 6-7 tahun 30% memilih hukuman ini, anak pada usia 8-10 tahun mencapai 50% memilih hukuman ini, dan anak pada usia 11-12 tahun mencapai 80% memilih hukuman ini. Sebaliknya, hukuman ekspiatoris dipilih anak-anak yang perkembangan moralnya pada tahap heteronomous. Anak-anak pada tingkat usia ini, percaya bahwa keadilan selalu berhubungan dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan seseorang, dan orang tersebut akan memperoleh hukuman atas kesalahannya tersebut secara alamiah. D. Antara Equality dan Equity

Membahas mengenai keadilan, Piaget menekankan pada dua bentuk keadilan distributif yaitu equality dan equatity. Menurut pandangan Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:35), equalityyaitu pemikiran bahwa tiap manusia harus diperlakukan secara sama, sedangkan equity yaitu pemikiran yang lebih mempertimbangkan tiap-tiap individu.

Untuk mengamati perbedaan kedua bentuk keadilan distributif tersebut, Piaget mengangkat masalah-masalah ke dalam sebuah cerita untuk mengetahui respon anak-anak berdasarkan tingkat usianya. Dari respon-respon yang muncul, Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:36) membedakan respon tersebut ke dalam tiga tahap yaitu:

1. Tahap Just, di mana anak berpikir bahwa apa yang dikatakan orang dewasa adalah ibarat hukum yang harus dijalankan.

2. Tahap Equality Orientation, di mana anak berpikir bahwa tidak peduli saat menghadapi hukuman ataupun sedang menolak perintah, mereka akan lebih melihat kekuasaan tertinggi. 3. Tahap Equity Dominates, di mana anak berpikir bahwa equalitas(perlakuan sama) tidak akan

pernah dikembangkan tanpa memperhatikan situasi yang dihadapi tiap individu.

(4)

Tabel Tahap Perkembangan Moral Piaget

Diberi label tahap moralitas kendala Diberi label tahap moralitas kerjasama Aturan dipandang sebagai paksaan dari orang

yang lebih dewasa

Aturan dipandang sebagai hasil kesepakatan bersama

Menilai perilaku moral berdasarkan konsekuensinya

Menilai perilaku moral berdasarkan niat pelakunya

Hukuman dipandang sebagai konsekuensi otomatis dari pelanggaran

Hukuman dipandang sebagai sesuatu hal yang tidak serta merta, namun dipengaruhi oleh niat pelakunya

Perkembangan Moral Menurut Lawrence Kohlberg

Mengembangkan teori dari Piaget, Lawrence Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat prekonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional (Slavin, 2006:54). Menurut pandangan Kohlberg dari tiga tingkatan tersebut, anak harus melewati enam tahap dalam dirinya. Setiap tahap memberikan jalan untuk menuju ke tahap selanjutnya ketika anak mampu menemukan ‘aturan’ pada tahap itu, kemudian anak harus meninggalkan penalaran moral dari tahap awal menuju ke tahap berikutnya. Dengan cara tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga tingkat yang berbeda meskipun tidak semua anak mampu menguasainya (Manning, 1977:108).

Tahapan-tahapan perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg jauh lebih kompleks dibanding dengan tahapan-tahapan perkembangan moral dalam teori Piaget. Berikut ini adalah tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:37-45), di mana masing-masing tingkat memuat dua tahap perkembangan moral:

1. Tingkat Prekonvensional

Pada tingkat pertama ini, anak sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya norma-norma baik atau buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan mengaitkan norma-norma tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas tindakan yang dilakukan. Anak juga menilai norma-norma tersebut berdasarkan kekuatan fisik dari yang menerapkan norma-norma tersebut.

(5)

a. Tahap Punishment and Obedience Orientation

Pada tahap ini, secara umum anak menganggap bahwa konsekuensi yang ditimbulkan dari suatu tindakan sangat menentukan baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa melihat sisi manusianya. Tindakan-tindakan yang tidak diikuti dengan konsekuensi dari tindakan tersebut, tidak dianggap sesuatu hal yang buruk.

b. Tahap Instrumental-Relativist Orientation atau Hedonistic Orientation

Pada tahap ini, suatu tindakan dikatakan benar apabila tindakan tersebut mampu memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun orang lain. Tindakan yang tidak memberikan pemenuhan kebutuhan baik untuk diri sendiri maupun orang lain dapat dianggap sebagai tindakan baik selama tindakan tersebut tidak merugikan.

Pada tahap ini hubungan antar manusia digambarkan sebagaimana hubungan yang berlangsung di pusat perbelanjaan, di mana terdapat timbal balik dan sikap terus terang yang menempati kedudukan yang cukup penting.

2. Tingkat Konvensional

Pada tingkat perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga, kelompok, masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu tindakan yang terpuji. Tindakan tersebut dilakukan tanpa harus mengaitkan dengan konsekuensi yang muncul, namun dibutuhkan sikap dan loyalitas yang sesuai dengan harapan-harapan pribadi dan tertib sosial yang berlaku.

Pada tingkat ini, usaha seseorang untuk memperoleh, mendukung, dan mengakui keabsahan tertib sosial sangat ditekankan, serta usaha aktif untuk menjalin hubungan positif antara diri dengan orang lain maupun dengan kelompok di sekitarnya. Pada tingkat konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:

a. Tahap Interpersonal Concordance atau Good-Boy/Good-Girl Orientation

Pandangan anak pada tahap ini, tindakan yang bermoral adalah tindakan yang menyenangkan, membantu, atau tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain. Anak biasanya akan menyesuaikan diri dengan apa yang dimaksud tindakan bermoral. Moralitas suatu tindakan diukur dari niat yang terkandung dalam tindakan tersebut. Jadi, setiap anak akan berusaha untuk dapat menyenangkan orang lain.

b. Tahap Law and Order Orientation

(6)

3. Tingkat Postkonvensional

Pada tingkat ketiga ini, terdapat usaha dalam diri anak untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu dan terlepas dari hubungan seseorang dengan kelompok. Pada tingkat ketiga ini, di dalamnya mencakup dua tahap perkembangan moral, yaitu:

a. Tahap Social-Contract, Legalistic Orientation

Tahap ini merupakan tahap kematangan moral yang cukup tinggi. Pada tahap ini tindakan yang dianggap bermoral merupakan tindakan-tindakan yang mampu merefleksikan hak-hak individu dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat luas. Seseorang yang berada pada tahap ini menyadari perbedaan individu dan pendapat. Oleh karena itu, tahap ini dianggap tahap yang memungkinkan tercapainya musyawarah mufakat. Tahap ini sangat memungkinkan seseorang melihat benar dan salah sebagai suatu hal yang berkaitan dengan nilai-nilai dan pendapat pribadi seseorang. Pada tahap ini, hukum atau aturan juga dapat dirubah jika dipandang hal tersebut lebih baik bagi masyarakat.

b. Tahap Orientation of Universal Ethical Principles

Pada tahap yang tertinggi ini, moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum atau aturan dari kelompok sosial atau masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi oleh kesadaran manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut dianggap jauh lebih baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan HAM, dan sebagainya.

Perkembangan Moral Menurut Islam

Secara umum, moralitas dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut. Moralitas memilki 3 komponen, yaitu afektif, kognitif, dan perilaku.

(7)

Dari Ibnu Umar r.a ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda “Malu itu pertanda dari uman.” (HR Bukhari dan Muslim)

Komponen kognitif moralitas merupakan pikiran yang ditunjukkan seseorang ketika memutuskan berbagai tindakan yang benar atau yang salah. Dalam Al-Qur’an dikatakan:

...dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya, maka Allah menyimpulkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya. (QS Al-Syams [91]: 7-10)

Komponen perilaku moralitas merupakan tindakan yang konsisten terhadap tindakan moral seseorang dalam situasi di mana mereka harus melanggarnya.

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. (QS Al-Balad [90]: (10-11).

1. Altruisme: Perkembangan Perilaku Prososial

Altruisme adalah tidak mementingkan diri sendiri dan memperhatikan kesejahteraan orang lain yang diekspresikan melalui perilaku prososial seperti saling berbagi, saling bekerja sama, dan membantu. Altruisme bisa ditemukan sejak kanak-kanak.

Dan tolong menolonglah kamu atas kebajikan dan takwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu terhadap Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya (QS Al-Maidah [5]:2).

2. Kontrol Perilaku Agresivitas

Perilaku agresif adalah segala jenis perilaku yang disengaja dibuat untuk menyakiti atau melukai mahluk hidup yang memiliki motivasi untuk menghindarinya. Islam menyuruh umatnya untuk berlaku lemah lembut dan tidak menyakiti orang lain, bahkan termasuk dalam menjaga kata-katan, seperti ayat berikut ini:

(8)

3. Menerapkan Prinsip Keadilan Sosial

Seseorang harus memahami peraturan yang berlaku di masyarakat, dana dapat menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Dengan demikian seseorang harus berlaku adil dalam hidupnya.

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili diantara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang-orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS An-Nisa’ [4]: 105)

Analisis:

Ada beberapa perbedaan dalam teori perkembangan moral oleh Piaget, Kohlberg, dan pandangan Islam. Dalam buku The Psychology of Moral Development (1927), Lawrence Kohlberg menyimpulkan terhadap hasil penelitian empiriknya terhadap perkembangan moralitas anak-anak dari berbagai latar belakang agama, yaitu Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan Islam, bahwa agama dan institusi agama tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan moral seseorang. Teori yang dihasilkan dari penelitian Kohlberg dikenal dengan teori kognitif-developmental, yaitu 3 (tiga) tingkatan dan 6 (enam) tahapan perkembangan moral yang menegaskan bahwa pada intinya moralitas mewakilil seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku untuk setiap kebudayaan, yaitu prinsip kesejahteraan dan prinsip keadilan. Menurutnya, prinsip keadilan merupakan komponen pokok dalam proses perkembangan moral yang kemudian diterapkan dalam proses pendidikan moral.

(9)

Teori Kohlberg tentang perkembangan penalaran moral lebih spesifik dan lebih kompleks daripada Piaget. Teori Kohlberg memungkinkan kita memperoleh pengertian yang lebih luas dan lebih kaya tentang hakekat perkembangan penalaran moral dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain itu juga memungkinkan penyusunan hipotesis yang lebih spesifik, yang dapat dibuktikan.

Menahan godaan, reinforcement, punishment, dan situasi serta kontrol diri hanyalah beberapa hal yang mempengaruhi apakah anak berperilaku sesuai moral atau tidak. Peran dari faktor kognitif dalam ketahanan terhadap godaan dan kontrol diri menggambarkan bagaimana kognitif menjembatani pengalaman dengan lingkungan dan perilaku moral. Hubungan antara ketiga elemen ini sangat diperhatikan dalam teori kognitif sosial. Sedangkan pandangan Islam sangat menekankan pentingnya rasa malu, akal, dan kekonsistenan tindakan sebagai dasar terbentuknya moral seseorang.

Kohlberg dan Piaget lebih memandang manusia dari kaca mata empiristik. Sedangkan dalam perspektif Islam, manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki potensi fitrah dimana terdapat daya-daya yang dapat memunculkan sebuah sikap dan perilaku yang tidak lepas dari stimulus dari luar.

Teori Kolhberg lebih banyak membahas tentang penalaran terhadap masalah-masalah sosial khususnya mengenai perkembangan penalaran moral, sedangkan Piaget lebih banyak membahas tentang perkembangan penalaran terhadap masalah-masalah phisik dan logika. Piaget menggambarkan proses dua-tahap perkembangan moral, sedangkan teori perkembangan moral Kohlberg digariskan enam tahap dalam waktu tiga tingkat yang berbeda. Kohlberg memperluas teori Piaget, mengusulkan bahwa pengembangan moral adalah proses berkesinambungan yang terjadi selama kehidupan. Teori Islam membahas pentingnya altruisme atau sikap tidak mementingkan diri sendiri, menyuruh kita menekan agresivitas, dan bersikap adil terhadap sesama sesuai dengan apa yang tercantum di Al-Qur’an dan hadis.

(10)

Teori Kohlberg dan Piaget tidak bisa menjawab persoalan mengapa moral anak muda pada masa sekarang dinilai bobrok dan sangat mengkhawatirkan. Islam mempunyai jawaban untuk semua hal tersebut. Jawaban yang paling mendasar adalah tidak adanya keimanan. Dalam teori ini tidak berangkat dari apa yang menjadi inti dari kebutuhan dan keperluan manusia. Dasar yang dipakai adalah moral berdasarkan penstrukturan kognitif, namun hal yang paling penting adalah keimanan yang menjadi dasar kehidupan manusia. Tinggi rendahnya moral seseorang dilihat dari sikap dan perilaku dia menghadapi dilema atau masalah yang dihadapi. Dalam Islam keimanan sangat menentukan pada perilaku dan sifat seseorang. Jika keimanannya tinggi maka perilakunya akan baik dan moralnya pun akan tinggi. Namun jika moralnya rendah maka dapat dipastikan perilaku dan moralnya pun akan rendah. Keimanan juga yang menentukan kebersihan atau kekotoran hati.

Sumber:

Aliah B, Purwakania Hasan. Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian. Rajagrafindo Perkasa. Jakarta. 2006.

http://psi-islami.blogspot.com/2010/08/pembentukan-karakter-manusia-menurut_02.html

http://rimatrian.blogspot.com/2013/09/perkembangan-moral-menurut-jean-piaget.html

http://shaniaanshary.wordpress.com/2012/06/14/analisis-teori-perkembangan-moral-kognitif-kohlberg-berdasarkan-agama-islam/

(11)

DISUSUN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU TUGAS MATA

KULIAH PSIKOLOGI PERKEMBANGAN I

Oleh:

Nadia Felicia Mahardhika

NPM: 10050012178

Kelas: D

Fakultas Psikologi

Universitas Islam Bandung

Gambar

Tabel Tahap Perkembangan Moral Piaget

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Berit a Acara Hasil Pelelangan dan Penet apan Pem enang Pelelangan, bersam a ini Panit ia Pengadaan Barang/ Jasa Badan Kepegaw aian, Pendidikan dan Pelat ihan

(2-tailed) pada semua sampel subyek baik pengenceran per- tama dan pengenceran kedua ˂ 0,05 maka dinyatakan bahwa terdapat perbedaan jumlah kuman sebelum dan

pendidikan 37Yo responden menjawab ingin beke{a dan melanjutkan strata dua. Responden kurang berani untuk mengambil resiko memulai sebuah usaha dengan kendala-kendala

Tujuan dari tesis ini adalah mengadopsi metode e-voting yang telah diterapkan di berbagai negara untuk pemilihan umum di Indonesia dengan simulasi finger print

Analisis persentase tingkat penyebaran klorofil-a secara temporal di bagian selatan Selat Makassar tahun 2009 dan 2010 menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi

[r]

Berdasarkan UU No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan berdasarkan Peraturan Rektor Universitas Negeri Semarang nomor 14 tahun 2012 menjelaskan bahwa PPL

Perangkat lunak yang digunakan dalam perekayasaan yaitu menggunakan Macromedia Dreamweaver, dan basis data menggunakan MySQL.Hasil peneltian ini adalah terwujudnya