• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI KASUS WISMA ATLET (STUDI PUTUSAN No. 1616 KPid.Sus2013 No. 2223 KPid.Sus2012) (Jurnal)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI KASUS WISMA ATLET (STUDI PUTUSAN No. 1616 KPid.Sus2013 No. 2223 KPid.Sus2012) (Jurnal)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI KASUS WISMA ATLET

(STUDI PUTUSAN No. 1616 K/Pid.Sus/2013 & No. 2223 K/Pid.Sus/2012)

(Jurnal)

Oleh

THEO KRISHNANDA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI KASUS WISMA ATLET

(STUDI PUTUSAN No. 1616 K/Pid.Sus/2013 & No. 2223 K/Pid.Sus/2012)

Oleh

Theo Krishnanda, Heni Siswanto, Firganefi (Email : TheoKrishnanda@Gmail.com)

Disparitas putusan membawa dampak yang negatif bagi proses penegakan yaitu timbulnya rasa ketidakpuasan masyarakat sebagai pencari keadilan yang akhirnya menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Mengapa terjadi disparitas putusan hakim terhadap Tindak Pidana Korupsi dalam kasus Wisma Atlet. (2) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Tindak Pidana Korupsi kasus Wisma Atlet. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan masalah melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris dengan data primer dan data sekunder dimana masing-masing data diperoleh dari penelitian kepustakaan dan di lapangan. Data penelitian dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka disimpulkan: (1) Terjadinya perbedaan putusan dalam Kasus M. Nazaruddin dan Angelina Sondakh didasarkan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum dan fakta-fakta dalam persidangan berupa keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti lainnya. Dalam setiap pasal yang didakwakan dan terbukti pada persidangan memiliki perbedaan ancaman pidana, ada batas minimum dan maksimum sehingga memberikan keleluasaan hakim dalam memutus perkara. (2) Pertimbangan hakim dalam kasus Tindak Pidana Korupsi Wisma Atlet harus mempertimbangkan unsur yuridis, filosofis dan sosiologis.

(3)

ABSTRACT

THE ANALYSIS OF JUDGE’S DECISION DISPARITY TOWARD THE CRIMINAL CASE OF CORRUPTION OF ATHLETES’ DORMITORY (CASE STUDY OF JUDGE’S DECISION No. 1616 K/Pid.Sus/2013 & No. 2223

K/Pid.Sus/2012)

By

Theo Krishnanda, Heni Siswanto, Firganefi (Email : TheoKrishnanda@Gmail.com)

Disparity of decision brings a negative impact toward the process of implementing law, this triggers the dissatisfaction among the society as justice seekers that results in the lose of trust to the system of law implementation. The problems in this study are (1) Why there is a disparity in the judge’s decision toward the criminal case of athlete’s dormitory and (2) What becomes the base of judge’s consideration in sentencing the accused in the case of athlete’s dormitory. This research is based on normative juridiction and empirical juridiction with the primary and secondary data taken from the library and field study. The data were analysed based on the principles of descriptive qualitative research method. Based on the result of data analysis and discussion, it can be concluded that : (1) The difference that exists between the sentencing of M. Nazaruddin and Angelina Sondakh was resulted from the accusation of the prosecutor and facts during the hearing in form of information from witnesses, the suspect, and other proofs. In every article related to the case and proven during the trial there are different charges, there are also limits of minimum and maximum that allows the judges to be a bit flexible in deciding matters. (2) The consideration of the judges in this case should cover the elements of juridiction, philosophy, and sociology.

(4)

1

I. PENDAHULUAN

Penegakan hukum pidana apabila dilihat sebagai bagian dari mekanisme penegakan hukum pidana, maka “pemidanaan” yang biasa juga diartikan “pemberian pidana” tidak lain merupakan suatu proses kebijakan yang sengaja direncanakan. Pemberian pidana itu untuk benar-benar dapat terwujud direncanakan melalui beberapa tahap yaitu:

A. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang;

B. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang; dan

C. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

Tahap pertama sering juga disebut tahap pemberian pidana “in abstracto”, sedangkan tahap kedua dan ketiga disebut tahap pemberian pidana“in Concreto”. Dilihat dari suatu proses mekanisme penegakan hukum pidana, maka ketiga tahapan itu diharapkan merupakan satu jalinan mata rantai yang saling berkaitan dalam satu kebulatan sistem.1

Penegakan hukum memiliki tiga unsur yang selalu diperhatikan, yaitu Kepastian Hukum (Rechtssicherheit), Kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan Keadilan (Gerechtigkeit)2 . Sebagaimana Menurut UUD 1945 Pasal 28D Ayat (1) yaitu “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

1

Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 91

2

http://blog.konsultasi-skripsi.org/2014_11_01_archive.html

perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum”.

Disparitas pidana menurut Muladi dan Barda Nawawi3 adalah :

A. Penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama. B. Penerapan pidana yang tidak sama

terhadap tindak pidana yang beratnya dapat diperbandingkan C. Penerapan pidana yang tidak sama

terhadap mereka yang bersama-sama melakukan tindak pidana (deelneming, Pasal 55,56 KUHP)

Penelitian ini di fokuskan pada kesenjangan (disparitas) putusan hakim antara Terpidana Angelina Patricia Pingkan Sondakh dalam studi putusan (No. 1616 K/Pid.Sus/2013) dan Terpidana M. Nazaruddin dalam

studi putusan (No. 2223

K/Pid.Sus/2012). Melihat dari 2 putusan tersebut sebagaimana putusan Mahkamah Agung Angelina Patricia Pingkan Sondakh di vonis 12 tahun dengan denda Rp500.000.000,00 subsidiair 6 bulan sedangkan M. Nazaruddin di vonis 7 tahun dengan denda Rp300.000.000,00 subsidair 6 bulan, ada kesenjangan putusan tersebut yang ingin penulis teliti sehingga nantinya dapat dijadikan suatu penulisan ilmiah.

Praktik peradilan yang menangani perkara korupsi sering terjadi disparitas pidana yang tidak saja mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan tetapi juga mengenai jenis

3

(5)

2

pidana serta praktek pelaksanaan pidana tersebut. Terjadinya disparitas pemidanaan yang tidak dilandasi dasar atau alasan yang rasional dapat membawa dampak yang negatif bagi proses penegakan hukum yaitu timbulnya rasa ketidakpuasan masyarakat sebagai pencari keadilan yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana.

Harkristusi Harkrisnowo4 mengatakan bahwa disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori,yaitu:

A. Disparitas antara tindak pidana yang sama

B. Disparitas antara tindak pidana

yang mempunyai tingkat

keseriusan yang sama

C. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu mejelis hakim

D. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.

Disparitas putusan mungkin saja ikut berpengaruh pada cara pandang dan penilaian masyarakat terhadap peradilan yang dapat dilihat sebagai

wujud ketidakadilan yang

mengganggu. Disparitas putusan tak bisa dilepaskan dari diskresi hakim menjatuhkan hukuman dalam suatu perkara pidana. Wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan sesuai kode etik tanpa

4

Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, Yogyakarta: UII-Press, 2011, hlm. 57

pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, dimana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum (Equality Before Law) dan hakim.

Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia dan secara vertikal dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.5

Sebuah doktrin hukum “Res Judicate Pro Veritate Hebetur”, yang artinya bahwa apa yang diputus oleh Hakim itu benar walaupun sesungguhnya tidak benar, sehingga mengikat sampai tidak dibatalkan oleh pengadilan lain. Doktrin hukum diatas menempatkan Pengadilan sebagai titik sentral konsep Negara hukum. Korupsi merupakan pelanggaran hak asasi berupa hak sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga korupsi dipandang sebagai Extraordinary Crime yaitu Kejahatan yang luar biasa yang memerlukan penanganan secara luar biasa pula.6

Korupsi merupakan masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini. Meski pemerintah telah

5

Budi Rizki Husin & Rini Fathonah, Studi Lembaga Penegak Hukum, Lampung, 2014 hlm. 65

6

(6)

3

berupaya untuk memberantas korupsi, namun usaha tersebut masih jauh dari kata berhasil. Perlawanan balik koruptor telah membuat lembaga-lembaga tersebut gagal untuk menjalankan fungsinya dan pada akhirnya jatuh bertumbangan.

Kasus korupsi yang melibatkan Angelina Sondakh dan M. Nazaruddin terjadi kesenjangan putusan 5 tahun, sebagaimana amar putusan Mahkamah Agung No. 1616 K/Pid.Sus/2013 & No. 2223 K/Pid.Sus/2012. Permasalahan tersebut, mereka memiliki peran masing masing dalam melakukan Tindak Pidana Korupsi kasus Hambalang (Wisma Atlet). Angelina Sondakh merupakan Anggota Badan Anggaran dan Koordinator Pokja Anggaran Komisi X DPR RI dan M. Nazaruddin merupakan pemilik Permai Grup dan juga Anggota Badan Anggaran DPR RI. M. Nazaruddin telah melakukan pertemuan dengan beberapa anggota komisi X DPR RI, Sesmenpora dan Menpora untuk melakukan pengaturan supaya Anggaran Proyek Wisma Atlet dapat di setujui oleh Badan Anggaran DPR RI. M. Nazaruddin sebagai pemilik Permai Grup, telah memberikan uang kepada Angelina Sondakh dengan bayaran 5% dari total Proyek Wisma Atlet. M. Nazaruddin bukan merupakan anggota dari komisi X DPR RI, tetapi ia merupakan teman satu partai politik dengan Angelina Sondakh.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “Analisis Disparitas Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Korupsi Kasus Wisma Atlet (Studi

Kasus Putusan No. 1616

K/Pid.Sus/2013 & No. 2223 K/Pid.Sus/2012 )

Adapun permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:

A. Mengapa terjadi disparitas putusan hakim terhadap Tindak Pidana Korupsi dalam kasus Wisma Atlet?

B. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Tindak Pidana Korupsi kasus Wisma Atlet?

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan penelitian kepustakaan yang memperoleh data sekunder yang meliputi buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi dan lain-lain. Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang digunakan untuk memperoleh data primer yang meliputi hasil penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara kepada para narasumber yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

II. PEMBAHASAN

A. Disparitas Putusan dalam Tindak Pidana Korupsi Kasus Wisma Atlet

(7)

4

yaitu timbulnya rasa ketidakpuasan masyarakat sebagai pencari keadilan yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana.

Menurut Eddy Rifai7, Adanya suatu perbedaan dalam suatu putusan didasari oleh adanya perbedaan dakwaan dan terbuktinya suatu dakwaan tersebut. Dalam Tindak Pidana Korupsi Kasus Wisma Atlet, setiap pasal yang didakwakan memiliki ancaman pidana yang berbeda dengan batas minimum dan maksimum yang berbeda sehingga menimbulkan adanya disparitas.

Penerapan hukum pidana terdapat pidana minimal dan pidana maksimal yang mana keduanya sudah terdapat ketentuan masing-masing sesuai undang-undangnya. pidana minimal adalah ketentuan dimana batas minimal Hakim dalam memutus perkara berdasar undang-undang dan mempertimbangkan tuntutan jaksa. Pengaturan antara pidana maksimum dan minimum yang jauh memberikan keleluasan hakim dalam memutus suatu perkara.8

Pasal 1 poin ke 8 dan 9 KUHAP ditegaskan bahwa hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengadili yaitu serangkaian

7

Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Responden Eddy Rifai, responden dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung

8

Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Responden Maroni, responden dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung

tindakan untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdsarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak didalam sidang pengadilan.

Eddy Rifai9 berpendapat bahwa terjadinya disparitas pidana dalam memutus suatu perkara termasuk kasus wisma atlet ialah dapat dilihat dari kedudukan pelaku. Siapakah menjadi pelaku utama dalam kasus tersebut atau turut serta dalam suatu tindak pidana. Menurut Maroni10 Faktor pelaku juga ikut mempengaruhi berat ringannya suatu putusan, pelaku pemula dan profesional menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara.

Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa yang menjadi penyebab terjadinya disparitas pidana dalam Tindak Pidana Korupsi kasus Wisma Atlet dalam Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2223 K/Pid.Sus/2012 dan Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 adalah faktor hukum dan faktor hakim.

1. Faktor Hukum

Mengenai lamanya pidana penjara diatur dalam Pasal 12 KUHP yang berbunyi “(1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu. (2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. (3) Pidana penjara

9

Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Responden Eddy Rifai responden dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung

10

(8)

5

selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana penjara seumur hidupdan pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalah hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan pasal 52. (4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-sekali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.”

Pasal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum pidana penjara adalah paling sedikit satu hari dan paling lama dua puluh tahun kecuali apabila hakim memilih pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara seumur hidup, maka pidana seumur hidup dapat dijatuhkan. Tetapi dalam KUHP juga dalam setiap rumusan pasal demi pasal terdapat maksimum khusus pidana penjara untuk masing-masing tindak pidana.

2. Faktor yang bersumber dari diri Hakim

Peranan hakim dalam sidang pengadilan adalah mencari kebenaran materiil tanpa meninggalkan kebenaran formilnya dari suatu tindak pidana dan menentukan salah satu atau tidaknya terdakwa, sehingga dengan adanya peranan hakim ini dapat terciptanya kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya adil. Hakim bukan hanya memeriksa berkas perkara dan mendengarkan keterangan dari para pihak saja, sehingga kebenaran materiil dan kebenaran

formil dari suatu perkara dapat ditemukan.

Sistem penyelenggaraan hukum pidana (Criminal Justice System) pidana menempati posisi sentral, hal ini disebabkan karena keputusan didalam pemidanaan akan mempunyai konsekwensi yang luas, baik yang menyangkut langsung terhadap pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas, lebih-lebih jika putusan pidana tersebut dianggap tidak tepat.

Hakim sebagai pejabat yang menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa disidang pengadilan, menjadikannya sebagai faktor yang sangat menentukan terjadinya disparitas pidana. Terjadinya disparitas pidana dalam tindak pidana korupsi yang bersumber dari diri hakim disebabkan karena hakim didalam memeriksa suatu perkara khususnya perkara korupsi, menggunakan pertimbangan sebelum memutus perkara tersebut.

Terjadinya perbedaan putusan didasarkan pada dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan fakta-fakta dalam persidangan berupa keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti lainnya. Perbedaan ancaman pidana dapat memberikan keleluasaan hakim dalam memutus perkara.

B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Perkara Korupsi Kasus Wisma Atlet.

(9)

6

tentang Kekuasaan Kehakiman. Perwujudan amanat ini dituangkan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pelaksaaan operasional kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung. Kekuasaan yang dimaksud merupakan suatu kaidah yang berisi suatuhak, yaitu hak untuk menentukan hukum. Sehingga dapat diartikan kekuasaan sebagai kaidah yang mengandung maknda perkenaan atau kebolehan untuk bertindak.

Motif melakukan suatu tindak pidana bisa menjadi hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara, pada dasarnya Angelina Sondakh dan M. Nazaruddin memiliki motif dalam melakukan suatu tindak pidana korupsi.11 Tindak pidana korupsi dalam kasus Wisma Atlet dilakukan secara bersama-sama dengan fungsinya masing-masing secara sistematis sehingga kasus ini Angelina Sondakh dan M. Nazaruddin memiliki perannya masing-masing.

Hal-hal yang meringankan dan memberatkan juga menjadi dasar berat ringannya suatu putusan. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan penting dicantumkan dalam suatu putusan karena pada dasarnya itu menjadi pertimbangan hakim yang bersifat NonYuridis.12

11

Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Responden Eddy Rifai, responden dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung

12

Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Responden Eddy Rifai, responden dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung

Kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi berbeda beda satu sama yang lainnya walaupun pasal yang dikenakan sama tetapi ada perbedaan kerugian yang ditimbulkan dan juga sebagaimana kerugian tersebut telah dinikmati atau belum sehingga hakim dalam memutuskan

suatu perkara dapat

mempertimbangkan aspek kerugian yang bersifat materiil maupun non materiil yang ditimbulkan terkait putusan M. Nazaruddin dan Angelina Sondakh13

Penanggulangan korupsi di Indonesia, bukan semata-mata menjadi urusan pemerintah atau para penegak hukum, melainkan merupakan persoalan semua rakyat dan urusan bangsa. Peran serta masyarakat tertuang sangat jelas dalam rumusan pasal 41 Ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tndak pidana korupsi.

Maroni berpendapat14 bahwa opini masyarakat terhadap kasus M. Nazaruddin dan Angelina Sondakh sangat mempengaruhi berat ringannya putusan yang dijatuhkan oleh hakim, semakin banyak masyarakat berpendapat tentang suatu kasus maka semakin berat putusannya begitu juga sebaliknya.

13

Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Responden Eddy Rifai, responden dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung

14

(10)

7

Memutus suatu perkara tidaklah mudah, hakim harus dituntut adil dan bijaksana. Undang-undang bukan hanya menjadi corong hukum dalam memutus suatu perkara. Hakim selain menilai aspek yuridis, ia juga harus melihat pada sistem hukum Indonesia serta tuntutan perkembangan hukum dalam masyarakat. Para hakim harus peka melihat tipe budaya hukum, keadaan sosial serta nilai-nilai yang diakui dalam masyarakat yang bersangkutan. Hakim yang merdeka merupakan hakim yang melihat hati nurani masyarakat sehingga dapat terwujudnya cita-cita keadilan sosial.

III. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Disparitas Hakim dalam Tindak Pidana Korupsi kasus Wisma Atlet sebagaimana putusan Mahkamah Agung No. 1616 K/Pid.Sus/2013 & No. 2223 K/Pid.Sus/2012, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

A. Terjadinya perbedaan putusan dalam Kasus M. Nazaruddin dan Angelina Sondakh didasarkan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum dan fakta-fakta dalam persidangan berupa keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti lainnya. Dalam setiap pasal yang didakwakan dan terbukti pada persidangan memiliki perbedaan ancaman pidana, ada batas minimum dan maksimum sehingga memberikan keleluasaan hakim dalam memutus perkara.

B. Pertimbangan hakim dalam kasus Tindak Pidana Korupsi Wisma

Atlet harus mempertimbangkan unsur yuridis, filosofis dan sosiologis. Nilai kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku baik itu sifatnya materiil atau non materiil, kedudukan pelaku dalam suatu tindak pidana, motif melakukan suatu tindak pidana tersebut dan faktor masyarakat dalam berpendapat atau memberikan opini dalam suatu tindak pidana, khususnya dalam kasus Wisma Atlet yang dilakukan oleh M. Nazaruddin dan Angelina Sondakh dapat menjadi tolak ukur hakim dalam menjatuhkan pidana.

DAFTAR PUSTAKA A. Literatur

Ali, Mahrus, 2011, Hukum Pidana

Korupsi Di Indonesia,

Yogyakarta, UII-Press. Hukum Pidana, Bandung, Alumni.

B. Sumber Hukum

Tim Redaksi. 2010. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta: Sinar Grafika.

(11)

8

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

A. Website:

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian yang dilakukan untuk merancang dan membuat sistem informasi Toko Online KPRI UNS Surakrata ini adalah dengan menggunakan metode penelitian

[r]

Berdasarkan hasil evaluasi Administrasi, Teknis dan Harga serta kualifikasi dengan ini Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Barang / Jasa mengumumkan pemenang

Ditunjuk sebagai Direktur pada Juni 2013. Bergabung dengan Summarecon pada 2005  sebagai Direktur Eksekutif.  Yang   bertanggung jawab atas kegiatan operasi dari

 Dibutuhkan input maupun output atau library untuk Arduino yang secara tidak menentu karena disesuaikan dengan kondisi atau permintaan dari user atau orang –

Terdeteksi eksudasi enam jenis asam organik (oksalat, sitrat, tartarat, format, malat, dan suksinat) dengan jumlah yang berarti pada ke empat genotipe yang digunakan,

This course will cover the basic concepts of semiotics including the nature of signs, models of signs, the signification process, typology of signs, value

Adanya kerjasama diantara pihak-pihak terkait, pemerintah, petani, tengkulak, dan penyuluh, akan mendukung dalam pengimplementasian gagasan yang dapat dijadikan