• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK MORAL DAN PER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK MORAL DAN PER"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

“MORAL DAN PERKEMBANGANNYA”

Kelompok 10

Ris Suliandari

Syahrian Rozani

Zahratun Nanzah

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Mataram

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas limpahan anugerahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Moral dan

Perkembangan

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

demi kesempurnaan di masa akan datang.

Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan penulis selaku penyusun dan bagi pembaca penulis minta maaf jika terjadi kesalahan. Akhir kata penulis ucapkan terima

kasih.

Mataram, 03 Oktober 2017

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Daftar Isi BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Moral Menurut Para Ahli

B. Bentuk Penyimpangan Moral Peserta Didik Sesui Perkembangan Zaman C. Cara Memperbaiki Moral Peserta Didik

D. Tahapan-tahapan Perkembangan Moral Peserta Didik

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan B. Saran

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dahulu Indonesia dikenal sebagai negara yang ramah, berpenduduk penuh etika dan sopan santun.Masyarakat masih menjunjung tinggi tata krama dalam pergaulan sebagaimana anak bersikap kepada orang yang lebih tua maupun hubungan antar teman.

Namun seiring laju perkembangan zaman dan perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah sebagian besar masyarakat dibelahan dunia.Sebagaimana telah diketahui dengan adanya kemajuan informasi di satu sisi masyarakat merasa diuntungkan dengan adanya media yang membahas seputar masalah dan kebutuhan mereka. Dengan adanya hal tersebut, media telah menyumbang peran besar dalam pembentukan budaya dan gaya hidup yang akan mempengaruhi moral . Namun sebagian besar media ini juga membawa dampak negatif .Berbagai masalah yang muncul tak terkendali, generasi muda terpelajar baik pelajar maupun mahasiswa harapan bangsa tawuran antara sesama bagaikan lawan yang abadi.Oleh karena itu generasi muda memerlukan perbaikan yang lebih melalui membangun pendidikan karakter.Hilangnya moral adalah suatu hal yang telah banyak disaksikan di seluruh pelosok bumi nusantara, termasuk di Indonesia.

Generasi muda yang seharusnya menjadi tumpuhan masa depan bangsa tidak lagi dapat diharapkan. Walaupun tidak sedikit juga para remaja yang telah banyak menulis tinta emas dalam sejarah bangsa di dunia Internasional.Namun tidak sedikit juga para remaja ini yang salah jalan. Mereka bahkan tidak sadar akan keberadaannya dan siapa dirinya sendiri.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini, antara lain:

1. Apa yang di maksud dengan moral ?

2. Bagaimana Bentuk Penyimpangan Moral Sesui Perkembangan Peserta Didik? 3. Bagaimana Cara Memperbaiki Moral Peserta Didik?

C. Tujuan

Adalah untuk mengetahui sejauh mana perkembangan moral yang dialami peserta didik dan solusi untuk mengatasinya.

(5)

PEMBAHASAN

A. Pengertian Moral Menurut Para Ahli

Pengertian Moral menurut Gunarsa adalah rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi. Istilah moral sendiri berasal dari kata mores yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat atau kebiasaan.

Pengertian Moral Menurut Shaffer adalah kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan masyarakat dan kelompok sosial. Moral ini merupakan standar baik dan buruk yang ditentukan oleh individu dengan nilai-nilai sosial budaya di mana individu sebagai anggota sosial.

Menurut Rogers, Pengertian Moral adalah aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, seimbang dan adil. Perilaku moral ini diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, keharmonisan dan ketertiban.

Menurut Kohlberg, penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan dari moral ini bukanlah soal perasaan atau nilai, malainkan selalu mengandung suatu tafsiran kognitif terhadap keadaan dilema moral dan bersifat konstruksi kognitif yang bersifat aktif terhadap titik pandang masing-masing individu sambil mempertimbangkan segala macam tuntutan, kewajiban, hak dan keterlibatan setiap pribadi terhadap sesuatu yang baik dan juga adil. kesemuanya ini merupakan tindakan kognitif.

Kohlberg juga mengatakan bahwa terdapat pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya.

Kolhberg juga membenarkan gagasan Jean Piaget yang mengatakan bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral. Adanya kesejajaran antara perkembangan kognitif dengan perkembangan moral dapat dilihat pada masa remaja yang mencapai tahap tertinggi dari perkembangan moral, yang kemudian ditandai dengan kemampuan remaja menerapkan prinsip keadilan universal pada penilaian moralnya.

B. Bentuk Penyimpangan Moral Sesui Perkembangan Peserta Didik

Beraneka ragam tingkah laku atau perbuatan remaja yang menyimpang dari moral sering menimbulkan kegelisahan dan permasalah terhadap orang lain. Penyimpangan moral tersebut dapat berwujud sebagai kenakalan atau kejahatan. Berikut di bawah ini adalah beberapa contoh dari penyimpangan –peyimpangan moral pada remaja yang sering terjadi dan muncul dalam media-media pemberitaan :

1. Membolos

(6)

juga pernah melihat para siswa SMA jajan/nongkrong di angkringan saat jam sekolah. Makan dan minum di warung burjo saat jam sekolah. Sungguh kebiasaan yang jelek yang harus dihapus. 2. Menyontek

Menyontek merupakan tindak kecurangan dalam tes, melalui pemanfaatan informasi yang berasal dari luar secara tidak sah (Sujana dan Wulan, 1994). Perilaku menyontek harus dihilangkan, karena hal tersebut sama artinya dengan tindakan kriminal mencuri hak milik orang lain. Namun nyatanya perilaku menyontek semakin mengalami peningkatan (McCabe, 2001). Perilaku menyontek telah merambah ke berbagai penjuru, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Tak hanya dilakukan oleh siswa maupun mahasiswa yang berprestasi rendah, tetapi juga siswa serta mahasiswa yang berprestasi tinggi pernah melakukannya. Sebagaimana survey yang dilakukan oleh Who’s Who Among American High School Student, menunjukkan bahwa mahasiswa terpandai mengakui pernah menyontek, untuk mempertahankan prestasinya (Parsons dalam Mujahidah, 2009).

3. Penggunaan Narkoba

Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya lainnya yang jika dikonsumsi atau masuk ke dalam tubuh manusia baik secara oral atau diminum, dihirup atau disuntukkan dapat mengubah pikiran, suasana hati dan pikiran seseorang. Narkoba dapat menimbulkan ketergantungan fisik maupun psikologis.

Globalisasi dan modernisasi tidak dapat dipungkiri lagi telah mendatangkan keuntungan bagi manusia. Arus informasi yang masuk ke negeri ini semakin sulit dibendung. Dampak negatifnya, banyak remaja yang terjerumus mengikuti budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia, misalnya seks pranikah dan maraknya penyalahgunaan Narkoba (Primatantari dan Kahono, Unknown Time).

Pengguna narkoba biasanya dimulai dengan coba-coba yang bertujuan sekedar memenuhi rasa ingin tahu remaja, namun sering keinginan untuk mencoba ini menjadi tingkat ketergantungan. Tingkat pengguna narkoba sendiri dapat dibagi menjadi (1) pemakai coba-coba, pemakaian sosial (hanya untuk bersenang-senang), (2) pemakaian situasional (pemakaian pada saat tegang, sedih, kecewa dan lain-lain), (3) penyalahgunaan (pengunaan yang sudah bersifat patologis) dan (4) tahap yang lebih lanjut atau

Sejak 2010 sampai 2013 tercatat ada peningkatan jumlah pelajar dan mahasiswa yang menjadi tersangka kasus narkoba. Pada 2010 tercatat ada 531 tersangka narkotika, jumlah itu meningkat menjadi 605 pada 2011. Setahun kemudian, terdapat 695 tersangka narkotika, dan tercatat 1.121 tersangka pada 2013. Kecenderungan yang sama juga terlihat pada data tersangka narkoba berstatus mahasiswa. Pada 2010, terdata ada 515 tersangka, dan terus naik menjadi 607 tersangka pada 2011. Setahun kemudian, tercatat 709 tersangka, dan 857 tersangka di tahun 2013. Sebagian besar pelajar dan mahasiswa yang terjerat UU Narkotika, merupakan konsumen atau pengguna.

4. Pergaulan Bebas

(7)

kelamin di bawah celana, dan melakukan senggama) sudah menjadi sesuatu yang biasa, padahal hal tersebut tidak boleh terjadi.

Dalam kehidupannya, remaja tidak akan pernah lepas dari apa yang dinamakan “percintaan”. Hampir seluruh remaja di dunia, termasuk Indonesia, mempunyai suatu budaya untuk mengekspresikan percintaan tersebut, yakni dengan apa yang biasa disebut “pacaran”. Pacaran merupakan hal yang sudah lazim di kalangan remaja saat ini. Cara mereka mengisi pacaran pun bermacam-macam, mulai dari yang biasa sampai yang luar biasa yang tidak diterima karena telah melanggar ketentuan norma yang ada. Salah satu cara yang paling tidak diterima di masyarakat adalah seks bebas (Karmila, 2011).

5. Tawuran

Istilan tawuran sering dilakukan pada sekelompok remaja terutama oleh para pelajar sekolah, yang akhir-akhir ini sudah tidak lagi menjadi pemberitaan dan pembicaraan yang asing lagi. Kekerasan dengan cara tawuran sudah dianggap sebagai pemecah masalah yang sangat efektif yang dilakukan oleh para remaja. Hal ini seolah menjadi bukti nyata bahwa seorang yang terpelajar pun leluasa melakukan hal-hal yang bersifat anarkis, premanis, dan rimbanis. Tentu saja perilaku buruk ini tidak hanya merugikan orang yang terlibat dalam perkelahian atau tawuran itu sendiri tetapi juga merugikan orang lain yang tidak terlibat secara langsung (Julianti, 2013).

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus (Setyawan, 2014).

6. Perkosaan

Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin raperen yang berarti mencuri, memaksa,merampas, atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum (Wignjosoebroto, 1997).

(8)

enam setiap bulan. Tercatat, hingga 50 persen pelaku perkosaan adalah anak berusia di bawah 20 tahun. Sebagian dari para remaja memperkosa teman perempuannya.

7. Mabuk-mabukan

Pergaulan remaja juga berpotensi menimbulkan keresahan sosial karena tidak sedikit para remaja yang terlibat pergaulan negatif mabuk-mabukan. Tindakan ini selain mengganggu ketertiban sosial juga sangat merugikan kesehatan mereka sendiri (Surbakti, 2009).

C. Cara Memperbaiki Moral Peserta Didik

Adapun salah satu cara memperbaiki moral yakni dengan melakukan Pembinaan Moral Pembinaan moral yang paling baik sebenarnya terdapat dalam agama, karena nilai-nilai moral yang tegas, pasti dan tetap, tidak berubah karena keadaan, tempat dan waktu adalah nilai yang bersumber dari agama (Daradjat, 2000:131). Menurut Franz Magnis Suseno, moral dipahami sebagai ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, peraturan-peraturan, patokan-patokan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral dapat berupa agama, nasehat para bijak, orang tua, guru dan sebagainya. Dari sini dapat dipahami bahwa sumber ajaran moral meliputi agama, tradisi, adat istiadat, dan ideologi-ideologi tertentu.

1. Pengertian Pembinaan Moral

Norma-norma moral adalah kriteria untuk menetapkan benarsalahnya perilaku manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku perbuatan tertentu dan terbatas, sehingga penilaian moral selalu berbobot, tidak dilihat dari salah satu segi saja melainkan sebagai manusia. Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya Child Development berkata bahwa :

True Morality is behavior which conforms to social standards and which is also carried out voluntarily by the individual. It comes with the transition from external to internal authority and consists of conduct regulated from within. It is accompanied by a feeling of personal responsibility for the act. It involves giving primary consideration to the welfare of the group, while relegating personal desires or gains to a position of secondary importance.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan pembinaan sebagai suatu pembangunan (Poerwadarminto, 1987:141). Sedangkan kata moral berasal dari bahasa latin yaitu mores, dari suku kata mos yang artinya adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, dan akhlak (Cholisin, 1987:24). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata moral memiliki arti sebagai berikut.

a. Ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti dan susila.

b. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin dan sebagainya, isi hati atau keadaan sebagimana terungkap dalam perbuatan.

c. Ajaran susila yang dapat diukur dari suatu cerita.

(9)

Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang bermoral. Maka secara sederhana mungkin dapat menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan manusia (Hadiwardoyo, 1990:13).Berbagai pendapat tersebut meskipun berbeda rumusannya, namun memiliki kesamaan arti. Moral disepakati sebagai sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan jiwa yang baik, benar salah atau baik buruknya perbuatan yang berhubungan dengan batin. Ukuran penentuannya adalah berdasarkan tingkah laku yang diterima oleh masyarakat. Dengan demikian pembinaan moral merupakan suatu tindakan untuk mendidik, membina, membangun watak, akhlak serta perilaku seseorang agar orang yang bersangkutan terbiasa mengenal, memahami dan meghayati sifat-sifat baik atau aturan-aturan moral yang kemudian disebut dengan internalisasi nilai-nilai moral pada diri seseorang.

Proses Pembinaan Moral

Pembinaan moral harus dilaksanakan terus-menerus sejak seseorang itu lahir sampai matinya, terutama sampai usia pertumbuhannya sempurna, karena setiap anak dilahirkan dalam keadaan belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah dan belum tahu batas-batas dan ketentuan-ketentuan moral yang berlaku dalam lingkungan di mana ia hidup.

Dalam pertumbuhan dan pembinaan moral sebenarnya yang didahulukan adalah tindak moral (moral behavior). Caranya yaitu dengan melatih anak untuk bertingkah laku menurut ukuran-ukuran lingkungan di mana ia hidup sesuai dengan umur yang dilaluinya. Setelah si anak terbiasa bertindak sesuai yang dikehendaki oleh aturan-aturan moral dan kecerdasan serta kematangan berpikir telah tercapai, barulah pengertianpengertian yang abstrak diajarkan. Juga perlu diingat bahwa pengertian tentang moral belum menjamin adanya tindakan moral. Banyak orang tahu bahwa suatu perbuatan adalah salah, tetapi dilakukannya juga perbuatan tersebut.

Moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajarinya saja tanpa membiasakan hidup bermoral dari kecil. Ringkasnya, moral itu berawal dari tindakan menuju pengertian dan bukan sebaliknya. Pendidikan moral yang paling baik terdapat dalam agama, karena nilai-nilai moral yang tegas, pasti dan tetap serta tidak berubah-ubah karena keadaan, tempat dan waktu adalah nilai-nilai yang bersumber dari agama. Nilai-nilai yang dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri tanpa ada paksaan dari luar, datangnya dari keyakinan beragama. Tegasnya, kehidupan moral tidak dapat dipisahkan dari keyakinan beragama. Menurut Zakiah Daradjat, pembinaan moral dapat dilakukan dengan dua kemungkinan, yaitu:

a. Melalui Proses Pendidikan

Pembinaan moral agama model ini dilakukan sesuai dengan syarat-syarat psikologis dan paedagogis dalam ketiga lembaga pendidikan, yaitu: keluarga (rumah tangga), sekolah, dan masyarakat.

(10)

(4) orang tua harus tahu cara mendidik dan mengerti ciri-ciri khas dari setiap umur yang dilalui anaknya. (5) orang tua hendaknya menjamin kebutuhan fisik, jiwa dan sosial anak.

2) Pendidikan Moral di Sekolah. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah: (a) Jadikanlah sekolah sebagai lapangan sosial bagi anak di mana pertumbuhan mental, moral, sosial dan segala aspek kepribadian berjalan dengan baik. (b) Pendidikan agama harus dilaksanakan secara intensif baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. (c) Ciptakanlah lingkungan (baik guru, pegawai, buku, peraturan dan peralatan) yang dapat membawa anak-anak kepada pembinaan mental yang sehat, moral yang tinggi serta pengembangan bakat. (d) Pelajaran-pelajaran di sekolah haruslah mengindahkan peraturan-peraturan moral dan nilai-nilai agama baik dalam teori maupun prakteknya sehingga dapat memelihara moral dan kesehatan mental anak didik. (e) Para guru hendaknya membimbing pergaulan anak-anak didik. (f) Sekolah harus dapat memberikan bimbingan dalam pengisian waktu luang anak didik, dengan menggerakkan mereka pada aktivitas yang menyenangkan, akan tetapi tidak merusak dan berlawanan dengan ajaran agama. (7) Adakan biro penyuluhan bagi anak didik yang membutuhkan.

3) Pendidikan moral dalam masyarakat. Sebelum mendidik anak-anak, masyarakat hendaknya memulainya dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang terdekat.

b. Melalui Proses Pembinaan Kembali

Proses pembinaan kembali di sini maksudnya ialah memperbaiki moral yang telah rusak, atau membina moral kembali dengan cara yang berbeda dari cara yang telah dilaluinya dulu. Biasanya cara ini ditujukan kepada orang dewasa yang telah melewati umur 21 tahun yang belum terbina agamanya, baik karena kurang serasinya pembinaan moral agama yang didapatkannya dulu, maupun karena belum pernah sama sekali mengalami pembinaan moral secara sengaja.

Moral yang telah disepakati sebagai sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan kebaikan, benar salah atau baik buruknya perlu benar-benar dipahami, dimengerti dan dijadikan pedoman dalam perilaku sehari-hari. Perilaku seseorang haruslah terus dibina agar mencerminkan perilaku yang baik atau perilaku susila, jika seseorang berperilaku asusila maka orang itu disebut orang yang tidak bermoral. Oleh karena itu betapa pentingnya pembinaan moral bagi seseorang dalam rangka membentuk dan mewujudkan perilaku yang baik yang menjunjung nilai-nilai moral. Adapun proses pembinaan moral dapat terjadi melalui proses pendidikan dan proses pembinaan kembali (Darajat, 1982:70). Pembinaan moral tersebut dapat berupa pemberian contoh atau keteladanan mengenai nilai-nilai moral. Pembinaan moral anak pada hakikatnya bertumpu pada tiga upaya, yaitu: memberi teladan, memelihara dan membiasakan anak sesuai dengan perintah agama.

1) Memberi teladan, maksudnya agar orang tua terlebih dahulu menjadikan dirinya sebagai panutan bagi anak-anak mereka. Untuk memenuhi hal tersebut, bagaimanapun, orang tua terlebih dahulu harus memahami dan mengamalkan ajaran agama. Dari sikap dan tingkah laku keagamaan tersebut diharapkan dapat ditiru oleh anak-anak mereka dalam kehidupan sehari-hari.

2) Memelihara adalah tidak hanya terbatas pada upaya mengasuh dan memenuhi kebutuhan fisiknya saja, melainkan juga memberikan pelayanan bagi kebutuhan pertumbuhan mental spiritualnya. 3) Membiasakan adalah berupa upaya yang diterapkan dalam membentuk sikap anak. Pembiasaan

(11)

tersebut diberikan melalui proses latihan yang berulang-ulang sehingga akan menjadi sikap yang dimiliki oleh anak (Jalaluddin, 2001:165)

.

D. Tahapan-tahapan Perkembangan Moral Peserta Didik

Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional` Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.

Tingkat 1 (Pra-Konvensional)

1. Orientasi kepatuhan dan hukuman 2. Orientasi minat pribadi

( Apa untungnya buat saya?)

Tingkat 2 (Konvensional)

3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas ( Sikap anak baik)

4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial ( Moralitas hukum dan aturan)

Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)

5. Orientasi kontrak sosial 6. Prinsip etika universal ( Principled conscience)

Pra-Konvensional

Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.

(12)

Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.]Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau

faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.

Konvensional

Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.

Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik’

Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekadar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.

(13)

Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakikat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-pasca-konvensional.

Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.

Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat

imperatif kategoris dari Immanuel Kant. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang

akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.

(14)

A. Kesimpulan

Perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Perkembangan moral (moral development) berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain.

Perkembangan moral (moral development) melibatkan perubahan seiring usia pada pikiran, perasaan, dan perilaku berdasarkan prinsip dan nilai yang mengarahkan bagaimana seseorang seharusnya bertindak. Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal (nilai dasar dalam diri seseorang dan makna diri) dan dimensi interpersonal (apa yang seharusnya dilakukan orang dalam interaksinya dengan orang orang lain).

Kepribadian adalah keseluruhan tingkah laku seseorang yang diintegrasikan, sebagaimana yang nampak pada orang lain. Kepribadian ini bukan hanya yang melekat dalam diri seseorang tetapi lebih merupakan hasil dari pada suatu pertumbuhan yang lama suatu kulturil.

Dalam proses pembentukan kepribadian seorang remaja, hal yang paling mempengaruhi adalah sekolah. Pentingnya sekolah dalam memainkan peranan didiri siswa dapat dilihat dari realita sekolah sebagai tempat yang harus dihadiri setiap hari.Sekolah memberi pengaruh kepada anak secara dini seiring dengan masa perkembangan konsep diri, anak-anak menghabiskan waktu lebih banyak di sekolah dari pada di rumah.Di samping itu sekolah memberi kesempatan siswa untuk meraih sukses serta memberi kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya dan kemampuannya secara realistik.

B. Saran

Demikian makalah yang dapat kami buat, kami menyadari dalam penulisan makalah tentang Standar Nasional Pendidikan ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

(15)

Eva Yuliawati MAKALAH PERKEMBANGAN MORAL.htm

Ahmad Amin. 1995. Etika (Ilmu Akhlak), (al-Akhlaaq). Cet. VIII. Terj. K.H. Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang. .

Arsyad, Azhar.1982. Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. Jakarta: Bulan Bintang. Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta; Rineka Cipta.

Andi Mappiare. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

Referensi

Dokumen terkait

Benda dalam pengertian disini tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang disebut dengan hak milik atas benda yang tidak berwujud yang merupakan hasil

Buku referensi ini berisikan antara lain konsep dan landasan pedagogik berkaitan model, pendekatan, metode, dan strategi pembelajaran sains inovatif kreatif yang

wa pemberian minyak goreng yang telah difortifi - kasi dengan vitamin A lebih efektif dalam mence- gah kejadian morbiditas (ISPA dan diare) baik pada ibu maupun anak

Erlangga. Teknik Penarikan Sampel. Medan: USU PRESS. McQuail, Dennis, 1987, Teori Komunikasi Massa ed. Metode Penelitian Survey.Jakarta: Kencana Prenada Media Group..

Tetapi jika ia berkehendak, maka diperbolehkan seorang wanita bekerja atas izin suami jika ia sudah bekerja, jika belum atas izin orangtuanya, akan tetapi seorang istri

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, yang dengan atas rahmad dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir ini yang berjudul

Oleh karena itu, dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi ragi dan lama fermentasi terbaik pada pembuatan kopi bubuk Robusta asal Tulungrejo

ƒ Kami akan melaksanakan rancangan kesediaan tempat kerja yang terperinci dan senarai semak untuk langkah keselamatan di setiap tapak kita sebelum ahli pasukan bekerja atau