• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEWENANGAN KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYITAAN BARANG BUKTI PELANGGARAN LALU LINTAS (Studi pada Polresta Bandar Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS KEWENANGAN KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYITAAN BARANG BUKTI PELANGGARAN LALU LINTAS (Studi pada Polresta Bandar Lampung)"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS KEWENANGAN KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYITAAN BARANG BUKTI PELANGGARAN LALU LINTAS

(Studi pada Polresta Bandar Lampung)

Oleh

Bambang Wardoyo

Pertumbuhan jumlah kendaraan baik kendaraan roda dua maupun roda empat di Kota Bandar Lampung berdampak terhadap tingkat pelanggaran lalu lintas yang terjadi. Tahun 2012 di wilayah hukum Polresta Bandar Lampung terjadi 12.590 kasus pelanggaran lalu lintas dan sampai bulan agustus 2013 telah terjadi pelanggaran mencapai 8.373 kasus. Jumlah pelanggaran yang tinggi ini, diikuti dengan penyitaan barang bukti pelanggaran lalu lintas oleh kepolisian. Barang bukti yang dilakukan penyitaan oleh kepolisian dalam kasus pelanggaran lalu lintas dapat berupa SIM atau STNK dan kendaraan bermotor yang bersangkutan. Kewenangan kepolisian dalam melakukan penyitaan barang bukti pelanggaran lalu lintas yang berupa penyitaan kendaraan bermotor harus didasari oleh alasan yang tepat dan benar secara hukum. Berdasarkan dengan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan permasalahan: a. Bagaimanakah pelaksanaan kewenangan kepolisian dalam melakukan suatu tindakan penyitaan terhadap barang bukti pelanggaran lalu lintas yang sering terjadi di jalan raya di Kota Bandar Lampung? b. Apakah faktor penghambat pelaksanaan kewenangan kepolisian dalam penindakan pelanggaran lalu lintas yang sering terjadi di jalan raya di Kota Bandar Lampung?

Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi lapangan dan studi kepustakaan. Data yang diperoleh dari penelitian diolah dengan langkah-langkah, yaitu klasifikasi, editing, interpretasi dan sistematisasi. Data yang diolah dianalisis secara kualitatif. Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode induktif.

(2)

yang melakukan pelanggaran lalu lintas dilakukan apabila kendaraan tersebut tidak dilengkapi oleh surat-surat kendaraan (STNK) atau pengendara tidak dapat menunjukkan surat keterangan kendaraan kepada petugas kepolisian, pengendara tidak memiliki SIM, terjadi pelanggaran atas persyaratan teknis dan persyaratan laik jalan kendaraan bermotor, kendaraan bermotor diduga berasal dari hasil tindak pidana atau digunakan untuk melakukan tindak pidana dan kendaraan yang terlibat kecelakaan lalu lintas. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan kewenangan kepolisian dalam penindakan pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar Lampung adalah masih kurangnya rambu-rambu lalu lintas, pengetahuan masyarakat tentang hukum lalu lintas yang masih kurang dan jumlah petugas polisi lalu lintas belum proporsional.

(3)
(4)
(5)
(6)

Penulis dilahirkan di Sekincau, Lampung Barang pada tanggal

25 Agustus 1990, yang merupakan putra keempat dari empat bersaudara pasangan Bapak Sukarno dan Ibu Marikem. Penulis menyelesaikan studi pendidikan Sekolah Dasar di

SDN 1 Waspada Lampung Barat lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan studi di SMPN 1 Sekincau Lampung Barat lulus pada tahun

2005, kemudian melanjutkan studi di SMAN 1 Liwa Lampung Barat lulus pada tahun 2008.

Penulis pada tahun 2008 diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis pada tahun 2012 mengikuti kegiatan

(7)

“Perubahan tidak akan datang jika kita menunggu orang lain atau lain waktu. Diri

kitalah yang ditunggu-tunggu, diri kitalah perubahan yang kita tunggu.” (Barack Hussein Obama)

“Terlambat bukan alasan untuk gagal. Karena kegagalan bukan katayang tepat untuk orang yang terlambat”

(8)

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, serta sholawat dan salam tak

hentinya kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. Penulis persembahkan karya skripsi ini untuk:

Ayah dan Ibu, serta kakak-kakakku tercinta yang dengan penuh memberikan

dorongan moril dan kasih sayang, sehingga berhasil menyelesaikan perkuliahan ini.

Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang telah banyak membantu, baik dalam suka maupun duka.

(9)

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan

hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul ”Analisis Kewenangan Kepolisian Dalam Proses Penyitaan Barang Bukti Pelanggaran Lalu Lintas (Studi di Polresta Bandar Lampung)” adalah salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Bagian Hukum Pidana dan Pembimbing I yang telah memberikan saran dan masukan yang

bermanfaat di dalam perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung; 3. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah sabar

memberi saran dan masukan yang bermanfaat guna perbaikan skripsi ini dan

penyelesaian studi;

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Pembahas I yang telah membantu

(10)

6. Dosen Fakultas Hukum Universitas lampung yang telah memberikan

wawasan dan cakrawala pengetahuan ilmu hukum yang sangat berguna bagi pengembangan wawasan penulis;

7. Kedua orang tuaku yang sabar mengasuh, mendidik dan membesarkan

penulis sampai menjadi seorang Sarjana Hukum. Semoga Allah SWT memberikan rahmat-Nya kepada kalian hingga akhir kelak;

8. Kakak-kakakku: Mas Eko Budi Santoso; Mbak Eni Setiowati dan Mbak Linda Maryana yang tak henti hentinya memberikan semangat, terima kasih atas dukungannya selama ini; dan

9. Teman-teman seperjuangan di kampus dan dimanapun Ahadi Fajrin Prasetya (botak) menye-menye, Agung waluyo (kakak sky) kakak padat jadwal,

Alviananta (putih tua) biker’s MJ, Asrul Septian Malik (acung) cungkeng,

Azwir Ade Putra (awen) extra joss lovers, Bagus Erlangga (ongok) gak ada specialnya, Christianto Sitinjak (antok) korban perasaan, Dandy Zavero (dul)

ahh kakak ini jangan-jangan bukan kakak itu, Devi Santoso (kwok) jaseng mamen, Ferdy Ardiansyah (son) tukang rusuh, Herdi SDA (jamban) kakak ini, Immanuel CML Tobing (boim) guru PCSM, Jusyamar Hadi (ucok)

pencinta wanita, M. Ferdian (jeke) guru dari segala guru, Prayogi Adi (temek) tukang makan, Rangga Canvarianda (sumpuk) kakak ngujung, Rendi Rega

(11)

10. Teman-teman Hima Pidana serta teman-teman seluruh angkatan 2008 yang

tidak dapat saya sebutkan satu persatu saya ucapkan terima kasih atas segala dukungan dan kebersamaan semasa perkuliahan.

Akhir kata, Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan

tetapi penulis beriharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 14 Juli 2014 Penulis

(12)

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Tinjauan Tentang Kepolisian ... 15

B. Pengertian Penyitaan ... 21

C. Pengertian Alat Bukti dan Barang Bukti... 24

D. Pelanggaran Lalu Lintas... 31

III. METODE PENELITIAN ... 34

A. Pendekatan Masalah... 34

B. Sumber dan Jenis Data ... 34

C. Penentuan Nara Sumber ... 36

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 37

(13)

B. Kewenangan Kepolisian Dalam Melakukan Suatu Tindakan

Penyitaan Terhadap Barang Bukti Pelanggaran Lalu Lintas Di Kota

Bandar Lampung... 40

C. Faktor Penghambat Pelaksanaan Kewenangan Kepolisian Dalam Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas Di Kota Bandar Lampung... 67

V. PENUTUP ... 70

A. Simpulan ... 70

B. Saran ... 71

(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas.

Persoalan lalu lintas yang dihadapi oleh kota-kota besar antara lain, yaitu kemacetan, kecelakaan lalu lintas dan pelanggaran lalu lintas. Keadaan ini merupakan salah satu perwujudan dari perkembangan teknologi transportasi yang

modern. Perkembangan lalu lintas itu sendiri dapat memberi pengaruh, baik yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif bagi kehidupan masyarakat. Hal ini nampak telah membawa pengaruh terhadap keamanan lalu lintas yang semakin

sering terjadi, pelanggaran lalu lintas yang menimbulkan kecelakaan lalu lintas dan kemacetan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh banyak faktor

tidak sekedar oleh pengemudi kendaraan yang buruk, pejalan kaki yang kurang hati-hati, kerusakan kendaraan, rancangan kendaraan, cacat pengemudi, rancangan jalan, dan kurang mematuhinya rambu-rambu lalu lintas.1

Lalu lintas dan pemakai jalan memiliki peranan yang sangat penting dan strategis sehingga penyelenggaraannya dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan pengguna jalan

yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, dan teratur. Pembinaan di bidang lalu

1

(15)

lintas jalan yang meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan lalu

lintas harus ditujukan untuk keselamatan, keamanan, ketertiban, kelancaran lalu lintas jalan.

Pemerintah dalam rangka melaksanakan pembinaan lalu lintas jalan, sebagaimana

tersebut di atas, perlu menetapkan suatu aturan umum yang bersifat seragam dan berlaku secara nasional serta dengan mengingat ketentuan lalu lintas yang berlaku

secara internasional. Hal ini karena salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar berkaitan dengan lalu lintas. Persoalan lalu lintas tersebut antara lain kemacetan, kecelakaan lalu lintas dan pelanggaran lalu lintas. Persoalan lalu

lintas ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi yang semakin modern. Perkembangan lalu lintas itu sendiri dapat memberi pengaruh baik yang bersifat

positif maupun bersifat negatif.

Faktor penyebab timbulnya persoalan dalam lalu lintas adalah manusia sebagai

pemakai jalan, jumlah kendaraan, keadaan kendaraan, dan juga kondisi rambu-rambu lalu lintas, merupakan faktor penyebab timbulnya kecelakaan dan

pelanggaran berlalu lintas. Peran dari kepolisian diperlukan untuk mengatasi persoalan lalu lintas tersebut. Hal ini merupakan salah satu tujuan dibentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut dengan Polri)

untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,

(16)

tentang Kepolisian, dengan demikian Polri merupakan alat negara yang berperan

dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat

dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Polri dalam melaksanakan tugas dan sebagai alat negara memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, harus dilakukan

bersama dan menyatu dengan masyarakat. Salah satu bentuk dari pelaksanaan tugas kepolisian adalah melakukan pelayanan kepada masyarakat di bidang lalu lintas. Pelayanan di bidang lalu lintas ini dilaksanakan oleh kepolisian dengan

membentuk Satuan Polisi Lalu Lintas.

Polisi lalu lintas adalah unsur pelaksana yang bertugas menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan, pengawalan dan patroli, pendidikan masyarakat dan rekayasa lalu lintas, registrasi dan identifikasi pengemudi atau

kendaraan bermotor, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan dalam bidang lalu lintas guna memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu

lintas. Pelayanan kepada masyarakat di bidang lalu lintas dilaksanakan juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat karena dalam masyarakat yang modern lalu lintas merupakan faktor utama pendukung produktifitasnya dan dalam lalu

lintas banyak masalah atau gangguan yang dapat menghambat dan mematikan proses produktifitas masyarakat, seperti kecelakaan lalu lintas, kemacetan maupun

(17)

Para petugas kepolisian pada tingkat pelaksana menindaklanjuti

kebijakan-kebijakan pimpinan terutama yang berkaitan dengan pelayanan di bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK),

Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas dan penyidikan kecelakaan lalu lintas. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dibuat agar penyelenggaraan

lalu lintas dan angkutan jalan sesuai harapan masyarakat yang sejalan dengan kondisi dan kebutuhan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan saat ini,

serta harmoni dengan undang-undang lainnya.

Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan bahwa tugas pokok dan

fungsi Polri dalam hal penyelenggaraan lalu lintas sebagai suatu urusan pemerintah di bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penegakkan hukum, operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas,

serta pendidikan berlalu lintas. Tugas dan fungsi Polri tersebut, diperinci pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, meliputi:

a. Pengujian dan penerbitan SIM kendaraan bermotor;

b. Pelaksanaan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;

c. Pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data lalu lintas dan angkutan jalan;

d. Pengelolaan pusat pengendalian sistem informasi dan komunikasi lalu lintas dan angkutan jalan;

e. Pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli lalu lintas;

f. Penegakan hukum meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan kecelakaan lalu lintas;

g. Pendidikan berlalu lintas;

(18)

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, bukan berarti bahwa Polri akan berorientasi pada kewenangan (authority), akan tetapi harus disadari bahwa tugas dan fungsi Polri di bidang lalu

lintas, berikut kewenangan-kewenangan yang melekat, berkolerasi erat dengan fungsi kepolisian lainnya baik menyangkut aspek penegakan hukum maupun pemeliharaan Kamtibmas dan pencegahan kejahatan secara terpadu.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang digagas oleh Kementerian Perhubungan, dibuat agar penyelenggaraan lalu lintas

dan angkutan jalan sesuai dengan harapan masyarakat, sejalan dengan kondisi dan kebutuhan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan saat ini, serta harmoni dengan undang-undang lainnya.

Salah satu peran polisi lalu lintas adalah penegakan hukum meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan kecelakaan lalu lintas. Penegakan hukum bidang lalu lintas adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya

norma-norma hukum di bidang lalu lintas dan angkutan jalan secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan. Penegakan hukum lalu lintas dan angkutan jalan meliputi: 1. Penyidikan perkara kecelakaan lalu lintas; dan

2. Penindakan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan.

(19)

tingkat pelanggaran lalu lintas yang terjadi. Tahun 2012 di wilayah hukum

Polresta Bandar Lampung terjadi 12.590 kasus pelanggaran lalu lintas dan sampai bulan Agustus 2013 telah terjadi pelanggaran mencapai 8.373 kasus.2 Jumlah

pelanggaran yang tinggi ini, diikuti dengan penyitaan barang bukti pelanggaran lalu lintas oleh kepolisian. Barang bukti yang dilakukan penyitaan oleh kepolisian dalam kasus pelanggaran lalu lintas dapat berupa kendaraan bermotor yang

bersangkutan, SIM atau STNK.

Kewenangan kepolisian dalam melakukan penyitaan barang bukti pelanggaran lalu lintas yang berupa penyitaan kendaraan bermotor harus didasari oleh alasan

yang tepat dan benar secara hukum. Penyitaan barang bukti tersebut dilaksanakan dalam rangka untuk proses penyelidikan atau penyidikan yang bertujuan untuk

membuktikan suatu pelanggaran lalu lintas dan menentukan pelakunya. Kewenangan penyitaan ini harus dilaksanakan secara tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta prosedur penyitaan yang ditetapkan oleh

kepolisian.

Berdasarkan uraian singkat di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang peran dan tugas polisi yang diberi judul: ”Analisis Kewenangan Kepolisian Dalam Proses Penyitaan Barang Bukti Pelanggaran Lalu Lintas (Studi

pada Polresta Bandar Lampung”.

2

(20)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pelaksanaan kewenangan kepolisian dalam melakukan suatu tindakan penyitaan terhadap barang bukti pelanggaran lalu lintas yang sering

terjadi di jalan raya di Kota Bandar Lampung?

b. Apakah faktor penghambat pelaksanaan kewenangan kepolisian dalam penindakan pelanggaran lalu lintas yang sering terjadi di jalan raya di Kota

Bandar Lampung?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang Hukum Pidana mengenai kewenangan kepolisian dalam proses penyitaan barang bukti pelanggaran lalu

lintas berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penelitian ini akan dilaksanakan di Kepolisian Resor Kota

(Polresta) Bandar Lampung pada Bulan Agustus sampai September tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

(21)

a. Mengetahui pelaksanaan kewenangan kepolisian dalam melakukan suatu

tindakan penyitaan terhadap barang bukti pelanggaran lalu lintas yang sering terjadi di jalan raya di Kota Bandar Lampung.

b. Mengetahui faktor penghambat pelaksanaan kewenangan kepolisian dalam penindakan pelanggaran lalu lintas yang sering terjadi di jalan raya di Kota Bandar Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian ini adalah: a. Kegunaan teoritis, yaitu sebagai upaya pengembangan wawasan pemahaman

di bidang ilmu Hukum Pidana mengenai kewenangan kepolisian dalam proses penyitaan barang bukti pelanggaran lalu lintas.

b. Kegunaan praktis, yaitu sebagai sumbangan pemikiran dan wawasan dalam rangka penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian berkaitan dengan kewenangan kepolisian dalam proses penyitaan barang bukti pelanggaran lalu

lintas.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan pada dasarnya bertujuan untuk

mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk peneliti.3

3

(22)

Pengertian kewenangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Secara pengertian bebas kewenangan adalah hak seorang

individu untuk melakukan sesuatu tindakan dengan batas-batas tertentu dan diakui oleh individu lain dalam suatu kelompok tertentu. Kewenangan menurut HD. Stout adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang

dapat dijelaskan sebagai seluruh aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di

dalam hubungan hukum publik.4

Bagir Manan mengatakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan

tidak berbuat, sedangkan wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban. Kewenangan adalah hak menggunakan wewenang yang dimiliki oleh pejabat atau institusi menurut ketentuan yang berlaku, dengan demikian kewenangan juga

menyangkut kompetensi tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut kaidah-kaidah formal, sehingga kewenangan merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh pejabat atau institusi negara.5

Salah satu pilar dan prinsip utama yang dijadikan dasar dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan kenegaraan, di setiap negara hukum adalah asas legalitas. Asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah dalam jaminan

perlindungan hak-hak rakyat. Menurut Sjaran Basah, asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan

4

Ridwan H.R.Hukum Administrasi Negara. (Yogyakarta: UII Press, 2003), Hlm. 71

5

(23)

paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualitas selaku pilar-pilar yang

sifat hakekatnya konstitutif.6

Terdapat 3 (tiga) sumber kewenangan, yaitu sebagai berikut:

a. Sumber atribusi yaitu pemberian kewenangan pada badan atau lembaga/pejabat negara tertentu baik oleh pembentuk Undang-Undang Dasar maupun pembentuk undang-undang.

b. Sumber delegasi, yaitu penyerahan atau pelimpahan kewenanangan dari badan/lembaga Pejabat Tata Usaha Negara lain dengan konsekuensi tanggung jawab beralih pada penerima delegasi.

c. Sumber mandat, yaitu pelempahan kewenangan dan tanggung jawab masih dipegang oleh si pemberi mandat.7

Setiap penyelengaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi,

yaitu kewenangan yang diberikan undang-undang, dengan demikian substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu kemampuan melakukan tindakan hukum

tertentu. Kepolisian sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan di bidang penegakan hukum khusus hukum pidana. Salah satu kewenangan penegakan hukum tersebut adalah melakukan tindakan penyitaan untuk kepentingan

pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Kewenangan tersebut memiliki batasan, karena setiap wewenang dibatasi oleh isi atau materi, wilayah atau ruang dan waktu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam peraturan yang

berlaku. Cacat dalam aspek-aspek tersebut menimbulkan cacat wewenang atau dalam arti bahwa di luar batas-batas itu, suatu tindakan pemerintahan merupakan

tindakan tanpa wewenang.

6

Ridwan H.R.Op.cit. hlm. 71

7

(24)

Prosedur penyitaan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut dengan KUHAP) erat hubungannya dengan pembuktian, oleh sebab itu harus ada pembatasan dan aturan

yang tegas supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan dari penegak hukum sehingga tidak terjadi rekayasa alat bukti yang dapat merugikan tersangka. Hal ini karena tidak semua orang yang dipenjara adalah orang yang bersalah dan tidak

semua orang yang tidak dipenjara adalah orang yang tidak bersalah. Penyitaan berdasarkan Pasal 1 angka 16 KUHAP adalah serangkaian tindakan untuk

mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

Upaya penegakan hukum dapat dipengaruhi beberapa faktor. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa terdapat 5 (lima) faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu sebagai

berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri, yaitu peraturan perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan suatu aturan hukum;

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membuat atau membentuk maupun yang menerapkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.8

8

(25)

2. Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto9, kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan

kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris.

Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam

melakukan penelitian, maka di sini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah. Istilah-istilah yang dimaksud adalah

sebagai berikut:

a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan

dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.10

b. Kewenangan adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.11

c. Penyitaan berdasarkan Pasal 1 angka 16 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk

kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

d. Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh terdakwa untuk

melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana.12

9

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum. Op. cit. Hlm. 124

10

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), Hlm. 87

11Ibid,

Hlm. 289

12

(26)

e. Lalu lintas di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 didefinisikan

sebagai gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedangkan yang dimaksud dengan ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yang diperuntukkan

bagi gerak pindah kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai

berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap

penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan

konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah sebagai latar belakang

(27)

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan

masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pokok bahasan mengenai hasil penelitian, yang terdiri dari karakteristik responden, dasar polisi dalam melakukan suatu tindakan penyitaan terhadap barang bukti pelanggaran lalu lintas yang sering terjadi di jalan raya di

Kota Bandar Lampung dan proses polisi dalam melakukan penyitaan barang bukti pelanggaran lalu lintas yang sering terjadi di jalan raya di Kota Bandar Lampung.

V. PENUTUP

Merupakan bab penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil

pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas bagi aparat penegak hukum

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Kepolisian

Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan keinginan

terwujudnya supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung

jawab Polri yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Polri yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya.

Sejak ditetapkannya Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI Nomor

VII/MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi perubahan yang menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan peran Polri serta pemisahan kelembagaan

(29)

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Perubahan Kedua, Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format

tujuan Polri dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, namun dalam

penyelenggaraan fungsi kepolisian, Polri secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan

swakarsa melalui pengembangan asas subsidiaritas dan asas partisipasi.

Tugas dan wewenang dari Polri diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia mengatur bahwa tugas pokok Polri adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakkan hukum; dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Republik Indonesia menentukan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian, Polri bertugas:

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

(30)

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian mengatur bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Polri secara umum berwenang:

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;

f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. Mencari keterangan dan barang bukti;

(31)

k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Lebih lanjut Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian menentukan bahwa Polri sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang:

a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan b. Masyarakat lainnya;

c. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; d. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

e. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

f. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;

g. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;

h. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;

i. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;

j. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah indonesia dengan koordinasi instansi terkait;

k. Mewakili pemerintah republik indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;

l. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menentukan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, di bidang proses pidana Polri berwenang untuk:

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

(32)

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

h. Mengadakan penghentian penyidikan;

i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Lebih lanjut Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian mengatur bahwa tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.

Kewenangan kepolisian di bidang lalu lintas diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sesuai

dengan Pasal 7 ayat (2) e menyatakan bahwa tugas pokok dan fungsi Polri dalam hal penyelenggaraan lalu lintas sebagai suatu urusan pemerintah di bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penegakkan

(33)

lintas. Selanjutnya, tugas dan fungsi Polri tersebut, diperinci pada Pasal 12,

meliputi 9 (sembilan) hal sebagai berikut:

a. Pengujian dan penerbitan SIM kendaraan bermotor;

b. Pelaksanaan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;

c. Pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data lalu lintas dan angkutan jalan;

d. Pengelolaan pusat pengendalian sistem informasi dan komunikasi lalu lintas dan angkutan jalan;

e. Pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli lalu lintas;

f. Penegakan hukum meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan kecelakaan lalu lintas;

g. Pendidikan berlalu lintas;

h. Pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas; i. Pelaksanaan manajemen operasional lalu lintas.

Polri dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dalam melaksanakan tugas-tugasnya akan berorientasi pada kewenangan yang

dimilikinya, akan tetapi tugas dan fungsi Polri di bidang lalu lintas dengan kewenangan-kewenangan yang melekat selalu berkolerasi erat dengan fungsi kepolisian lainnya baik menyangkut aspek penegakan hukum maupun

pemeliharaan Kamtibmas dan pencegahan kejahatan secara terpadu. Salah satu peran polisi lalu lintas adalah penegakan hukum meliputi penindakan pelanggaran

dan penanganan kecelakaan lalu lintas. Penegakan hukum bidang lalu lintas adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum di bidang lalu lintas dan angkutan jalan secara nyata sebagai

pedoman perilaku dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan. Penegakan hukum lalu lintas dan angkutan jalan meliputi: a. Penyidikan perkara kecelakaan lalu lintas; dan

(34)

B. Pengertian Penyitaan

Prosedur penyitaan di dalam KUHAP erat hubungannya dengan pembuktian, oleh sebab itu harus ada pembatasan dan aturan yang tegas supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan dari penegak hukum sehingga tidak terjadi rekayasa alat

bukti yang dapat merugikan tersangka. Karena tidak semua orang yang dipenjara adalah orang yang bersalah dan tidak semua orang yang tidak dipenjara adalah

orang yang tidak bersalah Penyitaan berdasarkan Pasal 1 angka 16 KUHAP adalah serangkaian tindakan untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan

pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

Proses penyitaan demi kepentingan pembuktian di persidangan harus dilakukan dengan cara yang diatur oleh undang-undang, antara lain harus ada izin Ketua Pengadilan Negeri setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) KUHAP.

Penyitaan dapat dilakukan tanpa adanya izin Ketua Pengadilan Negeri setempat hanya untuk keadaan sangat perlu dan mendesak, apabila penyidik harus segera

bertindak dan tidak mungkin meminta izin Ketua Pengadilan terlebih dahulu. Penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda yang bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan setempat guna

mendapatkan persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) KUHAP.

Benda yang dapat disita sebagaimana ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf a KUHAP, adalah benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau

(35)

1. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan delik atau

untuk mempersiapkan, diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b KUHAP.

2. Benda yang dipergunakan untuk menghalangi-halangi Penyidik Delik (tindak

pidana) diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf c KUHAP.

3. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan delik pasal diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf d KUHAP.

4. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan delik yang dilakukan, diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf e KUHAP.

Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit, dapat

juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, apabila dipenuhi persyaratan huruf a sampai d di atas, diatur dalam Pasal

39 ayat (2) KUHAP. Tindak pidana yang tertangkap tangan diberlakukan penyitaan, diatur dalam Pasal 40 KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda atau alat yang ternyata atau yang

patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.

Selain itu diatur dalam Pasal 41 KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal tertangkap tangan, penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang

pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi atau pengangkutan sepanjang paket, surat atau benda tersebut,

(36)

perusahaan telekomunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus

diberikan tanda penerimaan.

Pasal 43 KUHAP mengatur bahwa dalam penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merasiakannya,

sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali

undang-undang menentukan lain.

Mengenai penyimpanan benda sitaan di dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara, diatur dalam Pasal 44 ayat (1) KUHAP dan selama belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara dapat dilakukan penyimpanan pada Kantor

Kepolisian Negara RI, Kantor Kejaksaan Negeri, gedung bank pemeritah dan dalam keadaan memaksa di dalam tempat penyitaan lain atau tetap di tempat semula benda itu disita. Kemudian diatur tentang pemeliharaan dan penyelesaian

benda-benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan atau biaya penyimpanan terlalu tinggi, maka benda-benda semacam itu jika masih di tangan penyidik atau

penuntut umum, dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya. Apabila sudah di tangan pengadilan, dapat dilakukan hal yang sama oleh penuntut umum dengan

izin hakim yang menyidangkan perkara tersebut, diatur dalam Pasal 45 ayat (3) KUHAP.

Mengenai benda sitaan yang bersifat terlarang seperti narkotika, disediakan untuk

(37)

Penyitaan berdasarkan Hukum Acara Pidana dapat berakhir sebelum ada putusan

hakim maupun setelah adanya putusan hakim, sebagai berikut:

1. Penyitaan dapat berakhir sebelum ada putusan hakim, yaitu karena:

a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;

b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti, atau tidak merupakan delik; dan

c. perkara tersebut di kesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali benda tersebut diperoleh dari suatu

delik atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu delik.

2. Penyitaan berakhir setelah ada putusan hakim, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau mereka yang disebut dalam

keputusan tersebut, kecuali apabila benda tersebut menurut putusan hakim dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi, atau jika benda tersebut masih diperlukan

sebagai barang bukti untuk perkara, diatur dalam Pasal 46 ayat (2) KUHAP.

C. Pengertian Alat Bukti dan Barang Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan

pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.1 Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganutstelsel negatif wettelijk, hanya alat-alat bukti

1

(38)

yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian.2

Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Alat-alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada

hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh

terdakwa. Menurut Waluyo, alat bukti adalah sesuatu hal (barang atau non barang) yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat digunakan untuk memperkuat

dakwaan.

Menurut Andi Hamzah, alat bukti adalah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana

dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, saksi, ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah.3KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah yang dapat diajukan di depan sidang

peradilan. Pembuktian alat-alat bukti di luar KUHAP dianggap tidak mempunyai nilai dan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Adapun alat-alat bukti Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut:

a. Keterangan Saksi; b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk; dan

e. Keterangan terdakwa.

2

Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, (Jakarta: Pradya Pramita, 1990), Hlm. 19

3

(39)

Mengenai alat bukti, KUHAP telah menjelaskan apasaja yang termasuk alat bukti

sebagaimana Pasal 184 KUHAP, sedangkan pengertian barang bukti dalam KUHAP memang tidak dijelaskan secara eksplisit, tetapi dalam KUHAP diatur

beberapa ketentuan tentang barang bukti tersebut. Menurut Ansori Sabuan, barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana.4 Barang-barang

ini disita oleh penyidik untuk dijadikan sebagai bukti dalam sidang pengadilan. Barang ini kemudian diberi nomor sesuai dengan nomor perkaranya, disegel dan

hanya dapat dibuka oleh hakim pada waktu sidang pengadilan.

Menurut Ratna Nurul Afiah, barang bukti yaitu barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pidana.5

Andi Hamzah mengatakan bahwa barang bukti adalah barang mengenai mana delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik, misalnya pisau yang dipakai menikam

orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi, maka rumah pribadi itu merupakan barang bukti atau hasil delik.6

Pengertian barang bukti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah benda yang

digunakan untuk meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang dituduhkan kepadanya.7 Sudarsono dalam kamus Hukum

berpendapat bahwa, barang bukti adalah benda atau barang yang digunakan untuk

4

Ansori Sabuan.Op. cit. Hlm. 182

5

Ratna Nurul Afiah.Op. cit. Hlm. 14

6Ibid

, Hlm. 15

7

(40)

meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang

diturunkan kepadanya.8

KUHAP memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti, namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan

mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:

1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

3. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;

4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; dan

5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti.9

Selain itu, di dalamHetterziene in Landcsh Regerment (HIR) juga terdapat perihal

barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran

kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan.

8

Sudarsono.Op. cit. Hlm. 47

9

(41)

Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag

diantaranya:

1. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti);

2. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti);

3. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana

(instrumenta delicti); dan

4. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk

memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa(corpora delicti).

Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh KUHAP, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa sarjana

hukum. Andi Hamzah mengatakan barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk

juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik.10 Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti:

a. Merupakan obyek materiil; b. Berbicara untuk diri sendiri;

c. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya; dan

d. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa.11

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah

barang bukti kejahatan. Pasal 181 KUHAP menentukan bahwa majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan

10

Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Hlm. 254

11Ibid

(42)

kepadanya apakah ia mengenali barang bukti tersebut. Jika dianggap perlu, hakim

sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu

delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.

Berdasarkan pendapat beberapa sarjana hukum di atas, dapat diketahui bahwa

yang disebut dengan barang bukti adalah:

a. Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana;

b. Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak

pidana;

c. Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana;

d. Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana; dan

e. Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman

suara.

Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana, akan tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana

yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (1)

(43)

evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice.12

Barang bukti dalam sistem Common Law ini, merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti

menurut Hukum Acara Pidana Indonesia.13

Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk

menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh

keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan dapat

diketahui sebagai berikut:

a. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah;

b. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang

ditangani;

c. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang

didakwakan jaksa atau penuntut umum.14

12

Andi Hamzah,Op. cit. Hlm. 255

13

Flora Dianti, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti, diakses tanggal 28 Desember 2012.

14Ibid

(44)

D. Pelanggaran Lalu Lintas

Pengertian lalu lintas adalah gerak/pindah kendaraan manusia dan hewan di jalan dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan alat gerak. Lalu lintas di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 didefinisikan sebagai gerak

kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedangkan yang dimaksud dengan ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah

kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung.

Penegakan hukum di bidang lalu lintas dan angkutan jalan adalah proses dilakukanya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum bidang lalu lintas dan angkutan jalan secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam

penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Norma-norma hukum dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Penegakan hukum lalu lintas dan angkutan jalan terbagi atas: a. Penyidikan perkara kecelakaan lalu lintas; dan

b. Penindakan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan.

Pengertian penyidikan antara lain dikutip dari Pasal 1 angka 16 KUHAP, yaitu serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti yang dengan barang bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya. Polisi lalu lintas adalah unsur pelaksana yang bertugas

(45)

dan identifikasi pengemudi atau kendaraan bermotor, penyidikan kecelakaan lalu

lintas dan penegakan dalam bidang lalu lintas guna memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas.

Kepolisian dalam menjalankan tugas di bidang lalu lintas, maka dibentuk Satuan

Lalu Lintas (satlantas) yang bertugas melaksanakan Turjawali lalu lintas, pendidikan masyarakat lalu lintas (Dikmaslantas), pelayanan registrasi dan

identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum di bidang lalu lintas. Satlantas dalam melaksanakan tugasnya, menyelenggarakan fungsi:

a. Pembinaan lalu lintas kepolisian;

b. Pembinaan partisipasi masyarakat melalui kerja sama lintas sektoral, Dikmaslantas, dan pengkajian masalah di bidang lalu lintas;

c. Pelaksanaan operasi kepolisian bidang lalu lintas dalam rangka penegakan hukum dan keamanan, keselamatan, ketertiban, kelancaran lalu lintas (Kamseltibcarlantas);

d. Pelayanan administrasi registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta pengemudi;

e. Pelaksanaan patroli jalan raya dan penindakan pelanggaran serta penanganan kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan hukum, serta menjamin Kamseltibcarlantas di jalan raya;

f. Pengamanan dan penyelamatan masyarakat pengguna jalan; dan

g. Perawatan dan pemeliharaan peralatan serta kendaraan milik kepolisian.15

Satuan Lalu Lintas (Satlantas) dalam melaksanakan tugas dibantu oleh: a. Urusan Pembinaan Operasional (Urbinopsnal)

Urbinopsnal bertugas melaksanakan pembinaan lalu lintas, melakukan kerja sama lintas sektoral, pengkajian masalah di bidang lalu lintas, pelaksanaan operasi kepolisian bidang lalu lintas dalam rangka penegakan hukum, perawatan dan pemeliharaan peralatan dan kendaraan.

b. Urusan Administrasi dan Ketatausahaan (Urmintu)

Urmintu bertugas menyelenggarakan kegiatan administrasi dan ketatausahaan.

c. Unit Pengaturan, Penjagaan, Pengawalan dan Patroli (Unitturjawali)

15

(46)

Unitturjawali bertugas melaksanakan kegiatan Turjawali dan penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas dalam rangka penegakan hukum;

d. Unit Pendidikan Masyarakat dan Rekayasa (Unitdikyasa)

Unitdikyasa bertugas melakukan pembinaan partisipasi masyarakat dan Dikmaslantas;

e. Unit Registrasi dan Identifikasi (Unitregident)

Unitregident bertugas melayani administrasi registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta pengemudi.

f. Unit Kecelakaan (Unitlaka)

Unitlaka bertugas menangani kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan hukum.16

16

(47)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari dan menelaah teori-teori dan konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan pokok penulisan. Pendekatan yuridis empiris dilakukan

untuk mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat di lapangan, baik berupa pendapat, sikap dan perilaku hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum mengenai kewenangan kepolisian

dalam proses penyitaan barang bukti pelanggaran lalu lintas.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu: 1. Data primer, yaitu data yang didapat secara langsung dari sumber pertama. Data

primer merupakan data yang diperoleh dari studi lapangan yang tentunya berkaitan dengan pokok penelitian. Data primer penelitian ini didapat dari hasil wawancara dengan responden yang mengetahui dan memiliki keterkaitan

(48)

dilakukan dengan responden yang telah ditentukan sebelumnya. Data primer

dalam penelitian ini didapatkan dengan mengadakan wawancara kepada: a. Kepala Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung; dan

b. Anggota Satlantas Polresta Bandar Lampung.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip dan literatur-literatur dengan

mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep dan pandangan-pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok penelitian. Jenis data sekunder yang dalam penulisan ini terdiri dari bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat terdiri dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958;

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan

4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan; dan

5) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara

Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

b. Bahan hukum sekunder

(49)

petunjuk teknis maupun pelaksanaan yang berkaitan dengan kewenangan

kepolisian dalam proses penyitaan barang bukti pelanggaran lalu lintas, antara lain: Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012

tentang Surat Izin Mengemudi.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdiri

dari bahan-bahan yang didapat dari internet.

C. Penentuan Nara Sumber

Nara sumber dalam penelitian ini adalah Kepala Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung dan Anggota Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung.

Peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan dari nara sumber untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara. Nara sumber yang dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kepala Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung : 1 (satu) orang b. Anggota Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung : 1 (satu) orang+

Jumlah : 2 (dua) orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

(50)

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan melalui serangkaian kegiatan membaca, mencatat, mengutip dan menelaah bahan

pustaka yaitu berupa karya tulis dari para ahli yang tersusun dalam literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta ada kaitannya dengan permasalahan yang berkaitan dalam penulisan skripsi ini.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan merupakan usaha yang dilakukan untuk memperoleh data

primer dengan mengajukan pertanyaan kepada beberapa pihak yang berkaitan permasalahan dalam penelitian dengan teknik wawancara. Teknik yang digunakan adalah wawancara langsung yang bersifat terbuka, dengan

menyiapkan daftar pertanyaan yang berupa pokok-pokok sebagai panduan yang dapat dikembangkan pada saat wawancara dilakukan.

2. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari data sekunder maupun primer kemudian dilakukan metode sebagai berikut:

a. Klasifikasi data, yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara

mengklasifikasikan, menggolongkan, dan mengelompokkan masing-masing data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga mempermudah

pembahasan.

b. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan dan kesalahan-kesalahan serta apakah data

(51)

c. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan menguraikan data

serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian untuk kemudian ditarik kesimpulan.

d. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok bahasannya sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif, yaitu dengan cara menguraikan secara terperinci hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat

sehingga diperoleh gambaran yang jelas dari jawaban permasalahan yang dibahas dan kesimpulan atas permasalahan tersebut. Penarikan kesimpulan dari analisis

(52)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Kewenangan kepolisian dalam melakukan penyitaan terhadap SIM, STNK dan kendaraan bermotor saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 80

Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Berdasarkan peraturan pemerintah ini pengendara kendaraan bermotor yang tidak

membawa SIM saat pemeriksaan kendaraan bermotor, polisi dapat menyita STNK sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3) Peraturan Pemerintah No.

80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Mengenai penyitaan kendaraan bermotor sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (6)

Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan

(53)

a. Kendaraan Bermotor tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor

Kendaraan yang sah pada waktu dilakukan Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan;

b. Pengemudi tidak memiliki Surat Izin Mengemudi;

c. Terjadi pelanggaran atas persyaratan teknis dan persyaratan laik jalan Kendaraan Bermotor;

d. Kendaraan Bermotor diduga berasal dari hasil tindak pidana atau digunakan untuk melakukan tindak pidana; atau

e. Kendaraan Bermotor terlibat kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan

meninggalnya orang atau luka berat.

2. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan kewenangan kepolisian dalam penindakan pelanggaran lalu lintas di Kota Bandar Lampung adalah masih

kurangnya rambu-rambu lalu lintas, pengetahuan masyarakat tentang hukum lalu lintas yang masih kurang dan jumlah petugas polisi lalu lintas belum

proporsional.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan:

1. Sebaiknya Polresta Bandar Lampung khususnya Satuan Polisi Lalu Lintas melakukan tindakan langsung atau tilang harus disesuaikan dengan tingkat

(54)

2. Sebaiknya dilakukan penambahan jumlah personel Satuan Lalu Lintas (polisi

(55)

Hamzah, Andi. 2003. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta

____________, 2002.Hukum Acara Pidana Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta

Harahap, M. Yahya. 1993. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid II. Pustaka Kartini, Jakarta

Lamintang, P.A.F. 1984.Dasar Hukum Pidana Indonesia,Sinar Baru, Bandung Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Penerbit Citra

Aditya Bakti, Bandung

Mulyadi, Lilik. 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik.Alumni, Bandung

Nurul Afiah, Ratna. 1989.Barang Bukti Dalam Proses Pidana. Bandung

Philipus M. Hadjon, dkk. 2005. Pengantar Hukum Administrasi Negara. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Poernomo, Bambang. 1994.Azas Hukum Pidana,Ghalia Indonesia, Jakarta

Prodjodikoro, Wirdjono. 1983. Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur, Bandung

Ranoemihardja, R. Atang, 1980.Hukum Acara Pidana,Tarsito, Bandung

Sabuan, Ansori, dkk. 1990.Hukum Acara Pidana.Angkasa, Bandung

Soekanto, Soerjono.1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta

Suwardjoko, Warpani.Perencanaan Lalu Lintas dan Tata Kota. IPB, Bandung Universitas Lampung. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas

(56)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan

Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Referensi

Dokumen terkait

Pola produksi merupakan komponen yang paling penting dalam perencanaan produksi, karena dengan pola produksi perusahaan bisa mengetahui jumlah biaya yang

Solusi yang berhubungan dengan siswa kelas VIII MTs Rohmaniyyah Solusi apa yang telah dilakukan berkaitan dengan problematika pembelajaran Fiqih yang berhubungan dengan

Importantly, each of the studies utilizing a clinic-referred sample reported evidence that the 861G allele was associated with increased risk for ADHD, whereas the single

Abstrak: Al-Andalus merupakan antara wilayah terpenting dalam pengkajian sejarah dan tamadun Islam disebabkan pernah menjadi tapak pelbagai kerajaan Islam dalam tempoh

Untuk melihat hubungan antara tokoh Dini sebagai seorang perempuan dan tokoh suaminya sebagai seorang laki-laki, analisis ini membahas opresi dalam bentuk kekerasan verbal

Setelah menempuh mata kuliah ini, mahasiswadapat menjelaskan prinsip komputer, dapat membuat algoritma dasar dan menuangkannya dalam program dengan menggunakan suatu bahasa

Salah satu penyajiannya dibentuk dalam suatu Sistem penjualan & persediaan obat pada apotik 24 jam yang memakai sebuah sistem dengan

Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTHB) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat